PENGARUH KEMAMPUAN BEAUTY INFLUENCER DAN GAYA HIDUP METROSEKSUAL TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK
PERAWATAN KULIT (SKINCARE) PADA KONSUMEN PRIA
S K R I P S I
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
OLEH:
ERIKSON A P SILALAHI 171301122
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN GANJIL, 2020/2021
Pengaruh Kemampuan Beauty Influencer Dan Gaya Hidup Metroseksual Terhadap Keputusan Pembelian Produk Perawatan Kulit (Skincare) Pada
Konsumen Pria
Erikson A. P Silalahi dan Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan beauty influencer terhadap keputusan pembelian produk skincare pada konsumen pria, pengaruh gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian produk skincare pada konsumen pria, dan pengaruh simultan antara kemampuan beauty influencer dan gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian produk skincare pada konsumen pria. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Subjek pada penelitian ini adalah seluruh pria yang menggunakan produk skincare di Indonesia. Alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner beauty influencer, kuesioner gaya hidup metroseksual, dan kuesioner keputusan pembelian. Analisa data dilakukan dengan metode regresi logistik sederhana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara kemampuan beauty influencer dan keputusan pembelian skincare pada konsumen pria, tidak terdapat pengaruh antara gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian skincare pada konsumen pria, dan terdapat pengaruh simultan antara kemampuan beauty influencer dan gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian skincare pada konsumen pria. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan pelaku bisnis skincare dalam memperhatikan aspek kualitas dan kemampuan beauty influencer yang dipercaya dalam melakukan endorsement pada produk skincare yang mereka pasarkan untuk meningkatkan keputusan pembelian terhadap produk mereka.
Kata Kunci : Beauty Influencer, Gaya Hidup Metroseksual, Keputusan Pembelian
Effect of Beauty Influencer Ability and Metrosexual Lifestyle to Purchasing Decisions of Skincare Products for Male Consumers
Erikson A. P Silalahi dan Eka Danta Jaya Ginting
ABSTRAK
This research aims to determine the effect of beauty influencer ability on purchasing decisions of skincare products for male consumers, the influence of metrosexual lifestyle on purchasing decisions of skincare products for male consumers, and the simultaneous effect of the beauty influencers ability and metrosexual lifestyle on purchasing decisions of skincare products for male consumers. The method used in this research is a quantitative method. The subjects in this research were all men who use skincare products in Indonesia. The data collection tool in this research is the beauty influencer questionnaires, metrosexual lifestyle questionnaires, and purchase decision questionnaires. Data analysis is done by simple logistic regression method. The results of this study indicate that there is a positive influence between the ability of beauty influencers and skincare purchasing decisions on male consumers, there is no influence between metrosexual lifestyles on skincare purchasing decisions for male consumers, and there is a simultaneous influence between beauty influencers and metrosexual lifestyles on skincare purchasing decisions in male consumers.
Keywords : Beauty Influencer, Metrosexual Lifestyles, Purchasing Decisions
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Adapun judul skripsi yang penulis buat yaitu “Pengaruh Kemampuan Beauty Influencer dan Gaya Hidup Metroseksual terhadap Keputusan Pembelian Produk Perawatan Kulit (Skincare) pada Konsumen Pria”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dalam pembuatan skripsi penulis mengalami banyak halangan dan hambatan. Dibutuhkan kesungguhan dan ketekunan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mendapatkan banyak bimbingan, dorongan, semangat, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.A., Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penyusunan skripsi serta yang selalu sabar dalam menghadapi penulis, bersedia meluangkan waktunya yang sangat padat untuk membimbing peneliti, dan tidak berhenti memberikan nasehat dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi dan juga selaku dosen penguji yang telah telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, dan juga arahan yang membuat penulisan skripsi ini menjadi lebih baik.
3. Bapak Fahmi Ananda, M.Psi., selaku dosen penguji yang telah telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, dan juga arahan yang membuat penulisan skripsi ini menjadi lebih baik.
4. Bapak Ferri Novliadi, M. Si, selaku dosen penguji yang telah telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, dan juga arahan yang membuat penulisan skripsi ini menjadi lebih baik
5. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan masukan dan arahan setiap semester.
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi USU memberikan ilmu selama penulis belajar dan menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan.
7. Kepada kedua orang tua saya yaitu Alm. ayah dan ibu saya, kemudian juga kepada abang dan kakak saya yang senantiasa memberikan semangat agar saya tidak berhenti ditengah jalan.
8. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih telah membantu saya dalam mempermudah urusan selama di perkuliahan.
9. Terima kasih kepada 129 pria yang bersedia menjadi partisipasi dalam proses pengambilan data.
10. Shanly Darma yang senantiasa mensupport saya dan membantu saya disaat saya kebingungan.
11. Enida yang menjadi partner terbaik yang saya miliki selama kuliah dan yang selalu ada disaat suka dan duka.
12. Teman-teman yang tidak berhenti untuk mendengarkan keluh kesah saya : Yulia, Dayu, Kezia, Uut, Miyanda, William, Ocha, yang selalu menghibur saya ketika jenuh dan lelah.
Penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak sekiranya ada kesalahan dalam skripsi ini demi mengembangkan pengetahuan bidang ilmu psikologi, khususnya psikologi industri & organisasi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
Medan, Agustus 2021 Penulis,
Erikson A P Silalahi 171301122
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
2.1 Keputusan Pembelian ... 10
2.2 Beauty Influencer ... 21
2.3 Gaya Hidup Metroseksual ... 24
2.4 Pengaruh Kemampuan Beauty Influencer dan Gaya Hidup Metroseksual terhadap Keputusan Pembelian Skincare pada Konsumen Pria. ... 28
2.5 Hipotesa Penelitian ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
3.1 Jenis Penelitian ... 32
3.2 Pendekatan Penelitian ... 32
3.3 Identifikasi Variabel ... 33
3.4 Definisi Operasional ... 33
3.5 Subjek Penelitian ... 35
3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 37
3.7 Prosedur Penelitian ... 39
3.8 Teknik Analisis Data ... 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42
4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 42
4.2. Analisis Data ... 47
4.3. Pembahasan ... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59
5.1. Kesimpulan ... 59
5.2. Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 62
LAMPIRAN ... 67
DAFTAR TABEL
Tabel 4.6. Data Sampel Penelitian ... 47
Tabel 4.7. Pengkodean Variabel Dependen ... 48
Tabel 4.8. Beginning Block 0 ... 49
Tabel 4. 9. Beginning Block 1 ... 50
Tabel 4.10. Hasil Uji Koefisien Determinasi (𝑹𝟐) ... 51
Tabel 4. 11. Hasil Uji Kelayakan Model Regresi ... 52
Tabel 4.12. Hasil Uji Koefisien Regresi ... 53
Tabel 4.13. Hasil Omnibus Test. ... 54
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian ... 67 LAMPIRAN 2 Data Mentah Subjek Penelitian ... 71
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Meningkatnya kesadaran akan penampilan oleh sebagian besar pria modern mendukung pertumbuhan minat atau ketertarikan pria terhadap produk-produk kecantikan. Berbagai produk kecantikan seperti make-up, skin care hingga body care mulai digandrungi oleh kaum adam sebagai penunjang penampilan mereka.
Salah satu produk kecantikan yang mengalami peningkatan serta menjadi fokus utama perawatan kosmetik adalah perawatan pribadi, yang paling besar didalamnya adalah produk perawatan kulit atau skincare (Primus, 2018).
Skincare merupakan suatu rangkaian produk perawatan kulit yang dapat memberikan efek kesehatan pada kulit serta merawat kebersihannya (Martha, 2012). Ada berbagai jenis produk skincare yang berkembang hingga saat ini seperti facial wash, eksfoliator, serum, pelembab, masker, sun protection, dan lain sebagainya. Produk-produk ini sebelumnya secara tipikal identik dengan kaum wanita namun, seiring dengan perkembangan zaman mengubah cara pandang terhadap batasan-batasan gender yang membuat pria mulai menggunakan produk ini. Hal ini terjadi karena perubahan akan modernisasi menuntut tidak hanya wanita saja yang harus memperhatikan penampilan agar terlihat menarik, melainkan pria juga (Kunto & Khoe, 2007).
Peningkatan kesadaran perawatan kulit bagi kaum pria ini menjadikan berbagai sektor perusahaan terdorong untuk memanfaatkan peluang tersebut untuk memproduksi berbagai jenis produk perawatan kulit yang dikhususkan untuk
konsumen pria. Berbagai jenis produk perawatan kulit mulai dikembangkan yang sekarang hampir sama dengan berbagai produk perawatan kulit wanita yang difokuskan pada konsumen pria dengan berbagai merek dan kandungan yang sesuai dengan kebutuhan kulit pria. Perkembangan berbagai jenis produk perawatan kulit ini menjadikan beberapa sektor industri mengalami pertumbuhan.
Menurut survei MarkPlus & Co pada tahun 2003 dalam ( Irawan & Widjaja, 2011), bertajuk Future of Men, Study in Indonesian, mengatakan bahwa ada peningkatan pengguna skincare for men secara global dan nasional, di buktikan oleh data bahwa sebanyak 36.67% pria menghabiskan Rp 1–2 juta Rupiah per bulan untuk membeli produk-produk perawatan wajah, bahkan ada yang menghabiskan lebih dari Rp 5 juta Rupiah. Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh NPD Group pada tahun 2018, yang diperoleh hasil bahwa produk perawatan kulit pria mengalami peningkatan lebih dari 7% yang kategorisasi penjualan berkisar $122 juta. Bahkan dalam prediksi yang dilakukan Allied Market Research, industri perawatan kulit pria diprediksi mencapai $166 miliar pada tahun 2022 (Warfield, 2019).
Di Indonesia sendiri, produk perawatan kulit pria mengalami peningkatan pada kota-kota besar yang dapat diketahui berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh Nielsen Retail Audit yang menunjukan hasil bahwa produk-produk perawatan kulit pria mengalami peningkatan pada beberapa kota yang meliputi Surabaya (66%), diikuti oleh Bandung (63%), Semarang (63%), Medan (59%), serta Jakarta (55%) (Marketing.co.id, 2011). Peningkatan penjualan produk- produk ini menggambarkan bahwa adanya peningkatan keputusan pembelian terhadap pembelian produk perawatan kulit pada pria .
Menurut Kotler (2005), keputusan pembelian adalah suatu proses penyelesaian masalah yang terdiri dari menganalisa kebutuhan dan keinginan, pencarian informasi, penilaian sumber-sumber seleksi terhadap alternatif pembelian, keputusan pembelian, dan perilaku setelah pembelian. Dalam pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa ketika seseorang ingin melakukan suatu keputusan pembelian, individu akan terlebih dahulu melakukan pencarian informasi serta evaluasi terhadap produk yang ingin dibeli yang kemudian dapat menentukan sikap yang akan dilakukan. Perilaku konsumen dalam melakukan keputusan pembelian memiliki berbagai faktor yang mempengaruhi yang meliputi faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor situasional (Sangadji & Sophia, 2013).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya yaitu (1) Persepsi (Wahyuni, 2008; Kurniasih & Fauzi, 2017), (2) Keluarga (Sari, 2013; Fitriyah, 2013), (3) Motivasi (Wahyuni, 2008; Mawey, 2013; Wijaya, 2020), (4) Pengetahuan (Yuliawan, 2011; Septifani, Achmadi, &Santoso, 2014), (5) Sikap (Wahyuni, 2008; Saputra, 2013; Kapantouw & Mandey, 2015 ), (6) Pembelajaran (Tompunu, 2014), (8) Kepribadian (Darmawati, Subekti, Murni, & Sumarsono, 2007; Santoso
& Purwanti, 2014; Aandi, Suardi, & Tombolotutu, 2016), (9) Gaya hidup (Habibi, 2014; Pangestu & Suryoko, 2016; Kurniawan & Susanti, 2019) (10) Keluarga (Sari, 2013; Fitriyah, 2013; Wijaya, 2020), (11) Kelompok Refrensi (Fitriyah, 2013; Pramudi, 2015; Wardana, Dzulfikri, & &Afandi, 2007), (12) Kelas Sosial (Giantara & Santoto, 2014; Wijaya, 2020), (13) Budaya (Arista, Sularsih, &
Anggrawati, 2007; Giantara & Santoto, 2014), dan (14) Situasional (Adityo,
Darmawan, & Susrusa, 2014). Berdasarkan berbagai faktor diatas, pada penelitian ini variabel yang diteliti yaitu kelompok refrensi dan gaya hidup.
Menurut Schiffman & Kanuk (2007), kelompok referensi adalah suatu kelompok atau individu yang dipercaya sebagai dasar perbandingan dalam membentuk nilai dan sikap dalam berperilaku. Terdapat berbagai jenis kelompok referensi yang mempengaruhi seseorang berperilaku dalam melakukan keputusan pembelian. Salah satu yang menjadi fokus penelitian adalah beauty influencer.
Hal ini karena seorang konten kreator atau influencer sudah merupakan sosok aspirasional yang kuat pada benak pengikutnya dalam memberikan pengaruh.
Istilah beauty influencer diambil dari Bahasa inggris yaitu “beauty” yang berarti
“kecantikan” serta “influencer” yang artinya “seseorang yang memiliki pengaruh terhadap suatu hal” (Ananda & Wandebori, 2016). Menurut Direktorat Jenderal Pajak, influencer merupakan orang-orang yang memiliki followers atau audience yang cukup banyak dan mereka mempunyai pengaruh yang kuat terhadap followers mereka , seperti artis, selebgram, blogger, youtuber, dan lain sebagainya (Pajak.go.id). Sementara itu beauty influencer menurut Hutapea (2016) merupakan sosok yang memiliki keahlian atau konsentrasi dalam bidang kecantikan yang memberikan informasi terkait produk-produk yang telah mereka gunakan, dan akan memberikan pengalaman dalam menggunakan produk kecantikan.
Perilaku konsumen yang dipengaruhi oleh beauty influencer memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian, karena seorang beauty influencer cenderung sudah memiliki kepercayaan yang kuat dari pengikut mereka yang dikarenakan jumlah followers mereka yang banyak sehingga apa yang
disampaikan atau diulas oleh seorang beauty influencer dapat mempengaruhi individu dalam berperilaku (Zukhrufani & zakiy, 2019). Pengalaman-pengalaman yang dibagikan oleh seorang Beauty influencer terhadap berbagai produk perawatan kulit yang mereka gunakan menambah kepercayaan konsumen terhadap ulasan beauty influencer tersebut (Hutapea, 2016)
Menurut Brown dan Hayes (2005) dalam (Amalia, 2019) Kehadiran influencer memberikan dampak yang signifikan terhadap pembentukan keputusan pembelian oleh individu meskipun keberadaan influencer sebagai pihak ketiga.
Hal ini dibuktikan dalam penelitian sebelumnya yang ditemukan bahwa adanya hubungan positif antara influencer dan keputusan pembelian (Nisa, 2019).
Pemanfaatan jumlah followers serta mereka kemampuan dalam mengulas berbagai produk skincare pada media sosial mereka membuat individu dapat terpengaruh untuk ikut merasakan produk yang diulas oleh seorang beauty.
Ulasan yang diterima individu menimbulkan persepsi yang menuntun mereka dalam melakukan berbagai hal sesuai dengan minat individu tersebut termasuk dalam hal keputusan pembelian terhadap produk perawatan kulit. Dalam keputusan pembelian, ketika semakin sering individu menyaksikan ulasan produk perawatan kulit yang disampaikan maka itu dapat memberikan pengaruh kepada individu tersebut dalam melakukan keputusan pembelian (Febriana & Yulianto, 2018) Hal ini dikarenakan pada saat beauty influencer mengulas produk perawatan kulit ada informasi yang disampaikan mengenai produk tersebut, hal ini menimbulkan ketertarikan terhadap produk tersebut yang dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam membeli. Ulasan-ulasan yang disampaikan oleh beauty influencer memberikan informasi mengenai produk tersebut kepada
individu yang menyaksikan. Informasi yang didapat individu pada suatu produk inilah yang akhirnya akan memunculkan ketertarikan yang membuat individu melakukan keputusan pembelian (Priyatmoko, 2015).
Selain itu, adanya gaya hidup juga memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan pembelian yang dikarenakan adanya identitas kelompok yang terkandung dalam gaya hidup tersebut, sehingga ketika seseorang mengadopsi gaya hidup tertentu akan mempengaruhi mereka juga dalam pengambilan keputusan. Menurut Mowen dan Minor (2002), Gaya hidup merujuk pada bagaimana individu tersebut menjalankan hidup, membelanjakan uangnya, dan memanfaatkan waktunya (Kapantouw & Mandey, 2015). Gaya hidup seseorang sangat ditentukan oleh berbagai faktor seperti kelas sosial, pendidikan, kepercayaan, lingkungan, dan lain sebagainya. Sehingga ketika seseorang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut, maka seseorang tersebut akan menganut suatu gaya hidup tertentu.
Faktor internal seperti gaya hidup ini merupakan salah satu pemberi pengaruh terhadap keputusan pembelian. Ketika seseorang mulai mengadopsi suatu gaya hidup tertentu, maka individu tersebut akan menentukan pola konsumsi yang mereka lakukan termasuk dalam penelitian ini penggunaan berbagai produk perawatan kulit (skincare) yang dapat menunjang gaya hidup yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pendapat Hawkins (1995) dalam (Fatmanovita, 2006) yang menyebutkan bahwa gaya hidup yang dimiliki seseorang mempengaruhi kebutuhan, perilaku, serta perilaku konsumsinya.
Ada berbagai gaya hidup yang dapat memberi pengaruh terhadap keputusan pembelian terutama pada pembelian produk skincare. Salah satunya adalah gaya
hidup metroseksual. Menurut Aldrich (2004) metroseksual adalah seorang heteroseksual yang lebih mengutamakan sisi feminim dibandingkan maskulinitas (Pompper, 2010). Individu yang mengadopsi gaya hidup metroseksual akan cenderung memperhatikan dan merawat diri mereka secara intens sebagai penunjang penampilan mereka. Namun hal ini bukan menjadikan pria metroseksual mengubah ketertarikan seksual mereka melainkan hanya mengubah pandangan mengenai batas-batas gender yang dalam hal ini melakukan perawatan kulit (Mulyana, 2014).
Gaya hidup metroseksual ini sangat mempengaruhi individu dalam keputusan pembelian yang dilakukan individu terhadap pembelian produk perawatan kulit (skincare). Hal ini karena gaya hidup ini mendorong pria untuk merawat diri mereka sehingga individu yang menganut gaya hidup ini akan mengikuti indikator-indikator yang dimiliki oleh gaya hidup metroseksual ini.
Berdasarkan penjelasan yang sudah diuraikan pada latar belakang penelitian, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Kemampuan Beauty influencer dan Gaya Hidup Metroseksual terhadap Keputusan Pembelian Produk Perawatan Kulit (Skincare) pada Konsumen Pria”
1.2. Rumusan Masalah
1 Apakah kemampuan beauty influencer berpengaruh terhadap keputusan pembelian produk skincare pada konsumen pria?
2 Apakah gaya hidup metroseksual berpengaruh terhadap keputusan pembelian produk skincare?
3 Apakah terdapat pengaruh simultan antara kemampuan beauty influencer dan gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian skincare pada pria?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji pengaruh kemampuan beauty influencer terhadap keputusan pembelian produk skincare pada konsumen pria
2. Untuk menguji pengaruh gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian produk skincare pada konsumen pria.
3. Untuk menguji pengaruh simultan antara kemampuan beauty influencer dan gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian skincare pada pria.
4. Melihat gambaran demografis dari subjek penelitian.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu pengetahuan khususnya pada bidang psikologi industri dan organisasi, serta dapat menjelaskan teori tentang beauty influencer, gaya hidup metroseksual serta teori tentang keputusan pembelian.
1.4.2. Manfaat Praktis
1 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan bahan pemikiran yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang Psikologi industri dan organisasi.
2 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak perusahaan mengenai fenomena pengaruh kemampuan beauty influencer dan gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian. Sehingga dapat menjadi masukan dan pertimbangan pada pihak perusahaan dalam menentukan kebijakan strategi pemasaran yang tepat, sebagai informasi dan pertimbangan pengambilan keputusan terkait dengan keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Keputusan Pembelian
2.2.1 Definisi keputusan pembelian
Schiffman dan Kanuk (2007) mendefinisikan keputusan sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua pilihan alternatif atau lebih. Peter dan Oslon (2013), berpendapat bahwa dalam melakukan keputusan pembelian calon konsumen melakukan untuk mengkombinasikan pengetahuan yang dimiliki terhadap pilihan dua atau lebih alternatif produk dan memilih satu diantaranya dalam (Apriyandani, Yulianto, & Sunarti, 2017).
Assauri (2004) dalam (Walukow, Mananeke, & Sepang, 2014) mendefinisikan keputusan pembelian sebagai suatu proses pengambilan keputusan akan pembelian yang mencakup penentuan apa yang akan dibeli atau tidak melakukan pembelian dan keputusan itu diperoleh dari kegiatan- kegiatan sebelumnya. Sementara menurut (Kotler & Keller, 2009) keputusan pembelian adalah suatu proses penyelesaian masalah yang terdiri dari menganalisa atau pengenalan kebutuhan dan keinginan, pencarian informasi, penilaian sumber-sumber seleksi terhadap alternatif pembelian, keputusan pembelian dan perilaku setelah pembelian.
Dari berbagai definisi keputusan pembelian diatas, dapat dikatakan bahwa keputusan pembelian merupakan suatu kegiatan pemecahan masalah dalam memilih satu atau lebih alternative perilaku yang dianggap sebagai
suatu tindakan yang paling tepat dalam tahap proses pengambilan keputusan.
2.2.2 Tahapan dalam keputusan pembelian
Menurut Kotler (2009), terdapat lima tahapan atau proses dalam keputusan pembelian konsumen yaitu:
1. Pengenalan Masalah
Para pemasar perlu mengidentifikasi keadaan yang memicu kebutuhan tertentu, dengan mengumpulkan informasi dari sejumlah konsumen.
Pengenalan kebutuhan muncul ketika konsumen menghadapi sesuatu masalah, yaitu suatu keadaan dimana terdapat perbedaan antara keadaan yang diinginkan dan keadaan yang sebenarnya terjadi.
2. Pencarian Informasi
Pencarian informasi mulai dilakukan ketika konsumen memandang bahwa kebutuhan tersebut bisa dipenuhi dengan membeli dan mengkonsumsi suatu produk. Konsumen yang terunggah kebutuhan akan terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak. Besarnya pencarian yang dilakukan tergantung pada kekuatan dorongannya, jumlah informasi yang telah dimilikinya, kemudahan mendapatkan dan nilai yang diberikan pada informasi tambahan, dan kepuasan dalam pencarian informasi tersebut. Sumber-sumber informasi konsumen dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok :
a Sumber pribadi : teman, tetangga, keluarga, kenalan
b Sumber komersial : iklan, tenaga penjualan, penyalur, kemasan, pameran
c Sumber umum : media massa, organisasi konsumen
d Sumber pengalaman : pernah menangani, menguji dna menggunakan produk
3. Evaluasi Alternatif
Evaluasi alternatif adalah proses mengevaluasi pilihan produk dan merek, dan memilihnya sesuai dengan keinginan konsumen. Beberapa konsep dasar akan membantu kita memahami proses evaluasi konsumen.
Pertama, konsumen berusaha memenuhi kebutuhan. Kedua, konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk. Ketiga, konsumen memandang masing-masing produk sebagai kumpulan atribut dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan itu.
4. Keputusan Pembelian
Dalam tahap evaluasi alternative, konsumen membentuk preferensi atas merek-merek dalam kumpulan pilihan. Konsumen juga mungkin untuk membentuk keinginan untuk tidak membeli atau membeli suatu produk yang paling disukai. Dalam melaksanakan maksud pembelian, konsumen bisa mengambil lima sub keputusan, yaitu merek, dealer, kualitas, waktu dan metode pembayaran. Proses keputusan pembelian konsumen mungkin tidak selalu berkembang dengan gaya perencanaan yang cermat.
5. Perilaku Pasca Pembelian
Setiap pembelian, konsumen mungkin mengalami ketidaksesuaian karena memperhatikan fitur-fitur tertentu yang mengganggu atau
mendengar hal-hal yang menyenangkan tentang 21 merek lain, dan akan selalu siaga terhadap informasi yang mendukung keputusannya. Para pemasar harus memantau kepuasan pasca pembelian, tindakan pasca pembelian, dan pemakaian produk pasca pembelian
2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian
Menurut Kotler & Keller (2009), terdapat tiga kategori faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian yaitu: faktor budaya, faktor sosial, dan juga faktor pribadi.
1. Faktor Budaya
Budaya menurut sumarwan (2004) dalam (Jariah, 2012) adalah segala nilai, pemikiran, simbol yang mempengaruhi perilaku, sikap, kepercayaan dan kebiasaan seorang dan masyarakat. Budaya (culture) adalah determinan dasar keinginan dan perilaku seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Purwati (2014) mengungkapkan kelas budaya, sub-budaya, dan sosial sangat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen.
a. Sub-budaya (subculture)
Setiap budaya terdiri dari beberapa sub-budaya (subculture) yang lebih kecil yang memberikan identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik untuk anggota mereka. Sub-budaya meliputi kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah geografis (Kotler & Keller, 2009).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Suhendar, Sampurno, &
Djoharsjah, 2018) diperoleh hasil bahwa subculture masyarakat
berpengaruh secara parsial terhadap keputusan pembelian dalam masyarakat.
b. Kelas sosial
Menurut Ilham dan Hermawati (2018) dalam penelitiannya mengungkapkan salah satu faktor budaya dalam mempengaruhi keputusan pembelian adalah adanya kelas sosial. Kelas sosial adalah bentuk lain dari pengelompokan masyarakat ke dalam kelas atau kelompok yang berbeda (Sumarwan, 2011). Kelas sosial akan mempengaruhi jenis produk, jenis jasa dan merek yang dikonsumsi konsumen (Jariah, 2012).
2. Faktor Sosial
Selain faktor budaya, Menurut penelitian yang dilakukan Bahari dan Ashoer (2018) faktor sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulunya seperti Santoso & Purwanti (2013), Maleke (2013), serta Pratiwi & Mandala (2015), yang memperoleh hasil yang sama bahwa faktor sosial berkorelasi positif terhadap keputusan pembelian.
Menurut Lamb (2001) dalam (Tamba, 2017) Faktor sosial merupakan sekelompok orang yang sama-sama mempertimbangkan secara dekat persamaan di dalam status atau penghargaan komunitas yang secara terus menerus bersosialisasi di antara mereka sendiri baik secara formal dan informal.
a. Kelompok referensi
Akbarini (2017) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kelompok referensi merupakan salah satu faktor yang signifikan dalam mempengaruhi keputusan pembelian. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang dilakukan terhadap berbagai kelompok referensi dan sub-kelompok referensi seperti penelitian Dwi Harmanto (2006) tentang pengaruh eksternal dalam pengambilan keputusan pembelian, Amalia & Putri (2019) pengaruh influencer sebagai kelompok referensi, serta Li-ting Huang dan Cheng Kiang Fam (2009) dalam (Anoraga & Iriani, 2014) dalam penelitiannya mengenai pengaruh kelompok referensi virtual terhadap keputusan pembelian yang menunjukkan bahwa kelompok referensi berpengaruh secara positif terhadap keputusan pembelian.
Menurut Kotler & Keller (2009) Kelompok referensi (reference group) seseorang adalah semua kelompok yang mempunyai pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku orang tersebut.
b. Keluarga
Manoharan & Vijayalakshmi (2012) mengemukakan bahwa keluarga merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap keputusan konsumen dalam membeli. Penelitian ini juga didukung Sari (2013) dalam penelitian yang dilakukan mengatakan bahwa keluarga adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian. Hal ini sesuai dengan teori Engel, Blackwell dan Miniard (1994) dalam ( Sari
, 2013) keluarga adalah “pusat pembelian” yang merefleksikan kegiatan dan pengaruh individu yang membentuk keluarga bersangkutan.
Sumarwan (2004) dalam (Jariah, 2012) menjelaskan keluarga adalah lingkungan dimana sebagian besar konsumen tinggal dan berinteraksi dengan anggota-anggota keluarga lainnya.
c. Kelas sosial
Menurut Suhari (2008) dalam (Astuti & Febriaty, 2017) dan Kadir, dkk (2018) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kelas sosial berpengaruh langsung terhadap keputusan pembelian. Menurut Schiffman dan Kanuk (2008), kelas sosial merupakan variabel yang penting dalam menentukan dimana seorang konsumen berbelanja.
Berbagai kelas sosial mempunyai sudut pandang yang berbeda mengenai apa yang konsumen anggap sesuai dengan mode atau selera yang baik (Giantara & Santoso, 2014).
3. Faktor Pribadi
Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi (Pratiwi
& Mandala, 2015). Hal ini didukung berbagai penelitian yang dilakukan oleh Santoso & Purwanti (2013) yang menyatakan bahwa faktor pribadi berkorelasi positif terhadap keputusan pembelian.
Menurut Purimahua (2005) dalam (Noviasari & Ikram, 2013), faktor pribadi adalah pola kebiasaan seseorang yang dipengaruhi oleh lingkungan terdekat dalam menentukan pilihan, kemudian diekspresikan dalam suatu tindakan.
a. Usia dan tahap siklus hidup
Jariah (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa usia dan tahapan siklus hidup memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian seseorang. Hal ini dalam penelitian yang dilakukan mengatakan bahwa ketika usia dan tahap hidup seseorang semakin tinggi, maka keputusan pembelian seseorang akan semakin menurun.
Penelitian ini sesuai dengan teori Kotler & Keller (2009) yang menjelaskan bahwa keputusan pembelian dalam konsumsi sering berhubungan dengan usia. Konsumsi juga dibentuk oleh siklus hidup keluarga, usia, serta jenis kelamin orang dalam rumah tangga pada satu waktu tertentu (Kotler & Keller, 2009).
b. Gaya hidup
Berbagai penelitian yang dilakukan oleh Mokoagouw (2016), Sahir, dkk (2016) serta Pangestu & Suryoko (2016) menjelaskan bahwa gaya hidup berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian seseorang.
Hal ini karena orang-orang dari sub-budaya dan kelas sosial yang sama mungkin mempunyai gaya hidup yang cukup berbeda (Jariah, 2012). Menurut Kotler dan Keller (2009), Gaya hidup (lifestyle) adalah pola hidup seseorang di dunia yang tercermin dalam kegiatan, minat, dan pendapat.
4. Faktor Psikologis
Santoso & Purwanti (2013) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian seseorang dipengaruhi oleh faktor psikologis. Hal ini juga didukung oleh berbagai penelitian seperti
penelitian Maleke (2013) dan Pratiwi & Mandala (2015) yang memperoleh hasil yang sama.
Menurut Lamb (2001) dalam (Irwan, 2019), faktor psikologis merupakan cara yang digunakan untuk mengenali perasaan mereka, mengumpulkan dan menganalisis informasi, merumuskan pikiran dan pendapat serta mengambil tindakan. Terdapat beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi keputusan pembelian:
a. Motivasi
Mawey (2013) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa motivasi merupakan salah satu variabel prediktor terhadap keputusan pembelian. Penelitian ini juga didukung oleh beberapa penelitian terdahulunya yaitu Wahyuni (2008) dan Fredereca & Chairy (2010) yang juga memperoleh hasil korelasi positif antara motivasi dengan keputusan pembelian. Hal ini sesuai dengan teori Purwanto (2007) yang menjelaskan motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu (Mawey, 2013).
b. Persepsi
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo, dkk (2018) menjelaskan bahwa persepsi sangat mempengaruhi keputusan pembelian baik secara simultan dan juga secara parsial. Hal ini juga didukung oleh penelitian, Wahyuni (2008), Fredereca & Chairy (2010), Mawey (2013), Kurniasih & Fauzi (2017) yang memperoleh hasil penelitian
sama yang menjelaskan bahwa faktor persepsi memang memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen.
Menurut Kotler (2009), Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih mengatur dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk gambaran yang berarti mengenai dunia.
c. Pengetahuan
Septifani, dkk (2014) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa Pengetahuan memiliki pengaruh terhadap sebuah Keputusan Pembelian. Hal ini berarti semakin tinggi pengetahuan, akan diikuti oleh semakin tingginya Keputusan Pembelian (Septifani, Achmadi, &
Santoso, 2014).
Menurut Murray dan Schlcater (1990) dalam (Fauziah, 2018), pengetahuan dikenal sebagai karakteristik yang mempengaruhi semua fase dalam proses pengambilan keputusan, secara spesifik pengetahuan adalah konstruk yang relevan dan penting yang mempengaruhi bagaimana konsumen mengumpulkan dan mengatur informasi seberapa banyak informasi digunakan untuk pembuatan keputusan dan bagaimana konsumen mengevaluasi produk dan jasa.
d. Keyakinan
Menurut penelitian yang dilakukan Bilondatu (2013) dan Retor (2014) menjelaskan bahwa faktor keyakinan sangat mempengaruhi seseorang dalam melakukan keputusan pembelian. Hal ini juga didukung oleh penelitian terdahulunya Ramadhani (2011) dalam (Bilondatu, 2013), yang menyimpulkan kepercayaan mempunyai pengaruh yang positif
signifikan terhadap keputusan pembelian, variabel kepercayaan mempunyai pengaruh yang paling besar/dominan terhadap keputusan pembelian.
Kotler & Keller (2009) menjelaskan kepercayaan adalah pemikiran deskriptif seseorang mengenai sesuatu. Menurut Gefen dan Straub (2004) dalam (Mahkota, Suyadi , & Riyadi, 2014) menyimpulkan bahwa semakin tinggi derajat kepercayaan konsumen, semakin tinggi tingkat pembelian niat konsumen.
2.2.4. Aspek-aspek keputusan pembelian
Menurut Swastha (1996) dalam (Putri, Apriatni , & Wijayanto, 2013), keputusan membeli memiliki 7 struktur komponen, antara lain keputusan tentang jenis produk, bentuk produk, tentang merek, tentang penjualnya, tentang jumlah produk, waktu pembelian dan cara pembayaran.
Sedangkan Kotler dan Amstrong (2008) dalam (Wandira, 2016) menjelaskan terdapat 4 dimensi dalam keputusan pembelian yakni:
1. Pemilihan produk/jasa
Pemilihan produk atau jasa adalah alasan mengapa konsumen memilih produk/jasa untuk memenuhi kebutuhan.
2. Pemilihan merek
Pemilihan merek yaitu bagaimana suatu merek memposisikan dirinya di dalam bentuk konsumen yang meliputi citra (image) merek yang unik dari sebuah produk/jasa.
3. Pemilihan waktu
Waktu adalah salah satu unsur terpenting bagi konsumen untuk membeli suatu produk/jasa.
4. Pilihan metode/cara pembayaran
Konsumen harus mengambil pilihan tentang metode/cara pembayaran produk yang dibeli.
2.2 Beauty Influencer
2.2.1 Definisi beauty influencer
Istilah beauty influencer diambil dari Bahasa inggris yaitu “beauty”
yang berarti “kecantikan” serta “influencer” yang artinya “seseorang yang memiliki pengaruh terhadap suatu hal” (Ananda & Wandebori, 2016).
Istilah ini diberikan kepada akun-akun yang mengunggah foto atau video pada halaman sosial media mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kecantikan (Hapsari & Sukardani, 2018).
Tuten (2008) menjelaskan beauty influencer adalah sebuah profesi yang dilakukan oleh seseorang yang mengkonsentrasikan diri pada dunia kecantikan di media sosial. Selain itu, Beauty influencer sendiri merupakan seseorang yang dianggap sumber informasi hal ini dikarenakan mereka memiliki pengetahuan yang luas dan jaringan komunikasi yang kuat, sehingga mampu mempengaruhi keputusan pembelian orang lain akan sesuatu hal baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut (Savitri, 2019) beauty influencer adalah individu yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan pembelian orang lain
karena otoritas, pengetahuan, posisi, atau hubungan dengan audiensnya pada bidang kecantikan. Individu berpengaruh ini telah memiliki kepercayaan dari rekan-rekan online-nya, dan opini mereka dapat memiliki dampak luar biasa untuk reputasi online, termasuk untuk produk/brand (Evelina & Handayani, 2018)
Definisi lain beauty influencer menurut Hutapea (2016), merupakan sosok yang memiliki keahlian atau konsentrasi dalam bidang kecantikan yang memberikan informasi terkait produk-produk yang telah mereka gunakan, dan akan memberikan pengalaman dalam menggunakan produk kecantikan. Beauty influencer bersifat objektif terhadap beragam produk yang mereka gunakan sehingga informasi yang disampaikan pun dapat berupa positif maupun negatif dari produk yang telah digunakan (Sinaga &
Kusumawati, 2018).
Dari Beberapa definisi diatas dapat dikatakan bahwa beauty influencer merupakan suatu pengguna media sosial yang memiliki keahlian atau konsentrasi dengan suatu produk kecantikan dan menjadi ciri khas yang membagikan pengalamannya dalam sebuah konten digital melalui media sosial mereka.
2.2.2 Pengukuran Beauty Influencer
Kemampuan seorang beauty influencer dapat diketahui dengan melihat dimensinya. Menurut Hovland et al (1982) dan selanjutnya diperkuat oleh Ohanian (1990) dalam (Wiedmann & Mettenheim, 2020) ada 3 dimensi untuk seorang dikategorikan sebagai beauty influencer:
a Expertness
Expertness adalah tingkatan dimana seseorang dianggap mempunyai keahlian dalam pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan. Sehingga dianggap mampu menyediakan informasi yang akurat.
b Trustworthiness
Trustworthiness mengacu pada kepercayaan audiens kepada kemampuan seorang komunikator dalam menyampaikan informasi, apakah jujur atau tidak. Kepercayaan melihat sejauh mana sumber dapat memberikan informasi yang netral dan jujur. Sumber yang dapat dipercaya mampu mempengaruhi audiens, meskipun sumber tersebut memiliki keahlian yang tidak terlalu banyak.
c Attractiveness
Attractiveness bersangkutan dengan sesuatu yang menyenangkan dan menarik audiens. Daya tarik bukan hanya berarti daya tarik fisik meskipun daya tarik bisa menjadi pelengkap yang sangat penting tetapi meliputi sejumlah karakteristik yang dapat dilihat khalayak dalam diri pendukung; sifat-sifat kepribadian, gaya hidup, keatletisan postur tubuh dan sebagainya.
2.2.3 Dampak Beauty Influencer
Beauty influencer adalah sosok yang memiliki keahlian atau konsentrasi dalam bidang kecantikan yang memberikan informasi terkait produk-produk yang telah mereka gunakan, dan akan memberikan pengalaman dalam menggunakan produk kecantikan (Hutapea, 2016).
Hasil penelitian terdahulu mengenai beauty influencer menunjukkan adanya pengaruh kemampuan seorang beauty influencer terhadap beberapa variabel penting lainnya, yaitu sebagai berikut:
a. Minat Beli
Minat beli merupakan salah satu variabel yang mendapatkan pengaruh dari kemampuan seorang beauty influencer dalam memberikan informasi kepada konsumen. Hal ini didasarkan oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Habibah, I. N., Nasionalita, K (2019) yang menunjukan bahwa kemampuan seorang beauty influencer memiliki pengaruh terhadap minat beli konsumen.
b. Keputusan Pembelian
Keputusan pembelian merupakan variabel lain yang mendapatkan pengaruh dari kemampuan seorang beauty influencer. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zukhrufani dan Zakiy (2019), yang menunjukan hasil bahwa kemampuan beauty influencer berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian.
2.3 Gaya Hidup Metroseksual 2.3.1 Gaya hidup
Kotler dan Keller (2009) mendefinisikan gaya hidup adalah cara hidup konsumen yang terlibat melalui aktivitas sehari-hari baik melalui minat maupun pendapatan konsumen. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan dari seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan sedangkan kepribadian merupakan karakteristik psikologis yang berbeda
dari setiap orang. Menurut Kotler dan Keller (2009), Gaya hidup (lifestyle) adalah pola hidup seseorang di dunia yang tercermin dalam kegiatan, minat, dan pendapat.
Menurut Mowen (2001) dalam (Pangestu & Suryoko, 2016) gaya hidup merupakan pola perilaku hidup seseorang, pola dalam berbelanja dan mengalokasikan waktu. pola hidup seseorang diekspresikan dalam kegiatan, minat, dan pendapat (opini). Sementara dalam kajian kritis David Channey (2009) dalam (Mulyana, 2014) menyatakan bahwa gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga disebut modernitas. Artinya, siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.
2.3.2 Gaya hidup metroseksual
Secara etimologi, kata metroseksual berasal dari metropolitan dan seksual. Metropolitan diambil dari kata meter dan politan, bahasa Yunani:
meter adalah ibu, politan adalah kota. Sedangkan seksual berasal dari bahasa Latin: sexus : jenis kelamin atau gender, (Asharfillah, 2010).
Definisi metroseksual pertama kali dicetuskan oleh Mark Simpson di Majalah Salon edisi Juli 2002. Menurut Simpson, pria metroseksual adalah sosok dengan penampilan yang terawat meniru dari penampilan gaya dandan pria di media massa dan gaya hidup urbannya (Valentina, 2012).
Handoko (2004) mengatakan bahwa gaya hidup metroseksual bukanlah pria yang hanya berdandan dalam penampilan namun juga tipe- tipe pria yang memiliki uang banyak, dengan pola hidup kota-kota
metropolitan yang menyediakan segala hal yang terbaik seperti klub, spa, salon, butik, penata rambut, restoran, dan.
Sedangkan Kartajaya (2006), mendefinisikan gaya hidup metroseksual merupakan gaya hidup yang sangat memperhatikan penampilan. Pria tersebut juga semakin emosional, berempati serta mengekspresikan emosi dan perasaannya
Dari beberapa definisi diatas dapat dikatakan bahwa gaya hidup metroseksual merupakan gaya hidup pria yang hidup di perkotaan yang lebih mengedepankan penampilan mereka dan cenderung merawat diri agar selalu terlihat menarik.
2.3.3 Aspek-aspek gaya hidup metroseksual
Menurut Kartajaya (2006) terdapat beberapa aspek dalam gaya hidup metroseksual, yaitu:
1. Lebih menikmati suasana belanja sebagai rekreasi (pleasure shopping) daripada dabelanja karena memang ingin ada yang dibeli (purpose shopping).
2. Memiliki kemampuan komunikasi dan interpersonal yang baik dengan orang lain.
3. Lebih senang ngobrol dibanding rata-rata pria lainnya.
4. Dikelilingi oleh banyak teman wanita.
5. Seorang yang introspektif, mau berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
6. Memancarkan sosok sensualitas yang lembut, baik terhadap wanita maupun pria lain
7. Secara intens mengikuti perkembangan fashion di majalah-majalah mode pria.
8. Sangat memperhatikan penampilan, umumnya memiliki penampilan yang klimis, dandy, dan melakukan perawatan tubuh
2.3.4 Dampak gaya hidup metroseksual
Gaya hidup metroseksual merupakan gaya hidup yang sangat memperhatikan penampilan. Pria tersebut juga semakin emosional, berempati serta mengekspresikan emosi dan perasaannya (Kartajaya, 2006).
Hasil penelitian mengenai gaya hidup menunjukan adanya pengaruh antara gaya hidup metroseksual terhadap beberapa variabel penting lainnya, yaitu sebagai berikut:
a. Minat Beli
Minat beli merupakan salah satu variabel yang mendapat pengaruh dari gaya hidup metroseksual. Hal ini didasarkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Apsari (2010), yang mengatakan bahwa pria metroseksual memiliki pengaruh positif terhadap minat beli.
b. Perilaku Konsumtif
Perilaku konsumtif merupakan variabel lainnya yang mendapat pengaruh dari gaya hidup metroseksual. Hal ini dibuktikan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Astuti (2019), yang mengatakan bahwa gaya hidup metroseksual berkorelasi positif dengan perilaku konsumtif.
c. Keputusan Pembelian
Keputusan pembelian juga menjadi variabel yang mendapat pengaruh dari gaya hidup metroseksual. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ony, Gunady, dan Lina (2020) yang mana hasil penelitiannya menyatakan bahwa gaya hidup metroseksual mempengaruhi keputusan pembelian baik secara simultan maupun parsial.
2.4 Pengaruh Kemampuan Beauty Influencer dan Gaya Hidup Metroseksual terhadap Keputusan Pembelian Skincare pada Konsumen Pria.
Menurut (Kotler & Keller, 2009), keputusan pembelian adalah suatu proses penyelesaian masalah yang terdiri dari menganalisa atau pengenalan kebutuhan dan keinginan, pencarian informasi, penilaian sumber-sumber seleksi terhadap alternatif pembelian, keputusan pembelian dan perilaku setelah pembelian. Dalam melakukan keputusan pembelian, individu akan melakukan suatu tindakan dalam pemilihan dua atau lebih pilihan alternatif (Schiffman dan Kanuk, 2007). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan keputusan pembelian seperti faktor budaya seperti: Sub-budaya (subculture), Kelas Sosial;
faktor sosial yakni: Kelompok Referensi, Keluarga, Peran dan Status ; serta faktor pribadi diantaranya: Usia dan Tahap Siklus Hidup, Pekerjaan dan Keadaan Ekonomi, Kepribadian dan Konsep Diri, Gaya Hidup dan Nilai.
Menurut Kotler dan Keller (2009) salah satu peranan dalam perilaku pengambilan keputusan pembelian dipengaruhi oleh faktor sosial yang salah
satunya adalah kelompok referensi. Kelompok referensi (reference group) adalah semua kelompok yang mempunyai pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku orang tersebut. Influencer merupakan bagian dari kelompok referensi yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Tidak hanya mempengaruhi sikap dan perilaku saja, menurut Kotler dan Keller (2009) influencer juga memiliki peranan dalam perilaku pengambilan keputusan pembelian.
Beauty Influencer merupakan salah satu bentuk strategi influencer marketing yang berfokus pada produk kecantikan seperti kosmetik (Zukhrufani &
zakiy, 2019). Beauty influencer merupakan sosok yang memiliki keahlian atau konsentrasi dalam bidang kecantikan yang memberikan informasi terkait produk- produk yang telah mereka gunakan, dan akan memberikan pengalaman dalam menggunakan produk kecantikan (Hutapea, 2016).
Ketika seorang beauty influencer berbagi informasi dan memiliki keahlian dalam mengajarkan keterampilan tertentu tentang kecantikan dengan menggunakan produk-produk kosmetik yang mereka gunakan, akan timbul daya tarik dan tumbuh kepercayaan yang dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mencoba, sehingga akan tercipta sebuah keputusan pembelian. Oleh karena itu beauty influencer memiliki pengaruh terhadap naiknya eksistensi maupun penggunaan dan penjualan brand.
Selain faktor sosial, faktor pribadi juga mempengaruhi keputusan pembelian (Pratiwi & Mandala, 2015). Faktor pribadi meliputi usia dan tahap dalam siklus hidup pembeli; pekerjaan dan keadaan ekonomi; kepribadian dan konsep diri;
serta gaya hidup dan nilai. Gaya hidup merupakan bagian dari faktor pribadi yang
mempengaruhi perilaku konsumen. Gaya hidup merupakan pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya Kolter dan Keller (2009). Gaya hidup sering dijadikan sebagai motivasi dasar dan pedoman dalam keputusan pembelian. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Hawkins dalam Yuniarti (2015) yang menyatakan bahwa gaya hidup seseorang mempengaruhi kebutuhan, keinginan, serta perilakunya termasuk perilaku membeli.
Ada berbagai gaya hidup yang dapat memberi pengaruh terhadap keputusan pembelian terutama pada pembelian produk skincare. Salah satunya adalah gaya hidup metroseksual. Menurut Aldrich (2004) metroseksual adalah seorang heteroseksual yang lebih mengutamakan sisi feminim dibandingkan maskulinitas (Pompper, 2010). Kaum pria yang menganut gaya hidup metroseksual akan cenderung memperhatikan penampilan. Hal ini terjadi karena modernisasi menuntut tidak hanya wanita saja yang harus memperhatikan penampilan supaya menarik, melainkan pria juga (Kunto & Khoe, 2007). Ketika pria menganut gaya hidup metroseksual ini akan mempengaruhi keputusan pembelian termasuk pembelian skincare.
Kombinasi antara influencer dan gaya hidup dapat memberikan pengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen (Priyatmono, 2015). Beauty Influencer merupakan salah satu bagian dari influencer yang berfokus pada produk kecantikan seperti kosmetik (Zukhrufani & zakiy, 2019). Sementara itu gaya hidup metroseksual merupakan bagian dari gaya hidup yang lebih mengutamakan mengekspresikan diri lewat penampilan mereka. Sehingga kombinasi antara variabel beauty influencer dan gaya hidup metroseksual juga dapat menjadi prediktor yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian seseorang. Beauty
influencer dengan keahlian yang ia miliki akan memberikan informasi terkait dengan kualifikasi suatu produk (Hutapea, 2016). Keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh beauty influencer diharapkan mampu membuat para pengikutnya terpersuasi sehingga akhirnya memutuskan untuk membeli produk tersebut.
Sementara itu gaya hidup metroseksual akan memberikan motivasi bagi kaum pria untuk memutuskan membeli produk. Terlebih di zaman yang semakin modern seperti saat ini, tidak hanya kaum wanita, tetapi kaum pria juga sudah mulai memikirkan penampilan (Kunto & Khoe, 2007). Tuntutan zaman inilah yang pada akhirnya membuat para kaum pria memutuskan untuk membeli produk skincare terutama bagi kaum pria yang menganut gaya hidup metroseksual.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa beauty influencer dan gaya hidup metroseksual dapat mempengaruhi keputusan pembelian melalui informasi dari beauty influencer yang dapat mempersuasi para konsumen dan juga motivasi dari pria metroseksual yang mulai memperhatikan penampilan
2.5 Hipotesa Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Kemampuan Beauty Influencer berpengaruh positif terhadap Keputusan Pembelian Produk Perawatan Kulit (Skincare) pada Konsumen Pria 2. Gaya Hidup Metroseksual berpengaruh positif terhadap Keputusan
Pembelian Produk Perawatan Kulit (Skincare) pada Konsumen Pria 3. Ada pengaruh antara kemampuan beauty influencer dan juga gaya hidup
pria metroseksual terhadap keputusan pembelian konsumen pria..
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif. Menurut Sugiyono (2010), penelitian kuantitatif merupakan metode penelitian ilmiah/scientific yang berlandaskan pada filsafat positivisme, yaitu memandang realitas/gejala/fenomena itu dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit/empiris, teramati, terukur, sistematis dan hubungan gejala bersifat sebab akibat, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Penelitian kuantitatif dilakukan pada populasi atau sampel tertentu yang representatif. Proses penelitian kuantitatif bersifat deduktif, untuk menjawab rumusan masalah digunakan konsep atau teori sehingga dapat dirumuskan hipotesis.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh kemampuan beauty influencer dan gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian skincare pada konsumen pria. Adapun data yang akan diperoleh dalam bentuk skor atau angka-angka yang sifatnya kuantitatif.
3.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksplanatif, yang mana peneliti diwajibkan membangun hipotesis penelitian dan mengujinya di lapangan karena format penelitian ini bertujuan mencari hubungan sebab-akibat dari variable-
variabel yang diteliti. Menurut Sugiyono (2010) penelitian eksplanatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menjelaskan kedudukan-kedudukan dari variabel-variabel yang diteliti serta hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Penelitian dilakukan hendak melihat pengaruh antara kemampuan beauty influencer dan gaya hidup metroseksual terhadap keputusan pembelian pada produk skincare pada konsumen pria.
3.3 Identifikasi Variabel
Menurut Sugiyono (2010), variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian “Pengaruh kemampuan beauty influencer dan gaya hidup metroseksual terhadap pembelian produk skincare pada konsumen pria” terdapat dua jenis variabel:
1. Variabel tergantung (dependent) : Keputusan Pembelian
2. Variabel bebas (independent) : Beauty influencer dan Gaya hidup Metroseksual
3.4 Definisi Operasional
3.4.1 Keputusan pembelian
Keputusan pembelian merupakan seberapa kuat tindakan seseorang dalam pengambilan keputusan akan pembelian produk. Keputusan pembelian dilihat menggunakan kuesioner dengan pertanyaan “apakah subjek mengalami pengaruh pengambilan keputusan terhadap produk
skincare?”. Pengukuran yang digunakan dengan skala Guttman dengan jawaban “Ya” dalam kuesioner ini diberi skor 1 yang artinya subjek mengalami pengaruh untuk membeli produk skincare. Jawaban “Tidak”
dalam kuesioner ini diberi skor 0 yang artinya subjek tidak mengalami pengaruh terhadap keputusan untuk membeli produk skincare.
3.4.2 Beauty influencer
Beauty influencer adalah individu yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan pembelian orang lain karena otoritas, pengetahuan, posisi, atau hubungan dengan audiensnya pada bidang kecantikan. Kemampuan beauty influencer dalam menyampaikan informasi akan dilihat menggunakan kuesioner dengan pertanyaan “Apakah beauty influencer sudah mampu menyampaikan informasi yang menarik perhatian konsumen terhadap produk yang dibawakannya?”. Jawaban “Ya” dalam kuesioner ini diberi skor 1 yang artinya subjek menilai bahwa celebrity mampu menjalankan perannya dalam menyampaikan informasi terkait produk yang dibawakannya. Jawaban “Tidak” dalam kuesioner ini diberi skor 0 yang artinya subjek menilai bahwa celebrity belum mampu menjalankan perannya dalam menyampaikan informasi terkait produk yang dibawakannya.
3.4.3 Gaya hidup metroseksual
Gaya hidup metroseksual adalah gaya hidup pria yang tinggal diperkotaan yang mengedepankan sisi feminism dan penampilan mereka.
Gaya hidup metroseksual dilihat berdasarkan karakteristik serta aspek-aspek yang dimiliki seperti lebih menikmati suasana berbelanja sebagai rekreasi,
memiliki kemampuan komunikasi dan interpersonal yang baik, suka ngobrol dibandingkan pria biasanya, memiliki banyak teman wanita, seorang introspektif, serta sangat lembut baik terhadap wanita dan juga pria.
3.5 Subjek Penelitian
Menurut Arikunto (2016), subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. Jika berbicara tentang subjek penelitian, sebetulnya itu tentang unit analisis, yaitu subjek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti.
3.5.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya, sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2010). Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh Pria yang memiliki karakteristik dibawah ini:
1. Seluruh Pria yang tinggal atau berdomisili di perkotaan.
2. Menggunakan berbagai produk perawatan kulit (skincare) 3.5.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2010), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili). Populasi dalam
penelitian berjumlah minimal 123 orang Penggunaan sampel dalam penelitian didasari atas pertimbangan efisiensi sumber daya berupa waktu, tenaga, dan dana. Oleh sebab itu, subjek penelitian hanya diambil dari sampel dalam populasi bukan populasi secara keseluruhan.
3.5.3 Sampling
Teknik sampling adalah teknik pengambilan sampel untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling. Menurut Sugiyono (2010), Non-probability sampling adalah teknik yang tidak memberikan peluang/kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu yang digariskan terlebih dahulu sebelum diambil sampelnya atau subjek kebetulan atau terdapat di daerah penelitian (Yusuf, 2014) dalam Ikhtiar (2020). Metode sampling yang akan digunakan adalah purposive sampling.
Menurut Sugiyono (2010), metode ini merupakan salah satu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Jumlah sampel ditentukan dengan pendekatan Isac Michel untuk teknik menentukan ukuran sampel dengan jumlah populasi yang tidak diketahui (Siregar, 2013) dalam Ikhtiar (2020), yakni:
𝑛 =𝑧2𝑝. 𝑞 𝑒2 Keterangan:
n = sampel
z = tingkat signifikansi (1-0,025 = 0,975) dari distribusi normal 1,96)
p = proporsi populasi (0,4) q = 1-p (0,2)
e = perkiraan tingkat kesalahan (5%)
Jadi besarnya sampel yang digunakan adalah:
𝑛 =1,9620,4.0,2
0,052 = 123
Dari penghitungan rumus tersebut, diperoleh bahwa jumlah sampel untuk penelitian ini adalah minimal sebanyak 123 orang
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, sumber dan berbagai cara (Sugiyono, 2010). Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan kuesioner. Menurut Yusuf (2014) dalam (Ikhtiar, 2020), Kuesioner adalah rangkaian pertanyaan yang berhubungan dengan topik tertentu yang diberikan kepada sekelompok individu dengan maksud memperoleh data. Kuesioner cocok digunakan bila jumlah responden cukup besar dan tersebar di wilayah yang luas.
Pada model penskalaan Guttman merupakan skala yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas seperti jawaban dari pertanyaan atau pernyataan ya, dan tidak, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. Skala Guttman ini pada umumnya dibuat seperti checklist dengan interpretasi penilaian, apabila ya nilainya 1 dan apabila tidak nilainya 0 dan analisisnya dapat dilakukan seperti diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran.
3.6.1 Kolom identitas.
Kolom identitas subjek pada bagian awal kuesioner bertujuan untuk memperoleh data demografi yang memuat pertanyaan: nama/inisial, jenis kelamin, umur, pekerjaan dan penghasilan per bulan.
3.6.2 Kuesioner beauty influencer
Kuesioner ini bertujuan untuk melihat pengaruh beauty influencer terhadap keputusan pembelian skincare. Kuesioner ini akan terdiri dari pertanyaan “Apakah beauty influencer sudah mampu menyampaikan informasi yang menarik perhatian konsumen terhadap produk yang dibawakannya” dengan 2 pilihan jawaban yaitu Ya dan Tidak. Jawaban Ya akan diberi nilai 1 dan jawaban Tidak akan diberi nilai 0.
3.6.3 Kuesioner gaya hidup metroseksual
Kuesioner ini bertujuan untuk melihat apakah seseorang memiliki gaya hidup metroseksual. Kuesioner ini akan terdiri dari pernyataan- pernyataan dengan 2 pilihan jawaban yaitu Ya dan Tidak. Jawaban Ya akan diberi nilai 1 dan jawaban Tidak akan diberi nilai 0.
3.6.4 Kuesioner keputusan pembelian.
Kuesioner ini bertujuan untuk melihat keputusan pembelian sebagai kesimpulan apakah subjek akan menampilkan perilaku ataupun tidak.
Kuesioner ini akan terdiri dari pertanyaan “Apakah keputusan pembelian andak akan produk skincare semakin besar?” dengan 2 pilihan jawaban yaitu Ya dan Tidak. Jawaban Ya akan diberi nilai 1 dan jawaban Tidak akan diberi nilai 0..
3.7 Prosedur Penelitian 3.7.1 Persiapan penelitian
Pada tahap awal, peneliti membuat kuesioner yang terdiri dari kuesioner keputusan pembelian, kuesioner beauty influencer dan kuesioner gaya hidup metroseksual dengan dua alternatif jawaban, yakni Ya dan Tidak. Setelah ketiga kuesioner selesai dibuat, maka pertanyaan yang telah dibuat akan dianalisis terlebih dahulu oleh professional judgement. Setelah pertanyaan dianalisis, peneliti melakukan revisi kuesioner untuk menyusun kembali pertanyaan yang sesuai.
3.7.2 Pelaksanaan penelitian
Tahap ini dilakukan dengan mengambil data penelitian pada seluruh kota-kota besar di Indonesia dengan menyebarkan kuesioner kepada responden dalam google form melalui berbagai platform social media.
3.7.3 Pengolahan data
Pada tahap terakhir, peneliti melakukan pengolahan data yang berasal dari skala responden dengan bantuan program aplikasi IBM SPSS Statistics Base 22.0 for mac.
3.8 Teknik Analisis Data
Menurut Sugiyono (2010), teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kuantitatif sudah jelas yaitu diarahkan untuk menjawab rumusan masalah atau menguji hipotesis yang telah dirumuskan dalam proposal dengan menggunakan metode statistik yang sudah tersedia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode penelitian korelasional.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi logistik yang dilakukan menggunakan software IBM SPSS Statistics Base 22.0 for mac Pada Regresi logistik, peneliti memprediksi variabel terikat yang berskala dikotomi. Skala dikotomi yang dimaksud adalah skala data nominal dengan dua kategori, misalnya: Ya dan Tidak, Baik dan Buruk atau Tinggi dan Rendah. variabel indikator dengan nilai 0 atau 1. Pengujian dilakukan dengan melihat :
1 Menilai keseluruhan model (Overall model fit) Uji ini bertujuan untuk melihat apakah model yang dihipotesiskan fit dengan data. Uji ini dilakukan dengan membandingkan -2 log likelihood pada awal (block number = 0) dengan nilai -2 log likelihood akhir (block number = 1).
2 Uji Koefisien Determinasi Tujuannya untuk mengetahui seberapa besar kombinasi variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen, dilihat dengan menggunakan nilai Nagelke R square.
3 Uji Kelayakan Regresi (Goodness of fit test) bertujuan untuk menguji apakah model penelitian layak diolah menggunakan uji Regresi logistik, nilainya dilihat dari hasil Hosmer and Lemeshow Test.
4 Uji Koefisien Regresi Uji wald digunakan untuk menguji signifikansi konstanta setiap variabel yang masuk ke dalam model, untuk melihat setiap Hipotesis.
5 Omnibus Tests of Model Coefficients Digunakan untuk melihat Signifikansi simultan dengan membandingkan nilai Chi Square yang didapat dari selisih antara, -2 log likelihood awal dengan -2 log likelihood akhir, dan melihat