• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh

Wulan Ratna Utami

NIM. 1105107

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

DEPARTEMEN PEDAGOGIK

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERISTAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015

(2)

PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

Oleh

Wulan Ratna Utami

Sebuah skripsi yang digunakan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

© Wulan Ratna Utami 2015

Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya, atau sebagian, dengan dicetak

(3)
(4)

PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

Wulan Ratna Utami NIM. 1105107

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses dan perkembangan pembelajaran dengan menerapkan model inquiry terbimbing untuk meningkatkan Keterampilan Proses Sains (KPS) siswa. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu sekolah dasar negeri di kota Bandung. Penelitian ini melibatkan kelas V dengan jumlah 45 siswa. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh KPS siswa terutama pada empat aspek keterampilan yaitu keterampilan observasi atau mengamati, mengajukan hipotesis, melakukan investigasi dan menarik kesimpulan pada pembelajaran IPA yang rendah sesuai dengan hasil evaluasi praktikum yang dilakukan sebelum penelitian yakni 26,67% siswa yang mencapai Indek Pencapaian Ketuntasan (IPK) KPS sedangkan 73,33% siswa belum mencapai IPK KPS, namun pembelajaran dikatakan berhasil apabila mencapai 75%. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang bersifat verbalitas cenderung siswa pasif dan hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat saja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang diadaptasi dari Kemmis & Mc.Taggart dengan tiga siklus, setiap siklusnya dilakukan satu tindakan. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu lembar observasi guru & siswa yang menerapkan tahapan model inquiry terbimbing, yaitu: 1) Orientasi, 2) Merumuskan masalah, 3) Merumuskan hipotesis, 4) Mengumpulkan data, 5) Menguji hipotesis dan 6) Merumuskan kesimpulan. Dan lembar observasi KPS siswa yakni keterampilan melakukan observasi, mengajukan hipotesis, melakukan investigasi, dan menarik kesimpulan. Serta dari hasil jurnal siswa setelah pembelajaran berlangsung. Hasil penelitian dengan menerapkan model

inquiry terbimbing untuk meningkatkan KPS mengenai materi sifat-sifat cahaya

mengalami peningkatan pada setiap aspek dari siklus ke-I hingga siklus ke-III, persentase siswa yang mencapai IPK KPS yaitu pada siklus ke-I 46,67%, siklus ke-II 73,33% dan siklus ke-III 86,67%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan penerapan model inquiry terbimbing pada pembelajaran IPA materi sifat-sifat cahaya dapat meningkatkan KPS siswa SD kelas V. Diharapkan dengan penerapan model inquiry terbimbing dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan KPS siswa baik dalam pembelajaran IPA maupun lainnya.

(5)

THE APPLICATION OF INQUIRY MODEL IN SCIENCE LEARNING TO INCREASE THE SKILL OF SCIENCE PROCESS OF ELEMETARY SCHOOL

STUDENTS’

Wulan Ratna Utami NIM. 1105107

ABSTRACT

The research aims to describe the process and development of learning with applying the instructed inquiry model for increasing the students’ skill of science process (KPS). The subjects include 45 of fifth grade students at one of the elementary school in Bandung. The problem of this research is the low competence of the students’ skill of science process (KPS) particularly in doing observation, hypothesis, investigation, and conclusion. According to the result of evaluation test that conducted before this research, 26,67% students achieved grade average point (IPK) of KPS, meanwhile 73,33% students did not achieve IPK of KPS whereas the learning is succesful if the achievement of students is around 75%. The failing of this learning is due to the passive verbality in student whereas they only listened to the teacher’s explanation and wrote it. The research was conducted by the class evaluation which was adapted from Kemmis & Mc. Taggart by three cycle evaluation. The instrument of this research are the teacher and students observation sheet and students which apply the steps of instructed inquiry model. The steps in orderly are orientation, formulate the problem and hypothesis, collect the data, test the hypothesis, and conclude. The steps of student KPS observation sheet are the skill to observe, hypothesize, investigate, conclude and the result of students’ journal after the learning. The result of this research by applying the instructed inquiry model for increasing KPS in the material of the characteristics of light is increase in each aspect from cycle one to three. The precentage of students who obtain the KPS of IPK in cycle one is 46,67%, while in cycle two is 73,33% and in cycle three is 86,67%. The conclusion from the research is the apply of instructed inquiry model in the science learning about the characteristics of light increase the KPS of fifth grade students n elementary school. It is expected to apply the instructed inquiry model

to become the alternative for increasing students’ KPS in the subject of science

and others.

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan latar belakang masalah menentukan penelitian mengenai “PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD” dan dijelaskan pula rumusan masalah, tujuan penelitian serta manfaat penelitiaannya.

A. Latar Belakang Masalah

Kurikulum pendidikan di Sekolah Dasar (SD) mengacu pada pasal 37 UU

RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menerapkan

bahwa dalam pendidikan dasar ada 10 mata pelajaran yang harus diajarkan kepada

siswa. Salah satu mata pelajaran yang termasuk dalam kurikulum adalah Ilmu

Pengetahuan Alam (IPA).

Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Depdiknas, 2006, hlm.484) mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar (SD) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahanan konsep-konsep IPA

yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang

adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Salah satu tujuan diatas adalah mengembangkan keterampilan proses.

Menurut Indrawati (dalam Trianto, 2011, hlm. 144) keterampilan proses di

pembelajaran IPA merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik

kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk menemukan suatu

(7)

2

sebelumnya, ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan

atau flasifikasi.

Pembelajaran IPA bukan hanya penguasaan pengetahuan, yang berupa

fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip tentang alam sekitar saja tetapi

juga suatu proses penemuan dengan pengamatan, penyelidikan, perkiraan

sementara (hipotesis), dan diikuti pengujian atau pembuktian gagasan. Hal itu

menunjukkan bahwa proses pembelajaran IPA yang ideal menekankan pada

pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa agar menjelajahi

alam sekitar untuk menemukannya sendiri yang kemudian mengembangkan

gagasan dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal tersebut sejalan dengan Keterampilan Proses Sains (KPS) pada

pembelajaran IPA akan menekankan siswa untuk mencari dan menemukan sendiri

dengan penyelidikan ilmiah (eksperimen) melalui mengamati, menafsirkan,

merencanakan penelitian, melakukan penelitian, menerapkan, menggolongkan dan

mengkomunikasikan hasil pengamatannya. Dengan kata lain keterampilan ini

dapat digunakan sebagai wahana penemuan dan pengembangan konsep/prinsip/

teori (Trianto, 2011, hlm. 144).

Setiap guru menginginkan pembelajaran yang berhasil, maka dari itu

sebelum kegiatan belajar mengajar guru membuat perencanaan yang bertujuan

merumuskan tingkah laku dan kemampuan yang akan dimiiki siswa setelah

pembelajaran berlangsung yang terkait dengan kompetensi dan indikator dalam

proses belajar mengajar. Dari tujuan operasional ditentukan pendekatan, model,

metode, alat, dan sumber pembelajaran.

Peningkatan kualitas proses pembelajaran akan sangat bergantung pada

pengelolaan kelas dan proses pengajaran dengan pendekatan, model, motode,

media yang diterapkan guru. Mengingat bahwa setiap siswa memiliki karakteristik

yang berbeda-beda oleh karena itu pembelajaran hendaknya memperhatikan

perbedaan-perbedaan setiap siswa tersebut, sehingga pembelajaran benar-benar

dapat merubah kondisi siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang tahu menjadi

lebih tahu, serta yang tidak baik menjadi yang lebih baik.

Dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses,

(8)

3

rombongan belajar SD/MI adalah 28 siswa. Namun dewasa ini, proses

pembelajaran di sekolah masih berjalan secara konvensional dalam klasikal

dengan jumlah siswa lebih dari 40 orang yang akan membuat proses pembelajaran

tidak maksimal. Hal itu berakibat pada tidak variatifnya dalam penggunaan media,

model, pendekatan dan strategi pembelajaran yang hanya sebatas menyampaikan

informasi materi pembelajaran saja. Sama halnya kenyataan yang terjadi di salah

satu SD Negeri di kota Bandung khususnya di kelas V dalam pembelajaran IPA

proses pembelajaran cenderung hanya menggunakan metode ceramah dengan

perbandingan siswa dan guru 45 : 1 sehingga pembelajaran IPA bersifat verbalitas

yang mengakibatkan siswa cenderung pasif hanya mendengarkan penjelasan dan

mencatat saja sehingga hasil evaluasi praktikum akhir materi yang digunakan

untuk mengukur keterampilan proses sains dari kelas tersebut menjadi rendah. Hal

ini terbukti dari hasil evaluasi akhir materi dari 45 siswa hanya 26,67 % atau 12

siswa yang mencapai nilai Indeks Pencapaian Ketuntasan (IPK) KPS yang

diadaptasi teori dari Mulyasa (2008, hlm. 105) bahwa dari segi proses,

pembelajaran dan pembentukan kompetensi dikatakan berhasil dan berkualitas

apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar (75%) siswa terlibat secara

aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Dan 73,33 %

atau 33 siswa memperoleh nilai di bawah IPK KPS. Penerapan metode ceramah

pada pembelajaran IPA untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa

kurang sesuai karena apabila hanya menggunakan metode ceramah, tidak

melakukan pengamatan atau investigasi untuk siswa menemukan suatu konsep

atau penemuan yang sudah ada, pada pembelajaran IPA seharusnya siswa

berperan aktif dalam pembelajaran. Maka dari itu guru seharusnya menerapkan

model, metode atau pendekatan yang sesuai dengan pembelajaran IPA. Salah satu

model yang sesuai dengan pembelajaran IPA untuk meningkatkan keterampilan

proses sains siswa adalah model pembelajaran inquiry. Karena dimungkinkan

dalam pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran berbasis inquiry, guru

hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator. Namun, di tingkat SD model

inquiry dilakukan dengan bimbingan guru.

Selaras dengan pernyataan di atas dalam Kurilkulum Tingkat Satuan

(9)

4

IPA ditekankan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk meningkatkan

kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya

sebagai aspek penting kecakapan hidup. Melalui inkuiri ilmiah, keterampilan

proses sains dan sikap ilmiah siswa dikembangkan secara optimal. Keterampilan

sains terinternalisasikan dalam tahap-tahap memecahkan masalah yang diteliti.

Maka dari itu, paradigma pembelajaran sains yang berorientasikan pada guru

(teacher centered) hendaknya diubah menjadi pembelajaran yang berorientasi

pada siswa (student centered).

Selain itu di kelas tersebut dikatakan di atas bahwa keterampilan proses

sains siswa yang rendah, hal tersebut terbukti dengan hasil evaluasi praktikum

akhir materi yang telah diuraikan di atas. Hal tersebut terlihat dari beberapa aspek

keterampilan proses sains siswa yang kurang yakni empat aspek keterampilan

yaitu 1) keterampilan observasi atau mengamati, sesuai pengamatan peneliti

sebelum melakukan penelitian, siswa di kelas V tersebut belum bisa mengamati

dan mengelompokkan suatu peristiwa atau keadaan yang ditunjukkan oleh guru ke

subuah konsep yang sudah ada, 2) keterampilan mengajukan hipotesis, pada siswa

kelas V tersebut belum mengerti cara mengajukan hipotesis sebelum melakukan

investigasi yang bertujuan untuk menentukan jawaban sementara yang

memungkinkan lebih dari suatu penjelasan dari suatu kejadian, namun siswa di

kelas V tersebut belum dapat melakukannya, 3) keterampilan melakukan

investigasi pada siswa di kelas V tersebut belum berjalan dengan baik dikarena

siswa belum mengerti bagaimana cara melakukan investigasi yang benar dengan

mengikuti petunjuk di LKK, namun di kelas V tersebut pada saat melakukan

investigasi siswa melakukannya sendiri tanpa petunjuk yang benar dan 4)

keterampilan menarik kesimpulan pada siswa di kelas V tersebut sebagian besar

siswa tidak melakukan atau menarik kesimpulan setelah melakukan investigasi,

adapun yang melakukan menarik kesimpulan namun kesimpulan tersebut diambil

dari buku pedoman mereka bukan menurut apa hasil yang telah dilakukannya.

Maka dari itu empat aspek keterampilan proses sains tersebut perlu untuk

ditingkatkan.

Untuk mengatasi permasalah yang telah diuraikan di atas maka dalam

(10)

5

diterapkan. Dari sekian banyak pendekatan, model maupun metode pembelajaran

yang dapat diterapkan pada pembelajaran IPA. Salah satu model pembelajaran

IPA yang dapat meningkatkan keterampilan proses yaitu model pembelajaran

berbasis inquiry.

Melalui penerapan model inquiry terbimbing¸ keterampilan proses sains

siswa sangat dioptimalkan terutama empat aspek keterampilan yakni keterampilan

observasi atau mengamati, mengajukan hipotesis, melakukan investigasi dan

menarik kesimpulan dalam proses pembelajaran melalui serangkaian kegiatan

ilmiah. Selain keterampilan proses sains, model pembelajaran inquiry juga dapat

meningkatkan kemampuan yang terimplementasikan dalam kerja ilmiah.

Kemampuan yang dimaksud meliputi kemampuan berpikir kritis dan kemampuan

berpikir logis. Sebagaimana dikemukakan oleh Jufri (2013, hlm. 92) bahwa: “melalui model pembelajaran berbasis inkuiri peserta didik difasilitasi untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan ilmiah yang mendasar yang meliputi mengobservasi, mengklarifikasi, menghitung, merumuskan hipotesis, membuat relasi ruang dan waktu, mengukur, menginterpretasikan data, merancang eksperimen dan sebagainya”.

Pemilihan model pembelajaran berbasis inquiry terbimbing ini dilandasi

pula oleh pendapat yang dikemukakan Sanjaya (2014, hlm. 196) yang

menyebutkan bahwa model pembelajaran inquiry adalah rangkaian kegiatan

pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analisis

untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang

dipertanyakan. Model inquiry merupakan model pembelajaran yang dianjurkan

dan digunakan di sekolah khususnya sekolah dasar. Sanjaya (2014, hlm. 208)

mengungkapkan ada beberapa keunggulan dari model pembelajaran ini

diantaranya adalah model ini menekankan kepada perkembangan aspek kognitif,

afektif, dan psikomotor secara seimbang, dapat memberi ruang kepada siswa

untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka, sesuai dengan perkembangan

psikologi modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku

berkat adanya pengalaman, dan siswa yang kemampuannya di atas rata-rata tidak

akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar. Dengan model

pembelajaran berbasis inquiry terbimbing siswa terlibat dalam proses

pembelajaran secara aktif serta menemukan konsep pengetahuan atau informasi

(11)

6

mudah dan diingat dan pengetahuan yang diperoleh melalui penemuan dengan

pengamatan atau percobaan sendiri akan lebih bermakna.

Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas

peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih dalam dan mengangkat judul “Penerapan Model Inquiry pada Pembelajaran IPA untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SD”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, secara umum

perumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana penerapan model inquiry

pada pembelajaran IPA untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa SD?”

Adapun perumusan masalah secara khusus diuraikan lebih rinci dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pembelajaran dengan penerapan model inquiry pada

pembelajaran IPA untuk meningkatkan keterampilan proses sains siswa SD

Kelas V?

2. Bagaimana perkembangan keterampilan proses sains siswa SD Kelas V pada

pembelajaran IPA yang menerapkan model inquiry pada proses

pembelajarannya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, secara umum tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui penerapan model inquiry untuk meningkatkan

keterampilan proses sains siswa SD Kelas V pada pembelajaran IPA. Kemudian,

tujuan khusus penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan proses pembelajaran dengan penerapan model inquiry pada

mata pelajaran IPA untuk meningkatkan keterampilan proses siswa SD Kelas

V.

2. Mendeskripsikan perkembangan keterampilan proses siswa SD Kelas V pada

mata pelajaran IPA yang menerapkan model inquiry pada proses

(12)

7

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat dalam

dua kerangka berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan penjelasan tentang model inquiry

b. Memperkaya bagaimana cara meningkatkan keterampilan proses sains

siswa SD Kelas V pada pembelajaran IPA yang menerapkan model

inquiry

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

Dengan hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan masukan bagi

siswa dalam rangka meningkatkan keterampilan proses sains siswa SD

Kelas V pada pembelajaran IPA.

b. Bagi Guru

Dengan hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan masukan bagi

guru dapat menerapkan model pembelajaran yang cocok untuk

meningkatkan keterampilan proses sains siswa SD Kelas V pada

pembelajaran IPA dalam proses pembelajarannya.

c. LPTK

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi peneliti agar

dapat berinovasi model-model pembelajaran yang cocok untuk

meningkatkan keterampilan proses sains siswa SD pada pembelajaran IPA

(13)

BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan mengenai

penerapan model inquiry pada pembelajaran IPA untuk meningkatkan

keterampilan proses sains siswa pada materi sifat-sifat cahaya, maka dapat

dikemukakan simpulan dan rekomendasi yang terkait dengan penelitian, sebagai

berikut.

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian secara umum dapat disimpulkan hasil

penelitian bahwa keterampilan proses sains siswa pada materi sifat-sifat cahaya

dalam pembelajaran IPA di salah satu sekolah dasar negeri di kota Bandung

mengalami peningkatan melalui penerapan model pembelajaran inquiry. Ada

beberapa simpulan yang diperoleh yaitu sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran inquiry

membuat pembelajaran di kelas menjadi menyenangkan, tidak hanya itu siswa

juga menjadi lebih aktif dalam pembelajaran di kelas dengan kelompok

melalui percobaan atau investigasi maupun individu melalui tanya jawab

dalam diskusi kelas. Hasil observasi aktivitas guru dan siswa dengan

menerapkan model pembelajaran inquiry mencapai ketegori yang sangat baik.

Pencapaian persentase aktivitas guru dan siswa pada siklus ke-I 76,92%,

siklus ke-II 92% dan siklus ke-III 100%. Hal tersebut karena guru dan siswa

pada saat pembelajaran dilakukan dengan baik.

2. Keterampilan proses sains siswa secara menyeluruh telah mengalami

peningkatan pada setiap siklusnya. Pada siklus ke-I siswa yang mencapai IPK

KPS sebesar 46,67% atau 21 siswa, pada siklus ke-II mengalami peningkatan

sebesar 26,66% menjadi 73,33% atau 33 siswa, dan pada siklus ke-III

mengalami peningkatan sebesar 13,34% menjadi 86,67% atau 39 siswa yang

telah tuntas mencapai IPK KPS. Pada aspek yang pertama yaitu keterampilan

melakukan observasi pada siklus ke-I memperoleh ketercapaian IPK KPS

sebesar 28,89%, pada siklus ke-II mengalami peningkatan sebesar 57,78%

(14)

99

sebesar 35,55% dari 86,67% menjadi 93,33%. Pada aspek kedua yaitu

keterampilan mengajukan hipotesis pada siklus ke-I memperoleh ketercapaian

IPK KPS sebesar 60%, sesuai dengn hasil refleksi dan rekomendasi perbaikan

pada siklus ke-I maka pada siklus ke-II mengalami peningkatan sebesar

24,45% dari 60% menjadi 84,45%, dan pada siklus ke-III tidak mengalami

peningkatan atau penurunan masih dalam persentase yang sama yakni sebesar

84,45%. Pada aspek ketiga yaitu keterampilan melakukan investigasi pada

siklus ke-I memperoleh ketercapaian IPK KPS yang sangat baik dibandingkan

dengan aspek keterampilan yang lainnya yakni sebesar 88,89%, namun pada

siklus ke-II mengalami penurunan sebesar 4,44% dari 88,89% menjadi

84,45%, setelah hasil refleksi dan rekomendasi perbaikan pada siklus ke-I

dilaksanakan maka pada siklus ke-III mengalami peningkatan kembali

sebesar 15,55% dari 84,45% menjadi 100%. Dan pada aspek yang ke empat

yaitu keterampilan menarik kesimpulan pada siklus ke-I memperoleh

ketercapaian IPK KPS sebesar 55,56%, pada siklus ke-II mengalami

peningkatan sebesar 17,77% dari 55,56% menjadi 73,33%, dan pada siklus

ke-III mengalami peningkatan sebesar 20% dari 73,33% menjadi 93,33%.

B. Rekomendasi

Berdasarkan pada penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan, maka

peneliti menyarankan beberapa hal, diantaranya:

1. Untuk guru, berdasarkan hasil penelitian ini penerapan model pembelajaran

inquiry terbimbing dapat dijadikan alternatif model pembelajaran yang

digunakan pada pembelajaran IPA di SD untuk menciptakan suasana kelas

yang aktif dan menyenangkan guru diharapkan lebih kreatif menyusun

skenario dalam pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran inquiry

terbimbing. Karena dalam pembelajaran IPA diharuskan melakukan

percobaan untuk menemukan suatu konsep sendiri.

2. Untuk sekolah, dengan penelitian ini diharapkan menjadi alternatif

pengembangan kurikulum sehingga model pembelajaran inquiry terbimbing

(15)

100

Dalam hal ini pula, diharapkan sekolah berperan dengan pengadaan alat

peraga untuk mendukung proses pembelajaran.

3. Untuk peneliti selanjutnya, model pembelajaran inquiry terbimbing dapat

diterapkan dalam penelitian yang lainnya untuk meningkatkan keterampilan

proses sains siswa. Dan juga peneliti selanjutnya dapat mencari alternatif

model, pendekatan maupun metode untuk meningkatkan keterampilan proses

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Muhammad Lalu. (1991). Proses Belajar Mengajar CBSA. Surabaya: Usaha Nasional.

Azmiyawati, Choiril. (2008). IPA 5 Salingtemas untuk Kelas V SD/MI. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Barokah, Ai Riska. (2014). Penerapan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Dasar Siswa pada Pembelajaran IPA di Kelas IV Sekolah Dasar. Skripsi Program Studi PGSD: Tidak diterbitkan.

Chiappetta, Eugene L dan Thomas R. Koballa. (2010). Science Instruction in The Middle and Secondary Schools: Developing Fudamental Knowledge and Skill Seventh Edition. Allyn & Bacon.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran IPA. Jakarta: Puskur Balitban.

Dewi, Shinta. (2008). Keterampilan Proses Sains. Bandung: Tinta Emas Publishing.

Jufri, W. (2013). Belajar dan Pembelajaran Sains. Jakarta: Pusta Reka Cipta.

Kusnandar. (2008). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Rajawali Press.

Kuswantini, Heni. (2011). Upaya Meningkatkan Penguasaan Bilangan di Kelas I SD Melalui Pembelajaran Inquiry. Skripsi Program Studi PGSD: Tidak diterbitkan.

Mulyasa, E. (2008). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. (2009). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muslich, Masnur. (2008). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Rositawaty, S. (2008). Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam untuk Kelas V SD/MI. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.

(17)

102

Samatowa, Usman. (2010). Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Indeks

Sani, Ridwan A. (2014). Pembejaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara.

Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Perdana Media Grup.

Semiawan, Conny, dkk. (1989). Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Gramedia.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Syah. (2013). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syuri, Ita. (2011). Next Step IPA Aktif 5 untuk Sekolah Dasar Kelas V. Jakarta: Erlangga.

Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan.

Trianto. (2011). Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam KTSP. Jakarta: Bumi Aksara

Trianto. (2012). Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) Teori & Praktik. Jakarta: Prestasi Pustaka

Undang-undang RI Pasal 37 No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: BSNP

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar merkuri (Hg) dalam urin pada pekerja tambang emas di Desa Panton Luas Kecamatan Sawang Kabupaten

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi sosial tentang pemena pada Masyarakat Desa Gunung adalah bahwa pemena merupakan Agama Suku Karo, pemena

tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dengan Hak pensiun.

PELAPORAN TETAP MUTASI PROMOSI PENSIUN MENINGGAL JABATAN SAAT INI. UNIT KERJA /

Penulisan Ilmiah ini berisikan sebuah program sederhana mengenai komputerisasi penjulan barang, yaitu dengan menggunakan penginputan barang dan proses transaksi penjualan, yang

Ada 4 Komisi yang ada pada DPRD Kabupaten Simalungun dan anggota. DPRD Kabupaten Simalungun sendiri terdiri atas

telah dibuat sebelumnya. Pelaksanaan tindakan terdiri dari proses atau.. kegiatan belajar mengajar yang disesuaikan dengan langkah-langkah. pembelajaran model

peserta didik pada soal cerita matematika dengan menggunakan model Problem.. Based Learning (PBL) yang telah dilaksanakan di salah satu SDN di kota