• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TENTANG PERBANKAN SYARIAH 1. Pengertian Perbankan Syariah

Pengertian perbankan syariah sesuai dengan Undang-undang nomor 21 tahun 2008 Perbankan Syariah, Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Definisi Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan / atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiyaan rakyat syariah.

Sehingga berdasarkan pengertian perbankan syariah diatas dapat

ditarik kesimpulan bahwasanya perbankan syariah adalah suatu wadah bagi

Perbankan yang menjalankan kegiatannya dengan prinsip islami atau prinsip

syariah. Pengertian Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan

hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau

pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai

dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil

(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal

(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan

(2)

(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtima);

Menurut Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, pasal 1 angka 12 sebagai berikut:

Prinsip syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. 12

2. Landasan Hukum Perbankan Syariah

Perbankan Syariah tentu saja memiliki Landasan hukum yang pasti, landasan hukum perbankan syariah menyesuaikan dengan sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang telah melalui beberapa tahap periode yaitu:

a. Periode sebelum tahun 1992

Sebelum tahun 1992 di Indonesia telah berdiri bank syariah dalam bentuk BPR-Syariah, pada periode ini BPRS didirikan sesuai dengan perundang- undangan perbankan yang berlaku saat itu (bank konvensional), dan tidak ada ketentuan yang, mengatur tentang bank syariah disamping masyarakat yang belum memungkinkan untuk diajak bertransaksi syariah, sehingga BPR-Syariah tersebut mati secara perlahan-lahan.

b. Periode tahun 1992 sampai dengan tahun 1998

Dalam periode ini lahir puluhan BPR-Syariah dan satu Bank Umum Syariah. Pada periode ini Bank Syariah didirikan berdasarkan Undang-

12 Wiroso. 2011. E-BOOK_Produk Perbankan Syariah. LPSE Usakti. (Diakses pada 25 Februari

2020)

(3)

undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang nomor 7 ini tidak dibahas secara jelas atau secara langsung tentang bank syariah, hanya dalam pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c mengatur tentang usaha bank syariah yaitu:

a) Usaha Bank Umum : “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah” (pasal 6 huruf m) 13

b) Usaha Bank Perkreditan Rakyat : “ menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah” (pasal 13 huruf c)

14 Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan tersebut pemerintah mengeluarkan dua ketentuan perbankan syariah yaitu:

“Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Sehingga Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Peraturan Pemerintah tersebut

15 sebagai landasan hukum berdirinya Bank Umum Syariah”

“Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Sehingga Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Peraturan Pemerintah tersebut

13 Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan.

14 Ibid.

15 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil,

Ayat (1).

(4)

16 sebagai landasan hukum berdirinya Bank Perkreditan Rakyat dalam periode ini”

c. Periode tahun 1998 sampai dengan tahun 2008

Berdasarkan pengalaman dan kajian yang dilakukan ternyata bank syariah memiliki karakteristik yang berbeda dengan bank konvensional, maka Undang-undang nomor 7 tentang perbankan disempurnakan dengan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang nomor 7 tentang perbankan. Dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut telah dibahas ketentuan-ketentuan bank syariah, yaitu pada pasal 1 angka 13 disebutkan :

“prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan marang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtima).” 17

Pasal 6 huruf m “menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang

16 Ibid.

17 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang nomor 7 tentang

perbankan.

(5)

ditetapkan oleh Bank Indonesia” dalam penjelasan pasal ini disebutkan

“pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:

(1) Kegiatan Usaha dan Produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah

(2) Pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah

(3) Persyaratan baik pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah 18

Oleh karena dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 telah dibahas Undang-Undang Perbankan syariah, sehingga pemerintah mencabut dua Peraturan Pemerintah tersebut dengan Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1998. Sebagai peraturan pelaksanaannya Bank Indonesia mulai tahun 1999 banyak mengeluarkan peraturan Bank Indonesia yang mengatur bank syariah. Ketentuan-ketentuan ini yang merupakan landasan hukum berdirinya beberapa bank syariah, BTN Syariah.

d. Periode setelah tahun 2008

Mulai tahun 2008 perbankan syariah di Indonesia memiliki Undang- undang tersendiri, yaitu Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bank Syariah yang didirikan dan/atau menjalankan kegiatan usahanya mulai tahun 2008, sudah tentu berdasarkan Undang-

18 Ibid.

(6)

undang nomor 21 tahun 2008 19 dan seluruh peraturan pelaksanaannya.

Ketentuan-ketentuan yang diatur berdasarkan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 dan peraturan pelaksanaanya tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dengan Undang-undang nomor 21 tahun 2008. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 69 Undang-undang nomor 21 tahun 2008, yiatu: “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang- undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dengan Undang-Undang ini’. 20

B. TINJAUAN TENTANG PRODUK BANK SYARIAH

Bentuk-bentuk produk penghimpunan dana yang ada pada BTN Syariah dibagi menjadi tiga macam, yaitu Penyimpanan dana, Penyaluran dana & Pelayanan Jasa :

19 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

20 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang nomor 7 tentang

perbankan..

(7)

21

1. Penyimpanan Dana

a. Giro, adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan 22 . Produk giro pada bank syariah diatur di dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. : 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro.

b. Tabungan, adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan / atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Produk tabungan pada bank syariah diatur di dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. : 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.

c. Deposito, adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan

21 Yusmad, Muammar Arafat. 2018. Aspek Hukum Perbankan Syariah Dari Teori Ke Praktik.

Jogjakarta: CV Budi Utami.Hal.18.

22 Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. : 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro.

(8)

bank. Produk deposito pada bank syariah diatur di dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. : 03/DSNMUI/IV/2000 tentang Deposito 23 2. Penyaluran Dana

Produk penyaluran dana pada bank syariah adalah pembiayaan, bentuk pembiayaan ini apabila pada bank konvensional biasa disebut dengan kredit. Adapun produk-produk pembiayaan yang ada pada bank syariah yaitu pembiayaan berdasarkan akad jual beli, pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa, pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil, dan pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam yang bersifat sosial:

a. Pembiayaan berdasarkan akad jual beli: a) Murabahah, akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembelinya membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati; b) salam, Akad salam adalah akad pembiayan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati; c) istishna’ Akad Istishna’ adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).

24

b. Pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa: a) Ijarah, Akad Ijarah adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna

23 Fatriani. 2018. “Bentuk-bentuk Produk Bank Syariah” Jurnal.Ensiklopedia.Volume.1,no.1.

24 Ibid.

(9)

atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa yang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.

Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Kewajiban bank syariah adalah menyediakan aset yang disewakan dan menanggung biaya pemeliharaan aset. Kewajiban nasabah adalah membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai kontrak; b) Ijarah muntahiya bittamlik, Akad ijarah muntahiya bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Pihak yang melakukan al-ijarah almuntahiah bi al-tamlik harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai. 25

c. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil: a) Mudharabah, Akad mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau bank syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua („amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah,

25 Ibid.

(10)

kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak; b) Musyarakah, Akad musyarakah adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masingmasing.

Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah. Akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat.

d. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam yang bersifat social, Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin menganjurkan pemeluknya, di samping melakukan usaha produktif untuk mencari karunia Illahi, juga harus peka terhadap keadaan di sekitarnya. Ini berarti bahwa umat Islam dianjurkan untuk mempunyai jiwa sosial.

Tidak terkecuali pada institusi perbankan, yang di samping mengemban misi bisnis, juga mengemban misi sosial sebagaimana terlihat dalam produk-produknya yang disalurkan kepada masyarakat.

Salah satu produk perbankan syariah yang lebih mengarah kepada misi

sosial adalah qardh. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada

nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Dana al-Qardh bersumber dari

bagian modal bank syariah, keuntungan bank syariah yang disisihkan,

dan lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran

(11)

infaqnya kepada bank syariah. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah. Bank syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, bank syariah dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah berupa penjualan barang jaminan. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui musyawarah. 26

3. Produk Pelayanan Jasa, Adapun bentuk-bentuk produk pelayanan jasa perbankan yang ada pada bank syariah 27 yaitu:

1) Hawalah, Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam mengaplikasikan akad hawalah pada produk perbankan syariah paling tidak terdapat tiga pihak yang diantaranya diikat dengan perjanjian, yaitu bank, nasabah, dan pihak yang mempunyai utang kepada nasabah. Rukun hawalah yaitu: a) muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutangl; b) muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil; c) muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal; d) muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal; dan e) sighat (ijab qabul). Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal

26 Fatriani. 2018. “Bentuk-bentuk Produk Bank Syariah” Jurnal.Ensiklopedia.Volume.1,no.1.

27 Fatriani. 2018. “Bentuk-bentuk Produk Bank Syariah” Jurnal.Ensiklopedia.Volume.1,no.1.

(12)

29 Fatriani. 2018. “Bentuk-bentuk Produk Bank Syariah” Jurnal.Ensiklopedia.Volume.1,no.1.

‘alaih. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui musyawarah; 28

2) Kafalah, Akad kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful). Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Secara fikih, terdapat tiga macam kafalah yang dapat diimplementasikan dalam produk bank syariah, yaitu: a) Kafalah bi nafs, yaitu jaminan dari diri si peminjam (personal guarantee); b) Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment) atau jaminan pembayaran (payment bond);

dan c) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern, hal ini dapat diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds); 29

28 Ibid.

(13)

30 Ibid.

3) Wakalah, Akad wakalah adalah akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa. Wakalah ada tiga macam, yaitu: a) Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan; b) Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu; dan c) Wakalah al ammah, yaitu perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah, tetapi lebih sederhana dari al mutlaqah. Implementasi wakalah dalam perbankan syariah cocok untuk produk jasa berupa Letter of Credit (L/C). Bank membuka L/C atas permintaan nasabah dengan meminta nasabah untuk menyetorkan dana yang cukup dari besarnya L/C yang dibuka. Setoran dana tersebut disimpan oleh bank dengan prinsip wadi’ah. Rukun dan syarat wakalah yaitu: a) Muwakkil (yang mewakilkan); b) Wakil (yang mewakili); dan c) Hal-hal yang diwakilkan. 30

4) Rahn, Menurut syariah, rahn adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Rahn juga bisa diartikan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utangnya semuanya atau sebagian.

Dengan kata lain, rahn adalah akad berupa menggadaikan barang dari

satu pihak kepada pihak lain dengan utang sebagai gantinya. Bank

tidak boleh menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau

(14)

31 Ibid.

keamanan barang yang digadaikan tersebut. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua hutang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa / dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin. 31

5) Sharf, Secara harfiah, sharf diartikan sebagai penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Secara istilah, sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.

Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Tidak untuk spekulasi (untung-untungan); b) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan); dan c) Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Akad sharf dipraktikkan oleh bank syariah dalam produk jasa berupa

(15)

tukar-menukar mata uang asing dengan mendasarkan pada kurs jual dan kurs beli suatu mata uang. Pihak bank akan mendapatkan imbalan berupa selisih antara kurs jual dan kurs beli yang ada, ditambah dengan biaya-biaya administrasi. Transaksi spot, hukumnya “boleh”, karena dianggap tunai, sedangkan transaksi forward, transaksi swap, dan transaksi option hukumnya “haram”. 32

C. TINJAUAN TENTANG SISTEM OPERASIONAL BANK SYARIAH Sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan suatu metode, dan operasional memiliki arti sebuah operasi atau kegiatan yang didasarkan pada aturan yang sesuai dan tidak menyimpang dari norma yang berlaku.

Sistem Operasional Bank Syariah adalah Suatu sistem pergerakan kegiatan perbankan yang berlandaskan prinsip syariah (Hukum Islam) dengan segala bentuk kegiatannya merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist. Islam tidak mengatur masalah perbankan di dalam nash secara pasti, sehingga masih diperdebatkan kepastian hukumnya. Perdebatan ini terjadi diakibatkan oleh system yang dianut perbankan konvensional yang menggunakan system Bunga (interest foregone), sedangkan di dalam islam setiap kegiatan investasi yang mengandung unsur riba adalah haram hukumnya. 33

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 72 Tahun 1992 Tentang Pendirian Bank berdasarkan prinsip bagi hasil (Bank Syariah) memberikan pilihan bagi masyarakat yang beragama Islam untuk menggunakan jasa

32 Fatriani. 2018. “Bentuk-bentuk Produk Bank Syariah” Jurnal.Ensiklopedia.Volume.1,no.1.

33 Moh. Ali Wafa, 2017. “Hukum Perbankan Dalam Sistem Operasional Bank Konvensional dan

Bank Syariaah”, Jurnal Kordinat, Vol.16, No. 2.

(16)

perbankan syariah. Dengan adanya Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1992 Tentang Pendirian Bank berdasarkan prinsip bagi hasil (Bank Syariah).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 bahwa bank yang berdasarkan prinsip bagi hasil (Bank Syariah) yang dipergunakan oleh suatu bank dalam hal pertama, yaitu menetapkan imbalan yang akan diberinya sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja. 34

Pembiayaan Syariah dituangkan dalam suatu perjanjian/akad yang mempunyai peranan dalam pembiayaan yang menjadi dasar dalam aktivitas pembiayaan tersebut. Akad pembiayaan syariah memfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.

D. TINJAUAN TENTANG KPR SYARIAH

Kredit Pemilikan Rumah adalah suatu produk yang dikeluarkan oleh perbankan yang melakukan kegiatannya dengan menggunakan objek jaminan Hak Tanggungan berupa benda-benda tidak bergerak yaitu misalnya: Rumah, dan Tanah,dll. Dengan tujuan untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya, dalam dunia perbankan produk ini biasa disebut sebagai KPR. KPR pada perbankan konvensional tidak bisa lepas dari bunga yang merupakan ciri khas dari perbankan konvensional, harga jual yang sifatnya kontan, dan uang muka yang harus dibayar oleh nasabah. 35

34 Ibid.

35 Nassa Reski. 2020. Persepsi Nasabah Terhadap Produk Pembiayaan KPR Pada Bank

Tabungan Negara (BTN) Syariah Pare-Pare. Jurnal IAIN Pare-Pare. Hal.30-31.

(17)

Dalam perbankan syariah, KPR Syariah menjalankan kegiatan KPR dengan menggunakan prinsip syariah. Berbeda dengan KPR Konvensional, pada KPR Syariah tidak menggunakan system suku bunga akan tetapi menggunakan system murabahah (bagi hasil) yang berbasis margin yang berarti pihak kreditur telah menetapkan keuntungannya di awal akad yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu kreditur dan debitur. 36

Ketika Bank Umum Syariah menggunakan Akad Murabahah, maka terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi unsur-unsurnya, yaitu: 1) pihak yang berakad, 2) objek yang di-akadkan, 3) akad harus berdiri diatas Ijab Qobul yang disetujui para pihak. Secara lebih khusus pihak bank syariah harus memberhatikan beberap hal, yakni: 1) pihak bank syariah harus secara jelas memberitahukan akad yang digunakan dalam kegiatan KPR kepada nasabahnya, 2) kontrak yang ada di dalam kegiatan KPR Syariah harus dinyatakan sah. 37

Pada KPR Syariah, harga jual rumah ditetapkan di awal akad ketika nasabah akan menandatangani akad perjanjian yang akan disepakati, Angsuran bersifat flat atau tetap dari awal hingga akhir jatuh tempo pembiayaan syariah.

Sehingga dengan adanya kepastian jumlah angsuran tersebut nasabah tidak akan dikhawatirkan dengan naik turunnya angsuran pada saat suku bunga tidak stabil. Dalam hal nasabah pinalti, pada prinsipnya bank syariah sebisa mungkin menghindari system penalty.

36 Ibid.

37 Nassa Reski. 2020. Persepsi Nasabah Terhadap Produk Pembiayaan KPR Pada Bank

Tabungan Negara (BTN) Syariah Pare-Pare. Jurnal IAIN Pare-Pare. Hal.30-31.

(18)

Pengertian Murabahah secara bahasa berasal dari kata ر ح yang berarti ب keuntungan karena dalam jual beli murabahah harus dijelaskan keuntungan yang akan diperoleh dari para pihak. Akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga beli dan keuntungannya kepada pembeli dan pembelinya membayarnya dengan harga yang telah disepakati para pihak;

Akad pembiayaan Murabahah adalah akad yang sering digunakan dalam akad jual beli pada perbankan syariah terutama dalam pembiayaan KPR Syariah. Pada prinsipnya akad murabahah merupakan akad jual beli dengan ketentuan nasabah mengajukan permintaan kepada bank untuk membiayai pembeliannya kepada pihak yang telah dituju, kemudian bank akan menawarkan keuntungan yang akan didapatkan bank sebagai pembayaran jasa pembiayaan pembelian barang yang dimaksud nasabah dengan harga pokok dan margin keuntungan yang telah disepakati bersama. 38

E. TINJAUAN TENTANG WANPRESTASI

Wanprestasi secara bahasa berasal dari dua suku kata bahasa belanda yaitu

“wan” dan “prestatie” yang kemudian digabungkan menjadi “wanprestatie”,

“wan” yang memiliki arti kata “jelek atau buruk” dan “prestatie” memiliki arti

“kewajiban” yang berarti dalam bahasa belanda “wanprestatie” diartikan sebagai suatu pemenuhan kewajiban yang buruk atau tidak memenuhi kewajiban dengan baik. Menurut kamus hukum dengan kata lain wanprestasi

38 Rahmadi Indra Tektona, Dyah Octorina Susanti, Slamet Ervin Iskliyono. Wanprestasi Pada Akad Murabahah (Studi Putusan Nomor 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg), Jurnal Supremasi.

Hal.53(2020).

(19)

adalah sebuah kelalaian, kealpaan, cider janji, atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak. 39

Wanprestasi merupakan suatu pelaksanaan kewajiban yang tidak sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan, atau tidak melakukan sama sekali prestasinya. 40

Dalam pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yaitu;

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pihak yang melakukan wanprestasi berkewajiban untuk melaksanakan prestasi sebagaimana berikut;

1. Pada pasal 1243 BW, mengganti kerugian yang diderita oleh kreditur atau pihak lain yang memiliki hak untuk menerima prestasi tersebut 41 .

2. Pada pasal 1267 BW, pemutusan kontrak bersamaan dengan pembayaran ganti rugi 42 .

3. Pada pasal 1237 ayat (2) BW, menerima peralihan resiko sejak wanprestasi tersebut terjadi 43 .

39 Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, Cetakan Kedua, Alumni Bandung, 1986, hlm 60.

40 Ibid.

41 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1243 Burgelik Wetboek (BW).

42 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1267 Burgelik Wetboek (BW).

43 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1237 Burgelik Wetboek (BW).

(20)

4. Pada pasal 181 ayat (2) HIR, menanggung biaya perkara apabila perkara tersebut dibawa ke pengadilan 44 .

Akibat hukum yang ditimbulkan oleh wanprestasi adalah debitur wajib membayar ganti kerugian yang diderita kreditur (pasal 1234 BW) sebagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pada pasal 1243 BW yang menyatakan; “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang telah melampaui waktu yang telah di tentukan.”

Dan pada pasal 1244 BW; “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya. 45

Sementara itu (KUHPer) juga telah mengatur mengenai hak-hak kreditur yang dalam alternative upaya hukum yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk mendapatkan hak-haknya kembali, pada pasal 1267 (KUHPer) yakni;

1. Meminta pelaksanaan perjanjian.

2. Meminta ganti rugi.

44 Pasal 181 Ayat (2) HIR.

45 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1244 Burgelik Wetboek (BW).

(21)

3. Meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi.

4. Dalam hal perjanjian timbal balik dapat dimintakan pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi.

Dalam perbankan istilah wanprestasi digunakan sebagai penyebutan perilaku Debitur atau Kreditur yang tidak memenuhi prestasi dengan baik sesuai dengan perjanjian yang telah mengikat para pihak.

F. TINJAUAN UPAYA HUKUM PENYELESAIAN PADA PERBANKAN SYARIAH

Upaya hukum merupakan suatu usaha untuk menyelesaikan Sengketa, secara garis besar terdapat dua model penyelesaian Sengketa dalam Hukum Perdata, yaitu secara Non-Litigasi dan Litigasi. 46 : Dalam menyelesaikan Sengketa seseorang dapat menempuh jalur pengadilan (Litigasi) atau menempuh jalur Alternatif Penyelesaian Sengkata (NonLitigasi).

1. LITIGASI

Litigasi merupakan proses penyelesaian Sengketa di pengadilan, dimana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lainnya untuk mempertahankan hak-haknya dimuka pengadilan. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah secara Litigasi menjadi kewenangan absolut Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, karena para pihak tidak boleh memperjanjikan lain akibat terikat dengan Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kewenangan mutlak bagi suatu badan peradilan untuk menyelesaikan Sengketa berdasarkan Undang-Undang Perbankan Syariah

46 Sudiro, MYN. 2018. Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Hukum Pengembalian Barang Milik

Pribadi Yang Telah di Lekatkan Sita Eksekusi Sebagai Barang Bukti Hasil Tindak Pidana Korupsi

di Hubungkan Dengan Pasal 118 HIR. Skripsi (S1), Fakultas Hukum Unpad.

(22)

pasal 55 Ayat (1) “Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni dengan memberikan perluasan ruang lingkup kewenangan terhadap pengadilan Agama, yang pada awalnya hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, zakat infaq, dan shadaqah, saat ini perkara mengenai ekonomi syariah telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, yakni mengenai perbuatan-perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut Prinsip Syariah, Seperti yang kita ketahui Perbankan Syariah Merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi syariah yang mana dalam kegiatannya menerapkan prinsip syariah. Sehingga nantinya melahirkan hasil akhir atau putusan pengadilan yang menyatakan win-lose solution. 47

2. NON-LITIGASI

Pada penyelesaian Sengketa yang ditempuh secara non litigasi yang biasa dikenal sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) para pihak dibebaskan untuk membuat pilihan forum penyelesaian

Sengketa (Settlement Dispute Option) termasuk menyelesaikan Sengketanya diluar Pengadilan.

Non-litigasi merupakan penyelesaian suatu perkara di luar pengadilan.

Jalur non-litigasi ini secara umum lebih dikenal dengan “Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Penyelesaian perkara secara non-litigasi ini tertuang

47 Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, Jakarta:

Grafindo Persada, hlm. 16.

(23)

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Yakni, pada pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:

“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian Sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli 48 ”.

Adapun beberapa jenis Penyelesaian Sengketa secara non-litigasi diantaranya :

a. Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dan konsultan. Peran dari konsultan dalam suatu Sengketa tidaklah dominan, konsultan hanya sebatas memberikan pendapat (Hukum) sebagaimana diminta oleh kliennya.

b. Negosiasi/Musyawarah

Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang sedang berSengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) negosiasi diartikan sebagai penyelesaian Sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang berSengketa. Melalui negosiasi inilah para pihak yang berSengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak yang berSengketa dengan suatu situasi yang sama-sama menguntungkan dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran atas hak-

48 Pasal 1 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

(24)

hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Pada kesepakatan yang dicapai kemudian dituangkan secara tertulis untuk ditanda tangani dan dilaksanakan oleh para pihak.

c. Mediasi

Mediasi adalah salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa dengan pendekatan mufakat (consensual approaches) pada para pihak dengan menghadirkan satu pihak netral yang tidak turut serta memiliki kewenangan memutus yang disebut sebagai mediator. 49

Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur mediasi adalah cara penyelesaian Sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan Sengketanya, hasil dari kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam akta perdamaian, yaitu akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. 50

d. Konsoliasi

Penyelesaian melalui konsoliasi dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan (komisi konsoliasi) sebagai penengah yang disebut sebagai konsoliator dengan mempertemukan atau memberi fasilitas kepada pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan secara damai.

e. Arbitrase

Arbitrase berasal dari kata arbitrace (latin) yang memiliki arti kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara berdasarkan kebijaksanaan.

49 Rahmadi, Takdir. 2011. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta:

Rajawali Pers.,Hal.1.

50 Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur mediasi di Pengadilan.

(25)

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada pasal 1 yakni : “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu Sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berSengketa”.

Sehingga arbitrase dapat diartikan bahwasanya arbitrase merupakan suatu perjanjian perdata yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan Sengketa yang diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut sebagai arbiter yang ditunjuk secara bersama-sama oleh para pihak yang menyatakan akan menaati putusan yang diambil oleh arbiter.

Pada kasus Sengketa bisinis syariah arbitrase memiliki wadah khusus yaitu Basyarnas-MUI, Badan Arbitrase Muamalat (BAMUI) merupakan cikal bakal berdirinya Basyarnas. BAMUI didirikan berdasarkan SK NO Kep- 392/MUI/V/1992, bersama dengan pendirian bank muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Memiliki tujuan menangani Sengketa antara nasabah dan bank syariah pertama yaitu bank muamalat Indonesia pada saat itu. Hingga pada tahun 2003 menyusul berdirinya beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang kemudian BAMUI dirubah menjadi BAMUI dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI-XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003 yang hingga saat ini dikenal sebagai Badan Arbitrase Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (BASYARNAS-MUI).

BASYARNAS-MUI adalah sebuah lembaga arbitrase yang berfungsi

dalam penyelesaian Sengketa ekonomi syariah diluar pengadilan dan memiliki

(26)

putusan yang bersifat final dan dan mengikat (binding). Sifat dan status basyarnas-mui, sesuai dengan pedoman dasar yang ditetapkan oleh MUI, merupakan lembaga hakam yang bebas merdeka, otonom dan independen, tidak di campuri dan tidak dipengaruhi oleh lembaga kekuasaan dan pihak- pihak lainnya. Basyarnas merupakan perangkat organisasi MUI sebagaimana Dewan Syariah Nasional (DSN), Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LP-POM-MUI), Yayasan Dana Dakwah Pembangunan (YDDP), Lembaga Perekonomian dan Keuangan MUI, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, Komite Dakwah Khusus (KDK), Pusat Dakwah dan Pendidikan Akhlak Bangsa (PDPAB).

Dasar Hukum pedoman Basyarnas-MUI diantaranya yaitu:

a. Al-Qur’an b. As-Sunnah c. Ijma’

d. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

G. PENELITIAN TERDAHULU

Penulis juga memaparkan penelitian terdahulu sebagai alat pembanding bagi peneliti untuk menilai perbedaan substansi penelitian terdahulu dan penelitian yang dilakukan penulis, sehingga dapat menjadi karya ilmiah yang saling melengkapi untuk perkembangan keilmuan.

Beberapa penelitian terdahulu adalah sebagai berikut:

1. Penelitian oleh Zulfa Naili Asyrifah, dengan mengangkat judul Strategi

Bank BTN Syariah dalam Penyelesaian Sengketa KPR (Kredit Pemilikan

(27)

Rumah) Bermasalah pada Bank BTN Syariah Surakarta yang dilakukan pada tahun 2016. Secara Substantif penelitian yang dilakukan oleh Zulfa Naili Asyrifah memang memiliki beberapa kesamaan yaitu pembahasan mengenai strategi yang dilakukan Bank btn syariah Surakarta ketika terjadi sengketa KPR, yang berarti penelitian Zulfa Naili Asyrifah secara garis besar membahas Metode penyelesaian ketika terjadi KPR bermasalah.

Akan tetapi berdasarkan Lokasi penelitian dan waktu penelitian tersebut dilakukan tentu memeliki perbedaan yang sudah pasti secara hasil penelitian dan pokok pembahasan berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Pembahasan pada penelitian Zulfa Naili Asyrifah hanya menyasar pada 2 hal, yaitu mengenai factor penyebab pembiayaan KPR bermasalah dan Strategi bank btn syariah dalam menghadapi pembiayaan KPR bermasalah yang mana penelitian Zulfa Naili Asyrifah ini fokus membahas strategi penyelesaian secara Internal dari bank btn syariah Surakarta.

2. Penelitian oleh Luqman Maskat, penelitian oleh luqman maskat ini

dilakukan pada tahun 2019 dengan judul Metode Penetapan Harga Jual

dan Pengakuan Keuntungan Pembiayaan KPR Murabahah Pada Bank

Syariah (BTN Syariahb Cabang Malang), Penelitian ini dilakukan pada

bank btn syariah cabang malang sebagai lokasi penelitian. Secara lokasi

penelitian yang dilakukan oleh Luqman Maskat sama dengan lokasi yang

dijadikan objek penelitian oleh peneliti, akan tetapi secara substantif jelas

berbeda dengan apa yang diteliti karena dalam penelitiannya luqman

maskat menyasar pada metode penetapan harga jual dan keuntungan

(28)

pembiayaan KPR Murabahah yang dilakukan oleh Bank BTN Syariah Cabang Malang. Meskipun dalam penelitian ini sama-sama meneliti produk pembiayaan syariah yaitu KPR Murabahah akan tetapi secara pokok bahasan sama sekali berbeda dengan apa yang diteliti oleh peneliti.

Maka menurut peneliti sudah seharusnya penelitian ini dilaksanakan atas dasar

penyempurnaan dan pembaharuan ilmu baik secara hukum maupun sebagai

pengetahuan dasar yang harus diketahui oleh masyarakat khususnya para

calon nasabah atau nasabah bank btn syariah cabang malang, sehingga

penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dan dapat meminimalisir

perkara sengketa serta menghindari sikap kesewenang-wenangan salah satu

pihak yang terlibat dalam kegiatan pembiayaan KPR Syariah pada bank btn

syariah cabang malang.

Referensi

Dokumen terkait

50 Cita-cita ini yang akan tergerus diganti dengan cita-cita ideologi yang lain (FPI). Kedua, dampak sosiologis merupakan proses perubahan pola prilaku, interaksi

Hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya Program membaca teks sastra (X) berpengaruh terhadap kompetensi mengubah sastra menjadi puisi (Y1) dengan demikian

Fase ini adalah fase pertama dalam pengembangan sistem dengan FAST yang bertujuan untuk menentukan metode yang akan digunakan, menganalisis kelayakan dan membuat jadwal

Τα ονόματα των θεών έφτασαν πολύ αργότερα στην Ελλάδα από την Αίγυπτο κι έτσι τα έμαθαν οι Πελασγοί, με εξαίρεση αυτό του Διονύσου,

Perlu adanya pengamatan lebih lanjut pada periode tanam jagung berikutnya, agar dapat diketahui efek sisa pupuk P terhadap peningkatan hasil yang diperoleh dari perlakuan

Desain pengembangan ini diarahkan pada desain yang menggambarkan karakter motif dari Dewi Sinta dengan teknik batik tulis dan mengolah penataannya pada kain

Kompensasi, kedisiplinan, dan komunikasi karyawan honor secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai honor Kantor Dinas