• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Tekanan Formasi dan Gradien Rekah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penentuan Tekanan Formasi dan Gradien Rekah"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Penentuan Tekanan Formasi

Penentuan Tekanan Formasi

dan Gradien Rekah

dan Gradien Rekah

TUJUAN



Memahami cara Penentuan Tekanan Formasi dan Gradien Rekah

dengan Metode D’eksponen

(2)

1. Pendahuluan

1.1. Deteksi Tekanan Pori Formasi

Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mendeteksi tekanan formasi yang lebih besar daripada gradien hidrostatik formasi normal (0,465 psi/ft atau 9 ppg berat lumpur). Metoda yang paling banyak digunakan adalah metoda Drilling Rate, dimana metoda ini didasarkan pada perhitungan d-exponent.

Perbedaan tekanan yang besar antara tekanan hidrostatik lumpur

dengan tekanan formasi dapat menurunkan laju pemboran. Untuk

meningkatkan laju pemboran, densitas lumpur harus diturunkan. Dari sisi

tekanan formasi, adanya kenaikan tekanan formasi juga akan

meningkatkan laju pemboran. Perlu diingat juga bahwa laju penembusan

dipengaruhi oleh parameter lain seperti WOB, RPM, pembersihan lubang

sumur, litologi, sifat-sifat fluida, serta jenis dan keadaan pahat. Sehingga

perlu kiranya diperhitungkan parameter-parameter tersebut

bersama-sama agar perubahan-perubahan yang terjadi terhadap laju penembusan

benar-benar dapat menunjukkan adanya tekanan formasi abnormal.

Jordan dan Shirley memberikan suatu hubungan persamaan antara

beberapa parameter pemboran di atas yang di sebut dengan d'Eksponen.

Dengan mengamati perubahan harga d'Eksponen ini terhadap kedalaman

maka dapat diperkirakan adanya tekanan abnormal. Kenyataan ini dapat

digunakan untuk mendeteksi zona over-pressured, dengan menentukan

nilai d-exponent pada tiap kedalaman.

Jorden dan Shirley telah membuat suatu hubungan matematis

antara laju penembusan R, kecepatan putar rotary table N, berat pahat W,

dan diameter pahat D untuk digunakan dalam memperkirakan tekanan

pori formasi. Persamaan tersebut ialah :

d e D WOB RPM x k ROP         ...(1) dimana,

e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju penembusan,

k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability) RPM = kecepatan putar rotary table, rpm

d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap laju penembusan

WOB = weight on bit, lbs D = diameter bit, in

ROP = laju penembusan, ft/hr

Pengembangan persamaan di atas dalam bentuk logaritmik memberikan hubungan :





D

WOB

RPM

x

k

ROP

d

e

log

log

...(2)

(3)

Dalam satuan lapangan, persamaan di atas menjadi :









D

x

WOB

x

RPM

x

k

x

ROP

d

e 6

10

12

log

60

log

...(3) persamaan di atas dikenal sebagai d'eksponen yang tidak berdimensi. Baik harga suku ROP/60kRPMe dan suku 12WOB/106D pada persamaan di atas

selalu lebih kecil dari satu, sehingga harga logaritma dari masing-masing adalah negatif. Kemudian Jordan dan Shirley menyederhanakan pesamaan di atas dengan mengasumsikan k sama dengan 1 dan e juga sama dengan 1.

Persamaan di atas kemudian dimodifikasikan, dengan memasukkan pe-ngaruh densitas lumpur, menjadi:





c

m

n

m

d

d

corr

...(4) dimana:

dcorr = d-exponent terkoreksi mn

= densitas lumpur pada tekanan formasi normal (» 9 ppg)

mc

= densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg

Jika harga dcorr diplot terhadap kedalaman, akan menunjukkan peningkatan secara linier jika tekanan pori formasi normal, akan tetapi akan berkurang secara tajam jika laju pemboran meningkat akibat peningkatan tekanan pori formasi.

Dalam formasi yang terkompaksi normal, bertambahnya kedalaman menyebabkan laju penembusan berkurang karena batuan semakin kompak akibat bertambahnya tekanan overburden. Dengan demikian harga d'eksponen bertambah. Pertambahan d'eksponen ini mengikuti suatu kecenderungan yang disebut trend d'eksponen normal.

Tetapi jika suatu saat pemboran menembus formasi bertekanan abnormal maka laju penembusan akan naik dengan tiba-tiba, meninggalkan trend laju penembusan pada kedalaman sebelumnya. Perbedaan tekanan antara lubang sumur dengan formasi yang kecil, bahkan negatif akan mengakibatkan batuan yang sedang dibor semakin mudah terlepas, sehingga laju penembusan bertambah. Disamping itu, pada zona bertekanan tinggi batuannya memiliki porositas yang lebih tinggi, butiran batuan kurang rapat satu sama lainnya, sehingga batuannya lebih mudah dibor. Jika dikaitkan dengan persamaan d'eksponen, maka naiknya harga laju penembusan ROP akan mengakibatkan turunnya harga d'eksponen.

Jika dibuat hubungan antara d'eksponen terhadap kedalaman, maka perubahan harga d'eksponen yang mengindikasikan zona bertekanan abnormal ini akan menunjukkan terjadinya penyimpangan ke kiri dari trend d'eksponen normal (d'eksponen mengecil). Sebaliknya, bila diperoleh data d'eksponen yang menunjukkan penyimpangan ke kanan (membesar) maka hal ini mengindikasikan adanya zona bertekanan lebih rendah dari tekanan normal (subnormal) dan berpotensi pada terjadinya lost circulation.

(4)

Gambar 1. Laju Pemboran vs Kedalaman 7)

Plot antara laju pemboran terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 1 di atas , dimana terdapat penurunan laju pemboran dari 100 ft/hr pada kedalaman 6000 ft menjadi kurang dari 20 ft/hr pada kedalaman 12800 ft.

(5)

Tabel 1. Data Tekanan Formasi dan d-exponent 7) Depth, feet Drilling Rate, ft/hr Weight on Bit, 1000 lbs Rotary Speed, RPM It Size, Inch Mud Density, lb/gal 6000 106.0 35 120 8.5 90 6500 103.0 35 120 8.5 90 7000 76.9 35 110 8.5 90 7500 66.0 35 110 8.5 90 8000 44.5 30 110 8.5 94 8500 46.0 30 110 7.875 94 9000 39.4 30 110 7.875 94 9500 35.0 30 110 7.875 94 10000 30.8 30 110 7.875 10.1 10200 26.3 30 100 7.875 10.1 10400 24.7 30 100 7.875 10.1 10600 23.2 30 100 7.875 10.5 10800 21.8 30 90 7.875 11.1 11000 19.1 30 90 7.875 11.1 11200 17.9 30 90 7.875 11.3 11400 16.8 30 90 7.875 11.6 11600 21.9 35 90 7.875 11.6 11800 20.6 35 90 7.875 11.8 12000 20.6 35 90 7.875 13.1 12200 20.0 35 90 7.875 13.4 12400 18.0 35 90 7.875 13.6 12600 18.0 35 90 7.875 14.2 12800 17.0 35 90 7.875 14.5

Dari data laju pemboran, RPM, WOB, diameter bit, dapat dihitung besarnya d-exponent pada tiap kedalaman dengan menggunakan persamaan (3). Dengan memasukkan data densitas lumpur yang digunakan, diasumsikan bahwa densitas lumpur normal (rmn) adalah 9 ppg, dilakukan perhitungan d-exponent terkoreksi menggunakan persamaan 4. Hasil perhitungan d-d-exponent terkoreksi kemudian diplot terhadap kedalaman, seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Pada Gambar 2 tersebut terlihat harga dcorr meningkat secara linier hingga kedalaman 10500 ft dan kemudian menurun secara tajam. Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu garis lurus yang melewati titik-titik dcorr sebelum kedalaman 10500 ft dan garis tersebut dinamakan garis d-exponent normal (dnormal) dengan kemiringan garis adalah 0,000038, sehingga garis tersebut mempunyai persamaan garis sebagai berikut:

dnormal = 0.000038 x depth + 1.23

Untuk menentukan besarnya tekanan pori formasi dapat digunakan persamaan berikut:





corr normal

d

d

Gn

P

...(5) dimana:

P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg EMW Gn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg

(6)

Plot antara tekanan pori formasi terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 3.

(7)

Gambar 3. Tekanan Pori vs Kedalaman 7)

5. D-Exponen Terkoreksi

Seperti telah dijelaskan di atas, d'eksponen merupakan suatu parameter yang diturunkan dari persamaan laju penembusan pemboran, di mana trend nilai d'eksponen terhadap kedalaman dapat mencerminkan perubahan tekanan formasi batuan.

D'eksponen dihitung dengan menggunakan persamaan (3). Dengan memplot d'eksponen terkoreksi terhadap kedalaman (Gambar 3), dan menarik garis trend tekanan normal, maka dapat ditentukan tekanan formasi dalam satuan EMW, seperti telihat pada Gambar 4.

(8)

Gambar 5. Plot EMW dan berat lumpur terhadap kedalaman

Dari Gambar 4 dapat dilihat pada kedalaman 2100 m nilai d'eksponen mulai menyimpang ke arah kiri, yang menandakan adanya formasi bertekanan abnormal. Hal ini juga dapat dilihat pada plot EMW, yaitu pada kedalaman 2111 m EMW mulai bertambah. Namun kemudian terlihat bahwa tekanan ekuivalen formasi terus naik hingga mencapai puncaknya pada kedalaman 2350 m, yaitu sekitar 35 ppg. Hal ini tidak realistis, sebab seharusnya tekanan abnormal formasi tidak mencapai harga ini. Biasanya tekanan abnormal hanya berkisar antara 11 hingga 17 ppg. Selain itu dapat dilihat juga bahwa lumpur yang digunakan saat pemboran tidak pernah mencapai nilai EMW dari d'eksponen tadi. Berat lumpur maksimum hanya mencapai 15.2 ppg pada kedalaman 2500 m.

Kejadian yang menarik di sini ialah pada interval kedalaman zona abnormal (kurang lebih 2200 hingga 2700 meter) pemboran menggunakan bit jenis PDC, berbeda dengan zona di atasnya, yaitu bit jenis three cone bit. Seperti kita ketahui, pemboran dengan menggunakan PDC bit akan mempunyai laju penetrasi yang sangat tinggi, bisa mencapai 6 hingga 30 kali pemboran dengan three cone bit untuk kondisi yang sama.2) Dengan demikian, perkiraan tekanan

formasi dengan menggunakan d'eksponen koreksi ini akan mengalami kesalahan karena perbedaan sifat-sifat dari bit yang digunakan. Laju penetrasi yang tinggi akibat penggunaan PDC Bit ini akan mengakibatkan nilai d'eksponen koreksi bergeser lebih ke kiri (semakin kecil) (Gambar 4) walaupun seandainya tidak terdapat perubahan tekanan formasi, sesuai persamaan (3). Pergeseran akibat penggunaan PDC bit ini dapat dilihat dengan jelas pada plot EMW terhadap kedalaman (Gambar 5), yaitu pada kedalaman 2215 m terdapat

(9)

pergeseran/peningkatan EMW secara drastis, dari sekitar 15 ppg menjadi sekitar 25 ppg.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada operasi pemboran yang menggunakan dua jenis bit, yaitu three cone bit dan PDC bit, perhitungan d'eksponen pada interval kedalaman yang menggunakan PDC Bit harus dikoreksi, yaitu koreksi terhadap harga d'eksponen terkoreksi. Untuk melakukan ini penulis menggunakan data dari dua buah sumur pada reservoar yang sama, di mana pada zona abnormal masing-masing sumur menggunakan bit PDC. Penulis berusaha menyelaraskan perkiraan tekanan pori formasi (EMW) dengan berat lumpur yang dipakai pada saat itu dan juga dengan membandingkannya dengan hasil perkiraan tekanan pori batuan di lapangan, sehingga dapat ditentukan suatu koreksi terhadap harga d'eksponen terkoreksi.

Hal lain yang patut dicermati ialah pada interval kedalaman di bawah zona tekanan abnormal (di bawah 2760 m), terdapat juga kesalahan perhitungan EMW formasi, di mana EMW formasi pada zona ini lebih besar dari berat lumpur yang digunakan pada kedalaman tersebut (Gambar 5), suatu hal yang tidak mungkin, karena pemboran pada sumur ini bukan merupakan pemboran under balanced. Kesimpulan yang dapat ditarik di sini ialah akibat perubahan ukuran bit (pada interval ini ukuran bit ialah 8.5", sedangkan ukuran bit pada interval di atas formasi bertekanan normal ialah 17.5"). Jadi pada interval kedalaman di bawah formasi tekanan abnormal tadi juga perlu dilakukan koreksi terhadap d'eksponen terkoreksi akibat perubahan ukuran bit.

Setelah melakukan beberapa set perhitungan trial and error maka diperoleh dua konstanta koreksi, yaitu masing-masing konstanta koreksi terhadap penggunaan bit PDC dan koreksi terhadap perubahan ukuran bit (dari 17.5" menjadi 15.5"). Ternyata konstanta koreksi terhadap bit PDC ialah sebesar 0.225. Artinya, pada interval kedalaman yang menggunakan bit PDC, nilai d'eksponen terkoreksi perlu ditambahkan dengan 0.225. Angka ini ternyata berlaku juga untuk sumur kedua, walaupun keduanya menggunakan bit PDC dengan seri yang berbeda.

Sehingga persamaaan Dcorr yang telah dikoreksi terhadap penggunaan PDC menjadi: 225 . 0 9 '  xdMW corr D ... (6) Hal yang sama juga dilakukan terhadap d'eksponen normal pada kedalaman di bawah zona bertekanan abnormal (seksi 8.5"), yaitu dengan menambahkan faktor koreksi sebesar 0.35 pada d'eksponen terkoreksi, akibat perubahan ukuran bit dari 17.5" menjadi 8.5". Selain itu, pada kedalaman bit PDC juga perlu ditambahkan faktor koreksi (sebesar 0.2) karena pada kedalaman ini juga terjadi perubahan ukuran bit (17.5" menjadi 15.5"). Angka koreksi ini ternyata juga berlaku untuk sumur kedua. Untuk penggunaan yang lebih umum dibuat persamaan yang dapat mendekati hubungan antara besarnya faktor koreksi terhadap perubahan diameter bit, dengan asumsi hubungan antara faktor koreksi dan perubahan diameter bit ialah linier.

1 2

04

.

0

x

d

d

f

c

...(7)

Sehingga persamaan Dcorr pada kedalaman yang mengalami perubahan ukuran bit menjadi:

(10)

1 2

04 . 0 9 ' xd x d d MW corr D    ... (8) Bila terdapat suatu interval kedalaman yang mengalami perubahan ukuran bit dan juga menggunakan PDC maka kedua koreksi di atas harus dilakukan. Plot d'eksponen koreksi yang telah dikoreksi terhadap perubahan tipe dan ukuran bit dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Plot d-exponen terkoreksi yang telah dikoreksi terhadap type bit PDC dan ukuran Bit

Hasil perhitungan-perhitungan di atas dapat dilihat pada Gambar 7 dan 7a. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa koreksi yang telah dilakukan terhadap d'eksponen normal pada interval kedalaman pemboran yang menggunakan PDC Bit dan kedalaman bit dengan ukuran 8.5" memberikan harga EMW formasi yang sesuai dengan berat lumpur yang digunakan pada saat pemboran.

(11)

Gambar 7. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit PDC dan ukuran bit.

Gambar 7a. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit PDC dan ukuran bit.

Dari hasil penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa koreksi sebagai berikut:

(12)

D eksponen koreksi untuk PDC bit: 225 . 0 9 '  xdMW corr D

D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 8.5" :

36 . 0 9 '  xdMW corr D

D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 15.5" :

2 . 0 9 '  xdMW corr D

5.1 Gradien Rekah

5.1.1. Tekanan

Tekanan adalah suatu gejala alam yang terjadi pada setiap benda di permukaan bumi ini, yang merupakan besarnya gaya yang bekerja dalam setiap satuan luas. Secara empiris dapat dituliskan sbb:

A F P

...(9)

dimana : P = Tekanan, ML-1T-2

F = Gaya yang bekerja pada daerah luas ybs, MLT-2

A = Luas permukaan yang menerima gaya, L2

Di lapangan biasanya gaya memakai satuan pounds, luas dengan satuan inch2 (square inch) maka tekanan dalam pounds per

square inch (psi).

Sedangkan tekanan hidrostatik adalah tekanan yang diakibatkan oleh beban fluida yang ada diatasnya, secara empiris dapat dituliskan sebagai berikut : (lihat Gambar 8).

h x g h x g x P  

...(10)

dimana : r = berat jenis, ML-3 g = percepatan gravitasi, LT-2

= gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2

(13)

Gambar 8. Tekanan Hidrostatik8)

5.1.2. Tekanan Overburden

Tekanan overburden adalah besarnya tekanan yang diakibatkan oleh berat seluruh beban yang berada diatas suatu kedalaman tertentu tiap satuan luas.

Luas cairan berat en se material Berat Pob   dim

Gradien tekanan overburden adalah menyatakan tekanan overburden tiap satuan kedalaman.

D

P

G

ob

ob

...(11)

Secara praktis dalam penentuan gradien tekanan overburden ini selain dari analisa log juga dapat ditentukan sbb: (lihat Gambar 9)

(14)

n n i ob

D

i

i

l

G

,

1

...(12)

dimana:

Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft Ii = ketebalan ke-i, ft

ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc Dn = kedalaman, ft

Menurut Christman gradien tekanan overburden dapat dinyatakan sebagai berikut:

wt b

ob w D b D D G 0,433

. 

.

...(13)

dimana: D = kedalaman, ft Dwt = ketebalan cairan, ft Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft w

= berat jenis cairan, gr/cc

b

= berat jenis rata-rata batuan, gr/cc

Besarnya gradien tekanan overburden yang normal biasanya dianggap sebesar 1 psi/ft, yaitu diambil dengan menganggap berat jenis batuan rata-rata sebesar 2,3 dari berat jenis air. Sedangkan besarnya gradien tekanan air adalah 0,433 psi/ft maka gradien tekanan overburden sebesar 2,3 x 0,433psi/ft = 1,0 psi/ft.

5.1.3. Tekanan Formasi Normal

Tekanan formasi adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang mengisi rongga formasi, secara hidrostatis untuk keadaan normal sama dengan tekanan kolom cairan yang ada dalam dasar formasi sampai ke permukaan.

Bila isi dari kolom yang terisi berbeda cairannya, maka besarnya tekanan hidrostatiknya pun berbeda, untuk kolom air tawar diberikan gradien tekanan hidrostatik sebesar 0,433 psi/ft dan untuk kolom air asin gradien hidrostatiknya sebesar 0,465 psi/ft.

Penentuan dari tekanan formasi bisa dilakukan dari analisa log atau dari data Drill Stem Test (DST).

5.1.4. Tekanan Rekah

Tekanan Rekah adalah tekanan hidrostatik formasi maksimum yang dapat ditahan tanpa menyebabkan terjadinya pecah. Besarnya gradien tekanan rekah dipengaruhi oleh besarnya tekanan overburden, tekanan formasi dan kondisi kekuatan batuan.

Mengetahui gradien tekanan rekah sangat berguna ketika meneliti kekuatan dasar selubung (casing), sedangkan bila gradien tekanan rekah tidak diketahui maka akan mendapat kesukaran dalam pekerjaan penyemenan dan penyelubungan sumur.

Selain dari hasil log, gradien tekanan rekah dapat ditentukan dengan memakai prinsip leak-off test, yaitu memberikan tekanan

(15)

sedikit-sedikit sedemikian rupa sampai terlihat tanda-tanda mulai pecah, yaitu ditunjukkan dengan kenaikan tekanan terus menerus kemudian tiba-tiba turun. Penentuan gradien tekanan rekah ini juga bisa dari perhitungan, antara lain :

Hubbert and Willis, yang menganggap tekanan overburden berpe-ngaruh efektif terhadap tekanan rekah.

D

P

D

P

D

P

t ob

2

3

1

...(14)

dimana :

Pf = tekanan rekah, psi

Pob = Tekanan overburden, psi P = Tekanan formasi, psi D = kedalaman, ft

bila dianggap gradien tekanan overburden (Pob/D) adalah 1 psi/ft, maka persamaan (10) menjadi :

          f f D P D P 2 1 3 1

...(15)

Mathews and Kelley, memberikan persamaan :

 

i ob r

K

D

P

P

D

P

F

...(16)

dimana,

Fr = gradien tekanan rekah, psi/ft

Gambar 10. Matrix Stress Coefficient 6)

Kedua persamaan di atas menganggap gradien tekanan overburden tetap untuk setiap kedalaman. Karena pada kenyataannya

(16)

tidak demikian maka timbul persamaan-persamaan lain yang lebih memperhitungkan masalah kondisi batuan.

Pennebaker, menuliskan persamaan :

 

K

D

P

P

D

P

F

ob r

...(17)

dimana :

tegak tekanan mendatar tekanan K

= perbandingan tekanan efektif (lihat Gambar 11)

Eaton, menulis persamaan :





1

D

P

P

D

P

F

ob r

...(18)

dimana,

= poisson's ratio (lihat Gambar 12)

(17)

Gambar 12. Poisson's Ratio 6)

Selanjutnya dari persamaan Eaton ini dibuat suatu nomograph untuk menentukan gradien tekanan rekah.

Harga faktor-faktor perbandingan yang mengindahkan kekuatan batuan di atas bermacam-macam, maka W. L. Brister mendapatkan harga rata-ratanya (Ka) sbb :

3

,

9

2

,

88

0

,

94

D

P

jika

D

P

K

ob ob a

...(19)

3

,

2

2

,

224

0

,

94

D

P

jika

D

P

K

ob ob a

...(20)

atau dari grafik pada Gambar 13, sehingga kita mendapatkan rumus akhir:

 

a ob r

K

D

P

P

D

P

F

...(21)

Sedangkan bila kejadiannya berada di bawah permukaan laut maka harga-harga tersebut di atas perlu dikoreksi, hal ini dapat diterangkan oleh Zamora sbb :

 

D

D

D

D

f

F

w w c

5

,

8

...(22)

dimana :

Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi Dw= Ketinggian air laut

(18)

(19)

6. Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah

Dari informasi offset well, termasuk resistivity, sonic dan radioaktif log, informasi pemboran dan lumpur, bersamaan dengan interpretasi geologi, dapat dipersiapkan suatu evaluasi tekanan formasi terhadap kedalaman. Dengan informasi tekanan formasi terhadap kedalaman tersebut, gradien rekah dapat ditentukan. Dual plot antara tekanan formasi dan gradien rekah terhadap kedalaman dapat dibuat dalam skala linier untuk memudahkan memperoleh interpolasi yang akurat.

Gambar 14. Contoh Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah Terhadap Kedalaman

(20)

Latihan 1 No Depth (ft) ROP (ft/h) WOB (1000 lb) RPM Densitas (ppg) Bit. Dia (in) Fracture Grad (ppg) 1 5000 110.1 25 120 9 8.5 13 2 6000 93.2 25 120 9 8.5 13.5 3 6500 90.9 30 100 9 8.5 13.8 4 7000 84 30 90 9 8.5 14.5 5 7200 73.3 30 90 9 8.5 14.8 6 7400 40.7 20 110 9 8.5 14.9 7 7600 48 20 120 9 8.5 15.3 8 7800 50.6 20 130 9 8.5 15.6 9 8000 54.2 19 150 10.3 8.5 15.7 10 8200 55.8 18 140 10.7 8.5 15.9 11 8400 57.9 20 140 11.3 8.5 16.4 12 8600 65.4 20 120 11.9 8.5 16.5 13 9000 57.1 21 120 15.8 8.5 16.7 14 9500 48 21 100 14 8.5 16.9 15 10000 24.8 20 100 12 8.5 16.5 16 10500 27.1 22 100 10.2 8.5 16 17 11000 17.3 22 100 10 8.5 15.7

Berdasarkan data tabel di atas tentukanlah : 1. Buatlah Plot EMW terhadap Kedalaman.

5. Tentukan selang kedalaman formasi bertekanan abnormal 3. Buatlah overlay untuk tekanan formasi dengan selang 1 ppg 4. Tentukan tekanan formasi maksimum

(21)

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN

e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju penembusan k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)

RPM = kecepatan putar rotary table, rpm

d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap laju penembusan

WOB = weight on bit, lbs D = diameter bit, in

ROP = laju penembusan, ft/hr dcorr = d-exponent terkoreksi

rmn = densitas lumpur pada tekanan formasi normal (» 9 ppg) rmc = densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg

P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg EMWGn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg r = berat jenis, ML-3

g = percepatan gravitasi, LT-2

g = gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2 h = ketinggian, L

Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft Ii = ketebalan ke-i, ft

ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc Dn = kedalaman, ft

D = kedalaman, ft Dwt = ketebalan cairan, ft

Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft rw = berat jenis cairan, gr/cc

rb = berat jenis rata-rata batuan, gr/cc Pf = tekanan rekah, psi

Pob = Tekanan overburden, psi P = Tekanan formasi, psi D = kedalaman, ft

Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi Dw = Ketinggian air laut

(22)

DAFTAR PUSTAKA

1. Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986

5. Bradley H.B., "Petroleum Engineering Handbook", Third Printing, Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1987.

3. Azar J.J., "Drilling in Petroleum Engineering", Magcobar Drilling Fluid Manual.

4. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company, Tulsa-Oklahoma, 1974.

5. McCray A.W., Cole F.W., "Oil Well Drilling Technology", The University of Oklahoma Press,1979.

6. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas, 1973. 7. Klozt, "Drilling Optimization", halaman 6-9.

8. Rubiandini, Rudi, "Perhitungan Berbagai Metoda Pressure Control Dalam Penanggulangan Well Kick", Kolokium, Jurusan Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung, 1984.

Gambar

Gambar 10. Matrix Stress Coefficient  6)
Gambar 12. Poisson's Ratio  6)
Gambar 13. Perbandingan Tekanan Rata-Rata 6)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil envelope atas dan envelope bawah dari sinyal masukan dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11, dan hasil rata-rata yang dihasilkan dari perhitungan antara

Dapat dilihat pada Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 hasil perhitungan nilai Stress, MoE dan Strain dari hasil pengujian tarik yang telah dilakukan terhadap spesimen laminasi

Pada gambar 7 activity diagram cetak laporan dapat dilakukan oleh admin atau user, hasil dari perhitungan selain dapat dilihat dalam bentuk laporan juga dapat dicetak dengan cara

Seperti dapat dilihat pada gambar kecil, berbeda dengan yang untuk organisasi kewirausahaan yang menunjukkan pemimpin atas dasar operasi yang menguraikan di satu sisi staf

Gambar 5. Model 2D Total Head Nilai Tekanan Kondisi Eksisting.. Berdasarkan hasil model GMS yang telah dilakukan pada lokasi studi diperoleh hasil yang memberikan gambaran

Berdasarkan hasil uji coba perhitungan penilaian secara manual dan perhitungan yang dilakukan sistem pada data distribusi gula pasir tahun 2007 dilihat dari hasil peringkat

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa kecepatan reaksi bertambah dengan meningkatnya waktu reaksi, dan absorbansi dari sistem

Algoritma perhitungan yang digunakan untuk persamaan Begg-Brill dan Moody dapat dilihat pada Gambar 3.Untuk tiap- tiap persamaan Beggs-Brill dengan atau tanpa