KUJUAL TUBUHKU
BUKAN JIWAKU
Agung Webe
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Agung Webe
©AGUNG WEBE CONSULTING
Penerbit buku pengembangan diri bermutu Bumi Anggrek Blok S No. 161
Karangsatria, Bekasi Timur – 17510
Cetakan ke-1 : 2017 Editor : Agung Webe Perancang Sampul : Dylan Penata Letak : Lupyta
Agung Webe
KUJUAL TUBUHKU BUKAN JIWAKU
13x18,5cm – 206 Halaman Bekasi, AWC, 2017
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
Dilarang mengutip dan mempublikasikan sebagian.
Isi menjadi tanggung jawab penulis
Novel ini khusus Dewasa!
Artinya siapapun juga yang membaca novel ini akan menjadi dewasa.
Dewasa dalam berpikir tentang perubahan, tentang mimpi, tentang keyakinan, tentang hidup, tentang pikiran, dan tentang dari mana
ia harus mulai melangkah untuk mewujudkan kehidupan
yang lebih baik.
Apabila ada nama tokoh, tempat, dan istilah yang kebetulan sama, hal tersebut adalah tanpa sengaja karena novel ini merupakan
novel fiksi psikologi
Selamat membaca!
DAFTAR ISI
1. Prolog 2. Flas Back
3. Pulang Cirebon
4. Penumpang Misterius 5. Tangis
6. Nita, Hypnosis, Klenik 7. Bunuh diri
8. Sms dari pak Semar 9. Koleksi buku Nita 10. Nita in Problem 11. Hanya kami bertiga 12. Rahasia Pelacur 13. Panggilan Kencan 14. Malamku yang Sepi 15. Ubud, Bali
16. Hariku bersama pak Darma
17. Rileks
18. Kereta Cirebon
19. Meinggalnya pak Darma
20. Aku dituduh sebagai pembunuh 21. Keyakinan modal perubahan 22. Langkah awal seorang Gita 23. Kecurigaan awal
24. Maafkan aku 25. Penyusuran awal 26. Cerita wayan 27. Permainan dimulai 28. Pagi yang indah 29. Yogya
30. Rumah pak Semar
31. Sebuah jawaban
32. Hidup dengan mimpi
33. Biografi
PROLOG
Aku mengenakan pakaianku. Kuraih juga celana dalam yang tadinya kujatuhkan dari tempat tidur. Aku melirik kepada pria yang ada di sampingku. Ia masih tidur. Capek setelah kutemani dalam pendakian menuju puncak gunung berapi semalam.
“Mau kemana?” ternyata ia juga sudah bangun.
Ia membuka matanya dengan berat untuk melihatku.
“Pulang.”
“Mengapa tergesa-gesa?”
“Tugasku sudah selesai. Kamu hanya booking saya untuk semalam.”
Ia mencari-cari dompet yang diletakkannya di atas meja. Diambilnya beberapa lembar uang seratus ribu dari dompet itu.
“Kamu mengesankan, “katanya. “Terimakasih, kamu bisa memuaskanku.”
Ia memberikan uang kepadaku padahal ia telah memberikan cek kepadaku sebelum ini. Aku kemudian menghitungnya.
“Lima juta. Nggak kebanyakan nih? Cek sebelum ini sudah bernilai Lima belas juta.”
“For your good service. Buat kamu karena aku puas dengan tubuhmu.”
“Terimakasih.”
Aku menciumnya untuk mengucapkan selamat
tinggal. Ia membalas dengan mengulum
bibirku.
“Stop! Ini tidak termasuk dalam perjanjian awal, aku selesai pada jam lima pagi tadi. Aku harus pergi. Tidur lagi kalau masih capek.”
“Gita, kamu cantik. Telpon aku kalau kamu butuh uang.”
Aku hanya tersenyum meninggalkan kamar President Suit room nomor 1876 di Hotel bintang lima kawasan Jakarta Pusat itu.
Pukul tujuh pagi aku melangkahkan kaki keluar
hotel meninggalkan seorang pria yang telah
meniduriku semalam. Pria kaya yang
mempunyai jabatan sebagai seorang direksi di
sebuah perusahaan milik negara. Kali ini aku
merasakan permainan yang indah dari seorang
pria. Walaupun aku sudah memutuskan untuk
tidak memakai perasaan dalam pekerjaanku
ini, namun sesekali aku tersentuh juga dengan
pria yang menggunakan hatinya dalam bercinta, bukan hanya nafsu.
Dari mulai awal dia bicara, bagaimana cara ia menyentuhku, bahkan hal paling kuhindari dalam pekerjaanku yaitu menikmati hembusan nafas pelangganku, namun kali ini aku benar- benar menikmati semuanya. Entah mengapa pria ini bisa membawaku dalam suasana yang jarang aku temukan. Katanya dia memang tidak pernah melakukan hal ini dan sama sekali tidak berhubungan dengan ‘penjaja cinta’. Ia melakukan ini karena kecewa dengan istrinya.
Entahlah, karena memang banyak laki-laki
pembohong hanya karena ingin mendapatkan
yang terbaik dari perempuan.
FLAS BACK!
Aku masih duduk di kamar apartemenku di daerah Kuningan. Kuganti-ganti tayangan tv, tetapi tidak ada yang bagus. Aku kemudian membolak-balik majalah tetapi tidak ada artikel yang menarik bagiku. Be-te di kamar siang-siang gini. Walaupun apartemenku termasuk mewah dan cukup nyaman sebenarnya, tetapi aku merasa gelisah!
Ini adalah kegelisahan yang tidak beralasan menurutku. Apa yang aku gelisahkan?
Sekarang aku punya uang banyak, tinggal di
apartemen bagus. Setidaknya tidak ada alasan
bagiku untuk gelisah.
Dulu mungkin waktu aku tidak punya uang, dililit hutang, mau makan saja harus berpikir untuk membeli lauk yang murah, saat itu mungkin saja wajar bila hidupku sehari-hari diliputi kegelisahan. Kalau sekarang aku gelisah, apa yang aku gelisahkan? Toh dengan uang yang aku dapat ibu dapat terbebas dari hutang dan adik dapat meneruskan sekolah.
Kucari-cari nama di bb dan akan kukirim bbm ke temen, tetapi kuurungkan niat itu. Males nulis bbm. Ada apa denganku? Aku gelisah, hatiku tidak tenang.
Tiba-tiba saja aku ingat ibu. Ya, aku kangen dengan ibu!
Ibuku tinggal di Cirebon, walaupun ibu bukan
asli Cirebon. Ibu asli Semarang dan bapak dari
Surabaya. Bapakku dulu punya bengkel mobil
di Cirebon. Tetapi setelah bapak sukses dan kaya ia kawin lagi. Bapak begitu saja menelantarkan ibu. Kemudian aku, ibu dan adikku laki-laki yang masih berumur lima tahun tinggal sendiri.
Bapak tidak pernah menengok kami, apalagi memberi uang untuk kebutuhan hidup. Bahkan sampai sekarang yang sudah tiga tahun ini bapak meninggalkan kami, aku sendiri tidak tahu dimana bapak berada. Bapak menghilang begitu saja. Karena ibu sakit-sakitan dan badannya lemah sementara adikku masih perlu uang untuk sekolah, maka aku memutuskan untuk mencari kerja ke Jakarta.
Aku sebenarnya belum lulus SMA saat itu,
masih kelas dua. Tetapi mau apa lagi, uang
sudah tidak ada sementara ibu perlu uang juga
untuk beli obat. Saat itu seorang kenalan ibu menawari aku kerja di restoran di Jakarta.
Lumayan pikirku, walaupun sedikit gajinya tetapi bisa untuk menyambung hidup dan membiayai uang sekolah adik serta beli obat untuk ibu. Akhirnya aku dibawa oleh kenalan ibu itu pergi ke Jakarta.
Sebenarnya aku tidak kerja di restoran seperti pengakuanku kepada adik dan ibu selama ini.
Kenalan ibu yang membawaku ke Jakarta pada saat pertama kali langsung mengajakku ke rumah seseorang.
“Kita ngapain di sini bang Jupri?” tanyaku.
Sudah jam enam sore ketika aku dan bang Jupri
yang kenalan ibu itu sampai di rumah yang
kami tuju.
“Sudah mau malam. Kamu nanti bermalam di sini.”
“Nah bang Jupri mau kemana?”
“Pulang. Abang hanya mengantar Gita sampai di sini.”
“Memangnya ini rumah siapa?”
“Rumahnya pak James. Dia yang punya restoran itu.”
Dari ruangan dalam terdengar langkah kaki menuju ke ruangan tamu tempat di mana aku dan bang Jupri duduk. Terlihat seorang laki-laki yang berumur kira-kira empat puluh tahun, berbadan sedikit tambun dan rambutnya sedikit ada yang berwarna putih, dengan senyum yang ramah menjabat tangan bang Jupri.
“Ini namanya Gita pak James,” kata bang Jupri.
Pak James melihat ke arahku.
“Umurmu berapa Gita?” tanya pak James.
“Tujuh belas tahun pak.”
“Wow! Tujuh belas tahun dan cantik.”
Pak James tertawa dan menepuk bahu bang Jupri. Ia kemudian mengambil amplop dan memberikannya kepada bang Jupri. Entah amplop apa itu.
“Kalau begitu saya permisi dulu pak. Gita, bang Jupri pulang dulu ya.”
Aku tak tahu apa-apa. Bang Jupri meninggalkanku di rumah pak James sendirian.
Tapi aku masih percaya kalau pak James akan memberiku pekerjaan di restoran yang dia punyai.
“Gita, ini rumahmu. Mulai sekarang ini rumahmu.”
“Rumah saya?” aku melongo tak tahu maksud
pak James.
“Kamu akan tinggal di sini.”
“Kata bang Jupri saya akan bekerja di restoran milik bapak.”
“Sayang kalau kamu bekerja di restoran, nanti kulitmu yang bagus bisa cacat. Kamu tinggal di rumah ini saja, segala kebutuhanmu akan saya penuhi. Tinggal bilang mau apa, nanti saya kasih uang.”
“Saya tinggal bersama bapak?” tanyaku polos.
“Tidak. Saya punya rumah sendiri. Kamu tinggal sendiri di sini, lagi pula rumah inikan tidak terlalu besar, jadi bisa kamu urus sendiri. Saya akan kesini sewaktu-waktu saja.”
“Saya tidak tahu pak, benar-benar tidak tahu.”
“Untuk sementara, ini uang lima ratus ribu
rupiah untukmu. Sekarang kamu mandi dulu,
perjalanan dari Cirebon ke sini pakai bis
membuat kamu bau asap. Anggap ini rumahmu
sendiri. Kamarnya cuma ada dua, kamar mandi ada di belakang.”
Aku masih bingung mengapa pak James memberiku rumah padahal aku baru saja kenal, itupun dikenalkan oleh bang Jupri. Rumah yang berada di lingkungan elit tetapi masih sepi.
Karena keringat dan asap bis, maklum bis yang kutumpangi tadi adalah non ac, maka aku menuju kamar mandi untuk menyegarkan badanku.
Sambil mandi akupun terus bertanya kepada diriku sendiri, siapa pak James ini sebenarnya?
Dan apa yang dia inginkan dengan semua ini?
Aku terus bertanya dan kemudian... Ya
Tuhan! Jangan-jangan bang Jupri sengaja
memberikan aku kepada pak James? Ya,
akupun sering mendengar di berita tentang
orang-orang yang menjual dirinya kepada orang kaya. Apakah keadaan ini yang sekarang akan kualami?
Aku melihat diriku di kaca kamar mandi.
Kupandangi wajahku di kaca itu. Kemudian aku ngomong dengan diriku sendiri.
“Gita, apa yang akan kamu lakukan? Aku tahu kamu butuh uang, butuh uang Gita! Kalau kamu keluar dari rumah ini dan pulang ke Cirebon, kamu akan kembali menjadi gembel yang tidak punya apa-apa untuk makan. Ingat kebutuhan sekolah adikmu, ingat kebutuhan obat ibu!”
Tetapi apabila aku tinggal di sini, aku jelas-jelas
melacurkan diriku. Oh, apa pilihanku? Apa yang
harus kuperbuat? Tetapi apabila aku menjadi
pelacur, itukan karena keadaan dan
keterpakasaan ekonomiku. Apakah aku dosa?
Bukankah kalau aku melakukan ini semua juga karena Tuhan yang tidak memberikan uang untuk aku, ibu dan adik?
Tuhan, apakah kamu memang benar-benar ada sehingga membuat aku terpaksa akan melakukan ini semua? Kalau engkau ada ya Tuhan tentu saja tidak membiarkanku seperti ini. Tidak membiarkan keluargaku berantakan. Tidak membiarkan ibu tidak punya uang sehingga keadaan sekarang seperti ini.
Aku mengguyur kepalaku berharap supaya bisa
berpikir dengan benar. Aku kembali melihat
wajahku di cermin. Apa pilihanku? Tinggal di
rumah ini dan pak James jelas akan memberiku
uang yang bisa kuberikan kepada ibu dan adik,
tetapi aku melayani dia. Atau pulang kembali ke Cirebon?
Sungguh aku tidak pernah membayangkan akan melakukan seks dengan orang lain. Dulu waktu kelas satu SMA dan dekat dengan cowok, aku pernah ciuman. Kemudian cowok itupun pernah meremas-remas payudaraku.
Aku menikmati semua itu. Sampai suatu saat diapun membuka pakaianku dan akan meniduriku, aku marah besar! Aku mau ciuman. Aku mau untuk diremas. Tetapi aku masih menjaga untuk tidak melakukan hubungan badan. Hanya karena aku tidak mau melakukan hubungan badan maka cowok itu kemudian menjauh dariku.
Kini, karena masalah uang, haruskah aku
merelakan ditiduri laki-laki yang sama sekali
tidak aku cintai? Tapi kalau tidak, apa pilihanku? Ibuku butuh obat untuk penyakit yang sampai sekarang belum diketahui.
Kemaren-kemaren ibu masih kuat membikin kue atau nasi bungkus yang kemudian aku pasarkan. Tetapi kini ibu tidak kuat lagi melakukan hal itu. Dari mana kami bisa makan?
Saat inilah aku harus mengambil keputusan!
Walaupun bingung dan berat, aku harus menerima segala konsekuensi dari semua yang akan kulakukan. Aku serasa tidak punya pilihan.
Benarkah kadang menusia dihadapkan pada
sesuatu yang menyebabkan dia tidak bisa
memilih? Benarkah? Katanya pilihan itu akan
datang tepat pada waktunya. Apakah ini
waktunya pilihan itu datang kepadaku dan aku
harus memilih?
Aku membalut tubuhku dengan handuk.
Mungkin aku sudah membuat keputusan.
Keputusanku adalah bahwa aku butuh uang untuk hidup! Untuk itu, aku siap untuk tidur bersama pak James malam ini!
Gila! Keputusan gila! Sebelum keluar dari kamar mandi aku masih memaki diriku sendiri.
Apa yang akan kamu lakukan Gita? Bagaimana kalau ibu dan adik tahu? Bagaimana kalau semua orang tahu ini? Gila, mungkin aku sudah gila! Tetapi coba bayangkan, apabila aku tidak melakukan ini, darimana aku dapat uang?
Teman SMA-ku, Rina, semasa SMA dulu juga
sudah sering jalan bersama om-om. Bahkan
kadang Rina cerita dia itu diapain aja sama om-
om itu. Rina juga cerita kalau om itu juga
meniduri dia. Sampai suatu waktu dia hamil
dan dikeluarkan dari sekolah. Tetapi kalau Rina itu anak orang kaya dan dia serba kecukupan.
Mengapa dia melakukan itu? Apa yang membuat Rina melakukan semua itu? Rina berbeda denganku. Rina melakukan itu entah karena apa, tetapi kalau aku benar-benar karena aku butuh uang. Samakah aku dengan Rina?
Aku semakin tahu bahwa inilah yang diinginkan olah pak James. Kulihat dia masih duduk membaca majalah di ruang tengah. Aku masuk ke kamar setelah mandi. Pintu tidak aku kunci karena aku berpikir pasti pak James sebentar lagi akan menyusul. Aku duduk menyisir rambutku yang masih basah.
“Belum ngantuk Gita?”
Benar, pak James membuka pintu kamarku.
“Belum pak.”
Dia lalu memelukku dari belakang dan mencium bahuku yang terbuka karena aku hanya membalut tubuhku dengan handuk.
“Kamu cantik Gita. Cantik sekali. Tinggal disini sesuka kamu, aku akan memberikan apa saja keinginanmu.”
Aku diam saja membiarkan pak James melakukan apa yang dia ingin lakukan terhadap tubuhku. Aku seakan ingin menjerit. Ingin menolak semua ini. Dunia seakan menertawakan kekalahanku terhadap sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.
Ada tembok dalam diriku yang runtuh malam
ini. Aku menyingkirkan semua akal sehatku dan
hanya uang untuk mencukupi kebutuhan
keluarga yang terpikir. Ketika rabaan,
sentuhan, bahkan desah kepuasaan akhir
permainan menyelimutiku, namun aku berusaha untuk tidak merasakannya. Sungguh aku tidak menikmatinya! Malam itu aku hanya menjadi boneka permainan pak James. Ia membolak-balik tubuhku seperti penggorengan yang tidak pernah matang.
Tak pernah kubayangkan bahwa aku baru saja melakukannya! Aku menangis.
“Kamu masih perawan Gita.”
Aku tidak menjawab, hanya air mataku yang masih menetes. Kubiarkan tubuhku yang masih telanjang tersapu dinginnya udara ac di kamar tidur.
“Nanti kamu juga biasa. Sudahlah nikmati
semua yang ada di sini. Ini kutambahkan lima
ratus ribu rupiah lagi untuk keperluanmu
besok. Sekarang sudah jam sebelas malam, aku
tidak bermalam di sini. Aku pulang dulu ya Gita.
Nanti aku pasti sering-sering menengok kamu.”
Pak James mengenakan pakaiannya dan keluar dari kamar. Ia mau pulang katanya, atau entah dia mungkin singgah di beberapa rumahnya lagi yang mungkin juga ditempati oleh orang- orang seperti aku.
“Ibu, maafkanlah aku. Aku tidak tau harus berbuat apa lagi untuk menyambung hidup kita. Percayalah ibu, akupun tidak ingin ini semua kulakukan. Sungguh akupun tidak ingin melakukan perbuatan ini”
Malam ini kutempati rumah yang diberikan
oleh pak James. Malam ini juga aku
memutuskan sesuatu yang sebenarnya
bertentangan dengan diriku sendiri. Mulai
malam ini aku menjadi isteri simpanan pak
James. Mulai malam ini juga aku sudah menjadikan diriku sendiri sebagai pelacur!
Rumah yang kutinggali berada di kawasan elit Cibubur dengan tipe rumah yang tidak terlalu besar. Pak James sendiri bisa dibilang sering sekali menengokku. Seminggu bisa sampai lima kali. Kadang siang hari, sore hari atau malam hari. Dia tidak pernah menginap. Setiap kami ketemu, pak James selalu saja menikmati tubuhku yang bagi dia adalah pemuas nafsunya. Setelah itu dia selalu meninggalkan uang yang dia katakan untuk shopping.
Sudah hampir sebulan aku tinggal di rumah ini.
Uang yang diberikan pak James juga sudah terkumpul banyak, hampir sepuluh juta rupiah!
Aku tidak menaruhnya di bank, kusimpan saja
di dalam kotak. Selama hampir sebulan ini bang
Jupri juga janji akan ngurus ibu dan adik sebelum mereka mendapatkan uang dariku.
Setelah satu bulan, bang Jupri akan ke sini lagi guna mengantarkan uang yang kudapat untuk ibu dan adik.
Bel pintu rumahku berbunyi. Kalau pak James tidak mungkin karena semalam dia dari sini.
Aku melongok ke pintu depan.
“Pagi, Gita. Ini bang Jupri.”
“Oh iya bang. Tunggu sebentar.”
Aku membukakan pintu.
“Masuk bang. Gimana kabar ibu dan adik?”
“Semua baik-baik saja.”
Aku diam termenung. Aku sebenarnya malu dengan bang Jupri dengan apa yang kulakukan.
Tapi toh, dia juga yang menjadikan aku seperti ini?
“Ibu tidak tahu semua inikan bang?”
“Ya, dia tahunya kamu kerja di restoran.”
“Tapi mengapa bang Jupri dulu menjerumuskan aku ke dalam dunia ini?”
“Tidak ada jalan lain Gita. Inilah cara cepat mendapat uang banyak.”
Bang Jupri menggeser duduknya. Ia menempelkan tubuhnya ke tubuhku. Aku sedikit mengambil jarak.
“Aku bisa saja menceritakan ini semua kepada ibu dan tetangga-tetangga,” kata bang Jupri.
“Jangan bang! Gila! Jangan!”
Bang Jupri menyosorkan mukanya untuk menciumku. Aku mengelak.
“Oke, aku akan pulang dan kuceritakan semua ini.”
Aku kaget. Ya, ternyata bang Jupri sedang
mengancamku untuk mendapatkan sesuatu. Ia
juga ingin meniduriku. Apa yang bisa
kulakukan? Apabila semua orang di kampung
tahu apa yang kulakukan, akan ditaruh dimana muka ibu?
Aku diam pasrah.
“Siapa yang tidak tertarik bila melihatmu Gita?”
Dengan segala bentuk kepasarahan dan penyesalan akhirnya aku menyerahkan tubuhku kepada bang Jupri. Bang Jupri, kenalan ibu itu akhirnya menikmati juga apa yang mungkin dia idam-idamkan selama ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Apa yang akan dititipkan untuk ibu Gita?”
tanyanya setelah selesai melampiaskan hasratnya.
“Ini uang.”
“Percayalah Gita, rahasiamu di kampung tetap
terjaga. Bang Jupri pulang dulu ya.”
Demikian, bang Jupri menjadi perantaraku untuk memberikan uang kepada ibu. Di kampung aku masih dikenal bekerja di restoran yang mempunyai gaji lumayan! Sebulan sekali bang Jupri datang untuk mengambil uang yang akan kutitipkan untuk ibu. Setiap kali dia datang itu pula aku memberinya ‘jatah preman’ untuk uang tutup mulut.
Hampir delapan bulan aku hidup seperti ini.
Menjadi piaraan pak James dan pelampiasan bang Jupri dengan gratis. Jangan dikira bahwa aku enak dan menikmati semua yang ada.
Walaupun aku serba kecukupan dan kadang-
kadang pak James mengirimkan sopirnya untuk
mengantarku belanja kemanapun aku suka,
tetapi hatiku masih menjerit.
Malam itu, kembali aku harus memutuskan sesuatu. Ketika rasa yang menjerit sudah mencapai puncak kejenuhanku, mungkin inilah pilihan kembali datang tepat pada waktunya.
Artinya aku punya pilihan untuk menjadikan hidupku seperti apa disaat kondisi di ujung tanduk seperti ini
Aku harus keluar dari rumah ini. Aku harus keluar dari sangkar pak James dan perasan bang Jupri. Tapi, bila aku keluar dari rumah ini, aku mau ngapain? Apa yang aku bisa? Lalu bagaimana kalau bang Jupri memberitakan apa yang sebenarnya kulakukan di Jakarta? Aku takut bahwa aku tidak bisa apa-apa!
Dalam keadaan bingung, secara tak sengaja
koran yang tergeletak di meja ruang tamu
seakan menyodorkan sebuah artikel yang
berjudul ‘Ketakutan’. Entah penulisnya siapa,
aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah bahwa aku saat itu takut kepada keputusan yang akan aku ambil. Aku takut masa depanku!
Artikel itu mempunyai magnet menarikku untuk membacanya.
“Ketakutan berasal dari ketidaktahuan. Banyak orang takut akan masa depan karena ia tak bisa mengambil sikap pada hari ini. Setiap keputusan yang dilandasi oleh keyakinan bahwa ia bisa menang, maka ketakutanpun akan sirna. Karena pada dasarnya setiap orang akan bisa mengalahkan segala macam hambatan apabila ia yakin bisa! Masa depan adalah sebuah keputusan!”
Kembali kurenungkan makna artikel tersebut.
Ya aku butuh keyakinan untuk keluar dari
semua ini! Aku butuh keyakinan! Kalimat
terakhir dalam artikel tersebut menjadi sangat
menarik bagiku, “Masa depan adalah sebuah keputusan!”
Walaupun masih bingung, aku mengemasi juga pakaian dan perhiasanku ke dalam tas. Yang kupikirkan adalah ibu. Jantung ibu lemah. Kalau dia sampai mendengar tentang aku, betapa akan menambah penderitaannya. Lalu aku harus bagaimana?
Aku duduk di depan meja riasku memandangi wajahku sendiri.
“Gita, “demikian kataku kepada diri sendiri.
“Kamu sudah basah, tidak mungkin berjalan di
darat. Kamu harus berenang sekalian. Kamu
harus menjadi profesional! Kalau mau jadi
pelacur jangan tanggung-tanggung! Kamu
harus jadi seorang pelacur yang professional! ”
Apa? Apa yang kukatakan kepada diriku sendiri ini? Apakah aku sudah menjadi semakin gila?
Kembali aku dihadapkan kepada pilihan dimana aku tidak bisa untuk memilihnya. Ya, aku harus pergi dari rumah ini, malam ini juga.
Kutelpon nomer taksi yang kutahu.
“Tunggu duapuluh menit mbak,” kata operator taksi itu.
Tepat duapuluh menit kemudian sebuah taksi sudah nongkrong di depan rumahku. Aku keluar dengan membawa tas. Sopir taksi itu lalu keluar membantu memasukkan tas ke dalam bagasi mobilnya.
“Mau kemana mbak?”
“Aku tidak tahu mas. Pokoknya jalan saja dulu.”
Dari Cibubur taksi masuk tol untuk menuju ke
dalam kota Jakarta. Masuk tol dalam kota,
mengambil arah Tanjung Priuk dan berputar mengitari tol lingkar itu. Tanjung Priuk, Grogol, Cawang, Tanjung Priuk lagi dan begitu terus.
“Kita sudah berputar tiga kali mbak. Lalu mau kemana?”
“Aku tidak tahu mas.”
“Mbak ada masalah?”
“Aku hanya ingin keluar dari rumah itu. Tetapi sekarang aku tidak tahu harus kemana?”
“Oke, kalau begitu ada baiknya kalau mbak saya antar ke rumah teman saya aja. Mungkin besok atau kapan setelah bisa menentukan tujuan baru pergi lagi.”
“Teman mas?”
“Jangan kuatir mbak, dia itu perempuan kok.
Aman.”
Aku berpikir sejenak.
“Boleh juga mas. Dimana rumah teman mas
itu?”
“Kuningan mbak. Dia ada apartement di situ.
Mungkin beberapa saat mbak bisa numpang di kamar dia.”
“Terimakasih.”
Aku kemudian diantar ke Kuningan menuju apartemen teman supir taksi itu. Aku kurang tahu daerah-daerah Jakarta seperti ini. Yang kutahu hanya mall-mall besar seperti Plaza Senayan, Semanggi, Taman Anggrek, Pondok Indah, Kelapa gading ataupun Cempaka mas.
Kami sudah berhenti di depan Apartemen teman supir taksi itu.
Sopir taksi itu mengambil hp-nya.
“Halo, Nita. Gue didepan nih. Tolongin gue ya.
Gue bawa penumpang yang baru aja lari dari
rumahnya. Dia sekarang nggak tahu mau
kemana. Tolongin ya.”
Beberapa saat kemudian dari dalam keluar cewek cantik yang mengenakan celana pendek sangat seksi. Ia tersenyum kepada supir taksi itu.
“Nita, ini penumpang itu. Namanya.... siapa ya, tadi belum kenalan sih.”
“Gita,” kataku.
Cewek yang dipangil dengan nama Nita itu kemudian menyalamiku.
“Nita,” katanya. “Kamu ngapain masih terus narik taksi Gor?”
“Iseng aja. Oh iya, nama saya Igor mbak. Ingat ya, Igor,” katanya sambil melihatku.
“Sudah sana narik lagi. Untung lho kamu ini Gita. Dia itu lagi baik. Kalau lagi muncul gilanya, bisa-bisa kamu dibawa ke hotel.”
“Emang aku sebejat itu? Enak aja. Jangan percaya mbak.”
Aku hanya tersenyum mendengar itu.
“Ya udah, kalian baik-baik ya. Aku narik lagi.
Oke Nita, urus ya.”
“Beres.”
Aku masuk ke apartement Nita. Aku taruh tasku dan kuhempaskan tubuhku di karpet yang menghampar di samping tempat tidur.
Aku merasa bahwa kami sudah kenal lama. Aku langsung merasa akrab dan tidak sungkan lagi.
Aneh juga ya, padahal baru kali ini aku kenalan sama Nita, tapi mengapa sepertinya kami sudah berteman lama? Atau mungkin karena aku tidak punya siapa-siapa untuk curhat sehingga langsung akrab sama Nita.
“Ngapain lari dari rumah?” tanyanya.
“Aku ingin bebas.”
“Suami? Anak?”
“Aku isteri simpanan.”
“Oh... pantas.”
Aku lalu bercerita semuanya kepada Nita.
Nita adalah teman pertama yang kujumpai semenjak aku datang ke Jakarta ini.
Sebelumnya aku tidak punya teman untuk curhat. Nitalah yang kemudian menjadikan aku menjadi seorang pelacur yang profesional. Ya, dia juga seorang penjaja cinta. Hanya saja dia tidak mau dikatakan sebagai seorang pelacur.
Dia mengaku dirinya sebagai seorang
‘sekretaris terbang’. Dia bekerja menemani bos-bos sebagai sekretaris, menemani dalam negosiasi, rapat-rapat dan perjalanan dinas lainnya. Perjalanan ‘dinas’-nya ke luar negeri sudah mencapai Singapura, Malaysia, Brunei dan Bangkok.
Mungkin latar belakangku dan Nita yang
berbeda. Kalau aku memulai ini karena
memang desakan kebutuhan, namun Nita tidak. Ia berasal dari keluarga berada dan cukup. Nita masuk dalam dunia seperti kami sekarang ini karena ‘gaya hidup’. Entah apa yang dia maksud dengan gaya hidup tersebut.
Lewat Nitalah aku kemudian tinggal di apartement ini juga. Melalui jaringan yang ia miliki aku kemudian mendapatkan ‘order’.
Beberapa kali aku melayani direktur dan pejabat yang sebelumnya aku lihat di teve dan koran-koran sebagai orang terpandang, eh ternyata mereka masih juga tidur dengan orang yang bukan istrinya.
Seperti malam tadi, aku baru saja menemani
seorang direksi perusahaan milik Negara di
kamar President Suit room nomor 1876 di
Hotel bintang lima kawasan Jakarta Pusat
PULANG CIREBON
Di kamar apartemenku.
Aku masih ingat sama ibu. Kangen sama ibu.
Sudah lama lebih aku tidak mengirim uang ke Cirebon karena bang Jupri sudah tidak bisa menemuiku lagi. Aku juga belum pulang sendiri ke Cirebon. Lalu aku juga ingat ancaman bang Jupri. Aapakah dia akan menceritakan semua ini kepada ibu dan tetangga-tetangga?
Bagaimana kalau hal itu benar-benar ia lakukan? Apa reaksi ibu nanti?
Aku harus pulang ke Cirebon! Ya, siang ini aku
harus pulang untuk menemui ibu. Aku harus
berani, aku harus menerima segala resiko yang
ada. Aku telah mengambil sebuah keputusan,
dan untuk itu aku harus menghadapi segala sesuatunya.
Aku mengambil tas merk ‘chanel’ kesukaanku.
Kubawa beberapa perhiasan yang mungkin berguna bagi ibu.
“Mau kemana?” Tanya Nita yang melihatku agak tergesa-gesa keluar dari kamar.
“Pulang Cirebon nengok ibu.”
“Lama?”
“Nggak tahu.”
“Mau bawa mobil sendiri atau perlu kuantar?”
“. Nggak usah Nita, terimakasih. Aku mau naik kereta, naik taksi aja dari sini ke Gambir.”
“Oke, hati-hati aja ya. Kasih kabar ya kalau udah sampai Cirebon.”
“Thank’s.”
Aku memesan taksi dan kemudian meluncur menuju stasiun Gambir, Jakarta Pusat.
Kereta Cirebon ekspress yang kutumpangi agak sepi, aku duduk sendiri karena sampingku kosong. Sambil membuka makanan yang tadi kubeli, kulihat pertokoan, perumahan dan jalan yang kulewati dari jendela kereta. Banyak perumahan kumuh di balik gedung yang kelihatan mewah. Banyak anak-anak kecil telanjang dada bermain dengan air yang kurang bersih, sementara ibunya mencuci baju dengan air yang sama. Melewati daerah bekasi, tambun dan sederetannya, entah tiba-tiba aku menitikkan air mata karena melihat pemandangan itu.
Aku menangis melihat mereka. Betapa berat
beban mereka, berat beban bagi ibu yang
mencuci baju tadi. Punya anak, dan mungkin tidak hanya satu. Rumahnya hanya tempelan dari kayu-kayu bekas dengan atap seng.
Mungkin suami ibu itu juga hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Tapi….. tapi ibu itu tidak melacurkan diri seperti diriku.
Ya,….. aku ternyata lebih rapuh daripada ibu- ibu muda yang aku lihat tadi. Mereka masih mau bekerja sebagai buruh bangunan, masih mau mencuci baju-baju tetangga atau bekerja sebagai pembantu di komplek perumahan.
Mereka mau bekerja walau hasilnya mungkin pas-pasan untuk menyambung hidup.
Sedangkan aku…. Apa yang aku lakukan selama ini? Oh Tuhan….
Tuhan?? Masih pantaskah aku menyebut
namaMu? Atau masih percayakah aku kalau
engkau ada? Kalau engkau ada, dimanakah engkau sehingga tidak melihat keluargaku ini? Tuhan!! Engkau ada dimana??
Saat ini mungkin aku hampir saja tidak mempercayai adanya Tuhan. Mungkin, ya mungkin, karena hanya sedikit kepercayaanku tentang keberadaannya. Entahlah. Apa yang aku lakukan sudah tidak kuanggap sebagai dosa lagi. Aku sudah biasa, dan itulah pilihanku sekarang. Kalau dosa, dari mana ukuran sebuah dosa?
Tiba-tiba saja kereta ekspress ac yang biasanya
tidak pernah mogok dan tepat waktu ini
berhenti. Entah ada apa. Beberapa penumpang
yang ada melongok melihat keluar jendela
mencari-cari sebab berhentinya kereta.
“Ada apa mas?” tanyaku kepada salah satu petugas yang kebetulan lewat.
“Lokonya sedikit ada gangguan mbak.”
“Lama nggak mas?”
“Biasanya sih lima belas menit. Mudah- mudahan cepat mbak.”
Beberapa penumpang sudah beranjak dari
tempat duduknya. Mereka ada yang berdiri
melemaskan pinggangnya, ada juga yang turun
dari kereta melihat keadaan di luar. Aku juga
tertarik untuk keluar sebentar menghirup
panasnya siang ini. Terlihat beberapa anak-
anak yang menjajakan air putih dan makanan
sudah berlari menuju kearah kereta. Aku
melihat perjuangan mereka untuk sekeping
rupiah. Mereka berjuang dengan jalan yang
halal bagi dirinya. Namun mungkin saja itu
karena mereka masih kecil. Coba kalau mereka
perempuan seperti aku dan disudutkan pada pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mungkin saja mereka juga akan melacurkan badan sepertiku!
Tidak lama ternyata suara mesin dari lokomotif sudah terdengar lagi. Seorang petugas berteriak menyuruh para penumpang untuk kembali ke dalam kereta. Aku juga bergegas masuk ke gerbongku lagi.
PENUMPANG MISTERIUS
Sampai di tempat dudukku, aku kembali melihat nomor kursiku. 4A, benar itu tempat dudukku. Tetapi kok ada orang yang duduk di sampingku? Tadikan tidak ada.
“Maaf pak, bukankah tadi bapak tidak duduk di sini?” tanyaku sama bapak yang duduk di 4B.
Aku merasa tidak nyaman aja ada orang yang duduk di sini sementara dari tadi kosong.
“Enggak apa-apakan mbak?” katanya.
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum
dan duduk di kursi 4A. Ya mau apa lagi, toh
kursi 4B itu juga bukan hak-ku.
Kereta tetap melaju dengan kencang menerjang debu-debu yang menempel di rel, menyibakkan panas sepanjang jalan menuju Cirebon. Pohon-pohon kering yang terlihat dari kaca kereta menggambarkan keringnya kehidupan. Dan mungkin saja juga melukiskan kerasnya panas kehidupan yang sanggup membakar jiwa-jiwa yang gampang putus asa.
“Masih sekolah mbak?” tanya bapak itu membuka perbincangan.
“Enggak pak.”
“Lho, umurnya berapa?”
“Tujuh belas tahun.”
Aku sudah menduga pasti nanti dia akan bilang,
mengapa tidak sekolah? Kan masih muda.. bla-
bla-bla… pendidikan itukan penting dan
sebagainya. Lalu dia pasti akan ceramah
macam-macam. Ya, orang yang berumur
sekitar limapuluh tahun seperti itukan senang memberitahu kepada anak yang jauh lebih muda dari dia. Suka mendikte! Mereka merasa sok tahu segalanya. Bahkan kadang orang- orang yang pernah ‘memakaiku’ juga begitu.
Setelah meniduriku mereka akan memberi nasehat macam-macam.
Aku menunggu reaksi bapak itu setelah mendengar bahwa aku yang berumur tujuh belas tahun ini sudah tidak sekolah. Tapi dia masih diam saja, hanya sedikit tersenyum.
“O iya, nama saya Semar Arjo Waguno.
Namamu siapa?”
Aku sedikit tertawa mendengar namanya.
“Pasti aneh ya namaku. Memang waktu ibuku
mengandung, dia idola sekali dengan tokoh
Semar. Makanya aku dinamai dengan nama
Semar.”
“Saya Gita pak, Gita Cahya Sekarni.”
“Gita adalah lagu atau alunan, Cahya adalah cahaya, sedang Sekarni adalah bunga. Wow, nama yang bagus! Artinya adalah alunan bunga yang bercahaya!”
Aku malah baru tahu ini kalau arti namaku seperti itu. Aku diam saja mendengar arti namaku itu. Bahkan aku malu. Malu dengan diriku sendiri. Namaku punya arti yang bagus, tetapi aku… Ah aku tidak sebagus nama yang kusandang.
Aku masih menunggu reaksi pak Semar tentang tidak sekolahku. Kini malah aku yang penasaran dengan apa tanggapannya.
“Asli Cirebon?” tanya pak Semar.
“Saya lahir di Cirebon, tetapi orang tua bukan
dari sana.”
“Gita, kamu cantik. Aku yakin masa depanmu akan bagus, sebagus namamu.”
Aku kembali diam. Pak Semar mengingatkanku akan masa depan. Masa depan? Ah, masih adakah masa depan bagi seorang pelacur sepertiku? Apa yang bisa kuperbuat untuk masa depan? Adakah masa depan itu? Ataukah hari-hari akan begini terus dan kita hanya menjalaninya saja?
Aku masih teringat sebuah artikel yang aku baca, “masa depan adalah keputusan!”. Dan inilah keputusanku akan masa depanku.
“Bagus….. bagus…” kata pak Semar.
“Apa yang bagus pak?”
“Semuanya.. semuanya bagus.”
“Sayakan sudah tidak sekolah lagi, bagaimana masa depan saya bagus pak?”
“Itu yang bagus. Kamu tidak sekolah itu bagus.”
Aku kaget dengan tanggapan pak Semar.
Tanggapan yang tidak lazim kudengar. Biasanya orang-orang akan berkata macam-macam begitu mendengar aku sudah tidak sekolah lagi.
Kali ini pak Semar lain, ia punya tanggapan yang berbeda.
“Bagusnya dimana pak?”
“Kamu tahu nggak, sekolah kita itu hanya akan mengkerdili jiwa kita, mem-bonsai pemikiran kita. Sekolah-sekolah kita hanya mengeruk keuntungan untuk yayasannya. Sekolah itu racun bagi perkembangan jiwa.”
Wow! Fantastis. Baru kali ini aku mendengar pendapat yang berani seperti itu. Dan ternyata aku mulai suka dengan tanggapan pak Semar.
Entah sukanya karena apa, mungkin karena aku
sedang mencari pembenaran terhadap apa
yang aku alami saat ini.
“Lihat saja orang-orang yang telah sekolah tinggi-tinggi,” kata pak Semar. “Mereka malah melacurkan diri mereka. Mereka akhirnya menjadi pelacur!”
Oopss! Kali ini aku terkejut mendengar pak Semar mengatakan pelacur. Aku diam karena kata itu mengenai diriku. Apakah pak Semar tahu kalau aku ini pelacur? Dadaku berdegub karena gelisah setelah mendengar kata itu.
“Orang-orang itu melacurkan jiwa mereka.
Mereka menjual jiwanya untuk setumpuk uang, jabatan dan materi lainnya. Lebih bagus para pelacur yang melacurkan badannya.
Mereka hanya menjual badannya sementara
jiwanya tetap bersih. Orang-orang yang
berkedok dengan bersihnya badan sementara
jiwanya yang mereka lacurkan adalah orang yang tidak berharga sama sekali.”
Aku diam. Benar-benar diam memikirkan apa yang dikatakan oleh pak Semar. Benarkah yang kulacurkan ini hanya badanku saja? Benarkah jiwaku tidak tersentuh oleh pelacuranku?
“Mengapa diam?” tanya pak Semar.
Aku tetap diam. Aku tidak ingin pak Semar tahu apa profesiku yang sebenarnya.
“Tuhan tidak tidur. Hanya Dia yang tahu
tentang jiwa kita. Kita melacurkan jiwa dan
berkedok dengan bersihnya badan juga Tuhan
tahu. Kita melacurkan badan dan jiwa kita tetap
bersih juga Tuhan tahu. Tuhan Maha Tahu
segalanya yang berada di muka bumi dan
segala sudut alam raya ini.”
Pak Semar tiba-tiba ngomongin Tuhan. Apa maksud pak Semar sebenarnya? Siapa pak Semar ini? Mengapa dia tadi ngomongin tentang pelacur, tentang bagusnya tidak sekolah dan sekarang ngomongin Tuhan? Tapi aku suka. Aku suka dengan gaya bicaranya yang tidak menggurui.
“Waduh repot nih…” katanya tiba-tiba.
“Ada apa pak?”
“Ada Kondektur pemeriksa karcis. Aku pergi dulu dari sini ya.”
“Tapi pak…..” aku seakan nggak mau kalau pak Semar pergi.
“Tulis no hpmu dikertas ini Gita. Siapa tahu kita nanti ketemu lagi”
Aku kemudian menuliskan nomer hp di kertas
dan pulpen yang disodorkan oleh pak Semar.
Pak Semar sudah beranjak sambil membawa tas kecilnya. Ia berjalan ke arah belakang gerbong menjauhi kondektur yang sedang memeriksa karcis dari arah depan. Oh, ternyata pak Semar adalah penumpang tanpa karcis.
Aku memberikan karcis pada kondektur sambil melihat ke belakang mencari-cari pak Semar, tetapi aku tidak melihatnya. Entahlah, kemana pak Semar bersembunyi dari kondektur kereta ini.
Kereta tetap melaju tanpa henti dengan
kecepatan yang tinggi. Sudah sekitar setengah
jam dari kepergian pak Semar bersembunyi
dari kondektur, tetapi dia belum kembali
sampai saat ini. Apa pak Semar tertangkap
tidak membeli karcis ya? Tapi, mengapa aku
jadi mencari pak Semar? Apa peduliku dengan
dia? Toh, dia itu tiba-tiba duduk dan sekarang
terserah dia juga kalau mau duduk di kursi yang lain. Mengapa aku jadi mengharapkan pak Semar? Aku pulang ke Cirebon karena aku kangen sama ibu, pengin ketemu sama ibu, mengapa pak Semar jadi mengganggu pikiranku?
Mungkin selama ini aku meng-impikan figur seorang bapak, aku meng-impikan seorang bapak yang bijaksana yang selalu membimbingku. Apakah kehadiran pak Semar mengobati itu semua? Mungkin juga, karena orang-orang tua yang aku temui selama ini hanyalah menginginkan tubuhku. Mereka hanya menginginkan kenikmatan dari tubuh tujuh belas tahun ini.
Bagiku pak Semar tetaplah orang yang
misterius. Dia datang tiba-tiba dan pergi
dengan tiba-tiba. Tetapi kebersamaanku yang hanya sebentar dengan pak Semar tetap memberikan kesan yang mendalam. Lewat pak Semar setidaknya aku mendapat kekuatan pembenaran tentang tidak sekolahnya aku walaupun aku belum jelas benar. Dan juga tentang Tuhan. Aku masih ragu apakah Tuhan melihat masalahku atau tidak, tetapi pak Semar mengatakan bahwa Tuhan tidak tidur.
Benarkah Tuhan tidak tidur dan menyaksikan semua ini? Mengapa Tuhan hanya menyaksikan semuanya dan tidak menolongku? Mengapa Tuhan tidak mengangkatku dari lumpur ini? Ah, pak Semar, engkau membuat aku penasaran dengan perbincangan tadi.
Kereta semakin mendekati wilayah Cirebon.
Aku masih duduk sendiri dan menikmati
sepinya pikiranku. Masuk di stasiun Cirebon aku semakin gelisah. Hatiku tak karu-karuan.
Sesuatu yang kutakuti adalah bahwa bang Jupri menceritakan semua ini kepada ibu dan tetangga-tetangga. Dan aku bisa memastikan bahwa dia melakukan itu. Mungkin dia kecewa aku lari dari rumah pak James karena dia tidak bisa menikmatiku lagi. Aku juga nggak nyangka kalau ternyata bang Jupri itu jahat, dia ingin mengambil keuntungan dari kesulitanku.
Ah, apapun yang terjadi aku sudah siap.
Apapun yang diketahui oleh ibu aku siap menjelaskan semuanya. Aku harus menghadapi semua ini. Kata pak Semar, bahwa Tuhan itu tidak tidur. Ya, Tuhan tidak tidur!
Setelah kereta berhenti dan penumpang
semua turun, aku juga berdiri mengambil
tasku. Secara tak sengaja aku melihat kursi di
sampingku tempat pak Semar tadi duduk.
Tepat dipojokan kursi aku melihat ada sesuatu yang tertinggal. Aku kemudian mengambilnya.
“Dompet!”
Mungkin ini punya pak Semar. Wah, kasihan pak Semar dompetnya ketinggalan. Dia pasti mencari-cari juga. Tetapi dimana aku akan mengembalikan dompet ini? Aku kemudian membukanya siapa tahu ada identitas di dalamnya. Tetapi dompet itu kosong. Tidak ada uang ataupun tanda pengenal. Hanya ada satu sobekan kertas yang bertuliskan, “Rokok 274, digulung selama 54 tahun, semenjak 1951.”
Apa maksudnya ini? Apakah pak Semar salah
satu pegawai atau malah yang punya
perusahaan rokok itu? Mengapa dompet ini
kosong? Ah, biarin saja, aku tetap membawa
dompet itu dan memasukkan ke dalam tasku, siapa tahu ketemu dengan pak Semar di luar stasiun.
Aku keluar dari kereta dengan perasaan campur aduk. Gelisah-takut-cemas dan kangen sama ibu. Yang terakhir adalah herannya aku dengan tulisan di dalam dompet yang kutemukan di bekas tempat duduknya pak Semar. “Rokok 274, digulung selama 54 tahun, semenjak 1951.”
♫♫♫♫
TANGIS
Aku sudah berdiri di depan gang yang menuju rumahku. Tepat di pojokan gang, samping gang buntu itulah rumahku. Catnya masih berwarna cream dengan pintu hijau tua. Rumah yang tidak terlalu besar. Hanya berukuran tanah 60 meter persegi dengan dua kamar. Beberapa bagian tembok depan terlihat retak. Di halaman depan yang hanya sempit sekali masih ada pohon jambu yang daunnya berserakkan menguning kering. Terlihat kotor sekali.
Rumahku terlihat sepi. Kemanahkah ibu dan
adik? Beberapa tetangga yang berpapasan
denganku hanya tersenyum kecut sambil
berlalu tanpa berkata apa-apa. Ada apa dengan
mereka? Aku semakin mendekat ke rumah. Bu Ani samping rumah yang dulu sangat akrab dengan ibu bahkan tidak terlihat keluar rumah, padahal aku tahu dia sedang memasak dan dia tahu kalau aku datang. Begitu aku berada di depan pintu, aku terkejut ternyata pintu rumah dalam keadaan di gembok. Sejak kapan ibu menggembok rumah? Apakah ibu sedang pergi?
“Ini Gita ya?” tiba-tiba terdengar sapaan dari belakangku. Aku menengok ke belakang.
“Oh, pak Marwan.”
Pak Marwan adalah pak RT di kampungku.
“Mampir ke rumah dulu yuk Gita,” ajak pak Marwan.
“Ibu kemana ya pak? Kok rumah digembok?”
Pak Marwan semakin mendekat dan berkata lirih kepadaku. “Justru itu. Mari kita ngobrol di rumah.”
Aku menjadi semakin gelisah dan cemas. Ada apa dengan semua ini? Kemudian aku mengikuti pak Marwan menuju ke rumahnya.
“Silahkan duduk Gita. Bu! Bikinkan minum untuk Gita ya!”
Bu Marwan keluar sambil membawa teh untukku.
“Enak ya kerja di Jakarta Gita?” Tanya bu Marwan dengan nada yang kurang enak kudengar.
“Bu, diam dulu. Biar Gita minum dulu. Biar tenang dulu,” kata pak Marwan.
Aku jadi semakin yakin bahwa memang ada
apa-apa dengan keluargaku. Dan juga dari nada
omongan bu Marwan aku yakin bahwa bang
Jupri telah cerita tentang aku kepada semua orang.
“Pak, ibu kemana?” tanyaku.
“Nah, itulah,” sela bu Marwan. “Saking enaknya di Jakarta sampai nggak tahu kalau ibumu…..”
“Stop bu!” potong pak Marwan.
Bu Marwan kelihatan kesal dan masuk ke dalam rumah.
Dadaku berdegup kencang. Semakin kencang.
“Pak, ibu kemana?” tanyaku lagi dengan suara agak putus-putus.
“Gita, kuatkan hatimu.. ibumu…. Telah meninggal.”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Ruangan tempat aku duduk seakan berputar. Sekelilingku gelap.
Suara pak Marwan tidak terdengar lagi. Aku
lemas, sangat lemas. Kusandarkan tubuhku ke
belakang kursi dan kurebahkan kepalaku. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh pak Marwan.
Aku menangis. Tangisanku mungkin saja keras tapi aku tidak peduli. Ada sebuah penyesalan yang dalam dan rasa tidak percaya dengan apa yang diceritakan oleh pak Marwan.
Pak Marwan membiarkan aku menangis.
Membiarkan aku menumpahkan kesedihanku.
Mengapa ibu meninggal? Mengapa aku sampai tidak tahu? Orang seperti apakah aku ini sehingga tidak tahu kalau ibunya meninggal?
“Gita, itulah yang terjadi,” pak Marwan mulai mengajak aku bicara.
“Kapan pak?” tanyaku sambil masih menangis.
“Sudah agak lama, tiga bulan yang lalu.”
Oh, Tuhan! Mengapa sampai lama begini?
Apakah Tuhan benar-benar tidak melihatku?
Katanya Engkau maha melihat ya Tuhan!
Katanya Engkau tidak tidur? Tiga bulan??
“Bang Jupri kemana pak? Mengapa dia tidak pernah terlihat lagi?”
“Jupri cuma kelihatan sebulan setelah mengantar kamu ke Jakarta. Setelah itu sampai sekarang kami tidak tahu lagi dimana dia.”
“Cuma sekali ke sini pak? Astaga!”
“Bapak sudah menduga kalau Jupri itu menipu kamu. Dia sengaja menjerumuskan kamu.”
“Apakah pak Marwan tahu semuanya? Apakah ibu juga tahu?”
“Jupri memang cerita ke beberapa orang tentang kamu. Tetapi begitu berita itu sampai ke ibu, saya yang memberitahu kepada ibu bahwa berita itu tidak benar. Saya katakan kepada ibu bahwa berita itu biasa dikatakan oleh orang yang iri dengan keberhasilanmu.
Ibumu percaya kepada saya.”
“Terimakasih pak Marwan. Saya akan bunuh si Jupri brengsek itu kalau ketemu!! Benar-benar keterlaluan dia, benar-benar tega.”
“Bapak mengerti semua itu. Orang-orang banyak yang tidak tahu dan percaya sama Jupri, termasuk istri saya tadi. Bapak mengerti kalau ini semua bukan maumu, bukan keinginanmu untuk berbuat itu.”
“Lalu adik saya Candra kemana pak?”
“Seminggu setelah ibumu meninggal, tiba-tiba saja bapakmu muncul kembali.”
“Bapak? Ngapain dia?”
“Entahlah. Bapakmu ke sini dan membawa adikmu Candra.”
“Kemana pak?”
“Kami semua tidak ada yang tahu. Bapakmu
tidak cerita banyak dimana ia tinggal sekarang
dan apa yang ia kerjakan.”
Aku kembali menyandarkan kepalaku di kursi.
Oh, Tuhan… Lihatlah semua ini! Lihatlah betapa orang-orang yang kucintai sekarang tidak ada lagi di dekatku. Apa maumu Tuhan? Mengapa ini semua terjadi kepadaku?
“Ibu dimakamkan di mana pak Marwan?”
“Pemakaman umum jalan Seroja. Nanti saya antar ke sana.”
“Nggak usah pak. Bapak telah banyak mengurus ibu, terimakasih.”
“Gita, mudah-mudahan Tuhan memberimu petunjuk untuk menempuh jalan yang terang.”
“Terimakasih pak.”
Dengan masih bersimbah air mata, aku pamit
pulang dari rumah pak Marwan. Melewati gang
rumahku, aku kembali melihat rumah yang
masih digembok itu. Beberapa kenangan
muncul di pikiranku melihat rumah itu.
Terutama tentang ibu. Aku masih terbayang kalau pagi-pagi sekali ibu sudah menyapu halaman depan. Ibu juga membuka jendela dan membersihkan debu yang menempel di sana.
Kalau aku dan Candra bangun tidur, ibu sudah menyiapkan bubur ayam untuk kami.
Air mataku menetes lagi.
Ya Tuhan, aku selalu menyebut namaMu tapi kenapa Engkau diam saja seperti ini?
Bahkan Engkau membiarkanku untuk tidak
tahu kalau ibu meninggal. Si Jupri sialan itu juga
bener-bener menipuku. Artinya selama dia aku
titipin uang untuk ibu si Jupri tidak pernah
memberikannya, padahal uang itu sangat perlu
untuk berobat dan memenuhi kebutuhan
hidup ibu dan Candra.
Kini aku sudah berada di depan nisan ibu. Di pemakaman ini aku menangis sejadi-jadinya.
Bayangan wajah ibu masih tampak nyata di mataku. Mengapa ibu meninggal secepat ini?
Mengapa jalan hidupku seperti ini? Apakah dengan begini berarti Tuhan itu adil? Dimana keadilanNya itu? Aku memukul-mukul tanah karena kekesalanku sendiri. Air mataku tetap menetes membasahi pusara ibu. Aku memeluk nisan ibu.
“Ibu….. aku sungguh tak mengerti dengan semua ini.. aku sekarang sendiri.. sendiri ibu..”
♫♫♫♫