• Tidak ada hasil yang ditemukan

Comparison Of Validity Apache Ii, Sofa And Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Comparison Of Validity Apache Ii, Sofa And Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 3

Sejawat terhormat,

Jurnal Anestesiologi Indonesia nomor ini memuat artikel penelitian mengenai Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi, Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria, Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi, Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache II, Sofa, Dan Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien Non-Bedah Yang Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif, Ketamin,

-Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Pada Anak dan Meperidin, ketamine dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada Sectio Secaria dengan anestesi spinal

Semoga bermanfaat

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Ucapan Terima Kasih:

Kepada Mitra Bestari

Jur al A estesiologi I do esia Vol. VII No. Tahu :

Prof. dr.Soe arjo, SpA , KMN, KAKV Se ara g Prof. dr.Marwoto, SpA , KIC, KAO Se ara g

(4)

4

PENELITIAN Hal

Bondan Irtani Cahyadi, Hariyo Satoto, Heru Dwi Jatmiko 67 Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi

The Effect Of Perioperative Intravenous Paracetamol On Serum Substance P Level In Craniotomy Patient

Syafri Kamsul Arif, Iwan Setiawan 79

Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria

A Comparison Between The Effect Of Injection Rate Of 0,4 ml/sec And 0,2 ml/sec In Spinal Anesthesia Procedure On Hypotension Incidence In Sectio Caesaria

Nur Asdarina , Syamsul Hilal Salam, A. Husni Tanra 89

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

The Effect of Transversus Abdominis Plane Block Landmark Technique on the Analgesic Requirement Postoperative Herniorrhaphy

Stefanus Taofik, Tjokorda Gde Agung Senapathi, Made Wiryana 102 Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache Ii, Sofa, Dan Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien Non-Bedah Yang Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif

Comparison Of Validity Apache Ii, Sofa And Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient

Nur Hajriya Brahmi, Doso Sutiyono 114

Ketamin Dan Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Pada Anak

Ketamin And Peritonsiller Infiltration As Post Operative Tonsillectomi Pain Management In Children.

Uripno Budiono 120

Meperidin, ketamine dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada Sectio Secaria dengan anestesi spinal

Meperidine, ketamine and clonidine effective for the treatment of shivering in Sectio Secaria with spinal anesthesia

DAFTAR ISI

(5)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 67

PENELITIAN

Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena

Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi

ABSTRACT

Background: Pain management after craniotomy is very important, 60-84% patient

experience moderate to severe pain. Postoperative pain especially transmitted by C fiber neurons involved neuropeptide Substance P (SP). Postoperative opioid analgesia gives some adverse effect, such as allergy, gastrointestinal effect, nausea. vomiting, hypotension, sedation, repiratory depression and urinary retention. Paracetamol has opioid sparing effect that may reduce the need of opioid analgesia, and also inhibits SP mediated hyperalgesia.

Objective: To study the effect of perioperative intravenous paracetamol on SP level in post craniotomy patient

Methods: Forty subject aged 18 – 45 years underwent elective craniotomy intracerebral tumour resection who have ASA physical status I-II, divided into 2

groups. P group received 1000 mg intravenous paracetamol every 6 hours during 24 hours postoperative, K group received placebo. Postoperative analgesia using morphine syringe pump 0,01 mg/Kg/hour titration to VAS. SP serum levels were examined with Cusabio substance Elisa kit ELx 800 before and 12 hours after surgery. Visual Analog Scale noted in 1, 6, 12, and 24 hours postoperative. Total amount of morphine given, nausea and vomiting was noted.

Results: Preoperative SP level in P group was 16,89± 31,395 pg/ml and 36,58 ± 46,960 pg/ml postoperatively. Preoperative SP Level in K group was 9,58 ± 10,656 pg/ ml and 26,09 ± 22,506 pg/ml postoperatively. SP level elevation in P group and K group were 19,69± 28,625 pg/ml and 16,51 ± 14,972 pg/ml. Postoperative SP level and the elevation were not significantly different between two groups (p=0,793 and p=0,540), VAS and total amount of morphine given was significantly different (p<0,05).

Conclusion: Perioperative intravenous paracetamol reduced morphine consumption and gave better VAS in post craniotomy patient, but did not affected postoperative SP level.

Keywords :Intravenous paracetamol, Substance P, VAS, Morphine, Craniotomy * Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang. Korespondensi/ Correspondence: bondanice@gmail.com

The Effect Of Perioperative Intravenous Paracetamol On Serum Substance P Level In Craniotomy Patient

Bondan Irtani Cahyadi *, Hariyo Satoto*, Heru Dwi Jatmiko*

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

(6)

ABSTRAK

Latar belakang: Manajemen nyeri pasca kraniotomi sangat penting karena 60-84%

pasien pasca kraniotomi merasakan nyeri sedang hingga berat. Rasa nyeri ini ditransmisikan olehserabutsaraf C yang melibatkan neuropeptida substansi P (SP). Pemberian analgetik golongan opioid memiliki efek samping seperti alergi, gangguan gastrointestinal, mual, muntah, hipotensi, depresi nafas maupun retensi urin. Paracetamol memiliki efek yang mengurangi kebutuhan analgesia opioid, dan menghambat hiperalgesia yang dimediasi oleh SP.

Tujuan: Mengetahui efek pemberian parasetamol intravena perioperatif terhadap kadar SP serum pasca kraniotomi.

Metode: Empat puluh responden berusia 18-45 tahun akan menjalani kraniotomi

reseksi tumor intraserebral elektif, ASA I-II, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok P

diberikan paracetamol 1000 mg intravena per 6 jam selama 24 jam pasca operasi, kelompok K mendapat plasebo. Analgetik pasca operasi menggunakan morfin syringe pump 0,01 mg/kg/jam titrasi sesuai VAS. Level SP serum diperiksa menggunakan Cusabio SP ELISA kit sebelum operasi dan 12 jam setelah operasi. VAS dinilai pada jam 1, 6, 12, dan 24 jam pasca operasi. Jumlah total pemakaian morfin dalam 24 jam dan efek mual muntah dicatat.

Hasil: Kadar SP pra operasi pada kelompok P 16,89± 31,395 pg/ml dan pasca operasi 36,58 ± 46,960 pg/ml. Level SP pra operasi kelompok K 9,58 ± 10,656 pg/ml dan pasca operasi 26,09 ± 22,506 pg/ml. Peningkatan kadar SP pasca operasi kelompok P sebesar 19,69± 28,625 pg/ml, sedangkan kelompok K 16,51 ± 14,972 pg/ ml. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar SP dan peningkatannya pada kedua kelompok penelitian (p=0,793 dan p=0,540), sedangkan nilai VAS dan jumlah morfin yang diberikan berbeda bermakna (p<0,05).

Simpulan: Pemberian parasetamol intravena perioperatif pada pasien kraniotomi mengurangi kebutuhan morfin dan nilai VAS lebih baik, namun tidak mempengaruhi kadar SP pasca operasi.

Kata Kunci : Paracetamol intravena, Substansi P, VAS, Morfin, Kraniotomi

PENDAHULUAN

Sekitar 60-84% pasien pasca

kraniotomi mengalami nyeri moderat hingga berat.1,2 Nyeri pasca kraniotomi paling sering terjadi dalam 48 jam setelah operasi, terutama setelah 12 jam pasca operasi. Manajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak

diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca kraniotomi di rumah sakit juga belum didukung dengan bukti klinis hasil penelitian yang adekuat.

(7)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 69 berperan dalam proses terjadinya nyeri,

seperti histamin, prostaglandin,

bradikinin dan substansi P. Substansi P merupakan mediator nyeri yang paling dominan.3 Menurut Dunbar et al nyeri pada pasien pasca kraniotomi justru membutuhkan lebih sedikit analgetik

dibanding dengan tindakan

pembedahan mayor lainnya.4

Penggunaan opioid pasca operasi memiliki beberapa efek samping yang merugikan, diantaranya alergi, efek

gastrointestinal, mual muntah,

hipotensi, sedasi, depresi respirasi dan retensi urin.5

Parasetamol merupakan obat

anti-inflamasi non steroid yang

memiliki efek anti-piretik dan

analgetik.Efek analgetik parasetamol karena perannya dalam menghambat enzim siklooksigenase baik di sentral maupun perifer. Mekanisme lain melalui jalur nitric oxide, dimana parasetamol menghambat hiperalgesia yang dimediasi substansi P.6 Penelitian oleh Maund menunjukkan bahwa

parasetamol memiliki efek opioid

sparing sehingga mengurangi kebutuhan opioid untuk analgetik pasca operasi.7

Potensi parasetamol intravena sebagai analgesia preemptif pada pasien kraniotomi menarik untuk diteliti. Perlu diketahui efeknya sebagai antinosisepsi dengan cara mengukur kadar substansi P dalam serum dan hubungannya dengan skor nyeri menggunakan Visual Analog Scale (VAS).

METODE

Penelitian ini termasuk jenis uji klinis acak tersamar ganda. Kriteria inklusi: dewasa usia 18 – 45 tahun, menjalani operasi kraniotomi reseksi tumor intraserebral elektif , Body Mass Index (BMI) normal (18.5 - 25 kg/m2),

status Fisik ASA I-II, mampu

komunikasi secara verbal, mampu

menggunakan Visual Analog Scale

(VAS) dan durasi operasi kurang dari 360 menit. Kriteria eksklusi: alergi parasetamol, morfin atau agen anestesi lain yang digunakan dalam penelitian, konsumsi parasetamol, NSAID atau analgesik lain secara rutin, gangguan hepar (kadar transaminase > 1,5x kadar normal atas) atau insufisiensi ginjal (kreatinin > 2 mg/dL), riwayat atau

suspek konsumsi alkohol atau

penyalahgunaan obat, hamil atau menyusui, keterbatasan komunikasi karena gangguan kesadaran atau kognitif dan hipertensi tidak terkontrol.

(8)

pemeriksaan substansi P diambil sebelum operasi dan 12 jam setelah operasi.

HASIL

Didapatkan 40 subjek

penelitian masuk dalam kriteria inklusi. 2 orang subjek dieksklusi karena mengalami kejadian tidak

diharapkan yaitu satu subjek

meninggal saat operasi (kelompok kontrol) da satu subjek dengan penundaan operasioleh dokter bedah (kelompok parasetamol). Dengan demikian, sampel penelitian ini adalah sebanyak 19 pasien dari kelompok K dan 19 pasien dari kelompok P. Pada kelompok kontrol, diperoleh subjek laki-laki berjumlah 6 orang dan subjek perempuan berjumlah 13 orang.Pada kelompok perlakuan, diperoleh 5 orang subjek laki-laki dan 14 orang subjek perempuan (Tabel 1). Rerata usia untuk kelompok kontrol adalah 37,95± 11,754 dan untuk kelompok perlakuan 42,47 ± 12,712 (p = 0,262). Hal ini

menunjukkan bahwa usia subjek penelitian diantara kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Rerata Body Mass Index (BMI) untuk kelompok kontrol adalah 21,69± 2,532 dan untuk kelompok perlakuan 22,58 ± 2,626 (p = 0,315). Lama operasi untuk kedua kelompok tidak berbeda bermakna, yaitu pada kelompok kontrol 277,89± 77,358 menit dan kelompok perlakuan 293,68 ± 96,348 menit dengan p = 0,581 (Tabel 3). Kedua kelompok dapat dikatakan homogen.

Penilaian tingkat keparahan nyeri pasca operasi menggunakan

Visual Analog Scale (VAS). Pada Tabel 4, rerata nilai VAS 1 jam pasca operasi pada kelompok kontrol adalah 2,42 ± 1,017, berbeda bermakna dengan rerata nilai VAS 1 jam pasca operasi pada kelompok perlakuan, yaitu 1,11 ± 1,243 (p = 0,002). VAS 6 jam pasca operasi pada kelompok kontrol 2,37 ± 0,761 dan pada kelompok perlakuan 1,11 ± 1,197, berbeda bermakna dengan nilai p

Variabel Kelompok p

Kontrol Perlakuan

Jenis kelamin

Laki-laki 6 (31,6%) 5 (26,3%) 0,721¥

Perempuan 13 (68,4%) 14 (73,7%)

Umur 37,95 ± 11,754 42,47 ± 12,712 0,262¤

BMI 21,69 ± 2,532 22,58 ± 2,626 0,315¤

Lama operasi 277,89 ± 77,358 293,68 ± 96,348 0,581¤

Tabel 1. Karakteristik Data

Keterangan :

(9)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 71 = 0,001. VAS 12 jam pasca operasi pada

kelompok kontrol 1,89 ± 0,459, berbeda bermakna jika dibandingkan dengan VAS 12 jam pasca operasi pada kelompok perlakuan , yaitu 1,11 ± 1,100 (p = 0,008). Setelah 24 jam pasca operasi, rerata nilai VAS pada kelompok kontrol adalah 1,95 ± 0,524 dan pada kelompok perlakuan 1,00 ± 1,000, berbeda bermakna dengan p = 0,001 (Tabel 2).

Intensitas nyeri pasca kraniotomi pada kelompok perlakuan lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Nilai VAS pada kelompok perlakuan stabil diantara nilai 1 dan 1,5 dalam 24 jam pasca kraniotomi. Nilai VAS pada kelompok kontrol dalam 6 jam pasca kraniotomi sekitar 2-2,5 kemudian turun menjadi 1,5

-2 pada 1-2-24 jam pasca kraniotomi (Grafik 1).

Rerata total pemakaian morfin sebagai analgetik pasca operasi pada kelompok kontrol adalah 18,97 ± 3,946 mg, berbeda bermakna dibanding dengan total pemakaian morfin pada kelompok perlakuan, yaitu 11,95 ± 5,876 mg (p < 0,001). Pemakaian morfin lebih sedikit pada kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol (Tabel 3).

Pada diagram batang tampak bahwa pemakaian morfin sebagai analgetik pasca kraniotomi lebih sedikit pada kelompok perlakuan dibandung kelompok kontrol dalam 24 jam pasca kraniotomi. Selisih jumlah morfin

Tabel 2. Nilai VAS 1, VAS 6, VAS 12 dan VAS 24 jam pasca operasi

VAS Kontrol Perlakuan p§

VAS 1 2,42 ± 1,017 1,11 ± 1,243 0,002

VAS 6 2,37 ± 0,761 1,11 ± 1,197 0,001

VAS 12 1,89 ± 0,459 1,11 ± 1,100 0,008

VAS 24 1,95 ± 0,524 1,00 ± 1,000 0,001

Keterangan :

§ Mann-Whitney Test

(10)

sebanyak 7,02 mg (Grafik 2)

Pada kelompok kontrol ditemukan kejadian mual pada 2 subjek dan muntah pada 2 subjek, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ditemukan kejadian mual atau muntah (Tabel 4).

Rerata kadar substansi P sebelum operasi pada kelompok kontrol adalah 9,58± 10,656 pg/ml, tidak berbeda bermakna dengan kadar substansi P

sebelum operasi pada kelompok

perlakuan, yaitu 16,89 ± 31,395 pg/ml (p = 0,918). Hal ini menunjukkan bahwa kadar substansi P sebelum operasi pada kedua kelompok relatif sama atau homogen. Setelah 12 jam pasca operasi, rerata kadar substansi P pada kelompok kontrol menjadi 26,09± 22,506 pg/ml, sedangkan

pada kelompok perlakuan 36,58 ± 46,960pg/ml. Pada kedua kelompok, peningkatan kadar substansi P setelah 12 jam pasca operasi berbeda bermakna (p < 0,001) (Tabel 5)

Kadar substansi P kelompok kontrol 12 jam pasca operasi meningkat

sebesar 16,51 ± 14,972pg/ml.

Sedangkan pada kelompok perlakuan, peningkatannya sebesar 19,69 ± 28,625 pg/ml. Kedua peningkatan ini tidak berbeda bermakna dengan p = 0,540 (Tabel 6).

Pada penelitian ini, pemberian

parasetamol intravena perioperatif

memberikan tingkat analgesia yang

Tabel 3. Pemakaian analgetik morfin saat pasca operasi

Kelompok Morfin p§

Kontrol 18,97 ± 3,946

< 0,001

Perlakuan 11,95 ± 5,876

Keterangan :

§ Mann-Whitney Test

(11)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 73

lebih baik dibanding dengan

kontrol.Intensitas nyeri dalam 24 jam setelah operasi (dinilai dengan VAS pada jam 1, 6, 12 dan 24 pascaoperasi) lebih rendah dengan pemberian parasetamol dibanding tanpa pemberian parasetamol. Hal ini dikarenakan onset analgesik parasetamol tercapai dalam waktu singkat dalam 5-10 menit setelah pemberian intravena.Efek analgesik puncak tercapai dalam waktu 1 jam dan bertahan selama 4-6 jam.8

Nyeri pasca bedah, khususnya pada operasi kraniotomi paling sering terjadi dalam 48 jam setelah operasi, terutama setelah 12 jam pasca operasi.2

Dengan pemberian parasetamol

perioperatif, nyeri akut ini dapat tertangani. Hal ini sesuai dengan

penelitian Savvina et al. yang

menyebutkan bahwa pemberian

parasetamol sebagai analgesia

preemptif pada pasien pediatrik yang menjalani bedah saraf memberikan analgesia pasca operasi yang adekuat, dimana nilai VAS pasca operasi 0-2 atau tidak nyeri.9 Wininger et al. juga

menyebutkan bahwa pemberian

parasetamol intravena juga mengurangi nyeri dalam 24 jam pasca operasi pada operasi bedah laparoskopi abdomen.10

Durasi analgesia juga menjadi lebih lama dan waktu pemberian analgetik

rescue pertama juga tertunda lebih lama

dengan pemberian parasetamol

intravena.11

Efek analgesia parasetamol kemungkinan melalui beberapa cara

yaitu: menghambat sintesis

prostaglandin di sistem saraf pusat (aksi sentral), memblok timbulnya impuls nyeri di perifer, memperkuat jalur

desendens penghambat nyeri

serotonergik, inhibisi produksi nitric oxide (NO) dan hiperalgesia yang

diinduksi N-methyl-D-aspartate

(NMDA) atau substansi P, dan berperan pada jalur endokanabinoid dan opioid.12

-15

Pemakaian morfin sebagai analgesia pasca kraniotomi berkurang sebesar 37 % pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan penelitian Remy et al.

yang menyebutkan bahwa parasetamol memiliki opioid sparing effect, dimana pada bedah mayor yang memerlukan morfin sebagai analgesia pasca operasi,

kebutuhan morfin berkurang 20%.12

Nour AA juga menyebutkan

bahwa parasetamol intravena

mengurangi konsumsi Patient

(12)

Tabel 4. Kejadian mual muntah pasca operasi

Kelompok Mual Muntah

Kontrol 2 2

Perlakuan 0 0

Tabel 5. Kadar Substansi P sebelum dan 12 jam setelah operasi

Kelompok SP pre SP post p (berpasangan)

Kontrol 9,58 ± 10,656 26,09 ± 22,506 <0,001†

Perlakuan 16,89 ± 31,395 36,58 ± 46,960 <0,001†

p (tidak berpasangan) 0,918§ 0,793§

Keterangan :

§ Mann-Whitney Test Wilcoxon Test

Tabel 6. Peningkatan kadar substansi P setelah 12 jam pasca operasi

Kelompok Selisih SP p§

Kontrol 16,51 ± 14,972

0,540

Perlakuan 19,69 ± 28,625

Keterangan :

§ Mann-Whitney Test

hingga 30% pada pasien yang menjalani abdomenoplasti 16 dan 33% pada pasien bedah orthopedi mayor.11

Efek opioid sparing dikarenakan

pemberian parasetamol secara

preemptif analgesia, yaitu diberikan sejak sebelum ada rangsang nyeri

karena insisi bedah, kemudian

dilanjutkan pemberiannya dengan interval tertentu selama dan setelah operasi. Dengan metode pemberian seperti ini, maka proses nyeri karena

adanya input dari nosiseptor dapat berkurang dan mencegah terjadinya

proses hipersensitivitas yang

menyebabkan nyeri akut berkembang menjadi nyeri kronik.17,18

Bertolini et al. menemukan

(13)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 75 Antinosisepsi yang diinduksi

kanabinoid tergantung pada pelepasan peptida opioid dan interaksinya dengan reseptor μ di otak dan κ di spinal.15 Kemungkinan mekanisme ini yang menyebabkan parasetamol mampu mengurangi dosis morfin sebagai analgetik pasca operasi pada penelitian ini.

Dengan berkurangnya jumlah pemakaian morfin pasca operasi, dapat mengurangi efek samping terkait opioid seperti mual muntah. Pada penelitian ini ditemukan efek samping berupa mual muntah pada kelompok yang tidak mendapat parasetamol intravena.

Penelitian Maund E et al

menunjukkan bahwa parasetamol dapat mengurangi kejadian mual muntah karena morfin pada bedah mayor, namun tidak signifikan.19

Pada penelitian ini,kadar

substansi P sebelum dan setelah operasi

relatif sama antara kelompok

parasetamol dan plasebo. Selisih peningkatan kadar substansi P juga tidak berbeda bermakna antara kelompok parasetamol dan plasebo. Kadar substansi P pasca operasi sedikit lebih tinggi pada kelompok parasetamol kemungkinan karena lama operasi pada kelompok parasetamol

lebih lama sekitar 15,79 menit dibanding plasebo. Durasi trauma atau stress operasi mempengaruhi kadar substansi P dalam darah. Panjang insisi kulit juga mempengaruhi kadar substansi P karena derajat trauma menjadi lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Papp Aet al, yang

menyebutkan bahwa pelepasan

substansi P terjadi saat trauma jaringan dan peningkatannya berhubungan dengan lama dan besar kecilnya tingkat trauma.20

Penghambatan peningkatan

kadar substansi P kemungkinan karena efek parasetamol untuk mencegah hiperalgesia di sentral maupun sensitisasi di perifer. Substansi P dihasilkan baik di sentral maupun perifer oleh neuron sensorik.21,22 Substansi P menurunkan ambang batas

nosiseptif dan meningkatkan

eksitabilitas membran saraf, sehingga

menimbulkan hiperalgesia dan

allodinia. Parasetamol menghambat jalur L-arginine-nitric oxide (NO) di sentral. Jalur ini memproduksi NO yang terkait erat dengan NMDA dan substansi P.23

Penelitian ini menggunakan dosis parasetamol 4000 mg/ hari, tidak

(14)

direkomendasikan.24,25

Parasetamol memberikan efek menghambat hanya hiperalgesia sentral pada dosis 25 mg/kgBB, dan menghambat hiperalgesia baik sentral maupun perifer pada dosis 50-100 mg/ kgBB.26 Kemungkinan hal ini juga yang menyebabkan selisih peningkatan kadar substansi P serum tidak berbeda bermakna antara kelompok kontrol dan

perlakuan. Untuk menghambat

hiperalgesia memerlukan dosis yang besar dan dikhawatirkan melebihi dosis yang direkomendasikan pada manusia.

SIMPULAN

Pemberian parasetamol intravena

perioperatif tidak terbukti menurunkan kadar substansi P serum pada pasien

kraniotomi dan tidak terbukti

menghambat peningkatan kadar

substansi P serum pada pasien kraniotomi. Akan tetapi, pemberian parasetamol intravena perioperatif mengurangi intensitas nyeri pasca kraniotomi yang ditunjukkan dengan nilai VAS yang lebih rendah dan mengurangi kebutuhan morfin sebagai analgesia pasca kraniotomi serta mengurangi kejadian mual muntah sebagai efek samping terkait morfin.

DAFTAR PUSTAKA

1. De Benedittis G, Lorenzetti A, Migliore M, Spagnoli D, Tiberio F, Villai RM. Postoperative Pain In Neurosurgery: A Pilot Study In Brain Surgery. Neurosurg 1996; 38: 466–70

3. Kidd BL, Urban LA. Mechanisms

Of Inflammatory Pain. Br J Anaesth 2001; 87(1): 3-11

4. Dunbar PJ, Visco E, Lam AM.

Craniotomy Procedures Are Associated With Less Analgesic

Requirements Than Other

Surgical Procedures. Anesth Analg 1999;88:335–40

5. Sinatra RS, Jahr JS. Multimodal Management Of Acute Pain: The Role Of IV NSAIDS. Special Report. Anesthesiology News June 2011; 1-8

6. Bujalska M. Effects Of Nitric

Oxide Synthase Inhibition On

Antinociceptive Action Of

Different Doses Of

Acetaminophen. Polish J Pharma 2004;56:605-10

7. Maund E, Mcdaid C, Rice S,

Wright K, Jenkins B, Woolacott N. Paracetamol And Selective And Non-Selective Non-Steroidal

Anti-Inflammatory Drugs For

The Reduction In Morphine

(15)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 77 Surgery: A Systematic Review.

Br J Anaesth 2011; 106 (3): 292– 7

Driagina NV. Preemptive

Analgesia with Paracetamol in Pediatric Neurosurgical Patients. Anesteziol Reanimatol 2010; 1: 4 -6

10. Wininger SJ, Miller H,

Minkowitz HS, Royal MA, Ang RY, Breitmeyer JB, et al. A

randomized, double-blind,

placebo-controlled, multicenter,

repeat-dose study of two

intravenous acetaminophen

dosing regimens for the treatment

of pain after abdominal

laparoscopic surgery. Clinical Therapeutics 2010; 32(14): 2348– 69

11. Sinatra RS, Jahr JS, Reynolds LW, Viscusi ER, Groudine SB, Payen-Champenois C. Efficacy and safety of single and repeated administration of 1 gram

intravenous acetaminophen

injection (paracetamol) for pain

management after major

orthopedic surgery.

Acetaminophen: Its Clinical

Pharmacologic Characteristics

Reflect Its Inhibition Of The Two Prostaglandin H2 Synthases. Clin Pharmacol Ther. 2006 Jan;79 (1):9-19

13. Smith HS. Potential Analgesic

Mechanisms Of Acetaminophen. Pain Physician 2009; 12:269-280 14. Malaise O, Bruyere O, Reginster

JY. Intravenous Paracetamol: A Review Of Efficacy And Safety In Therapeutic Use. Future Neurology 2007; 22 (6): 673-88 15. Bertolini A, Ferrari A, Ottani A,

Paracetamol In Reducing

Postoperative Morphine

Consumption By

PatientControlled Analgesia After

Abdomenoplasty. Alexandria

Journal of Anesthesia and Intensive Care 2006; 9(3): 44-48

17. Gottschalk A, Smith DS. New

concepts in acute pain therapy: preemptive analgesia. Am Fam Physician 2001; 63(10): 1979-84

18. Woolf CK, Chong MS.

(16)

19. Maund E, McDaid C, Rice S, Wright K, Jenkins B, Woolacott N. Paracetamol and selective and non-selective non-steroidal anti -inflammatory drugs for the reduction in morphine-related side-effects after major surgery:a systematic review. Br J Anaesth 2011; 106 (3): 292–7

20. Papp A, Valtonen P. Tissue

substance P levels in acute experimental burns. Burns 2006; 32: 842–5

21. Substance P. Wikipedia

[internet]. 2013 May 8 [cited 2013 June 16]. Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/ Substance_P

22. Harrison S, Geppeti P. Substance

P. Int J Biochem Cell Biol 2001; 33: 555-76

23. Mattia C, Coluzzi F. What

Anesthesiologists Should Know

About Paracetamol

(Acetaminophen). Minerva

Anesth 2009; 75(11): 644-53

24. OFIRMEV (acetaminophen)

injection prescribing information. San Diego, CA: Cadence Pharmaceuticals, Inc.; November 2010. http://www.ofirmev.com/ pdf/OFIRMEV

PrescribingInformation.pdf. Diakses 20 Juni 2013

25. U.S. Food and Drug

Administration. Acetaminophen

overdose and liver injury

-background and options for reducing injury; 22 Mei 2009. http://www.fda.gov/ohrms/

dockets/ac/09/briefing/2009– 4429b1–01-FDA.pdf. Diakses 20 Juni 2013

26. Bianchi M, Panerai AE. The dose

(17)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 79

PENELITIAN Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria

Syafri Kamsul Arif*, Iwan Setiawan*

ABSTRACT

Background: Spinal anesthesia is a regional anesthetic technique most commonly used in cesarean section procedures. This technique is a simple technique, also has a strong block quality even with volume and small doses and side effects are minimal when compared with general anesthesia. The effect usually appears after spinal anesthesia, among others hypotension. Incidence of hypotension after spinal anesthesia reach 30-80% in cesarean section deliveries

Objective: To determine whether spinal anesthesia injection slower can reduce the incidence of hypotension in cesarean section without affecting the onset of anesthesia blocks.

Methods: The research used single blind randomized method with 48 samples who fulfilled the inclusion criteria. The samples were divided into two groups, fast and slow group. Spinal anesthesia was given using hyperbaric bupivacaine 0,5% of 10 mg and fentanyl 25 mcg. The fast group received spinal anesthesia injection with a rate 0,4 mL/sec, while the slow group received spinal anesthesia injection with a rate of 0,2 mL/sec. Hypotension incidence, onset block and the incidence of post spinal anesthesia side effects were recorded and analyzed statistically.

Results: Aanesthesia injection with a rate of 0,2 mL/sec can reduce the incidence of hypotension after spinal anesthesia without reducing the onset and block height.

Conclusion: Spinal anesthesia with a speed of 0.2 mL / can reduce the incidence of hypotension after spinal anesthesia without affecting the onset and the block height. Keywords : Spinal anesthesia, hypotension, pregnant mothers, injection rate.

ABSTRAK

Latar belakang: Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sering digunakan pada prosedur seksio sesaria, selain karena teknik yang sederhana, * Bagian Anestesiologi, Perawatan intensif dan Manajemen nyeri, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar

Korespondensi/ Correspondence: syafrikarif@yahoo.com

A Comparison Between The Effect Of Injection Rate Of 0,4 ml/sec And 0,2 ml/sec In Spinal Anesthesia Procedure On Hypotension Incidence In Sectio Caesaria

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

(18)

juga memiliki kualitas blok yang kuat walaupun dengan volume dan dosis yang kecil, efek samping yang minimal bila dibandingkan dengan anestesi umum. Efek yang biasanya muncul pasca anestesi spinal antara lain hipotensi. Insiden hipotensi pasca anestesi spinal mencapai 30-80% pada persalinan seksio sesaria.

Tujuan: Untuk mengetahui apakah injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi pada seksio sesaria tanpa memengaruhi onset blok anestesi.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal, sampel penelitian sebanyak 48 orang yang memenuhi criteria inklusi. Sampel dipilih secara acak dan dibagi ke dalam dua kelompok. Anestesi spinal menggunakan bupivakain 0,5% 10mg dan fentanyl 25mcg, kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,4 mL/ dtk, sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/ dtk. Insiden hipotensi, onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat dan dilakukan analisis statistik.

Hasil: Penelitian ini mendapatkan Injeksi anestesi dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi blok.

Kesimpulan: Anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi blok.

Kata kunci: Anestesi spinal, hipotensi, ibuhamil, kecepatan injeksi.

PENDAHULUAN

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sering digunakan pada prosedur seksio sesaria, selain karena teknik yang sederhana, juga memiliki kualitas blok yang kuat walaupun dengan volume dan dosis yang kecil, efek samping yang minimal bila dibandingkan dengan anestesi umum, walaupun memiliki efek samping yang minimal. Efek yang biasanya muncul pasca anestesi spinal antara lain hipotensi, spinal tinggi sampai dengan total spinal, hal ini dihubungkan dengan penyebaran obat di ruang subarachnoid, yang ditentukan oleh multi faktor, seperti kondisi fisik pasien itu

sendiri atau karakteristik dari anestetik lokal, juga dengan teknik injeksi yang digunakan.1

Hipotensi pasca anestesi spinal (AS) merupakan insiden yang paling sering muncul, kurang lebih 15 – 33%

pada setiap injeksi AS.2 Kasus

(19)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 81 sedangkan pada prosedur anestesi

epidural 16,4% .3

Berbagai macam metode untuk mencegah atau mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal, telah dilakukan beberapa penelitian kurang lebih tiga dekade dengan hasil yang bervariasi. Chinacoti & Tritrakarn (2007), mencoba menurunkan insiden hipotensi dengan cara mengurangi dosis anestesi lokal,4 Mercier & Fischer (2013), menggunakan teknik kombinasi

vasopressor dan koloading

hydroxyethylstarch merupakan metode yang terbaik untuk menurunkan insiden hipotensi pasca AS.2 Mirea &

Ungureanu(2013), kemudian

menggabungkan teknik koloading Hes dan injeksi AS yang lambat menurunkan insiden hipotensi berat dan penggunaan vasopressor pada geriatri.5

Penelitian tentang kecepatan injeksi anestesi spinal telah dilakukan kurang lebih dua dekade, juga dengan hasil bervariatif. Casati dkk (1998), membuat kesimpulan bahwa teknik injeksi anestesi spinal yang sangat lambat tidak memberikan keuntungan secara klinis pada prosedur anestesi spinal unilateral.6 Anderson & Brydon (2001), menggunakan dua kecepatan 10 detik dan 3 menit memberikan hasil yang berbeda, dimana injeksi yang

lambat menggunakan bupivakain

tunggal memberikan hasil onset dan pemulihan obat yang lebih cepat.7

Singh dkk (2007), melakukan

penelitian tentang perbedaan kecepatan

injeksi, dengan kecepatan >4 detik dan >40 detik menggunakan bupivacaine 0,75% ditambahkan morfin 200 mcg, didapatkan hasil bahwa injeksi AS yang cepat dengan bupivakain hiperbarik tidak mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal, dan tidak ada perbedaan bermakna terhadap insiden hipotensi dan mual muntah.8 Prakash dkk (2010), menggunakan kecepatan injeksi 0,38 mL/dtk dan 0,05 mL/dtk dan mendapat kesimpulan bahwa kecepatan injeksi AS yang berbeda pada pasien geriatri yang menjalani TUR-P tidak memiliki perbedaan dalam hal karakteristik blok.9

Dengan adanya hasil dan efek

yang bervariasi dari berbagai

penelitian, penelitian ini bertujuan melihat injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi pada seksio sesaria tanpa memengaruhi onset blok anestesi.

METODE

Penelitian ini uji klinis acak dan tersamar tunggal, dilakukan dengan mengambil populasi ibu hamil usia 18

-40 tahun dengan IMT 18-40 kg/

m2kategori pasien ASA PS 1-2 yang direncanakan persalinan seksio sesaria. Dari total 90 populasi diambil 52 yang masuk dalam criteria inklusi dipilih secara counsecutive random sampling.

(20)

kelompok masing-masing 24 sampel,

menggunakan anestestik local

Bupivacain 0,5% 10 mg ditambahkan Fentanyl 25 mcg.

Sampel dibagi dalam dua

kelompok, yang pertama yang

mendapat perlakukan di injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,4 mL/dtk selanjutnya disebut kelompok IC. Sedangkan kelompok yang kedua mendapatkan perlakuan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk selanjutnya disebut kelompok IL.

Pasien di persiapkan terlebih

dahulu dengan premedikasi

ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50 mg, Pada saat tiba di kamar operasi, pasien dipasang alat untuk monitor tanda vital yang akan menjalani operasi seksio sesaria, diberikan preloading

dengan larutan kristaloid ringer laktat 10 – 15 ml/kgbb selama 15 menit sebelum injeksi anestesi spinal, kemudian tanda vital diukur sebelum pasien di posisikan untuk left lateral decubitus selanjutnya disebut T0.

Anestesi spinal dilakukan

dengan menggunakan jarum spinal (Spinocan®)no.25G yang di insersi

padacelah vertebra lumbal 3-4

menggunakan jarum disposible 3cc dengan pasien posisi left lateral decubitus (LLD).

Kelompok IC menerima bupivakain hiperbarik 10 mg ditambahkan Fentanyl 25 µg dengan kecepatan injeksi 0.4 ml/ detik dengan total waktu injeksi 6 detik,

sedangkan kelompok IL menerima

bupivakain hiperbarik 10 mg

ditambahkan Fentanyl 25 µg dengan kecepatan injeksi 0.2 ml/detik dengan total waktu injeksi 12 detik, di ukur dengan menggunakan alat pencatat waktu.

Setelah injeksi, pasien

diposisikan supine dengan bantal di bawah kepala dan di berikan O2 lewat nasal kanul 3 L/menit. Akhir injeksi anestetik local adalah waktu untuk mengukur ketinggian blok dinilai menggunakan tes “pinprick”. Pada garis midklavikular kiri dan kanan observasi ketinggian blok dilakukan setiap menit sampai dengan didapatkan blok sensoris menggunakan tes pinprick

setinggi thorakal 6 dan blok motorik dengan skala bromage 4, selanjutnya operasi dapat dimulai.

Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolic dan tekanan arteri rerata di ukursetiapmenitsampaidengan 15 menitpertama, setelahitusetiap lima menitsampai 35 menit atau sampai selesai operasi. TD diukur dengan metode non invasive. Insiden hipotensi dicatat apabila tekanan darah turun 20% dari T0 atau TAR <60 mmHg, dicatat juga nilai tekanan darah terendah selama pengukuran sejak T0, bila terjadi hipotensi diberikan cairan kristaloid secara koloading disertai dengan injeksi efedrin 5-10mg setiap menit sampai tekanan darah didapatkan dalam batas normal. Efek samping lain

(21)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 83 pengukuran di catat dan dilakukan

analisastatistik, insiden hipotensi dan efek samping lain dianalisa dengan uji

chi-square, onset blokanestesi spinal dianalisa dengan ujiindependent-t

Analisa data menggunakan

SPSS 22 untuk Macintosh,

Karakteristik sampel, Karakteriatik hemodinamik pascaanestesi spinal dan karakteristik blok anestesi spinal di uji

menggunakan ujii ndependent-t.

Insiden hipotensi dan efek samping lain selama penelitian di uji menggunakan ujiChi-Square.Data ditampilkan dalam bentuk table dan narasi.

HASIL

Distribusi sampel menurut umur, gestasi, berat badan, tinggi badan, IMT, TDS T0, TDD T0 dan TAR T0 di uji normalitas dengan 1-s

Kolmogorov-smirnov test dan didapatkan distribusi sampel normal, selanjutnya dilakukan uji perbandingan menggunakan independet t-test, hasil ditampilkan dalam tabel 1.

Dari hasil uji statistik pada karakteristik sampel didapatkan tidak ada perbedaan bermakna antara kedua

kelompok, dengan ini dapat

disimpulkan bahwa distribusi data homogen antara kedua kelompok.

Karakteristik hemodinamik

dinilai satu menit setelah injeksi anestesi spinal, dihitung setiap menit selama 15 menit pertama, kemudian setiap 5 menit sampai menit ke 35, hasil

perbandingan karakteristik

hemodinamik antara kedua kelompok ditampilkan dalam tabel 2.

Tekanan darah dan tekanan arteri rerata terendah rata-rata antara kedua kelompok dinilai sejak T1 kemudian dibandingkan antara kedua kelompok. Pada TDS didapatkan hasil pada kelompok IC 79,13 + 15,04 dan kelompok IL 94,67 + 12,15 dengan nilai P=0,000, didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Penilaian TDD pada kedua kelompok didapatkan hasil pada kelompok IC 45,08 + 7,35 dan kelompok IL 50,67 + 8,50 dengan nilai P=0,019, didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Penilaian TAR pada kedua kelompok didapatkan hasil pada kelompok IC 58,83 + 11,30 dan kelompok IL 66,63 + 10,19 dengan nilai P=0,016, ditemukan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Waktu rata-rata terjadinya hipotensi pertama dihitung satu menit sejak anestesi spinal, terjadinya insiden hipotensi awal pada kedua kelompok dibandingkan, pada kelompok IC 3,95 + 2,09 dan pada kelompok IL 3,89 + 1,97 dengan nilai P=0,939, tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal menit terjadinya hipotensi pertama antara kedua kelompok.

(22)

perbedaan bermakna kebutuhan efedrin rata-rata pada IC dan IL, dapat disimpulkan bahwa injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi kebutuhan efedrin selama pembedahan.

Insiden hipotensi didapatkan pada kedua kelompok, pada kelompok IC didapatkan insiden hipotensi 21 dari 24 sampel, sedangkan pada kelompok IL didapatkan 9 dari 24 sampel, dan berdasarkan hasil uji statistik chi square antara kedua kelompok didapatkan hasil kelompok IC 87,5%, kelompok IL 37,5% dengan P=0,001

didapatkan hasil yang berbeda

bermakna antara kedua kelompok, hasil ditampilkan dalam tabel 3.

Efek samping yang muncul antara kedua kelompok didapatkan delapan kejadian efek samping pada kedua kelompok, pada kelompok IC didapatkan 25% kejadian efek samping, sedangkan pada kelompok IL 8,3% kejadian efek samping, berdasarkan jumlah insiden efek samping yang muncul antara kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan bermakna dengan nilai P=0.245. Berdasarkan insiden mual muntah pada kedua kelompok tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Efek samping depresi nafas pada kedua kelompok juga tidak ditemukan perbedaan bermakna dengan nilai p=0,609.

Karakteristik blok anestesi spinal ditampilkan dalam tabel 4 untuk

membandingkan onset obat anestesi spinal antara kedua kelompok, onset obat dinilai dengan tes pinprick untuk menilai blok sensoris dengan target setinggi thorakal 6 dan skala bromage empat untuk menilai blok motorik, kemudian onset blok motorik dan blok sensorik dinilai terpisah untuk melihat perbedaan onset efek dari perbedaan kecepatan injeksi.

Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok dalam hal onset tercapainya blok anestesi spinal, baik dalam hal blok sensoris dan blok motoris, onset blok antara kedua kelompok dapat dicapai pada menit 3-4

setelah injeksi anestesi spinal.

Berdasarkan hasil yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa kecepatan

injeksi anestesi spinal tidak

berpengaruh terhadap onset blok anestesi spinal.

PEMBAHASAN

(23)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 85 beberapa peneliti menggunakan syringe

pump untuk akurasi ketepatan injeksi, berbeda dengan penelitian ini kecepatan injeksi di ukur menggunakan stopwatch

dengan posisi injeksi LLD.

Penelitian ini dilakukan pada wanita hamil, dimana wanita hamil dihubungkan dengan blok sensoris yang lebih tinggi setelah injeksi dengan bupivakain hiperbarik, faktor yang dapat mempengaruhi antara lain, kurvatur tulang belakang, peningkatan tekanan intra abdomen, melebarnya vena – vena di ruang epidural, dan berkurangnya ruang dalam daerah subarachnoid menjadi lebih sempit, juga dapat dihubungkan dengan peningkatan sensitifitas neuronal akibat meningkatnya hormon progesteron.

Singh et al(2007),

menyimpulkan bahwa kecepatan injeksi yang berbeda tetap memberikan efek hipotensi dengan efek samping mual dan muntah8, berbeda dengan penelitian ini, kecepatan injeksi yang lebih lambat dapat mengurangi kejadian hipotensi, hal ini dapat disebabkan karena perbedaan konsentrasi anestetik lokal yang digunakan pada penelitian Singh menggunakan bupivakain hiperbarik 0,75% sedangkan pada penelitian ini menggunakan bupivakain hiperbarik 0,5%, dimana konsentrasi anestetik lokal merupakan faktor major yang memengaruhi sebaran di ruang subarachnoid.

Kang dkk (2012), melakukan uji klinis mengenai kecepatan injeksi anestesi spinal antara dua kelompok menggunakan bupivakain 0,5% 9 mg dengan fentanyl 10 mcg dengan kecepatan 0,1 mL/dtk dan 0,02 mL/dtk pada wanita hamil, di dapatkan kecepatan injeksi yang lebih lambat tidak berpengaruh terhadap onset dan level blok sensoris, dan juga tidak mengurangi insiden hipotensi, tapi menunda onset terjadinya hipotensi10, hal ini berbeda dengan hasil penelitian ini dimana insiden hipotensi dapat berkurang dengan injeksi lebih lambat, hal ini mungkin dikarenakan metode yang berbeda dalam hal kriteria objektif, dimana kriteria hipotensi dari Kang ditentukan apabila TAR <100 mmHg sedangkan pada penelitian ini kriteria hipotensi apabila TAR < 60mmHg.

Casati dkk (1998),

memperlihatkan onset blok yang dicapai setelah injeksi hingga mencapai thorakal enam membutuhkan waktu lima sampai tujuh menit6, sejalan dengan penelitian ini dalam hal tercapainya onset tiga sampai empat menit, hal ini sejalan dengan beberapa

penelitian sebelumnya bahwa,

kecepatan injeksi anestesi spinal lambat ataupun cepat tidak berpengaruh terhadap sebaran anestetik lokal di ruang subarachnoid.

Hanazaki dkk (1997),

(24)

pasca anestesi spinal, memperlihatkan efek injeksi yang cepat dapat mencapai onset blok kurang dari 5 menit, namun efek yang tidak nyaman dapat muncul seperti sesak nafas11, sejalan dengan penelitian ini bahwa insiden efek samping lebih banyak ditemukan pada kelompok injeksi yang lebih cepat, walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna, hal ini dapat disebabkan karena efek injeksi yang cepat dapat

meningkatan turbulensi diruang

subarachnoid sehingga meningkatkan sebaran obat ke arah chepalad, apalagi jika pada ibu hamil yang mengalami perubahan fisiologis yang berpengaruh terhadap sebaran anestetik lokal di ruang subarachnoid, seperti tekanan intraabdomen yang meningkat karena adanya janin, ruang intratekal yang

lebih sempit dan sensitifitas saraf yang meningkat sehingga resiko terjadinya hipotensi lebih tinggi.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini menjawab hipotesa awal, yaitu, injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat mengurangi insiden hipotensi tanpa mempengaruhi onset dan tinggi blok. Faktor yang dapat menjadi perancu hasil dari penelitian ini berupa, adanya resiko perdarahan yang muncul di 5-10 menit awal operasi yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi

sehingga mengaburkan hasil

pengukuran.

Tabel 1. Karakteristik sampel

Variabel (Mean+SD) Kelompok P

IC (n=24) IL (n=24)

Umur (tahun) 28,38 + 5,74 30,88 + 7,44 0,199

Gestasi (minggu)

Beratbadan (kg)

39,08 + 1,44 38,88 + 1,85 0,665

60,83 + 8,39 62,88 + 10,26 0,454

TinggiBadan (cm) 155,75 + 5,45 156,79 + 4,42 0,471

IMT (kg/m2) 25,01 + 2,51 25,48 + 3,24 0,581

TDS T0 (mmHg) 124,67 + 7,26 123,75 + 8,26 0,685

TDD T0 (mmHg) 80,04 + 7,14 79,04 + 7,27 0,633

TAR T0 (mmHg) 94,87 + 6,05 93,92 + 6,75 0,607

Data ditampilkan dalam rata-rata + SD, uji normalitas menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov test, uji

(25)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 87 Tabel 2. Karakteristik hemodinamik setelah injeksi anestesi spinal

Variabel (Mean+SD) Kelompok P

IC (n=24) IL (n=24)

Nilai SBP terendah (mmHg) 79,13 + 15,04 94,67 + 12,15 0,000*

DBP terendah (mmHg) 45,08 + 7,35 50,67 + 8,50 0,019*

TAR terendah (mmHg) 58,83 + 11,30 66,63 + 10,19 0,016*

Waktuygdibutuhkanuntuk episode

hipotensipertama (mnt) 3,95 + 2,09 3,89 + 1,97 0,939

Total dan Rata - rata

penggunaanefedrin (mg) 430 ( 17,92+ 10,72 ) 135 ( 5,63+ 8,76 ) 0,000*

Data ditampilkan dalam rata-rata +SD. Uji independent-t, berbeda bermakna bila P<0.05 *= ditemukan

perbe-daan bermakna antara kedua kelompok dalam hal rata-rata +SD TDS, TDD, TAR, Penggunaan efedrin rata-rata.

Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok menit terjadinya hipotensi, dan insiden mual muntah dan depresi nafas.

Tabel 3. Insiden hipotensi dan efek samping lain

Variabel Kelompok P

IC (n=24) IL (n=24)

Insidenhipotensi (n) 21 (87,5%) 9 (37,5%) 0,001*

Efeksamping (n) 6 (25%) 2 (8,3%) 0,245

Nausea (n) 3 (12,5%) 1 (4,1%) 0,609

Depresinafas(n) 3 (12,5%) 1 (4,1%) 0,609

Data ditampilkan dalam angka dan persentasi, menggunakan uji chi-square, bermakna bila p=<0,05. *berbeda

bermakna dalam hal insiden hipotensi antara kedua kelompok

Tabel 4. Karakteristik blok anestesi spinal

Variabel (Mean + SD) Kelompok P

IC IL

Waktu yang dibutuhkanuntukmencapai

onset (mnt) 2,96 + 1,73 3,62 + 1,66 0,180

waktuygdibutuhkanbloksensorismen-capaithorakal 6 (mnt) 2,75 + 1,80 3,62 + 1,66 0,087

Waktuyg di

butuhkanblokmotorikmen-capaiskalabromage 4 (mnt) 2,21 + 1,32 2,71 + 1,20 0,176

(26)

7. Anderson, L& Brydon,C. Rate of injection trough whitacre needles affects distribution of spinal anes-thesia, Brit J Anaesth, 2001. 86 (2):245-8.

8. Singh SI, Morley-Forster PK,

Shamsah M, Butler R. Influence of injection rate of hyperbaric bu-pivacaine on spinal block in par-turients: a randomizedtrial. Can J Anesth, 2007. 54(4):290-5.

9. Prakash, S & Barthiga, V. The effect of injection speed on the spinal block characteristic of hy-perbaric bupivacaine 0,5% in el-derly. J Anesth., 2010. 24(6);77 -81

10. Kang, YI, Bang EC, Shin DW,

Kweon DE, Kim SY, Lee HS, dkk. Effect of injection speed of local anesthetic on hypotension during spinal anesthesia for cesar-ean section. Ewha Med J, 2012. 35(2):83 - 8.

11. Hanazaki, M.,et al. (1997). Effect of injection speed on sensoris blockade in spinal anesthesia with 0,5% hyperbaric tetracaine. Ma-sui J, 1997. 46(6):777 - 82.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kee N. Prevention of maternal

hypotension after regional anaes-thesia for caesarean section. Cur-rent opinion in anaesthesiology, 2010. 23(3):304-9.

2. Mercier, FJ & Fischer, C. Mater-nal hypotension during spiMater-nal an-esthesia. Minerva Anesth, 2013. 79(1):62 - 73.

3. Metzger, A.,et al. Maternal hypo-tension during elective cesarean section and short term neonatal outcome, 2010. Am J Obstet Gy-necol. 202:56.

4. Chinocati, T & Tritrakarn, T. Pro-spective study of hypotension and bradicardia during spinal anesthe-sia with bupivacaine : Incidence with risk factor. J Med Assoc Thai, 2007. 90(3):492-501

5. Mirea, LE &Ungureanu, R. Effect of injection speed and colloid loading on hypotension associat-ed with spinal anesthesia for or-thopedic surgery in elderly pa-tient. Euro J Anaesth, 2013. 30:133-4

(27)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 89

PENELITIAN

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap

Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

Nur Asdarina *, Syamsul Hilal Salam*, A. Husni Tanra*

ABSTRACT

Background: The transversus abdominis plane block is a safe, easy, and effective technique to provide the postoperative analgesia in surgery involving the anterior abdominal wall.

Objective: To assess the effect of TAP block landmark technique on the analgesic requirement postoperative herniorrhaphy.

Methods: This is a single blind clinical trial. This study was conducted on 44 male patients, aged between 18 and 60 years, with the ASA physical status of I-II, and the

IMT of 18-24, and undergoing the elective herniorrhaphy surgery with the spinal

anesthesia. The subjects were divided in two groups: the TAP group (n = 22) who received the TAP block of 20 ml of bupivacaine 0.25 % plus the epinephrine of 1:200.000 after completing the surgery, and the control group (n = 22) who did not receive the TAP block. All the patients received 15 mg of meloxicam suppositories and tramadol of 0.1 mg/kg via continous infusion at the end of the surgery. The pain assessment was done using the Numeric Rating Scale ( NRS ), and when the NRS reached 4, the fentanyl 0.5 mcg/kg was given as a rescue. The first rescue time and the total fentanyl requirement for 24 hours after the surgery was recorded.

Results:. The research results revealed that the first rescue time was longer in the TAP group compared to the control group (17.81 ± 7.62 compared to 9.15 ± 8.12 hours; p<0.0001). The total fentanyl required in 24 hour period was less in the TAP group compared to the control group (9.21 ± 13.59 vs. 30.88 ± 20.39 mcg; p=0.02).

Conclusion: The TAP block as a component of a multimodal analgesic regimen provides a longer analgesia compared to control and has a high opioid sparing effect. Keywords:herniorrhaphy, landmark technique, TAP block .

ABSTRAK

Latar Belakang: Blok transversus abdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman, mudah, dan efektif untuk memberikan analgesia pascabedah pada operasi yang * Bagian Anestesi, Terapi Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RS dr. Wahidin Sudiro-husodo Makassar

Korespondensi/Correspondence: asdarinanur@yahoo.com

The Effect of Transversus Abdominis Plane Block Landmark Technique on the Analgesic Requirement Postoperative Herniorrhaphy

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

(28)

melibatkan dinding anterior abdomen.

Obyektif: Menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik pascabedah herniorafi.

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal. Penelitian dilakukan pada 44 pasien laki-laki, usia 18-60 tahun, status fisik ASA I-II, dan IMT 18-24 yang menjalani

operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal. Pasien dibagi menjadi kelompok TAP (n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 0,25% 20 ml ditambahkan epinefrin 1:200.000 setelah operasi selesai; dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak mendapatkan blok TAP. Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan tramadol 0,1 mg/kgBB/infus kontinyu pada akhir operasi. Penilaian skala nyeri menggunakan Numeric Rating Scale (NRS), bila NRS mencapai 4 diberikan rescue fentanil 0,5 mcg/kgBB; waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam pascabedah dicatat.

Hasil: Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok kontrol (17,81 ± 7,62 berbanding 9,15 ± 8,12 jam; p<0,001). Kebutuhan total fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok kontrol (9,21 ± 13,59 berbanding 30,88 ± 20,39 mcg; p=0,02).

Simpulan: Sehingga dari penelitian ini disimpulkan bahwa blok TAP sebagai komponen rejimen analgesia multimodal memberikan analgesia yang efektif dengan durasi analgesia lebih panjang dibanding kontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi. Kata Kunci: Blok TAP, herniorafi, teknik landmark

PENDAHULUAN

Operasi koreksi hernia inguinalis merupakan salah satu operasi yang ser-ing dilakukan oleh ahli bedah.1 Nyeri setelah herniorafi inguinalis dapat se-dang sampai berat. Hal ini

memperlam-bat pemulihan pasien dan

mempengaruhi lama perawatan di ru-mah sakit.2 Nyeri kronik setelah her-niorafi adalah masalah serius dan jarang dilaporkan. Tingginya skor nyeri pada hari-hari pertama setelah herniorafi di-hubungkan dengan kejadian nyeri kronik. Terapi nyeri yang tidak adekuat merupakan faktor resiko terjadinya nyeri kronik setelah operasi hernia. In-sidens nyeri kronik bervariasi dari 0

sampai 54%.Faktor resiko pascabedah meliputi intensitas nyeri dan akibat pe-nanganan analgesic yang tidak ad-ekuat.3 Mencapai kontrol nyeri yang ideal masih merupakan tantangan kare-na akare-nalgesia pascabedah yang tidak ad-ekuat merupakan penyebab tersering ketidakpuasan pasien. Analgesia pas-cabedah yang efektif penting untuk ken-yamanan pasien, mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler, dan mem-bantu mobilisasi dini setelah operasi.4

(29)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 91 merupakan analgesik yang paling

ing digunakan. Akan tetapi, opioid ser-ing dihubungkan dengan efek sampser-ing yang tergantung dosis, antara lain mual, muntah, pruritus, sedasi, dan depresi nafas. Obat antiinflamasi nonsteroid tidak menyebabkan sedasi dan depresi nafas, akan tetapi dihubungkan dengan efek samping serius seperti perdarahan saluran cerna dan gangguan ginjal. Pa-da Pa-dasarnya teknik analgesik harus aman, efektif dan tidak mempengaruhi kemampuan untuk bergerak. Analgesia multimodal kemungkinan besar dapat mencapai tujuan ini. Penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid dan teknik anestesi lokal dapat bermanfaat untuk mengurangi kebutuhan opioid.4

Komponen bermakna nyeri setelah operasi abdomen berasal dari insisi dinding abdomen. Blok transversus ab-dominis plane (TAP) adalah pendekatan melalui trigonum lumbal Petit untuk menghambat aferen saraf sensorik dind-ing abdomen. Untuk mencapai efek anestetik pada luka operasi di dinding abdomen, sejumlah besar anestetik lo-kal diinjeksikan ke dalam ruang TAP; suatu ruang anatomis di antara otot ob-likus internus dan transversus abdomi-nis. Blok TAP bekerja dengan meng-hambat persarafan torakolumbal (T6 -L1) yang menginervasi kulit, otot, dan sebagian peritoneum pada dinding ante-rior abdomen.5 Distribusi langsung dari tempat injeksi ke saraf-saraf dinding anterior abdomen memungkinkan kontrol nyeri lokal dengan efek samping sistemik minimal. Blok ini

telah digunakan untuk kontrol nyeri setelah operasi ginekologik dan abdo-men, termasuk seksio sesarea, operasi usus, kolesistektomi, atau prostatektomi retropubik.6

Blok TAP dengan teknik landmark

dapat memberi efek blok sensorik dari T7 sampai L1.Blok TAP bilateral yang dilakukan pada seksio sesarea dan reseksi usus besar mengurangi nyeri pascabedah dan mengurangi dosis morfin yang diberikan hingga 50%.7 Blok TAP unilateral dengan cara yang sama pada apendektomi terbuka menunjukkan bahwa dosis morfin dapat dikurangi hingga 50%.8

Blok TAP secara khusus men-ganestesi persarafan somatik dinding abdomen bawah, blok ini dapat digunakan untuk analgesia pascabedah pada operasi repair hernia inguinalis.2 Penelitian Kim et al pada blok TAP dengan panduan ultrasonografi untuk

operasi laparoskopi repair hernia

ekstraperitoneal menjumpai bahwa skor nyeri saat batuk dan istirahat serta kebutuhan fentanil berkurang pada ke-lompok yang mendapatkan blok TAP dibanding kelompok kontrol.2 Salman

et al melakukan penelitian mengenai blokTAP dengan teknik semiblind pada pasien yang menjalani operasi repair

(30)

diharap-kan untuk mengatasi nyeri hingga rentang waktu tersebut.9 Alasan peman-jangan durasi analgesik mungkin berkaitan dengan kurangnya vaskular-isasi dalam ruang TAP.4

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini untuk menilai efek blok TAP teknik landmark

terhadap kebutuhan analgesik pas-cabedah

METODE

Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Penelitian dil-akukan di RS dr. Wahidin Sudirohuso-do dan jejaring Makassar. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan kriteria inklusi, yaitu pasien yang menjalani operasi herniorafi dengan prosedur anestesi blok subaraknoid, usia 18 sam-pai 60 tahun, status fisik American So-ciety of Anesthesiologist (ASA) I-II, indeks massa tubuh (IMT) 18-24, dan mendapat persetujuan dari dokter pri-mer yang pri-merawat. Kriteria eksklusi adalah infeksi kulit pada tempat injeksi, riwayat alergi obat yang digunakan da-lam penelitian, kontraindikasi pem-berian obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), dan riwayat toleransi atau adiksi opioid. Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus untuk uji hipotesis pada dua kelompok inde-penden sehingga didapatkan jumlah sampel 22 orang untuk tiap kelompok perlakuan. Analisis statistik data hasil penelitian menggunakan uji Mann Whitney.

Penelitian dilakukan setelah

mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedok-teran Universitas Hasanuddin Makas-sar/RS dr. Wahidin Sudirohusodo Ma-kassar. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan tentang prosedur yang akan dilaksanakan serta menandatangani persetujuan (informed consent). Pasien dibagi dalam dua ke-lompok (keke-lompok TAP dan keke-lompok kontrol) secara acak.Selanjutnya dil-akukan pemasangan jalur intravena dengan menggunakan kateter IV ukuran 18. Pasien pada kedua kelompok diberikan infus cairan untuk pergantian defisit cairan akibat puasa dan cairan rumatan. Preloading cairan ringer lak-tat 500 ml dalam 15 menit sebelum di lakukan blok subaraknoid. Blok subar-aknoid dilakukan dengan posisi left lat-eral decubitus, menggunakan jarum

spinocan 25G pada interspace vertebra lumbal 3 dan 4 kemudian diberikan bu-pivakain hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg. Ketinggian blok dicek dengan cold test sampai tercapai blok setinggi torakal 6 untuk keperluan operasi herniorafi. Setelah pembedahan selesai, pada kelompok TAP dilakukan blok TAP unilateral dengan teknik

landmark menggunakan jarum epidural

ukuran 22G panjang 60 mm (Hakko

(31)

diberi-Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 93 kan meloksikam 15 mg supositoria,

dilanjutkan tramadol 0,1 mg/kgBB/ infus kontinyu selama 24 jam pertama.

Untuk mengetahui keberhasilan blok TAP, dilakukan penilaian blok sensorik pada kelompok TAP setelah pasien mencapai skala Bromage 0. Pin prick test digunakan untuk mem-bandingkan sensasi nyeri pada sisi yang diblok dan sisi kontralateral yang tidak diblok. Blok dinyatakan bekerja apabila terjadi blok sensorik setinggi dermatom T10-L1 pada sisi yang diblok dan dinyatakan gagal apabila tidak terjadi blok sensorik pada daerah dermatom tersebut.

Nyeri pasca bedah yang dirasakan

oleh subyek dinilai dengan

menggunakan skor Numeric Rating

Scale (NRS), yaitu sebuah garis skala numerik 0-10 dari kiri ke kanan. Pada ujung kiri (skala 0) diberi tanda “tidak nyeri”, dan pada ujung kanan (skala 10) diberi tanda “nyeri berat”. Penderita diinstruksikan untuk menilai sendiri tingkatan nyeri yang dirasakan dengan cara menunjuk angka yang tertera pada skala numerik. Nilai NRS 0-3 sesuai untuk keadaan tidak nyeri sampai nyeri

ringan, NRS 4-7 sesuai untuk keadaan nyeri sedang, dan NRS 8-10 sesuai un-tuk keadaan nyeri hebat sekali atau nyeri tak tertahankan. Bila NRS ≥ 4 diberikan analgetik tambahan(rescue)

fentanil 0,5 mcg/kgBB intravena. Penghitungan kebutuhan opioid dil-akukan pada 0-6 jam pascabedah (T0), 6-12 jam pascabedah (T1), 12-18 jam pascabedah (T2), dan 18-24 jam pas-cabedah (T3). Perubahan hemodinamik seperti tekanan darah dan nadi, efek samping obat seperti mual, muntah, dan pruritus juga diamati pada rentang wak-tu tersebut.Efek samping obat (seperti mual, muntah, pusing, kesemutan, dis-ritmia, hipotensi, penurunan kesadaran, kejang dan depresi napas), waktu res-cue pertamadan jumlah fentanil yang diperlukan selama 24 jam pascabedah dicatat dalam lembar pengamatan.

HASIL

Karakteristik sampel penelitian kedua kelompok yaitu umur, IMT, ASA PS, dan lama operasi.Tidak didapatkan perbedaan bermakna dari data demografi kedua kelompok penelitian, sehingga karakteristik dari

Variabel

Lama operasi 0,72 ± 0,13 0,72 ± 0,07 0,577

Tabel 1. Karakteristik sampel

(32)

44 sampel penelitian dinyatakan homogen. Pada penelitian ini tidak terjadi drop out

sehingga didapat 22 sampel untuk tiap ke-lompok.

Pada T0 (jam 0-6) tidak ada pasien dari

kelompok TAP yang mendapatkan rescue

fentanil, sedangkan pada kelompok kontrol

sebanyak 16 pasien membutuhkan rescue

fentanil.Pada T2 (jam 6-12) sebanyak delapan pasien dari kelompok TAP memer-lukan rescue fentanil, sedangkan pada ke-lompok kontrol sebanyak tujuh pasien yang mendapat rescue fentanil. Pada T2 (jam 12 -18), sebanyak satu pasien dari kelompok TAP yang memerlukan rescue fentanil, se-dangkan pada kelompok kontrol tidak ada pasien yang diberikan rescue fentanil. Pada T4 (jam 18-24), tidak ada pasien dari kedua

kelompok yang membutuhkan rescue

fen-tanil (Tabel 2; Gambar 1).

Pada kelompok TAP terdapat sembilan pasien yang mendapatkan satu kali rescue

fentanil dalam 24 jam pascabedah. Pada ke-lompok kontrol terdapat 11 pasien yang membutuhkan rescue satu kali dan enam pasien yang mendapatkan dua kalirescue

fentanil dalam 24 jam pascabedah (Tabel 3). Waktu rescue pertama pada kelompok TAP lebih panjang (17,81 ± 7,62 jam) dibandingkan kelompok kontrol (9,15 ± 8,12 jam). Perbedaan ini bermakna secara statistik (Tabel 4; Gambar 2).

Kelompok TAP rata-rata membutuhkan jumlah rescue fentanil lebih sedikit (9,21 ± 13,59 mcg) dibanding kelompok kontrol (30,88 ± 20,39 mcg). Perbedaan ini bermak-na secara statistik (p<0,05) (Tabel 5; Gam-bar 3)

Efek samping dari penggunaan obat pada penelitian ini adalah efek samping pemakaian bupivakain, yaitu pusing, kesemutan, disritmia, hipotensi, penurunan kesadaran, kejang, depresi napas, dan henti jantung.Efek samping penggunaan fentanil berupa mual, muntah, dan depresi pernapa-san.Pada penelitian ini tidak didapatkan efek samping penggunaan bupivakain dan fentanil.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa waktu rescue pertama kelompok blok TAP lebih lama dibanding kelompok kontrol dan kebutuhan fentanil dalam 24 jam pada kelompok blok TAP lebih sedikit diband-ing kelompok kontrol.

(33)

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 95

Tabel 2. Jumlah pasien yang mendapat rescue fentanyl dalam 24 jam pertama pada kedua

ke-lompok

Waktu Pengamatan

Kelompok Kelompok

TAP Kontrol

n=22 n=22

T0 (jam 0-6) 0 16

T1 (jam 6-12) 8 7

T2 (jam 12-18) 1 0

T3 (jam 18-24) 0 0

Gambar 1. Jumlah pasien yang mendapat rescue dalam 24 jam

Tabel 3.Frekuensi rescue dalam 24 jam pasca bedah

Variabel

Kelompok Kelompok

TAP Kontrol

n=22 n=22

1 kali 9 11

(34)

Tabel 4. Perbandingan waktu rescue pertama antara kedua kelompok

Variabel

Kelompok Kelompok

p

TAP Kontrol

n=22 n=22

Mean ± SD Mean ± SD

Waktu rescue

per-tama 17,81 ± 7,62 9,15 ± 8,12 <0,0001

Uji Mann Whitney, α 0,05

Gambar 2.Perbandingan waktu rescue pertama antara kedua kelompok

Tabel 5. Perbandingan jumlah kebutuhan fentanil selama 24 jam pascabedah pada kedua ke-lompok

Variabel

Kelompok Kelompok

P

TAP Kontrol

n=22 n=22

Mean ± SD Mean ± SD

Jumlah kebutuhan

fentanil 24 jam 9,21 ± 13,59 30,88 ± 20,39 0,02

Gambar

Grafik 1. Nilai VAS 1, VAS 6, VAS 12 dan VAS 24 jam pasca operasi
Tabel 3. Pemakaian analgetik morfin saat pasca operasi
Tabel 4. Kejadian mual muntah pasca operasi
Tabel 1. Karakteristik sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kelas : ……… Tahun Pelajaran : ……….

Di dalam laporan kerja praktek ini akan membahas tentang perbandingan efisiensi antara transformator tiga fasa yang biasa dipakai dalam keadaan pembebanan normal dengan transformator

Abstrak – Telah dilakukan pengamatan gerak konveksi Rayleigh-Benard (RBC) menggunakan alat pengamatan RBC yang terbuat dari kotak kaca dan dibatasi oleh dua plat,

Bilyet Giro (BG), atau sering disebut dengan nama giro, adalah perintah dari penarik (nasabah) kepada bank untuk memindahbukukan sejumlah dana tertentu pada tanggal

Dari hal tersebut maka penelitian ini berfokus pada ciri khas prosodi antawacana tokoh Werkudara dalam berbagai modus kalimat.. Penelitian ini penting guna memaparkan

ibu tentang tanda dan bahaya pada kehamilan trimester III seperti keluar darah dari jalan lahir, keluar air ketuban sebelum waktunya, kejang-kejang, gerakan janin

3.. Pasangan tokoh tersebut yang sesuai dengan unsur temuannya adalah. Jika suatu zat dapat bersenyawa dengan unsur gas mulia, zat tersebut bersifat. Berikut ini yang bukan sifat

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi