viii
Universitas Kristen Maranatha LEGAL MEMORANDUM PRENUPTIAL AGREEMENT ON
INTERMARRIAGE WHICH HELD IN FOREIGN COUNTRY AND REGISTERE IN CIVIL REGISTRATION AGENCY
The intermarriage in Indonesia still encountered problems in practices implementation. One of the case is experience by Mr L whereas the prenuptial agreement which was made and registered before marriage should not apply to third party. The join property between Mr L and his wife caused Mr L cannot own freehold tittle and building rights tittle which is of Indonesian citizen rights.
There are two legal issues in this case. First, what legal action that can be taken by Mr L and his wife in order to have freehold tittle and building rights tittle. Second, what kind of legal action can be taken by the intermarriage subject in order to obtain their rights as Indonesian citizens.
The author concluded there are 3 legal actions that can be done by Mr L, first
submit court determination appeal to Surabaya District Court in order to instruct Civil
Registration Agency to ratify and register prenuptial agreement of marriage
certificate, submit the right to use submission to goverment, and naturalization. Legal
action that can be done by Mr L is to submit judicial riview to Mahkamah Konstitusi
regarding Article 21 verse (1) and (3), Article 36 Verse (1) Act Number 5/1960
Concerning Agrarian and Article 29 verse (1) and Article 35 verse (1) Act Number
1/1974 Concerning Marital Law which are contrary to Constitution of the Republic of
Indonesia.
LEGAL MEMORANDUM PERJANJIAN PERKAWINAN PADA PERKAWINAN CAMPURAN YANG DILANGSUNGKAN DI NEGARA
ASING DAN DIDAFTARKAN DI CATATAN SIPIL INDONESIA ABSTRAK
Pelaksanaan perkawinan campuran di Indonesia masih menemui beberapa masalah dalam praktik pelaksanaannya. Salah satunya adalah masalah yang dialami oleh Tuan L dimana perjanjian perkawinan yang Tuan L buat sebelum perkawinan dan telah didaftarkan tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Adanya pencampuran harta antara Tuan L dan Isteri Tuan L menjadikan Tuan L tidak dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan atas tanah sebagai warga negara Indonesia dengan hak-hak yang melekat terhadapnya.
Terdapat 2 masalah hukum dalam kasus ini. Pertama, bagaimana tindakan hukum yang harus diambil oleh Tuan L dan Isterinya secara khusus untuk dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan di Indonesia dan tindakan hukum apa yang secara umum berguna bagi seluruh pelaku perkawinan campuran di Indonesia yang mengalami masalah yang sama dengan Tuan L yang merasa haknya sebagai warga negara Indonesia tidak dipenuhi.
Penulis menyimpulkan terdapat 3 tindakan hukum yang dapat dilakukan secara khusus berdampak langsung terhadap Tuan L , yaitu membuat permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri Surabaya yang memerintahkan agar perjanjian perkawinan tersebut dicatatkan di buku register pencatatan nikah di Kantor Pencatatan Sipil, permohonan hak pakai atas tanah dan pewarganegaraan. Tindakan hukum yang berdampak secara umum adalah uji materil terhadap Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36 ayat (1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
x
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PANITIA...iv
LEMBAR MENGIKUTI SIDANG...v
LEMBAR MENGIKUTI REVISI...vi
KATA PENGANTAR...vii
ABSTRACT...viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN. ... 1
A. Kasus Posisi ... 1
B. Permasalahan Hukum... 6
BAB II DOKUMEN-DOKUMEN ... 7
A. Undang-Undang Dasar 1945 ... 7
B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 ... 12
C. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ... 13
D. Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 ... 14
E. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ... 16
D. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 19
G. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 ... 20
CAMPURAN DI INDONESIA ... 27
A. Pengertian Perkawinan ... 27
1. Definisi Perkawinan ... 27
2. Asas-Asas Dalam Perkawinan ... 33
3. Sahnya Perkawinan ... 36
4. Akibat Perkawinan ...39
A. Perkawinan Campuran ... 42
1. Menurut (GHR) 158/1898 ... 42
2. Definisi Perkawinan Campuran... 43
3. Tata Cara Perkawinan Campuran ... 44
B. Perjanjian Perkawinan ... 45
1. Bentuk Perjanjian Perkawinan ... 48
C. Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Campuran ... 51
BAB IV PENDAPAT HUKUM... 54
A. Penetapan Permohonan Pengesahan Perjanjian Perkawinan Tuan L dan Isteri Tuan L ... 54
B. Hak Pakai Sebagai Hak Atas Tanah Yang Dapat Dimiliki Oleh Warga Negara Asing ... 61
C. Pewarganegaraan Menjadikan Tuan L dan Isteri Memiliki Hak Milik dan Hak Guna Bangunan...63
xii
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria [Pasal 21 ayat (1) dan ayat
(3), serta Pasal 36 ayat (1)] dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan [Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1)]
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945... 67
BAB V PENUTUP ... 76
A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN
(Curriculum Vitae)
BAB I
KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Suatu perbuatan hukum yang
sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak
(suami dan istri) dalam menciptakan keluarga yang bahagia.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Perkawinan untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.1
Perkawinan membuktikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan peran manusia lain dan
masyarakat dalam hidupnya. Perkawinan dapat dilangsungkan oleh siapa saja,
selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan agama warga negara
tersebut, walaupun berbeda kewarganegaraan yang disebut perkawinan campuran.
Perkawinan campuran diperbolehkan di Indonesia, dimana hal tersebut
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Para
pelaku perkawinan campuran dianjurkan untuk membuat perjanjian pisah harta
agar secara hukum harta kedua belah pihak tidak tercampur dan tetap dapat
membeli property di wilayah negara Indonesia.
Dalam praktek masih banyak masalah hukum berkaitan dengan
perkawinan campuran, salah satunya adalah masalah hukum yang terjadi pada
Tuan L seorang warga negara Indonesia pelaku perkawinan campuran yang
1
2
Universitas Kristen Maranatha
merasa haknya sebagai warga negara hilang karena tidak dapat memiliki hak milik
dan hak guna bangunan.
Adapun kasus posisi mengenai kasus yang menimpa Tuan L adalah
sebagai berikut :
A. KASUS POSISI
Tuan L seorang warga negara Indonesia ingin melangsungkan
pernikahan dengan seorang wanita warga negara asing
berkewarganegaraan negara C. Sebelum menikah, Tuan L dan calon
istrinya meminta saran kepada pelaku kawin campur lain yang sudah
terlebih dahulu menikah dan berkonsultasi kepada ahli hukum guna
mendapatkan informasi terkait dengan dokumen atau kelengkapan apa saja
yang harus saya persiapkan.
Hasil dari konsultasi tersebut, Tuan L akan membuat sebuah
perjanjian perkawinan sebelum melakukan perkawinannya. Perjanjian
perkawinan menjelaskan bahwa dua orang yang terikat dalam perjanjian
perkawinan tersebut memiliki penguasaan harta selama perkawinan yang
terpisah yang berarti tidak adanya pencampuran harta. Berdasarkan hal
tersebut perjanjian perkawinan sangat berguna jika suatu saat pelaku
perkawinan campuran akan membeli sebidang tanah atau rumah, ataupun
untuk meminjam uang di bank. Sehingga perjanjian perkawinan tersebut
merupakan salah satu prioritas utama Tuan L dan calon istri karena
Pada bulan Maret 2015 Tuan L bersama calon istri membuat
perjanjian perkawinan tentang pisah harta di salah satu kantor notaris di
Surabaya, dan perjanjian kawin tersebut telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Surabaya tertanggal 6 Maret 2015 dengan Nomor
Register 51/PK/2015.
Pada awalnya, Tuan L dan calon istri berencana melangsungkan
perkawinan di Surabaya, namun ternyata perkawinan tersebut tidak dapat
dilangsungkan di Indonesia karena calon isteri tidak memiliki akta lahir.
Hal ini disebabkan adanya peraturan di negara C pada waktu itu tidak
memperkenankan memiliki anak lebih dari satu orang, atau lebih dikenal
dengan kebijakan one child policy, sedangkan calon isteri Tuan L adalah
anak kedua sehingga orang tua calon isteri tidak mendaftarkan kelahiran
tersebut untuk menghindari adanya denda yang sangat besar dari
Pemerintah negara C.
Alasan kedua adalah karena calon isteri Tuan L dilahirkan di
rumahnya bukan dirumah sakit sehingga dia tidak bisa mendapatkan akta
lahir. Di negara C yang menerbitkan akta lahir adalah pihak rumah sakit.
Hal-hal yang disebutkan di atas menjadi alasan yang membuat
Tuan L dan calon isteri memutuskan untuk menikah di negara C, negara
calon isteri Tuan L berasal. Hal tersebut dikarena di negara C akta lahir
bukanlah menjadi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Tuan L
dan isterinya menikah secara resmi di negara C dan mengurus
semua dokumen-dokumen yang diperlukan, termasuk pada saat itu Tuan L
4
Universitas Kristen Maranatha
di Indonesia kepada petugas catatan sipil instansi terkait di salah satu kota
di negara C .
Hasilnya perjanjian kawin tersebut tidak bisa dicantumkan di akta
kawin di negara C dengan alasan bahwa perjanjian kawin tersebut dibuat
di Indonesia, dan menggunakan Bahasa Indonesia. Tuan L dan isterinya
mengupayakan untuk menerjemahkan perjanjian perkawinan mereka ke
dalam bahasa Mandarin dengan penerjemah tersumpah agar dapat
dicantumkan dalam akta kawin, namun tetap ditolak.
Sekembalinya ke Indonesia, Tuan L segera melaporkan dan
mendaftarkan perkawinannya ke kantor catatan sipil di Surabaya disertai
lampiran perjanjian perkawinan yang sudah dibuat sebelumnya di kantor
notaris Surabaya, namun petugas catatan sipil tidak bisa menerima
perjanjian kawin Tuan L berdasarkan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan ;
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Ketentuan selanjutnya perjanjian perkawinan harus dibuat dengan
Akta Notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Petugas Pencatat Perkawinan. Perjanjian Kawin ini mulai berlaku antara
suami-isteri pada saat perkawinan selesai dilakukan di depan
Pegawai pencatatat nikah dan mulai berlaku terhadap para pihak ketiga
agama setempat, di mana dilangsungkannya perkawinan dan telah dicatat
dalam Akta Perkawinan pada Catatan Sipil2 dan inilah yang menjadi
alasan penolakan dari Kantor Pencatatan Sipil Surabaya.
Pada bulan Mei 2015, Tuan L mengajukan pinjaman uang ke bank
untuk membeli sebuah rumah, namun permohonan pinjamannya ditolak
karena perjanjian kawin Tuan L tidak didaftarkan di kantor catatan sipil.
Tuan L kemudian mencoba untuk membuat perjanjian perkawinan baru
namun semua notaris menolak dengan alasan bahwa perjanjian
perkawinan hanya dapat dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan.
Berdasarkan kronologis kasus di atas penulis akan
mengklasifikasikan fakta-fakta hukum dari kasus tersebut, sebagai berikut
:
1. Bahwa Tuan L dan calon isteri Tuan L tidak dapat menikah di
Indonesia karena tidak memenuhi syarat administratif pernikahan,
yaitu berupa akta lahir.
2. Bahwa pada Maret 2015 Tuan L dan calon isteri Tuan L Pada
bulan Maret 2015 Tuan L bersama calon istri membuat perjanjian
perkawinan tentang pisah harta di kantor notaris di Surabaya.
3. Perjanjian perkawin Tuan L dan calon isteri Tuan L telah
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya tertanggal
6 Maret 2015 dengan Nomor Register 51/PK/2015.
2
6
Universitas Kristen Maranatha
4. Tuan L dan calon isteri Tuan L menikah di negara C, negara asal
calon isteri Tuan L. Kantor instansi terkait di negara menolak
mencantumkan perjanjian kawin di akte nikah.
5. Tuan L dan isteri Tuan L mencatatkan perkawinan mereka ke
Kantor Catatan Sipil Surabaya dan mendaftarkan perjanjian kawin
mereka namun ditolak oleh Kantor Pencatatan Sipil.
6. Tuan L mengajukan kredit KPR ke Bank, namun ditolak karena
tidak ada perjanjian kawin.
B. PERMASALAHAN HUKUM
Berdasarkan pemaparan kasus di atas penulis menemukan
beberapa masalah hukum, yaitu :
1. Hal apa yang harus dilakukan pertama kali oleh Tuan L dan Isterinya
agar perjanjian perkawinan mereka diakui secara hukum ?
2. Apakah hal yang harus dilakukan oleh Tuan L agar memiliki hak atas
tanah ?
3. Apakah tindakan yang harus diambil oleh isteri Tuan L agar mereka
dapat membeli rumah dengan hak milik ?
4. Tindakan apa yang dapat diambil oleh Tuan L dan isterinya agar
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Pokok permasalahan dalam kasus ini adalah perjanjian perkawinan yang
tidak berlaku terhadap pihak ketiga karena tidak tercantum dalam akta
perkawinan. Tindakan hukum yang harus dilakukan oleh Tuan L adalah
dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri
Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya
Perjanjian Perkawinan Tuan L dan isterinya tertanggal 6 Maret 2015
dengan Nomor Register 51/PK/2015 sebelum perkawinan dan
memerintahkan agar perjanjian perkawinan tersebut dicatatkan di buku
register pencatatan nikah baik di Kantor Pencatatan Sipil. Nomor Register
51/PK/2015 dari Akta yang dibuat dihadapan notaris memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna karena dibuat oleh Pejabat Negara yang
berwenang. Apabila di kemudian hari rekomendasi pendapat hukum ini
dipilih oleh Tuan L , maka setelah penetapan dikeluarkan oleh Pengadilan
Negeri Surabaya sebagai buktinya pada akta perkawinan di halaman
belakang akan diketik sesuai dengan Penetapan Pengadilan yang
mensahkan perjanjian perkawinan yang telah dibuat dihadapan notaris
Surabaya sesuai dengan tanggal pembuatan dan nomer registernya. Akibat
dari dikeluarkannya penetapan tersebut adalah Perjanjian Perkawinan yang
78
pencampuran harta bersama antara Tuan L dan isterinya. Artinya Tuan L
dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan atas tanah.
2. Permohonan Pengajuan Hak Pakai adalah salah satu solusi yang dapat
diambil oleh Tuan L dan Isterinya seperti yang tercantum dalam Pasal 42
Undang-Undang Pokok Agraria. Pencampuran harta antara Tuan L dan
Isterinya menyebabkan Tuan L seperti kehilangan kewarganegaraannya
karena asas nasionalisme yang terkandung dalam Pasal 21 dan Pasal 36
UUPA. Hak Pakai ini berjangka waktu 30 (dua puluh lima tahun) tahun
dapat diperpanjang selama 20 (dua puluh tahun) serta dapat diperbaharui
hak pakainya atas tanah yang sama. Tuan L dapat mengajukan
permohonan pengajuan hak pakai atas tanah hak milik, karena hak pakai
atas tanah hak milik lebih mudah dalam memperjanjikan dimana
kesepakatan keduanya lebih mudah diraih apabila suatu saat akan
menaikkan hak pakai tersebut menjadi hak milik atau melakukan
pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama.
3. Pewarganegaraan atau pengajuan permohonan perpindahan
kewarganegaraan warga negara asing menjadi warga negara Indonesia
adalah tindakan hukum yang dapat diambil oleh Isteri Tuan L. Dengan
jalur ini unsur subjek warga negara Indonesia yang tercantum dalam Pasal
21 dan Pasal 36 UUPA menjadi terpenuhi walaupun adanya percampuran
harta antara keduanya dan Tuan L beserta Isteri dapat memiliki hak milik
dan hak guna bangunan atas tanah. Setelah melakukan pewarganegaraan
Tuan L dan Isteri dapat meningkatkan hak pakai menjadi hak milik atau
4. Secara umum ada tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh Tuan L
mengingat dimana Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36 ayat
(1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak sesuai dengan Pasal 28D
ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan
Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan Pasal 36 ayat (1) UUPA bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dimana frasa warga negara
Indonesia pada Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA sepanjang
tidak dimaknai warga negara Indonesia tunggal tanpa terkecuali
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Warga Negara
Indonesia yang menikah dengan warga negara asing tetap menjadi warga
negara Indonesia sehingga sebenarnya unsur warga negara Indonesia
dalam UUPA seharusnya terpenuhi walaupun tanpa adanya perjanjian
perkawinan. Dikarenakan keadaan saat ini dimana Undang-Undang
dibawah Undang-Undang Dasar 1945 memberi frasa warga negara dengan
berbeda menyebabkan multitafsir sehingga menyebabkan sedikit banyak
merenggut hak-hak dasar Warga Negara Indonesia yang dijamin
Undang-Undang Dasar. Status kewarganegaraan dari subjek hukum sangat
menentukan status tanah yang dikuasainya. Perihal harta benda dalam
Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perkawinan menentukan
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta
masing-80
masing pihak resmi menjadi suami-istri, harta benda yang diperoleh
masing sebagai hadiah atau warisan di bawah penguasaan
masing-masing para pihak dan tidak menentukan lain. Pasal 36 UUPA mengatur
mengenai harta bersama suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing suami-istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bersama. Pengertian harta benda yakni khususnya mengenai tanah.
Inilah yang kemudian menjadi masalah dalam praktik. Banyak pihak
beranggapan bahwa karena menjadi harta bersama, maka penguasaan
pemilikan baik fisik maupun yuridis menjadi milik bersama. Sehingga
berakibat bagi pelaku perkawinan campuran. Sekalipun tanah hak milik,
hak guna bangunan dimiliki terdaftar atas nama WNI, menjadi milik
bersama WNA. Hal ini berakibat Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok
Agraria tetap berlaku dan akhirnya berdampak hilangnya hak
konstitusional seorang WNI untuk mempunyai tanah dengan status hak
milik dan hak guna bangunan. Oleh karenanya saya menyetujui bahwa
dikeluarkannya hak milik dan hak guna bangunan dari harta bersama oleh
WNI yang melakukan kawin campur. Dengan catatan adanya pengawasan
yang diperketat apabila terjadi peristiwa hukum yang menyebabkan hak
milik dan HGB tersebut jatuh ke tangan asing.
B. Saran
1. Pemerintah seharusnya mengatur bahwa segala bentuk perjanjian
selama dibuat sebelum atau saat perkawinan dan telah didaftarkan
nomer register. Hal ini sangat dibutuhkan mengingat tidak semua
pelaku perkawinan campuran dapat melaksanakan perkawinan di
Indonesia seperti yang terjadi dalam kasus ini.
2. Merubah Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 36 ayat
(1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal
28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 4 Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 yang menjamin setiap warga negara Indonesia
tanpa terkecuali dapat memiliki hak milik dan hak guna bangunan.
3. Harus adanya Undang-Undang yang mengatur secara jelas bahwa
perjanjian perkawinan harus dimuat dalam Akta Perkawinan atau
tidak karena banyaknya ketidakseragaman di masing-masing
Kantor Pencatatan Sipil agar tidak menjadikan adanya
kebingungan terhadap masyarakat terutama pelaku perkawinan
81
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan,Bandung:Citra Aditya Bakti,1990.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi
Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.
Duvall, E & Miller, C. M. ,Marriage and Family Development 6th ed. New
York:Harper & Row Publisher, 1985.
Grace A. Luppino and Justine FitzGerald Miller, The Paralegal’s Guide to
Family Law and Practice, New Jersey, USA: Pearson Education, 2002.
Herlien Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya:
Arkola, 2003.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Cet-1, Bandung: Maju Mundur, 1990.
Libertus Jehani, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon)
Suami Istri Cetakan Pertama, Jakarta:Rana Pustaka, 2012.
Mochammad Djai’s, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan,
Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang,2009.
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading CO
Medan,1975.
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum
PerdataInternational Suatu Orientasi, Jakarta:Raja Grafindo Persada,
1997.
Ros Macdonald and Denise McGill, LexisNexis Skills Series Drafting, Second
Edition, Australia :LexisNexis Butterworths, 2008.
Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan:Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi Hukum, Cetakan Kedua,2011.
Solahudin Pugung , Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama di
Pengadilan Agama, Cetakan kesatu,Jakarta:Legal Centre
Publishing,2011.
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung:Citra Aditya Bakti,
1992.
Soetodjo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan
Keluarga (Personen en Familie-Recht), Cetakan ke-IV, Airlangga
University Press, 2008.
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press,1986.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:Intermasa, 1989.
Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar,cet.11, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No.158), cet.4, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
83
Universitas Kristen Maranatha
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berspektif
Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2006.
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2006.
, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi
Pertama,Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group,2008.
. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta:Prestasi
Pustaka Publiser,2006.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum,Yogyakarta : Kanisius, 1995.
Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana
Denpasar,2006
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia:
Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6
Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara Dan Hak Pengelolaan.
C. Pranata Luar
http://smktpi99.blogspot.com/2013 /01/pernikahan/15.html.
https://kuliahade.wordpress.com/2010/ 04/02