3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KULIT
Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan. Pada hewan atau manusia, kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu tumbuh. Kulit berfungsi melindungi badan atau tubuh dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya panas, pengaruh yang bersifat mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana et al., 2008).
Kulit hewan (skin dan hide) merupakan bahan mentah kulit samak (leather). Kulit tersebut berupa tenunan serat yang terbentuk dari sel-sel hidup dan hasil-hasilnya. Cara pembuatan kulit samak diantaranya adalah dengan mengeluarkan tenunan yang tidak dapat disamak, kemudian menyamak tenunan yang tertinggal sedemikian rupa sehingga akan diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki (Judoamidjojo, 1981).
Struktur kulit hewan dapat dibedakan secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, kulit hewan dibagi atas beberapa daerah yaitu daerah krupon, kepala, dan leher serta daerah kaki, ekor, dan perut. Secara mikroskopis, kulit hewan terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidermis, korium, dan subkutis (Fahidin dan Muslich, 1999).
Pembagian kulit secara makroskopis adalah pembagian yang mengacu kepada bagian-bagian kulit yang pada umumnya disamak dan menunjukkan mutu kulit. Daerah krupon adalah bagian terpenting dari kulit hewan karena bagian ini meliputi 55% dari seluruh kulit. Pada bagian ini terdapat jaringan yang rapat dan kuat. Daerah kepala dan leher meliputi sekitar 23% dari seluruh kulit. Ketebalan kulit pada daerah ini relatif lebih tebal dari daerah lainnya, tetapi mempunyai jaringan yang lebih longgar dari krupon. Daerah kaki, perut, dan ekor meliputi 22% dari seluruh kulit. Pada daerah perut, ketebalan kulit relatif lebih tipis dan jaringannya longgar, sedangkan kulit pada daerah kaki lebih tebal dan jaringannya lebih padat (Fahidin dan Muslich, 1999). Struktur kulit secara makroskopis dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al., 2008)
Kulit hewan secara mikroskopis (histologis) dibagi berdasarkan struktur lapisan yang menyusun kulit. Kulit memiliki tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis. Lapisan epidermis disebut juga sebagai lapisan tanduk, yang berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Korium adalah tenunan kolagen kulit yang merupakan bahan utama dalam proses penyamakan. Korium sebagian besar dibangun oleh serat kolagen yang merupakan benang-benang halus yang berkelok-kelok dalam berkas-berkas yang terbungkus lembaran anyaman dan tenunan retikular. Lapisan subkutis merupakan tenunan pengikat longgar yang menghubungkan korium dengan
bagian-Keterangan : A,B : Bagian kepala dan leher C,D : Krupon
4 bagian lain dari tubuh. Hipodermis sebagian besar terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin (Fahidin dan Muslich, 1999). Penampang kulit hewan secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampakan kulit secara mikroskopis (Suardana et al., 2008)
Komposisi kimia kulit terdiri dari dua golongan yaitu golongan protein dan golongan non protein. Protein berbentuk terdiri atas kolagen, elastin, dan keratin. Kolagen merupakan bagian terpenting dalam teknologi kulit karena kolagen menjadi dasar susunan kulit samak dan dapat tahan terhadap enzim proteolitik. Protein tak berbentuk (globular protein) merupakan media bagi protein berbentuk, dapat larut dalam air dan mudah terdenaturasi karena pemanasan. Protein tak berbentuk terdiri dari albumin globulin. Golongan non protein terdiri dari air, lipid, dan bahan mineral. Persentase kandungan kimia dalam kulit yaitu air 65%, lemak 1.8%, bahan mineral 0.2%, dan protein 33% (Fahidin dan Muslich, 1999).
Air di dalam kulit ada dua macam yaitu air yang terikat dengan protein (polar) dan air yang bebas (kapiler). Air yang terikat kira-kira 1/3 bagian, sedangkan air yang bebas 2/3 bagian. Bagian kulit secara makroskopis yang mengandung air paling banyak adalah bagian perut, sedangkan bagian yang paling sedikit mengandung air adalah bagian krupon. Bagian kulit secara mikroskopis yang memiliki kandungan air yang paling banyak adalah korium. Lipid paling banyakterdapat pada bagian subkutis kulit. Hewan yang memiliki bulu tebal pada umumnya memiliki kandungan lemak yang lebih banyak. Bahan mineral dalam kulit terdiri dari K, Ca, Fe, P, dan umumnya sebagian garam klorida, sulfat, karbonat, dan fosfat; sedikit SiO2, Zn, Ni, As, Fe, dan S (Purnomo, 1985).
2.2 MINYAK BIJI KARET
Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil). Minyak biji karet mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental, dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren, 2008). Minyak biji karet umumnya digunakan di dalam industri non pangan, antara lain sebagai bahan pembuat sabun, bahan cat sebagai minyak mengering, bahan pelengkap kosmetik, damar alkid, faktis, dan lain sebagainya (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976).
Keterangan :
1. Rambut, 2. Lubang rambut, 3. Kelenjar lemak, 4. Kantong rambut, 5. Kelenjar keringat, 6. Sel lemak, 7. Pembuluh darah, 8. Syaraf, 9. Serat Collagen, 10. Tenunan lemak
5 Kandungan minyak dalam daging biji karet adalah sekitar 40-60% (Pradeep dan Sharma, 2005) dengan komposisi 17-22% asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat, stearat, arakhidat, serta asam lemak tidak jenuh sebesar 77-82% yang terdiri atas asam oleat, linoleat, dan linolenat (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976).
Minyak biji karet merupakan minyak nabati yang bersifat nonedible dan dapat digunakan sebagai alternatif untuk memproduksi biodiesel (Ramadhas et al., 2005). Selain itu, minyak biji karet juga sangat potensial sebagai bahan penyamak untuk memproduksi kulit samak minyak (kulit samoa). Hal ini disebabkan oleh tingginya bilangan iod yang dimiliki minyak biji karet yaitu >120 g/100 g minyak. Bilangan iod merupakan parameter utama dari minyak untuk penyamakan kulit. Kelebihan lain minyak biji karet adalah tidak meninggalkan residu warna dan bau dalam jumlah yang berlebih pada kulit (Suparno, 2006).
2.3 PENYAMAKAN KULIT
Kulit tersusun dari banyak sekali ikatan jaringan serat yang dapat bergerak dan berikatan satu sama lain ketika hewan masih hidup. Ketika hewan sudah mati, jaringan tersebut cenderung mengerut dan menjadi keras. Pada dasarnya tujuan utama dilakukan proses penyamakan adalah untuk menetapkan jaringan serat kolagen melalui proses kimiawi, melumasi jaringan sehingga dapat bergerak dan berikatan satu sama lain. Oleh karena itu melalui proses penyamakan dapat meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan kulit (Mann dan McMillan, 2000).
Penyamakan merupakan proses memodifikasi struktur kolagen (komponen utama kulit) dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tannin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal dan ketahanan kulit terhadap mikroorganisme (Suparno et al., 2005). Stabilitas hidrotermal kulit ditunjukkan dengan suhu kerut (shrinkage temperature, Ts).
Penyamakan pada prinsipnya merupakan proses yang bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mempunyai sifat tidak stabil, yaitu mudah rusak oleh pengaruh biologis, fisik dan kimia, menjadi kulit tersamak yang mempunyai sifat stabil dan tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Mekanisme proses penyamakan kulit dimulai dari usaha memasukkan bahan penyamak ke dalam jaringan serat kulit. Selanjutnya mengusahakan agar terjadi ikatan kimia antara jaringan serat kulit dengan bahan penyamak yang ditambahkan. Tujuan pokok dari penyamakan kulit adalah untuk menghasilkan kulit samak yang sesuai dengan mutu kulit yang dikehendaki (Purnomo, 1992).
Menurut Purnomo (1992), proses penyamakan kulit secara garis besar meliputi proses prapenyamakan, proses penyamakan, proses pascapenyamakan, dan proses penyelesaian. Penyamakan dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung bahan yang digunakan. Secara praktis penyamakan dapat digolongkan menjadi lima, yaitu:
a. Penyamakan nabati, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari tumbuhan, contohnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni, dan kayu quebracho (Anonim, 1996).
b. Penyamakan mineral, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak mineral, contohnya kromium, ferum, kobalt, dan zirconium (Judoamidjojo, 1981).
c. Penyamakan aldehida, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak aldehida, contohnya formaldehida, glutaraldehida, dan oksazolidin (Suparno, 2009).
d. Penyamakan minyak, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain (Suparno, 2009).
e. Penyamakan sintetis, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak sintetis. Bahan penyamak sintetis terdiri dari dua bagian, yaitu bahan penyamak sintetis alifatis dan bahan sintetis aromatis (Judoamidjojo, 1981).
6
2.4 PENYAMAKAN AWAL (ALDEHIDA)
Suparno (2009) menyebutkan bahwa bahan penyamak yang digunakan untuk penyamakan awal dalam produksi kulit samoa adalah formaldehida, glutaraldehida atau oksazolidin. Bahan-bahan tersebut dapat berfungsi sebagai penyamak tunggal atau kombinasi. Suhu kerut kulit samak aldehida adalah 80-85oC.
Glutaraldehida (OCH-(CH2)3-CHO) adalah dialdehida yang dapat digunakan sebagai bahan
penyamak kulit. Karena penggunaan formaldehida dalam penyamakan kulit menurun, penggunaan glutaraldehida sebagai bahan pengganti meningkat. Gambar 3 menunjukkan struktur dialdehida alifatik tersebut dalam larutan. Struktur tersebut merupakan sebuah struktur penghubung antara dua molekul glutaraldehida yang bereaksi. Gambar 4 menunjukkan reaksi yang terjadi antara glutaraldehida dengan protein (Covington, 2009).
Glutaraldehida menghasilkan kulit samak dengan karakteristik tahan terhadap peluh, tahan pencucian, lebih sempurna, dan densitas yang lebih baik. Glutaraldehida membentuk polimer di dalam larutan, gugus hidroksil dari polimer akan aktif dan bereaksi dengan gugus amino. Walaupun reaksi
crosslink antara kolagen dengan aldehida telah lama dipelajari, namun mekanisme reaksinya belum
dapat diketahui dengan pasti. Sebagian besar peneliti sepakat bahwa gugus aldehidik berikatan dengan gugus amino bebas dari lisin dan membentuk ikatan silang (Covington, 2009). Reaksi antara senyawa beraldehida dengan gugus amino bebas lisin adalah sebagai berikut (Suparno, 2009):
Collagen-NH2 + HCHO Collagen-NH-CH2OH
Grup N-hidroksimetil sangat reaktif dan reaksi crosslinking terjadi pada grup amino kedua. Kekuatan serat kolagen tergantung atas hubungan silang di dalam dan di antara molekul. Reaksinya adalah sebagai berikut:
Collagen-NH-CH2OH + H2N-Collagen Collagen-NH-CH2-NH-Collagen
Gambar 3. Polimerisasi glutaraldehida (Covington, 2009)
7 Seperti formaldehida, kulit yang disamak dengan glutaraldehida adalah tahan cuci dan hidrofilik serta suhu kerutnya mirip. Namun warnanya berbeda, glutaraldehida menghasilkan warna kuning. Turunan glutaraldehida telah ditawarkan ke industri, yakni Relugan GTW, turunan tambahan bisulfit. Bahan tersebut menghasilkan kulit samak lebih pucat, tetapi tetap menghasilkan warna kuning. Produk lainnya adalah Relugan GT50, yang merupakan larutan 50% dari glutaraldehida yang digunakan sebagai pretanning, selftanning, dan retanning agents untuk seluruh jenis kulit samak. Bahan penyamak ini mempunyai karakteristik penyebaran lemak yang sangat luas, menghasilkan kulit samak yang halus, berwarna kekuningan, permeabilitas udara dan daya tahan yang baik (Suparno, 2009).
2.5 PENYAMAKAN MINYAK
Penyamakan minyak adalah penyamakan kulit menggunakan minyak, biasanya minyak ikan, untuk menghasilkan kulit samak minyak (chamois leather). Metode tradisional pembuatan kulit
chamois adalah mengimpregnasi kulit domba split basah dengan minyak ikan dalam fulling stocks dan
kemudian menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak. Minyak yang teroksidasi tersebut memiliki kemampuan menyamak kulit. Kedua proses tersebut dapat diulang sampai kulit tersamak dengan memadai. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air alkalin hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharpouse 1981; Dewhurst 2004). Penyamakan minyak merupakan salah satu contoh proses leathering, karena walaupun kulit samak minyak tahan terhadap serangan mikroorganisme, suhu kerut (shrinkage temperature/Ts)-nya tidak meningkat secara signifikan di atas suhu kerut kulit tersebut sebelum disamak. Proses tersebut melibatkan pengisian kulit basah dengan minyak tak jenuh, kemudian polimerisasi minyak in situ dengan oksidasi (Suparno, 2009).
Minyak yang dibutuhkan dalam penyamakan tergantung dari jumlah bahan (kulit) yang akan disamak. Minyak tersebut akan melakukan cross-link dengan protein yang ada di kulit untuk membentuk kulit samak (Suparno, 2006). Dasar penyamakan minyak modern adalah mengoksidasi minyak ikan yang sudah diaplikasikan pada kulit setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dengan bantuan oksigen atmosfir pada kondisi terkendali. Bahan penyamak gliserida tak jenuh yang biasa digunakan adalah minyak cod dan minyak sardine. Asam-asam lemak tersebut memiliki sampai enam ikatan ganda dalam rantai alifatiknya yang memberikan produk reaksi dari oksidasi dan polimerisasi untuk memberikan efek penyamakan minyak pada kondisi penyamakan normal (Sharpouse, 1985).
Menurut Judoamidjojo (1981), penyamakan minyak berlangsung dalam dua fase, mula-mula minyak diambil oleh kulit secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan proses oksidasi. Dalam proses pengikatan yang penting adalah terdapatnya paling sedikit dua ikatan rangkap dalam molekul. Pada proses oksidasi, ikatan rangkap mengambil dua atom oksigen dan membentuk peroksida. Sebagian dari peroksida dapat bereaksi dengan gugus asam amino dari kolagen.
Menurut Covington (2009), reaksi dalam proses penyamakan minyak adalah belum jelas. Bahan aktifnya adalah minyak tak jenuh yang dapat dimodelkan dengan asam linoleat, CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH, yang diketahui dapat berpolimerisasi. Reaksi tersebut
berbasiskan pada pembentukan senyawa-senyawa aldehida, terutama karena proses tersebut diikuti oleh pelepasan akrolein, CH2=CHCHO, yang telah digunakan sebagai salah satu elemen pengendali
mutu. Namun akrolein sendiri tidak dapat digunakan dalam pembuatan kulit samoa.
Sharpouse (1985) menyimpulkan bahwa penyamakan minyak sebagai fiksasi produk-produk otooksidasi resin atau minyak terhadap serat protein dalam bentuk seperti pembungkus. Selanjutnya
8 Suparno (2009) menyebutkan bahwa hasil dari penyamakan tersebut sebagai sebuah matriks polimer dalam matriks kolagen. Tidak ada kepastian reaksi antara polimer tersebut dan kolagen, tidak seperti hasil dari penyamakan aldehida. Dengan demikian, sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu matriks dari ikatan-ikatan hidrokarbon terpolimerisasi, menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan, sebagai sebuah bentuk lubrikasi ekstrim untuk mencegah struktur serat tersebut bersatu dan lengket (Covington, 2009).
2.6 KULIT SAMAK MINYAK (KULIT SAMOA)
Kulit samoa merupakan produk kulit olahan yang popular dalam perdagangan (Sharphouse, 1995). Permintaan akan kulit samoa di pasaran global terus meningkat. Kulit jenis tersebut biasanya dihasilkan baik dari kulit kambing atau domba setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dan lapisan
grain. Kulit samak minyak mempunyai penggunaan khusus dalam penyaringan bensin bermutu tinggi
dan pembersihan alat-alat optik.
Kulit samoa memiliki sifat-sifat yang istimewa, antara lain memiliki bobot jenis yang sangat rendah, absorpsi air yang tinggi, kelembutan, dan kenyamanan (Wachsmann, 1999). Penggunaan utama kulit samoa adalah sebagai alat pencuci, yang memiliki kelebihan yaitu kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi, pengeluaran air dengan mudah, dan sebagian besar kotoran mudah dicuci dari kulit tersebut. Penggunaan lainnya adalah untuk pembuatan sarung tangan, untuk penyaringan air dari minyak bumi, dan orthopaedic leather (Sharphouse, 1995; John, 1996). Persyaratan mutu kulit samoa disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persyaratan mutu kulit samoa (SNI 06-1752-1990)*
No. Uraian Satuan
Persyaratan
Keterangan
Min. Maks.
1. Sifat Kimia
- Kadar minyak % 10
- Kadar abu % 5 Sesudah disarikan
minyaknya - pH - 8 2. Sifat Fisik - Ketebalan mm 0.3 1.2 - Kekuatan tarik N/mm2 7.5 - Kemuluran % 50 - Kekuatan jahit N/mm2 40 - Kekuatan sobek N/mm 15 - Penyerapan air • 2 jam % 100
9 *Badan Standarisasi Nasional (1990)
2.7 HIDROGEN PEROKSIDA
Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 merupakan bahan kimia anorganik yang
memiliki sifat oksidator kuat. Bahan baku pembuatan hidrogen peroksida adalah gas hidrogen (H2)
dan gas oksigen (O2). H2O2 tidak berwarna, berbau khas agak keasaman, dan larut dengan baik dalam
air. Dalam kondisi normal (kondisi ambient), hidrogen peroksida sangat stabil dengan laju dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun (Skuler, 2007).
Mayoritas pengunaan hidrogen peroksida adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang intinya menghasilkan oksigen. Pada tahap produksi hidrogen peroksida, bahan
stabilizer kimia biasanya ditambahkan dengan maksud untuk menghambat laju dekomposisinya,
termasuk dekomposisi yang terjadi selama produk hidrogen peroksida dalam penyimpanan. Selain menghasilkan oksigen, reaksi dekomposisi hidrogen peroksida juga menghasilkan air (H2O) dan
panas. Reaksi dekomposisi eksotermis yang terjadi adalah sebagai berikut: H2O2 H2O + O2 + 23.45 kcal/mol
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi dekomposisi hidrogen peroksida adalah: 1. Bahan organik tertentu, seperti alkohol dan bensin.
2. Katalis, seperti Pd, Fe, Cu, Ni, Cr, Pb, Mn.
3. Temperatur, laju reaksi dekomposisi hidrogen peroksida naik sebesar 2.2 kali setiap kenaikan 10oC (dalam rentang temperatur 20-100oC).
4. Permukaan container yang tidak rata (active surface).
5. Padatan yang tersuspensi, seperti partikel debu atau pengotor lainnya. 6. Semakin tinggi pH (makin basa), laju dekomposisi semakin tinggi.
7. Radiasi, terutama radiasi dari sinar dengan panjang gelombang yang pendek (Skuler, 2007). Hidrogen peroksida bisa digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent pada industri pulp, kertas, dan tekstil. Senyawa ini juga biasa digunakan pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen, makanan dan minuman, medis serta industri elektronika (pembuatan PCB) (Skuler, 2007).
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidasinya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH atau soda api. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi (Skuler, 2007).
Tabel 1. Persyaratan mutu kulit samoa (SNI 06-1752-1990)* (Lanjutan)
No. Uraian Satuan Persyaratan Keterangan
Min. Maks.
• 24 jam % 200
3. Organoleptik - Keadaan kulit
- Halus Seperti beludru
- Warna
- Kuning
10
2.8 PROSES OKSIDASI
Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan, sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecil pun mudah mengalami proses oksidasi. Produk primer dari proses oksidasi adalah persenyawaan hidroperoksida yang terbentuk dari hasil reaksi antara lemak tidak jenuh dengan oksigen, sedangkan produk sekunder dihasilkan dari proses degradasi produk primer (hidroperoksida). Hasil degradasi hidroperoksida ini terdiri dari alkohol, aldehida dan asam, serta persenyawaan tidak jenuh dengan berat molekul lebih rendah (Ketaren, 2008). Oksidasi spontan lemak tidak jenuh didasarkan pada serangan oksigen terhadap ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh), sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam molekul trigliserida terdiri atas asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Asam-asam tidak jenuh ini jika dioksidasi maka masing-masing akan membentuk oleat hidroperoksida, linoleat hidroperoksida, dan linolenat hidroperoksida yang bersifat reaktif. Peroksida yang dihasilkan bersifat tidak stabil dan akan mudah mengalami dekomposisi oleh proses isomerasi atau polimerisasi, dan akhirnya menghasilkan persenyawaan dengan berat molekul lebih rendah (Ketaren, 2008).
Menurut Judoamidjojo (1981), penyamakan minyak berlangsung dalam dua fase, mula-mula minyak diambil oleh kulit secara mekanis, kemudian dilanjutkan dengan proses oksidasi. Dalam proses pengikatan yang penting adalah terdapatnya paling sedikit dua ikatan rangkap dalam molekul. Pada proses oksidasi, ikatan rangkap mengambil dua atom oksigen dan membentuk peroksida. Sebagian dari peroksida dapat bereaksi dengan gugus asam amino dari kolagen.
Selama proses oksidasi, minyak akan mengalami beberapa perubahan kimia dan beberapa hasil dari oksidasi tersebut memiliki kemampuan untuk berikatan dengan serat kulit (kolagen) sehingga akan memberikan efek penyamakan pada kulit. Sangat penting untuk mengusahakan agar proses oksidasi terjadi secara in situ pada serat kulit. Dalam proses oksidasi, mula-mula akan terbentuk peroksida dan hidroperoksida, dan reaksinya dengan protein kulit akan memberikan karakteristik penyamakan ‘full oil’. Selanjutnya, minyak yang tidak terikat dapat teroksidasi lebih lanjut menjadi aldehida yang menguap atau aldehida tidak menguap, kemudian akan mengalami perubahan kimia seperti polimerisasi, membentuk produk yang lebih kental. Produk ini juga dapat berikatan dengan serat kulit selama pembentukannya (Sharphouse, 1995).
Pada penyamakan minyak menggunakan minyak biji karet, bahan aktif dalam reaksi oksidasi dapat dimodelkan dengan asam linoleat, karena sebagian besar asam lemak tidak jenuh penyusun minyak biji karet adalah asam linoleat. Asam linoleat akan mengalami oksidasi membentuk linoleat hidroperoksida. Reaksi pembentukan hidroperoksida dapat dilihat pada Gambar 5. Hidroperoksida yang terbentuk selanjutnya mengalami degradasi sekunder yang akan membentuk senyawa-senyawa hidrokarbon dengan berat molekul lebih rendah melalui reaksi polimerisasi. Asam linoleat, CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7COOH, diketahui dapat berpolimerisasi. Reaksi polimerisasi
asam lemak tidak jenuh dapat dilihat pada Gambar 6. Ikatan-ikatan hidrokarbon terpolimerisasi kemudian akan membentuk matriks polimer di dalam matriks kolagen yang akan menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan, sehingga dapat memberikan efek penyamakan minyak yaitu berupa kulit samoa yang lembut dan halus, lebih mudah mengerut bila dibandingkan dengan kulit samak aldehida, serta mampu menyerap air.
11 Gambar 5. Reaksi oksidasi pada minyak/lemak (Winarno, 1992)