Analisis Dampak Aktivitas Masyarakat Terhadap Kualitas Air di Obyek Wisata Pantai Sri Mersing Kecamatan Pantai Cermin
Kabupaten Serdang Bedagai
Analysis of the Impact of Community Activities on the Quality of Water in Tourism Sri Mersing Beach District Pantai Cermin Bedagai Serdang
Eka Tri Rahayu1, Pindi Patana2, Desrita2
1
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, FakultasPertanian, Universitas Sumatera Utara, (Email:eka.rahayu1992@yahoo.com)
2
Staff Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Coastal waters nowadays is like a final shelter of kinds waste generated by human activity from agriculture, household, waste disposal of fish landings etc. If they has exceeded the carrying capacity, the water quality will decrease, and being polluted physically, chemically, microbiological and affect the beauty and comfort of visitors in the tour activities. Research was conducted at Sri Mersing Beach, District Pantai Cermin, Serdang Bedagai in August-November 2014 by analyzing the water quality of the River Sei Baungan and Sri Mersing Beach. It compared with the water quality standard based Kep-51/MENLH/2004 for marine tourism, assessed the quality of the coastal environment, the potential for the development of coastal tourism, and to got the perception of tourists to the beauty and comfort of the destination. The results showed that there were several water quality parameters that were not in accordance with the water quality standards for tourism activities with the existence of rubbish, turbidity and Colifaecal. Assessment of environmental quality of coastal area of research is categorized extremely suited for coastal tourism and potentially to be used as a destination. Keywords: water quality, coastal quality, Sei Baungan, Sri Mersing, tourism
potential.
PENDAHULUAN
Perairan pesisir merupakan penampungan (storage system) akhir segala jenis limbah yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Laut menerima bahan-bahan yang terbawa oleh air dari daerah pertanian, limbah rumah tangga, sampah, pembuangan limbah pendaratan ikan dan bahan buangan dari kapal yang terbuang kelaut. Jika beban yang diterima oleh perairan telah melampaui daya dukungnya maka kualitas air akan turun. Lingkungan perairan tidak sesuai lagi dengan batas baku mutu
yang ditetapkan, perairan tersebut telah tercemar baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologi.
Salah satu pantai yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai khususnya di Kecamatan Pantai Cermin adalah Pantai Sri Mersing. Pantai Sri Mersing sering dikunjungi oleh para wisatawan lokal. Obyek wisata Pantai Sri Mersing menawarkan pemandangan pasir putih yang bersih dan indah yang memungkinkan para wisatawan untuk berjemur di pantai. Ombak di pantai ini tidak terlalu besar sehingga
memungkinkan anak-anak atau pengunjung bisa berenang di pantai, hanya saja pengunjung yang ingin berenang dibatasi hingga radius 30 meter dari bibir pantai. Pantai Sri Mersing juga jadi tempat pendaratan ikan oleh nelayan sehingga wisatawan bisa melihat langsung ikan segar saat diturunkan dari perahu nelayan.
Adanya aktivitas masyarakat sekitar yang dilakukan di Pantai Sri Mersing seperti pemukiman dan pendaratan ikan yang berpengaruh terhadap kualitas perairan dan kualitas lingkungan pesisir. Upaya pemanfaatan dan pertimbangan aspek lingkungan diperlukan untuk menjamin eksistensi wisata pantai selain itu kepuasan dan kenyamanan parawisatawan dalam beraktivitas dikawasan pantai juga dapat terjaga. Untuk itu diperlukan suatu Analisis Dampak Aktivitas Masyarakat Terhadap Kualitas Air di Obyek Wisata Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai.
METODE PENELITIAN Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Nopember 2014 di Pantai Sri Mersing Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis sampel air dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Medan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, GPS, keping secchi, cool box, kalkulator, tongkat berskala,
stopwatch, tali plastik, meteran, bola
plastik, waterpass, botol sampel, kertas label, alat tulis dan peralatan analisa kualitas air seperti botol
winkler, termometer, pH meter,
turbidity meter dan refraktometer.
Bahan yang digunakan adalah kuisioner untuk mendapatkan data sekunder. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kualitas air antara lain MnSO4, KOH-KI, H2SO4,
Na2S2O3, amilum, akuades, es dan
sampel air.
Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah data yang diperoleh di lapangan maupun hasil analisis dari laboratorium untuk data analisis air. Analisis terhadap sampel air laut menggunakan baku mutu kualitas air laut untuk wisata bahari berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 dilakukan secara langsung dan data lain seperti kekeruhan dan Colifaecal hasilnya diperoleh melalui analisis laboratorium.
Data sekunder yang diambil adalah melalui studi literatur (studi pustaka) maupun dari lembaga terkait lainnya.
Prosedur Penelitian
Pengukuran Faktor Fisika, Kimia, dan Biologi Perairan
Penentuan stasiun berdasarkan perbedaan aktivitas oleh masyarakat dan aktivitas wisata di obyek wisata Pantai Sri Mersing. Ditetapkan 2 (dua) stasiun pengamatan dimana
pada setiap stasiun ada 3 (tiga) titik dengan 3 (tiga) kali pengulangan dengan kriteria setiap titik mewakili setiap aktivitas masyarakat dan aktivitas wisata di obyek wisata Pantai Sri Mersing.
Pengukuran Faktor Fisika, Kimia, dan Biologi Perairan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Baku mutu kualitas air laut untuk wisata bahari
No. Parameter Satuan Baku Mutu L Lokasi Fisika 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kedalaman Kecerahan Suhu Bau Sampah Kekeruhan Meter Meter °C - - NTU Tidak tercantum >6(a) Alami(c) Tidak Berbau Nihil1(4) 5(a) In situ In situ In situ In situ In situ Eks situ Kimia 1. 2. 3. 4. pH Salinitas Oksigen terlarut BOD5 - ‰ mg/L mg/L 7-8,5(d) Alami3(e) >5 10 In situ In situ In situ Eks situ Biologi 1. Colifaecal Jumlah/ 100 ml 1000(g) Eks situ
Sumber: Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 (2004)
Penilaian Kualitas Lingkungan Pesisir
Penilaian kualitas lingkungan pesisir pada lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan kriteria bersumber dari Bakosurtanal (1996) dan DKP (2003) yang meliputi kualitas akuatik dan kualitas terestrial.
Kualitas Akuatik
Daerah akuatik ialah daerah perairan yang terdapat di kawasan pesisir. Batasan daerah akuatik ialah batas pesisir laut hingga batas pasang surut tertinggi.
[( + (Fka x 15) +(Fsd x 15) + (Ftop x 10) + (Ftsu x 5)]
Kualitas Terestrial
Daerah terestrial merupakan daerah daratan yang terdapat di
kawasan pesisir. Parameter yang digunakan dari daerah terestrial ini meliputi habitat, penutupan lahan pantai, lebar pantai, topografi, dan bahaya gunung berapi.
Penghitungan klasifikasi kesesuaian lingkungan terrestrial= [(Feko x 20) + (Fplp x 15) + (Flp x 10)
+ (Ftop x 10) + (Fbgb x 5)]
Penggabungan hasil kesesuaian akuatik dan terestrial menghasilkan zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir, yaitu zona tidak peka (S1), zona kurang peka (S2), zona cukup peka (S3), dan zona peka (S4).
Pengembangan Kepariwisataan Pesisir
Pengembangan pariwisata di suatu kawasan dimulai dengan menentukan obyek dan atraksi wisata yang tersedia dan selanjutnya dinilai potensinya untuk dapat dikembangkan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan metode McKinnon (1986) dan Gunn (1994) dengan kepala desa sebagai penilai.
Penghitungan penilaian terhadap obyek dan atraksi wisata= [(Flju + Fek + Fatr + Ffp + Fka +Fta
+ Fdpm)] Korelasi
Analisis Korelasi Pearson dilakukan dengan software IBM SPSS Ver. 17.00. Uji ini merupakan uji statistik untuk mengetahui korelasi antara parameter kualitas air yang paling tinggi konsentrasinya dengan faktor fisika, kimia, dan biologi perairan yang akan mempengaruhi kualitas air di pantai.
Pengunjung dan Masyarakat Sekitar Pantai Sri Mersing
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah metode
purposive sampling (sampel dengan
ini adalah wisatawan yang berkunjung ke kawasan Pantai Sri Mersing dalam waktu satu bulan dan masyarakat sekitar Pantai Sri Mersing. Dengan rumus Slovin dalam Amanda (2009)
Persepsi wisatawan terhadap keindahan dan kenyamanan kawasan
Analisis mengenai persepsi wisatawan digunakan untuk mengetahui tingkat keindahan dan kenyamanan Pantai Sri Mersing. Tingkat keindahan dan kenyamanan menurut Yulianda (2004) dibagi atas keindahan dan kenyamanan alam lokasi wisata. Penilaian terhadap keindahan kawasan dilakukan dengan membuat daftar pertanyaan (kuisioner) yang ditujukan kepada wisatawan. Secara kuantitatif dapat dihitung dengan rumus (Yulianda, 2004):
Ka =
x 100%
Kenyamanan kawasan merupakan nilai yang diberikan oleh wisatawan terhadap rasa kelapangan, ketentraman dan keamanan. Nilai kenyamanan dilakukan dengan membuat daftar pertanyaan yang ditujukan kepada wisatawan. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus (Yulianda, 2004):
Na = x 100% HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air Muara Sungai Sei Baungan dan Pantai Sri Mersing
Sampel kualitas air Muara Sungai Sei Baungan diambil berdasarkan aktivitas masyarakat yang terdapat di sungai seperti
pemukiman, pendaratan ikan (TPI) dan muara sungai yang bersinggungan langsung dengan obyek wisata Pantai Sri Mersing. Sedangkan sampel kualitas air Pantai Sri Mersing diambil di area Pantai. Hasil analisis kualitas air Muara Sungai Sei Baungan dan Pantai Sri Mersing dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis kualitas air
Muara Sungai Sei Baungan dan Pantai Sri Mersing
Hasil penelitian parameter fisika, kimia dan biologi perairan memiliki nilai yang bervariasi, menunjukkan bahwa ada beberapa parameter yang tidak sesuai dengan baku mutu Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 air laut untuk wisata bahari. Parameter-parameter tersebut terdiri dari parameter fisika dan biologi.
Parameter kualitas perairan yang sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan, sehingga kurang baik untuk kegiatan wisata dan rekreasi khususnya bagi aktivitas mandi renang dan estetika.
Parameter Fisika
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 2, Muara Sungai Sei Baungan memiliki kedalaman adalah 1,9 m sedangkan kedalaman Pantai Sri Mersing 1,6 m. Kedalaman yang tertinggi terdapat di Muara Sungai Sei Baungan No. Parameter Satuan
Stasiun 1 Muara Sungai Sei Baungan Stasiun 2 Pantai Sri Mersing
Baku Mutu Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004
Ket.
Fisika
1. Kedalaman Meter 1,9 1,6 Tidak Tercantum Baik 2. Suhu oC 31 30 Alami Baik
3. Bau - Bau Tidak Berbau Tidak Berbau Tidak baik 4. Sampah - Ada Ada Nihil Tidak baik 5. Kekeruhan NTU 34,84 6,79 5 Tidak baik Kimia
1. pH - 7,2 7,4 7-8,5 Baik 2. Salinitas ‰ 6,6 21,6 Alami Baik 3. Oksigen Terlarut mg/L 5,7 7,4 >5 Baik 4. BOD5 mg/L 2,3 2,5 10 Baik Biologi 1. Colifaecal Jumlah/ 100 ml >1600 >1600 1000 Tidak baik
sedangkan kedalaman yang terendah terdapat di Pantai Sri Mersing.
Kenaikan kedalaman sungai yang terjadi di muara sungai diakibatkan adanya pengerukan material sedimen yang seharusnya muara sungai mengalami pendangkalan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mukhtasor (2007) yang menyatakan bahwa pengerukkan material umumnya dilakukan akibat adanya sedimentasi. Sedimentsi sering mengakibatkan pendangkalan di perairan sungai, muara sungai atau pelabuhan.
Suhu Muara Sungai Sei Baungan yang diamati tergolong tinggi yaitu sebesar 31°C. Suhu perairan Pantai Sri Mersing yang diamati yaitu sebesar 30-31°C. Hal ini disebabkan oleh pengukuran suhu yang dilakukan pada siang hari, sehingga radiasi sinar matahari yang masuk ke dalam badan air intensitasnya cukup besar untuk memanaskan perairan. Hal ini berkaian dengan penelitian Saputra (2009) Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan.
Hasil pengamatan bau pada Muara Sungai Sei Baungan memiliki bau yang sangat pekat, sedangkan perairan Pantai Sri Mersing tidak berbau. Bau ini berasal dari pendaratan ikan yang berada di muara sungai. Bau yang ditimbulkan di perairan sungai tidak sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan. Menurut Mukhtasor (2007) bau merupakan salah satu dampak fisik yang paling sering timbul dari pembuangan limbah industri pengolahan perikanan ke badan perairan. Hal ini disebabkan oleh bereaksinya senyawa organik dalam limbah, terutama protein dengan oksigen dalam suasana
anaerobik, sehingga dihasilkan asam sulfide (H2S) dan ammonia (NH3).
Hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa di semua stasiun ditemukan sampah. Stasiun yang paling banyak ditemukan sampah adalah stasiun 1 (Muara Sungai Sei Baungan). Banyaknya sampah di setiap stasiun menunjukkan tidak sesuainya dengan baku mutu. Muara sungai menjadi tempat akumulasi bahan-bahan pencemar termasuk sampah yang masuk kedalamnya. Banyaknya sampah dihasilkan dari berbagai aktivitas yang terjadi di masyarakat. Menurut Argarini (2014) bahwa pencemaran disebabkan oleh adanya masukan limbah dari kegiatan antropogenik (pemukiman, pertanian, dan industri). Kegiatan domestik dan industri di sepanjang DAS mengakibatkan mutu air di hilir dan muara sungai tersebut dalam kondisi tercemar.
Dari hasil pengukuran yang dilakukan seperti yang terlihat pada Tabel 2, didapat nilai kekeruhan perairan Muara Sungai Sei Baungan berkisar 34,84 NTU dan nilai kekeruhan perairan Pantai Sri Mersing menunjukkan nilai rata-rata kekeruhan adalah 6,79 NTU. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 1 (Muara Sungai Sei Baungan) sedangkan nilai terendah pada stasiun 2 (Pantai Sri Mersing). Dari data ini dapat diketahui bahwa kualitas perairan di Muara Sungai Sei Baungan dan Pantai Sri Mersing dilihat dari kekeruhan kondisinya tidak baik karena tidak sesuai dengan baku mutu Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 untuk kegiatan wisata bahari.
Tingginya nilai kekeruhan menunjukkan bahwa padatan terlarut yang tinggi terkandung dalam limbah organik yang berasal dari kegiatan di
daratan terbawa oleh air sungai dan sebagian besar mengendap di muara sungai. Hal ini berkaitan dengan penelitian Hartami (2008) bahwa sumber yang menyebabkan terjadinya kekeruhan antara lain berasal dari material organik maupun non organik (partikel liat dan tanah yang terlarut,
phytoplankton dan zooplankton yang
mengapung, penguraian tanaman yang mati).
Parameter Kimia
Pada pengukuran lapangan (in
situ) menunjukkan bahwa pH air di
Muara Sungai Sei Baungan sebesar 7,2, sedangkan nilai pH di perairan Pantai Sri Mersing sebesar 7,4. Nilai pH yang tertinggi terdapat di stasiun 2 (Pantai Sri Mersing) dan nilai pH yang terendah terdapat di stasiun 1 (Muara Sungai Sei Baungan). Hasil ini menunjukkan bahwa nilai pH ini masih berada dalam standar baku mutu yaitu sebesar 7-8,5. Menurut Rahmawati (2009) bahwa derajat keasaman (pH) merupakan sifat kimia yang berperan penting untuk mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam perairan.
Salinitas perairan di Muara Sungai Sei Baungan sebesar 6,66 ‰ sedangkan nilai rata-rata salinitas di Pantai Sri Mersing sebesar 21,66 ‰. Nilai salinitas terendah terdapat di stasiun 1 (Muara Sungai Sei Baungan) dan nilai salinitas tertinggi terdapat di stasiun 2 (Pantai Sri Mersing). Nilai salinitas yang tergolong rendah karena titik sampling terletak pada daerah yang mendapat pengaruh dari pasang surut air laut. Hal ini berkaitan dengan penelitian Saputra (2009) bahwa muara sungai termasuk estuari tercampur sebagian sehingga pada waktu tertentu air tawar dan air laut masuk ke muara sungai dalam jumlah
besar. Air laut yang masuk ke sungai dalam jumlah besar sehingga menyebabkan salinitas di stasiun tawar melebihi 0,5 PSU.
Hasil pengukuran menunjukkan nilai rata-rata kandungan DO pada stasiun 1 (Muara Sungai Sei Baungan) sebesar 5,7 mg/l sedangkan nilai DO di Pantai Sri Mersing sebesar 7,4 mg/l. DO tertinggi terdapat pada stasiun 2 (Pantai Sri Mersing) dan terendah pada stasiun 1 (Muara Sungai Sei Baungan). Nilai oksigen terlarut tersebut sesuai dengan baku mutu air laut KEP-51/MENKLH/2004 yaitu nilainya lebih dari 5 mg/l.
Rendahnya kandungan oksigen terlarut di stasiun 1 (Muara Sungai Sei Baungan) disebabkan oleh banyaknya polutan organik yang dihasilkan oleh aktivitas penduduk sekitar kawasan muara sedangkan meningkatnya oksigen terlarut di perairan pantai diakibatkan karena daerah ini dipengaruhi pergerakan arus dari laut sehingga massa air yang masuk akan meningkatkan oksigen terlarut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahlia (2009) bahwa peningkatan konsentrasi oksigen terlarut disebabkan oleh beberapa faktor seperti letak stasiun yang berdekatan dengan laut terbuka sehingga gerakan air relatif tinggi karena masih sangat terpengaruh oleh arus dan gelombang. Rendahnya DO di sungai dan muara disebabkan oleh nilai kekeruhan yang tinggi, sehingga memberikan sumbangan yang rendah terhadap konsentrasi oksigen terlarut di perairan.
Nilai BOD yang diukur adalah nilai BOD5. Hasil pengukuran contoh
air Muara Sungai Sei Baungan diperoleh nilai rata-rata BOD5 sebesar
2,26 mg/l sedangkan nilai rata-rata BOD5 Pantai Sri Mersing sebesar
2,46 mg/l. Nilai BOD5 tertinggi
terdapat pada stasiun 2 (Pantai Sri Mersing), sedangkan BOD5 terendah
pada stasiun 1 (Muara Sungai Sei Baungan). Hasil ini masih dalam batas yang diinginkan yaitu <10 mg/l. BOD5 tinggi menunjukkan
bahwa jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi bahan organik dalam air tersebut tinggi. Menurut Hartami (2008) bahwa semakin tinggi nilai BOD maka semakin tinggi pula aktivitas organisme untuk menguraikan bahan organik atau dapat dikatakan pula semakin besar kandungan bahan organik diperairan tersebut.
Parameter Biologi
Hasil pengamatan (analisis laboratorium) di Muara Sungai Sei Baungan dan Pantai Sri Mersing ditemukan adanya bakteri Colifaecal. Pada Muara Sungai Sei Baungan, kisaran rata-rata nilai Colifaecal yang diperoleh sebesar >1600 MPN/100 ml. Konsentrasi Colifaecal tertinggi terdapat di titik 1 (pemukiman penduduk) dan konsentrasi yang terendah terdapat di titik 3 (muara sungai). Perairan Pantai Sri Mersing memiliki konsentrasi nilai yang tertinggi terdapat pada titik 1 yaitu >1600 dan konsentrasi nilai
Colifaecal terendah terdapat di titik 3
yaitu sebesar 370 individu/100 ml. Hasil Colifaecal yang diperoleh tersebut tidak sesuai dengan baku mutu. Jumlah maksimum Colifaecal yang diperbolehkan menurut baku mutu Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 air laut mensyaratkan bagi kegiatan wisata adalah 1000 MPN/100 ml.
Konsentrasi Colifaecal tinggi di perairan disebabkan sumber utama
Colifaecal adalah feses disebabkan
karena sebagian besar masyarakat yang bermukim di tepi sungai masih belum memiliki sistem sanitasi yang baik. Sedangkan konsentrasi nilai
Colifaecal rendah disebabkan karena
lokasinya berada di muara yaitu di depan mulut sungai yang terus menerus membawa air dari Sungai Sei Baungan dengan salinitas yang berfluktuasi 1-10‰. Hal ini berkaitan dengan penelitian Atmojo dkk (2011) bahwa perbedaan kondisi lingkungan air sungai dan pantai juga disebabkan karena muara merupakan tempat bertemunya air sungai dengan arus pasang-surut yang berlawanan dan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimen, pencampuran air, dan ciri-ciri fisik lainnya, sehingga menghasilkan sifat yang berbeda antara air laut dan sungai yang memerlukan tingkat adaptasi yang tinggi bagi organisme.
Analisis Korelasi Pearson Antara Faktor Fisika dan Kimia Dengan Kelimpahan Colifaecal
Uji analisis korelasi Pearson antara faktor fisika dan kimia dengan kelimpahan Colifaecal maka diperoleh nilai korelasi seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Analisis Korelasi Pearson Antara Faktor Fisika Kimia dengan total
Colifaecal
Korelasi Pearson Total Colifaecal
Suhu - 843 Kekeruhan - 783 pH - 538 Salinitas - 981 DO + 988 BOD5 - 999
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa hasil uji analisis korelasi Pearson antara beberapa faktor fisika dan kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya dengan total
Colifaecal. Menurut Sarwono (2006),
koefisien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Koefisien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah, jika korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik.
Penilaian Kualitas Lingkungan Pesisir
Penilaian kualitas lingkungan pesisir kawasan penelitian ditentukan berdasarkan kesesuaian akuatik dan kesesuaian terestrial.
Penilaian Kualitas Akuatik
Hasil dari penilaian kesesuaian akuatik dapat dilihat pada Tabel 4 ialah kategori sangat sesuai (S1) untuk wisata pesisir di Pantai Sri Mersing dengan skor 180.
Tabel 4. Penilaian kesesuaian akuatik untuk wisata pesisir di Pantai Sri Mersing
Parameter B S Skor Total
Kecerahan Perairan 20 2 40 Kecepatan arus 15 4 60 Substrat Dasar 10 2 20 Topografi Laut 10 4 40 Bahaya tsunami 5 4 20 Total 180 Kesesuaian wisata SS
Setelah dilakukan skoring dan pembobotan diperoleh nilai kesesuaian lingkungan akuatik sebesar 180 yang dikategorikan sangat sesuai dengan nilai antara 181-240. Berdasarkan persyaratan di atas, maka secara fisik perairan Pantai Sri Mersing merupakan pantai yang potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata dengan mengingat potensi sumber daya yang dimiliki sangat mendukung seperti kecepatan arus yang rendah, topografi yang landai, dan tidak memiliki kerawanan bencana tsunami.
Kualitas Terestrial
Hasil yang diperoleh dari penilaian kesesuaian terestrial Pantai Sri Mersing dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penilaian kesesuaian kualitas terestrial wisata pesisir Pantai Sri Mersing
Parameter B S Skor Total
Ekosistem 20 4 80
Penutupan lahan pantai 15 4 60
Lebar pantai 10 4 40
Kemiringan (°) 10 3 30
Bahaya gunung api 5 4 20
Total 230
Kesesuaian wisata SS
Penurunan kualitas lingkungan alami pada kawasan pengembangan ekowisata mengakibatkan berkurangnya atraksi wisata dan berdampak bagi kepuasan wisatawan dalam memperoleh pengalaman ekologis. Penilaian kualitas lingkungan terestrial Pantai Sri Mersing yaitu 230 dan dikategorikan dalam kelas sangat sesuai dengan nilai 181-240.
Berdasarkan penilaian kualitas lingkungan akuatik dan terestrial diperoleh zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir. Zona ini merupakan penggabungan antara kesesuaian akuatik dan kesesuaian terestrial. Zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir untuk mendukung pengembangan wisata pesisir di Pantai Sri Mersing diklasifikasikan menjadi zona tidak peka (S1).
Pengembangan Kepariwisataan Pesisir
Hasil dari analisis kelayakan obyek dan atraksi wisata di Pantai Sri Mersing ialah berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata dengan skor 21. Penilaian kelayakan obyek dan atraksi wisata di Pantai Sri Mersing dapat dilihat pada Tabel 6.
23% 61% 16% Persepsi Kenyamanan Nyaman Cukup Nyaman Tidak Nyaman Tabel 6. Penilaian kelayakan obyek
dan atraksi wisata di Pantai Sri Mersing
Parameter Skor Skor Total
Letak dari Jalan utama 1 1
Estetika dan keaslian 3 3
Atraksi 2 2
Fasilitas pendukung 3 3
Ketersediaan air bersih 4 4
Transportasi Aksesbilitas 4 4
Dukungan Masyarakat 4 4
Total 21
Kesesuaian wisata S1
Pantai Sri Mersing merupakan pantai yang memiliki zona kurang atraktif yaitu zona wisata dengan tingkat potensi rendah yang memiliki obyek dan atraksi wisata 1-3. Secara keseluruhan, kawasan Pantai Sri Mersing kurang memiliki obyek dan atraksi wisata alam. Dengan demikian, tema wisata yang dapat dikembangkan di Pantai Sri Mersing ialah wisata alam sebagai wisata utama sebagai wisata penunjang.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Marpaung (2002) diacu oleh Ramli (2009) bahwa obyek dan daya tarik merupakan dasar bagi kepariwisataan. Tanpa adanya daya tarik disuatu areal atau daerah tertentu, kepariwisataan sulit untuk dikembangkan, karena potensi obyek dan daya tarik wisata alam merupakan sumberdaya ekonomi yang bernilai tinggi dan pelestarian lingkungan.
Penilaian Persepsi Wisatawan
Terhadap Keindahan dan
Kenyamanan Kawasan
Populasi responden kuisioner untuk pengunjung adalah 44 orang, hasil ini diperoleh dari perhitungan sampel pengunjung. Persepsi wisatawan terhadap keindahan kawasan Pantai Sri Mersing dinyatakan indah oleh sebanyak 24 orang responden dari total 44 orang
responden. Hasil dari 24 orang responden tersebut diperoleh nilai keindahan kawasan sebesar 54,54 %. Nilai tersebut masuk ke dalam kisaran antara 40%-75% yang menunjukkan bahwa kriteria keindahan kawasan di Pantai Sri Mersing adalah cukup indah. Menurut Pragawati (2009) bahwa keindahan kawasan dapat menunjang dalam pengembangan daerah tersebut sebagai kawasan ekowisata.
Persepsi wisatawan terhadap kenyamanan kawasan Pantai Sri Mersing, dari 44 responden sebanyak 27 orang responden mengatakan nyaman. Hasil dari 27 orang responden tersebut diperoleh nilai kenyamanan kawasan yaitu sebesar 61,36%. Nilai tersebut masuk ke dalam kisaran antara 40%-75% yang menunjukkan bahwa kriteria kenyamanan kawasan di Pantai Sri Mersing adalah cukup nyaman. Menurut Rahmawati (2009) bahwa ketidak nyamanan wisatawan disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana yang ada di obyek wisata pantai yang akan berdampak pada kunjungan wisatawan. Diagram persepsi wisatawan terhadap keindahan dan kenyamanan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Persepsi Wisatawan
32% 54% 14% Persepsi Terhadap Keindahan Indah Cukup Indah Tidak Indah
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Parameter kualitas air yang tidak sesuai dengan baku mutu KepMen Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 air laut untuk kegiatan wisata adalah sampah, kekeruhan dan
Colifaecal. Penilaian kualitas
lingkungan pesisir Pantai Sri Mersing ialah kategori sangat sesuai untuk wisata pesisir dan berpotensi untuk dijadikan kawasan wisata.
2. Persepsi wisatawan terhadap keindahan kawasan Pantai Sri Mersing diperoleh nilai keindahan kawasan sebesar 54,54%, nilai tersebut menunjukkan bahwa kriteria keindahan kawasan di Pantai Sri Mersing adalah cukup indah. Sedangkan persepsi wisatawan terhadap kenyamanan sebesar 61,36% mengatakan bahwa pengunjung merasa cukup nyaman.
Saran
1. Penelitian tentang pengaruh aktivtias masyarakat terhadap kualitas air Pantai Sri Mersing sebaiknya dilakukan pengambilan sampel untuk parameter Nitrat, Fosfat dan Pestisida karena terdapat aktivitas pertanian yang berada di sekitar Pantai Sri Mersing.
2. Perlu dilakukan upaya dalam menanggulangi pencemaran perairan akibat limbah dari aktivitas masyarakat dapat dilakukan dengan sosialisasi ke masyarakat dengan memberikan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang limbah padat dan cair langsung ke perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, M. 2009. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari Terhadap Pendapatan Masyarakat Lokal Studi Kasus Pantai Bandulu Kabupaten Serang Provinsi Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Argarini. A. 2014. Kualitas Perairan Pesisir Cituis Kabupaten Tangerang, Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Atmojo, T. Y., Bachtiar, T., Karna, O. R., dan Sabdono, A. 2011. Eksistensi Koprostanol Dan Bakteri Coliform Pada Lingkungan Perairan Sungai, Muara, Dan Pantai Di Jepara Pada Monsun Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol. 9 No. 1. Hal: 10-17.
Dahlia. H. 2009. Studi Keterkaitan Beban Limbah Terhadap Kualitas Perairan (Studi Kasus Kamal Muara). [Tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hartami. P. 2008. Analisis Wilayah Perairan Teluk Pelabuhan Ratu untuk Kawasan Budidaya Perikanan Sistem Keramba Jaring Apung. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
MNLH. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta: KEP No. 51/MNLH/I/2004.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Pradnya Paramita. Jakarta.
Pragawati. B. 2009. Pengelolaan SumberDaya Pesisir untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Pantai Binangun Kabupaten Rembang Jawa Tengah. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahmawati. A. 2014. Studi Pengelolaan Kawasan Pesisir untuk Kegiatan Wisata Pantai (Kasus Pantai Teleng Ria Kabupaten Pacitan, Jawa Timur). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saputra. H. 2009. Karakteristik Kualitas Air Muara Sungai Cisadane Bagian Tawar dan Payau Kabupaten Tangerang, Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yusiana, L, S. 2007. Perencanaan
Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan di Teluk Konga, Flores Timur Nusa Tenggara Timur. [Tesis] Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.