• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan di Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) dan Laboratorium Kimia Terpadu Institut Pertanian Bogor, karakteristik minyak ikan disajikan pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8 Karakteristik Minyak Ikan untuk Amidasi

Jenis Analisis Hasil

Bilangan iod 158.09

Bilangan penyabunan (mg KOH/g) 201.80

Bilangan asam (mg KOH/g) 1.40

Bobot jenis 0.89

Jenis asam lemak Konsentrasi (%)

Miristat 11.74 Palmitat 17.94 Palmitoleat 14.26 Stearat 3.03 Oleat 4.89 Linoleat 1.01 g-Linolenat 0.59 Arakidonat 4.04 EPA 16.06 DHA 12.79

Produk Amida Minyak Ikan

Proses amidasi menggunakan n-butilamina mengikuti metode Feairheller et al. (1994). Dari spektra hasil analisis menggunakan spektroskopi inframerah (IR) didapat gugus amida asam lemak sebagai hasil reaksi minyak ikan dan butilamina. Pada amida primer, vibrasi N-H berada pada angka gelombang 3400-3520 cm-1. Dari hasil uji spektrum IR sampel, maka diduga gugus N-H (ikatan amida I) berada pada angka gelombang 3299.35 cm-1 (Gambar 5).

(2)

Gambar 5 Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan butilamina

Amida asam lemak merupakan senyawa yang mempunyai reaktivitas yang rendah dan stabilitas panas yang tinggi. Sifat kimia dari senyawa ini bergantung pada panjang rantai hidrokarbon dan penggantian atom hidrogen pada atom N (Bilyk et al. 1992). Karakteristik dari produk yang dianalisis Laboratorium Balai Besar Pasca Panen dan Laboratorium Biologi Hewan PPSHB IPB tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik Amida Minyak Ikan

Jenis Analisis Hasil

Bilangan Iod 104.69

Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) 46.92

Bilangan Asam (mg KOH/g) 5.38

Bobot Jenis 0.81

Kadar Lemak (%) 93.43

Kadar N (%) 3.39

Pengaruh amidasi menurunkan bilangan iod karena pengaruh oksidasi termal selama proses oksidasi memutuskan ikatan rangkap pada minyak, sehingga jumlahnya berkurang. Namun, penurunan tersebut relatif kecil dibandingkan

(3)

dengan bahan bakunya (158 vs 104). Hal ini karena suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi (780C). Bilangan penyabunan turun tajam (201 vs 49) karena bahan-bahan tersabunkan sisa amidasi terbuang setelah proses pencucian berkali-kali. Proses oksidasi juga meningkatkan bilangan asam, karena terputusnya ester asam lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas. Kadar lemak pada produk yang dihasilkan menurun karena meningkatnya proporsi air dan kadar N pada proses amidasi.

Bilyk et al. (1992) melakukan prosedur amidasi pada berbagai sumber lemak menggunakan butilamina dengan perbandingan rasio molar 1:8. Meskipun bilangan iod dari berbagai sumber lemak berbeda, laju reaksi relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan rangkap terujung tidak terlibat dalam proses amidasi. Fenomena ini terlihat pada hasil identifikasi senyawa amida yang terbentuk menggunakan GC-MS disajikan pada Tabel 10, yang menunjukkan tingginya luas area senyawa metil-eikosa-5,8,11,14,17-pentaenoat yang tidak teramidasi.

Tabel 10 Komposisi kimia utama hasil amidasi minyak ikan

No Komponen Luas Area (%)

1 Decanamide (kaprinamida) 2.41 2 Dodecanamide (lauramida) 4.85 3 Octadecanamide (stearamida) 34.93 4 9-Octadecenamide (oleamida) 12.48 5 Morinamide 3.49 6 Methyl-eicosa-5,8,11,14,17-pentaenoat 29.3

Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta (2010)

Proses amidasi minyak ikan dengan menggunakan urea juga telah dilakukan. Hasil spektrum IR memperlihatkan adanya gugus amida (N-H) yang diduga merupakan urea yang tidak larut. Hasil amidasi juga tidak mencirikan produk amida yang bersifat semi solid, dengan konsistensi masih berupa minyak (Gambar 6).

(4)

Gambar 6 Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan urea

Untuk meningkatkan kelarutan urea dalam minyak ikan, dilakukan esterifikasi yang menghasilkan etil ester minyak ikan yang bersifat lebih polar. Proses amidasi yang menggunakan etil ester minyak ikan dan urea tidak berhasil membentuk gugus amida (N-H) (Gambar 7), hasilnya dapat dibandingkan dengan minyak ikan tanpa perlakuan (Gambar 8).

(5)

Gambar 8 Spektra IR minyak ikan

Kegagalan proses amidasi menggunakan urea kemungkinan karena suhu yang digunakan di bawah 100⁰C karena keterbatasan kemampuan reaktor. Jenkins dan Adams (2002) mereaksikan asam linoleat dan urea dengan pemanasan pada suhu 190⁰C selama 4 jam, dan menghasilkan produk yang solid dengan konsistensi seperti lilin.

Uji Ketahanan Amida Minyak Ikan secara In Vitro

Uji ketahanan amida minyak ikan (AMI) secara in vitro bertujuan mengevaluasi ketahan AMI dalam sistem rumen, dan pengaruhnya pada fermentasi dan lingungan rumen.

Kisaran pH rumen yang optimal untuk proses selulolisis, proteolisis, dan deaminasi berkisar antara 6-7. Selulolisis terhambat total pada pH di bawah 6, dan turunnya pH mengakibatkan turunnya kecernaan bahan kering. Penurunan nilai pH berkorelasi dengan meningkatnya N mikrob, serta meningkatnya konsentrasi VFA total dan parsial (Alltech 2012).

Status pH rumen in vitro akibat perlakuan berada pada tingkat optimal, berkisar antara 6.71 sampai 6.96 (Tabel 11). Hasil sidik ragam memperlihatkan tidak ada perbedaan nyata pada nilai pH antar perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian amida minyak ikan (AMI) tidak mengganggu keseimbangan lingkungan rumen, sehingga proses fermentasi masih dapat berjalan dengan baik.

(6)

Tabel 11 Rataan pH cairan rumen secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan

Perlakuan Waktu Inkubasi

0 jam 24 jam 48 jam

R0 6.96 ± 0.04 6.91 ± 0.03 6.78 ± 0.09

R1 6.94 ± 0.06 6.85 ± 0.04 6.80 ± 0.02

R2 6.90 ± 0.09 6.85 ± 0.06 6.76± 0.09

R3 6.94 ± 0.11 6.85 ± 0.05 6.71 ± 0.10

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

R0 = Substrat hijauan jagung

R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan

R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan

Meskipun berbeda tidak nyata antarperlakuan, penambahan AMI cenderung menurunkan pH setelah inkubasi 48 jam dibandingkan dengan perlakuan minyak ikan (MI). Hasil ini menunjukkan penambahan AMI dapat mengurangi gangguan fermentasi rumen akibat pemberian MI, sehingga produk total asam yang dihasilkan lebih banyak.

Martin dan Jenkins (2002) melaporkan pada pH 5, distribusi asam lemak rantai panjang atau long chain fatty acids (LCFA) pada kultur pH rendah sama dengan proporsi LCFA pada medium, menunjukkan terhambatnya biohidrogenasi oleh bakteri rumen. Hal ini karena bakteri utama yang terlibat pada proses biohidrogenasi adalah bakteri selulolitik yang peka terhadap kondisi asam (pH<6) dalam rumen.

Populasi protozoa mencapai setengah dari biomassa mikrob rumen, dan sekitar tiga perempat asam lemak mikrob dalam rumen terdapat pada protozoa (Jenkins et al. 2008). Pemberian AMI pada inkubasi 24 jam menurunkan populasi protozoa secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol, namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan MI. Pada inkubasi 0 dan 24 jam, jumlah protozoa berbeda tidak nyata antarperlakuan, meskipun perlakuan AMI pada inkubasi 24 jam menunjukkan jumlah protozoa yang rendah (Tabel 12). Penurunan jumlah protoza pada pemberian AMI, selain lemak merupakan agen defaunasi bagi protozoa juga kemungkinan karena sifat racun dari amida.

(7)

Tabel 12 Rataan populasi protozoa/ml sampel rumen (105) secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan

Perlakuan Waktu Inkubasi

0 jam 12 jam 24 jam

R0 4.40 ± 2.88 3.87a ± 2.05 1.60 ± 1.44

R1 4.93± 3.33 2.13ab ± 1.97 1.20± 1.44

R2 2.93± 2.20 1.07b ± 1.22 0.27 ± 0.46

R3 5.57 ± 6.10 1.20b ± 1.39 0.67 ± 0.23

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

R0 = Substrat hijauan jagung

R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan

R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan

Pakan tinggi lemak merupakan racun bagi protozoa rumen, karena keterbatasan protozoa dalam memetabolisme asam lemak. Populasi protozoa semakin menurun seiring banyaknya ikatan rangkap yang terkandung di dalam asam lemak tidak jenuh berantai panjang (Hristov et al. 2004). Minyak yang mengandung konsentrasi C:18 yang tinggi secara konsisten menurunkan jumlah protozoa pada sapi dan domba. Data in vitro menunjukkan hilangnya masing-masing 48, 88, dan 100% protozoa pada pemberian 0.25, 0.5, dan 1% asam linoleat pada media. Pada pemberian asam oleat, protozoa menurun masing-masing 26, 45, dan 78% pada pemberian 0.25, 0.5, dan 1% pada media inkubasi (Hristov et al. 2005).

Amonia (N-NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk memasok sebagian besar N untuk pertumbuhan mikrob merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan (Wallace & Cotta 1988; Leng 1990). Tabel 13 memperlihatkan konsentrasi amonia setelah inkubasi 6 jam, yang berbeda tidak nyata pada semua perlakuan dan berada pada kisaran optimum yaitu 6-30 mg/dL atau 4-21 mM (Yuan et al. 2010).

Hristov et al. (2004) melaporkan efek hambat yang kuat dari asam lemak tak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA) seperti asam linoleat dan asam linolenat terhadap populasi dan aktivitas protozoa, kurang efektif dalam menurunkan konsentrasi amonia. Asam lemak ini tidak menghambat aktivitas proteolitik bakteri, tetapi menurunkan inkorporasi N pada protein protozoa.

(8)

Namun demikian, konsentrasi amonia yang tetap tinggi pada suplementasi minyak dapat saja karena turunnya kebutuhan amonia untuk mendukung sintesis protein mikrob (Kucuk et al. 2004).

Fermentasi dalam rumen menghasilkan asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA) sebagai produk utama untuk menyediakan energi dan karbon untuk pertumbuhan dan mempertahankan kehidupan komunitas mikrob. Jumlah VFA yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kecernaan serta kualitas ransum yang difermentasi (Hvelplund 1991; Baldwin 1995). Konsentrasi VFA total setelah inkubasi 6 jam berbeda tidak nyata antarperlakuan, meskipun perlakuan dengan minyak ikan memperlihatkan jumlah VFA yang paling rendah, yaitu 119,52 mM (Tabel 12). VFA yang dihasilkan pada semua perlakuan berada pada kisaran optimum bagi pertumbuhan mikrob, yaitu 80-180mM (Sutardi 1979).

Tabel 13 Rataan N-NH3, VFA total, produksi gas, dan protein mikrob secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan

Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 N-NH3 (mM) 16.42 ± 3.88 16.80 ± 4.09 17.09 ± 4.10 16.86 ± 4.6 VFA total (mM) 152.73 ± 26.26 119.52 ± 20.18 153.40 ± 39.99 130.30 ± 32.53 Produksi gas (ml) 46.16a ± 8.30 33.70b ± 4.93 43.98a ± 9.12 43.69a ± 4.53 Protein mikrob (mg/L) 517.10 ± 39.51 509.10± 38.82 500.64 ± 57.78 511.38 ± 32.17 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan

yang nyata (P<0,05). R0 = Substrat hijauan jagung

R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan

R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan

Hasil penelitian ini mirip laporan Jenkins et al. (1996) yang mendapatkan konsentrasi VFA total cenderung menurun pada pemberian minyak kedelai, dibandingkan dengan pemberian butylsoyamide (amida minyak kedelai). Hal ini mengindikasikan minyak kedelai mengganggu fermentasi rumen. Butylsoyamide tidak mempengaruhi VFA rumen karena sifatnya yang inert dalam rumen. Konversi trigliserida minyak kedelai menjadi amida asam lemak dapat mengurangi pengaruh negatif minyak pada fermentasi rumen.

(9)

Konsentrasi VFA parsial setelah inkubasi 24 jam berbeda tidak nyata antarperlakuan, namun ada kecenderungan turunnya rasio asetat:propionat secara konsisten pada pemberian MI dan AMI, dibandingkan dengan kontrol (Tabel 14). Turunnya rasio asetat:propionat mencerminkan terganggunya fermentasi serat akibat sifat antibakteri asam lemak, dan terjadinya degradasi sebagian pada amida oleh bakteri rumen, sehingga membebaskan asam lemak yang bersifat antibakteri (Jenkins 1994).

Tabel 14 Rataan VFA parsial (mM) secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan

Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Asetat (mM) 32.50 ± 3.98 40.84 ± 11.06 27.96± 5.38 36.37 ± 25.40 Propionat (mM) 11.52 ± 1.55 15.73 ± 4.23 11.79 ± 0.66 15.95 ± 11.81 Isobutirat (mM) 1.54 ± 0.17 2.43 ± 0.23 1.85 ± 0.80 1.84 ± 0.52 n-Butirat (mM) 4.80 ± 0.72 6.63 ± 1.80 3.32 ± 2.00 6.74 ± 5.69 Isovalerat (mM) 1.48 ± 0.58 2.21 ± 0.28 1.61 ± 0.83 1.97 ± 0.51 Rasio A:P 2.85 ± 0.40 2.68 ± 0.92 2.36 ± 0.32 2.32 ± 0.09 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan

yang nyata (P<0,05). R0 = Substrat hijauan jagung

R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan

R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan

Suplementasi AMI cenderung menurunkan konsentrasi isobutirat dan isovalerat dibandingkan dengan pemberian MI. Isobutirat dan isovalerat merupakan asam lemak rantai cabang atau branched chain fatty acids (BCFA) dalam rumen yang berasal dari pemecahan asam amino rantai cabang atau branched chain amino acids (BCAA). Turunnya konsentrasi BCFA mengindikasikan terhambatnya katabolisme asam amino (Hristov et al. 2004). Penurunan populasi protozoa pada suplementasi AMI diduga mengakibatkan berubahnya proporsi VFA yang secara tipikal berhubungan dengan turunnya jumlah protozoa dalam rumen. Protozoa rumen terutama jenis Ciliata mempunyai kapasitas proteolitik yang kuat. Penurunan populasi protozoa menurunkan proteolisis bakteri oleh protozoa yang berdampak pada penurunan konsentrasi BCFA. Pada pemberian minyak, proporsi molar propionat diharapkan meningkat dari konversi gliserol yang dipasok dari hasil hidrolisis triasilgliserol menjadi

(10)

propionat (Kucuk et al. 2004; Hristov et al. 2005). Hal ini terlihat pada suplementasi MI dan AMI yang cenderung meningkatkan konsentrasi propionat dibandingkan dengan kontrol.

Menurut Oldick & Firkins (2000), defaunasi menurunkan konsentrasi asam butirat dan meningkatkan konsentrasi propionat, yang berhubungan dengan turunnya populasi protozoa rumen pada pemberian lemak. Turunnya proporsi asetat dan kecernaan serat mengindikasikan turunnya pertumbuhan atau aktivitas bakteri selulolitik. LCFA bersifat toksik bagi beberapa jenis bakteri selulolitik dalam rumen. Bakteri penghasil asetat lebih rentan terhadap pengaruh toksik dari LCFA dibandingkan dengan bakteri penghasil propionat (Fotouhi & Jenkins 1992a; Ramos et al. 2009).

Pencernaan anaerobik dari selulosa, xylan, pati, pektin, dan gula oleh mikrob rumen menghasilkan VFA, CO2, CH4, dan sejumlah kecil H2. Baik pada in vivo maupun in vitro, VFA bereaksi dengan bufer bikarbonat melepaskan CO2, sehingga produksi gas berjalan secara simultan dan seiring dengan pencernaan serat (Schofield et al. 1994).

Total produksi gas selama inkubasi 48 jam berbeda nyata (P<0,05) antarperlakuan. Perlakuan minyak ikan menghasilkan produksi gas terendah, yaitu 33,70 ml (Tabel 12). Hal ini menunjukkan adanya gangguan fermentasi pakan dalam rumen akibat pemberian minyak. Hal ini sejalan dengan rendahnya VFA total yang dihasilkan pada perlakuan tersebut. Turunnya produksi gas juga dapat disebabkan penggunaan H2 oleh bakteri untuk biohidrogenasi PUFA dalam MI. Biohidrogenasi lemak dalam rumen dapat mengurangi penggunaan H2 untuk produksi metan yang berimplikasi pada turunnya produksi gas (Mohammed et al. 2004).

Terdapat hubungan yang kuat antara laju kehilangan bahan organik secara in vitro dan produksi gas. Kuantitas gas yang diproduksi selama fermentasi mencerminkan jumlah substrat yang dicerna dan jalur metabolik mikrob. Asetat dan butirat yang dihasilkan selama fermentasi, berhubungan dengan pelepasan CO2 langsung dari metabolisme mikrob. Laju kecernaan dan sintesis mikrob dapat mempengaruhi keseimbangan produk akhir metabolis antara gas dan VFA (Doane et al. 1997).

(11)

Protein mikrob mempunyai keseimbangan asam amino yang baik, sehingga sintesisnya dalam rumen perlu dioptimalkan. Nilai dari efesiensi sintesis mikrob ditunjukkan sebagai gram N mikrob/kilogram bahan organik yang tercerna dalam rumen (Ramos et al. 2009). Rataan sintesis protein mikrob setelah inkubasi 48 jam tidak berbeda nyata antarperlakuan (Tabel 13).

Hal ini seiring dengan konsentrasi amonia yang merupakan sumber N bagi pertumbuhan bakteri, bahkan 80% bakteri dapat tumbuh dengan amonia sebagai satu-satunya sumber N. Ketersediaan VFA dan amonia yang cukup dapat meningkatkan sintesis protein mikrob. Turunnya konsentrasi amonia menunjukkan penurunan asupan N atau turunnya degradasi protein. (Baldwin 1995; Ramos et al. 2009 ).

Kim et al. (2007) melaporkan pemberian PUFA menghambat pertumbuhan protozoa rumen. Reduksi protozoa rumen diharapkan meningkatkan proliferasi bakteri, sehingga pasokan N bakteri pascarumen meningkat pula. Hasil penelitian tidak menunjukkan peningkatan sintesis protein mikrob, kemungkinan karena percobaan dilakukan secara in vitro sehingga bakteri terakumulasi baik yang masih hidup maupun yang telah lisis. Selain itu, populasi bakteri bersifat dinamis, jika satu jenis bakteri dihambat pertumbuhannya maka bakteri jenis lain akan berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun pemberian AMI berdampak negatif terhadap populasi protozoa, tetapi relatif tidak berpengaruh pada populasi bakteri.

Rataan degradasi bahan organik (DBO) pada perlakuan MI dan AMI berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan kontrol pada inkubasi 24 dan 48 jam. Rataan degradasi bahan kering (DBK) pada perlakuan MI dan AMI juga berbeda nyata (P<0,05) dibanding kontrol pada semua masa inkubasi (Tabel 15). Hal ini menunjukkan lemak berpengaruh negatif pada kecernaan pakan.

Penambahan lemak dalam pakan ruminansia dapat mengganggu fermentasi dalam rumen, sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan energi dari sumber bukan lemak. Kecernaan karbohidrat struktural dalam rumen dapat menurun 50% atau lebih dengan penambahan lemak kurang dari 10%. Penurunan kecernaan ini disebabkan lemak yang melapisi partikel pakan, sehingga menghambat pelekatan enzim mikrob (Jenkins 1993).

(12)

Tabel 15 Rataan DBO (%) dan DBK (%) secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan

Perlakuan Waktu Inkubasi

0 jam 24 jam 48 jam

DBO (%) R0 6.90a ± 2.20 21.14a ± 1.15 35.23a ± 4.40 R1 2.15b ± 1.72 9.29b ± 0.93 22.25b ± 3.14 R2 4.82ab ± 2.82 9.69b ± 2.10 24.77b ± 8.33 R3 3.79b ± 1.58 11.93b ± 4.32 23.31b ± 6.81 DBK (%) R0 11.29a ± 4.54 19.71a ± 1.31 32.68a ± 3.36 R1 2.41b ± 1.37 8.77b ± 0.55 21.67b ± 3.22 R2 4.45b ± 1.05 9.87b ± 2.03 23.55b ± 8.45 R3 5.05b ± 0.75 11.69b ± 4.17 22.78b ± 6.83 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

R0 = Substrat hijauan jagung

R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan

R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan

Jenkins (1993) juga menambahkan, pengaruh yang beragam dari sumber lemak pada fermentasi disebabkan perbedaan struktur lipid. Salah satu faktor adalah derajat ketidakjenuhan, karena asam lemak tak jenuh atau unsaturated fatty acids (UFA) menghambat fermentasi lebih besar daripada asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA). Kelompok karboksil bebas pada lemak yang tidak terlindungi tampaknya merupakan penghambat yang penting pada fermentasi rumen.

Terhambatnya fermentasi rumen pada pemberian MI yang ditandai dengan turunnya DBO dan DBK secara nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan sifat antimikrob lipid. Sifat antimikrob lipid pada rumen mirip dengan pengaruh sitotoksik asam lemak pada fungsi membran sel eukarotik. LCFA melekat pada lipid bilayers pada membran biologis karena sifat hidrofobik dan ampifiliknya. Lipid dalam rumen menghambat fermentasi dengan cara memasuki membran plasma mikrob dan mengganggu fungsinya (Jenkins 1993).

Suplementasi AMI juga menurunkan DBO dan DBK secara nyata (P<0.05) ) dibandingkan dengan kontrol. Terhambatnya fermentasi rumen pada pemberian AMI dapat disebabkan oleh pemecahan amida oleh bakteri rumen

(13)

yang membebaskan asam lemak yang bersifat antimikrob, atau sifat antimikrob secara langsung dari amida sendiri. Hasil serupa juga dilaporkan Jenkins (1997) pada pemberian hydroxyethylsoyamide (HESA) yang mengakibatkan turunnya kecernaan nutrien pada domba. Menurunnya populasi protozoa pada pemberian MI dan AMI berdampak pada penurunan kecernaan serat, karena protozoa terlibat dalam sepertiga aktivitas selulolitik rumen (Hristov et al. 2005).

Meskipun berbeda tidak nyata, pemberian AMI cenderung meningkatkan DBO dan DBK dibandingkan dengan pemberian MI. Jenkins et al. (1996) melaporkan proteksi asam lemak dengan ikatan amida dapat mencegah gangguan fermentasi rumen yang sering terjadi bila UFA ditambahkan ke dalam pakan ruminansia. Substitusi kelompok karboksil asam lemak dengan kelompok fungsional yang lain, seperti alkohol dan aldehid dapat menekan pengaruh negatif pada fermentasi in vivo dan in vitro. Dugaan kelompok karboksil bebas diperlukan untuk mengganggu fungsi membran, dapat dijelaskan dengan fakta penambahan lemak dalam bentuk trigliserida, sabun kalsium, dan amida menyebabkan berkurangnya gangguan fermentasi rumen (Jenkins 1993).

Biohidrogenasi UFA oleh mikrob rumen mengurangi aliran UFA ke duodenum, sehingga pemberian minyak kaya UFA untuk ruminansia hanya sedikit meningkatkan ketidakjenuhan jaringan tubuh, bahkan mengganggu fermentasi rumen dan kecernaan serat. Perlindungan lipid terhadap biohidrogenasi mikroorganisme rumen telah dimulai dengan menggunakan formaldehida. Teknik ini berhasil melindungi sejumlah besar PUFA dari degradasi rumen. Penggunaan formaldehida saat ini kurang populer karena meninggalkan residu yang membahayakan kesehatan. Penggunaan garam kalsium dalam melindungi asam lemak dari biohidrogenasi rumen juga populer, terutama pada minyak sawit. Perlindungan yang lebih mutakhir dalam bentuk ikatan amida, yang merupakan hasil reaksi antara UFA dan amina primer yang tahan terhadap biohidrogenasi dan mengurangi gangguan fermentasi rumen (Jenkins et al. 1996; Chilliard et al. 2000).

Pada Tabel 16 terlihat bahwa degradasi amida setelah inkubasi 24 jam pada penambahan 5% amida sebesar 30%, sedangkan pada penambahan 10% amida turun menjadi 13%. Jenkins dan Adams (2002) mendapatkan bahwa

(14)

meskipun perlindungannya belum sempurna, ternyata linolamida dapat bertahan dari biohidrogenasi dalam rumen jauh lebih baik dari asam linoleat. Pada suplementasi linolamida, konsentrasi asam linoleat masih tetap tinggi pada kultur setelah inkubasi selama 24 dan 48 jam, dan dalam duodenum dibandingkan dengan konsentrasi asam linoleat pada suplementasi asam linoleat. Amida tahan terhadap biohidrogenasi hanya bila ikatan amida berbentuk utuh, karena kelompok karboksil bebas dibutuhkan untuk aktivitas biohidrogenasi oleh enzim mikrob.

Senyawa AMI dalam kultur dianalisis pada inkubasi 0 dan 24 jam. Hasil pengukuran tidak dianalisis secara statistik, disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Senyawa amida (%) pada kultur in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan

Waktu Inkubasi Perlakuan

R0 R1 R2 R3

0 jam 0 0 72.3 75.55

24 jam 8.16 0 50.72 65.56

Keterangan: R0 = Substrat hijauan jagung

R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan

R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan

Demeyer dan Doreau (1999) melaporkan pemberian lemak dalam bentuk garam kalsium bersifat inert dalam rumen. Meskipun tidak mempengaruhi metabolisme mikrob dalam rumen, garam kalsium mengalami hidrogenasi bila kandungan asam lemaknya tidak jenuh dan pH rumen rendah. Kedua faktor tersebut meningkatkan disosiasi garam kalsium. Lundy et al. (2004) membandingkan efektivitas garam kalsium dan amida terhadap biohidrogenasi rumen mendapatkan biohidrogenasi asam oleat lebih rendah pada amida daripada garam kalsium. Namun demikian, penggunaan amida tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan garam kalsium dalam mengurangi biohidrogenasi asam linoleat. Hal ini diduga karena ikatan amida kurang stabil pada PUFA dibandingkan asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA).

Penelitian ini tidak berhasil mengukur asam lemak yang terkandung dalam kultur secara kuantitatif dengan menggunakan GC-FID. Kandungan senyawa

(15)

amida dideteksi secara kualitatif menggunakan GC-MS. Pada perlakuan kontrol (tanpa sumber minyak), ternyata setelah inkubasi 24 jam terdeteksi senyawa amida. Hal ini diduga karena terjadi kontaminasi, baik pada waktu penanganan ataupun analisis sampel.

Uji Efektivitas Amida Pascarumen

Uji efektivitas amida pascarumen menggunakan tikus sebagai hewan model pascarumen. Hal ini karena pencernaan pascarumen mempunyai kemiripan dengan pencernaan monogastrik pada nonruminansia.

Nilai hematologi darah

Eritrosit merupakan bagian sel darah yang telah berdiferensiasi jauh dan mempunyai fungsi khusus untuk pengangkutan oksigen. Pembentukan sel darah merah berlangsung dalam sumsum tulang, yang dikendalikan oleh mekanisme umpan balik negatif terhadap jumlah oksigen yang mencapai jaringan melalui darah. Eritrosit mengandung hemoglobin (Hb), sejenis protein pengikat dan pembawa oksigen yang mengandung besi. Persentase eritrosit di dalam 100 ml darah total dinyatakan sebagai hematokrit (Leeson et al. 1990; Campbell et al. 2004).

Tabel 17 menunjukkan jumlah eritrosit pada semua kelompok perlakuan berbeda tidak nyata dan masih berada dalam kisaran normal, yaitu 7x106 -9,7x106/mm3 (Ringler & Dabich 1979). Kadar Hb antarperlakuan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi pada perlakuan D dan E, kadar Hb berada di bawah kisaran normal yaitu 11.4-19.2 g/dL. Pada perlakuan D, kadar Hb adalah 10.94 g/dL dan nilai hematokrit adalah 32.92% paling rendah di antara semua perlakuan. Nilai hematokrit yang rendah sangat dipengaruhi oleh kadar Hb yang rendah, karena nilai hematokrit kira-kira tiga kali nilai Hb. Tikus yang digunakan pada percobaan ini mempunyai nilai hematokrit yang lebih rendah dari kisaran normal, yaitu 40.5-53% (Ringler & Dabich 1979).

Ada beberapa kemungkinan turunnya kadar Hb pada perlakuan D dan E. Kemungkinan pertama sifat toksik dari amida yang merusak membran plasma eritrosit, sehingga hemoglobin keluar dari sel ke dalam plasma yang disebut juga hemolisis (Leeson et al. 1990). Kemungkinan lain, buruknya status nutrisi yang

(16)

disebabkan turunnya konsumsi dan kecernaan nutrien, serta gangguan penyerapannya di usus halus menyebabkan menurunnya pasokan protein yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Tampaknya kemungkinan status nutrisi yang menurun berpengaruh kuat dalam menurunkan kadar Hb pada tikus percobaan, hal ini dibuktikan dengan kadar Hb yang normal pada perlakuan A, B, dan C yang mempunyai kecernaan nutrien yang relatif tinggi.

Tabel 17 Nilai rata-rata hematologi darah tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan

Peubah Perlakuan A B C D E Eritrosit (106/mm3) 8.57 7.67 8.01 8.39 7.90 Hematokrit (%) 35.92ab 37.46a 36.96a 32.92b 34.82ab Hb (g/dL) 12.14 12.03 11.98 10.94 11.32 Leukosit(103/mm3) 13.01ab 10.66b 14.80ab 14.69ab 18.00a • Neutrofil (103/mm3) 3.38 2.42 2.61 4.68 3.99 • Limfosit (103/mm3) 8.90 7.72 11.19 9.28 13.04 • Monosit (102/mm3) 4.98 2.93 6,34 4.31 7.51 • Eosinofil (102/mm3) 2.30 2.40 3,64 3.07 2.16 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

A = Ransum kontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan

C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan

Hensyl (1990) mendefinisikan imunitas sebagai status atau kualitas ketahanan suatu organisme terhadap infeksi. Leukosit merupakan bagian dari sistem ketahanan tubuh yang terpenting. Sistem imun menggunakan sistem limfatik dan peredaran darah sebagai lalu lintasnya ke seluruh tubuh. Hal ini meliputi produksi antibodi yang spesifik yang mengenali organisme penginfeksi atau material asing lainnya (antigen) atau aktivasi jaringan proteksi dari sel khusus yang disebut limfosit (Sherman & Hallquist 1990; Gurr 1992).

Jumlah leukosit pada kelompok tikus perlakuan B nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok tikus perlakuan E, meskipun masih berada dalam kisaran normal yaitu 6000-18000/mm3 (Ringler & Dabich 1979). Hal ini karena pemberian PUFA n-3 dalam jumlah moderat dapat mengatur fungsi imun, dan menekan kejadian infeksi (McCowen & Bistrian 2003). Meningkatnya

(17)

konsumsi asam α-linolenat dapat menurunkan produksi interleukin 1β (IL-1β) dan tumor necrosis factor (TNF-α) oleh oleh monosit darah, dan menurunkan proliferasi limfosit darah. Pemberian minyak ikan pada tikus, mencit, atau kelinci juga memperlihatkan penekanan proliferasi limfosit, aktivitas sitotoksik limfosit T, aktivitas natural killer (NK), fagositosis yang dimediasi oleh makrofag, dan penurunan produksi interleukin 2 (IL-2)yang bergantung pada proliferasi limfosit (Thies et al. 1999; Kew et al. 2003).

Sebaliknya, pada kelompok tikus perlakuan E jumlah leukosit meningkat nyata seiring dengan meningkatnya limfosit. Namun, jumlah leukosit tidak dapat memberi informasi yang spesifik, dan diperlukan jumlah diferensiasi leukosit untuk menjabarkannya (Aboderin & Oyetayo 2006).

Secara statistik, jumlah diferensiasi leukosit berbeda tidak nyata pada semua kelompok perlakuan. Pada kelompok tikus perlakuan E menunjukkan peningkatan pada jumlah limfosit dan monosit, yang kemungkinan sebagai respons perlawanan tubuh terhadap sifat toksin dari amida. Kresno (1996) menjelaskan bahwa bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, sel-sel radang seperti neutrofil, eosinofil, monosit, dan makrofag akan menghancurkannya secara fagositosis, dengan memproduksi superoksida dan jenis oksigen reaktif. Monosit dan makrofag juga menghasilkan sitokinin, yang menghubungkan sel-sel radang dengan imunitas spesifik karena dapat merangsang limfosit T dan B. Limfosit T berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi virus dan merusak beberapa sel kanker, sedangkan limfosit B berperan dalam pembentukan antibodi (Kew et al. 2003; Medicastrore 2012).

Profil lemak plasma dan jaringan otot

Lipoprotein merupakan kompleks protein-lipid dalam darah, yang terdiri atas tiga tipe: lipoprotein berdensitas rendah atau low density lipoproteins (LDL) yang molekulnya terdiri atas 46% kolesterol; lipoprotein berdensitas tinggi atau high density lipoproteins (HDL) yang mengandung 20% kolesterol, dan lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very low density lipoproteins (VLDL) yang mengandung 8% kolesterol. Tingginya kandungan kolesterol dalam LDL merupakan penyebab utama timbulnya penyakit jantung koroner, sebaliknya HDL berperan sebagai pelindung (Bender 1992).

(18)

Fungsi utama lipoprotein plasma mengangkut lipid dari tempat penyerapan atau produksi, melalui sistem sirkulasi ke tempat yang menggunakannya. Pembentuk lipoprotein seperti kolesterol dan trigliserida juga mempengaruhi laju sintesis kolesterol dan asam lemak pada jaringan tubuh. Apolipoprotein merupakan komponen esensial dalam mempertahankan struktur lipoprotein, dan apolipoprotein tertentu bertindak sebagai kofaktor untuk integrasi enzim pada metabolisme lipid dan mediasi pengikatan lipoprotein pada jaringan tubuh yang dituju (Etherton & Etherton 1982). Rataan konsentrasi lemak plasma tikus percobaan disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Rataan konsentrasi lemak plasma dan daging tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan

Peubah Perlakuan A B C D E Plasma Kolesterol total (mg/dl) 48,89 40,95 42,86 54,10 47,92 Trigliserida (mg/dl) 50,04b 50,73b 64,26b 122,23a 94,56ab HDL (mg/dl) 29,51 21,81 19,69 20,69 24,06 LDL (mg/dl) 8.15b 8.33b 8.31b 11.65a 11.43a Kolesterol daging (mg/100g) 73.67b 78.07b 84,81b 104.68a 90.42a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan

yang nyata (P<0,05).

A = Ransum kontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan

C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan

Total kolesterol plasma dan HDL berbeda tidak nyata pada semua kelompok perlakuan. Hal ini kemungkinan karena ransum kontrol mengandung minyak jagung yang kaya asam linoleat yang mencapai 58%. Dari beberapa studi metabolik melaporkan bahwa asam linoleat berpengaruh kuat dalam menurunkan kolesterol plasma (Hu et al. 2001). Salah satu fungsi HDL adalah mengangkut kolesterol dari jaringan peripheral kembali ke hati, selanjutnya digunakan untuk sintesis asam empedu yang disekresi ke dalam jaringan usus. Sebagian besar kolesterol serum pada tikus adalah HDL, dan memerlukan suplementasi tinggi

(19)

kolesterol dengan asam empedu dan tiourasil untuk menyebabkan arteriosklerosis dan hiperlipidemia yang parah (Starr 1994; Harris 1997).

Suplementasi MI cenderung menurunkan konsentrasi kolesterol total dibandingkan dengan kontrol, terutama karena menurunnya konsentrasi HDL. Hal ini sejalan dengan laporan Harris (1997) yang menyatakan bahwa konsentrasi kolesterol biasanya turun pada substitusi minyak ikan pada lemak jenuh maupun lemak tak jenuh. Hal ini hampir selalu disebabkan menurunnya konsentrasi HDL, sedangkan penurunan konsentrasi LDL tidak konsisten.

LDL merupakan hasil kerja enzim lipolitik pada VLDL dalam sirkulasi darah. Faktor yang mempengaruhi sintesis dan sekresi VLDL memainkan peranan penting dalam mengatur produksi LDL. VLDL terdiri atas trigliserida, fosfolipid, kolesterol, ester kolesterol, dan berbagai apolipoprotein. Potensi ketersediaan berbagai komponen tersebut akan mempengaruhi sintesis VLDL. Beberapa bukti menunjukkan bahwa ketersediaan kolesterol merupakan faktor terpenting. Kolesterol dapat berasal dari ransum atau sintesis de novo. Sintesis de novo terutama dikontrol oleh penghambatan umpan balik sterol dari enzim hidroxymethylglutaryl-CoA (HMG-CoA) reduktase dan HMG-CoA sintase (Salter & White 1996).

Konsentrasi LDL plasma meningkat nyata (P<0,05) pada kelompok tikus perlakuan D dan E. Hal ini diduga karena asam-asam lemak ikatan rangkap terikat kuat dalam kompleks amida, sehingga penyerapannya dalam usus terhambat. Selain itu, proses amidasi mengakibatkan putusnya ikatan rangkap pada minyak, sehingga derajat ketidakjenuhannya berkurang. Amida merupakan ikatan yang kuat, yang hanya terhidrolisis dalam larutan asam dan basa kuat (Wilbraham & Matta 1992).

Minyak ikan yang digunakan dalam proses amidasi mengandung asam miristat (C14) dan asam palmitat (C16) yang relatif tinggi, masing-masing 11.74% dan 17.94%. Asam lemak jenuh dengan 12-16 jumlah karbon cenderung meningkatkan konsentrasi kolesterol total dan LDL plasma. Cara kerjanya diduga dengan menekan reseptor terikat yang membersihkan kolesterol LDL dari peredaran dan dengan meningkatkan sekresi VLDL kolesterol oleh hati. Dibandingkan asam laurat (C12) dan asam palmitat, asam miristat lebih

(20)

berpotensi dalam meningkatkan kadar kolesterol plasma (Ginsberg & Karmally 2000; Hu et al. 2001).

Kelompok tikus perlakuan D memperlihatkan konsentrasi tigliserida plasma yang nyata lebih tinggi (P<0,05), dibandingkan kelompok tikus perlakuan A, B, dan C, namun tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus perlakuan E. Seperti dugaan di atas, karena ikatan amida yang kuat mengganggu penyerapan dalam usus halus, dan terjadinya penjenuhan ikatan rangkap pada proses amidasi berimplikasi pada meningkatnya trigliserida plasma. Pemberian PUFA dapat menurunkan trigliserida plasma melalui mekanisme penurunan produksi endogenous lipoprotein yang kaya trigliserida (medium transport trigliserida dalam darah), meningkatkan eliminasi lipoprotein yang kaya trigliserida, atau meningkatkan aktivitas lipase lipoprotein. Selain itu, minyak ikan dapat diserap secara efisien dalam usus dan dioksidasi lebih cepat daripada asam lemak lain, sehingga berkonstribusi pada penurunan trigliserida (Herzberg 1991; Djoussé et al. 2003).

Minyak ikan mempunyai kemampuan menurunkan konsentrasi kolesterol plasma dan trigliserida dengan cara menghambat sintesis trigliserida dan VLDL dalam hati. Produksi apolipoprotein B menurun dengan konsumsi minyak ikan dibandingkan dengan minyak tumbuhan seperti minyak safflower atau minyak zaitun. Mekanisme ini diperkuat dengan uji kultur hepatosit kelinci dan tikus pada EPA dapat menghambat sintesis trigliserida dan merangsang sintesis membran fosfolipid. Hasil serupa tidak ditunjukkan pada penggunaan minyak zaitun (Connor 2000). Peningkatan tingkat pemberian AMI semakin menurunkan pasokan EPA, sehingga tidak cukup untuk menghambat sintesis trigliserida dalam hati.

Kadar kolesterol daging juga menunjukkan pola yang sama dengan kadar trigliserida plasma. Konsekuensi dari meningkatnya kadar trigliserida terutama asam miristat dan asam palmitat mengakibatkan peningkatan kolesterol plasma yang terdeposisi dalam daging. Dalam sitosol, asam palmitat mengalami perpanjangan menjadi asam lemah jenuh rantai panjang yang merupakan prekursor kolesterol. Sintesis kolesterol de novo terutama terjadi di hati dan usus

(21)

halus, dan pengaturannya bergantung pada ketersediaan kolesterol dalam darah (Goodridge & Sul 2000).

Pertumbuhan dinyatakan sebagai produksi sel-sel baru, tidak hanya multiplikasi (hiperplasia) tetapi juga pembesaran sel (hipertropi) dan inkorporasi komponen spesifik dari lingkungan. Pertumbuhan termasuk deposisi lemak, meskipun massa otot menjadi perhatian utama (Owens et al. 1993). Pemberian ransum tinggi lemak pada tikus dewasa dan sedang tumbuh menyebabkan deposisi lemak tubuh yang lebih besar karena peningkatan jumlah dan ukuran sel adiposa (Chilliard, 1993).

Sintesis trigliserida pada jaringan adiposa bergantung pada sumber karbon untuk gliserol dan ketersediaan asam lemak untuk esterifikasi. Sumber asam lemak untuk sintesis trigliserida dapat berasal dari sintesis asam lemak de nuvo pada jaringan adiposa, asupan asam lemak bebas dari plasma, dan asam lemak yang berasal dari hidrolisis kilomikron dan trigliserida VLDL oleh lipoprotein lipase (LPL) (Etherton & Etherton 1982).

Pada Gambar 9 terlihat bahwa pemberian amida minyak ikan meningkatkan proporsi asam palmitat dan palmitoleat dalam daging secara konsisten. Kondisi ini berhubungan erat dengan naiknya konsentrasi trigliserida dan LDL plasma, serta kolesterol daging. Bila dibandingkan dengan kelompok yang mendapat minyak ikan, terjadi peningkatan proporsi oleat dan linoleat yang linear pada kelompok yang disuplementasi amida minyak ikan. EPA dan DHA menurun secara linear dengan tingkat suplementasi amida minyak ikan, karena proses amidasi mengurangi pasokan EPA dan DHA untuk tikus. Pada kelompok kontrol, kandungan oleat dan linoleat jauh lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, karena minyak jagung merupakan sumber oleat dan linoleat yang baik.

Sheppard dan Herzberg (1992) melaporkan kandungan palmitat, oleat, dan linoleat pada semua jaringan tubuh tikus yang mendapat minyak jagung mencapai 85% dari total asam lemak, sedangkan pada tikus yang mendapat minyak ikan kandungannya 65%. EPA dan DHA sangat rendah dan hampir tidak terdeteksi pada tikus yang diberi minyak jagung. Pada tikus yang mendapat minyak ikan kandungan EPA dan DHA mencapai 4% dari keseluruhan asam lemak. Menariknya, pada semua jaringan tubuh EPA terdapat dalam jumlah yang relatif

(22)

lebih kecil daripada DHA. Hal ini diduga penggunaan EPA atau retensi DHA berlangsung selektif.

Dibandingkan dengan linoleat dan linolenat, efisiensi deposisi EPA dan DHA cenderung rendah. Rendahnya inkorporasi dapat disebabkan oleh oksidasi selektif, retrokonversi, atau deposisi pada jaringan lain. Hasil tersebut menguatkan pengaruh komposisi asam lemak dalam ransum pada komposisi trigliserida, dan memperlihatkan secara jelas bahwa PUFA n-3 disimpan secara efisien sebagai cadangan trigliserida pada jaringan tubuh (Lin & Connor 1990;Sheppard & Herzberg 1992).

Hasil serupa juga diperlihatkan pada penelitian ini, kandungan palmitat, oleat, dan linoleat pada tikus yang diberi minyak jagung mencapai 57%, sedangkan pada tikus yang disubstitusi dengan minyak ikan kandungannya 44%. Pada tikus yang disubtitusi minyak ikan dengan konsentrasi EPA 16.06% inkorporasinya dalam jaringan adiposa hanya 0.87%, sedangkan DHA dengan konsentrasi 12.79% dalam minyak ikan terinkorporasi dalam jaringan adiposa sebesar 3.06%.

Lin & Connor (1990) juga mendapatkan bahwa rasio DHA:EPA lebih tinggi pada jaringan adiposa daripada dalam ransum. Kemampuan DHA berinkorporasi ke dalam jaringan adiposa tiga kali lipat dibanding EPA. Terdapat kemungkinan sejumlah EPA dikonversi menjadi DHA, karena EPA merupakan prekursor DHA pada jalur sintesis asam lemak n-3. Karena DHA merupakan asam lemak yang paling banyak terdapat dalam plasma, fenomena tersebut merupakan hal yang wajar.

Pada tikus, komposisi asam lemak pada otot dan jaringan lemak dapat dimodifikasi dengan memberi sumber minyak yang sesuai, karena asam lemak diserap sepenuhnya dalam usus halus dan terinkorporasi dalam jaringan lemak. Kandungan jenis asam lemak jaringan otot dan lemak tikus dapat menjadi petunjuk jenis asam lemak yang dikonsumsi (Wood et al. 1998).

Lemak dalam ransum menyediakan substrat untuk pengisian lipid pada jaringan adiposa, dan berpotensi dalam mengatur perkembangan jaringan adiposa. Pada nonruminansia, lemak ransum menghambat sintesis asam lemak de nuvo dan mengubah profil asam lemak jaringan adiposa dan jaringan lain, sehingga

(23)

mencerminkan profil asam lemak dalam ransum. Pemberian lemak tak jenuh menghasilkan peningkatan kadar lipid tak jenuh pada jaringan adiposa subkutan dan intramuskular (Hausman et al. 2009).

Pada rodensia, lipogenesis terjadi dalam hati dan jaringan adiposa. Lipogenesis yang terjadi dalam hati secara spesifik dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan asam lemak yang menghambat aktivitas enzim fatty acid synthase (FAS). Pada jaringan adiposa, tingkat penghambatan tidak berbeda antara lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas FAS berbeda antarjaringan. Pada spesies dimana hati merupakan tempat lipogenesis utama, UFA mempunyai efek hambat yang lebih besar daripada SFA. Pada tikus terbukti, pemberian minyak ikan menurunkan ukuran sel dan bobot lapisan lemak (Azain 2004).

Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian AMI cenderung meningkatkan proporsi palmitat secara konsisten dibandingkan pemberian MI. Hal ini diduga karena proses amidasi telah mengubah proporsi asam lemak dari minyak ikan. Proses oksidasi termal menyebabkan terputusnya ikatan rangkap pada minyak ikan sehingga derajat ketidakjenuhannya berkurang, atau terputusnya rantai LCFA menjadi asam lemak yang lebih pendek. Meningkatnya derajat kejenuhan lemak ransum menyebabkan meningkatnya lipogenesis dalam hati. Naiknya kandungan palmitoleat pada pemberian AMI secara konsisten merupakan hasil dari aktivitas enzim ∆-9 desaturase, yang mengubah palmitat menjadi palmitoleat. Hal ini sejalan dengan laporan Clarke (1993) yang menyatakan bahwa, lemak PUFA mempunyai kemampuan unik dalam menekan pembentukan dan akumulasi asam lemak n-9. Kelompok asam lemak n-9 meningkat, jika ketersediaan SFA meningkat sebagai hasil dari peningkatan aktivitas biosintesis asam lemak de novo, atau dari suplementasi lemak dalam ransum.

Pemberian AMI tidak memperlihatkan kenaikan yang konsisten pada kandungan laurat, miristat, dan stearat dibandingkat pemberian MI. Stearat mengalami desaturasi menjadi oleat yang dikatalisasi oleh enzim ∆-9 desaturase. Hal ini sejalan dengan peningkatan kandungan oleat secara konsisten pada pemberian AMI, dibandingkan pemberian MI. Selain berasal dari ransum, asam

(24)

oleat juga dapat berasal dari pemanjangan palmitat, desaturasi stearat, atau mengalami retrokonversi dari asam lemak yang lebih panjang. Hal ini dilaporkan oleh Lin & Connor (1990) yang menemukan bahwa asam erusik yang merupakan isomer dari asam setoleik, dideposit dalam jumlah yang rendah pada jaringan adiposa kelinci dibandingkan asam linoleat. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan kandungan asam oleat dalam jaringan adiposa, yang menunjukkan kemungkinan terjadi retrokonversi asam lemak.

Kandungan linoleat pada pemberian AMI secara linear meningkat dibandingkan pemberian MI. Hal ini kemungkinan karena ada perubahan proporsi PUFA n-3 akibat proses amidasi, yang ditunjukkan dengan hubungan negatif antara kenaikan proporsi linoleat dengan penurunan proporsi EPA dan DHA pada pemberian AMI. Proses amidasi dapat saja memutuskan rantai asam lemak menjadi asam lemak yang lebih pendek. Kandungan linolenat dan arakidonat juga tidak memperlihatkan kenaikan yang konsisten pada pemberian AMI dibandingkan dengan pemberian MI. Linolenat yang terdeteksi pada penelitian ini adalah γ-linolenat, yang merupakan pemanjangan dari linoleat, bukan α-linolenat yang merupakan asam lemak esensial dan prekursor dari EPA dan DHA.

Secara keseluruhan, pemberian AMI relatif tidak mempengaruhi kandungan laurat, miristat, stearat, linolenat, dan arakidonat dibandingkan pemberian MI. Namun pemberian AMI menurunkan pasokan EPA dan DHA, yang berimplikasi pada meningkatnya kandungan palmitat, palmitoleat, dan oleat.

(25)

Gambar 9 Kandungan asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, dan asam lemak n-3 dalam jaringan otot tikus

dan amida minyak ikan Keterangan:

A = Ransum kontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan

C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5

D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan

0 5 10 15 20 A A sa m l e m a k j e n u h ( % ) Laurat 0 5 10 15 20 25 A A sa m l e m a k t a k j e n u ( % ) Palmitoleat 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 A A sa m l e m a k P U F A n -3 ( % )

Gambar 9 Kandungan asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, dan asam lemak 3 dalam jaringan otot tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan

minyak ikan

ontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan

C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan

B C D E

Perlakuan

Laurat Miristat Palmitat Stearat

B C D E

Perlakuan

Palmitoleat Oleat Linoleat Arakidonat

B C D E

Perlakuan Linolenat EPA DHA

(26)

Produktivitas tikus

Tabel 19 Rataan berat akhir, PBBH, konsumsi nutrien, kecernaan nutrien konversi pakan, dan kadar lemak daging tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan

Peubah Perlakuan A B C D E Bobot akhir (g) 213.27ab 218.61a 202.80ab 202.51ab 195.10b PBBH (g/e/hr) 1.08ab 1.30a 0.87ab 0.73ab 0.59b Konsumsi BK(g/e/hr) 11.10ab 11.50a 10.15ab 10.59ab 10.01b Kecernaan BK (%) 94.17ab 94.58a 94.15ab 92.89b 90.67c

Konsumsi Protein (g/e/hr) 1.126 1.214 1.120 1.240 1.215

Kecernaan Protein (%) 86.21a 87.88a 87.28a 85.34a 82.05b

Konsumsi Lemak (g/e/h) 1.37a 1.43a 0.90b 1.05b 0.87b

Kecernaan Lemak (%) 96.03a 95.64ab 89.84b 76.89c 59.43d

Konversi ransum* 10.28 8.88 11.66 14.61 17.00

Lemak daging (%) 1.03b 1.73ab 1.96a 1.77a 1.69ab

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

*Tidak diolah secara statistik

A = Ransum kontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan

C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan

Dari Tabel 19 di atas, secara umum terlihat bahwa pemberian AMI mengakibatkan penurunan konsumsi dan kecernaan bahan kering, konsumsi dan kecernaan lemak, serta kecernaan protein ransum yang diikuti oleh penurunan bobot badan dan konversi ransum yang meningkat, terutama bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan B yang disuplementasi MI. Hal ini nyata terlihat pada perlakuan E yang disuplementasi AMI tertinggi.

Jenkins (1995) juga mendapatkan ada penurunan konsumsi pakan yang linear pada domba yang diberi stearylsoyamide. Hal ini menunjukkan, sumber amina primer pada amida asam lemak berpengaruh pada pengaturan konsumsi pakan. Turunnya tingkat konsumsi dapat disebabkan oleh palatabilitas yang menurun karena bau ammonia yang tajam dari sisa butilamin yang tidak bereaksi, atau merupakan respons fisiologis. Jenkins et al (2000) juga melaporkan penurunan tingkat konsumsi pada pemberian oleamida yang kemungkinan

(27)

disebabkan oleh salah satu komponen dari amida (asam lemak, dan amonia), atau oleh senyawa amida sendiri.

Turunnya kecernaan lemak seiring meningkatnya suplementasi amida minyak ikan disebabkan sifat amida yang sukar dicerna oleh enzim pencernaan. Hal ini sejalan dengan laporan Fotouhi dan Jenkins (1992b) yang menyatakan bahwa amida yang disintesis dengan asam amino sebagai sumber amina lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan dibandingkan dengan amida yang terbuat dari butilamin. Seperti asilgliserol, asam-asam lemak pada amida harus dilepaskan terlebih dahulu sebelum diserap oleh sel mukosa usus halus. Hidrolisis amida asam lemak yang ekstensif terjadi di usus halus, baik oleh enzim mukosa amidase, pankreatik protease, atau kombinasi keduanya (Jenkins et al. 2000).

Namun demikian, penurunan peubah-peubah tadi tidak memberi pengaruh nyata pada kandungan lemak daging. Kandungan lemak daging tetap tinggi pada suplementasi AMI. Hal ini kemungkinan karena turunnya rasio protein:lipid pada daging. Penurunan pertambahan bobot badan harian yang konsisten akibat suplementasi AMI, menurunkan kandungan protein dalam jaringan tubuh. Turunnya proporsi protein meningkatkan proporsi lemak secara relatif. Hal ini disebabkan proporsi lemak jenuh yang relatif tinggi pada suplementasi AMI, cenderung meningkatkan esterifikasi asam lemak. Peningkatan ini mengisyaratkan bahwa peningkatan asupan asam lemak (terutama yang kaya asam lemak jenuh), penurunan lipolisis, dan peningkatan reesterifikasi, secara ekstensif mengimbangi penurunan sintesis asam lemak de novo yang terjadi dalam jaringan adiposa dan hati (Chilliard 1993).

Kandungan lemak daging terendah terlihat pada kelompok kontrol yang mendapat minyak jagung, meskipun memiliki bobot badan dan konversi pakan yang lebih baik daripada kelompok yang mendapat suplementasi AMI. Hal ini karena PUFA yang terdapat pada minyak jagung lebih cepat dioksidasi atau dapat merangsang aktivitas jaringan lemak cokelat, sehingga jaringan otot menjadi lebih lean (Chilliard 1993).

(28)

Pembahasan Umum

Metabolisme asam lemak dalam rumen berpengaruh besar pada komposisi asam lemak daging ruminansia. Meskipun asam lemak tak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA), seperti asam linoleat dan asam α-linolenat terdapat dalam jumlah melimpah pada rerumputan dan bahan pakan lainnya, konsentrasinya dalam daging relatif rendah. Perubahan utama dari lemak diet karena hidrolisis dan biohidrogenasi oleh mikroorganisme dalam rumen, menyebabkan reduksi PUFA mencapai 70-90% yang bertransformasi menjadi lemak jenuh terutama asam stearat, atau trans-isomer dari asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA)

Perlindungan PUFA dalam ransum terhadap aktivitas mikroorganisme rumen dan mencegah gangguan fermentasi rumen, dapat dilakukan dengan pemberian amida. Amida terbentuk dari reaksi asam lemak dan amina yang mensubsitusi kelompok karboksil asam, sehingga tidak tersedia kelompok karboksil bebas yang dibutuhkan oleh mikrob rumen untuk menghilangkan ikatan rangkap dari asam lemak tak jenuh atau unsaturated fatty acids (UFA). Pada penelitian ini, amida diperoleh dengan mereaksikan minyak ikan dan n-butilamin. Proses amidasi dengan mereaksikan minyak ikan dan n-butilamina berhasil membentuk senyawa amida yang diinginkan. Proses amidasi dengan mereaksikan minyak ikan dan urea terkendala oleh kelarutan urea yang rendah dalam minyak ikan. Penggunaan minyak ikan dalam bentuk ester untuk meningkatkan kelarutan juga belum menghasilkan senyawa amida. Kegagalan proses amidasi menggunakan urea kemungkinan karena suhu yang digunakan di bawah 100⁰C karena keterbatasan kemampuan reaktor.

Uji ketahanan amida dalam sistem rumen secara in vitro menunjukkan bahwa suplementasi amida dapat mempertahankan pH rumen dalam kisaran normal, sehingga fermentasi masih dapat berjalan. Namun demikian, pemberian minyak ikan (MI) dan amida minyak ikan (AMI) menurunkan populasi protozoa rumen. Penurunan secara tajam terjadi seiring meningkatnya tingkat suplementasi AMI. Hal ini mengindikasikan penurunan populasi protozoa bukan semata-mata disebabkan sifat antibakteri dari PUFA, tetapi kemungkinan karena sifat toksik

(29)

dari amida. Meskipun berdampak negatif pada pertumbuhan protozoa, tetapi relatif tidak berpengaruh pada populasi bakteri.

Pertumbuhan bakteri rumen bergantung pada ketersediaan asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA) dan amonia yang optimal. Suplementasi amida dapat mempertahankan konsentrasi amonia dan VFA pada tingkat optimum, menunjukkan masih berlangsungnya aktivitas degradasi protein. Meskipun relatif kecil, suplementasi amida dapat memperbaiki degradasi bahan organik (DBO) dan bahan kering (DBK) dibandingkan minyak ikan. Hal ini sejalan dengan produksi gas dan konsentrasi VFA total yang lebih besar dibandingkan suplementasi MI. Kuantitas gas yang diproduksi selama fermentasi mencerminkan jumlah substrat yang dicerna secara in vitro.

Suplementasi AMI cenderung menurunkan konsentrasi asam isobutirat dan asam isovalerat dibandingkan pemberian MI. Hal ini karena penurunan populasi protozoa menurunkan proteolisis bakteri oleh protozoa yang berdampak pada penurunan konsentrasi asam lemak rantai cabang atau branched chain fatty acids (BCFA). Rasio asetat:propionat cenderung menurun pada pemberian MI dan AMI, karena terganggunya fermentasi serat akibat sifat antibakteri asam lemak, dan terjadinya degradasi sebagian pada amida oleh bakteri rumen. Konsentrasi propionat cenderung meningkat pada suplementasi MI dan AMI. Turunnya rasio asetat:propionat mencerminkan adanya penurunan produksi metan yang merupakan petunjuk ada pengalihan hidrogen dari metan untuk pembentukan propionat.

Uji efektivitas amida pascarumen pada tikus sebagai hewan model, menunjukkan bahwa suplementasi AMI meningkatkan jumlah leukosit seiring peningkatan tingkat pemberian. Kemungkinan amida bersifat toksik, sehingga peningkatan leukosit mencerminkan respons pertahanan tubuh melawan zat asing. Suplementasi amida juga mengakibatkan penurunan kadar Hb yang diduga karena buruknya status nutrisi akibat turunnya kecernaan nutrien, sehingga menurunkan pasokan protein yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin.

Konsentrasi kolesterol total dan lipoprotein berdensitas tinggi atau high density lipoprotein (HDL) relatif tidak terpengaruh akibat suplementasi AMI, namun meningkatkan konsentrasi trigliserida dan lipoprotein berdensitas rendah

(30)

atau low density lipoprotein (LDL) dalam plasma. Hal ini kemungkinan karena proses amidasi memutuskan ikatan rangkap pada PUFA, sehingga sebagian asam lemak mengalami penjenuhan atau berubah menjadi asam lemak yang lebih pendek. PUFA mempunyai kemampuan menghambat lipogenesis dalam hati, sedangkan asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA) yang proporsinya meningkat pada amida mempunyai kemampuan yang rendah dalam menghambat lipogenesis dalam hati. Hal ini berdampak pada naiknya konsentrasi tigliserida plasma dan kolesterol daging.

Suplementasi AMI juga belum mampu memperbaiki profil lemak daging, karena rendahnya pasokan EPA dan DHA. Proses amidasi belum berhasil mempertahankan kandungan EPA dan DHA tetap tinggi pada produk. Kemungkinan lain proses amidasi belum berjalan sempurna, sehingga masih ada sisa amina yang tidak bereaksi. Akibatnya terjadi gangguan pada sistem rumen secara in vitro, terutama ditunjukkan oleh menurunnya populasi protozoa dan degradasi substrat. Pada percobaan in vivo, tampaknya amida juga mulai mengganggu fisiologis hewan, dengan meningkatnya jumlah leukosit, turunnya kadar Hb, dan turunnya kecernaan nutrien. Hal ini berpengaruh pada turunnya produktifitas dari hewan.

Penggunaan tikus sebagai hewan model sistem pencernaan pascarumen terkendala karena tikus mempunyai sistem metabolisme yang berbeda dengan rumiansia. Bila amida diberikan pada ruminansia, kemungkinan akan memberi pengaruh yang berbeda. Beberapa mikrob dalam rumen mempunyai kemampuan menetralisir substansi racun yang mungkin terkandung dalam amida, sehingga tidak mengganggu pencernaan pascarumen. Pemberian substrat yang telah mengalami fermentasi secara in vitro pada tikus, lebih dapat memberi gambaran yang mendekati pencernaan pascarumen pada ruminansia.

Lipogenesis pada ruminansia terutama terjadi pada jaringan adiposa, sedangkan lipogenesis pada tikus terutama terjadi dalam hati, di samping jaringan adiposa. Perbedaan ini berpengaruh pada deposisi asam lemak dalam jaringan tubuh. Pola deposisi asam lemak kemungkinan juga berbeda pada berbagai spesies hewan.

(31)

Sintesis amida dari asam oleat dan asam linoleat cukup berhasil, kemungkinan karena rantai asam lemak yang lebih pendek, atau karena lemak yang diberikan berupa asam lemak yang lebih reaktif. Pemakaian minyak ikan dalam bentuk trigliserida kemungkinan kurang reaktif, dan adanya asam lemak rantai panjang, yaitu EPA dan DHA membutuhkan waktu yang lebih lama untuk reaksi yang sempurna. Proses amidasi berpeluang memberi hasil yang lebih baik, bila minyak ikan yang digunakan dalam bentuk ester.

Gambar

Gambar 5   Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan butilamina
Gambar 6   Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan urea
Gambar 8   Spektra IR minyak ikan
Tabel 11   Rataan pH cairan rumen secara in vitro pada perlakuan penambahan                   minyak ikan dan amida minyak ikan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Regenerasi hati tikus kelompok perlakuan yang diberi ekstrak buah merah memperlihatkan proses regenerasi yang lebih cepat ditandai dengan susunan radier hepatosit dibandingkan

Kadar kolesterol HDL tikus yang diberikan pakan tinggi lemak dan juga diberikan inhalasi minyak atsiri kadarnya lebih tinggi (36.18 ± 12.14) dibandingkan dengan tikus yang

Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan setelah diamati selalu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang

Gambar 4 menunjukkan lebih jelas bahwa rataan konsentrasi spermatozoa pada R0 relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi spermatozoa pada perlakuan ransum

Uji Duncan menunjukkan bahwa P3 berbeda nyata (P&lt;0,05) dengan P0, P1 dan P2, namun P0 tidak berbeda nyata (P&gt;0,05) dengan P1 dan P2 pada perlakuan P3 lebih tinggi yaitu

Kelompok domba dengan perlakuan diimplan HA-TKF secara umum memiliki rataan suhu tubuh, frekuensi jantung dan frekuensi nafas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Tanaman yang diberikan air atau perlakuan M 0 terlihat bahwa pertumbuhannya sangat baik dan berbeda nyata (P&lt;0,05) dengan kedua perlakuan yang lain, sedangkan

Pada hari ke-0, nilai rataan total limfosit ikan yang diberikan perlakuan kitosan dengan dosis 6 µg/g lebih tinggi dan berbeda nyata dengan semua perlakuan.. Sedangkan total