• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

41 BAB IV

GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

4.1 Geomorfologi

Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi, struktur, dan responnya terhadap proses eksogen yang cenderung destruktif. Hasil analisa kelurusan di daerah penelitian menunjukan 3 pola kelurusan dominan, yaitu pola utara – selatan, pola barat - timur, dan pola barat laut – tenggara. Dari hasil data lapangan dan interpretasi peta, pola utara – selatan menunjukkan pola punggungan dan batas punggungan - lembah di daerah penelitian, punggungan yang ada di daerah penelitian berupa punggungan antiklin, dan punggungan homoklin. Pola barat – timur dikontrol oleh sesar sesar mendatar di daerah penelitian, tercermin dari pola kelurusan sungai dan pergeseran puncak punggungan.

Sesar sesar mendatar ini diperkirakan merubah sebagian kedudukan lapisan batuan didaerah penelitian. Pola barat laut – tenggara adalah hasil ekspresi arah jurus lapisan batuan didaerah penelitian. Pola ini juga tercermin pada perubahan kemiringan punggungan akibat adanya pengaruh sesar sesar mendatar didaerah penelitian (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Pola kelurusan daerah penelitian, terdapat tiga pola utama yaitu:

Barat laut-tenggara, Utara-selatan, dan barat-timur.

(2)

42 4.1.1 Pola Aliran Sungai dan Tipe Genetik Sungai Daerah Penelitian

1. Sungai sebagai salah satu agen proses proses geomorfik dapat membantu menetukan keadaan morfologi suatu daerah dan sebagai indikator proses geologi yang bekerja di wilayah tersebut. Sungai dipelajari melalui pola aliran dan tipe genetiknya. Pola aliran sungai sangat dikontrol oleh struktur, litologi, dan kemiringan lereng di suatu wilayah. Beberapa pola aliran sungai yang dikenal antara lain: Dendritik, paralel, rektangular, radial, trellis, annular, dan sebagainya. Pola aliran sungai yang berkembang didaerah penelitian adalah rektangular (Gambar 4.2). Pola aliran rektangular adalah pola sungai yang terbentuk akibat pengaruh rekahan. Pola aliran rektangular yang ada di daerah penelitian menunjukkan kontrol rekahan di daerah ini cukup intensif.

Rektangular

Rektangular

Rektangular

Rektangular

Gambar 4.2. Pola aliran sungai dan tipe genetik sungai di daerah penelitian.

(3)

43 2. Tipe genetik sungai menurut klasifikasi Thornbury (1969) dibagi berdasarkan arah aliran sungai terhadap kemiringan lapisan batuan. Daerah penelitian memiliki tipe genetik sungai subsekuen, obsekuen, dan resekuen (Gambar 4.2). Tipe genetik sungai subsekuen adalah sungai yang arah alirannya searah dengan jurus lapisan batuannya, contohnya Sungai Rambatan. Tipe genetik obsekuen adalah sungai yang arah alirannya berlawanan arah kemiringan lapisan dan bermuara ke sungai subsekuen, anak sungai Rambatan di sebelah barat daerah penelitian adalah contoh sungai tipe obsekuen, sedangkan sungai resekuen adalah sungai yang arah alirannya searah kemiringan lapisan batuan dan bermuara ke sungai subsekuen, Sumgai Cikeusal merupakan contoh tipe resekuen di daerah penelitian .

4.1.2 Pola dan Kerapatan Kontur

Pola kontur dan kerapatan kontur daerah penelitian (Gambar 4.3) mengindikasikan respon batuan terhadap proses eksogen yang bekerja padanya. Respon batuan terhadap proses eksogen yang bekerja sangat tergantung terhadap jenis litologi batuan tersebut.

Batuan dengan tingkat homogenitas tinggi dan ukuran butir relatif kasar akan cenderung lebih resisten terhadap erosi dan memberikan kenampakan morfologi yang relatif lebih tinggi daripada litologi yang lebih lunak. Litologi dengan tingkat homogenitas beragam seperti perselingan batuan akan memberikan kenampakan relief yang cenderung bergelombang. Ketebalan suatu litologi juga dapat tercermin dari pola dan kerapatan kontur, pola kontur renggang yang luas menunjukkan sebuah tubuh yang tebal dan relatif lunak, sedangkan pola kontur rapat mencirikan tubuh batuan dengan ukuran butir kasar dan relatif tebal atau menunjukkan bahwa tubuh batuan itu sangat resisten terhadap proses proses eksogen seperti pelapukan dan sebagainya (Lampiran A).

(4)

44 4.1.3 Tahap Geomorfik

Tahap pembentukan morfologi suatu daerah sangat dikontrol oleh struktur dan litologi.

Bentukan morfologi dengan lereng-lereng yang terjal dibentuk oleh batuan yang relatif keras sedangkan bentukan morfologi yang landai dibentuk oleh batuan yang relatif lunak. Ukuran butir endapan aluvial di sungai, bentukan sungai, dan tingkat pelapukan batuan menjadi ciri ciri penentu tahapan geomorfik. Hubungan lereng dan sungai juga dapat digunakan sebagai data analisis tahapan geomorfik. Pada sungai didaerah penelitian, endapan aluvial memiliki ukuran yang variatif, dari sangat besar (> 2 m) sampai ukuran pasir, dengan ketebalan > 3 m (Gambar 4.4). Sungai utama yaitu Sungai Rambatan memiliki lebar yang cukup luas, dengan endapan aluvial yang cukup lebar penyebarannya. Tebing tebing dengan sudut lereng yang curam yang berada di sisi sungai cukup banyak dijumpai di daerah penelitian (Gambar 4.5). Banjir yang datang hampir setiap kali terjadi hujan juga menunjukkan proses transfer air dari daerah

Gambar 4.3. Peta Topografi daerah penelitian.

(5)

45 pegunungan relatif cepat, hal ini dikontrol oleh curamnya kemiringan lereng lereng pegunungan, sehingga transfer fluida ke daerah dataran menjadi sangat cepat.

Gambar 4.5 Tebing sungai dengan kemiringan lereng 30% - 45%. Lokasi Sungai Cikeusal. Foto

menghadap timur,

Gambar 4.4 Endapan aluvial berukuran pasir sampai bongkah. Lokasi Sungai Cikeusal. Foto menghadap

selatan

(6)

46 Proses eksogen seperti erosi masih sangat dominan dibandingkan proses pengendapan.

Longsoran dan jatuhan batuan juga cukup banyak di jumpai di daerah penelitian (Gambar 4.6), selain itu pelapukan batuan yang cukup intensif sering ditemui didaerah penelitian. Bentukan morfologi yang dikontrol oleh struktur juga dapat dijadikan sebuah indikator mengenai tahapan geomorfik suatu daerah. Adanya Punggungan antiklin dan lembah Sinklin menunjukkan belum adanya pembalikan bentuk morfologi di daerah penelitian. Data lapangan diatas menunjukkan bahwa daerah penelitian masih berada dalam tahapan geomorfik dewasa.

4.1.4 Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian

Daerah penelitian tersusun atas morfologi berupa dataran rendah dan punggungan dengan bentuk relatif memanjang. Struktur geologi diperkirakan sebagai kontrol pembentukan punggungan yang memanjang di daerah penelitian, sedangkan litologi mempengaruhi ketahanan batuan. Analisis pola dan kontur, kelurusan, interpretasi kemiringan lereng, dilakukan untuk membagi satuan morfologi. Hasil analsis di daerah penelitian dan klasifikasi satuan geomorfologi berdasarkan bentuk muka bumi (Brahmantyo dan Bandono, 2006). membagi daerah penelitian menjadi beberapa satuan geomorfologi, yaitu:

Gambar 4.6. Longsoran pada tebing S. Cikeusal (kiri); Jatuhan dan longsoran batuan pada tebing S.

Rambatan (kanan).

(7)

47 1. Satuan Punggungan Antiklin Leuweungkolot.

2. Satuan Punggungan Homoklin Pasir Pamipiran.

3. Satuan Lembah Perlipatan Pamulihan.

4. Satuan Dataran Aluvial

4.1.4.1 Satuan Punggungan Antiklin Leuweungkolot

Satuan ini meliputi ± 28% daerah penelitian, ditandai dengan warna hijau di peta geomorfologi (lampiran B). Satuan ini terletak di bagian tenggara peta memanjang sampai bagian tengah peta bagian timur, meliputi wilayah Gunung Leuweungkolot dan Lebak Cikeusal. Morfologi satuan ini dicirikan oleh daerah yang agak terjal membentuk punggungan yang relatif bergelombang. Satuan ini memiliki relief yang kasar dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang diinterpretasikan memiliki tingkat resistensi yang sedang-tinggi terhadap erosi (Gambar 4.7). Pola morfologi yang bergelombang menandakan satuan ini tersusun atas perselingan litologi yang resisten dan kurang resisten terhadap erosi. Litologi penyusun dari satuan ini adalah perselingan batugamping klastik-batulempung dengan ukuran butir pasir medium- kasar dan kemiringan lapisan 9°-79° dan kemiringan lereng 2% - 70%, berdasarkan kemiringan lereng oleh van Zuidam (1985) termasuk landai sampai sangat terjal. Pola umum kelurusan berarah barat laut - tenggara. Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini adalah pola aliran rektangular yang merupakan ciri dari daerah dengan kontrol rekahan.

Tipe genetik sungai di satuan ini adalah sungai resekuen (Gambar 4.2). Proses-proses eksogen yang mempengaruhi satuan ini adalah pelapukan, erosi yang bersifat vertikal, erosi ke hulu, dan pengikisan lereng (Gambar 4.8).

(8)

48 Gambar 4.7. Satuan punggungan antiklin Leuweungkolot, terlihat morfologi yang relatif lebih tinggi dan agak bergelombang. Foto diambil dari Bukit Pasir

Pamipiran menghadap ke timur

Gambar 4.8. Proses pelapukan yang cukup intensif pada satuan Punggungan Antiklin Leuweungkolot. Lokasi pengamatan Gunung Leuweungkolot. Foto

menghadap ke tenggara Gunung Leuweungkolot

(9)

49 4.1.4.2 Satuan Punggungan Homoklin Pasir Pamipiran

Satuan ini meliputi ± 10% daerah penelitian, ditandai dengan warna kuning di peta geomorfologi (lampiran B). Satuan ini terletak di bagian barat laut peta, berbentuk memanjang. Meliputi wilayah bukit Pasir Pamipiran desa Cikeusal Kidul (Gambar 4.9).

Morfologi satuan ini dicirikan oleh daerah yang agak terjal membentuk punggungan memanjang. Satuan ini memiliki relief yang kasar dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang diinterpretasikan memiliki tingkat resistensi yang cukup tinggi terhadap erosi. Selain itu, dari pola kontur dan morfologinya diinterpretasikan satuan ini disusun oleh satuan batuan yang keras dan tebal. Litologi penyusun dari satuan ini adalah batupasir dengan ukuran butir pasir medium - kasar dan kemiringan lapisan 20° - 53°

dan pola umum barat laut - tenggara. Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini adalah pola aliran rektangular yang merupakan ciri dari daerah dengan kontrol rekahan.

Tipe genetik sungai pada satuan ini adalah sungai obsekuen (Gambar 4.2). Proses- proses eksogen yang mempengaruhi satuan ini adalah erosi yang bersifat vertikal, pelapukan, dan longsoran, serta jatuhan batuan (Gambar 4.10).

Gambar 4.9. Satuan punggungan homoklin Pasir Pamipiran, terlihat morfologi yang relatif lebih tinggi dan berbentuk memanjang. Foto

diambil dari Gunung Leuweungkolot menghadap ke barat.

Bukit Pasir Pamipiran

(10)

50 4.1.4.3 Satuan Lembah Perlipatan Pamulihan

Satuan ini meliputi ± 57% daerah penelitian, ditandai dengan warna cyan di peta geomorfologi (lampiran B). Satuan ini terletak di bagian tengah daerah pemetaan.

Morfologi satuan ini dicirikan oleh daerah yang relatif landai dan agak bergelombang (Gambar 4.11). Morfologi datar menandakan daerah ini disusun oleh satuan batuan yang sangat responsif terhadap erosi, dan morfologi dataran bergelombang mengindikasikan batuan penyusunnya adalah perselingan litologi agak lunak dan lunak.

Satuan ini memiliki relief yang cukup halus dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang diinterpretasikan memiliki tingkat resistensi yang rendah terhadap erosi. Litologi penyusun dari satuan ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang memiliki ukuran butir pasir halus – medium. Di bagian timur laut dan barat daya disusun oleh litologi batulempung. Kemiringan lapisan 3° - 82° dan pola umum barat laut - tenggara. Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini adalah pola aliran rektangular

Gambar 4.10. Longsoran serta jatuhan batu pada Satuan punggungan homoklin. Foto diambil di daerah Pareunca, menghadap ke timur.

(11)

51 yang merupakan ciri dari daerah dengan kontrol rekahan. Tipe genetik sungai pada satuan ini adalah sungai resekuen dan obsekuen. Proses-proses eksogen yang mempengaruhi satuan ini adalah erosi yang bersifat lateral, pelapukan, dan longsoran (Gambar 4.12)

Gambar 4.11. Satuan Lembah Perlipatan Pamulihan, terlihat morfologi yang relatif lebih rendah dari sekitarnya. Foto diambil

dari Bukit Pasir Pamipiran, menghadap ke timur.

Lembah Pamulihan

(12)

52 4.1.4.4 Satuan Dataran Aluvial

Satuan ini meliputi ± 5% daerah penelitian, ditandai warna abu-abu di peta geomorfologi (lampiran B). Satuan ini terletak di bagian tengah daerah pemetaan memanjang dari utara sampai selatan. Penyebaran satuan berada di daerah sekitar Sungai Rambatan dengan distribusi lateral yang tidak terlalu luas. Satuan ini terdiri dari material material batuan yang masih lepas lepas (unconsolidated), berukuran pasir sampai bongkah. Batuan yang ada di satuan ini antara lain: Batugamping, andesit, batupasir, batulempung, dan breksi (Gambar 4.13).

Gambar 4.12. Proses pelapukan dan longsoran yang intensif pada satuan Lembah Perlipatan Pamulihan. Lokasi pengamatan Sungai Rambatan. Foto

menghadap barat.

(13)

53 4.2 Tataguna Lahan Perkebunan

Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perkebunan, yang dimaksud dengan Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Kabupaten Brebes dan sekitarnya sudah sejak lama terkenal sebagai sentra penghasil bawang merah dan beberapa jenis jati di Indonesia. Dari pengamatan di lapangan, beberapa wilayah di daerah Kamal dan sekitarnya banyak ditanami pohon jati pada lahan lahannya. Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (1999, dalam Listyanto 2008) jati sangat potensial dikembangkan pada hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, hutan pegunungan, hutan tanaman industri, lahan kering dan basah, lahan pertanian dan perkebunan.. Metode penentuan tataguna lahan perkebunan khususnya jati

Gambar 4.13. Satuan Dataran Aluvial, memiliki tebal > 3m, dengan lebar >

10m. Foto diambil di Sungai Rambatan menghadap ke barat.

(14)

54 untuk daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan data lapangan berupa data jenis batuan dan persebarannya, data satelit LANDSAT 7 ETM+, dan peta topografi digital Bakosurtanal. Proses pengolahan data dapat dilihat di Gambar 4.14.

4.2.1 Metode Proses Hirarki Analitik (AHP)

Metode AHP dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan bobot dan nilai maksimum untuk jumlah semua faktor yang diperoleh dari penilaian perbandingan antara satu faktor dengan faktor lainnya dalam sebuah matriks perbandingan. Penilaian matriks didasarkan oleh tingkat keberpengaruhan suatu nilai dalam penentuan tataguna lahan. Perhitungan metode AHP ini menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

Gambar 4.14. Diagram alir pengolahan data peta tataguna lahan.

PROSES HIRARKI ANALITIK DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PETA TATAGUNA LAHAN

PETA GEOLOGI

DAERAHPENELITIAN

CITRA SATELIT

LANDSAT 7 ETM+

PETA DIGITAL

BAKOSURTANAL PETA GEOMORFOLOGI

DAERAH PENELITIAN

SKEMA PENGKELASAN

Van. ZUIDAM (1985)

PETA KEMIRINGAN LERENG

PETA TUTUPAN LAHAN PETA KEBASAHAN

LAHAN

(15)

55 Slope Litologi Morfologi Kebasahan Lahan Tutupan Lahan

Slope 1.00000 3.00000 5.00000 5.00000 7.00000

Litologi 0.33333 1.00000 3.00000 5.00000 7.00000

Morfologi 0.20000 0.33333 1.00000 0.33333 3.00000

Kebasahan Lahan 0.20000 0.20000 3.00000 1.00000 3.00000

Tutupan Lahan 0.14286 0.14286 0.33333 0.33333 1.00000

Total 1.87619 4.67619 12.33333 11.66667 21.00000

Slope Litologi Morfologi Kebasahan Lahan Tutupan Lahan

Slope 0.532994924 0.641547862 0.405405405 0.428571429 0.333333333 0.468371 Litologi 0.177664975 0.213849287 0.243243243 0.428571429 0.333333333 0.279332 Morfologi 0.106598985 0.071283096 0.081081081 0.028571429 0.142857143 0.086078 Kebasahan Lahan 0.106598985 0.042769857 0.243243243 0.085714286 0.142857143 0.124237 Tutupan Lahan 0.076142132 0.030549898 0.027027027 0.028571429 0.047619048 0.041982 1 Total

Untuk proses yang dilakukan pada daerah penelitian dengan metode AHP ini, dilakukan perhitungan dari beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan lahan, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah matriks perbandingan (Tabel 4.1).

Matriks perbandingan dibuat untuk menentukan bobot prioritas masing-masing faktor yang merupakan inti dari AHP. Dalam penentuan bobot prioritas dilakukan lagi pengolahan data dari suatu matriks baru hasil normalisasi. (Tabel 4.2). Konsistensi perbandingan antar matriks diuji dengan melakukan pengujian rasio konsistensi.

Pengujian ini dimulai dengan mengetahui princial eigen value maksimum Bobot prioritas yang telah didapatkan akan diolah didalam metode berikutnya yaitu (Tabel 4.3). Tahap selanjutnya adalah penentuan indeks konsistensi dengan menggunakan rumus λmaks – n/n-1. Untuk jumlah parameter yang digunakan 5 buah, maka nilai RI adalah 1,12.

Indeks Konsistensi = λmaks – n/n – 1

= 5,409089941 – 5/5 – 1

= 0,102272485

Rasio Konsistensi = Indeks Konsistensi/Random Index

= 0,102272485/1,12

= 0,091314719 –hasilnya konsisten .

Tabel 4.1. Matriks perbandingan faktor yang mempengaruhi tataguna lahan.

Tabel 4.2. Normalisasi dari matriks perbandingan dan penentuan bobot prioritas.

(16)

56

1 3 5 5 7 0,468370591 2,651817

0,33333 1 3 5 7 0,279332453 1,608746

0,2 0,33333 1 0,33333 3 X 0,086078347 = 0,44022

0,2 0,2 3 1 3 0,124236703 0,657958

0,14286 0,14286 0,33333 0,33333 1 0,041981907 0,218903

λmaks = 27,04544971 : 5 = 5,409089941

4.2.2 Sistem Informasi Geografis (GIS)

Metode ini merupakan bagian dari pengolahan data yang telah disebutkan sebelumnya dan data hasil olahan dengan metode AHP. Data-data yang telah didapat dari dua metode sebelumnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak GIS yang sudah sering digunakan dalam dunia pergeologian seperti ArcGIS 9.3, Er Mapper 7.0, dan Global Mapper 10.

4.2.2.1 Pengolahan data

Data yang digunakan dan diolah dalam penelitan ini adalah data spasial. Data spasial tersebut berupa peta-peta tematik dan citra satelit. Peta-peta tematik yang digunakan sebagai data adalah peta geologi, peta geomorfologi, peta kemiringan lereng. Peta-peta tematik ini sebelumnya adalah data primer yang harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan peta-peta tematik data yang dibutuhkan dalam penentuan tataguna lahan.

Sedangkan citra satelit digunakan untuk membuat peta tutupan lahan dan peta kebasahan lahan melalui proses remote sensing. Proses-proses remote sensing tersebut meliputi metode Normalized Difference Vegetation index (NDVI) dan Tasseled Cap.

Keseluruhan data-data mentah ini diperoleh dari berbagai sumber antara lain Bakosurtanal dan Pusat Survei Geologi, USGS dan sebagainya. Data yang didapatkan dari Bakosurtanal adalah peta digital yang berisikan data ketinggian (topografi), dan data tata guna lahan berupa peta rupa bumi. Data citra satelit didapat dari USGS dan Pusat Survei Geologi. Data yang didapatkan dari pemetaan langsung di lapangan adalah data geologi dan geomorfologi.

Proses yang dilakukan setelah mendapat peta-peta faktor yang berpengaruh dalam penentuan tataguna lahan adalah memasukkan nilai-nilai hasil pembobotan dari AHP dengan metode weighted overlay yang ada pada perangkat lunak ArcGIS. Nilai paling

Tabel 4.3. Pengujian rasio konsistensi dengan princial eigen value.

(17)

57 buruk bernilai satu dan paling baik bernilai 9. Setelah itu, akan didapatkan peta tataguna lahan di daerah penelitian, seperti yang ditunjukkan pada diagram alir (Gambar 4.14)

4.2.2.1.1 Litologi

Jenis tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman jati adalah tanah yang memiliki tekstur lempung, lempung berpasir atau liat berpasir, meskipun untuk beberapa jenis tanah tanaman jati masih dapat tumbuh dengan baik (Sumarna, 2001; dalam Listyanto 2008). Tanaman jati tumbuh dengan baik di tanah dengan prorositas yang baik.Jenis tanah untuk tanaman jati dapat didekati dengan data litologi. Data yang digunakan untuk faktor litologi adalah peta geologi yang dipetakan langsung di lapangan (lampiran A). Informasi yang didapat dari peta geologi untuk faktor litologi adalah satuan batuan di daerah penelitian. Pada penilaian kelas litologi, batuan yang lunak seperti batulempung, dan perselingan batupasir – batulempung memiliki nilai yang lebih baik karena seperti dijelaskan diatas tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman jati adalah tanah yang memiliki tekstur lempung, lempung berpasir atau liat. Tanaman jati lebih menyukai tanah dengan porositas yang baik, jadi litologi yang bersifat pasiran memiliki bobot yang lebih besar.

Daerah aluvial diberi nilai terkecil karena dianggap tidak baik. Material material ini tidak dapat menjadi media yang baik untuk tanaman kayu kayuan (Tabel 4.3).

4.2.2.1.2 Morfologi

Kekasaran morfologi permukaan suatu daerah sangat menentukan pemanfaatannya dalam pengelolaan lahan. Data garis kontur topografi akan memperlihatkan daerah dengan nilai elevasi tertinggi dan terendah, selain itu nampak pula bentukan morfologinya (lampiran B). Bentukan morfologi inilah yang menentukan nilai dalam pengkelasannya. Daerah lembahan dengan kontur yang renggang diberi nilai tertinggi, sedangkan punggungan dengan kontur relatif rapat dan bergelombang diberi bobot lebih kecil, daerah aluvial atau limpah banjir diberikan nilai terkecil (Tabel 4.4).

4.2.2.1.3 Kemiringan lereng

Kemiringan Lereng pada klasifikasi van Zuidam (1985) didefinisikan dengan persen lereng. Persen lereng adalah rasio antara tinggi lereng (vertikal) dan

(18)

58 panjang lereng (horizontal) di kali 100%. Pembuatan peta kemiringan lereng ini menggunakan peta topografi dan administrasi digital dari Bakosurtanal, yang kemudian diolah dengan perangkat lunak ArcGIS. Fasilitas yang digunakan pada perangkat lunak ini adalah konversi peta digital topografi menjadi peta kemiringan lereng dengan metode Triangulated Irregular Network (TIN). TIN adalah metode penentuan besar dan arah kemiringan lereng dengan menggunakan tiga titik data.

Dari tiga titik tersebut dihitung arah dari lereng beserta kemiringannya. Hasil akhirnya adalah sebuah peta kemiringan lereng (Gambar 3.2). Pada peta tersebut telah dikelaskan nilai-nilai kemiringan sesuai dengan skema pengkelasan oleh van Zuidam (1985). Daerah penelitian hanya memiliki nilai persen lereng dari 0%

sampai 70%. Sebenarnya tanaman jati tidak memerlukan kondisi tanah dengan topografi yang terlalu menuntut, tetapi akan lebih baik apabila tanah pada kisaran kemiringan lereng dari datar sampai maksimum 20% (Sumarna, 2001; dalam Listyanto 2008). Ini juga dalam kaitan mencegah terjadinya erosi besar-besaran saat tanah diolah untuk penanaman, sehingga tanah yang memiliki kemiringan curam tidak dibenarkan untuk dibuka.(Tabel 4.5).

4.2.2.1.4 Tutupan lahan

Peta tutupan lahan ini menggunakan klasifikasi dengan tingkat kerapatan tutupan tumbuhan pada area tertentu. Data yang digunakan untuk menentukan faktor tutupan lahan ini adalah data Citra Satelit Landsat 7 ETM+ 8 band dari USGS (2003) dengan band 3 dan 4 sebagai data olahan. Citra diolah dengan menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index).

Pengolahan data dengan metode NDVI menggunakan perangkat lunak Er Mapper.

Metode NDVI memakai data olahan band 4 dari satelit Landsat ETM+ yang memiliki kemampuan mendeteksi survei biomassa dan delineasi tubuh air, sedangkan band 3 memiliki kemampuan aplikasi membedakan tingkat absorbsi klorofil pada vegetasi (Saputra, 2010). Terdapat lima kelas dalam klasifikasi tutupan lahan yang digunakan, yaitu: vegetasi rapat, vegetasi sedang, vegetasi jarang, dan lahan gundul (Gambar 4.15). Pengembangan daerah perkebunan memperhatikan faktor kerapatan vegetasi, karena dalam pembuatan lahan

(19)

59 perkebunan diperlukan adanya penataan lahan. Daerah dengan vegetasi yang jarang relatif lebih mudah di tata daripada lahan dengan vegetasi yang rapat (Tabel 4.6).

4.2.2.1.4 Kebasahan Lahan

Kebasahan lahan dinilai cukup menentukan dalam menentukan penggunaan lahan.

Tingkat kebasahan suatu lahan dikontrol oleh seberapa besar kadar air yang terdapat pada permukaan lahan. Dengan citra satelit ETM+ dapat dilakukan pendekatan untuk mengetahui tingkat kebasahan lahan suatu wilayah. Ada beberapa nilai atribut yang muncul pada citra satelit, antara lain greenes, wetness, dan brightness. Pengolahan data kebasahan lahan ,menggunakan atribut wetness.

Atribut wetness pada citra satelit yang telah diolah menghasilkan peta kebasahan lahan yang selanjutnya dikelaskan menjadi lima kelas yaitu mengalir, merembes, basah, lembab, dan kering (Gambar 4.16). (Tabel 4.7). Tanaman jati ini sangat menyenangi tanah dengan prorositas dan drainase yang baik, dan sebaliknya akan tumbuh tidak baik pada tanah-tanah yang tergenang (Sumarna, 2001; dalam Listyanto 2008)

Gambar 4.15. Peta kerapatan vegetasi daerah penelitian.

(20)

60

Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9)

Morfologi 9% Lembah 7

Punggungan Antiklin 5 Punggungan Homoklin 3

Aluvial 1

Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9)

Litologi (satuan batuan) 28% Batupasir-batulempung 7 Batugamping-batulempung 6

Batulempung 5

Aluvial 2

Gambar 4.16. Peta kebasahan lahan daerah penelitian.

Tabel 4.3. Bobot nilai litologi.

Tabel 4.4. Bobot nilai morfologi.

(21)

61

Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9)

Kemiringan Lereng 47% 0%-2% 7

2%-7% 6

7%-15% 5

15%-30% 3

30%-70% 1

Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9)

Kerapatan vegetasi 4% Lahan Gundul 5

Jarang 7

Sedang 3

Rapat 1

Parameter Bobot (%) Satuan Nilai (1-9)

Kebasahan Lahan 12% Mengalir 3

Merembes 4

Basah 5

Lembab 7

Kering 1

4.2.2.1.5 Peta Tataguna Lahan

Hasil tumpang tindih dari peta peta diatas yang nilai bobotnya ditentukan dengan metode hirarki analitik menghasilkan sebuah peta tataguna lahan daerah penelitian.

Peta tataguna lahan ini memberikan sebuah pandangan mengenai wilayah wilayah tertentu yang baik apabila dimanfaatkan sebagai lahan untuk perkebunan pada umumnya dan jati pada khususnya dilihat dari sisi pandangan geologi dan ilmu yang berkorelasi. Peta rupa bumi (Bakosurtanal, 1999) daerah memberikan gambaran pemanfaatan lahan yang ada sekarang di daerah penelitian (Gambar 4.17) . Dengan adanya peta tataguna lahan ini, diharapkan dapat digunakan sebagai

Tabel 4.5. Bobot nilai kemiringan lereng.

Tabel 4.6. Bobot nilai kerapatan vegetasi.

Tabel 4.7. Bobot nilai kebasahan lahan.

(22)

62 bahan evaluasi pemanfaatan lahan perkebunan di daerah penelitian dilihat dari sudut pandang geologi.

4.2.3 Analisis Tataguna Lahan 4.2.3.1 Nilai Lahan

Peta tataguna lahan (Gambar 4.18) memiliki empat nilai lahan yang dihasilkan dari proses hirarki analitik dan metode tumpang tindih, nilai lahan tersebut antara lain:

Sangat baik, baik, kurang baik, tidak baik.

a. Lahan sangat baik

Berwarna hijau di peta tataguna lahan. Secara umum litologi penyusun lahan ini adalah perselingan batugamping-batulempung dan perselingan batupasir-

Gambar 4.17. Peta rupa bumi daerah penelitian (Bakosurtanal, 1999).

(23)

63 batulempung. Litologi bersifat lempung pasiran sangat sesuai untuk tanaman jati karena relatif lunak dan memiliki porositas yang baik. Di satuan geomorfologi, lahan jenis ini berada di Satuan Lembah Perlipatan Pamulihan. Morfologinya yang relatif landai sampai agak bergelombang dengan kemiringan lereng yang kecil sangat baik untuk dikembangkan sebagai daerah perkebunan jati.

b. Lahan baik

Berwarna kuning pada peta tataguna lahan. Litologi penyusun berupa batulempung dan perselingan batupasir-batulempung. Litologi bersifat lempungan juga baik untuk pengembangan perkebunan jati. Di satuan geomorfologi, lahan jenis ini berada di Satuan Punggungan Antiklin Leuweungkolot. Morfologi relatif landai dan agak bergelombang, dengan kemiringan lereng yang landai cukup baik untuk dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan jati. Daerah dengan nilai lahan baik memiliki indeks kebasahan lahan lembab sampai basah dan indeks kerapatan vegetasi sedang. Daerah yang lembab dengan keadaan air yang cukup tidak menggenang cocok untuk perkebunan jati.

c. Lahan kurang baik

Berwarna coklat di peta tataguna lahan. Litologi penyusun adalah batupasir dan material sedimen aluvial yang masih lepas lepas. Litologi pasiran yang kompak dan sedikit porositas kurang baik bagi tanaman jati. Di satuan geomorfologi, lahan jenis ini banyak berada di Satuan Dataran Aluvial. Morfologinya terbagi menjadi dua daerah, pada bagian lahan yang disusun oleh material sedimen morfologinya berupa dataran yang dipengaruhi aktivitas sungai, sedangkan di daerah dengan litologi batupasir, morfologinya berupa punggungan yang memanjang dan memiliki kemiringan lereng yang terjal.

d. Lahan tidak baik

Berwarna merah di peta tataguna lahan. Litologi penyusunnya adalah batupasir dengan morfologi berupa punggungan yang memanjang dengan kemiringan lereng sangat terjal. Di satuan geomorfologi, lahan jenis ini termasuk satuan punggungan homoklin pasir pamipiran. Kemiringan lereng sangat terjal inilah yang menjadi

(24)

64 kontrol sehingga lahan tipe ini tidak baik untuk perkebunan jati. Lahan jenis ini sebaiknya dibiarkan sesuai keadaan semula, apabila akan dimanfaatkan diperlukan metode kerekayasaan khusus untuk mengurangi resiko bencananya.

4.2.3.2 Akses Jalan

Berdasarkan data pemerintah desa Kamal (Februari, 2011) jalan beraspal yang menghubungkan Kamal dan desa desa disekitarnya berjumlah 5 ruas jalan, seedangkan jalan yang menghubungkan daerah di dalam desa Kamal berjumlah 6 ruas jalan makadam atau jalam kerikil berbatu (Gambar 4.19). Keadaan jalan yang sudah dapat dilalui kendaraan roda empat jenis menengah (pick up, kijang,dan sebagainya) cukup membantu untuk pengembangan wilayah desa Kamal dan sekitarnya. Selain itu jarak yang tidak terlalu jauh dari pusat Kabupaten Brebes (±41Km), serta berjarak ±15Km dari pusat Kecamatan Ketanggungan dinilai tidak terlalu menghambat pengembangan desa Kamal untuk menyalurkan hasil perkebunan jatinya.

4.2.3.3 Irigasi

Data dari pemerintah desa Kamal bulan Februari tahun 2011 menunjukkan bahwa 150Ha dari total luas wilayah 1.146.820Ha adalah irigasi yang digunakan untuk mengairi areal persawahan seluas 90.000Ha dan perkebunan seluas 146.670Ha. Luas wilayah irigasi ini dinilai masih kurang untuk memenuhi kebutuhan air bagi areal persawahan dan perkebunan desa Kamal dan sekitarnya, perlu adanya pembangunan daerah irigasi untuk membantu pengembangan desa Kamal sebagai desa perkebunan.

4.2.3.4 Potensi Bahan Galian

Daerah Kamal dan sekitarnya memiliki beberapa potensi bahan galian. Beberapa bahan galian tipe C yang dapat dimanfaatkan adalah batu batu kerikil yang banyak dijumpai di sungai sungainya(Gambar 4.20), serta endapan pasir besi (Gambar 4.21). Kedua bahan galian ini sangat umum dijumpai ditepi tepi sungai Rambatan.

(25)

65

(26)

66 Gambar 4.19. Salah satu jalan makadam yang menghubungkan desa

Kamal dan desa Jemasih di selatan.

Gambar 4.20. Bongkah bongkah batu disalah satu sisi sungai Rambatan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan galian.

(27)

67 Gambar 4.21. Endapan pasir besi di salah satu sudut sungai Rambatan.

Gambar

Gambar 4.1. Pola kelurusan daerah penelitian, terdapat tiga pola utama yaitu:
Gambar 4.2. Pola aliran sungai dan tipe genetik sungai di daerah penelitian.
Gambar 4.3. Peta Topografi daerah penelitian.
Gambar 4.5 Tebing sungai dengan kemiringan  lereng  30% - 45%. Lokasi Sungai Cikeusal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pisang di Kabupaten Lumajang, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran pisang di

Setelah mengamati contoh gambar poster, yang dikirimkan guru melalui WAG siswa mampu membuat poster tentang cara melestarikan tumbuhan dan hewan dengan tepat. KEGIATAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Menganalisis dan menjelaskan pengaturan hukum pemberian persetujuan pemegang saham perusahaan penanaman modal asing secara

Bank umum yang bekerja sama dengan perusahaan finansial teknologi akan melakukan analisis kredit terhadap permintaan pinjaman UMKM dan memberi grade terhadap kelayakan

Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Representasi Cinta dan Kasih dalam Kumpulan

Berdasaran uraian di atas, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui (1) pengaruh yang signifikan model pembelajaran berbasis masalah terhadap hasil belajar

Dalam kegiatanini ZPD menjadi pertimbangan guru dalam melaksanakan pembelajaran karena memiliki beberapa keuntungan bagi siswa seperti yang dikemukakan oleh Angela Lui (2012)

Mungkin perusahaan mempunyai kemampuan untuk menghimpun pengetahuan yang lebih baik tentang pemasaran dibandingkan dengan pesaingnya.Apabila organisasi pemasaran menjaga