PERBEDAAN FREKUENSI AKTIVITAS SEKSUAL ANTARA REMAJA DENGAN SENSITIVITAS PENOLAKAN YANG TINGGI DAN YANG
RENDAH DI SMA A YOGYAKARTA
Marlina Sutandi
ABSTRAK
Individu yang pernah mengalami penolakan akan mengembangkan sensitivitas akan penolakan/
rejection sensitivity (Kang & Downey, 2007). Sensitivitas akan penolakan/ Rejection Sensitivity
dapat dibagi menjadi dua, yaitu High Rejection Sensitivity dan Low Rejection Sensitivity
(Downey, Bonica, & Rincon dalam Furman, Brown, & Feiring, 1999). Purdie dan Downie (2000) mengemukakan bahwa individu HRS cenderung merasa cemas untuk kehilangan pasangan sehingga ingin mencegah agar penolakan tidak terjadi. Individu yang merasa cemas cenderung menggunakan seks dalam hubungan mereka (Davis, dkk, 2003, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan frekuensi aktivitas seksual antara remaja HRS dan LRS di SMA A Yogyakarta. Skala Children Rejection Sensitivity Questionnaire yang berbentuk skala Likert
digunakan untuk mengukur sensitivitas akan penolakan individu (Downey & Feldman, 1996) dan skala aktivitas seksual digunakan untuk mengukur frekuensi aktivitas seksual individu. Data (N=75) diambil dari siswa kelas X dan XI SMA A Yogyakarta. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan independent sample t-test dengan hasil tidak ada perbedaan frekuensi aktivitas seksual antara remaja dengan sensitivitas akan penolakan yang tinggi dan rendah di SMA A Yogyakarta (p= 0.272; p> 0.05). Analisis faktor dilakukan lebih lanjut untuk analisis. Hasil yang diperoleh setelah dilakukan analisis faktor adalah terdapat perbedaan frekuensi aktivitas seksual yang berbentuk perilaku seksual mendalam pada remaja dengan sensitivitas akan penolakan yang tinggi dan rendah di SMA A Yogyakarta (p= 0.000; p< 0.05).
SEXUAL ACTIVITY FREQUENCY DIFFERENCE BETWEEN HIGH REJECTION SENSITIVITY TEENAGERS AND LOW REJECTION
SENSITIVITY TEENAGERS IN A SENIOR HIGH SCHOOL YOGYAKARTA
Marlina Sutandi
ABSTRACT
Individual who has experienced rejection will develop rejection sensitivity (Kang & Downey, 2007). Rejection sensitivity can be divided into two, High Rejection Sensitivity (HRS) and Low Rejection Sensitivity (LRS) (Downey, Bonica, & Rincon dalam Furman, Brown, & Feiring, 1999). Purdie and Downie (2000) explained that HRS individual tends to feel anxious to lost their partner so that they want to prevent the occurance of rejection. Individual who feels anxious tends to use sex in their relationship (Davis, et al., 2003, 2004). The aim of this research is to see the sexual activity frequency difference between High Rejection Sensitivity teenagers and Low Rejection Sensitivity teenagers in A Senior High School Yogyakarta. Children Rejection Sensitivity Questionnaire (CRSQ) in Likert scale is used to measure the rejection sensitivity in teenagers (Downey & Feldman, 1996) and Sexual Activity Scale is used to measure the sexual activity frequency. Data (N=75) is collected from 1st and 2nd stage students in A Senior High School Yogyakarta. The data is analyzed using independent sample t-test which shows there is not sexual activity frequency difference between High Rejection Sensitivity teenagers and Low Rejection Sensitivity teenagers in A Senior High School Yogyakarta (p= 0.272; p>0.05). Factor analysis is used for further analysis. The result shows that there is sexual activity frequency difference especially in deep sexual behavior between High Rejection Sensitivity teenagers and Low Rejection Sensitivity teenagers in A Senior High School Yogyakarta (p=0.000; p< 0.05).
PERBEDAAN FREKUENSI AKTIVITAS SEKSUAL ANTARA REMAJA DENGAN SENSITIVITAS PENOLAKAN YANG TINGGI DAN YANG
RENDAH DI SMA A YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Marlina Sutandi
NIM: 119114061
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERBEDAAN FREKUENSI AKTIVITAS SEKSUAL ANTARA REMAJA DENGAN SENSITIVITAS PENOLAKAN YANG TINGGI DAN YANG
RENDAH DI SMA A YOGYAKARTA
Oleh:
Marlina Sutandi
NIM: 119114061
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
iii
PENGESAHAN SKRIPSI
PERBEDAAN FREKUENSI AKTIVITAS SEKSUAL ANTARA REMAJA DENGAN SENSITIVITAS PENOLAKAN YANG TINGGI DAN YANG
RENDAH DI SMA A YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan ditulis oleh: Marlina Sutandi
NIM: 119114061
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada Tanggal: ...
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan Penguji I : Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si ... Penguji II : C. Siswa Widyatmoko, M.Psi ...
Penguji III : Drs. H. Wahyudi, M. Si ...
Yogyakarta, ...
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Dekan,
iv
My Prayer of Dedication (Matthew 22:37)
Take my heart and may it love truth and wisdom from above
Take my mind that I may serve fully, Lord, without reserve
Take my feet and take my hands
Let them serve your wise commands
Take my voice and let it sing praises always to my King
Take my life and bring it, Lord, with your will, in full accord
Take my self, may all I do be well pleasing, Lord, to you.
v It is a gift...
vi
Pernyataan Keaslian Karya
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Agustus 2015
Penulis
vii
PERBEDAAN FREKUENSI AKTIVITAS SEKSUAL ANTARA REMAJA DENGAN SENSITIVITAS PENOLAKAN YANG TINGGI DAN YANG
RENDAH DI SMA A YOGYAKARTA
Marlina Sutandi
ABSTRAK
Individu yang pernah mengalami penolakan akan mengembangkan sensitivitas akan penolakan/
rejection sensitivity (Kang & Downey, 2007). Sensitivitas akan penolakan/ Rejection Sensitivity
dapat dibagi menjadi dua, yaitu High Rejection Sensitivity dan Low Rejection Sensitivity
(Downey, Bonica, & Rincon dalam Furman, Brown, & Feiring, 1999). Purdie dan Downie (2000) mengemukakan bahwa individu HRS cenderung merasa cemas untuk kehilangan pasangan sehingga ingin mencegah agar penolakan tidak terjadi. Individu yang merasa cemas cenderung menggunakan seks dalam hubungan mereka (Davis, dkk, 2003, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan frekuensi aktivitas seksual antara remaja HRS dan LRS di SMA A Yogyakarta. Skala Children Rejection Sensitivity Questionnaire yang berbentuk skala Likert
digunakan untuk mengukur sensitivitas akan penolakan individu (Downey & Feldman, 1996) dan skala aktivitas seksual digunakan untuk mengukur frekuensi aktivitas seksual individu. Data (N=75) diambil dari siswa kelas X dan XI SMA A Yogyakarta. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan independent sample t-test dengan hasil tidak ada perbedaan frekuensi aktivitas seksual antara remaja dengan sensitivitas akan penolakan yang tinggi dan rendah di SMA A Yogyakarta (p= 0.272; p> 0.05). Analisis faktor dilakukan lebih lanjut untuk analisis. Hasil yang diperoleh setelah dilakukan analisis faktor adalah terdapat perbedaan frekuensi aktivitas seksual yang berbentuk perilaku seksual mendalam pada remaja dengan sensitivitas akan penolakan yang tinggi dan rendah di SMA A Yogyakarta (p= 0.000; p< 0.05).
viii
SEXUAL ACTIVITY FREQUENCY DIFFERENCE BETWEEN HIGH REJECTION SENSITIVITY TEENAGERS AND LOW REJECTION
SENSITIVITY TEENAGERS IN A SENIOR HIGH SCHOOL YOGYAKARTA
Marlina Sutandi
ABSTRACT
Individual who has experienced rejection will develop rejection sensitivity (Kang & Downey, 2007). Rejection sensitivity can be divided into two, High Rejection Sensitivity (HRS) and Low Rejection Sensitivity (LRS) (Downey, Bonica, & Rincon dalam Furman, Brown, & Feiring, 1999). Purdie and Downie (2000) explained that HRS individual tends to feel anxious to lost their partner so that they want to prevent the occurance of rejection. Individual who feels anxious tends to use sex in their relationship (Davis, et al., 2003, 2004). The aim of this research is to see the sexual activity frequency difference between High Rejection Sensitivity teenagers and Low Rejection Sensitivity teenagers in A Senior High School Yogyakarta. Children Rejection Sensitivity Questionnaire (CRSQ) in Likert scale is used to measure the rejection sensitivity in teenagers (Downey & Feldman, 1996) and Sexual Activity Scale is used to measure the sexual activity frequency. Data (N=75) is collected from 1st and 2nd stage students in A Senior High School Yogyakarta. The data is analyzed using independent sample t-test which shows there is not sexual activity frequency difference between High Rejection Sensitivity teenagers and Low Rejection Sensitivity teenagers in A Senior High School Yogyakarta (p= 0.272; p>0.05). Factor analysis is used for further analysis. The result shows that there is sexual activity frequency difference especially in deep sexual behavior between High Rejection Sensitivity teenagers and Low Rejection Sensitivity teenagers in A Senior High School Yogyakarta (p=0.000; p< 0.05).
ix
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma:
Nama : Marlina Sutandi
Nomor Mahasiswa : 119114061
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Perbedaan Frekuensi Aktivitas Seksual Antara Remaja dengan Sensitivitas akan Penolakan yang Tinggi dan yang Rendah di SMA A Yogyakarta beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal 31 Agustus 2015
Yang menyatakan
x
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang selalu memberikan kekuatan dan hikmat melalui roh kudus untuk menyelesaikan skripsi dengan judul ―Perbedaan Frekuensi Aktivitas Seksual
Antara Remaja dengan Sensitivitas akan Penolakan yang Tinggi dan yang Rendah
di SMA A Yogyakarta‖ sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi dan mengakhiri pendidikan penulis di program S1 Psikologi Universitas Sanata
Dharma.
Penulisan skripsi adalah pelatihan yang sangat berarti bagi penulis.
Walaupun banyak kesulitan dan hambatan dalam menyelesaikan skripsi ini,
namun peneliti dapat terus bertahan dan berdiri teguh hingga langkah teakhir.
Kekuatan dan keberanian yang dimiliki penulis dapat terus dimiliki dan
dipertahankan bukan karena diri penulis sendiri, namun juga karena kehadiran
banyak pihak di kehidupan penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Allah Yehuwa dan Yesus Kristus yang terus mendengarkan dan memberikan
jawaban atas doa-doa penulis dengan memberikan hikmat praktis dan
kekuatan hingga akhir.
2. Tjhin Kong Fo, Gan Sun Kiauw, dan Eka Dewi Sutandi (Chen Xiao Yen)
xi
menyayangi penulis tanpa syarat, mendengarkan, mendoakan, menghibur,
dan mendukung penulis kapan pun dan dimana pun.
3. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si yang berperan bukan hanya sebagai
dosen pembimbing, namun juga sebagai bapak yang mau membuka dirinya
untuk membimbing dalam skripsi ini.
4. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku dosen yang selalu siap
membantu dan mengajar penulis ketika mengalami masalah dalam
penelitiannya.
5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik
yang terus memberikan dukungan dan peka dalam membimbing penulis.
6. Bapak Agung Santoso, M.A., sebagai rekan diskusi dan berkeluh kesah.
Terimakasih atas kebijaksanaan dan pengajarannya selama ini.
7. Bapak Ir. Ignatius Aris Dwiatmoko, M.Sc , terimakasih atas pengajarannya
dalam bidang statistik. Terimakasih telah membuat hal yang rumit menjadi
sederhana.
8. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si., terimakasih atas bantuan dan penjelasannya
selama ini. Terimakasih atas senyuman hangat yang menjadi therapy bagi
penulis.
9. Koko Herman Yosef Paryono, atas bantuan, doa, dukungan, obrolan, dan
semua hal yang diberikan. Terimakasih.
10.Saudara-saudari Yogyakarta English Congregation dan saudara-saudari
seluas dunia. Terimakasih atas doa, dukungan, dan persaudaraan internasional
xii
11.Teman-teman riset penelitian payung, Dara Novianta, Flaviana Rinta Ferdian,
Haksi Mayawati, Nathan Agung, Fiona Damanik, dan Anindita untuk semua
bantuan praktis, dukungan, dan insight yang sangat berharga bagi penulis.
12.Semua dosen di Fakultas Psikologi, dosen-dosen di Universitas Sanata
Dharma, dan staff. Thank you for everysingle thing, even the smallest things.
Semua sangat berharga bagi penulis.
13.Rekan kerja di etutor21 dan DoDream World company : 반병흠, 제닌 Fuertez,
Edleth, dan 박선영 atas kerja sama, dukungan, semangat, dan doa yang selama ini diberikan.Let’s work, develop, and grow together!
14.Teman-teman I-Hanst yang selalu mendukung dan mendoakan: Nancy Konkar,
Prairie, Sunny (Guan Xin Ran), 이지수, Agatha Elma, Maria Nitya, Chicay, Maram Abusada, Mariana Sanchez, Iman Raharjo, 신제필, 황철민, dan yang lainnya. Terimakasih atas doa dan dukungan selama ini. You are the best and I miss you alot!
15.Teman-teman dekatku, Dionisia Bhisetya Rarasati, Ricca Monica, Sadriyah Pratiwi, Brigitta Stacia, Astari Paramita Tjandra, Yinni Lauly, Sarah Monica, Lukas
Suhardiman, dan teman-teman seangkatan Psikologi 2011. Terimakasih atas
kesempatan untuk mengenal, berteman, dan belajar dari kalian. Terimakasih atas
―langkah pertamanya‖ di dunia Psikologi.
16.Marlina Sutandi. Terimakasih telah menjadi diri yang tangguh, mau belajar,
rendah hati, pantang menyerah, dan pekerja keras. Walaupun banyak
menangis, tapi kamu juga banyak tersenyum dan tertawa. I love you, myself. I
will always be right beside you, support and take care of you.
17.Untuk dirimu. Terimakasih atas kehadiranmu di dalam kehidupan. You are
xiii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis terbuka pada saran dan masukan terkait karya tulis ini. Apa
pun itu, penulis siap dihubungi (+62898-2252-393). Semoga karya ini dapat
menambah kajian ilmu Psikologi dan bermanfaat secara praktis untuk
masyarakat.
Yogyakarta, 31 Agustus 2015
Penulis
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PENDAMPING ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
1. Pengertian Aktivitas Seksual ... 12
2. Pengertian Aktivitas Seksual (Mental) ... 13
3. Pengertian Aktivitas Seksual (Perilaku) ... 15
4. Tipe Perilaku Seksual ... 17
5. Dinamika Kemunculan Aktivitas Seksual ... 18
6. Dampak Aktivitas Seksual ... 18
xv
B. SENSITIVITAS AKAN PENOLAKAN ... 21
1. Pengertian Sensitivitas akan Penolakan ... 21
2. Tipe Sensitivitas akan Penolakan ... 23
3. High Rejection Sensitivity dan Low Rejection Sensitivity ... 23
4. Dinamika Kemunculan Sensitivitas akan Penolakan ... 25
5. Dampak Penolakan ... 27
6. Alat Ukur ... 28
C. REMAJA ... 30
1. Pengertian Remaja ... 30
2. Perkembangan pada Remaja ... 30
D. HIPOTESIS PENELITIAN ... 34
BAB III METODE PENELITIAN... 34
A. JENIS PENELITIAN ... 34
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN ... 34
C. DEFINISI OPERASIONAL ... 35
1. Sensitivitas akan Penolakan ... 36
2. Aktivitas Seksual ... 36
D. SUBJEK DAN LOKASI PENELITIAN ... 37
E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA ... 39
1. Skala Sensitivitas akan Penolakan ... 39
2. Skala Aktivitas Seksual ... 40
F. PERTANGGUNGJAWABAN ALAT UKUR ... 41
1. Children Rejection Sensitivity Questionnaire ... 41
2. Aktivitas Seksual ... 44
G. METODE ANALISIS DATA ... 46
1. Uji Normalitas ... 46
2. Uji Homogenitas ... 47
3. Uji Hipotesis ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
A. PERSIAPAN PENELITIAN ... 49
xvi
C. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN ... 51
D. DESKRIPSI DATA PENELITIAN ... 53
E. ANALISIS DATA PENELITIAN ... 55
1. Uji Asumsi ... 55
2. Uji Hipotesis ... 57
F. PEMBAHASAN ... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
A. KESIMPULAN ... 70
B. SARAN ... 71
1. Bagi Sekolah ... 71
2. Bagi Orang Tua ... 72
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel.1 Uji Reliabilitas CRSQ Indonesia ... 44
Tabel.2 Uji Reliabilitas Skala Aktivitas Seksual ... 45
Tabel.3 Analisis Item Skala Aktivitas Seksual ... 45
Tabel. 4 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 51
Tabel. 5 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 52
Tabel. 6 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Status Berpacaran ... 52
Tabel. 7 Karakteristik Subjek Berdasarkan Level Rejection Sensitivity ... 53
Tabel. 8 Deskripsi Data Aktivitas Seksual Berdasarkan Kelompok RS ... 54
Tabel. 9 Uji Normalitas Aktivitas Seksual Subjek HRS dan LRS ... 55
Tabel. 10 Uji Homogenitas ... 56
Tabel. 11 Independent Sample t-test Aktivitas Seksual pada Remaja HRS dan LRS ... 57
Tabel. 12 Kaiser Mayer Olkin Aktivitas Seksual Mental dan Perilaku ... 59
Tabel. 13 Communalities Aktivitas Seksual Mental ... 60
Tabel. 14 Communalities Aktivitas Seksual Perilaku ... 60
Tabel. 15 Nilai Eigenvalues Aktivitas Seksual Mental ... 61
Tabel. 16 Nilai Eigenvalues Aktivitas Seksual Perilaku ... 62
Tabel. 17 Component Matrix Aktivitas Seksual Mental ... 63
Tabel. 18 Component Matrix Aktivitas Seksual Perilaku ... 64
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I SKALA CHILDREN REJECTION SENSITIVITY
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk sosial, manusia ingin mempertahankan status sosial
yang berperan sebagai motivator yang kuat dalam hampir setiap aspek
kehidupan manusia (Baumeister & Leary, 1995). Oleh karena itu, manusia
memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi bagian dari suatu kelompok.
Keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok akan semakin kuat ketika
individu tersebut berada dalam budaya kolektif yang menekankan kepada
identitas sosial individu di dalam kelompok sosial.
Namun terkadang, karena satu atau lain alasan dalam proses menjadi
bagian suatu kelompok, pengalaman penolakan dapat dialami oleh individu.
Selain itu, oleh karena tidak seorangpun memiliki sistem kekebalan akan
pengalaman penolakan, maka sampai taraf tertentu setiap orang akan
mengembangkan sensitivitas akan penolakan (Downey, Bonica, & Rincon
dalam Furman, Brown, & Feiring, 1999).
Setiap orang pernah mengalami penolakan di dalam kehidupannya
(Downey, Mougios, Ayduk, London, & Shoda, 2004) dan penolakan adalah
fenomena yang umum dialami di seluruh dunia (Baumeister & Leary, 1995).
Penolakan adalah hal yang sebenarnya sederhana namun menyakitkan bagi
individu yang mengalaminya (Sinclair, Ladny, & Lyndon, 2011). Rasa sakit
yang dialami secara fisik karena penolakan tersebut dapat mengaktifkan
indikator neurologis yang sama dengan rasa sakit secara fisik (Eisenberger &
Lieberman, 2004).
Walaupun setiap orang pernah mengalami perasaan ditolak, namun
setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam merespon perasaan
tersebut. Beberapa merespon dengan menggunakan ketenangan hati dan ada
pula yang merespon dengan mengorbankan hubungan sosial dan well-being
mereka (Downey & Feldman, 1996; Downey, Mougios, Ayduk, London, &
Shoda, 2004).
Ketika seorang individu memiliki pengalaman penolakan sebelumnya,
maka biasanya individu tersebut akan memiliki sensitivitas yang lebih besar
akan penolakan di kemudian hari. Sensitivitas terhadap penolakan yang
dirasakan itu dipahami sebagai rejection sensitivity (Kang & Downey, 2007).
Rejection sensitivity atau sensitivitas akan penolakan adalah ekspektasi
kecemasan atau ketakutan akan penolakan, mudah merasakan penolakan, dan
reaksi yang berlebihan terhadap penolakan (Aguilar & Downey, 2009;
Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Kang, 2010; Downey & Feldman,
1996; Downey, Lebolt, Rincon, & Freitas, 1998; Feldman & Downey, 1994).
Selain itu, sensitivitas akan penolakan juga dapat dipahami sebagai
adanya pengharapan kecemasan akan adanya penolakan dari significant
others pada situasi yang memungkinkan adanya penolakan tersebut (Ayduk,
Downey, Testa, & Yen, 1999; Downey, Freitas, Michaelis, & Khouri, 1998;
seringkali adalah orang tua, saudara, sahabat, dan pacar. Sensitivitas terhadap
penolakan oleh orang-orang penting bagi individu dapat membuat individu
menimbulkan sikap bermusuhan terhadap situasi yang menyebabkan perasaan
ditolak ini muncul (Ayduk et al., 1999). Perasaan cemas untuk takut ditolak
dan sikap bermusuhan yang mengikutinya sebenarnya justru akan
memperburuk dan memperpanjang penolakan yang ada (Downey et al.,
2004).
Jika dibandingkan dengan orang-orang di sekitar individu yang tidak
terlalu signifikan, significant others dan kelompok sosial yang dianggap
bernilai oleh individu jauh lebih berpotensi untuk menimbulkan perasaan
ditolak. Hal ini disebabkan mereka memiliki pengaruh yang besar terhadap
perasaan dan perilaku individu (Williams, 2001). Alasan lain mengapa
significant others dapat lebih berpotensi menimbulkan perasaan ditolak
adalah semua orang pasti menginginkan penerimaan dari orang-orang yang
dipandang penting oleh mereka (Kang & Downey, 2007).
Downey, Bonica, dan Rincon (dalam Furman, Brown, & Feiring,
1999) mengemukakan bahwa sensitivitas akan penolakan dapat digambarkan
pada suatu garis kontinu. Oleh karena itu, berdasarkan tingkat sensitivitas
penolakan yang dimiliki oleh masing-masing individu, sensitivitas akan
penolakan dapat dibagi menjadi dua, yaitu High Rejection Sensitivity (HRS)
dan Low Rejection Sensitivity (LRS). Individu yang HRS berarti individu
tersebut memiliki sensitivitas yang tinggi akan adanya penolakan dari
ambigu. Sedangkan individu yang LRS berarti individu tersebut memiliki
sensitivitas yang rendah akan adanya penolakan ketika individu berada dalam
situasi atau menerima perilaku yang ambigu dari significant others (Downey,
1998).
Terdapat dinamika yang berbeda antara individu yang HRS dan LRS.
Pada individu yang HRS, mereka relatif memiliki level yang tinggi untuk
merasa cemas dan khawatir akan pengabaian dan penolakan (Downey,
Freitas, Michaelis, & Khouri,1998), tanpa disadari mereka mencari-cari
situasi yang memungkinkan terjadinya penolakan, dan sensitif terhadap sikap
ataupun perilaku orang lain yang ambigu (Ayduk, Denton, Mischel, &
Downey, 2000; Downey & Feldman, 1996; Downey, Freitas, Michaelis, &
Khouri,1998) dan tidak terlalu mengharapkan penerimaan (Ayduk, Downey,
& Kim, 2001). Ketika individu HRS menerima penolakan, maka mereka akan
cenderung merasa terancam, stress mereka meningkat, bereaksi dengan
agresif (Downey, Feldman, & Ayduk, 2000; Downey, Irwin, Ramsay, &
Ayduk, 2004) dan mengeluarkan gairah yang negatif. Dinamika-dinamika ini
yang menyebabkan individu HRS menggunakan hot system, yaitu merespon
penolakan tanpa penyelesaian (Metcalfe & Mischel, 1999; Mischel, Shoda, &
Rodriguez, 1989). Individu yang HRS juga cenderung memandang rendah
dan negatif hubungan mereka yang pada akhirnya justru mengarah kepada
penolakan selanjutnya (Ayduk, Denton, Mischel, & Downey, 2000).
Sedangkan pada individu yang LRS, mereka cenderung tidak terlalu
(Ayduk, Downey, & Kim, 2001; Ayduk, Downey, Testa, & Yen, 1999;
Ayduk, Denton, Mischel, & Downey, 2000). Individu yang LRS juga
cenderung merespon penolakan dengan cool system, yaitu individu
menggunakan proses kognitif yang memungkinkan adanya refleksi dan
pemecahan masalah yang rasional (Metcalfe & Mischel, 1999; Mischel,
Shoda, & Rodriguez, 1989).
Sensitivitas terhadap penolakan dapat menimbulkan dampak-dampak
kepada diri individu itu sendiridan hubungan individu tersebut dengan orang
lain. Dampak bagi diri individu itu sendiri adalah individu akan cenderung
merasa kesepian, cemas secara sosial, dan menimbulkan self-silencing
(Aguilar & Downey, 2009), menurunkan well-being (Downey & Feldman,
1996), dan depresi yang kemudian diikuti oleh penolakan berikutnya
(Baldwin, 1994; Cooper, Shaver, & Collins, 1998; Hammen, Burge, Daley, &
Davila, 1995; Kobak & Sceery, 1988; Shaver & Hazan, 1987; Simpson,
Rholes, & Phillips, 1996). Cara individu menilai dirinya juga akan
dipengaruhi sehingga individu cenderung menilai secara negatif dan merasa
orang lain juga menilai hal yang sama tentang dirinya (Sinclair, Ladny, &
Lyndon, 2011). Dari sisi perasaan (afeksi), individu akan cenderung merasa
buruk dan negatif (Williams & Govan, 2005) dan memunculkan perasaan
diabaikan (Maner, DeWall, & Ballmeister, 2007). Kebutuhan dasar individu
juga akan cenderung menurun ketika individu mengalami penolakan.
Kebutuhan dasar seperti harga diri (Leary, Tambor, & Terdal, 1995), rasa
2005). Individu juga dapat memiliki sindrom klinis, seperti depresi,
kecemasan sosial, Borderline Personality Disorder (Kang & Downey 2007),
dan Avoidant Personality Disorder (Aguilar & Downey, 2009).
Sensitivitas akan penolakan bukan hanya berdampak pada diri
individu itu sendiri, namun juga kepada hubungannya dengan orang lain.
Individu tersebut dapat berperilaku dengan penuh rasa bersalah dan
menggunakan cara-cara yang agresif dalam hubungan mereka (Baumeister,
DeWall, Ciarocco, & Twenge, 2005; Downey, Feldman, & Ayduk, 2000;
Downey, Freitas, Michaelis, & Khouri, 1998; Dutton, Saunders, Staromski, &
Bartholomew, 1994; Gaines et al., 1997; Leary, Twenge, Quinlivan, 2006;
Mikulincer, 1998; Romero-Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Kang,
2010a; Twenge, Baumeister, Tice, & Stucke, 2001). Fungsi hubungan
interpersonal individu dapat menjadi rusak (Kang & Downey, 2007). Individu
akan cenderung memiliki perasaan bersalah, kekesalan, dan kecemburuan
yang tidak logis (Downey & Feldman, 1996; Romero-Canyas, Downey,
Berenson, Ayduk, & Kang, 2010). Sensitivitas akan penolakan yang dimiliki
oleh individu juga dapat memengaruhi hubungan interpersonal individu di
kemudian hari. Individu dapat melakukan kekerasan dalam keluarga,
pengabaian emosi, disiplin yang keras, cinta bersyarat kepada anggota
keluarganya jika dia menjadi seorang orang tua ( Kang & Downey, 2007).
Sensitivitas akan penolakan juga dapat membuat individu lebih
cenderung untuk melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya
individu memiliki konsekuensi psikososial yang negatif sebagai dampak dari
kurangnya kemampuan sosial, emosi, dan kognitif untuk terlibat dalam
hubungan romantis yang dikarakteristikan dengan afeksi dan kesetaraan
(Ciairano, Kliewer, Bonino, Miceli, & Jackson, 2006; Mitchell & Wellings,
1998). Perasaan bersalah juga dapat ditimbulkan oleh karena imajinasi
seksual yang dilakukan individu. Individu dapat merasa tidak bermoral, tidak
dapat diterima secara sosial, abnormal, tidak umum (uncommon), dan
indikatif dari adanya masalah dalam diri mereka atau hubungan mereka, atau
keduanya. Kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit seksual menular
termasuk HIV juga merupakan hasil negatif dari perilaku seksual beresiko
yang tidak terlindungi.
Penelitian yang dilakukan oleh Purdie dan Downey (2000)
menunjukkan bahwa individu yang HRS justru cenderung rela melakukan hal
apa pun walaupun mereka tahu bahwa hal tersebut salah dengan tujuan
mempertahankan pasangan mereka di dalam hubungan mereka. Mereka
merasa cemas bahwa pasangan mereka akan pergi meninggalkan mereka dan
tidak memiliki kelekatan dengan mereka lagi. Perilaku ini muncul mungkin
karena individu HRS termotivasi untuk menghindari penolakan lagi karena
tidak ingin merasakan perasaan sakit yang sama (Aguilar & Downey, 2009).
Hasil penelitian pada penelitian Purdie dan Downie (2000)
menunjukkan bahwa ketika individu HRS, maka individu cenderung merasa
cemas dan takut kehilangan pasangan mereka. Individu ingin mencegah agar
karena mereka cenderung tidak terlalu khawatir akan penolakan dan lebih
mengharapkan penerimaan dari orang lain (Ayduk, Downey, & Kim, 2001;
Ayduk, Downey, Testa, & Yen, 1999; Ayduk, Denton, Mischel, & Downey,
2000), maka individu seringkali menggunakan pemecahan masalah yang
rasional dalam hubungan dengan pasangan mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Davis, dkk (2003, 2004)
mengemukakan bahwa individu yang merasa cemas cenderung menggunakan
seks untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kelekatan dengan pasangan.
Individu tersebut lebih memiliki motivasi untuk melakukan aktivitas seksual
dan lebih sering berimajinasi tentang seks ketika mereka dihadapkan dengan
ancaman dalam hubungan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Birnbaum ,
Svitelman, Bar-Shalom, Porat (2008) mengemukakan bahwa individu yang
memiliki perasaan cemas yang tinggi (yang merupakan bentuk dari
sensitivitas akan penolakan) lebih cenderung untuk merasa cemburu dan
mengekspresikannya dengan mempertahankan hubungan, seperti melakukan
hal yang spesial untuk pasangan.
Individu melakukan aktivitas seksual karena mereka ingin
mendapatkan kesenangan dari aktivitas tersebut. Selain itu, individu
melakukan aktivitas seksual juga disebabkan untuk mendapatkan kelekatan
dengan pasangannya (Browning, Hatfield, Kessler, & Levine, 2000; Cooper,
Shapiro, & Powers, 1998; Katz, Fortenberry, Zimet, Blythe, & Orr, 2000).
Alasan lain individu melakukan aktivitas seksual adalah untuk meningkatkan
Sheldon, 2000; Cooper, Shapiro, & Powers, 1998; Wills & Hirky, 1996;
Wills, Sandy, Shinar, & Yaeger, 1999). Kecemasan akan penolakan adalah
perasaan negatif.
Hasil dalam penelitian Purdie dan Downie (2000) menunjukkan
bahwa remaja yang memiliki sensitivitas akan penolakan yang tinggi
cenderung untuk mempertahankan pasangannya walaupun dengan cara yang
dia tahu salah. Seperti yang disebutkan di paragraf sebelumnya, peneliti
berhipotesis bahwa salah satu hal yang dilakukan untuk mempertahankan
pasangannya adalah aktivitas seksual. Alasan lain peneliti memilih aktivitas
seksual adalah masa remaja adalah masa dimana tingkat aktivitas seksual
tertinggi dibandingkan rentang usia yang lainnya (Rosenthal, et.al. ,2001)
sehingga kemungkinan munculnya aktivitas seksual pada usia remaja jauh
lebih tinggi dibandingkan hal yang lainnya.
Atas dasar hal tersebut, peneliti ingin mengetahui perbedaan dinamika
yang terjadi antara sensitivitas akan penolakan yang tinggi dan rendah terkait
aktivitas seksual pada rentang usia remaja. Pada penelitian ini, peneliti lebih
berfokus pada siswa salah satu SMA di Yogyakarta disebabkan alasan
perijinan dan karakteristik subjek. Sekolah ini adalah salah satu SMA swasta
di Yogyakarta yang dinilai masyarakat memiliki tingkat aktivitas seksual
yang cukup tinggi pada siswa sekolah tersebut. Beberapa berita dalam media
massa menyebutkan mengenai adanya kehamilan yang tidak diinginkan pada
siswa dan resiko-resiko lain yang didapatkan siswa oleh karena aktivitas
Asumsi peneliti adalah terdapat perbedaan frekuensi aktivitas seksual
pada remaja dengan sensitivitas penolakan yang tinggi dan yang rendah di
SMA A. Hasil penelitian ini kemudian diharapkan dapat memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai dinamika sensitivitas akan penolakan yang
tinggi pada remaja yang terdapat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh
Purdie dan Downie (2000). Selain itu, hasil penelitian ini dapat lebih
menjelaskan perbedaan dinamika remaja dengan sensitivitas akan penolakan
yang tinggi dan yang rendah terkait aktivitas seksual dengan pasangan
mereka.
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah terdapat perbedaan frekuensi aktivitas seksual pada remaja dengan
sensitivitas penolakan yang tinggi dan yang rendah di SMA A?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan frekuensi aktivitas seksual
pada remaja dengan sensitivitas akan penolakan yang tinggi dan yang rendah
di SMA A.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan ilmu Psikologi
sensitivitas individu akan penolakan dan dinamika hubungan romantis,
terutama aktivitas seksual dalam budaya kolektif, serta dapat menjadi
sumber acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti:
Penelitian ini dapat menjadi media untuk menuangkan gagasan secara
ilmiah, melatih kemampuan dalam penelitian, dan menulis.
b. Bagi Lembaga Pendidikan:
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gagasan
tambahan bagi sekolah bersangkutan untuk memperjelas perbedaan
dinamika yang terjadi dalam hubungan romantis ketika individu
memiliki sensitivitas akan penolakan yang tinggi dan yang rendah
terkait aktivitas seksual, sehingga dapat dilakukan tindakan
pencegahan yang diperlukan terkait hal tersebut. Tindakan praktis
yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah adalah pendampingan dan
pengajaran secara mendalam kepada para siswa mengenai cara
menjalin hubungan romantis yang sehat dan resiko-resiko yang akan
12 BAB II
LANDASAN TEORI
A. AKTIVITAS SEKSUAL 1. Pengertian Aktivitas Seksual
Aktivitas seksual adalah tindakan fisik dan mental yang
menstimulasi, merangsang, dan memuaskan secara jasmaniah. Tindakan
tersebut dilakukan sebagai cara yang penting bagi seseorang untuk
mengekspresikan perasaan dan daya tarik terhadap orang lain. Beberapa
ahli mengemukakan bahwa aktivitas seksual dapat berupa perilaku seksual
beresiko di antara remaja yang dapat didefinisikan sebagai awal
dimulainya hubungan seksual intercourse yang tidak terlindungi atau
hubungan seksual dengan beragam partner (Center for Disease Control &
Prevention, 2008).
Imajinasi mengenai seks, masturbasi, ciuman yang mendalam,
menghisap atau mengigit leher, buah dada, atau paha pasangan, necking
(ciuman dan pelukan yang dalam), petting (lebih dalam daripada necking,
merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada,
buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, entah di luar atau
di dalam pakaian), oral seks (menggunakan mulut untuk merangsang
daerah genital pasangan), anal seks (menyelipkan penis yang tegang ke
dalam dubur pasangan), dan sexual intercourse (memasukan penis ke
Aktivitas seksual manusia dapat pula dipahami sebagai interaksi
antara proses kognitif dan fisik (perilaku) (Catania, Gattai, Puppo,
Abdulcadir, Abdulcadir, Abdulcadir, 2008). Penelitian yang dilakukan
oleh Birnbaum (2010) dalam Birnbaum, Simpson, Weisberg, Barnea, dan
Simhon (2012) mengemukakan bahwa aktivitas seksual mental dan
perilaku dilakukan oleh individu dengan tujuan kelekatan, terutama dalam
kondisi yang membuat individu merasa hubungannya sedang berada dalam
ancaman atau bahaya.
2. Pengertian Aktivitas Seksual (Mental)
Secara mental, aktivitas seksual mental dapat berbentuk
fantasi-fantasi atau imajinasi tentang seks. Aktivitas seksual mental dapat
mengacu kepada segala bentuk imaginasi mental individu yang
merangsang secara seksual atau erotis. Imajinasi seksual ini dapat
berbentuk paduan cerita atau dapat hanya berupa imajinasi-imajinasi akan
aktivitas-aktivitas romantis dan seksual. Imajinasi tersebut dapat berbentuk
imajinasi yang aneh ataupun realistis.
Selain itu, imajinasi tersebut dapat melibatkan kenangan-kenangan
dari kejadian-kejadian yang telah berlalu ataupun murni hanya sebuah
imajinasi saja (Birnbaum, Simpson, Weisberg, Barnea, & Simhon, 2012).
Kinsey, dkk (1953) dalam McCauley dan Swann (1978) mendefinisikan
aktivitas seksual mental sebagai pikiran dari hubungan seksual yang telah
mereka lakukan sebelumnya, atau pikiran dari hubungan seksual yang
kepada segala bentuk imajinasi mental yang merangsang secara seksual
atau erotis bagi individu. Elemen dasar dari berimajinasi secara seksual
adalah kemampuan individu untuk mengontrol imajinasi itu sendiri
(Leitenberg & Henning, 1995).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Birnbaum, Simpson,
Weisberg, Barnea, dan Simhon (2012) dikemukakan pula bahwa imajinasi
seksual dilakukan oleh individu dengan motivasi yang sama dengan
perilaku seksual, yaitu mendapatkan kesenangan dalam hubungan dan
mendapatkan kelekatan dengan pasangan. Aktivitas seksual mental juga
dilakukan oleh individu disebabkan individu merasa hubungan terancam.
Individu juga cenderung melakukan aktivitas seksual mental disebabkan
hal tersebut dapat dilakukan secara pribadi dan tidak dapat diamati oleh
dunia luar.
Oleh karena imajinasi seksual adalah aspek sentral dari aktivitas
seksual manusia, memahami imajinasi seksual adalah hal pokok untuk
memahami aspek-aspek penting lain dari seksualitas individu. Imajinasi
seksual dapat memengaruhi perilaku seksual dan juga merefleksikan
pengalaman seksual di masa lalu. Dengan kata lain, perilaku seksual yang
individu lakukan dapat dipengaruhi oleh imajinasi mereka, dan sebaliknya,
imajinasi seksual dipengaruhi oleh perilaku seksual yang telah mereka
lakukan, lihat, dan baca sebelumnya (Leitenberg & Henning, 1995).
Imajinasi seksual dapat dipicu oleh hal-hal yang individu baca atau lihat
Imajinasi-imajinasi tersebut dapat digunakan untuk menstimulasi gairah seksual,
demikian pula sebaliknya, gairah seksual dapat menstimulasi
imajinasi-imajinasi mengenai seks (Leitenberg & Henning, 1995).
Dalam imajinasi seksual, individu dapat mengimajinasikan apa pun
yang dia inginkan, entah hal tersebut realistis atau tidak, tanpa mengalami
perasaan malu atau penolakkan sosial dan pembatasan hukum.
Kebanyakan imajinasi seksual dilakukan untuk menstimulasi atau
meningkatkan perasaan puas akan seks entah imajinasi tersebut melibatkan
pengenangan akan pengalaman seksual yang telah dilakukan, aktivitas
seksual yang akan dilakukan, hanya pikiran impian belaka, atau khayalan
(Leitenberg & Henning, 1995). Imajinasi seksual adalah hal yang umum
dialami oleh laki-laki maupun perempuan pada usia pubertas. Selain itu,
semakin meningkatnya imajinasi seksual pada individu berhubungan
dengan meningkatnya perilaku seksual individu.
3. Pengertian Aktivitas Seksual (Perilaku)
Aktivitas seksual tersebut dapat terlihat secara lebih spesifik dalam
perilaku-perilaku seksual. Perilaku seksual pada remaja berkaitan dengan
jalur perkembangan beresiko pada masa remaja (Graber, Brooks-Gunn, &
Galen, 1998; Mitchell & Wellings, 1998a; Tapert, Aarons, Sedlar, &
Brown, 2001). Perilaku seksual juga merupakan proses yang dapat
membentuk bentuk hubungan yang baru dengan lawan jenis. Coleman dan
Roker (1998) mengemukakan bahwa memiliki hubungan intim
perkembangan dewasa. Perilaku seksual juga dapat dipahami sebagai
perilaku yang muncul sebagai hasil dari dorongan untuk memiliki
keturunan, pencarian kesenangan secara biologis maupun psikologis, dan
pernyataan cinta antara lawan jenis maupun sesama jenis. Berikut adalah
penjabaran tipe perilaku seksual secara lebih spesifik oleh Sarwono (dalam
Asmarayasa, 2004):
a. Berpegangan tangan
Perilaku ini seperti bergandengan tangan saat berjalan ataupun
berpegangan tangan saat pasangan sedang berdua saja.
b. Berciuman
Perilaku ini nampak ketika individu mencium pipi pasangan
ataupun mencium bibir pasangan.
c. Berpelukan
Perilaku ini muncul ketika individu merangkul bahu pasangan
ataupun berpelukan secara penuh dengan pasangan.
d. Meraba tubuh
Perilaku ini muncul ketika individu meraba tubuh bagian atas
di luar maupun di dalam pakaian pasangan. Selain itu, perilaku
ini juga muncul ketika individu meraba bagian tubuh bawah di
luar maupun di dalam pakaian pasangan.
e. Menempelkan alat kelamin
Perilaku ini nampak ketika individu melakukan petting dengan
pakaian sama sekali.
f. Masturbasi
Perilaku ini muncul ketika individu melakukan masturbasi
dengan dirinya sendiri maupun ketika individu melakukan
masturbasi dengan pasangan.
g. Hubungan Seks Intercourse
Perilaku ini muncul ketika individu memasukkan alat kelamin
ke dalam alat kelamin lawan jenis.
4. Tipe Perilaku Seksual
Perilaku seksual dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu perilaku
seksual beresiko dan tidak beresiko. Perilaku seksual beresiko dapat
dipahami sebagai hubungan yang tidak aman yang dapat mengakibatkan
timbulnya HIV/AIDS, penyakit seksual menular, atau kehamilan yang
tidak diinginkan. Perilaku seksual beresiko dapat pula dipahami sebagai
perilaku seks yang diikuti dengan penggunaan kondom yang tidak
konsisten dan melakukan hubungan seks dengan berbagai macam partner.
Bisa jadi, mereka melakukan hubungan seksual tersebut bersamaan
dengan mengkonsumsi narkoba dan alkohol, baik sebelum maupun selama
aktivitas berlangsung (Kotchick, Shaffer, Forehand, 2001). Perilaku
seksual tidak beresiko adalah aktivitas seksual tanpa hubungan
intercourse, seperti masturbasi, berciuman, bercumbu, petting, dan oral
seks. Oleh karena perilaku seksual tidak beresiko terjadi tanpa hubungan
seksual menular jauh lebih kecil daripada perilaku seksual beresiko.
5. Dinamika Kemunculan Aktivitas Seksual
Perilaku seksual dimulai dari adanya daya tarik kepada lawan jenis
baik karena fisik, kepribadian, ataupun intellegensi lawan jenis tersebut.
Kemudian, individu akan jatuh cinta kepada lawan jenis melalui stimulasi
fisik dan mental. Jika timbul pikiran-pikiran dan birahi seksual dalam diri
individu, maka hal tersebut akan mendorong munculnya perilaku seksual
(Nugraha, 2010; Sprecher & McKinney, 1993). Abel dan Blanchard
(1974) dalam Stock, James, dan Geer (1982) mengemukakan bahwa
imajinasi seksual dapat membangkitkan gairah seks. Setelah munculnya
dorongan seksual, maka ciuman yang bergairah dapat terjadi. Ciuman
bergairah ini dapat mendorong individu untuk bergerak ke arah perabaan
dada dan alat kelamin pasangan, dan jika memungkinkan individu
melakukan seks oral-genital yang kemudian dilanjutkan dengan seks
intercourse (Geer & Broussard, 1990; Jemail & Geer, 1977; Stock, James,
& Geer, 1982).
6. Dampak Aktivitas Seksual
Aktivitas seksual yang dilakukan dapat memiliki konsekuensi
psikososial yang negatif sebagai dampak dari kurangnya kemampuan
sosial, emosi, dan kognitif untuk terlibat dalam hubungan romantis yang
dikarakteristikan dengan afeksi dan kesetaraan (Ciairano, Kliewer,
Bonino, Miceli, & Jackson, 2006; Mitchell & Wellings, 1998). Imajinasi
dirasakan membuat individu merasa bahwa imajinasi seksual adalah hal
yang tidak bermoral, tidak dapat diterima secara sosial, abnormal, tidak
umum (uncommon), dan indikatif dari adanya masalah dengan diri mereka
atau hubungan mereka, atau keduanya. Selain itu, rasa bersalah (guilt)
berhubungan dengan semakin banyaknya masalah seksualitas (Leitenberg
& Henning, 1995).
Dampak yang jauh lebih serius dari perilaku seksual tidak
terlindungi atau beresiko adalah kehamilan yang tidak diinginkan dan
penyakit seksual menular termasuk HIV. Menarik, penyakit seksual
menular memang terutama menular melalui hubungan intercourse, akan
tetapi penyakit seksual menular juga dapat menular melalui kontak
genital-oral dan kontak genital-anal (Santrock, 2007). Kehamilan remaja
berkaitan dengan ekspektasi pendidikan yang rendah, harga diri yang
rendah, kejahatan, penggunaan zat adiktif, dan alkohol.
7. Alat Ukur
Untuk mengukur variabel aktivitas seksual, peneliti membuat skala
aktivitas seksual. Skala ini adalah skala ordinal yang memiliki nol mutlak.
Hal ini berarti skor nol yang diperoleh subjek menunjukkan angka nol
yang sesungguhnya, tidak adanya variabel itu. Skala aktivitas seksual ini
bertujuan untuk mengukur frekuensi aktivitas seksual individu.
Oleh karena aktivitas seksual terdiri atas dua wilayah, yaitu mental
dan perilaku, maka dalam skala ini pengukuran juga dilakukan secara
6 item aktivitas seksual mental dan 8 item perilaku seksual. Item-item ini
berupa intensitas aktivitas seksual dimulai dari imajinasi yang paling
sederhana hingga ke hubungan seksual berupa intercourse. Pilihan
jawaban skala terdiri atas 4, yaitu 0 (tidak pernah sama sekali), 1-2 kali
(dalam seminggu), 3-4 kali (dalam seminggu), dan lebih dari 4 kali (dalam
seminggu). Pilihan jawaban ini didasarkan atas hasil penelitian yang
dilakukan oleh Safarinejd (2006) yang meneliti tentang frekuensi individu
melakukan aktivitas seksual.
Agar dapat memberikan score value untuk pilihan jawaban, proses
penskalaan perlu dilakukan (Azwar, 2013). Terdapat tiga macam bentuk
penskalaan, yaitu penskalaan stimulus, penskalaan respon, dan penskalaan
subjek. Sebenarnya, penskalaan stimulus adalah penskalaan yang paling
tepat untuk menentukan score value pada skala aktivitas seksual. Akan
tetapi, pada penskalaan stimulus, proses pemberian skor oleh beberapa ahli
perlu dilakukan. Sedangkan tidak semua ahli-ahli tersebut memahami
dengan baik teori mengenai seksualitas. Hal ini dapat menimbulkan
permasalahan dalam pemberian score value untuk setiap pilihan jawaban
yang menimbulkan tingkat error yang semakin tinggi. Oleh karena itu,
penskalaan respon digunakan untuk memberikan score value untuk setiap
pilihan jawaban pada setiap item (Azwar, 2013). Selain itu, Edwards
(1957) mengemukakan bahwa penskalaan respon menghasilkan reliabilitas
koefisien yang sama atau bahkan lebih baik dari penskalaan stimulus.
jawaban di sepanjang kontinum kuantitatif sehingga ditemukan titik letak
masing-masing pilihan jawaban yang kemudian dijadikan sebagai nilai
atau skor (Spector, 1992 dalam Azwar, 2013). Rumus yang digunakan
untuk menghitung score value pada penskalaan respon adalah sebagai
berikut :
pk-t = ½ p + pkb
Keterangan:
pk-t = titik tengah proporsi kumulatif yang dirumuskan
sebagai setengah proporsi dalam kategori yang
bersangkutan ditambah proporsi kumulatif pada
kategori di sebelah kiri
p = proporsi kategori
pk = proporsi sebelah kiri
Setelah nilai pk-t ditemukan untuk setiap item skala, langkah
berikutnya adalah melihat nilai z dengan nilai pk-t yang telah ditemukan. Nilai
z dapat ditemukan pada tabel deviasi normal. Adapun nilai z adalah skor bagi
pilihan jawaban yang bersangkutan.
B. SENSITIVITAS AKAN PENOLAKAN 1. Pengertian Sensitivitas akan Penolakan
Dalam penelitian mengenai rejection sensitivity atau sensitivitas
akan penolakan, para peneliti mendefinisikan sensitivitas akan penolakan
merasakan penolakan, dan reaksi yang berlebihan terhadap penolakan
(Aguilar & Downey, 2009; Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Kang,
2010; Downey & Feldman, 1996; Downey, Lebolt, Rincon, & Freitas,
1998; Feldman & Downey, 1994).
Sensitivitas akan penolakan juga dapat dipahami sebagai proses
kognisi-afeksi (Mischel & Shoda, 1995) yang berasal dari pengalaman
penolakan dan kemudian menjadi aktif dalam situasi sosial dimana ada
kemungkinan terjadinya penolakan. Sensitivitas penolakan bersifat stabil.
Beberapa peneliti lain menjelaskan sensitivitas akan penolakan
juga dapat dipahami sebagai adanya ekspektasi kecemasan akan adanya
penolakandari significant others pada situasi yang memungkinkan adanya
penolakan tersebut (Ayduk, Downey, Testa, & Yen, 1999; Downey,
Freitas, Michaelis, & Khouri, 1998; Downey, Mougios, Ayduk, London, &
Shoda, 2004). Pada akhirnya, sikap bermusuhan terhadap situasi yang
menyebabkan kemunculan perasaan ditolak dihasilkan dari ekspektasi
kecemasan untuk takut ditolak oleh orang-orang yang penting bagi
individu (Ayduk et al., 1999). Padahal, perasaan cemas untuk takut ditolak
dan sikap bermusuhan yang mengikutinya sebenarnya justru akan
memperburuk dan memperpanjang penolakan yang ada (Downey et al.,
2004). Maka, dapat disimpulkan bahwa sensitivitas akan penolakan adalah
ekspektasi kecemasan atau ketakutan akan penolakan, mudah merasakan
penolakan, dan reaksi yang berlebihan terhadap penolakan dari
dalam situasi yang ambigu.
2. Tipe Sensitivitas akan Penolakan
Berdasarkan teori atribusi terdapat dua bentuk penolakan, yaitu
penolakan eksternal (penolakan tidak langsung) dan penolakan internal
(penolakan langsung). Penolakan eksternal terjadi ketika individu
memberikan atribusi eksternal untuk peristiwa penolakan yang terjadi pada
dirinya. Sebagai contoh penolakan eksternal adalah ―Saya ditolak oleh pria tersebut karena saya sedang tidak memiliki waktu untuk berkencan dengan seseorang saat ini.‖ Sedangkan penolakan internal dapat didefinisikan
ketika individu memberikan atribusi internal pada saat peristiwa penolakan terjadi. Sebagai contoh, ― Pria tersebut menolak saya karena saya masih
terlalu kekanak-kanakkan baginya.‖
Para peneliti juga membagi sensitivitas akan penolakan menjadi 2
tipe berdasarkan tingkat sensitivitas akan penolakan, yaitu High Rejection
Sensitivity dan Low Rejection Sensitivity. High Rejection Sensitivity adalah
level yang tinggi akan sensitivitas penolakan dan Low Rejection Sensitivity
adalah level yang rendah akan sensitivitas akan penolakan.
Penelitian-penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa salah satu prediktor yang dapat
memprediksi tingkat intensitas rejection sensitivity adalah delayed
gratification yang mengandalkan proses berpikir mindfulness (Ayduk,
Mendoza, Denton, Mischel, & Downey, 2000).
3. High Rejection Sensitivity dan Low Rejection Sensitivity
Sensitivity dapat didefinisikan sebagai level sensitivitas yang tinggi untuk
merasa cemas dan khawatir akan pengabaian dan penolakan (Downey,
Freitas, Michaelis, & Khouri, 1998) sehingga individu tanpa disadari
mencari-cari situasi yang memungkinkan terjadinya penolakan, dan
sensitif terhadap sikap ataupun perilaku orang lain yang ambigu (Ayduk,
Denton, Mischel, & Downey, 2000; Downey & Feldman, 1996; Downey,
Freitas, Michaelis, & Khouri,1998) dan tidak terlalu mengharapkan
penerimaan (Ayduk, Downey, & Kim, 2001). Individu yang memiliki
level sensitivitas akan penolakan yang tinggi akan cenderung merespon
secara agresif ketika mereka mengalami penolakan dalam kehidupan
(Downey et al., 2000).
Selain itu, individu HRS akan lebih termotivasi untuk menghindari
penolakan dan memberikan upaya untuk mencegahnya (Aguilar &
Downey, 2009). Individu HRS juga cenderung menginterpretasikan secara
negatif atau ambigu atas tanda-tanda sosial, seperti perilaku orang lain
yang dingin dan mengambil jarak. Hal ini kemudian dapat mengarah
kepada perilaku merasa bersalah, depresi, dan penarikan diri secara sosial
(Aguilar & Downey, 2009). Penelitian yang sama mengemukakan bahwa
individu HRS memiliki resiko yang lebih besar untuk memiliki HIV. Hal
ini disebabkan individu tersebut lebih menyetujui keputusan untuk
melakukan hubungan seks dengan pasangan dan penggunaan kontrasepsi
yang tidak seharusnya. Individu HRS juga lebih beresiko untuk mengalami
Avoidant Personality Disorder (APD) (Aguilar & Downey, 2009).
Level sensitivitas akan penolakan yang rendah dapat didefinisikan
sebagai level sensitivitas yang rendah untuk merasa cemas dan khawatir
akan pengabaian dan penolakan sehingga pada individu yang LRS, mereka
cenderung tidak terlalu khawatir akan penolakan dan lebih mengharapkan
penerimaan dari orang lain (Ayduk, Downey, & Kim, 2001; Ayduk,
Downey, Testa, & Yen, 1999; Ayduk, Denton, Mischel, & Downey,
2000). Individu yang LRS juga cenderung merespon penolakan dengan
cool system, yaitu individu menggunakan proses kognitif yang
memungkinkan adanya refleksi dan pemecahan masalah yang rasional
(Metcalfe & Mischel, 1999; Mischel, Shoda, & Rodriguez, 1989).
4. Dinamika Kemunculan Sensitivitas akan Penolakan
Sensitivitas akan penolakan dapat dimiliki oleh individu yang
pernah mengalami peristiwa atau pengalaman penolakan sebelumnya
(Kang & Downey, 2007). Peristiwa penolakan yang pertama dialami
individu biasanya diawali dari dalam keluarga. Oleh karena keluarga
adalah lingkungan primer bagi individu, maka bentuk hubungan yang
terjalin di dalam keluarga akan turut membentuk banyak aspek psikologis
dalam diri individu. Orang tua yang melakukan kekerasan baik secara fisik
maupun verbal kepada anak akan membuat anak merasakan penolakan.
Selain itu, pengabaian secara fisik dan emosi serta penerimaan yang
bersyarat dari orang tua membuat anak merasa tidak diterima atau ditolak
menuntut anak untuk memenuhi keinginan orang tua.
Pembentukan sensitivitas akan penolakan pada individu juga dapat
terjadi ketika kebutuhan individu di masa kanak-kanaknya dipenuhi atau
tidak. Ketika kebutuhan mereka dipenuhi secara konsisten, anak akan
mengembangkan secure working model yang berkaitan dengan
pengharapan apakah orang lain akan menerima dan mendukung mereka.
Namun, ketika kebutuhan anak ditanggapi dengan penolakan (baik overt
maupun covert), mereka akan mengembangkan insecure working models
yang berkaitan dengan ketakutan dan keraguan akan apakah orang lain
akan menerima dan mendukung mereka. Untuk mengatasi gejolak negatif
ini, individu akan mengembangkan respon defensif yang muncul dalam
bentuk kecemasan atau kemarahan ( Downey, Lebolt, Rincon, & Freitas,
1998).
Seraya anak bertumbuh dewasa, lingkungan sosial anak juga
semakin luas. Sumber pengalaman penolakan selanjutnya dapat pula
diperoleh dari teman-teman. Misalnya, individu tersebut menjadi korban
atau sasaran ejekan, disingkirkan, menjadi subjek gosip dan rumor, serta
diabaikan oleh teman-temannya (Asher & Coie, 1990; Crick & Grotpeter,
1995). Pengalaman penolakan ini kemudian mengarah kepada
pembentukan sensivitas akan penolakan yang justru mengarahkan kepada
Diagram Proses Kemunculan Rejection Sensitivity
5. Dampak Penolakan
Terdapat bukti bahwa penolakan (Leary et al., 2006) dan kepekaan
terhadap penolakan (Romero-Canyas et al., 2010a) memengaruhi agresi,
baik secara fisik dan non-fisik (Twenge et al., 2001). Jika individu HRS
mengalami penolakan, maka individu tersebut akan cenderung merespon
secara agresif yang dapat menghasilkan luka pada diri sendiri dan orang
lain (Downey et al., 2000, 2004).
Selain itu, penolakan interpersonal dapat membuat individu merasa
buruk. Individu yang ditolak menunjukkan perasaan positif yang menurun
dan perasaan negatif yang meningkat. Individu yang mengalami penolakan
juga akan mengalami perasaan diabaikan karena adanya perasaan ditolak
tersebut (Maner, DeWall, & Baumeister, 2007). Harga diri individu juga
dapat menurun karena penolakan yang dialami (Leary, Tambor, & Terdal,
1995). Zadro & Williams (2005) menambahkan bahwa selain harga diri,
kebutuhan dasar lain seperti rasa saling memiliki, kontrol, dan kehadiran
Penolakan dapat pula memberi dampak pada penuruan well-being
individu dan merusak fungsi hubungan interpersonal seseorang karena
mereka cenderung merasa tidak aman dan tidak bahagia dengan hubungan
mereka. Respon yang ditimbulkan dari penolakan adalah perasaan
bersalah, kekesalan, penarikan diri secara emosional, dan kecemburuan
yang tidak logis.
Individu juga dapat memiliki sindrom klinis, seperti depresi,
kecemasan sosial, Borderline Personality Disorder (Kang & Downey
2007), dan Avoidant Personality Disorder (Aguilar & Downey, 2009).
6. Alat Ukur
Terdapat berbagai macam alat ukur atau skala untuk mengukur
sensitivitas akan penolakan. Beberapa alat ukur tersebut adalah RSQ-A
(Rejection Sensitivity Questionnaire-Adolescent), CRSQ (Children
Rejection Sensitivity Questionnaire), RSQ-R (Rejection Sensitivity-
Revised), GRS (Gay-related Rejection Sensitivity), dan IPSM
(Interpersonal Sensitivity Measure).
Peneliti yang membuat skala Rejection Sensitivity Questionnaire
(RSQ) adalah Downey dan Feldman. Macam-macam skala ini didasarkan
pada tahap perkembangan individu, yaitu RSQ Adult (18 item), RSQ Adult
Young (9 item), dan RSQ Children (12 item). Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan skala RSQ Children. Skala ini dipilih sebagai skala untuk
penelitian ini karena skala ini diperuntukkan untuk remaja dan
Skala RSQ akan terdiri atas 12 situasi yang menggambarkan
penolakan yang mungkin saja terjadi. Partisipan akan diminta untuk
membayangkan diri mereka berada pada situasi tersebut dan kemudian
menjawab tiga pertanyaan berupa skala Likert sebagai bentuk respon
mereka terhadap situasi tersebut. Pertanyaan pertama pada setiap item
akan bertujuan untuk mengindikasikan seberapa gelisah atau cemas
individu akan penolakan. Pilihan jawaban terentang dari angka 1 sampai 6
dengan angka 1 mengindikasikan sangat tidak gelisah dan angka 6 untuk
sangat gelisah. Pertanyaan kedua pada setiap item akan bertujuan untuk
mengindikasikan seberapa kemarahan individu terhadap penolakan.
Pilihan jawaban akan sama seperti pertanyaan pertama, yaitu berupa skala
Likert dengan rentang 1 sampai 6. Sedangkan pertanyaan ketiga pada
setiap item skala akan bertujuan untuk mengindikasikan perkiraan
subjektif individu terhadap situasi tersebut. Pilihan jawaban juga berupa
skala Likert dengan rentang 1 sampai 6. Angka 1 menunjukkan sangat
tidak sesuai dan angka 6 untuk sangat sesuai.
Skala RSQ-Children memiliki reliabilitas yang tergolong baik. Downey dan Feldman (1996) menunjukkan bahwa nilai α Cronbach dari
skala RSQ-Children adalah sebesar 0.83. Validitas skala ini juga
dibuktikan dengan adanya penggunaan skala oleh banyak peneliti dalam
penelitian area kepekaan terhadap penolakan (Khoshkam, Bahrami,
C. REMAJA
1. Pengertian Remaja
Pada Bukatko (2008) dikemukakan teori bahwa individu dapat
dikatakan remaja ketika mereka berada pada usia 12 sampai 18 tahun.
Masa remaja dapat dipahami sebagai masa yang penuh perubahan dalam
tahapan perkembangan. Hal ini disebabkan pada masa remaja inilah
perubahan dari masa kanak-kanak beralih menuju masa dewasa.
Perubahan yang terjadi adalah perubahan secara biologis, kognitif, dan
sosial-emosional (Sternberg, 2002).
2. Perkembangan pada Remaja a. Perkembangan Biologis
Salah satu perkembangan yang terjadi pada remaja adalah
perkembangan biologis. Perubahan secara fisik yang dialami oleh
remaja dapat dipahami sebagai pubertas. Pubertas dapat dipahami
sebagai perubahan secara fisik pada remaja, seperti pertumbuhan buah
dada pada remaja wanita, rambut kemaluan, dan pertumbuhan tinggi
tubuh, serta kematangan alat reproduksi (Graber, Petersen, &
Brooks-Gunn, 1996 dalam Sternberg, 2002). Pubertas pada remaja membuat
mereka beradaptasi dengan remaja yang lain dan orang-orang di
sekitarnya. Perubahan pada bentuk wajah, tubuh, dan bagaimana
mereka memandang diri mereka secara fisik memengaruhi hubungan
mereka dengan orang-orang di sekitarnya. Misalnya, remaja akan lebih
nyaman untuk dekat secara fisik dengan ayah atau ibu mereka
(Sternberg, 2002).
b. Perkembangan Kognitif
Secara kognitif, remaja mengalami banyak perubahan jika
dibandingkan dengan masa anak-anak. Para remaja lebih dapat
memahami kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dan dapat
mengeneralisasikan kemungkinan-kemungkinan secara sistematik dan
membuat hipotesis. Remaja juga dapat berpikir secara abstrak serta
dapat memahami hal-hal yang tidak dapat dihitung dan diukur.
Remaja mulai berpikir lebih kepada proses berpikir, mereka jauh lebih
reflektif. Mereka lebih mampu untuk mengawasi pikiran mereka dan
menjelaskan proses yang mereka gunakan untuk membuat keputusan
dan tindakan tertentu. Sudut pandang mereka menjadi jauh lebih
kompleks sehingga mereka mempertimbangkan sudut pandang yang
beragam sebelum membuat keputusan. Selain itu, remaja juga akan
mengembangkan kemampuan untuk berpikir secara hipotesis
mengenai diri mereka sendiri, hubungan mereka dengan orang lain,
dan dunia di sekitar mereka. Remaja akan mampu untuk berpikir
secara logika mengenai bagaimana kehidupan mereka di masa depan
dan hubungan mereka dengan orang-orang di sekitar mereka
(Sternberg, 2002).
c. Perkembangan sosial-emosional