BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis Paru 2.1.1 Pengertian
Penyakit tuberkulosis paru adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk
basil, berukuran panjang 1 - 4 µ dan tebal
0,3 - 0,6 µ, dan tahan terhadap pewarnaan yang
asam sehingga dikenal sebagai Bakteri Tahan
Asam (BTA). Sebagian besar tubuh bakteri terdiri
dari asam lemak dan lipid yang membuatnya lebih
tahan asam dan bisa bertahan hidup
bertahun-tahun. Sifat lainnya adalah bersifat aerob
(lebih menyukai jaringan yang kaya akan oksigen),
terutama bagian apikal posterior (Bahal, 1990
dalam Satyo & Agustin 2007).
Selain menyerang paru-paru, sebagian
besar bakteri tuberkulosis juga dapat menyerang
membentuk granuloma dalam paru sehingga
menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan
(Yunus, 1989 dalam Satyo & Agustin 2007).
2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan pada hasil pemeriksaan, penyakit
TB Paru dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis
yaitu:
a. TB Paru BTA positif
Disebut TB Paru BTA positif apabila
sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif,
atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai
pemeriksaan radiologi paru menunjukkan
gambaran TB Paru aktif.
b. TB Paru BTA negatif
Apabila dalam pemeriksaan 3 spesimen dahak
SPS BTA negatif dan foto radiologi dada
menunjukkan gambaran TB Paru aktif. TB Paru
dengan BTA negatif dan gambaran radiologi
bila menunjukkan keparahan yakni kerusakan
luas dianggap berat.
c. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh di
luar paru, termasuk pleura yakni bagian yang
menyelimuti paru dan organ lain seperti selaput
otak, kulit, persendian, ginjal, saluran kencing,
dan lain-lain (Satyo & Agustin, 2007).
2.1.3 Gambaran Klinik 2.1.3.1 Gejala sistemik
Secara sistematis pada umumnya
penderita akan mengalami demam. Demam
berlangsung pada waktu sore dan malam
hari, disertai keringat dingin meskipun tanpa
kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala
ini akan timbul lagi beberapa bulan seperti
demam influenza biasa dan kemudian juga
seolah-olah “sembuh” atau tidak mengalami demam. Gejala lain adalah malaise (seperti
perasaan lesu) yang bersifat
enak badan, lemah lesu, pegal-pegal, nafsu
makan berkurang, badan semakin kurus,
pusing serta mudah lelah. Gejala sistematik
ini terdapat baik pada TB Paru maupun TB
yang menyerang organ lain (Yunus, 1992 &
Harrisons, 1991 dalam Satyo & Agustin
2007).
2.1.3.2 Gejala respiratorik
Gejala respiratorik atau gejala
saluran pernapasan adalah batuk. Batuk
bisa berlangsung terus menerus selama 3
minggu atau lebih. Hal ini terjadi apabila
melibatkan bronkus. Gejala respiratorik
lainnya adalah batuk produktif sebagai
upaya untuk membuang ekskresi
peradangan berupa dahak (sputum) yang
bersifat mukoid atau purulent. Terkadang
gejala respiratorik ini disertai batuk darah.
Hal ini disebabkan karena pembuluh darah
pecah akibat luka dalam alveoli yang sudah
lanjut. Batuk darah inilah yang sering
kerusakan sudah meluas, timbul sesak
napas dan apabila pleura sudah terkena,
maka disertai pula rasa nyeri dada (Satyo &
Agustin, 2007).
2.1.4 Faktor Resiko TB Paru 2.1.4.1 Kependudukan
Kejadian penyakit TB Paru merupakan
hasil reaksi antara komponen lingkungan
yakni udara yang mengandung basil
tuberkulosis dengan masyarakat serta
dipengaruhi berbagai variabel yang
mempengaruhinya (variabel
kependudukan). Variabel kependudukan
yang memiliki peran dalam kejadian
penyakit TB Paru yakni:
1. Jenis kelamin
Berdasarkan catatan statistik, meski
selamanya tidak konsisten, mayoritas
penderita TB Paru adalah wanita. Hal ini
masih memerlukan penyelidikan dan
perhatian lebih lanjut pada tingkat
pertahanan tubuh maupun tingkat
molekuler.
2. Umur
Resiko untuk mendapatkan penyakit TB
Paru dapat dikatakan seperti halnya
kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika
awalnya, kemudian menurun karena
usia diatas 2 tahun hingga dewasa
memiliki daya tangkal yang lebih baik
terhadap TB Paru. Puncaknya pada
dewasa muda dan menurun kembali
ketika seseorang atau kelompok
menjelang usia tua (Warren, 1994 &
Daniel dalam Harrison 1991 dalam
Satyo & Agustin 2007). Namun di
Indonesia diperkirakan 75% penderita
TB Paru adalah usia produktif, yakni
usia 15 hingga 50 tahun (Depkes, 2002
dalam Satyo & Agustin 2007).
3. Status gizi
Bakteri TB Paru merupakan bakteri
dan menimbulkan penyakit TB Paru
apabila memiliki kesempatan untuk
“bangun”. Oleh sebab itu, salah satu kekuatan daya tangkap adalah status
gizi yang baik, baik pada wanita,
laki-laki, anak-anak maupun dewasa.
4. Kondisi sosial ekonomi
Sembilan puluh persen penderita TB
Paru di dunia menyerang kelompok
sosial ekonomi lemah atau miskin.
Hubungan antara kemiskinan dengan
TB Paru bersifat timbal balik, TB Paru
merupakan penyebab kemiskinan dan
karena kemiskinan pula maka manusia
menderita TB Paru. Kondisi sosial
ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya
berhubungan secara langsung namun
dapat merupakan penyebab tidak
langsung seperti adanya kondisi gizi
memburuk serta perumahan yang tidak
sehat dan akses terhadap kesehatan
Rata-rata penderita TB Paru kehilangan
3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam
setahun. Mereka juga kehilangan
penghasilan dalam setahun yang secara
total mencapai 30% dari pendapatan
rumah tangga (WHO, 2003 dalam Satyo
& Agustin 2007).
2.1.4.2 Faktor resiko lingkungan
1. Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk merupakan
pre-requisite (faktor pendukung atau
prasyarat) dalam proses penularan
penyakit. Semakin padat jumlah
penduduk maka perpindahan penyakit
melalui udara akan semakin mudah dan
cepat. Departemen Kesehatan telah
membuat peraturan tentang rumah
sehat dengan rumus jumlah
penghuni/luas bangunan. Syarat rumah
dianggap sehat adalah 10 m2 per orang.
Jarak antara tempat tidur yang satu
sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2
orang, kecuali anak di bawah 2 tahun
(Depkes, 2003 dalam Satyo & Agustin
2007).
2. Lantai rumah
Lantai tanah memiliki peran terhadap
proses kejadian TB Paru yaitu melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai
tanah cenderung menimbulkan
kelembaban sehingga sangat
mempengaruhi viability (daya hidup)
bakteri TB Paru.
3. Ventilasi
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi
(pergantian udara) dalam rumah serta
mengurangi kelembaban. Uap air baik
dari pernapasan maupun keringat
manusia dapat mempengaruhi
kelembaban. Semakin banyak manusia
dalam suatu ruangan maka akan makin
tinggi pula kelembabannya.
banyak terdapat manusia di dalamnya
lebih tinggi dibandingkan kelembaban di
luar ruang. Adanya ventilasi akan
mengencerkan konsentrasi bakteri TB
Paru dan bakteri lain sehingga terbawa
keluar dan mati terkena sinar ultra
violet. Ventilasi juga dapat menjadi jalan
masuknya sinar ultra violet. Hal ini akan
semakin baik apabila konstruksi rumah
menggunakan genteng kaca karena hal
ini merupakan kombinasi yang baik.
4. Pencahayaan
Rumah sehat memerlukan cahaya
cukup, khususnya cahaya alam berupa
cahaya matahari yang berisi antara lain
ultra violet. Cahaya matahari minimal
masuk 60 lux dengan syarat tidak
menyilaukan.
5. Kelembaban
Kelembaban merupakan sarana baik
termasuk bakteri TB Paru sehingga
viabilitasnya lebih lama.
6. Ketinggian
Ketinggian secara umum
mempengaruhi kelembaban dan suhu
lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter,
selisih suhu udara dengan permukaan
laut sebesar 0,50 C. Disamping
berkaitan dengan kelembaban,
ketinggian juga berkaitan dengan
kerapatan oksigen. M. tuberkulosis
sangat aerob, sehingga diperkirakan
kerapatan oksigen di pegunungan akan
mempengaruhi viabilitas bakteri TB
Paru (Olander, 2003 dalam Satyo &
Agustin 2007).
Penyakit TB Paru akan cepat memburuk
jika pengidap TB Paru juga merokok atau mereka
sering keluar malam, karena udara malam tidak
sehat untuk penyakit paru-paru. Begitu juga bagi
pekat. Pekerja yang bekerja di lingkungan yang
udaranya sudah tercemar asap, debu atau gas
buangan juga harus lebih waspada (Satyo &
Agustin, 2007).
2.1.5 Penularan TB Paru
Sumber penularan adalah penderita TB
Paru dengan BTA positif. Apabila penderita TB
Paru batuk, berbicara, atau bersin, maka ribuan
bakteri TB berhamburan bersama “droplet” napas penderita yang bersangkutan, khususnya pada
penderita TB Paru aktif dan luka terbuka pada
parunya (Mandal dkk., 2006). Jika penderita TB
membuang ludah atau dahak yang mengandung
bakteri tuberkulosis sembarangan, ludah dan
dahak akan mengering dan bakterinya sangat
mudah diterbangkan angin. Karena itu harus
disiapkan tempat khusus untuk menampung dahak
penderita dan diberi desinfektan. Bakteri akan
mudah terhirup manusia dan masuk ke paru-paru
orang lain. Di dalam paru-paru bakteri TB akan
lama akan semakin banyak dan menggerogoti
paru-paru.
Akan tetapi tidak semua orang yang
terinfeksi bakteri tuberkulosis akan mengidap TB
Paru. Setiap orang memiliki kekebalan TB Paru jika
sejak bayi sudah diberi imunisasi BCG (Bacillus
Calmette Guerin). Penularan TB Paru dapat terjadi
di mana saja. Individu yang memiliki kondisi tubuh
yang lemah, kurang gizi, kekurangan protein,
kekurangan darah, dan kurang beristirahat akan
mudah tertular oleh penyakit TB Paru.
Bakteri tuberkulosis menyukai lingkungan
kotor dan kumuh karena dapat menyuburkan
pertumbuhannya. Hal itu didukung pula jika banyak
orang meludah dan membuang dahak
sembarangan, orang di sekitar penderita belum di
imunisasi BCG dan juga didukung oleh kondisi
kurang gizi.
Daya penularan dari seseorang ke orang
yang lain ditentukan oleh banyaknya bakteri yang
dikeluarkan serta lamanya seseorang menghirup
anak-anak, apabila TB Paru tidak diobati maka
dapat menyerang organ tubuh yang lain seperti
tulang, otak, ginjal dan getah bening. Pada orang
dewasa bakteri tuberkulosis hanya lebih sering
menyerang paru-paru dan apabila tidak diobati,
maka bakteri akan menyebabkan paru-paru
menjadi lunak kemudian hancur (Satyo & Agustin,
2007).
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopik langsung (Depkes, 2005
dalam Mandal dkk., 2006). Diagnosis pastinya
adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan
dahak. Pemeriksaan kultur memerlukan waktu
lama, hanya dilakukan bila diperlukan atas indikasi
tertentu, dan tidak semua unit-unit pelayanan
memilikinya. Pemeriksaan dahak dilakukan
sedikitnya 3 kali, yaitu pengambilan dahak sewaktu
penderita datang ke tempat pengobatan dan
dicurigai menderita TB Paru, kemudian
dengan mengambil dahak pagi. Pemeriksaan
ketiga dilakukan ketika penderita datang lagi ke
tempat pengobatan. Oleh sebab itu di sebut
pemeriksaan SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa
dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2
dari 3 pemeriksaan spesimen SPS BTA hasilnya
positif. Bila hanya ada satu spesimen yang positif
perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS
diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada
menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah
kepada TB Paru maka yang bersangkutan
dianggap positif menderita TB Paru. Jika hasil
radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
TB Paru, maka pemeriksaan dahak SPS harus
diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau
bakteri tuberkulosis hanya dilakukan apabila
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya
negatif, maka diberi antibiotik berspektrum luas
selama 1 hingga 2 minggu, misalnya amoksisilin
atau kotrimoksasol. Bila tidak berhasil dan
penderita yang bersangkutan masih menunjukkan
adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak
SPS diulangi (Mandal dkk., 2006).
2.1.7 Pencegahan Penularan Penyakit TB Paru
Upaya pencegahan penularan penyakit TB
Paru yang harus dilakukan adalah:
1. Upaya Penderita TB Paru agar tidak
menularkan kepada orang lain
a. Menutup mulut pada waktu batuk dan
bersin dengan sapu tangan atau tissue.
b. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada
dua minggu pertama pengobatan.
c. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi
dalam wadah yang diberi desinfektan
kemudian dibuang dalam lubang dan
d. Menjemur alat tidur secara teratur pada
pagi hari.
e. Membuka jendela pada pagi hari, agar
rumah mendapat udara bersih dan cahaya
matahari yang cukup sehingga bakteri
tuberkulosis paru dapat mati.
2. Upaya orang lain agar tidak tertular penyakit TB
Paru
a. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain
dengan makan- makanan yang bergizi
b. Tidur dan istirahat yang cukup
c. Membuka jendela dan mengusahakan sinar
matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan
lainnya.
d. Imunisasi BCG pada bayi.
e. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari
tiga minggu.
f. Menjalankan perilaku hidup bersih dan
sehat (Depkes RI, 2001).
Penderita TB Paru juga harus melakukan
TB Paru harus menjalani pengobatannya hingga
dinyatakan sembuh (Mandal dkk., 2006).
2.2 Pengetahuan/Knowledge 2.2.1 Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang
terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba.
Penelitian Rogers (1974) menunjukkan
bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku
baru (berperilaku baru), di dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:
1) Awareness (kesadaran), yaitu subyek
menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (obyek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus
atau obyek tersebut. Di sini sikap subyek sudah
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap
baik dan tidaknya stimulus terhadap dirinya. Hal
ini berarti sikap subyek sudah lebih baik.
4) Trial, yaitu subyek sudah mulai mencoba
melakukan sesuatu dengan apa yang
dikehendaki stimulus.
5) Adoption, yaitu subyek telah berperilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan
sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo,
2007).
2.2.2 Aspek-aspek pengetahuan
Pengetahuan tercakup dalam enam
tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi
yang telah diajarkan setelah seseorang
mempelajari dari materi yang diberikan. Dalam
penelitian ini, peneliti akan mengkategorikan
keluarga ke dalam tingkatan tahu apabila
keluarga mengetahui penyakit TB Paru secara
TB Paru itu menular dan dapat menyebutkan
tanda-tanda umumnya.
b. Memahami (Comprehension)
Peneliti akan mengkategorikan keluarga dalam
tingkatan memahami apabila keluarga dapat
menjelaskan secara benar tentang pengertian
TB Paru, bagaimana tanda dan gejala TB Paru,
serta bagaimana cara penularan TB Paru
tersebut dan upaya pencegahannya.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi nyata. Peneliti akan
mengkategorikan keluarga hingga tingkatan
aplikasi apabila keluarga telah atau dapat
mempraktikkan misalnya keluarga dapat
mempraktikkan hal-hal yang telah diketahuinya
untuk mencegah penularan penyakit TB Paru.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan seseorang
Paru yang telah diperoleh dalam kehidupan
nyata.
e. Sintesis (Syntesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun atau menemukan hal-hal yang baru
dari pengetahuan yang dimiliki.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan
untuk melakukan justifikasi (penilaian) terhadap
suatu obyek tertentu. Misalnya keluarga dapat
menilai bahwa seorang anak tertular penyakit
TB Paru atau tidak (Notoatmodjo, 2007).
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
2.2.3.1 Faktor Internal
1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang
diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju
kearah cita-cita tertentu yang
mengisi kehidupan untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan.
Pendidikan diperlukan untuk
mendapatkan informasi misalnya hal-hal
yang menunjang kesehatan sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup.
2. Pekerjaan
Menurut Thomas pekerjaan dilakukan
untuk menunjang kehidupan pribadi dan
kehidupan keluarga (Nursalam, 2003
dalam Wawan & Dewi 2010).
3. Umur
Semakin cukup umur, maka tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang
akan lebih matang dalam berpikir dan
bekerja. Dari segi kepercayaan
masyarakat, seseorang yang lebih
dewasa akan lebih dipercaya (Huclok,
2.2.3.2 Faktor eksternal
1. Faktor lingkungan
Menurut Ann. Mariner lingkungan
merupakan seluruh kondisi yang ada di
sekitar manusia yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan
perilaku orang atau kelompok
(Nursalam, dalam Wawan & Dewi
2010).
2. Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada
masyarakat dapat mempengaruhi sikap
dalam menerima informasi (Wawan &
Dewi, 2010).
2.3 Konsep Keluarga 2.3.1 Pengertian
Ada beberapa pengertian keluarga, antara lain:
1. Menurut Depkes RI tahun 1988, keluarga
adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
atas kepala keluarga dan beberapa orang yang
sutu atap serta saling ketergantungan (Setiadi,
2008).
2. Keluarga adalah sekumpulan orang dengan
ikatan perkawinan, kelahiran dan adopsi yang
bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan
budaya dan meningkatkan perkembangan fisik,
mental, emosional serta sosial dari tiap anggota
keluarga (Duval & Logan, 1986 dalam Murwani
2008).
3. Keluarga adalah dua atau lebih inidividu yang
hidup dalam satu rumah tangga karena adanya
hubungan darah, perkawinan atau adopsi.
Mereka saling berinteraksi satu dengan yang
lain, mempunyai peran masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu
budaya (Ballon & Maglaya, 1978 dalam
Murwani 2008).
4. Keluarga adalah suatu kelompok kecil yang
unik dengan individu yang saling terkait dan
Berdasarkan beberapa pengertian keluarga
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga
adalah dua atau lebih individu yang hidup bersama,
terikat oleh hubungan darah, perkawinan atau
adopsi, saling ketergantungan serta mempunyai
peran dan tujuan sosial.
2.3.2 Tipe Keluarga
2.3.2.1 Keluarga Tradisional
1. Keluarga inti (Nuclear family) adalah
keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu, dan
anak yang diperoleh dari keturunannya atau
adopsi atau keduanya.
2. Keluarga besar (Extended family) adalah
keluarga inti ditambah anggota keluarga lain
yang masih mempunyai hubungan darah
(kakek, nenek, paman, bibi)
2.3.2.2 Keluarga Modern
1. Keluarga berantai (Serial Family) adalah
keluarga yang terdiri dari wanita dan pria
yang menikah lebih dari satu kali dan
2. Keluarga duda/janda (Single family) adalah
keluarga yang terjadi karena perceraian
atau kematian.
3. Keluarga komposit (Composite) adalah
keluarga yang perkawinannya berpoligami
dan hidup secara bersama.
4. Keluarga kohabitasi (Cohabitation) adalah
dua orang menjadi satu tanpa pernikahan
tetapi membentuk suatu keluarga.
5. Orang dewasa (laki-laki atau perempuan)
yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah
(The single adult living alone).
6. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan
yang berjenis kelamin sama (Gay and
lesbian family) (Setiadi, 2008).
2.3.3 Fungsi Keluarga
Lima fungsi keluarga adalah sebagai berikut.
1. Fungsi afektif
Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan
kebutuhan sosial yaitu saling mengasuh, saling
2. Fungsi sosialisasi
Sosialisasi adalah proses perkembangan dan
perubahan yang dilalui individu yang
menghasilkan interaksi sosial. Keluarga
merupakan tempat individu untuk belajar
bersosialisasi.
3. Fungsi reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan
keturunan dan menambah SDM (Sumber daya
Manusia). Melalui program KB (Keluarga
Berencana) maka fungsi ini dapat terkontrol.
4. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga
untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota
keluarga seperti kebutuhan akan makan,
minum, pakaian/sandang dan tempat
perlindungan.
5. Fungsi perawatan kesehatan
Tugas keluarga adalah:
a. Mengenal masalah kesehatan
b. Membuat keputusan tindakan kesehatan
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga
yang sakit
d. Mempertahankan/menciptakan suasana
rumah yang sehat
e. Mempertahankan hubungan dengan
menggunakan fasilitas kesehatan
masyarakat (Friedman, 1986 dalam