• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) atau"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) atau istilah populer yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai Narkoba (Narkotika dan Bahan atau Obat Berbahaya). Indonesia merupakan negara

dengan minat terbesar dalam hal Narkoba di tingkat Asia1, bahkan

pengguna dan pengedar Narkoba tersebut setidaknya telah mengkonsumsi 65 jenis Narkoba. Jenis-jenis Narkoba tersebut bukan hanya terdapat pada satu daerah saja, akan tetapi sudah tersebar di seluruh daerah-daerah di Indonesia.Pada tahun 2017, tercatat 3.376.115 orang telah menggunakan Narkoba, dengan rata-rata setiap tahunnya 18.000 orang telah meninggal dunia2.

Ada beberapa alasan mengapa bangsa Indonesia harus serius dalam Pemberantasan tindak kejahatan narkoba yang semakin hari semakin

memprihatinkan:3

1. Pemerintah Indonesia belum optimal dalam menanggulangi kasus-kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk lebih peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulanginya.

1

Okezone, Pangsa Narkoba Terbesar di Asia, 20 Juli 2017, https://news.okezone.com. Diakses pada tanggal 3 Desember 2018.

2

BNN, Buku Hasil LIT 2017, https://www.bnn.go.id. Diakses pada tanggal 3 Desember 2018.

3Direktorat Hukum, Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, “Pemberantasan

(2)

2 2. Secara yuridis, instrumen hukum yang mengaturnya baik berupa peraturan perundang-undangan maupun konvensi yang sudah diratifikasi, sebenarnya sudah cukup memadai sebagai dasar pemberantasan dan penyalahgunaan peredaran gelap narkoba.

Mengingat peredaran gelap narkoba sekarang ini begitu merebak, maka upaya menanggulanginya tidak dapat semata-mata dibebankan kepada Pemerintah dan aparat penegak hukum saja, dengan memberlakukan peraturan dan penjatuhan sanksi pidana kepada para pelanggar hukum, melainkan tugas dan tanggung jawab kita bersama. Dengan adanya upaya terpadu (integrated) dari semua pihak, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, ulama, LSM dan Pemerintah termasuk BNN diharapkan dapat menanggulangi dan meminimalisir kasus tindak pidana narkoba.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan.4

Narkotika pada dasarnya merupakan jenis zat atau obat yang banyak manfaat di bidang-bidang kesehatan, diantaranya pada bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi Narkotika mempunyai sisi negatif yang dapat menimbulkan

(3)

3 ketergantungan yang sangat merugikan, apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran atau dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada

pengguna itu sendiri.5

Walaupun sudah dinyatakan terlarang dari segi hukum positif di Indonesia, akan tetapi kejahatan Narkotika tidak berkurang malah semakin

bertambah banyak. Kejahatan Narkotika merupakan kejahatan

kemanusiaan yang berat atau sering disebut dengan extra ordinary crime (kejahatan kelas berat) dan merupakan kejahatan lintas negara, karena penyebaran dan perdagangan gelap yang dilakukan dalam lintas batas negara. Kejahatan ini tentunya mempunyai dampak yang luar biasa bagi seluruh aspek masyarakat, bangsa, dan negara, khususnya pada generasi muda suatu bangsa.

Salah satu bentuk kejahatan Narkotika adalah ditemukannya penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, hingga disebut dengan penyalahgunaan Narkotika. Penyalahguna Narkotika telah bersifat transnasional (transnational criminality) yang dilakukan dengan modus

operandi dan teknologi yang canggih6. Penyalahgunaan Narkotika adalah

penggunaan Narkotika pada diri sendiri tanpa hak dan melawan hukum yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin

5

Direktorat Hukum, Op.Cit., hlm. 1.

6A. Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Sinar Grafika, Jakarta,

(4)

4 menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, tidak teratur, dan berlangsung cukup lama.

Penggunaan seperti ini dapat menimbulkan ancaman yang sangat berbahaya bagi pengguna yaitu menyebabkan gangguan kesehatan fisik, penurunan atau perubahan kesadaran, dan dapat menimbulkan

ketergantungan sehingga merusak mental dan kehidupan sosial7.

Penggunaan terus-menerus dan berlanjut akan menyebabkan

ketergantungan atau dependensi yang disebut juga kecanduan, tingkatan penyalahgunaan biasanya sebagai berikut: coba-coba, senang-senang,

menggunakan saat tertentu.8

Maka dari itu masalah kejahatan penyalahgunaan Narkotika ini, merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidisipliner, multisektor, dan peran masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen, dan konsisten. Hal ini akan lebih merugikan jika, disertai dengan penyalahgunaan dan perdaran

gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar9

Undang-undang yang pertama kali mengatur tentang Narkotika adalah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 yang kemudian seiring dengan perkembangannnya maka diperbaruilah Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang

7Akhmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam Bidang

Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 16.

8

Hendra Akhdhiat, Psikologi Hukum, CV Pustaka setia, Bandung, 2011, hlm. 54.

9Kaka Alvian Nasution, Himpunan Lengkap Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika, Saufa,

(5)

5 diharapkan dapat melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika di Indonesia. Undang-Undang Narkotika tersebut hadir sebagai bentuk suatu kebijakan dalam segala bentuk kejahatan Narkotika. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan

upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).10

Dalam hal perkembangan Undang-Undang ini berarti Reformasi hukum pidana dalam Undang-Undang Narkotika di Indonesia tampak sekali berproses dalam suatu dinamika perkembangan sosial dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas di Indonesia, yang menuntut tindakan dan kebijaksanaan antisipatif. Antisipatif terhadap ancaman tindak kriminalitas yang juga dalam bentuk penyalahgunaan narkotika dan psikotoprika dilakukan melalui pembaharuan hukum yang

cukup memiliki sejarah panjang dan jelas alur-alur langkahnya.11

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika termuat 2 (dua) hal utama atau hal pokok rumusan pidana yaitu yang pertama, terdapat antusias tentang memberantas peredaran tindak pidana Narkotika dan Presekusor Narkotika yang ditemukan dalam ketentuan Pasal 111 sampai dengan Pasal 126. Serta terdapat konsekuensinya, dengan diberikan suatu sanksi pidana yang tegas berupa pidana penjara.

10

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 77.

(6)

6 Serta untuk yang kedua, terdapat antusias tentang perlindungan terhadap pengguna Narkotika yang dapat ditemukan dalam Pasal 127 dan Pasal 128. Pecandu dan korban penyalahguna Narkotika diharuskan untuk mendapatkan perawatan pemulihan melalui rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.

Rehabilitasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menaggulangi penyalahgunaan Narkotika. Upaya ini merupakan upaya atau tindakan alternatif, karena pelaku penyalahgunaan Narkotika juga merupakan korban kecanduan Narkotika yang memerlukan pengobatan atau perawatan. Pengobatan atau perawatan ini dilakukan melalui fasilitas

rehabilitasi.12

Dalam Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dijelaskan bahwa:

“dalam hal Penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Maka dari itu, penyalahguna Narkotika bagi diri sendiri sudah seharusnya diberikan tuntutan rehabilitasi.

Namun demikian seringkali dijumpai tuntutan dengan pidana penjara bagi pelanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor

12Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.

(7)

7 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Seperti pada kasus yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No.:169/Pid.Sus/2017/PN.Slt.

Penyalahgunaan Narkotika dalam beberapa kasus seperti diatas perlu diperhatikan secara lebih lagi. Perlu dilakukan upaya selain dengan menjatuhkan hukuman pidana penjara bagi korban penyalahguna Narkotika, khususnya bagi pelanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang tentang Narkotika. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka mengoperasionalkan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pelaksanaan tuntutan rehabilitasi medis terhadap penyalahgunaan Narkotika yang melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Meskipun tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka Jaksa dapat menjatuhkan tuntutan pidana rehabilitasi medis terhadap penyalahguna narkotika yang merupakan pecandu narkotika atau korban penyalahguna narkotika dengan mendasarkan pada syarat-syarat sebagaimana telah diatur.

Seperti halnya pada Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) yang pada intinya sama-sama mengatur tentang penuntut umum dapat menempatkan tersangka/terdakwa ke panti rehabilitasi medis dan atau rehabilitasi sosial, Jaksa dapat mengajukan tuntutan pidana berupa penempatan terdakwa ke panti rehabilitasi media dan sosial.

(8)

8

B. Rumusan Masalah

Mengapa Jaksa tidak melakukan pelaksanaan penuntutan rehabilitasi medis dalam perkara NO: 169/PID.SUS/2017/PN.SLT?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui alasan Jaksa tidak melakukan penuntutan rehabilitasi medis dalam perkara NO: 169/PID.SUS/2017/PN.SLT.

D. Manfaat Penelitian

Untuk mengetahui pertimbangan Jaksa yang tidak memberikan tuntutan rehabilitasi medis serta pentingnya melakukan rehabilitasi medis pada perkara NO: 169/PID.SUS/2017/PN.SLT

E. Metode Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif. Jenis penelitian yang digunakan di wilayah hukum Salatiga. Dalam penelitian ini penulis menggunakan data primer dan data sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan data yaitu dengan wawancara dan studi kepustakaan. Metode analisis data secara teknik deskriptif kualitatif yakni dengan mendeskripsikan hasil penelitian terlebih daulu kemudian dicocokan dengan teori yang ada kemudian dianalisis.

Referensi

Dokumen terkait

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anggota Militer di dasarkan pada Pasal 62 Undang-Undang Nomor 35

dengan masalah yang akan diteliti yaitu Undang-undang No.. 12 2011 Tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan Korban. Penyalahgunaan Narkotika, Peraturan Menteri

NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan

6/Pid.Sus.Anak/2018/PN.Mlg tentang tindak pidana penyalahguna narkotika oleh anak ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana Anak dan apa Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penerapan

Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 maupun

Dalam penulisan ini, penulis berusaha untuk meneliti mengenai upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana narkotika berdasarkan undang- undang nomor 35 tahun 2009

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.. 7 BNN, penyidik Polri,

Bagi Pemerintah, dengan diketahuinya pelaksanaan program rehabilitasi terhadap pelaku pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, maka hasil penelitian ini