• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Konsep Tubuh Antara Novel Kinjiki (禁色)Karya Yukio Mishima dan Seni Butoh (舞踏)(Sebuah Pendekatan Hermeneutika).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesesuaian Konsep Tubuh Antara Novel Kinjiki (禁色)Karya Yukio Mishima dan Seni Butoh (舞踏)(Sebuah Pendekatan Hermeneutika)."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

三島由紀夫 禁色 が舞踏にあたえた影響

美学理論による 身体 の研究

序論

現在 身体表現 カ チュ タ 中 最 要 科目 一 あ

身体 自 自身 表現 視覚化 最 適 あ

身体 私 自身 離 い あ 自 自身 表 無限 可

能性 秘 い 身体 人 一大 い いい う 独自

タ 確立 身体 バ バ 再構成 開 探求

化粧 痛 苦 鍛え

日本 身体 理念 語 言語 使う 舞踏 いう芸術 あ ャン

舞踏 ほ 古 い 9 年 日本 現 前衛芸術

い 草 一人 土方巽 島由紀夫 書い 禁色 基 初 舞踏

演 演技 身体 不自然 踊 音楽 除い 作品 人 踊

手 土方 大 義人 演 後々 暗黒舞踏 いわ 踊 舞踏

いわ う 舞踏 踊 手 岡村 う 語

舞踏 固有 何 身体 あ う あ

わ い 身体 特定 空間 臨在 い 所作

独特 様相 舞踏 要 い 舞踏 いう

身体表現 あ 基本 身体 あ う

他 ャン 本質的 異 い

舞踏 いう芸術 身体 探求 草 入 舞踏 固定的 踊

(2)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

外国 広 自 表現 基本 手段 多 劇団

練習 使 い

禁色 物語 舞踏 部 あ 特 身体 存在 両者

”beauty and ugliness”, “young and aging”, “life and

death”, いう 元論 持 い 筆者 禁色 あ 身体

描写 哲学 舞踏 基礎 あ 美意識 あ 証

本論

“Beauty and ugliness”

美 い 禁色 禁色 視点 持 い 一般 美 感

覚 少々あ あ 逆 醜悪 人生 表現 い 固

う 深い意味 持 い 舞踏 舞踏 踊 手 美学

醜い美学 あ 舞踏 現代バ 美学 身体 理想的 動 え

拒絶 彼 見 い 心 脆 必滅 死 身体 あ

“Young and aging”

禁色 場人物 檜俊 有 作家 あ 彼 老化 避 ほ

老化 憎 舞踏 探求 進歩 動 あ 生

大人 あ あ 老化 表現 地 落 死

至 進歩 動 ニ 動 演 舞踏 前へ

進 抑え 虐 状況 あ わ 身体コ 見

出 動 解釈 自 自身 内面 変化 自 自身

外見 起 変化 直面 人間 問題 表現 い

(3)

xv

Universitas Kristen Maranatha

“Life and death”

物語 俊 向 う あ 場人物 死 強迫観念 持 死

生 強 感 考え い 死 対 自覚 い 生

え自覚 い あ 舞踏 生 死 融合 あ 簡単 言え 死

体性 落 浮 一 あ 舞踏 再び立 え

禁色 舞踏 恐怖 芸術 言 いい 恐怖 人 混乱 魂 燃え

尽 崩壊 使わ 芸術 崩壊 状態 不安定 状

況 精神的 恐怖 え 激 揺 一 夫

柱 読者 調和

結論

日本 舞踏 禁色 創作的 作品 9 年代 生 当時

作品 ほ 戦争 解 放 新 人 主義 探 い 姿

映 出 い 日本 芸術家 現代日本人 心理状態 作品 中心

例え 孤独 悲劇的 破壊的 あ 死 う 人

巨大 闇 包 う 現代読者 一緒 苦 あい い

結局 禁色 舞踏 創作的関係 作者 作品 カタ

魂 開放 形 あ 暴力 種 芸術文化 破壊 形 建設

的 い方向へ文 前進 ネ 読者 創作的 怒

社会批判 創作的 作品 形 状況へ

(4)

xvi

Universitas Kristen Maranatha

筆者 伝え い 以 あ 研究 単 言葉 束

いい社会 人生 禁色 恐怖 舞踏 暴力

(5)

viii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ………. v

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR GAMBAR ……… x

DAFTAR LAMPIRAN ……… xi

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1Latar Belakang ….……… 1

1.2Pembatasan Masalah ……… 7

1.3Tujuan Penelitian ………. 8

1.4Pendekatan dan Metode Penelitian ……….. 8

1.5Organisasi Penulisan ……… 11

BAB II PENDEKATAN DAN LANDASAN TEORI ……….. 13

2.1Hermeneutika ……….. 13

2.2Teori Estetika ……….. 19

2.2.1 Jerzy Grotowski: Menuju Teater Miskin ……….. 24

(6)

ix

Universitas Kristen Maranatha BAB III KESENIAN JEPANG: DARI YUKIO MISHIMA HINGGA SENI

BUTOH ... 29

3.1Menilik Dinamika Kesenian Jepang Pasca Perang Dunia II …….. 29

3.2Yukio Mishima: Hidup dan Karyanya ……… 34

3.3Butoh, Hijikata dan Perjalanannya ………. 37

BAB IV TUBUH DALAM NOVEL KINJIKI DAN SENI BUTOH ... 41

4.1Novel Kinjiki yang Mendasari Estetika Tubuh Butoh ………….. 41

4.1.1 Beauty and Ugliness ……….. 42

4.1.2 Youth and Aging ……… 59

4.1.3 Life and Death ……… 72

BAB V SIMPULAN ……… 92

DAFTAR PUSTAKA ……….. 95

LAMPIRAN ………. xii

SINOPSIS ... xiii

(7)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR

(8)

xi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Novel Kinjiki dan Seni Butoh Sebagai Seni Teror………….. 100 Lampiran 2 Beberapa foto pertunjukan Butoh, kondisi Jepang

pasca Perang Dunia, Yukio Mishima, dan poster

(9)

LAMPIRAN

Novel Kinjiki dan Butoh Sebagai Seni Teror

Sebagai bagian masyarakat interpretasi, penulis menyadari bahwa dalam proses menilai karya seni adanya jurang pemisah antara para seniman dengan penonton umum; antara akademisi dengan masyarakat; antara intelektualis dengan penonton dari kalangan biasa. Belum tentu penonton (audience) dari kalangan umum tersebut mampu membahasakan pesan intrinsik seperti layaknya para akademisi, seniman atau intelektualis. Acapkali penonton umum hanya melihat pesan dari permukaan saja—tidak sampai menembus pada hal yang paling fundamental dari seni itu sendiri. hal yang paling fundamental dari seni berupa pesan moral yang ingin disampaikan kepada penikmatnya.

Tidak dipungkiri bahwa penikmat seni memiliki latar belakang sosial dan pendidikan yang berbeda-beda. Interpretasi yang akan munculpun beragam pula. Disinilah tantangan penulis menempatkan pendekatan hermeneutika untuk mengimbangi dan mempertemukan dalam satu pandangan khusus. Seperti halnya dalam penelitian ini, penulis adalah seorang akademisi yang juga berkecimpung dalam seni teater tubuh, penulis menemukan adanya pengaruh estetik yang diserap dari novel Kinjiki hingga terefleksikan dalam gerak tubuh Butoh. Secara filosofi dan melalui teori estetika pun penulis melihat bagaimana tubuh itu dieksplorasi dan adanya kesamaan dalam sistem pelatihan lakon gaya Grotowski. Demikianlah penulis meramu dan merumuskan menjadi satu kesatuan yang utuh. Semua telah dikupas demi melihat tubuh dan filosofi dibalik gerak tubuh itu sendiri.

(10)

mengajarkan bahwa pembaca merupakan anggota dari komunitas interpretatif— kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas dan pemaknaan umum, serta menggunakannya dalam pembacaan mereka. Dengan demikian, pemaknaan juga terletak dalam komunitas interpretatif pembaca umum.

Pertama dari novel Kinjiki. Sebagai novel yang mengangkat tema hubungan sejenis, masyarakat umum dapat mengklaim sebagai sastra subversif karena wacana homoseksual masih tabu dikalangan umum (setidaknya pada masanya). Sementara dari isi cerita—kematian, keburukan, kenistaan menjadi sebuah tema yang depresif. Tingkat sastrawi yang cukup samar, tema homoseksual dan kisah yang depresif itu bisa saja novel ini dicap sebagai novel yang berisikan banyak ‘terror’ mental bagi pembacanya.

Tidak berhenti sampai disitu, saat kalangan umum menyaksikan sebuah pertunjukan seni Butoh, Penonton dari kalangan umum akan disuguhi sebuah seni yang bersifat keras dan menjadi terror visual baginya. Butoh merupakan tarian kegelapan, adanya ketelanjangan, gerak liar, keheningan, tanpa kata, menghilangkan batas estetik yang selama ini mapan oleh dekorasi dan tata panggung, ekspresi kesakitan, keanehan (grotesque), juga terkadang mengeksplorasi bentuk seksualitas. Butoh tidak lagi merupakan seni penghibur (entertaiment) melainkan membawa penontonnya untuk merenung. Semua idiom diatas menjadi semacam kekerasan visual yang meneror kepada penonton. dalam sub-bab berikutnya penulis akan menjelaskan bagaimana dan latar belakang seni terror yang dimaksud.

Seni Teror; Seni Untuk Perubahan

(11)

mengangankan bahwa teater di atas panggung tidak lain sebagai bentuk "kekerasan", semacam teror bagi penonton. Jerzy Grotowski dalam satu kesempatan pernah mengatakan bahwa:

Suatu tanda mata, kenang-kenangan. Bahwa anarki dan kekacauan haruslah dihubungkan dengan rasa tertib aturan, yang ia (Artaud) susun dalam pikiran dan bukan sebagai suatu teknik fisik. Masih pantas untuk dikutip sebuah frase untuk mereka yang menamakan dirinya murid Artaud: “cruelty is rigours”, ya, kekejaman itu keras, kasar!1

Setengah abad kemudian, sastrawan dan dramawan negeri ini, Putu Wijaya, mendeklarasikan hal yang serupa. "Cerita pendek adalah teror mental kepada manusia," tulis Putu Wijaya dalam kredo penulisan kreatifnya, Gres (Kumpulan

Cerpen, 1982: 9). Kata ‘cerita pendek’ tentu saja bisa diganti dengan kata teater,

novel, naskah drama, atau yang terkait dengan kerja kreatif.

Masih dalam Gres, Putu Wijaya selanjutnya merumuskan "estetika teror"-nya sebagai berikut: "Pengertian teror tidak hateror"-nya berarti memorak-porandakan apa yang sudah tersusun rapi. Teror mengacau dan membakar agar jiwa manusia ambruk. Tetapi, sebuah seni juga adalah teror mental bagi keadaan yang ambruk, keadaan yang tidak stabil, agar terguncang lebih keras sehingga akhirnya pada puncaknya bersatu kembali dalam satu tiang yang kuat dan mengembalikan harmoni pada manusia pembaca dan penikmatnya.”

Kekerasan dalam kaitan sikap estetika, namun dalam model yang lain, misalnya dilakukan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pangkal kreativitas Pram adalah "kemarahan". Marah terhadap keadaan, marah terhadap perlakuan tidak adil, baik yang menimpa dirinya ataupun masyarakatnya, marah terhadap nilai-nilai budaya yang menindas orang-orang yang termarjinalkan. Semua itu telah

1

(12)

menerbitkan "kemarahan kreatif" dalam diri Pram. Jika kemudian "kemarahan" ini mensublim, maka kemarahan tersebut pun akhirnya berbuah karya kreatif.

Tentu saja dalam hal ini penulis bukan hendak masuk kedalam pandangan Antonin Artaud, Putu Wijaya atau Pram tetapi, yang terpenting hendak penulis soroti, bagaimana dalam hal ini, kekerasan juga dibutuhkan dalam kehidupan, tinggal bagaimana manusia me-manage-nya. Dalam tradisi filsafat, misalnya, juga dikenal

adanya ‘metode dekonstruksi’. Apabila sebuah bangunan (konstruksi) sudah usang,

rusak, yang sudah tidak mungkin lagi dibangun ulang (rekonstruksi), atau setidaknya jika dibangun lagi akan memakan biaya yang jauh lebih mahal, tentu pilihan yang lebih tepat adalah dirobohkan (dekonstruksi) agar bisa dibuat bangunan yang baru di lokasi yang sama.

Pada akhirnya, dalam kaitan proses kreatif seperti dalam konteks ini tubuh dalam novel Kinjiki dan seni butoh—karya seni bagi penciptanya bisa berfungsi menjadi semacam bentuk katarsis, pelepasan jiwa, sehingga "bakat-bakat kekerasan" dalam diri senimannya tidak lagi terekspresikan secara verbal dalam bentuk perusakan-perusakan, vandalisme, tetapi menjadi suatu yang konstruktif dan bernilai positif bagi perkembangan peradaban. Bagi pembaca, kemarahan kreatif ini mewujud dalam bentuk penikmatan seni bernuansa kritik sosial, karena pada hakikatnya "kemarahan terhadap keadaan" tersebut, jika diekspresikan dalam bentuk karya kreatif, jadilah seni kritik sosial.

(13)

sehingga harus selalu berbentuk seni slogan. Tetapi, protes tersebut bersifat sublim, tidak langsung, hanya bisa ditangkap dengan penghayatan yang serius dan mendalam.

Seperti contohnya, melalui media massa sering dijumpai, bagaimana bangsa ini cenderung mengekspesikan kemarahan-kemarahannya dalam bentuk verbal. Demonstrasi acap kali diikuti dengan perusakan-perusakan. Ketidakpuasan terhadap keadaan atau sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengeboman. Bagi penulis jawaban terhadap pertanyaan ini bisa beraneka ragam. Bisa diinterpretasikan karena masyarakat mengalami frustrasi sosial yang demikian akut. Bisa juga karena ekspresi-ekspresi yang dibungkam oleh kekuasaan yang tidak apresiatif terhadap kebebasan. Seni terror hadir dan merangsang masyarakat untuk "mengelola kemarahan" secara lebih berbudaya. Lewat karya kreatif salah satunya.

(14)

His first public performances were wild, primal and sexually explicit. They quite naturally shocked the conservative Japanese dance community, and he was banned from appearing at future organized events. This was the spark that gave birth to butoh. Many of Japan's dancers, poets, visual artists and theatre performers rallied around this exciting and dangerous new art form. Underground performances became increasingly popular, and soon there were numerous groups being formed in the Tokyo area. Musicians, photographers and writers including Japan's leading novelist, Yukio Mishima joined Hijikata to collaborate on spectacular underground performances.2

Pertunjukan pertama [Hijikata] begitu liar, primal dan eksplisit secara seksual. Mereka secara alamiah mengejutkan komunitas tari konservatif Jepang, dan ia dilarang untuk tampil di acara-acara terorganisir di masa depan. Ini adalah percikan yang melahirkan Butoh. Banyak penari Jepang, penyair, seniman visual dan pemain teater berunjuk rasa sebagai bentuk berkesenian yang baru, menarik namun berbahaya. Pertunjukan bawahtanah menjadi semakin populer, dan cepat meluas dari kelompok yang dibentuk di daerah Tokyo ini. Musisi, fotografer dan penulis termasuk novelis terkemuka Jepang, Yukio Mishima bergabung bersama Hijikata untuk berkolaborasi pada pertunjukan spektakuler bawah tanah.

Penulis juga menemukan bukti bahwa Yukio Mishima pernah terlibat secara langsung dalam gerakan kesenian Butoh bersama Hijikata, dimana dalam buku

Butoh—Shades of Darkness karangan Jean Viala, Nourit Masson-Sekine, Mishima

Yukio pernah berbicara tentang kesannya terhadap Hijikata:

Mr. Tatsumi Hijikata has just secretly informed me that he will once again celebrate an heretical ceremony. I look forward to attending it, and for the occasion am preparing a black mask and mysterious perfumes for myself. Classical and avant-garde literature are in a state of crisis. But I can always find a symbolic, modern language in his work”—Mishima Yukio

Tuan Tatsumi Hijikata baru saja diam-diam memberitahu saya bahwa ia akan sekali lagi merayakan upacara sesat. Saya berharap untuk bisa

2

(15)

menghadirinya, dan untuk acara tersebut sedang dipersiapkan topeng hitam dan parfum misterius untuk diriku sendiri. Klasik dan sastra avant-garde berada dalam keadaan krisis. Tapi aku selalu bisa menemukan bahasa, simbolik, bahasa modern dalam karyanya "—Mishima Yukio

Dengan demikian novel Kinjiki dan genre seni Butoh merupakan keragaman yang termasuk karya avant-garde, peran avant-garde pada zamannya menjadi teror dan provokator dalam menentang segala bentuk tradisi dan institusi seni yang mengekang. Avant-garde tampil untuk mendekonstruksi apa yang menjadi cacat-cacat estetika modern. Avant-garde selalu punya kemampuan untuk membuat kita berpikir secara baru. Karya seni tidak terbatas di atas landasan realisme, tetapi justru berdiri di dalam realitas yang senantiasa beragam. Dimana karya seni avant-garde selalu mengoncang dan karakteristik karya berupa pemberontakan terhadap nilai-nilai dan aturan-aturan yang mapan sebelumnya, yaitu sebagai seruan penolakan terhadap bentuk tradisi. Hal ini dapat dicermati melalui gaya penulisan Yukio Mishima yang meninggalkan cara penulisan sastra tradisional menuju gaya modern dan Kinjiki yang memuat kisah homoseksual sebagai idiom tabu; seni Butoh yang meninggalkan batas artistik yang selama ini bercitra rasa ‘cantik’ menuju ‘aesthetic of ugliness’; sementara Grotowski dengan konsep ‘teater miskin’ sebagai upaya lepas ketergantungan seni tinggi atau seni kaya yang telah ‘diperbudak’ oleh teknologi artistik.

(16)

LAMPIRAN FOTO

First Performance of Kinjiki (Forbidden Colors)

(May 24, 1959)

"The boy survives violation by the old male prostitute of the Mishima's original 'Forbidden Colors,' who leads a life of darkness until death. "Forbidden Colors in Two Parts" presents

Hijikata's pursuit of life's harsh realities."

Source:

(17)

June 15, 1960: A protest at the Diet against revision of the Japan-U.S. Security Treaty turned violent and resulted in the death of a 22-year-old college student on June 15, 1960. Protests continued outside the Diet until Prime Minister Nobusuke Kishi announces his were trying to block a vote on the treaty.

Massive protests continue in Tokyo. The confusion leads to U.S. President Dwight Eisenhower canceling a scheduled trip to Japan. Prime Minister Nobusuke Kishi takes responsibility for the confusion and resigns in July. Kishi's successor, Hayato Ikeda, takes a more low-key approach and focuses on doubling the national income.

(18)

Hakutoboh (White Peach Company)

Ashikawa Yoko and Kobayashi Saga, 1970

An example of the kind of public dance performances and improvisations that were performed by Hijikata and associated dancers in the 1960s and 70s.

Photo of Hijikata with Self-Defense Forces (on their way to a

demonstration), 1969

Photo: Masahisa Fukase Source:

(19)

A famous image of Mishima posing as St. Sebastian. An image that caused the first erotic impulse in Mishima when he was a child.

Source:

(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di kota Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 02 Juli 1985 dari ayah yang bernama Dadang Kusnandar dan ibu bernama Inge Hany Gany. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di kota Batam, penulis hijrah ke Bandung untuk melanjutkan studi dan diterima di Fakultas sastra Jepang Universitas Kristen Maranatha dan tamat tanggal 14 Juni tahun 2013.

(29)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB l

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini wacana tubuh telah masuk sebagai salah satu agenda penting dalam kajian budaya, tubuh telah memantapkan posisinya sebagai titik pusat diri. Ia adalah medium yang paling tepat untuk mempromosikan dan memvisualkan diri sendiri. Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri kita, sekaligus penyedia ruang-ruang tak terbatas untuk memamerkan segala jenis bentuk identitas diri. Tubuh juga bisa dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang; ia terus menerus dibongkar-bongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara besar-besaran, didandani, disakiti, dibuat menderita atau didisiplinkan, untuk mencapai efek gaya tertentu dan menciptakan cita rasa individualitas tertentu. Namun itulah pandangan tubuh dalam khazanah kebudayaan Konsumen, lantas bagaimana tubuh jika dilihat dari wilayah kesenian khususnya seni pertunjukan?

(30)

2

Universitas Kristen Maranatha mempunyai ketrampilan khusus dalam menyampaikan dialognya. Selain itu juga melatih alat ucapnya seperti mulut, lidah dan tenggorokan serta pernafasan.

Aktor di atas panggung dalam mengungkapkan peran akan selalu berhadapan dengan berbagai masalah yang menyangkut masalah tubuh. Sehingga dalam hal ini sangat penting dilakukan oleh aktor adalah mengolah peralatan tubuhnya sehingga tubuh aktor benar-benar terlatih secara teknis maupun penjiwaannya. Max Arifin mengatakan “Seorang aktor tidak akan mengulangi dua kali gesture yang sama, tetapi ia menggerak-gerakan tangan, bergerak dan walaupun ia melebih-lebihkan bentuk seakan-akan ia merusaknya sambil memproduksi kelanjutannya” (Max Arifin, 68: 2009).

Dalam perkembangan teater pada masa kini, tubuh tidak hanya digunakan sebagai media untuk menyatakan dialog yang ada pada naskah. Saat ini banyak kelompok teater yang melahirkan bentuk teater yang memanfaatkan tubuh sebagai media utama penyampaian peristiwa, kata-kata yang lahir dari teater ini adalah tubuh yang memproduksi makna-makna di panggung.

(31)

3

Universitas Kristen Maranatha ini tidak mengejar bentuk gerak sebagai hasil akhir dari gerak tubuh, melainkan menekankan pada proses lahirnya gerak.

Tubuh sebagai proses dialog menjadi sebuah eksplorasi yang tidak pernah selesai dari beberapa kelompok teater yang memilih proses ini. Dalam pertunjukan hampir tidak ada dialog yang keluar dari mulut aktor, kalaupun ada hanya sebagai hasil dari ekspresi tubuh. Kekuatan, kelenturan dan keseimbangan tubuh menjadi dasar-dasar latihan yang dipakai oleh kelompok teater yang memilih tubuh sebagai proses dialog, bukan alat penyampai dialog naskah. Tubuh menjadi tujuan itu sendiri, maka tidak diperlukan lagi cerita yang baku, karena tubuh itu sendiri adalah naskah, yang di dalamnya ada plot, karakter, konflik, stuktur, irama bahkan pernyataan-pernyataan, maka proses ini akan menemukan ‘bahasa’ tubuh.

Bahasa tubuh di sini tubuh sebagai ekspresi untuk melahirkan pengalaman personal pada setiap penonton, membebaskan setiap orang untuk melanjutkan imajinasinya sehingga akan melahirkan pengalaman spiritual dari tubuh itu sendiri. Tubuh di sini hanyalah pancaran energi untuk membangkitkan penghayatan yang ada pada penonton yang hanya akan diketahui sampai lakon itu berakhir, dari sini muncul presepsi dalam diri penonton yang pastinya berbeda-beda.

(32)

4

Universitas Kristen Maranatha media utama menyampaikan gagasan dalam setiap pementasannya. Menurut Tony Broer dalam GONG—majalah Seni dan Budaya, mengatakan;

Tubuh adalah refleksi dari ekspresi personal untuk menumbuhkan suatu interpretasi pembaca terhadap penonton. Tafsir terhadap ini tentu akan berbeda dari setiap kepala. Sehingga pembacaan dari media ini akan sangat tergantung dari tema apapun, isu-isu yang sebelumnya telah ditawarkan pada penonton, mind-set penontonpun terbentuk sebelumnya untuk kemudian merangkai ekspresi tubuh sebagai bahasa atau paling tidak mendapat suatu impresi.

(Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer: 2009, p.24)

Tubuh yang bebas, sebenarnya tidak bebas. Kebebasan itu sendiri juga terikat. Teater tubuh adalah juga teater verbal dan konvensional, bila bahasa dan seluruh idiomnya pada suatu saat mulai mapan. Teater bukan hanya pertunjukan yang bertutur dengan bahasa yang dikenal sebagai drama, tetapi juga pertunjukan yang “berbahasa” dengan tubuh, rupa dan bunyi. (Putu Wijaya, 23: 2008)

Jika di Bandung kita mengenal Teater Payung Hitam yang memanfaatkan ‘bahasa’ tubuh sebagai media utama penyampai gagasan, maka di Jepang kita mengenal Butoh (舞踏). Sebagai satu aliran, Butoh belum terlalu tua, Ia baru lahir tahun 1960-an di Jepang di bawah payung yang disebut avant-garde.1 Pada tahun 1959, Tatsumi Hijikata— salah satu penggagas dan pelopor dalam gerakan ini – untuk pertama kalinya menampilkan tari Butoh yang terinspirasi dari novel Yukio

1

(33)

5

Universitas Kristen Maranatha

Mishima yaitu Karyanya yang bertajuk “Kinjiki” (Forbidden Colors). berangkat dari

nama yang sama, dalam pertunjukan itu ia menghilangkan sama sekali unsur musik dan teknik-teknik tari yang dianggap tidak natural bagi tubuh.2 Dimana karya tersebut dimainkan oleh dua penari, Hijikata dan Yoshito Ohno. Dikemudian hari, di bawah bendera Avant-garde, aliran tari itu dinamakan ‘Ankoku Butoh’ (Dark Dance of The

Soul). Dan sekarang aliran tari ini dikenal dengan nama ‘Butoh’.

Gerakan kesenian Butoh menjadi pelopor dari munculnya semangat eksplorasi pada tubuh dimana Butoh tidak menjadi sebuah tarian yang baku. Butoh menjadi bentuk seni pertunjukan yang baru pada waktu itu. Sekitar tahun 70-an, butoh mulai di kenal diluar Jepang dan sampai sekarang menjadi metode eksplorasi tubuh dan digunakan sebagai dasar latihan kelompok teater yang memilih bentuk tubuh sebagai media ekspresi.

Dalam dunia tari, tubuh menjadi dasar seorang penari, karena peristiwa disampaikan dengan tubuh yang sudah dibentuk dengan pola-pola gerakan tertentu sesuai dengan tema yang akan disampaikan, seperti yang dikatakan Lois Ellfeldt, bahwa tari sebagai ekspresi seni menciptakan imange gerak yang membuat kita menjadi lebih sensitif terhadap realitas… (Iyus Rusliana, 2001: 7), penyampaian tema melalui tubuh yang telah dipola dan gerak yang telah ditentukan, menyebabkan tema yang akan disampaikan bisa dinikmati dari gerakan tubuh.

Kembali melihat Yukio Mishima dan salah satu karyanya yang dikatakan

2

(34)

6

Universitas Kristen Maranatha memiliki pengaruh besar terhadap terbentuknya seni Butoh, Kinjiki 禁色merupakan ungkapan pelembutan kata yang diarahkan kepada hubungan homoseksualitas. Kanji

禁 berarti “Forbidden” sementara 色 pada konteks ini berarti “erotic love”, juga

dapat diartikan sebagai “color”.Kata “kinjiki” juga dapat ditafsirkan dimana warna -warna terlarang menjadi representasi keletihan masyarakat Jepang pada berbagai nilai sosial.

Novel kinjiki juga memiliki elemen tematis yang fundamental terhadap dikotomi antara indah dan jelek; muda dan tua; kehidupan dan kematian. Dan secara umum keseluruhan karya-karya Mishima banyak mengangkat tema pertentangan konseptual antara nilai tradisional Jepang dan ketandusan spiritualisme pada kehidupan kontemporer.

Yukio Mishima (三 島 由 紀 夫) lahir di Tokyo (1925-1970). Ia pernah

mencoba menjadi pasukan militer pada saat perang dunia II namun gagal, lantas sebagai gantinya ia bekerja di perusahaan maskapai. Setelah perang usai, ia melanjutkan studinya di bidang hukum dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu di departemen keuangan. Novel perdana Mishima adalah Confessions of a Mask(仮面の

告白, Kamen no kokuhaku) yang lahir tahun 1945, sebuah novel autobiografis yang

(35)

7

Universitas Kristen Maranatha

閣寺 Kinkakuji) mengajak pembaca dengan lukisan kata tentang seorang muda yang

terobsesi antara agama dan keindahan. Selanjutnya The Sailor Who Fell from Grace

with the Sea (午後の曳航, Gogonoeikō) tahun 1963, adalah kisah yang mengerikan

tentang kecemburuan anak remaja. Serta empat volume novel epik yakni Spring Snow

(春の雪, Haru no yuki), Runaway Horses (奔馬, Honba), The Temple of Dawn dan

Decay to the Angel (天人五 , Tenjingosui) adalah mengenai transformasi Jepang

menuju sebuah modernisme namun yang ada hanyalah kemandulan masyarakatnya saja.3 Mishima adalah salah seorang dari deretan penulis yang memilih jalan bunuh diri, kematian dengan Seppuku-nya merupakan salam akhir dari protes melawan lemahnya modernisme Jepang yang saat itu sedang berlangsung.

1.2 Pembatasan Masalah

Karya sastra dan seni performa sebagai dua objek penelitian yang multidimensi dalam artian dapat ditinjau dan diamati dari berbagai sisi dan sudut pandang, tentunya memerlukan pembatasan-pembatasan agar penelitian tetap berjalan dalam sebuah kerangka berpikir yang jelas dan membantu seorang peneliti agar lebih terarah dan mencapai hasil yang semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan penelitian tersebut. Oleh karena itu untuk lebih memfokuskan penelitian dan mengkerucut permasalahan, kajian dibatasi pada pemaparan gambaran tubuh melalui teks-teks

3

(36)

8

Universitas Kristen Maranatha yang termuat dalam dialog, monolog maupun narasi. Langkah berikutnya penulis melakukan interpretasi studi tubuh dari novel ‘Kinjiki’ tersebut lantas mengkaitkan kepada idiom dan falsafah ‘bahasa’ tubuh pada seni Butoh.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan pokok penulisan adalah menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan secara empiris berdasarkan data dan fakta. Suatu penelitian disusun untuk mencapai suatu tujuan atau maksud yang diharapkan. Tujuan yang ingin dicapai penulis adalah memecahkan persoalan seperti apakah gambaran tubuh dan falsafah seni Butoh yang terefleksikan dalam novel Kinjiki bila ditinjau melalui teori Estetika?

1.4 Pendekatan dan Metode Penelitian

(37)

9

Universitas Kristen Maranatha peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang fundamental dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah penulis melihat hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna dan simbol” yang terkandung di dalamnya. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode

pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai. Ricoeur menyatakan bahwa:

Hermeneutics is a theory that deals with text interpretation. This theory is commonly used as a method to understand a text although Hermeneutics itself does not explicitly formulate the practical steps to understand a text. Among the theories of interpretation, Hermeneutics has various sub-interpretation theories. In the perspective of Hermeneutics, the initial stage of interpretation involves the objective interpretation of a text before symbolization is made. The message of the text is then related to the other elements of the texts such as the sender of the text, other related disciplines, and socio-cultural aspect of the text. The understanding of a text will eventually be identical with the quality improvement of the interpreter’s own self. However, in practice, Hermeneutics can be used to intrepret various texts.

(Ricoeur: 1981, p.14)

(38)

10

Universitas Kristen Maranatha interpretasi teks sebelum simbolisasi dibuat. Pesan teks kemudian terkait dengan unsur-unsur lain dari teks-teks seperti penyampai teks, terkait oleh disiplin ilmu lainya, dan aspek teks sosial-budaya. Pemahaman teks akhirnya identik dengan peningkatan kualitas diri sendiri sebagai penafsir. Namun, dalam praktiknya, Hermeneutika dapat digunakan untuk intrepret berbagai teks.)

Dengan demikian pendekatan Hermeneutika sangat mempersoalkan bagaimana interpretasi berfungsi menunjuk arti, mengkatakan, menuturkan, mengungkapkan, membiarkan tampak dan membukakan sesuatu yang merupakan pesan realitas. Sementara landasan teori yang penulis gunakan adalah teori Estetika. Estetika adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya. Dengan kata lain, estetika dapat disebut sebagai suatu paparan mengenai pengalaman subjek tentang suatu yang indah, apakah itu keindahan alam ataupun keindahan sebuah karya cipta manusia. Teori-teori dalam estetika mengenai objek dan pengalaman keindahan dapat diterapkan, baik untuk objek-objek alam maupun untuk karya seni. Tapi umumnya apresiasi seni biasanya hanya berlaku untuk karya seni sebagai objek filsafat keindahan atau estetika.

(39)

11

Universitas Kristen Maranatha penelitian ini, penulis menerapkan teori estetika yang bersifat holistik, yakini mengambil sudut pandang beberapa pemikir hingga membentuk bagunan teori yang bersentuhan dengan tema yang diangkat yaitu studi tubuh yang dilihat dari novel ‘kinjiki’ karya Mishima Yukio terhadap seni butoh

1.5Organisasi Penulisan

Agar karya tulis yang dihasilkan menjadi sistematis, penulis menguraikan penulisannya menjadi beberapa bab, subbab dan anak subbab dalam organisasi penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini dibagi menjadi lima subbab yaitu latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, pendekatan dan metode penelitian dan organisasi penulisan.

BAB II PENDEKATAN DAN LANDASAN TEORI

(40)

12

Universitas Kristen Maranatha BAB III KESENIAN JEPANG: DARI YUKIO MISHIMA HINGGA SENI

BUTOH

Bab ini dibagi menjadi tiga subbab, yaitu Melihat bagaimana dinamika kesenian Jepang Pasca Perang Dunia II, kedua mencermati Mishima Yukio: Hidup dan Karyanya. Sementara subbab ketiga mengenai seni Butoh dan perjalanan Hijikata sebagai pendirinya.

BAB IV TUBUH DALAM NOVEL KINJIKI DAN SENI BUTOH

Bab ini dibagi dua bab yaitu tentang novel “Kinjiki” lalu masuk pada bab selanjutnya yang paling penting yaitu Analisa Estetika Tubuh Butoh yang Didasari Novel Kinjiki, lantas dibagi menjadi tiga subbab dari tema besar dalam Kinjiki yakni tentang Beauty and Ugliness;

Youth and Aging; dan Life and Death.

BAB V SIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

SINOPSIS

(41)

92

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis mengenai kesesuaian konsep tubuh antara Novel Kinjiki dan seni Butoh, bahwa narasi dalam teks novel Kinjiki dan seni Butoh memiliki kesesuaian, khususnya dalam hal keberadaan tubuh. Keduanya memiliki tiga elemen tematis atas dualisme antara

beauty and ugliness; young and aging; life and death. Penulis telah melakukan proses

interpretasi di bab analisa dan melalui interpretasi tersebut, penulis membatasi penelitian hanya kepada penafsiran gerak tubuh dalam ruang lingkup teori estetika. Bagaimana eksprorasi tubuh Butoh tersebut dapat didekatkan melalui teori estetikayang dikembangkan oleh Jerzy Grotowski.

Seni apapun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktifitas yakni interpretasi dan penafsiran. Dengan demikian hermeneutika berfungsi menunjuk arti, mengatakan, menuturkan, mengungkapkan, membiarkan tampak dan membukakan sesuatu yang merupakan pesan realitas. Maka dalam penelitian ini, penulis dapat menjabarkan simpulan sebagai berikut.

(42)

93

Universitas Kristen Maranatha mengandung sisi yang mendalam karena mengendapkan sisi-sisi kehidupan yang tidak termanifestasikan. Selaras dengan apa yang diserap Butoh, estetika tubuh seorang penari butoh adalah aesthetic of ugliness. Gerakan Butoh menolak standar keindahan modern, termasuk idealisme tubuh. Berlawanan dengan keanggunan dan keelokan tubuh, justru yang mereka tonjolkan adalah sisi kelam tubuh. Novel Kinjiki dan seni Butoh dapat diinterpretasikan bahwa keduanya berupaya untuk menelanjangi diri manusia agar bisa memahami dirinya sendiri dan dunia yang melingkupinya, dengan jalan membongkar segala keburukan dan kejelekan dari diri manusia, baik yang sifatnya fisik maupun yang non fisik. Dari proses pembongkaran ini maka manusia dibawa ke dunia transendental, yang akhirnya akan melahirkan jawaban atas pertanyaan mengenai esensi dan eksistensi kehidupan. Dengan kata lain ‘idea of

beauty’ dalam novel Kinjiki dan Butoh, adalah upaya bagaimana memahami dan

merasakan ‘sesuatu diluar dirinya’.

(43)

94

Universitas Kristen Maranatha menghadapi perubahan dalam dirinya serta pergulatan dengan perubahan-perubahan yang berlangsung di luar melalui gerak tubuh yang bermuara dari kelahiran-menjadi muda-beranjak dewasa-hari tua-hingga kematian.

(44)

95

Imagination. London and New York: Routledge

Edwards, Paul (1960) Encyclopedia of Philosophy vol. VII Chicago The Encyclopedia Britanica Inc.

Feitosa, Charles & (2001) Alterity in Aesthetics: Reflections on Ugliness (Ken-ichi Sasaki, Editor) Journal International Yearbook Of Aesthetics, Volume 5)

Grotowski, Jerzy. (2002). Toward Poor Theater, Menuju Teater Miskin. (Max Ariffin, Penerjemah). Yogyakarta: kerjasama MSPI dan arti.

Gaut, Berys, & Lopes, Dominic Mclver (Ed). (2002). The Routledge Companion to

Aesthetics. London & New York: Routledge

Hoffmann, Yoel, (1998). Japanese Death Poems, Written by Zen Monks and Haiku

Poets on the Verge of Death. Routland, Vermont and Tokyo, Japan: Charles E.

Tuttle Company.

Hikaru, Suzuki. (2003). The Japanese Way of Death. Dalam Handbook of Death and

Dying. edisi 2, oleh Clifton D. Bryant. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Hospers, John. (1967). Aesthetics, Problem of, dalam Paul Edwards (ed.), New York: The Encyclopedia of Philosophy.

Klein, Susan Blakeley. (1987). Ankoku Butō: The Premodern and Postmodern

Influences on the Dance of Utter Darkness. New York. East Asia Program:

(45)

96

Universitas Kristen Maranatha Kapland, David. (2002). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kasai, Toshiharu. (1999). A Butoh Dance Methode for Psychosomatic Exploration,

memoirs of the Hokkaido Institute of Technology, No.27.

Mishima, Yukio. (1964).禁色. Japan: Iichirou Mishima

Mishima, Yukio. (2008). Forbidden Colors, England: Penguin Books.

Mitter, Shommit. (2002). SISTEM PELATIHAN LAKON. Stanilavsky, Brecht,

Grotowski, Brook. Yogyakarta: kerjasama MSPI dan arti.

Poespoprodjo. (2001). Hermeneutika, Bandung: Penerbit Pustaka Setia.

Rusliana, Iyus (2001), Khazanah Tari Wayang, Bandung: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Press.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the Human Sciences, Essays on Language,

Action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.

Sumaryono. (1999). Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Synnott, Anthony. (2003). Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat, Yogyakarta, Jalasutra.

Sutrisno, Mudji, dkk. (2005). Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, Yogyakarta: Galangpress.

Subana, M, Sudrajat.S. (2001). Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: CV Pustaka Setia

Surakhmad, Winarno. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Penerbit Tarsito

Sasaki, Ken-ichi (Ed). (2001). ‘Alterity in Aesthetics: Reflections on Ugliness’ oleh Charles Feitosa, Jurnal International Yearbook of Aesthetics, Volume 5.

(46)

97

Universitas Kristen Maranatha II. ARTIKEL MAJALAH

GONG, Majalah Seni Budaya. Putu Wijaya: Teater Tubuh, Erotika dan Raga, edisi 102/IX/2008

GONG, Majalah Seni Budaya. Edisi 106/X/2009

GONG, Majalah Seni Budaya, Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer Edisi 108/X/2009

GONG, Majalah Seni Budaya, Min Tanaka: The Meaning of Dance Oleh Anastasia Melati, Edisi No. 106/X/2009

III. KARYA NONCETAK

Pina (2011). (directed by Wim Wenders). (DVD Movie)

Butoh Dance of Darkness (a documentary). (MP4 Video)

細江英公 / へそと原爆 (1960) (Eikoh Hosoe's film Navel and A-Bomb, featuring

Hijikata Tatsumi). (MP4 Video)

Mishima - a Life in Four Chapters (1985). (DivX Video)

IV. PUBLIKASI ELEKTRONIK

Art, Anti-Art, Non-Art: Experimentations in the Public Sphere in Postwar Japan,

1950-1970. (diakses 2011) March 6–June 3, 2007 at the Getty Center

http://www.getty.edu/art/exhibitions/postwar_japan/

Yukio Mishima (1925-1970) - Pseudonym for Hiraoka Kimitake. (diakses 2011)

http://www.kirjasto.sci.fi/mishima.htm

舞踏論 岡村唯史 (diakses 2011)

http://homepage2.nifty.com/abeni/butoh.htm

(47)

98

Prasojo, Galih. (diakses 2011) Tubuh Sepatu Kulit Monolog Perang Tony Broer http://www.gong.tikar.or.id/?mn=panggung&kd=55

Pandhuagie, FG. The Life of Butoh (diakses 2011)

http://www.gong.tikar.or.id/?mn=panggung&kd=42

Untoro, Ons. "EMPTINESS" PADA BUTOH JEPANG”. (diakses 2011) http://www.tembi.org/cover/2008/20081217.htm

The Phenomenon of Butoh. (diakses 2011)

http://tandenbutoh.blogspot.com/2007/07/phenomenon-of-butoh.html DeNatale, Bob. BUTOH AND WESTERN ART. (diakses 2011)

http://home.earthlink.net/~bdenatale/butohandwest.html Bruhm, Steven. Butoh: Dancing to Death (diakses 2011)

http://www.gothic.stir.ac.uk/guestblog/butoh-dancing-to-death/ McLeod, Don. History of Butoh. (diakses 2011)

www.zenbutoh.com/history.htm

Prideaux, Eric. Butoh: Dance in a Surreal Realm. (diakses 2011) www.pripix.com/features/butoh.htm

The Politics of Ugliness. (diakses 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Kristen Maranatha Tuntutan pekerjaan (job demands) yang keempat adalah tuntutan emosional (emotional demands) yaitu perasaan emosional yang dimiliki oleh guru

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat disimpulkan dengan adanya sistem pendukung keputusan untuk penerimaan karyawan pada Saudara

Hipotesis 1 : Kepemimpinan berkontribusi positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan. Hipotesis 2: Motivasi berkontribusi

Dengan diangkatnya topik ini diharapkan pihak BAPPEDA Kota Bukittinggi dapat bekerja sama dengan penulis dalam pembuatan laporan magang agar penulis dapat mengetahui proses

Target khusus dari penelitian ini adalah peningkatan kinerja UKM di Semarang dengan diterapkannya model jejaring wirausaha yang menggunakan pembelajaran eksploratif,

Berdasarkan golongan umur, kasus kematian balita di RSUD Kota Semarang pada tahun 2012 paling besar pada golongan umur 1 tahun yaitu sebesar 32 dan paling kecil pada

Telah mengikuti Mastaka, Masfak, dan MPH dibuktikan dengan melampirkan bukti berupa sertifikat / surat keterangan mengikutinya. Melampirkan surat rekomendasi dari himpunan

berhubungan dengan Prilaku Masyarakat yang menggunakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat dengan Kejadian Diare di Kampung Talang Jorong Pudung Kabupaten Agam... Bagi instansi