• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEM (Digital Elevation Model)

Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan lereng, aspek lereng, ketinggian tempat, dan area DAS (Zhou dan Liu 2003). Pembuatan DEM pada dasarnya merupakan proses matematis terhadap data ketinggian yang diperoleh dari peta kontur. Hasil DEM yang biasa dibuat berbentuk data vektor (TIN) dan data raster (grid). Jenis TIN merupakan representasi dari permukaan bumi, digambarkan dengan 3 dimensi berkoordinat (x, y, dan z). Jenis TIN (Triangulated Irregular Network) memiliki kelemahan, yaitu kurang teliti untuk menganalisis permukaan bumi secara mendetail, sedangkan jenis raster dibentuk dari kumpulan-kumpulan piksel yang memiliki nilai yang sama, sehingga baik untuk digunakan menganalisis permukaan bumi dengan lebih detail. Contoh pembuatan DEM dari jenis raster untuk analisis topografi telah dilakukan oleh Zhou et al. (2002) yang membandingkan hubungan antara longsor dengan faktor penyebab longsor pada Pulau Lantau di Hongkong.

2.2. Longsor

Longsor adalah proses bergeraknya massa batuan dan tanah menuruni lereng dibawah pengaruh gravitasi bumi. Menurut Sivrikaya et al. (2007) longsor merupakan proses alam yang banyak terjadi di hampir seluruh belahan bumi dan bencana yang ditimbulkannya dapat disebabkan oleh dinamika kehidupan manusia seperti pembangunan yang berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau kerugian besar pada harta benda. Penyebab terjadinya longsor banyak macamnya, salah satu penyebab paling utama adalah akibat curah hujan yang tinggi yang banyak terjadi pada daerah tropis, seperti di Indonesia (Sivrikaya et al. 2007).

Daerah rentan longsor pada umumnya dapat diidentifikasi atau dievaluasi melalui dua metode, yaitu : teknik modeling berbasis pada hukum fisik dan mekanik kesetimbangan kekuatan permukaan bumi, dan teknik statistik yang dikembangkan dari Sistem Informasi Geografis (SIG) (Lee dan Talib, 2005).

(2)

Dengan demikian perangkat SIG dapat digunakan untuk melakukan analisis dan pembuatan model data geografis dari proses fisik seperti ketidakstabilan lereng yang dapat menyebabkan longsor. Menurut Guzzetti et al. (1999), kerentanan longsor secara matematika memaparkan suatu peluang kejadian longsor pada wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang erat kaitannya dengan kondisi geoenvironmental.

Terdapat banyak faktor-faktor penyebab terjadinya longsor, yang pertama adalah adanya curah hujan yang tinggi. Hujan yang turun terus menerus dengan intensitas yang besar pada suatu daerah menyebabkan terjadinya longsor, karena semakin lama infiltrasi akan menyebabkan tanah menurun (Zhou et al. 2002).

Faktor longsor kedua adalah jenis tutupan lahan (vegetasi), vegetasi berfungsi untuk menjaga kestabilan lereng dari bahaya longsor. Menurut Zhou et al. (2002) jenis vegetasi dapat membantu meningkatkan kestabilan lereng terhadap longsor, vegetasi yang memiliki akar kuat dan besar seperti kayu dapat meningkatkan infiltrasi tanah. Daerah dengan banyak vegetasi seperti semak belukar dan tegalan apabila dibandingkan dengan vegetasi berkayu cenderung mempunyai potensi longsor yang lebih besar (Zhou et al. 2002). Menurut Vohora dan Donoghue (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor adalah lereng yang curam, bebatuan yang mudah melapuk, dan iklim tropis yang lembab.

Berdasarkan uaraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor longsor antara lain adalah curah hujan, jenis tutupan lahan, kemiringan lereng, jenis bebatuan, dan iklim.

2.3. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission)

SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) merupakan wahana satelit yang dilengkapi dengan alat penghasil gelombang Synthetic Aperture Radar Interferometry (InSAR) yang diluncurkan pada tahun 2000. Data SRTM menghasilkan DEM terutama untuk area dalam cakupan lintang 60 N dan 85 S, mempunyai jenis datum WGS 84 dan ketinggian ellipsoidal (Yastikh et al. 2006).

Menurut Van Zyl (2001) SRTM merupakan produk penginderaan jauh yang menghasilkan DEM dunia dengan resolusi spasial 30 meter dan 90 meter.

(3)

Pembuatan DEM dari data SRTM untuk daerah pegunungan masih sering ditemukan adanya kesalahan atau RMSE (Root Mean Square Error). Menurut Kaab (2005) galat biasa terjadi pada ketinggian 12-36 meter, sedangkan galat maksimum sering terjadi pada ketinggian lebih dari 100 meter.

2.4. Satelit ALOS

Satelit ALOS (Advanced Observing Satellite) merupakan satelit milik Jepang yang merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS. ALOS adalah satelit terbesar yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA di Tanegashima Space Center, Jepang, pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-HA. Karakteristik umum dari satelit ini disajikan pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Karakteristik ALOS

sumber : JAXA EORC, 2010

Karakter ALOS menurut fungsinya, adalah salah satu satelit yang digunakan untuk mengamati permukaan bumi yang dikembangkan dengan tujuan (JAXA EORC, 2010) :

1. Menyediakan peta untuk Jepang dan negara-negara lain yang tercakup dalam wilayah Asia-Pasifik (Cartography)

2. Melakukan pengamatan daerah untuk pembangunan berkelanjutan, serta harmonisasi antara lingkungan bumi dengan pembangunan (Regional Observation).

3. Melakukan pemantauan bencana di seluruh dunia (Disaster Monitoring).

4. Survey sumberdaya alam (Resources Surveying)

5. Mengembangkan tekhnologi yang diperlukan untuk satelit pengamatan bumi masa depan (Technology Development).

No Tipe Spesifikasi

1 Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006

2 Wahana Peluncuran H-HA

3 Tempat Peluncuran Tanegashima Space Center 4 Massa Kendaraan Angkasa Sekitar. 4 Ton

5 Power Sekitar. 7 kW (pada akhir operasional)

6 Waktu Operasional 3-5 tahun

7 Orbit Siklus kunjungan ulang : 46 hari

Ketinggian : 691,65 km (di khatulistiwa) Inklinasi : 98,16 deg

(4)

Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju yang dapat memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan, dan pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat. Untuk keperluan tersebut pada satelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi.

Satelit ALOS (Gambar 1) memiliki tiga sensor, yaitu : (a) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi spasial 2,5 meter, (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang mempunyai resolusi spasial 10 meter, dan (c) Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi spasial 10 meter dan 100 meter.

Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC,2010)

AVNIR-2 merupakan pengganti ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite) yang diluncurkan pada tahun 2006. Resolusi spasial yang disajikan oleh AVNIR-2 sebesar 10 meter dengan lebar liputan per lembar citra (scene) sebesar 70 km, sedangkan untuk wilayah multispektral memiliki resolusi spasial sebesar 16 meter. AVNIR -2 sering dimanfaatkan untuk mengetahui indeks vegetasi dengan menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared).

Karakteristik umum sensor AVNIR-2 disajikan pada Tabel 2 dan prinsip geometri AVNIR-2 pada Gambar 2.

(5)

Tabel 2. Karakteristik AVNIR-2

No Tipe Spesifikasi

1 Jumlah Band 4

2 Panjang Gelombang Band 1 : 0,42-0,50 mikrometer Band 2 : 0,52-0,60 mikrometer Band 3 : 0,61-0,69 mikrometer Band 4 : 0,76-0,89 mikrometer 3 Resolusi Spasial 10 m (at nadir)

4 Lebar petak (Swath Width) 70 km (at Nadir)

5 Jumlah Detektor 7000/Band

6 Pointing angle -44 + 44

7 Bit Length 8 bit

Sumber : JAXA EORC, 2010

Gambar 2. Prinsip geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 2010)

2.5. NDVI dan EVI

Indeks vegetasi merupakan nilai hasil evaluasi vegetasi sebagai tutupan lahan yang diperoleh dari gabungan spektral band pada citra. Indeks vegetasi menurut Rau et al. (2006) bermanfaat untuk membedakan permukaan bumi yang bervegetasi dan permukaan bumi tanpa vegetasi. Nilai indeks vegetasi biasanya dapat dihitung dengan NDVI (Normal difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation Indeks) (Jayaseelan dan Sanjeevi, 2002). Menurut Tucker (1977) NDVI merupakan indeks kehijauan dari suatu vegetasi atau sebagai indikator numerik yang didapat dari analisis pengukuran penginderaan jauh untuk menilai apakah target yang diamati memiliki vegetasi atau tidak.

(6)

Berikut adalah rumus NDVI :

NDVI = Keterangan :

NIR = Nilai reflektan kanal spectral infra merah dekat RED = Nilai reflektan kanal spectral merah

Nilai NDVI diperoleh dari proses hirarki kompleks yang berefek kepada fraksi fotosintesis yang diserap oleh kanopi tumbuhan (Gambar 3). Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi nilai NDVI, yaitu faktor gangguan (perubahan iklim, kebakaran), faktor sosial seperti perubahan penggunaan lahan, dan faktor lokasi (tanah, landform, hidrologi, iklim mikro). Ketiga faktor tersebut mempengaruhi kondisi kesehatan tanaman, ukuran tumbuhan, dan jenis tanaman, sehingga mempengaruhi nilai NDVI yang akan dievaluasi.

EVI merupakan indeks vegetasi yang dikembangkan dari NDVI. Menurut Huete et al. (1997), EVI lebih sensitif terhadap perubahan biomassa selama fase vegetatif yang lama. EVI sangat sensitif pada daerah yang bervegetasi tinggi karena dalam proses monitoringnya dipengaruhi oleh kanopi penutupan lahan dan awan/atmosfer. Nilai EVI diperoleh dari nilai reflektansi kanal spektral merah (red), kanal infra merah dekat (NIR) dan kanal biru (blue). Kanal spektral biru sangat sensitif terhadap kondisi atmosfer dan digunakan untuk koreksi atmosferik (Xiao et al. 2006). Persamaan EVI adalah :

EVI = G

Keterangan :

G = gain faktor (2.5)

C = koefisien koreksi atmosphere aerosol scattering pada kanal spectral merah berdasarkan kanal spektral biru ( C1 = 6, C2 = 7.5)

L = soil effect adjustment factor (1)

NIR = nilai reflektan kanal spektral infra merah dekat RED = nilai reflektan kanal spektral merah

BLUE = nilai reflektan kanal spectral biru yang terkoreksi

(7)

Gambar 3. Diagram alir faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai NDVI (Walker et al. 2009)

(8)

2.6. Linear Discriminant Analiysis (LDA)

LDA (Linear Discriminant Analiysis) atau multiple regression analysis menurut Suryani (2000), adalah analisis regresi berganda yang digunakan untuk pendugaan terhadap nilai suatu parameter, dari beberapa parameter yang diamati (respon dan penjelas). Pada analisis diskriminan terdapat hubungan dependensi (hubungan antar peubah yang sudah bisa dibedakan mana peubah respon dan mana peubah penjelas). Peubah respon berupa data kualitatif dan peubah penjelas berupa data kuantitatif. Peubah penjelas mengikuti distribusi normal, sedangkan peubah responnya sudah pasti (fixed).

Referensi

Dokumen terkait

1) Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematis dan terstandar untuk memperoleh data tentang kompetensi lulusan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik dan

a) Bimbingan pendidikan adalah bertujuan untuk membantu seseorang dalam memilih program yang tepat. b) Bimbingan belajar ialah memberikan bantuan kepada individu

1) Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah aktiva (harta) yang dimiliki perusahaan pada saat ini. 2) Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah kewajiban dan modal

Proses perubahan konseptual terjadi melalui akomodasi kognitif dan pembelajaran untuk perubahan konseptual ini terutama melibatkan penggalian konsep awal siswa

transaksional- dia menghasilkan tingkat upaya dan kinerjabawahan yang melampaui apa yang akan terjadi dengan pendekatan transaksional saja. Pemimpin transformasional akan

Berkaitan dengan kerja sama yang baik antara supervisor dan guru dalam..

Teknik Pelumasan adalah suatu cara untuk mengurangi dan memperkecil gesekan dan keausan dengan menempatkan suatu lapisan tipis (film) fluida di antara permukaan-permukaan

dengan polimer dan juga jenis pelarut yang digunakan dalam pembuatan film. Plasticizer yang umum digunakan konsentrasi 0 hingga 20% w/w