• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN PENGAWAS SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SUPERVISI AKADEMIK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM PELATIHAN PENGAWAS SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SUPERVISI AKADEMIK."

Copied!
274
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM

PELATIHAN PENGAWAS SEKOLAH

UNTUK MENINGKATKAN

KOMPETENSI SUPERVISI AKADEMIK

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pengembangan Kurikulum

Promovendus

DARWIS 0800832

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

2014

Proses Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas

Sekolah

untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik

Oleh

Darwis

S.Pd. UPI Bandung, 1994

M.Pd. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung, 2003

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Ilmu Pendidikan (Dr.) Program Studi Pengembangan Kurikulum

© Darwis 2014

Universitas Pendidikan Indonesia Januari 2014

(3)
(4)
(5)

Disetujui untuk ujian Tahap II

Promotor Merangkap Ketua:

Prof. Dr. Hj. Mulyani Sumantri, M.Sc.

Kopromotor Merangkap Sekretaris:

Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd.

Dr. H. Dinn Wahyudin, MA.

Mengetahui

(6)
(7)

DAFTAR ISI F. Struktur Organisasi Disertasi……...………...

BAB II KAJIAN PUSTAKA ..………....……...………...

A. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas Sekolah ... 1. Pengertian Kurikulum Pelatihan ... 2. Pengembangan Kurikulum….………...… 3. Aspek-Aspek Pelatihan Pengawas Sekolah ………...……... 4. Pengawas Sekolah dan Tugas Pokoknya ...….. B. Kompetensi Supervisi Akademik ...… 1. Pengertian Kompetensi ... 2. Supervisi Akademi……….………... a. Pengertian Supervisi Akademik .….……… b. Tujuan Supervisi Akademik ....…….………... c. Fungsi Supervisi Akademik ………..………...… d. Prinsip Supervisi Akademik ………..……….. e. Pendekatan Supervisi Akademik …….……… f. Model Supervisi Akademik ………...………... 3. Kompetensi Supervisi Akademik Pengawas Sekolah... C. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas untuk

(8)

A. Desain Penelitian ...………...…... F. Prosedur dan Teknik Analisis Data Penelitian ... 1. Prosedur Analisis Data Penelitian ... a. Reduksi Data ... b. Display Data ... c. Verifikasi dan Pengambilan Kesimpulan... 2. Teknik Analisis Data Penelitian ... G. Keabsahan Data Hasil Penelitian ... 1. Triangulasi... 2. Member check ... 3. Diskusi terfokus... 4. Deskripsi hasil penelitian yang detail dan padat ...

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...…...……... A. Hasil Penelitian...

1. Proses Training Need Assessment... 2. Proses Perumusan Tujuan Kurikulum Pelatihan ... 3. Proses Pengembangan Materi Kurikulum Pelatihan ... 4. Proses Implementasi Kurikulum Pelatihan ... 5. Proses Evaluasi Kurikulum Pelatihan ... 6. Kurikulum Pelatihan Supervisi Akademik ... B. Pembahasan Hasil Penelitian ...

1. Proses Training Need Assessment... 2. Proses Perumusan Tujuan Kurikulum Pelatihan ... 3. Proses Pengembangan Materi Kurikulum Pelatihan ... 4. Proses Implementasi Kurikulum Pelatihan ... 5. Proses Evaluasi Kurikulum Pelatihan ...

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DALIL DAN REKOMENDASI ...

(9)

DAFTAR PUSTAKA ... DAFTAR LAMPIRAN ...

(10)

APSI : Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia

BPSDMPK&PMP : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan

Dirjen PMPTK : Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Ditendik : Direktorat Tenaga Kependidikan

IK : Indikator Kajian

KKPS : Kelompok Kerja Pengawas Sekolah LPMP : Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan MKPS : Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah

P : Pertanyaan (unit-unit pertanyaan dari kisi-kisi penelitian) PPPPTK : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan

Tenaga Kependidikan

Pusbangtendik : Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan

R : Respon (resume respon sumber data atau Informan/fieldnote)

(11)

DAFTAR TABEL

hal 3.1 Unit Kajian Penelitian ... 4.1 Data Survey Kebutuhan Materi Pelatihan Penguatan Pengawas ... 4.2 Indikator Keberhasilan Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah ... 4.3 Materi Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah ... 4.4 Rencana Pengembangan Materi Pelatihan Pengawas Sekolah ... 4.5 Jenis Tagihan Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah... 4.6 Kisi-Kisi Penilaian Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah ...

100 120 126 129 130 133 137

(12)

DAFTAR GAMBAR

hal 1.1 Diagram Skor Rata-rata Kompetensi Pengawas ... 1.2 Korelasi Kompetensi Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah dan Guru... 1.3 Korelasi Kompetensi dan Kinerja... 2.1 Model Dasar Pendekatan Sistematik terhadap Pelatihan ... 2.2 Model tahapan sistematik pengelolaan Pelatihan ... 2.3 Proses Pengembangan Kurikulum... 2.4 Kerangka Pikir Kajian Penelitian ... 3.1 Langkah-langkah Kegiatan Penelitian ... 3.2 Proses Penelitian... 4.1 Diagram Data hasil TNA Pelatihan Pengawas Sekolah ... 4.2 Diagram Peningkatan Pembelajaran... 4.3 Diagram Peningkatan Supervisi Pembelajaran...

4 10 13 22 23 28 90 95 98 119 142 142

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

hal 1. Surat Keterangan Melakukan Penelitian ... 2. Kisi-Kisi Unit Kajian Penelitian ... 3. Resume Fieldnote Wawancara 01 ... 4. Resume Fieldnote Wawancara 02 ... 5. Resume Fieldnote Wawancara 03 ... 6. Resume Fieldnote Wawancara 04... 7. Resume Fieldnote Wawancara Gabungan... 8. Fieldnote Hasil Studi Dokumentasi ... 9. Rekomendasi Praktis Proses Pengembangan Kurikulum untuk

Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik ... 214 215 218 224 231 238 241 249

(14)

ABSTRAK

Darwis, (2013). 0800832. “Proses Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas Sekolah untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik”. Penelitian ini didasari oleh masih lemahnya kompetensi supervisi akademik pengawas sekolah yang sangat dibutuhkan dalam melaksanakan tugas pokok meningkatkan kualitas proses pembelajaran guru sekolah binaannya. Penelitian dilakukan terhadap tim pengembang kurikulum pelatihan pengawas sekolah di lingkungan Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan menggunakan desain penelitian mix method, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah dengan fokus pada proses (1) TNA, (2) perumusan tujuan, (3) pengembangan materi, (4) strategi implementasi, dan (5) evaluasinya dengan harapan dapat menemukan proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah yang akurat dan komprehensif untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik. Data diperoleh melalui interview dan observasi terhadap penentu kebijakan dan pengembang kurikulum, dan analisa dokumen kurikulum pelatihan pengawas sekolah serta meminta pendapat ahli pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah dan peserta pelatihan pengawas sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik meliputi lima tahapan yang dilakukan secara sistematis, sinergis dan komprehensif diawali dengan (1) proses TNA yang akurat dan komprehensif untuk menggambarkan profile kebutuhan yang sesungguhnya, (2) merumuskan tujuan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistik, dan jelas batasan waktunya serta berbasis hasil TNA, (3) mengembangkan materi esensial, menyusun struktur kurikulum, mengembangkan bahan ajar dan lembar kerja yang aplikatif, operasional, terorganisasi dan sistematis untuk memudahkan pencapaian tujuan, (4) mengembangkan metode implementasi pelatihan bervariasi, efektif, fleksibel, berpusat pada peserta untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan supervisi akademik, dan (5) menggunakan teknik dan bentuk evaluasi yang otentik dan bervariasi sesuai dengan tujuan dan tahapan aktivitas pelatihan untuk menilai proses dan produk, serta memudahkan tindak lanjut pelatihan. Rekomendasi hasil penelitian ini ditujukkan untuk pengembang kurikulum dan lembaga penyelenggara pelatihan pengawas sekolah untuk mengoptimalkan proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah yang meliputi analisa kebutuhan, perumusan tujuan, pengembangan materi, implementasi, serta evaluasinya, khususnya di lingkungan Pusbangtendik, seperti LPMP dan P4TK serta lembaga penyelenggara pelatihan pengawas sekolah di lingkungan Disdik Provinsi dan Kabupaten/Kota, pengawas sekolah dan organisasinya, serta instansi terkait lainnya, serta bagi peneliti lainnya sebagai bahan informasi untuk kegiatan penelitian relevan selanjutnya.

(15)

supervisi akademik.

ABSTRACT

Darwis, (2013). 0800832. “Curriculum Development Process of School Supervisor Training for Improving Academic Supervision Competence.” This research is based on the weakness of school supervisor academic supervision competence that required in performing their main task to develop the quality of the learning process of teachers in their target schools. This research conducted to the team of curriculum developer on school supervisor training in the Personnel Development Center, the Board of Human Resource Development of Education and Culture and Quality improve the competence of supervisor academic supervision. Data were obtained through interviews and observation to policy makers, curriculum developers, and the participant of school supervisor training, and analysis the document school supervisor curriculum training. The results showed that the process of curriculum development of school supervisor training to improve their academic supervision competence is carried out in systematic, synergic and comprehensive steps that begins with (1) conducting accurate and comprehensive TNA process that relevant to the real needs, (2) formulating specific, measurable, achievable, realistic, and time bound objectives to make clear direction and limitize the achievement of objectives, (3) developing essential materials and operational worksheets that organized in a logical and systematic way to accelerate the achievement of objectives, (4) developing varies method of implementation based training activities to enhance participants knowledge, attitudes, and skills of the participants, and (5) using the techniques and the forms of authentic evaluation in accordance with the objectives and stages of training activities in order to be able to assess the processes and products of training, as well as facilitate the follow up the school supervisor curriculum development training. Recommendations of this study results is addreesed for curriculum developers and institutions of school supervisor training providers to optimize the process of developing the curriculum of the school supervisor training covering needs analysis, materials development, implementation, and evaluation, particularly in Pusbangtendik, such as P4TK and LPMP, and school supevisor training providers in the Department of Education provincial and district/city, school supervisors and their organizations, other relevant agencies, as well as for other researchers as information for further relevant research activities.

(16)
(17)

Darwis, 2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia. Oleh karena itu, kemajuan suatu bangsa dalam berbagai bidang dapat diukur dari kemajuan kualitas pendidikannya. Optimalisasi peran pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia sudah dilakukan, namun fakta menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya pencapaian standar nasional pendidikan.

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, melalui standarisasi pendidikan nasional, pengembangan kurikulum nasional dan lokal, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan mutu manajemen sekolah peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan lainnya melalui latihan dan pengembangan keprofesian lainnya. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Keberhasilan pendidikan pada satuan mikro di sekolah, seolah bertumpu pada tanggung jawab guru sebagai pengelola proses pembelajaran, padahal selain guru sebagai tenaga pendidik, terdapat pula tenaga pendidikan lainnya yakni kepala sekolah yang bertugas sebagai pimpinan dan manajer utama di lingkungan sekolah serta komponen pengawas sekolah yang bertugas melakukan supervisi baik aspek akademik ataupun aspek manajerial yang secara keseluruhan bertujuan untuk mengawal dan meningkatkan mutu capaian Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah/Madrasah, dan Keputusan Menteri

(18)

Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya, dinyatakan bahwa:

Pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan. Tugas pengawasan akademik dan manajerial tersebut merupakan tugas pokok yang meliputi penyusunan program pengawasan, pelaksanaan pembinaan, pemantauan pelaksanaan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan, penilaian, pembimbingan dan pelatihan professional Guru, evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan pelaksanaan tugas kepengawasan di daerah khusus.

Tugas pengawas sekolah dalam melaksanakan pengawasan akademik dan pengawasan manajerial pada sejumlah satuan pendidikan yang ditetapkan ini meliputi kegiatan menyusun program pengawasan satuan pendidikan; melaksanakan pembinaan; pemantauan pelaksanaan delapan standar nasional pendidikan; penilaian, pembimbingan dan pelatihan profesional guru, dan penyusunan laporan pengawasan sekolah.

(19)

“Almost all writers agree that the primary focus in educational supervision is and should be the improvement of teaching and learning. The term instructional supervision is widely used in the literature of embody all effort to those ends. Some writers use the term instructional supervision synonymously with general supervision.(Association for Supervision and Curriculum Development-ASCD, 1987:129)

Pengawas sekolah juga merupakan salah satu komponen dalam peningkatan mutu pendidikan karena kegiatan pengawasan yang dilakukan menyentuh upaya-upaya perbaikan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan perbaikan manajemen sekolah yang dilakukan oleh kepala sekolah. Upaya perbaikan proses pembelajaran ini berdampak signifikan pada peningkatan hasil pembelajaran jika pengawas sekolah melakukan dengan supervisi akademik yang efektif. Too, Kimutai, dan Zachariah (2012:306) menyatakan bahwa ”... effective supervision of teachers by head teachers enhances teaching and learning which in the long run improves students’ performance in national examinations.”

Kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pengawasan sekolah sangat menentukan dalam meningkatkan mutu pelaksanaan pendidikan di sekolah. Kinerja pengawasasan ini tentunya harus dibangun melalui ketepatan program-program yang dikembangkan oleh pengawas sekolah melalui proses need assessment dan hasil analisis pengawasan sebelumnya, perencanaan program,

implementasi program serta prosedur evaluasi yang akurat. Kinerja pengawas juga perlu didukung dengan oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai agar kegiatan supervisi di sekolah dapat diimplementasikan dengan baik.

Kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugasnya dipengaruhi oleh kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi ini bisa dianggap sebagai bentuk-bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlihatkan oleh pengawas sekolah ketika melaksanakan tugasnya. Seorang pengawas sekolah yang memiliki kompetensi yang baik dapat memberi bimbingan, motivasi, dan arahan kepada guru dan kepala sekolah dalam meningkatkan profesionalismenya.

(20)

enam dimensi kompetensi yaitu: (1) kompetensi kepribadian; (2) kompetensi supervisi akademik; (3) kompetensi supervisi manajerial; (4) kompetensi evaluasi pendidikan; (5) kompetensi penelitian pengembangan; dan (6) kompetensi sosial. Berdasarkan hasil uji kompetensi terhadap pengawas sekolah yang dilakukan Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas (Sekarang Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud), dari keenam kompetensi tersebut hanya dua yang memiliki nilai di atas angka 60 yaitu kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial, sedangkan kompetensi yang paling menunjang untuk melaksanakan tugas pokok atau tugas utama pengawas masih di bawah angka 60. Bahkan kompentensi utama yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum dan peningkatan kualitas pendidikan, yaitu kompetensi supervisi akademik memiliki nilai yang paling rendah yaitu 52,8. Seperti tergambar dalam diagram berikut:

Diagram 1.1 Skor Rata-Rata Kompetensi Pengawas

Sumber: Direktorat Tenaga Kependidikan, Depdiknas (Ditendik, 2010a:5)

Hasil uji kompetensi tersebut mengisyaratkan perlunya pendidikan dan pelatihan yang relevan untuk meningkatkan semua kompetensi yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah, khususnya kompetensi supervisi akademik. Karena kompetensi supervisi akademik yang dikuasi oleh pengawas sekolah memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan efektifitas dan kualitas proses pembelajaran

(21)

yang dilakukan oleh guru yang berujung pada peningkatan kualitas hasil pendidikan. Selanjutnya, berkaitan dengan hasil uji kompetensi tersebut, kelemahan pengawas sekolah dalam kompetensi supervisi akademik disebabkan oleh beberapa faktor baik kondisi maupun kendala-kendala serta masalah-masalah berkaitan dengan pengawas sekolah yang ada di Pusbangtendik, Badan PSDMPK dan PMP, Kemdikbud, di antaranya:

(1) masih banyaknya pengawas yang belum memenuhi kualifikasi persyaratan pendidikan minimal, khususnya pengawas sekolah dasar; (2) sistem rekruitmen belum berdasarkan kompetensi; (3) jabatan dan karir pengawas belum dioptimalkan dan dihargai; (4) belum ada kegiatan pengembangan keprofesian yang berkelanjutan dan terprogram; (5) program, pelaksanaan dan evaluasi pengawasan belum terpola dan terprogram dengan baik; (6) laporan pengawasan belum dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan; (7) belum ada program induksi bagi pengawas sekolah pemula; dan (8) fasilitas dan daya dukung kerja pengawas sekolah belum memadai. (Grand Design Pengembangan Pengawas Sekolah Indonesia, Pusbantendik, 2011:2)

Selain hasil uji kompetensi dan masalah pengawas yang terdapat dalam dokumen Pusbangtendik di atas, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak yang dirasakan oleh guru ketika pengawas sekolah melakukan supervisi akademik masih rendah dan belum bermakna sebagaimana hasil penelitian Sudin (2008:3) membuktikan bahwa implementasi supervisi akademik terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh pengawas sekolah dampaknya masih belum memuaskan. Titik persoalannya adalah belum optimalnya pelaksanaan supervisi akademik terhadap proses pembelajaran.

(22)

pemberdayaan pengawas sekolah untuk meningkatkan atau dalam rangka penjaminan mutu pendidikan di sekolah, penelitian Darjat (2008:vi) membuktikan belum seluruh pengawas sekolah memiliki dan melaksanakan kompetensi seperti yang dipersyaratkan.

Dalam kaitan dengan kinerja pengawas sekolah, Arifiatun (2009:vii) menemukan bahwa kinerja supervisi yang dilakukan pengawas sekolah belum mempunyai hubungan signifikan terhadap kinerja profesional guru. Hal ini mengindikasikan bahwa bahwa kinerja pengawas sekolah dalam pelaksanaan supervisi akademik yang masih perlu ditingkatkan. Penyebab lain lemahnya kinerja pengawas adalah minimnya rasio jumlah pengawas dibanding dengan jumlah sekolah yang harus dibina berpengaruh pada rendahnya frekuensi pengawas sekolah melaksanakan tugas supervisi ke sekolah binaannya, apalagi jika daerah tersebut memiliki kendala geografis.

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa permasalahan pengawas sekolah bukan hanya berkaitan dengan lemahnya kompetensi yang harus dimiliki tetapi juga perlunya pengembangan dan pemberdayaan pengawas sekolah yang optimal dan profesional. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa upaya. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah yang mampu memenuhi kompetensi supervisi akademik pengawas sekolah.

Pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas sebagai supervisor akademik idealnya menjadi panutan dan teladan para guru, karena keberadaan pengawas sekolah di tengah-tengah mereka menjadi inspirator bagi guru untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan tugas pokoknya. Realitanya, masih banyak pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas ini belum optimal dan belum berdampak pada peningkatan kualitas proses pembelajaran.

(23)

utamanya bertumpu pada dua hal yaitu pertama beban kerja pengawas terlalu berat, kedua latar belakang pendidikan mereka kurang sesuai dengan bidang studi yang disupervisi. Akibatnya, di lapangan beberapa guru merasakan kehadiran pengawas di tengah-tengah mereka tidak dapat membantu memperbaiki dan mengatasi kesulitan guru dalam melaksanakan tugas pengajaran yang dihadapinya. Bahkan dalam praktiknya pengawas lebih sering menekankan pada tanggung jawab administratif guru. Artinya dalam melaksanakan supervisi akademik pengawas hanya memeriksa kelengkapan administrasi pengajaran guru. Kondisi ini tentunya memerlukan kepedulian semua pihak, khususnya optimalisasi peran tugas Pusbangtendik yang memiliki kewenangan dalam pembina pengawas sekolah.

Pelaksanaan supervisi akademik semestinya juga dilakukan berdasarkan data, fakta dan informasi yang objektif dan ditunjang dengan prinsip kolaborasi dan hubungan kesejawatan antara pengawas sekolah, guru dan kepala sekolah dengan menjunjung tinggi harga diri dan martabat masing-masing. Karena suasana dan berhubungan yang dibangun secara akrab dan hangat atas dasar saling menghargai dan menghormati dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan supervisi akademik sehingga dapat mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Hal ini senada dengan hasil penelitian Awuah (2011:202) tentang bentuk supervisi pembelajaran yang diminati oleh guru dan kepala sekolah, yaitu:

“...nature of supervision of instruction desired by both teachers and heads can be characterised as considerably more contemporary than currently experienced (administrative and managerial roles) than aspects of instructional supervision that related to monitoring teaching activities and ensuring maximum use of instructional time.”

Hasil penelitian ini mengingatkan bahwa bentuk supervisi yang diminati oleh guru dan kepala sekolah adalah supervisi kontemporer yang lebih menekankan pada pada aspek proses pembelajaran, memonitor bagaimana aktivitas pengajaran, dan meyakinkan bagaimana menggunakan waktu pembelajaran secara maksimum.

(24)

Kemdikbud menunjukkan bahwa Pusbangtendik merupakan bagian dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis, koordinasi, dan pengembangan tenaga kependidikan dan pegawai di lingkungan Kementerian. Dalam konteks melaksanakan tugas berkaitan dengan pengawas sekolah sebagai salah satu tenaga kependidikan, Pusbangtendik menyelenggarakan fungsi, diantaranya:

(a)penyusunan kebijakan teknis di bidang pengembangan tenaga kependidikan pengawas sekolah; (b) penyusunan program pengembangan tenaga kependidikan pengawas sekolah; (c) penyusunan bahan pelaksanaan pengembangan tenaga kependidikan; (d) fasilitasi pelaksanaan pengembangan tenaga kependidikan pengawas sekolah; (e) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pengembangan tenaga kependidikan pengawas sekolah.

Dengan demikian program pelatihan pengawas sekolah merupakan salah satu kewenangan dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh Pusbangtendik. Kewenangan ini merupakan tugas dari Bidang Pengembangan Tenaga Teknis dan Fungsional Non-Pendidik, karena menurut tugas pokok dan fungsinya Bidang tersebut mempunyai tugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan program pengembangan tenaga teknis dan fungsional nonpendidik serta bahan koordinasi, fasilitasi, dan evaluasi pelaksanaan pengembangan tenaga teknis dan fungsional nonpendidik. Bidang ini secara rinci menyelenggarakan fungsi: (a) penyusunan bahan kebijakan teknis; (b) penyusunan program; (c) penyusunan bahan koordinasi dan pelaksanaan; (d) fasilitasi pelaksanaan; (e) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program; dan (e) penyusunan laporan pelaksanaan program.

Berdasarkan tugas, kewenangan dan tanggung jawab tersebut, permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pengawas sekolah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Pusbangtendik beserta bidang dan seksi yang relevan lainnya untuk memcahkan solusi seperti masih lemahnya kompetensi supervisi akademik yang dimiliki oleh pengawas sekolah.

(25)

mengoptimalkan dan meningkatkan kegiatan-kegiatan pelatihan pengawas sekolah dengan fokus pada tujuan, materi dan strategi yang belum banyak tersentuh sesuai kebutuhan pengawas sekolah, di antaranya adalah (1) pengembangan silabus dan kurikulum pelatihan pengawas sekolah; (2) pengembangan bahan ajar peningkatan kompetensi supervisi akademik; (3) pengembangan tes kompetensi dan pemetaan kompetensi pengawas; (4) memperbanyak pelatihan untuk pelatih (training of trainer) untuk meningkatkan kualitas pelatihan pengawas; (5) pengembangan sistem

penilaian kinerja pengawas sekolah dan pemetaannya; dan (6) pengembangan kebijakan pengembangan keprofesian berkelanjutan pengawas sekolah; serta (7) program induksi bagi pengawas sekolah pemula. (Grand Desain Pengembangan Pengawas Sekolah, Pusbantendik 2011:5).

Perubahan paradigma dalam pengawasan sekolah patut mendapat perhatian, karena banyak pengawas yang belum mendapatkan kesempatan untuk menerima wawasan dan keterampilan baru dalam praktek pengawasan sekolah melalui pendidikan dan pelatihan kepengawasan seperti pelatihan yang dilaksanakan oleh Pusbantendik. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga tersebut dibanding dengan jumlah pengawas sekolah yang ada.

Berkaitan dengan tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, pemerintah mengluarkan kebijakan melalui PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang SNP, dan disusul dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Kebijakan ini berimplikasi pada semakin menantangnya peran semua pihak yang terlibat dalam praktek pendidikan baik pengawas sekolah, kepala sekolah dan guru serta tenaga kependidikan lainnya dalam pengembangan kurikulum. Kepala sekolah dan guru tidak hanya sebagai pelaksana kurikulum melainkan juga menjadi pengembang kurikulum pada tingkat satuan pendidikan masing-masing yang tentunnya di bawah pembinaan, pemantauan dan penilaian pengawas sekolah.

(26)

Kompetensi Pengawas, Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah dan Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam meningkatkan kinerja pengawas sekolah, kepala sekolah dan guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ketiga peraturan ini berisi dimensi-dimensi kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh pengawas, kepala sekolah dan guru untuk melakukan tugas pokok masing-masing.

Kompetensi yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah, kepala sekolah dan guru di atas saling berkorelasi antara satu dan lainnya baik dilihat dari substansi maupun hierarki. Secara substansi masing-masing kompetensi pengawas sekolah, kepala sekolah dan guru memiliki esensi yang sama, sedangkan secara hierarki pengawas sekolah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kepala sekolah, demikian juga kedudukan kepala sekolah lebih tinggi dari guru. Dengan demikian pengawas sekolah memiliki peran untuk meningkatkan kompetensi kepala sekolah dan kepala sekolah memiliki peran untuk meningkatkan kompetensi guru, dan akhirnya guru memiliki peran untuk meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Korelasi-korelasi tersebut dapat digambarkan dalam gambar sebagai berikut:

Gambar 1.1 Korelasi Kompetensi Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa

(27)

pengawas sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Tentunya jika masih terdapat masalah yang berkaitan dengan kompetensi pengawas sekolah akan memiliki dampak kompetensi kepala sekolah, guru, dan siswa. Hal ini juga akan berdampak pada upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Berkaitan dengan lemahnya kompetensi yang dimiliki oleh pengawas sekolah serta korelasi kompetensi dengan tenaga pendidik dan kependidikan lainnya diperlukan adanya upaya peningkatan kompetensi pengawas sekolah di antaranya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan prajabatan (preservice training) maupun pendidikan dalam jabatan (inservice training). Oleh karena itu, sesuai dengan tugas pokoknya, Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan (Pusbangtendik) memiliki tugas menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi pengawas sekolah dan tenaga kependidikan lainnya harus mengoptimalkan peran sentral tersebut untuk menghasilkan pengawas sekolah yang professional yang ditandai dengan terpenuhinya kompetensi yang dibutuhkan oleh pengawas tersebut dalam melakukan tugas pokoknya.

Kaitan dengan analisis kebutuhan yang menjadi dasar penyusunan kurikulum pendidikan dan pelatihan, khususnya dalam menentukan tujuan pelatihan, proses menentukan kurikulum pelatihan tersebut paling tidak mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan dasar belajar (basic learning needs) peserta pendidikan dan pelatihan. Kebutuhan dasar tersebut menurut UNESCO tahun 1996 meliputi esential learning tools yang lengkapnya berbunyi

These needs comprise both essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values, and attitudes) required by human beings to be able to survive, to develop their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in development, to improve the quality of their lives, to make informed decisions and to continue learning” (UNESCO, 1996:1).

Hal tersebut di atas sesuai dengan pernyataan pentingnya basic learning needs yang telah menjadi isu utama dalam Konferensi Internasional tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) tahun 1990 di Thailand.

(28)

mendesain suatu kurikulum pelatihan harus mempertimbangkan kompetensi yang dibutuhkan oleh jabatan atau jenis profesi tertentu, seperti kompetensi yang dibutuhkan oleh jabatan fungsional pengawas sekolah, dengan harapan hasil pelatihan akan meningkatkan profesionalisme dan kinerja pengawas sekolah tersebut.

Dalam tataran implementasi, kurikulum pelatihan harus mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan proses metode dan pendekatan pembelajaran. Salah satunya adalah aspek karakteristik peserta pelatihan. Karakteristik peserta ini akan berimplikasi pada pemilihan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan.

Sehubungan dengan peserta pelatihan pengawas sekolah pada umumnya adalah orang dewasa, pengembangan pendekatan pembelajaran sebagai bentuk implementasi desain kurikulum pelatihan harus mengacu pada pendekatan pembelajaran andragogi. Dalam pandangan Sims & Sims seperti dikutip Chaves (2006:148) pendekatan andragogi (androgogical approaches) dalam pembelajaran

adalah “based on the learners’ needs and interests so as to create opportunities for the learners to analyze their experience and its application to their work and life”.

Selanjutnya Chaves (2006:148) menyatakan bahwa ada sembilan karakteristik yang menjadi pembeda pembelajaran orang dewasa (andragogy) yaitu:

“(1) peserta didik disebut partisipan atau pembelajar (learner), (2) cara belajar bersifat otonom dan mandiri, (3) tujuan pembelajaran bersifat fleksibel, (4) diasumsikan bahwa setiap peserta didik dapat berkontribusi sesuai dengan pengalaman yang dimilikinya, (5) mempergunakan metode pembelajaran aktif, (6) peserta didik memberikan pengaruh terhadap kecepatan proses pembelajaran dalam konteks a leaner-centered approach, (7) keterlibatan peserta didik menjadi kunci utama keberhasilan, (8) pembelajaran berpusat pada problem kehidupan nyata, (9) peserta didik dipandang sebagai sumber yang utama pengembangan ide dan contoh-contoh.” (Chaves, 2006:148).

(29)

Selain itu tujuan dan konten atau materi kurikulum pelatihan ini tidak hanya mencakup aspek materi pelatihan, tetapi juga mencakup sistem penyampaian materi pelatihan yang harus diprogramkan dan dilaksanakan. Sehingga materi dan sistem pelatihan ini benar-benar bermakna untuk penyegaran, penguatan dan peningkatan bahkan pembentukan kompetensi baru yang bermanfaat bagi pengawas sekolah ketika melaksanakan tugas pokoknya.

Sesuai dengan konsep Competency Approach to Human Resource Management atau pengelolaan sumber daya manusia dengan pendekatan

kompetensi, kompetensi yang harus dikembangkan dalam rangka meningkatkan kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya meliputi aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap, sebagaimana dikemukakan dalam gambar berikut:

Gambar 1.2 Korelasi Kompetensi dan Kinerja

Sumber: www.http:xa.yimg.com

Dengan demikian tingkat kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokok supervisi akademik, sangat tergantung pada pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki pengawas sekolah tersebut.

(30)

komprehensif dengan mengacu pada tuntutan dan kebutuhan peningkatan kompetensi pengawas sekolah sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada. Berdasarkan Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Penguatan Kemampuan Pengawas Sekolah tahun 2010 dinyatakan bahwa:

(1)Fokus tujuan pelatihan penguatan pengawas sekolah belum memenuhi semua kompetensi yang dibutuhkan oleh pengawas sekolah, khususnya aspek kompetensi supervisi akademik secara utuh sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan melalui Permendiknas No. 12 Tahun 2007; dan (2) alokasi waktu yang masih kurang untuk peningkatan supervisi akademik dibanding dengan materi pelatihan lainnya. (Ditendik, 2010:9)

Hal ini menunjukkan perlu adanya kajian ulang terhadap kurikulum pelatihan penguatan pengawas yang ada di Pusbangtendik, dengan harapan dapat dihasilkan suatu tahapan atau proses pengembangan kurikulum dan dokumen kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah yang mampu dengan secara efektif dan efisien dapat diserap dengan mudah oleh seluruh peserta pelatihan penguatan pengawas sekolah secara langsung, dan dapat memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh pengawas sekolah.

Tahapan tersebut tentunya harus mengacu pada model pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli. Salah satu model yang relevan dengan pendapat para ahli pelatihan adalah perencanaan kurikulum yang diajukan oleh Taba (1962:12) dalam bukunya Curriculum development: theory and practice yang terdiri dari tujuh langkah linier dalam perencanaan kurikulum, yaitu:

“...(1) diagnosis of the needs, (2) formulation of objectives, (3) selection of content, (4) organization of content, (5) selection of learning experiences, (6) organization of learning experiences, dan (7) determination of what to evaluate and of ways and means of evaluating.”

Dengan demikian, kurikulum pelatihan perlu dikembangkan berdasarkan tahapan yang dimulai dari diagnosis atau analisis kebutuhan, merumuskan tujuan, seleksi materi, organisasi materi, seleksi pengalaman belajar, organisasi pengalaman belajar, dan menentukan apa yang dievaluasi dan cara serta alat evaluasinya.

(31)

mampu memenuhi kompetensi supervisi akademik yang dibutuhkan oleh pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokoknya, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: ”Proses Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas Sekolah untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Akademik” yang dilaksanakan di Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud.

B. Fokus Kajian Penelitian

Sebagai mana dijelaskan pada bagian latar belakang di atas, penelitian ini berfokus pada kajian proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah di Pusbangtendik, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud. Fokus kajian penelitian ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian sebelumnya dan beberapa hasil identifikasi masalah yang bersumber dari laporan dan beberapa panduan pelatihan pengawas sekolah sebelumnya yang dilakukan lembaga di lingkungan Kemdikbud dan lembaga terkait lainnya seperti PPPPTK dan LPMP, misalnya Panduan Peningkatan Kompetensi Pengawas Sekolah dalam Pembimbingan Guru, Ditendik, Dirjen PMPTK, Depdiknas tahun 2009, Panduan Diklat Pengawas Sekolah, Dirjen PMPTK, LPMP Jabar tahun 2010, Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Penguatan Kemampuan Pengawas Sekolah tahun 2010, Panduan Fasilitasi Bimtek Pengawas Sekolah, Dirjendikdas, Kemdiknas tahun 2011 ditemukan bahwa:

1. Pelatihan pengawas sekolah belum memberikan dampak yang signifikan pada peningkatan kompetensi pengawas sekolah, khususnya supervisi akademik. 2. Desain kurikulum pelatihan pengawas sekolah belum merepresentasikan

kompetensi yang dibutuhkan pengawas sekolah dalam melakukan tugas pokok supervisi akademik yang spesifik.

(32)

pelatihan secara khusus.

4. Model dan strategi pembelajaran kegiatan pelatihan pengawas sekolah belum efektif dan efisien untuk menunjang pencapaian tujuan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi yang utuh karena cenderung lebih menekankan pada aspek pengetahuan melalui paparan.

5. Tujuan pelatihan pengawas sekolah belum memenuhi semua kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan stander kompetensi yang telah ditetapkan, khususnya kompetensi supervisi akademik.

6. Kegiatan pelatihan pengawas sekolah belum banyak diikuti dengan follow up dan feedback seperti prinsip In Service Learning 1 - On the Job Learning - In Service

Learning 2.

7. Evaluasi pelatihan belum dilakukan secara komprehensif pada kompetensi tertentu, khususnya supervisi akademik.

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas diperlukan proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah yang efektif, efisien, komprehensif, dan berkelanjutan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas pokok dan untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja dan produktifitas pengawas sekolah. Oleh karena itu dibutuhkan kajian khusus berkenaan dengan pokok permasalahan tersebut di atas, di antaranya sebagai berikut: 1. Untuk memenuhi kompetensi yang dibutuhkan pengawas sekolah dalam

melaksanakan tugas pokoknya, perlu kajian tentang proses Training Need Assessment (TNA) kurikulum pelatihan pengawas sekolah.

2. Untuk meningkatkan kebermaknaan dan pedoman arah pelatihan, perlu dikaji tentang rumusan tujuan kurikulum pelatihan pengawas sekolah, khusunya untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik.

3. Untuk kesesuaian pelaksanaan pelatihan dan kebutuhan pengawas sekolah dalam melaksanakan tugasnya, diperlukan kajian terhadap kecukupan dan pengembangan materi pelatihan kurikulum pelatihan pengawas sekolah.

(33)

tujuan kurikulum pelatihan yang digunakan, dibutuhkan kajian terhadap strategi implementasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah.

5. Untuk meningkatkan dampak dan relevansi hasil pelatihan pengawas, dibutuhkan analisis prosedur evaluasi dan indikator-indikator keberhasilan pelaksanaan pelatihan pengawas sekolah sesuai dengan kurikulum pelatihan yang digunakan.

Berdasarkan kelima kajian tersebut di atas, diharapkan penelitian ini menghasilkan suatu gambaran yang utuh tentang proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, khususnya untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik pengawas sekolah yang dilakukan oleh Pusbangtendik, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud.

Fokus kajian dalam proses pengembangan proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik ini dibatasi pada uraian dimensi kompetensi supervisi akademik yang harus dimiliki pengawas sekolah sebagaimana tercantum Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah dan Madrasah.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan sebagaimana dipaparkan di atas, permasalahan pokok penelitian ini, dirumuskan dengan pertanyaan berikut:

“Bagaimana proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik di Pusbangtendik, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud?”

Untuk lebih memudahkan proses kajian terhadap pertanyaan penelitian tersebut, rumusan masalah penelitian tersebut dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses Training Need Assessment (TNA) kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

(34)

pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

3. Bagaimanakah proses pengembangan materi pelatihan kurikulum pelatihan penguatan pengawas untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik? 4. Bagaimanakah proses implementasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas

sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

5. Bagaimanakah proses evaluasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik?

D. Tujuan penelitian

Beranjak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memperoleh gambaran tentang proses pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi supervisi akademik yang dilakukan di Pusbangtendik, Badan PSDMPK&PMP, Kemdikbud. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan fenomena tentang:

1. Proses Training Need Assessment (TNA) pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik.

2. Proses perumusan tujuan pelatihan pengembangan kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik.

3. Proses pengembangan materi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah; untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik.

4. Proses implementasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik;

5. Proses evaluasi kurikulum pelatihan penguatan pengawas sekolah untuk menungkatkan kompetensi supervisi akademik;

E. Manfaat Penelitian

(35)

signifikan dalam peningkatan standar kompetensi yang dibutuhkan pengawas sekolah, dalam melaksanakan tugas pokoknya, khususnya kompetensi supervisi akademik yang akan meningkatkan kinerja pengawas sekolah dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran guru. Oleh karena itu hasil temuan penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap aspek-aspek berikut:

1. Aspek pengembangan ilmu pengetahuan

Bagi aspek pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan bahan pemikiran tentang konsep dan teori pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah dalam meningkatkan kompetensi yang diperlukan dalam melakanakan tugas pokoknya yang dapat diaplikasikan dalam training need Assessment, perumusan tujuan, pengembangan materi, implementasi, serta evaluasi kurikulum pelatihan pengawas.

2. Aspek manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan praktis dalam menyusun panduan, mekanisme, prosedur pengembangan, implementasi dan evaluasi kurikulum pelatihan pengawas sekolah sekaligus dapat menjadi kebijakan bagi Badan PSDMPK&PMP dan lembaga di bawahnya seperti LPMP dan PPPPTK serta lembaga penyelenggara pendidikan pelatihan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kebupaten/Kota serta institusi terkait lainnya dalam proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokoknya yang terinci diawali proses analisis kebutuhan, perumusan tujuan, pemilihan materi, strategi implementasi, sampai dengan prosedur atau metode evaluasinya.

3. Aspek pengembangan penelitian

(36)

F. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini diuraikan dalam bentuk laporan penelitian dengan struktur organisasi komponen disertasi sebagai berikut:

1. BAB I : Pendahuluan 2. BAB II : Kajian Pustaka 3. BAB III : Prosedur Penelitian

4. BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan

(37)

Darwis, 2014

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi konsep, teori, hasil penelitian terdahulu, dan posisi teoritik atau kerangka pikir peneliti berkaitan dengan pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah untuk meningkatkan supervisi akademik yang meliputi dua cakupan pokok yaitu pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah dan kompetensi supervisi akademik yang masing-masing diuraikan dalam beberapa sub sebagai berikut:

A. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Pengawas Sekolah

1. Pengertian Kurikulum Pelatihan

Memahami pengertian kurikulum pelatihan tidak lepas dari makna dasar kurikulum dan pelatihan itu sendiri. Secara sempit kurikulum dapat diartikan sebagai curere (pelari) dan dapat pula diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh seorang pelari (Print,1993:111). Implikasi pengertian tersebut dalam dunia pelatihan dapat diartikan menjadi sejumlah mata tatar atau materi pelatihan yang harus ditempuh oleh seorang peserta pelatihan dari awal sampai akhir program pelatihan untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk pengakuan status misalnya melalui pemberian sertifikat. Dengan demikian pengertian ini memberikan indikasi bahwa setiap kurikulum pelatihan setidaknya memiliki dua komponen utama, yaitu (1) adanya struktur kurikulum yang harus ditempuh oleh peserta dan (2) adanya tujuan utama yaitu untuk mendapatkan pengakuan status pencapaian pelatihan itu sendiri.

Secara umum kegiatan pelatihan merupakan upaya pembelajaran yang diselenggarakan oleh organisasi baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat maupun perusahaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Pengertian ini didasarkan pada definisi yang dikemukakan oleh Friedman & Yarbrough (1985) dalam Sudjana (2006:132)

(38)

Darwis, 2014

Proses pengembangan kurikulum pelatihan pengawas sekolah untuk meningkatkan preferred state of affairs”.

Dilihat dari dampak dan manfaat pelatihan, definisi ini juga memberikan pemahaman bahwa sebuah pelatihan dianggap berhasil bila bisa memberi dampak perubahan bagi peserta pelatihan sesuai dengan tuntutan organisasi. Sudjana (2006:137) mengatakan bahwa pelatihan harus berdampak pada perubahan sumber daya manusia dan membawa realitas sumber daya manusia saat ini kepada sebuah realitas sumber daya manusia yang seharusnya diinginkan oleh organisasi. Ini artinya bahwa peran pelatih pada proses pelatihan adalah membantu membelajarkan peserta pelatihan agar dapat merubah apa yang biasanya ditampilkan pada saat ini menjadi perilaku yang seharusnya sesuai dengan harapan lembaga. Hal ini senada dengan bunyi Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 Sistem Pelatihan Kerja Nasional bahwa pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

Ivancevich (2008:45) mengemukakan bahwa “...pelatihan adalah sebuah

proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang atau sekelompok pegawai

dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi”. Pelatihan berkaitan dengan tugas

pokok jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, dengan tujuan untuk membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik agar berhasil dalam pekerjaannya. Sedangkan dilihat dari tahapannya, Mangkunegara (2005:9) menjelaskan bahwa tahapan-tahapan dalam pelatihan dan pengembangan meliputi:

“(1) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan/need assesment; (2) menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan; (3) menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya; (4) menetapkan metode pelatihan; (5) mengadakan percobaan (try out)

dan revisi; dan (6) mengimplementasikan dan mengevaluasi.”

(39)

pelatihan memfasilitasi pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui, sikap serta keterampilan sesuai dengan tuntutan pekerjaan mereka. Selain itu, Bisa juga untuk memfasilitasi secara individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya yang sesuai dengan kondisi apapun.

Buckley & Caple, (2004:5) mendefinisikan bahwa pelatihan (training) adalah sebagai:

“A planned and systematic effort to modify or develop knowledge/skill/attitude through learning experience, to achieve effective performance in an activity or range of activities. Its purpose, in the work situation, is to enable an individual to acquire abilities in order that he or she can perform adequately a given task or job.

(40)

Gambar 2.1 Model Dasar Pendekatan Sistematis pada Pelatihan Sumber: Buckley & Caple (2004:25)

Dari model dasar ini kemudian Buckley dan Caple mengidentifikasi 14 tahapan yang harus dilalui secara sistematis dalam pengelolaan pelatihan (training). Tahapan-tahapan tersebut adalah:

“(1) membangun rujukan program (establish terms of reference), (2) melakukan investigasi lanjut (further investigation), (3) analisis terhadap pengetahuan, ketarampilan dan sikap yang dibutuhkan (knowledge, skills and attitudes analysis), (4) analisis terhadap target peserta (analysis of the target population), (5) analisis kebutuhan materi pelatihan (training needs and content analysis), (6) mengembangkan kriteria pengukuran (develop criterion measures), (7) menyiapkan tujuan pelatihan (prepare training objectives), (8) memilih prinsip pembelajaran dan motivasi (consider principles of learning and motivation), (9) memilih metode training (consider and select training methods), (10) mendesain percontohan program pelatihan (design and pilot training, (11) melaksanakan program pelatihan (deliver the training),(12) melakukan validasi internal (internal validation), (13) dan (14) mengaplikasikan dan proses monitoring eksternal program pelatihan (application and external monitoring of training) (Buckley & Caple, 2004:27-33).

(41)

Model yang terdiri empat belas tahapan ini pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan proses pengembangan kurikulum yang memiliki empat tahapan inti, yaitu penentuan tujuan, isi, metodologi dan evaluasi. Dengan demikian model ini juga dapat disederhanakan menjadi empat tahapan pokok yang meliputi; persiapan, desain program, pelaksanaan program dan evaluasi program pelatihan.

Kaitan dengan pelatihan pengawas sekolah, pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme pengawas sekolah yang dapat dicirikan dengan meningkatnya kompetensi dan kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, khususnya dalam proses pembinaan, pemantauan dan penilaian kinerja pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Kinerja ini juga harus sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan. Misalnya bunyi Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah/Madrasah yang menyatakan bahwa kompetensi pengawas terdiri dari enam dimensi kompetensi yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi akademik, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian pengembangan, dan kompetensi sosial. Selanjutnya keenam kompetensi

(42)

tersebut diuraikan lagi menjadi tiga puluh enam sub dimensi yang merupakan langkah operasional yang harus dilakukan oleh seorang pengawas sekolah. Karenanya dalam proses pelatihan, diperlukan desain kurikulum yang memiliki akurasi dan relevansi yang mengacu pada standar kompetensi tersebut.

Pada dasarnya kurikulum pelatihan didesain seperti halnya kurikulum pada umumnya yang mencakup empat komponen utama sebagaimana yang dikemukakan oleh Tyler (1949:1), yaitu:

“(1)What educational purposes the schools seek to attain? (2) What educational experiences can be provided that is likely to attain these purposes? (3) How can these educational experiences be effectively organized? (4) How can we determine whether these purposes are being attained?”

Jawaban keempat pertanyaan mendasar tersebut selanjutnya lebih dikenal juga dengan istilah anatomi kurikulum, yaitu: (1) tujuan (aims, goals, objective); (2) isi materi (content); (3) kegiatan belajar (learning activities); (4) evaluasi (evaluation) (Zais,1976:295). Komponen-komponen tersebut dirancang tidak berdiri

sendiri melainkan satu sama lain saling terkait dan saling terintegrasi secara sinergis dan memiliki sinkronisasi dan tingkat relevansi yang tinggi. Implikasinya, pengembangan kurikulum pelatihan harus memperhatikan sejumlah prinsip pengembangan kurikulum.

Berkaitan dengan prinsip pengembangan kurikulum, Sukmadinata (2002:150-151) menawarkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok yaitu prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. Prinsip umum terdiri dari relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Sedangkan prinsip khusus berkenaan dengan tujuan pendidikan, pemilihan isi pendidikan, pemilihan proses belajar mengajar, pemilihan media dan alat pelajaran, dan pemilihan kegiatan penilaian. Dengan demikian prinsip relevansi merupakan aspek utama yang harus mendapat perhatian dalam pengembangan kurikulum.

2. Pengembangan Kurikulum

(43)

kegiatan yang memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang akurat terhadap berbagai komponen kurikulum dan aspek yang mempengaruhi proses pengembangan kurikulum, seperti analisis kebutuhan, perumusan tujuan, materi, strategi pelaksanaan dan evaluasinya serta pertimbangan terhadap berbagai tuntutan lain, seperti kondisi sosial budaya, psikologis, tuntutan perkembangan teknologi dan tuntutan kemajuan jaman lainnya.

Unruh & Unruh (1984:97) menyatakan bahwa proses pengembangan kurikulum “...a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the

cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve.” Hal ini menunjukkan, bukan hanya komponen kebutuhan, tujuan serta kegiatan pembelajaran yang harus dipertimbangkan tetapi juga faktor lainnya seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Selain pengembangan kurikulum itu merupakan proses yang kompleks, Oliva (1992:39-41) bahwa “curriculum is a product of its time. Curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological

principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in

history.” Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum merupakan hasil perjalanan waktu dan responsif serta berubah sesuai dengan kondisi sosial, filisofis, psikologis, perkembangan ilmu pengetahuan dan kepemimpinan pendidikan sesuai dengan perkembangan sejarah atau jamannya.

Longstreet & Shane (1993:87) mengemukakan bahwa aspek sosial budaya memiliki peran yang sangat signifikan. Fungsi tersebut dapat dilihat dari dua perspektif yaitu eksternal dan internal:

(44)

swiftly changing, current realities”.

Dari pendapat tersebut dapat teridentifikasi bahwa lingkungan kurikulum secara eksternal sejauh ini merupakan tatanan sosial perlu dipertimbangkan secara umum di mana lingkungan sekolah beroperasi, sedangkan secara internal membawa pemikiran kita tentang bagaimana sekolah harus berfungsi dan bagaimana kurikulum seharusnya. Juga, lingkungan eksternal penuh konsepsi yang berbeda namun terbuka tentang apa yang seharusnya dilakukan sekolah. Sedangkan, lingkungan internal bisa merupakan kecenderungan pandangan tanpa disadari sering menyimpang dari realitas pendidikan sering dipengaruhi oleh pola pikir budaya kita sendiri tentang apa yang seharusnya, bukan oleh cepatnya perubahan yang terjadi atau realitas saat ini. Hal ini menunjukan dalam proses pengembangan kurikulum, unsur-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada harus mendapat perhatian dan pertimbangan utama. Walau terkadang, karena isu dan sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks sosial-budaya tersebut sering terlupakan. Pengertian pengembangan kurikulum banyak yang membedakan antara apa yang direncanakan atau kurikulum sebagai dokumen dengan kurikulum sebagai apa yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembelajaran. Lepas dari banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan dan perbadaan ini, banyak juga ahli kurikulum yang menganut pendapat eksistensi perbedaan antara keduanya.

(45)

Proses pengembangan kurikulum paling sering banyak menggunakan pandangan pengembangan kurikulum sebagai pengembangan rencana. Dalam konteks ini langkah awal pengembangan kurikulum lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam mempelajari disiplin ilmu tertentu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya dan juga mempertimbangkan masalah yang mungkin muncul di masyarakat atau pandangan tentang bagaimana kondisi dan tuntutan masyarakat di masa yang akan datang.

Proses pengembangan kurikulum dilakukan berdasarkan tindak lanjut dari sebuah proses evaluasi terhadap seluruh tahapan pengembangan kurikulum itu sendiri. Salah satu model pengembangan kurikulum berbasis evaluasi ini ditawarkan oleh Hasan (2008:67). Dia menyatakan bahwa proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.

(46)

Gambar 2.3 Proses Pengembangan Kurikulum Sumber: Hasan (2008)

Gambar di atas mengisyaratkan bahwa konteks pengembangan kurikulum tidak sebatas menghasilkan sesuatu yang baru, tetapi bisa juga merupakan perbaikan dan pengembangan dari hasil evaluasi terhadap aspek-aspek atau tahapan-tahapan kurikulum yang ada. Hal ini dikarenakan pengembangan kurikulum mempunyai makna yang cukup luas, menurut Sukmadinata (2002:150) bahwa pengembangan kurikulum bisa berarti penyusunan kurikulum yang sama sekali baru (curriculum construction), bisa juga menyempurnakan kurikulum yang telah ada (curriculum

improvement).

(47)

Berkaitan dengan model pengembangan kurikulum, dewasa ini telah banyak disajikan model-model pengembangan kurikulum yang telah dikembangkan oleh para ahli kurikulum. Setiap model pengembangan kurikulum tersebut memiliki karakteristik dan ciri khusus masing-masing. Baik pada pola desain, tahapan implementasi, bentuk evaluasi dan jenis tindak lanjut dalam yang akan dilakukan. Sukmadinata (2002:161) menyatakan:

“Sekurang-kurangnya ada delapan model pengembanagan kurikulum menjadi delapan model yaitu: the administrative (line staff model) model, the grass roots model, Beauchamp”s system, the demonstration model, Taba’s inverted model, Rogers’s interpersonal relation model, the systematic action reseach model, dan emerging technical model.”

Hal ini senada dengan pernyataan di atas Sanjaya (2008: 82-91) membagi model pengembangan kurikulum menjadi empat bagian yaitu: model Tyler, model Taba, model Oliva dan model Beauchamp.

Salah satu model pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh Taba (1962:12) yang tercantum dalam bukunya Curriculum development: theory and practice. Model memiliki tujuh langkah linier, yaitu:

“...(1) diagnosis of the needs, (2) formulation of objectives, (3) selection of content, (4) organization of content, (5) selection of learning experiences, (6) organization of learning experiences, dan (7) determination of what to evaluate and of ways and means of evaluating.”

Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan secara sistematis dimulai dari tahapan diagnosis atau analisis kebutuhan, merumuskan tujuan, seleksi materi, organisasi materi, seleksi pengalaman belajar, organisasi pengalaman belajar, dan menentukan apa yang dievaluasi dan cara serta alat evaluasinya.

(48)

tanggung jawab untuk menyusun atau mengembangkan kurikulum, seperti yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud.

Salah satu model pengembangan kurikulum yang berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundangan pendidikan adalah The Administrative (line staff model). Model pengembangan kurikulum ini merupakan model pengembangan paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administrasi atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi (Sukmadinata, 2002:161).

Model pengembangan administrasi cenderung bersifat sentralistik sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dalam prakteknya, misalnya Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kemdikbud, bisa juga Kepala Dinas Pendidikan propinsi/kabupaten/kota membentuk suatu tim pengembang kurikulum awal atau tim pengarah untuk menyelenggarakan pendidikan dan latihan dan kegiatan-kegiatan lainnya di bawah kewenanganya.

Tim pengembang kurikulum atau tim pengarah ini biasa terdiri dari komisi yang anggota-anggotanya terdiri dari pejabat terkait, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu tertentu, para tokoh dari dunia kerja, dunia usaha dan dunia industri, serta ahli-ahli yang relevan dengan calon peserta tujuan pelatihan yang akan diselenggarakan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan, dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum kegiatan dan program tertentu sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya.

(49)

dan praktisi ini bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional dan lebih spesifik yang dijabarkan dalam konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh tim pengembang kurikulum utama atau tim pengarah mulai dari penyusunan tujuan sampai pada tahap rencana pelaksanaan evaluasi. Hasil kerja tim pengembang ini kerja dikaji ulang oleh tim pengarah untuk mendapatkan beberapa penyempurnaan. Selanjutnya, pemangku kepentingan dan pemegang kebijakan menetapkan mulai berlakunya kurikulum tersebut dan memerintahkan pihak terkait untuk melaksanakannnya.

Model yang merupakan kebalikan dari model administrasi di atas adalah the grass roots model. Model lebih menekankan kebutuhan dan kondisi lapangan,

menekankan peran para fasilitator, nara sumber dalam pendidikan dan pelatihan atau para guru pada proses pembelajaran dikelas sebagai pengembang kurikulum yang sesungguhnya. Kurikulum ini bersifat desentralisasi, karena segala ide mulai dari perencanaan penyusunan sampai pelaksanaannya di lapangan adalah hak otonomi fasilitator dan nara sumber dalam pelatihan atau guru dalam pembelajaran di sekolah, sedangkan pemerintah atau pengambil kebijaksaan yang lebih tinggi di atasnya tidak mempunyai kewenangan untuk mengubahnya.

3. Aspek-Aspek Pelatihan Pengawas Sekolah

Untuk memahami makna dan aspek pelatihan pengawas sekolah dapat dimulai dengan pemahaman terhadap makna dan aspek pelatihan secara umum. Para ahli telah membuat beberapa definisi pelatihan dari berbagai sudut pandang, baik dilihat dari arti, tujuan dan manfaat pelatihan. Ivancevich (2008:45) mendefinisikan

bahwa “...pelatihan adalah sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja

seorang atau sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi....”

(50)

Senada dengan Ivancevich, Jucius dalam Moekijat (1991:2) menjelaskan istilah latihan untuk menunjukkan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dengan demikian, pelatihan memfasilitasi pegawai tertentu dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui pula sikap serta keterampilan sesuai dengan tuntutan pekerjaan mereka. Selain itu pelatihan bisa memfasilitasi setiap individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya maupun kemampuan yang sesuai dengan kondisi tertentu. Dilihat dari tahapan pelatihan, Mangkunegara (2005:9) menjelaskan bahwa tahapan-tahapan program pelatihan meliputi kegiatan:

“(1) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan atau need assesment; (2) menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan; (3) menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya; (4) menetapkan metode pelatihan; (5) mengadakan percobaan (try out) dan revisi; dan (6) mengimplementasikan serta

mengevaluasinya.”

Dilihat dari alokasi waktu Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Sedangkan dilihat dari syarat agar kegiatan pelatihan berjalan tepat sasaran, Kirkpatrick & Kirkpatrick (2007:3-10) menyatakan bahwa ada sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi agar program pelatihan yang dilakukan berjalan dengan efektif, yaitu:

“(1) base the program on the needs of the participants, (2) set learning objectives, (3) schedule the program at the right time, (4) hold the program at the right place with the right amenities, (5) invite the right people to attend, (6) select effective instructors, (7) use effective techniques and aids, (8) accomplish the program objectives, (9) satisfy the participants, (10) evaluate the program.”

Gambar

Gambar 1.1 Korelasi Kompetensi Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Guru,
gambar berikut:
Gambar 2.1 Model Dasar Pendekatan Sistematis pada Pelatihan Sumber: Buckley & Caple (2004:25)
Gambar 2.3 Proses Pengembangan Kurikulum
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tidak hanya oleh keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah, orang tua yang berasal dari kalangan terpandang di masyarakat ternyata juga dapat sebagai penindas anak

mental health in Mission Australia’s Youth Survey this year, naming it as one of the top three issues facing Australia.. The survey found concerns about mental health

Stalinisme adalah sistem ideologi politik dari Uni Soviet di bawah kepemimpinan Joseph Stalin yang memimpin Uni Soviet pada tahun 1929 sampai dengan 1953 berkaitan erat

Tidak hanya dilihat dari N-Gain perbedaan signifikan pun terlihat pada data hasil post-test kedua kelompok, dapat dilihat pada Tabel 4.5 rata-rata nilai post

[r]

Adapun salah satu tujuan dari pembuatan Laporan Akhir ini adalah untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Politeknik Negeri Sriwijaya khususnya pada jurusan

Dengan penggunaan bit rate dan spectrum yang besar, IMT-2000 akan dapat memberikan layanan yang jauh lebih banyak daripada sistem komunikasi bergerak

• Oleh karena itu ekspresi gen dari masing-masing orang akan berbeda karena kebutuhan akan zat- zat gizi dari masing-masing orang juga bervariasi... Perbedaan nutrigenomik dan