• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia merupakan salah satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia merupakan salah satu"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING

2.1. Pengertian Dumping

Sebagaimana diketahui bahwa semua negara anggota WTO telah sepakat untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas, di mana semua hambatan perdagangan baik yanng berbentuk tarif maupun non tarif dihapuskan. Dengan adanya penghapusan hambatan hambatan perdagangan tersebut, maka arus barang dapat masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia merupakan salah satu negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization), karena telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization sebagaimana diwujudkan dalam Undang undang No.7 tahun 1994 tentang Pengesahan

Establishing the world Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia). Sebagai Negara anggota WTO, Indonesia harus mematuhi peraturan organisasi perdagangan dunia tersebut.

Konsekuensi dari perdagangan bebas tersebut menyebabkan persaingan dalam merebut pasar menjadi semakinn ketat, dan kemungkinan praktik perdagangan yang tidak sehat (unfair trade practices) dapat terjadi. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional banyak praktik perdagangan yang tidak sehat, dan yang paling banyak terjadi adalah masalah dumping, karena praktik dumping dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi industri dalam negeri, dan secara lebih luas lagi dapat memukul dunia usaha suatu negara tempat praktik dumping itu terjadi. Dumping merupakan strategi penetapan harga ekspor suatu barang lebih rendah dari harga jual produk tersebut di dalam negerinya (nilai normal) yang dilakukan oleh perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan pangsa pasar,

(2)

memperluas pasar, atau tujuan lainnya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S.Poerwadarminta disebutkan, Dumping adalah menjual barang ke negeri lain dengan harga yang lebih murah dari pada di negeri sendiri.58 Menurut Sumadji P, Yudha Pratama dan Rosita, Dumping adalah politik ekonomi yang dilakukan suatu negara untuk menjual hasil produksinya di luar negeri dengan harga lebih murah daripada penjualan dalam negeri, dengan tujuan menguasai pasaran luar negeri59.

Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komuditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah dari pada tingkat harga di pasar domestiknya, atau negara ketiga, sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi, dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komuditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar, atau lebih rendah dari pada harga barang tersebut di negerinya sendiri, atau dari pada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.60

Dalam GATT 1947 Pasal VI ayat (1) Article VI GATT: Anti Dumping and

Countervailing Duties pengertian dumping diuraikan sebagai berikut:

The contracting parties recognize that dumping, by which product of one

country are introduced into the commerce of another country at less than normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. For the purpose of this article, aproduct is to be considered as being introduced into the commerce of an importing country at less

58 W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,

PN. Balai Pustaka, h. 262.

59 Sumadji. P, Yudha Pratama dan Rosita, 2006, Kamus Ekonomi Edisi Lengkap

Inggris-Indonesia, Cet. I, Wacana Intelektual, Jakarta, h. 265.

(3)

than its normal value, it the price of the product exported from one country to another.

(a) is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country or

(b) in the absence of such domestic price, is less than either

(c) the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary of trade or

(d) the cost of production of the product in the country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit.

Article VI GATT diadakan penyempurnaan yang dituangkan dalam article 2 Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI dari GATT 1994 yaitu sebagai berikut:

For the purpose of this agreement, a product is to be considered as being dumped,i.e.introduced into the commerce of another country at less than its normal value,if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua) disebutkan, dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali).61

Dalam Black Law Dictionary dumping adalah In commercial usage, the act of

selling in quantity at a very low price or practically regard less of the price; also

selling (surplus goods) abroad at less than the market price at home.62

Menurut Ralph H. Folsom dan Michael W.Gordon, disebutkan dumping involves

selling abroad at a price that is less than the price used to sell the same goods at

home (the normal or fair value).To be unlawful, dumping must threaten or cause

material injury to an industry in the export market, the market where prices are

61 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1985,Kamus Besar Bahasa Indonesi (Edisi Kedua), Jakarta, Balai Pustaka, h110.

62 Black, Hendry Campbell, 1991, Black Law Dictionary, Sixt Editionst, Paul-Minn, West

(4)

lower. Dumping is recognized by most of the trading world as an unfair practice (

againt to price discrimination as an antitrust offense).63

Muhammad Ashri menyebutkan dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diskriminasi harga, yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di Negara ketiga.64 Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga yang lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut65

Berdasarkan ketentuan dan pengertian tentang dumping tersebut di atas dapat disebutkan bahwa unsur unsur dumping adalah :

1. adanya penjualan suatu jenis barang di luar negeri (ekspor)

2. harga jenis barang yang dijual di luar negeri lebih rendah dari pada harga jenis barang di dalam negeri (negara pengimport)

3. adanya kerugian (injury) bagi produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.

4. adanya hubungan (causal link) antara dumping yang dilakukan dengan akibat injury yang terjadi.

Pada dasarnya dumping tidak dilarang dalam perdagangan internasional, tetapi jika menimbulkan kerugian pada pihak lain, dapat dilawan dengan aturan negara tersebut berupa tindakan anti dumping. Article VI GATT mengatur bahwa suatu negara anggota diperkenankan mengenakan tindakan antidumping apabila

63 Ralph H.Folsom and Michael W.Gordon, Dalam Sukarmi, 2002 Regulasi Antidumping Di Bawah Bayang baying Pasar Bebas,Jakarta,Sinar Grafika,h.25.

64 Ibid.

65 Kamus Hukum, http:/www.kamus hukum com/indentri,php?.indek=D& urut=3, artikel

(5)

barang impor tersebut mengandung dumping dan menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri. Praktik dumping merupakan tindakan yang sangat merugikan perekonomian suatu negara dan bisa mematikan industri dalam negeri. Globalisasi perdagangan semakin menuntut kesiapan setiap negara untuk bersaing secara sehat dan terbuka.

2.2. Jenis Jenis Dumping.

Suatu barang yang diekspor ke negara lain di mana harga ekspornya lebih rendah dari harga normalnya, atau harga domestik negara pengekspor, maka barang tesebut dianggap sebagai barang dumping.Tujuannya adalah agar pengusaha dapat merebut konsumen sebanyak banyaknya, maka pengusaha menempuh strategi persaingan harga dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lain. Praktik dumping dalam perdagangan internasional merupakan praktik dagang yang tidak fair yang dipandang sebagai perbuatan curang, yaitu merupakan persaingan yang tidak jujur (unfair competition).

Praktik yang demikian itu merupakan coorperate crime (kejahatan perusahaan).Marshall B. Clinard menyebutkan Thus coorperate crime, like white

collar crime (of which it is part), is defined here as any act punishable by the state,

regardless of wheterit is punished by administrative or civil law, which it usually is,

or under the criminal law.66

Menurut Daniel Suryana, praktik dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha, atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing,

66 Marshall B. Clinard,1985, Coorperate ethics and Crime, The role of middle Management,

(6)

sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis dalam negeri.67

Dalam praktik dumping ada penyerahan barang bergerak dari eksportir ke importir (Negara yang memproduksi barang sejenis) yaitu terjadi penyerahan nyata sebagaimana diatur dalam artikel 612 Civil Code Stated yang menyatakan The Surrender of Moevable object, with the exception of non living object, is carried out by factual surrender of the object by or in the name of t he owner, or by the surrender of keys of the construction, where the object is located68.

Dalam praktik perdagangan internasional dumping ada beberapa jenis, dan oleh para ahli ekonomi pada umumnya dapat diklasifikasikan atas 3(tiga) jenis, yaitu.

1. Sporadic Dumping ( Dumping yang bersifat sporadis) yaitu ;

Dumping yang dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri (Pasar ekspor) pada jangka waktu yang pendek dengan harga dibawah harga dalam negeri negara pengekspor atau biaya poduksi barang tersebut. Biasanya produsen menjual barang untuk jangka waktu yang pendek dengan harga jual dibawah harga biasa sering dimaksudkan untuk menghapuskan barang yang tidak diinginkan, dumping jenis itu biasanya mengganggu pasar domestik negara pengesport karena adanya ketidakpastian dikarenakan permintaan diluar negeri berubah secara tiba-tiba. Dumping jenis tersebut merupakan diskriminasi harga pada waktu tertentu yang dilakukan oleh produsen yang mempunyai keuntungan karena terjadi over produksi (karena perubahan dalam pasar dalam negeri

67 Danial Suryana,Harmonisasi Ketentuan Antidumping Ke Dalam Hukum Nasional Indonesia,

http:// dan sur.blogstar.com/harmonisasi.ketentuan.html. artikel diakses pada tanggal 11 Januari 2011. pukul 21.35

(7)

yang tidak terantisipasi atau buruknya perencanaan produksi), untuk menceah penumpukan barang di pasar domestik produsen menjual kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negeri dengan harga yang telah direduksi sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga didalam negeri69.

2. Persistent Dumping ( Diskriminasi harga internasional), yaitu

penjualan barang pada pasar luar negeri dengan harga di bawah harga domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang dilakukan sebelumnya. Penjualan tersebut dilakukan oleh produsen barang yang mempunyai pasar secara monopolistik di dalam negeri dengan maksud untuk memaksimalkan total keuntugannya dengan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dalam pasar domestiknya. Dumping yang menetap itu terjadi dalam masa yang lama dan terjadi karena perbedaan keadaan pasar di negara importir dan negara eksportir.70

Dumping dapat disebut sebagai diskriminasi harga berarti menjual barang yang sama dengan harga berbeda pada pasar-pasar yang terpisah. Hal ini biasanya sejalan dengan suatu posisi monopoli di pasar dalam negeri yang bersangkutan, pembentukan kartel dan atau biaya yang melindungi terhadap import yang lebih murah, dapat juga diartikan sebagai penawaran di luar negeri dengan harga di bawah biaya produksi pada negara yang mengesport.71

69 . Sukarmi, 2002, Regulasi anti dumping dibawah baying-bayang pasar bebas, Sinar grafika,

Jakarta, h. 40.

70 . Sobri, 1986, ekonomi internasional, teori, masalah dan kebijaksanaanya, bagian penerbitan

fakultas ekonomi (BPFE), UII, Yogyakarta, h. 91.

(8)

3. Predatory Dumping. Predatory Dumping terjadi apabila,

perusahaan untuk sementara waktu membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli hasil, diskriminasi itu untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya dan kemudian menaikan lagi harga barang nya setelah persaingan tidak ada. Predatory dumping adalah dumping yang paling buruk karena dumping itu dipraktekan hanya untuk tujuan merebut keuntungan monopoli dan membatasi perdagangan untuk jangka waktu yang lama meskipun hal itu menyebabkan kerugian jangka pendek.72

Disamping jenis dumping tersebut dalam perkembanganya muncul istilah Diversinary

Dumping dan Downstream Dumping. Diversinary Dumping adalah dumping yang

dilakukan oleh produsen luar negeri yang menjual barangnya ke dalam pasar negara ketiga denga harga di bawah yang adil dan barang tersebut nantinya diproses dan dikapalkan untuk dijual ke pasar negara lain, sedangkan Downstream Dumping adalah dumping yang dilakukan apabila produsen luar negeri menjual produknya dengan harga di bawah harga normal kepada produsen yang lain di dalam pasar dalam negerinya dan produk tersebut diproses lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual kembali ke pasar negara lain.73

Menurut Robert Willig ada 5(lima) tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir

kekuatan pasar dan struktur pasar import, yaitu.

1. Market Expansion Dumping

72. Sobri, Loc.it

(9)

Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan”mark-up” yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elstisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.

2. Cyclical Dumping.

Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.

3. State Trading Dumping.

Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tetapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.

4. Strategic Dumping.

Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing pesaing asing.

5. Predatory Dumping.

Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan

(10)

monopoli di pasar negara pengimpor.Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.74

2.3. Barang Dumping.

Untuk mengetahui apakah produsen melakukan praktik dumping atau tidak, maka perlu diketahui apakah barang yang diproduksinya merupakan barang dumping atau tidak. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan barang dumping tersebut. Untuk menentukan apakah ada barang dumping atau tidak tergantung dari harga normal (normal value). Untuk itu penentuan harga normal (normal value) adalah sangat perlu dilakukan. Dalam article 2(1),regulation 384/96 (Peraturan Perundang-undangan Masyarakat Eropa Mengenai Masalah Antidumping dan Countervailing Duties) diatur:

“The normal value is typically based on the priclahes paid or payable,in the ordinary course of trade, by independent customers in the exporting country”

(dalam bahasa Indonesia diterjemahkan : Harga Normal adalah biasanya didasarkan

pada alat pembayaran atau daya bayar dalam kegiatan perdagangan oleh pelanggan independen di negara pengekspor).

Menurut PP.No.34 Tahun1996 Pasal 1 butir 3 ditentukan harga normal (normal value) adalah nilai yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik, sedangkan menurut kesepakatan mengenai dumping yang tertuang dalam Article VI ayat (1) bagian b butir i dan ii yang menentukan sebagai berikut:

Bagian (b) : in the absence of such domestic price, is less than either:

(i) the highest comparable price for the like product for export to any third country in the ordinary course of trade, or

(ii) the cost of production of the product in the country of origin plus reasonable addition for selling cost and profit

74 Antidumping in the America: Analyses on trade and integration in the Americas by Jose

Tavares de Araujo Jr.,2001,h.9. http://www.dttc.oas.org/trade/studies/subsid/Antidumptav.pdf. Artikel

(11)

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa tidak adanya harga domestik yang digunakan sebagai dasar dalam penentuan harga normal. Dengan demikian penentuan harga normal didasarkan pada harga perbandingan harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam perdagangan pada umumnya, atau ditentukan atas dasar biaya produksi barang sejenis dengan tambahan biaya penjualan dan laba secara wajar.75

Penentuan harga normal seperti yang diatur pada ketentuan di atas didasarkan atas pertimbangan berikut.

1. Adanya produsen di suatu negara yang hanya memproduksi suatu barang untuk tujuan ekspor atau tidak memproduksi barang sejenis untuk dikonsumsi di dalam negeri.

2. Adanya produsen di suatu negara yang selain memproduksi barang sejenis untuk tujuan ekspor, juga memproduksi barang sejenis untuk dipasarkan di pasar domestik, tetapi volume penjualan di pasar domestik di negara pengekspor relatif kecil sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar penentuan nilai normal.76

Untuk menentukan apakah penghitungan harga normal produk yang bersangkutan didasarkan pada harga jual sebenarnya atau biaya produksi. Dalam Buku Panduan berjudul “Bagaimana Menghadapi Tuduhan Dumping” yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderaal Kerjasama Industri Dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian Dan Perdagangan diuraikan penghitungan harga normal (normal value) berdasarkan

75 Sukarmi, op.cit.,h.160. 76 Sukarmi, Loc.cit.

(12)

harga dalam negeri dan berdasarkan biaya produksi (constructed value) sebagai berikut:77

a). Harga Normal (Normal Value) Berdasarkan Harga Dalam Negeri.

Agar diperoleh perhitungan margin dumping yang benar, maka harga domestik

harus dalam bentuk harga domestik eks-pabrik.

Contoh Perhitungan :

- Harga domestik (pada juni 1998) US $ 80/MT

- Biaya Transportasi US $ 5/MT

- Biaya Handling US $ 2/MT ________________________________________________________ Harga domestik eks-pabrik US $ 73/MT Catatan:

Harga jual domestik per metrik ton seringkali bervariasi antara US$ 80/MT hingga US$ 100. Agar perhitungan dilakukan secara wajar (fair), maka diambil harga jual domestik terendah, yaitu US$ 80/MT.

b). Harga Normal (Normal Value) Berdasarkan Biaya Produksi (Constructed

Value).Apabila pemohon tidak memperoleh harga domestik di negara eksportir, maka normal value dapat ditentukan berdasarkan constructed value, yaitu menetapkan biaya produksi yang terdiri dari biaya pabrik ditambah biaya biaya pemasaran dan administrasi, serta financing charges. Kemudian untuk memperoleh harga jual

77 Departemen Perindustrian Dan Perdagangan,2001, Bagaimana Menghadapi Tuduhan Dumping,Direktorat Jenderal Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional Departemen

(13)

domestik eks-pabrik (normal value), maka biaya produksi ditambah profit margin(bisa 5% atau 10% disesuikan dengan tingkat keuntungan normal industri tersebut).

Contoh Perhitungan:

Jenis Biaya US $

Biaya bahan mentah 45

Biaya pekerja langsung 10

Biaya overhead pabrik 15

Total biaya pabrik 70

Biaya pemasaran dan administrasi 8

Financing Charge 2

Jumlah biaya 80

Profit (5%) 4

Normal Value 84

Dalam Undang Undang No.19 Tahun1995 tentang Kepabeanan pada penjelasan Pasal 18 ditentukan bahwa apabila terjadi ketiadaan harga domestik, maka harga normal ditentukan berdasarkan :

1.harga tertinggi barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga.

2.harga yang dibentuk dari penjumlahan biaya produksi, biaya administrasi, biaya penjualan, dan laba yang wajar(constructed value).

Dari uraian mengenai harga normal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan barang dumping adalah barang yang diimport dengan harga dumping, yaitu harga ekspornya lebih rendah dari harga normalnya di pasaran domestik negara pengekspor.

(14)

2.4. Batas Harga Dumping ( Margin of Dumping).

Untuk mengetahui batas harga dumping (margin of dumping) yang benar, maka yang perlu ditetapkan terlebih dahulu adalah harga ekspor, karena perhitungan margin dumping didasarkan atas perbedaan harga domestik eks-pabrik dengan harga ekspor eks-pabrik dibagi harga ekspor CIF. Dalam menetapkan baik harga normal maupun harga ekspor harus memenuhi ketentuan antara lain berdasarkan ketentuan perdagangan yang berlaku umum (in the ordinary course of trade). Ketentuan perdagangan yang berlaku umum ( in the ordinary course of trade), yaitu bahwa transaksi penjualan barang tersebut ada unsur profit, dijual kepada konsumen (importir) yang tidak mempunyai hubungan tertentu dengan eksportir (unrelated

parties), atau tidak di treat secara berbeda. Harga ekspor CIF harus ditetapkan dalam

bentuk harga ekspor eks-pabrik. Untuk memperoleh harga ekspor eks-pabrik, maka harga ekspor CIF harus dikurangkan dengan biaya biaya yang timbul mulai dari pintu pabrik ke pelabuhan tujuan ekspor.Biaya biaya tersebut dapat meliputi : island freight, werehousing, handling, sea freight dan lain lainnya.Biaya biaya tersebut dapat diperoleh dengan adanya bukti berupa invoice atau faktur, dan juga berdasarkan estimasi pasar (berdasarkan pengalaan). Bukti-bukti nyata atau estimasi tersebut harus dilampirkan.

Contoh perhitungannya:

- Harga ekspor CIF berdasarkan BPS US $ 85/MT - Sea Freight US $ 20/MT - Island Freight US $ 2/MT Harga ekspor eks-pabrik US $ 63/MT.

(15)

Dengan mengetahui harga ekspor eks-pabrik maka batas margin dumping dapat dihitung didasarkan atas perbedaan harga domestik eks-pabrik dengan harga ekspor eks-pabrik dibagi harga ekspor CIF.78

Contoh perhitungannya:

- Harga domestik eks-pabrik (sebutkan periode) US $ 73/MT - Harga ekspor eks-pabrik (sebutkan periode) US $ 63/MT Margin US $ 10/MT.

Margin Dumping (%) terhadap harga ekspor CIF adalah 0/85 x 100% = 11.76%

Catatan Khusus:

Harga jual lokal yang sebenarnya adalah alternatif pertama untuk menentukan harga normal, dengan catatan bahwa penjualan :

- Mewakili paling sedikit 5% dari keseluruhan total tipe produk yang bersangkutan;

- Dilakukan dengan pembeli yang tidak berkaitan dengan penjual (arms length

basis);

- Mencakup laba.

Kalau tidak ada penjualan di pasar lokal, OAD akan menetapkan harga normal berdasarkan biaya produksi (constructed value), atau bahkan berdasarkan informasi dari perusahaan perusahaan lain.

Sejauh mungkin usahakan untuk mendasarkan penghitungan yang berdasarkan harga jual lokal yang sebenarnya karena :

- Penghitungan berdasarkan biaya produksi bisa ditafsirkan berbeda beda, dan setiap penyesuaian dalam pengeluaran yang berupa penambahan (upward

(16)

adjustmen) pada biaya produksi bisa berakibat pada penetapan suatu margin

dumping yang tinggi.

- Besarnya keuntungan ditetapkan dengan membandingkan biaya produksi untuk penjualan di pasar lokal dengan harga jual rata rata di pasar lokal setelah dikurangi diskon dan rabat. Kalau penjualan dilakukan di bawah harga (Selling

at a loss), harga normal jelas akan lebih tinggi karena perhitungannya adalah

biaya produksi plus marjin keuntungan yang layak.79

Teknis perhitungan margin of dumping dihitung dari selisih harga normal dengan harga Less Than Fair Value (LTFV) kalau mengikuti ketentuan dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 adalah sebagai berikut.

1. Selisih antara harga normal dan harga less than fair value (LTFV) di pasar domestik negara tujuan ekspor.(dalam ketentuan aslinya berbunyi: Is less

than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like

product when destined for consumption in the exporting country, or.)

2. Selisih antara harga normal dan harga less than fair value(LTFV) di pasar negara ketiga jika tidak terdapat harga dalam negeri (dalam ketentuan aslinya berbunyi: The highest comparable price for the like product for

export to any third country in the ordinary of trade, or.)

3. Selisih antara harga normal dan jumlah biaya produksi, ongkos ongkos

penjualan, dan keuntungan jika tidak terdapat harga dalam negeri (dalam

ketentuan aslinya berbunyi: The cost of production of the product in the

country of origin plus a reasonable addition for selling cost and profit).

(17)

BAB III

PENENTUAN KERUGIAN (INJURY) DAN INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DARI

PRAKTIK DUMPING

3.1 Kerugian (Injury)

3.1.1. Pengertian Kerugian (Injury)

Pada dasarnya dumping dilarang karena dianggap selalu dapat merugikan perekonomian negara lain, Kerugian yang dimaksudkan dalam praktik dumping adalah kerugian yang diderita industri dalam negeri sebagai akibat adanya barang impor yang dijual dengan harga dumping.

Dalam PP. No. 34 tahun 1996 pasal 1 butir 11 ditentukan kerugian adalah : a). Kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.

b). Ancaman terjadinya kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, atau.

c). Terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Dari pengertian tersebut terdapat 3 (tiga) tolok ukur yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan adanya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, yaitu :

1). Material Injury ( Kerugian Material)

Yang dimaksud dengan material injury yaitu kerugian material yang diderita oleh industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Dalam pengertian ini kerugian sudah terjadi dan dapat dilihat pada periode yang diseidiki (investigation periode) yaitu dengan adanya indikasi antara lain penjualan menurun, profit menurun, kehilangan konsumen, market share menurun, utilisasi kapasitas

(18)

produksi menurun, pengaruh terhadap cash flow, terhadap return on investment, terhadap pertumbuhan perusahaan, PHK meningkat, stock meningkat, dsb.

2). Threat of Material Injury (Ancaman Kerugian Material )

Pengertian threat of material injury disini adalah ancaman terjadinya kerugian bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis. Dalam pengertian ini kerugian material belum terjadi dan belum dapat dilihat pada periode yang diselidiki (Investigation Periode) tetapi gejala yang ada menunjukan bahwa akan terjadi kerugian di masa depan ( misalnya : karena kapasitas yang besar dari eksportir).

3). Material Retardation of the Establishment to a Domestic industri (terhalangnya pengembangan industri dalam negeri ).

Dalam pengertian ini kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang akan timbul disebabkan karena terhalangnya pengembangan industri dalam negeri barang sejenis yang diakibatkan oleh adanya barang dumping. Selain adanya hambatan pengembangan industri dalam negeri juga hambatan lahirnya industri baru.

Batasan kerugian yang diatur oleh ketentuan tersebut diatas sangat luas, mengakibatkan pengertian tersebut menjadi bias. Luasnya pengertian kerugian tersebut dapat mengakibatkan perangkat hukum anti dumping dijadikan instrument oleh pengusaha (produsen) untuk melindungi kepentingan kelangsungan usahanya.80 GATT menetapkan suatu kriteria umum mengenai kerugian akibat prkatik dumping, yaitu dumpig yang dapat menimbulkan kerugian material, baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik, sebagaimana terihat dibawah ini.

80 Yulianto syahyu, 2004, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Ghali, Indonesia, Jakarta, h

(19)

“The contracting parties recognize that dumping, by which product of one country are introduced into the commerce of another country at less than normal value (sering digunakan istilah “Less than fair value” atau LTFV) of the product, is to be condemned if it causes or treathmens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retard the establishment of a domestic industry”.81

Disebut terjadi kerugian (injury) apabila faktor-faktor ekonomi dari perusahaan negara pengimport mengalami kerugian secara material, misalnya penurunan penjualan, keuntungan, pangsa pasar, produktifitas, return on investment, atau utilisasi kapasitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam negeri misanya margin dumping, pengaruh negative pada cash flow (arus kas), persediaan, tenaga kerja, upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal, investasi.82

Untuk mengetahui apakah suatu negara telah melakukan praktik dumping yang menimbulkan kerugian material atau tidak, Article3.1. dari Antidumping Code 1994 menyatakan sebagai berikut.

“ A determination on injury for purpose of article VI of GATT 1994 shall be based on positive evidence and involve and obyektive examination of both (a) the volume of the dumped import and the effect f the dumped imports on price in the domestic market for like products, and (b) the consequent impact of these import on domestic producers of such product”

Dari ketentuan tersebut dapat dirtikan kerugian ditentukan berdasarkan adanya bukti-bukti positive dan hasil penyelidikan yang obyekstif tehadap :

a). Peningkatan volume import dari produk yang telah dijual dengan harga dumping, dan.

b). Pengaruh pratik dumping terhadap harga pasar dari produk barang sejenis yang diproduksi produsen domestik83

Menurut Yulianto Syahyu batasan kerugian yang timbul akibat praktik dumping cukup dibatasi sampai kerugian nyata (material Injury), dimana industri dalam negeri

81 Sukarmi, Op.cit h. 44

82 Christhophorus Barutu 3, Op.cit. h. 45. 83 Yulianto syahyu, Loc.cit

(20)

yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai akibat adanya barang dumping.84

Dalam penyelidikan anti-dumping, penentuan ada tidaknya kerugian dalam hal adanya dumping sangat penting, karena jika ternyata dumping dapat dibuktikan tetapi tidak ada kerugian, maka bea masuk anti-dumping tidak dapat diterapkan. 85

Ada variabel sebab akibat yang diajukan oleh GATT untuk melarang tindakan dumping, yaitu dumping yang dilakukan oleh suatu negara yang Less than fair value

atau (LTFV) dianggap dapat menyebabkan kerugian material (Material injury)

terhadap industri dalam negara importir. Jadi tindakan itu :

1). Harus ada tindakan dumping yang Less than fair value atau (LTFV). 2). Harus ada kerugian material di negara importir.

3). Adanya causal Link antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.86

3.1.2. Hubungan Kausalitas (Causality) Antara Kerugian (Injury) dan Barang Dumping.

Suatu penyelidikan anti dumping belum memenuhi syarat apabila hanya terdapat atau terbukti adanya barang dumping serta kerugian (injury) saja yang dialami oleh produsen dalam negeri. Suatu hubungan sebab akibat (a causal link) antara barang dumping dengan kerugian (injury) harus ditunjukan dengan suatu bukti-bukti yang relevan, kuat dan valid. Pembukti-buktian yang sederhana dan instant dapat dianggap suatu bukti yang belum mencukupi, hubungan sebab-akibat ( a causal link ) merupakan kata kunci dalam penyelidikan anti dumping.

Otoritas anti dumping negara penuduh harus dapat membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat antara barang import dumping dengan kerugian yang diderita industri daam negeri. Hal tersebut harus didasarkan pada penilaian semua faktor

84 Yulianto syahyu, op.cit, h.107 85 Yulianto syahyu, op.cit, h. 77 86 Sukarmi, Loc.cit.

(21)

penyebab kerugian, tidak hanya faktor dumping tetapi juga faktor ekonomi lain yang relevan, dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Adapun analisis hubungan kausalitas meliputi :

1). Dampak Volume ( Volume Effect)

Mengenai volume barang dumping yang masuk ke negara pengimpor, harus dapat dibuktikan bahwa telah terjadi suatu peningkatan yang signifikan dari volume barang import yang diduga dumpig, baik secara absolut maupun relatif terhadap produksi dalam negeri dan konsumsi nasional negara pengimpor. Penilaian terhadap volume import didasarkan pada perkembangan import tiga tahun terakhir. Perkembangan import tiga tahun terakhir ini meliputi satu tahun yang disebut sebagai periode investigasi dan dua tahun sebelumya

2). Dampak Harga (Price Effect)

Apabila industri dalam negeri berhadapan dengan barang import yang didumping dengan sendirinya harga barang sejenis industri dalam negeri akan mengalami depresi atau tertekan, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri terpaksa diturunkan untuk menghindari kehilangan market share di pasar dalam negeri, sehingga indusri dalam negeri terpaksa melakukan price undercutting, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri terpaksa diturunkan untuk mengimbangi harga barang dumping Dalam rangka mempertahankan market share. Dalam menghadapi hal tersebut industri dalam negeri juga bisa megalami price suppresion, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri seharusnya dinaikan (misalnya ada kenaikan harga raw material atau biaya-biaya lain yang meningkat) tetapi tidak mencapai tingkat biaya produksi karena adanya persaingan

(22)

barang import yang dijual dengan harga dumping. Hubungan kausalitas antara kerugian (injury) dan barang dumping dapat dilihat pada grafik di bawah ini :

(23)

Grafik 1

Hubungan Kausalitas Antara Kerugian (Injury) dan Barang Dumping

>Sumber : Direktorat Pengamanan Perdagangan, Ditjen KIPI, depperindag, Nurlaila NM Harris, Kasubdit pembuktian kerugian Dumping.

 Price Undercutting  Price Depressions  Price Suppresions INJURY DUMPING OTHER FACTORS (NON-DUMPIN G ) Volume Effect Price Effect

1.Penurunan penjualan dalam negeri 2. Penurunan keuntungan

3. Penurunan output (produksi) 4. Penurunan market share 5. Penurunan Produktivitas

6. Penurunan utilisasi kapasi. tas produksi 7. Gangguan terhadap Return On Investment 8 Gangguan terhadap harga dalam negeri 9. Magnitude of Margin dumping.

10. Perkembangan Cash Flow yang negative 11. Inventori meningkat

12.Pengurangan tenaga kerja/ penurunan gaji bukan PHK 13. gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan

14. Gangguan terhadap Investasi

15. Gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal  Recession  Contraction in demand  Inefficient Of the domestic industri  Miss Management Market Share Industri Dalam Negeri Menurun

(24)

3.2. Instrumen Yang digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping.

3.2.1. Anti Dumping

Mengenai Anti-dumping dapat dilihat pengaturannya dalam GATT-WTO dan pengaturan dalam hukum nasional.

a). Pengaturan Anti- Dumping Dalam GATT-WTO.

Negara negara GATT pada saat berlakunya Persetujuan Pembentukan WTO menjadi “Original Members” WTO sepanjang sudah memenuhi persyaratan mengenai komitmen dan konsesi. Negara yang menjdi anggota WTO tentu saja wajib menerima Persetujuan Pembentukan WTO dan persetujuan persetujuan yang menjadi lampirannya, yang dalam hal ini adalah GATT, GATS ( General Agreement on Trade

in Servises), dan TRIPs (Agreement on Trade Related of Intellectual Property Rights),

atau secara keseluruhan disebutkan persetujuan perdagangan multilateral (Multilateral

trade agreements).Indonesia adalah salah satu anggota “Original Members” dari

WTO Cerminan dari diterimanya hasil hasil Putara Uruguay oleh Bangsa Indonesia adalah pengesahan keikutsertaan Indonesia dalam WTO dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 7 tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994..Sudah jelas bahwa keikutsertaan Indonesia dalam WTO dan pelaksanaan berbagai komitmen yang disampaikan tidaklah terlepas dari rangkaian kebijaksanaan disektor perdagangan khususnya perdagangan luar negeri.87

Dalam Perdagangan luar negeri atau perdagangan internasional pengusaha untuk dapat merebut konsumen sebanyak mungkin, sering menempuh strategi persaingan harga (price competition), yaitu dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lainnya. Perbuatan tersebut dipandang

87 .B.M. Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang Masalah Penyelesaian

(25)

sebagai perbuatan curang, karena melakukan suatu perbuatan dalam bentuk persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Dalam perdagangan Internasional perbuatan curang tersebut dikenal sebagai praktik dumping , yaitu merupakan praktik dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada harga barang dalam negeri. Hal tersebut akan mengakibatkan barang sejenis kalah saing, sehingga akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, dan pada akhirnya adalah industri barang sejenis dalam negeri menjadi bangkrut.

Untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka dikeluarkan peraturan antidumping yang merupakan salah satu perhatian khusus Indonesia terhadap hasil putaran Uruguay. Peraturan antidumping terdapat dalam Persetujuan Anti-Dumping GATT, yaitu pada article VI dari GATT 1994 yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat yaitu sebagai berikut.

Article VI “Anti-dumping and Countervailing Duties”.

1. The contracting parties reconize that dumping. By which products of one

country are introduced into the commerce of another country at less than

the normal value of the products, is to be condemmed if it causes or

threatens material injury to an established industry in the territory of a

contracting party or materially retards the establishment of a domestic

industry. For the purposes of this Article, a product is to be considered as

being introduced into the commerce of an importing country at less than

its normal value, if the price of the product exported from one country to

(26)

a) is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for

the like product when destined for consumption in the exporting

country, or

b) in the absence of such domestic price, is less than either

i). he highest comparable price for the like product for export to any

third country in the ordinary course of trade, or

ii). the cost of production of the product in the country of origin plus

a reasonable addition for selling cost and profit. Due allowance

shall be made in each case for differences in conditions and terms

of sale, for differences in taxation, and for other difference

affecting price comparability.

2. In order to offest or prevent dumping, a contracting party may levy on any

dumped product an anti dumping duty not greater in amount than the

margin of dumping in respect of such product. For the purposes of this

article, the margin of dumping is the price difference determined in

accordance with the provisions of paragraph 1.

3. No countervailing duty shall be levied on any product of the territory of

any contracting party imported into the territory of another contracting

party in excess of an amount equal to the estimated bounty or subsidy

determined to have been granted, directly or inderectly, on the

manufakture, production or export of such product in the country of origin

or exportation, including any special subsidy to the transportation of a

particular product. The term “countervailing duty” shall be understood to mean a special duty levied for the purpose of offsetting any bounty or

(27)

subsidy bestowed, directly or indirectly, upon the manufacture, production

or export of any merchandise.

4. No product of the territory of any contracting party imported int the

territory of any other contracting party shall be subject to anti-dumping or

countervailing duty be reason of the exemption of such product from duties

or taxes borne by the like product when the destined for comsumption in

the country of origin or exportation, or by reason of the refund of such

duties or taxes.

5. No product of the territory of any contracting party imported into the

territory of any other contracting party shall be subject to both

anti-dumping and countervailing duties to compensate for the same situation of

dumping or export subsidization.

6. a). No contracting party shall levy any anti-dumping or cuntervailing duty

on the importation of any product of the territory of another

contracting party unless it determines that the effect of the dumping or

subsidization, as the case may be, is such as to cause or threaten

material injury to an established domestic industry, or is such as to

retard materially the establishment of a domestic industry.

b). The CONTRACTING PARTIES may waive the requirement of

subparagraph (a) of this paragraph so as to permit a contracting

party to levy an anti-dumping or countervailing duty on the

importation of any product for the purpose of offsetting dumping or

subsidization which causes or threatens material injury to an industry

in the territory of another contracting party exporting the product

(28)

CONTRACTING PARTIES shall waive the requirements of

sub-paragraph, so as to permit the levying of a countervailing duty, in

cases in which they find that a subsidy is causing or threatening

material injury to an industry in the territory of another contarcting

party exporting the product concerned to the territory of the

importing contracting party.

c). In exceptional circumstances, however, where delay might cause

damage which would be difficult to repair, a contracting party may

levy a countervailing duty for the purpose referred to in

sub-paragraph (b) of this sub-paragraph without the prior approvalof the

CONTRACTING PARTIES; Provided that such action shall be

reported immediately to the CONTRACTING PARTIES and that the

countervailing duty shall be withdrawn promptly if the

CONTRACTING PARTIES disaprove.

7). A system for the stabilization of the domestic price or of the return to

domestic producer of a primary commodity, independently of the

movements of export prices, which results at times in the sale of

commodity for export at a price lower than the comparable price charged

for the like commodity to buyers in the domestic market, shall be presumed

not to result in material injury within the meaning of paragraph 6 if it is

determined by consultation among the contracting parties substantially

interested in the commodity concerned that:

a). The system has also resulted in the sale of the commodity for export at a

price higher than the comparable price charge for the like commodity to

(29)

b). The system is so operated, either because of the effective regulation of

production, or otherwise, as not to stimulate exports unduly or otherwise

seriously prejudice the interests of other contracting parties.

Persetujuan atas implementasi Article VI GATT dikenal sebagai Anti Dumping

Agreement (ADA) di mana menyediakan perluasan lebih lanjut atas prinsip prinsip

dasar dalam Article VI GATT itu sendiri, memerintahkan investigasi,ketentuan, dan aplikasi bea antidumping. Dalam article VI GATT 1994, para anggota WTO dapat membebankan/mengenakan antidumping measures jika setelah investigasi sesuai dengan persetujuan, suatu ketentuan dibuat, yaitu :

a. bahwa dumping sedang terjadi,

b. bahwa industri domestik memproduksi produk yang sama (like product) di negara pengimpor mendapatkan/memperoleh material injury, dan

c. bahwa ada suatu hubungan sebab akibat (causal link) antara keduanya.

Ketiga unsur di atas ditegaskan dalam Article 5.2 Agreement on Implementation of

Article VI of The General Agreement on Tarifs and Trade 1994(Anti-Dumping

Agreement/ADA)

“An application under paragraph 1 shall include evidence 0f (a)dumping,(b)injure within the meaning of Article VI of GATT 1994 as interpreted by this agreement, and

(c) a causal link between the dumped imports and the alleged injury.Simple

assertion...”88

b). Pengaturan Anti-Dumping Dalam Hukum Nasional.

Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Pesetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 ternyata sampai saat ini belum ada pengaturannya secara khusus dalam

(30)

satu peraturan yang berbentuk undang-undang. Pengaturan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia tersebar dalam Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, dan produk produk hukum lainnya yang terkait seperti Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai sebagai berikut.

1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi)

Agreement Establishing the World Trade Organization. Dengan adanya

pengesahan tersebut maka persetujuan itu yang berisi 28 ketentuan telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional, dan sekaligus meratifikasi pula Anti dumping Code tahun 1994 yang merupakan salah satu dari Multilateral Trade

Agreement.

2. Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti dumping

dan Bea Masuk Imbalan.

4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Prdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Peryaratan Permohonan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 sebagai ketentuan hukum acara(formal), dan ketentuan pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Anti Dumping indonesia, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428

(31)

/MPP/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Andi Dumping Indonesia serta Struktur Kepegawaian Komite Anti Dumping Indonesia berdasarkan Keputusan Ketua Komite Anti Dumping Indonesia Nomor 346/KADI/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Kepala Bidang dan Anggota di Lingkungan Komite Anti Dumping Indonesia. 5. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping/Sementara.

Peraturan peraturan tersebut dapat digunakan dalam penanganan kasus kasus dumping di Indonesia, terutama untuk pelaksanaan persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan bagi produk produk dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri sebelum adanya undang undang nasional yang secara khusus mengatur anti-dumping.

Indonesia dengan meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization dengan dikeluarkannya Undang undang No.7 tahun1994 tanggal 2 Nopember 1994, maka Indonesia harus mengimplementasikan 28 persetujuan yang telah sah menjadi bagian dari peraturan nasional. Hal ini sesuai dengan teori Hukum Alam yang dikemukakan oleh Grotius yang memaparkan ada 4 (empat) norma dasar yang terkandung dalam Hukum Alam, yaitu.

1. Kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain.

2. Kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada di tangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati.

3. Kita harus menepati janji janji yang kita buat.

4. Kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.89

(32)

Berdasarkan teori Hukum Alam dari Grotius itu, maka janji janji yang kita buat kita harus menepatinya dengan mengimplementasikan kebijakan antidumping,yaitu mengacu sepenuhnya kepada aturan WTO. Bila terbukti ada praktik dumping dan kerugian, maka pihak yang menimbulkan kerugian itu harus mengganti kerugian akibat pratik dumping yang dilakukan oleh eksportir , dan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar marjin dumping, yaitu selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir.Tetapi dalam penerapan ketentuan anti dumping berdasarkan GATT-WTO, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 ternyata kurang mengakomodasi semua ketentuan GATT-WTO tentang anti dumping, sehingga perlu penafsiran penafsiran terutama mengenai harga normal, kerugian (injury), dan causal link, sehingga kurang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi produsen dalam negeri.

Dalam upaya untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, oleh karena Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade

Organization, maka ada suatu perjanjian atau kontrak di antara negara negara yang

meratifikasi untuk menerapkan persetujuan persetujuan yang telah disepakati itu.Hal ini dapat didasarkan pada teori kontrak sebagaimana dikemukakan oleh Rudolf Von Jehring, bahwa kontrak tidak lain dari pada janji (promise). Janji menurut Jehring memiliki kekuatan hukum, yaitu kekuatan hukum yang tidak berasal dari hal hal di luar dari janji para pihak, tetapi dari fungsi praktis(practical function) dari janji itu sendiri90 Tanpa adanya kekuatan mengikat dari janji itu, maka perjanjian itu menjadi

90 Rudolf Von Jehring, 1959, Law as a Mens to an End, dalam Clarence Morris ed, the Great

Legal Philosophers Selected Reasing in Jurisprudence, University of Pennsylvania Press, Philadelphia,

(33)

tidak ada artinya dalam hubungan bisnis.Konsekuensinya, hubungan bisnis hanya akan berlangsung di antara pihak yang sudah benar-benar dikenal satu sama lainnya.

Daya kekuatan mengikat dari suatu perjanjian atau kontrak dapat dijelaskan melalui beberapa teori, yaitu.91

1. Teori Kehendak (Will Theory).

Menurut teori ini suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan dari beberapa pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang menyatakan sendiri kehendaknya untuk mengikatkan diri.

2. Teori Persetujuan(Bargaian Theory).

Teori ini merupakan pengingkaran dari teori pertama. Menurut teori ini dasar mengikatnya suatu kontrak bukan kehendak dari para pihak, tetapi persetujuan dari para pihak. Persetujuan yang telah dibuat oleh para pihak mengikat sepanjang apa yang telah disepakati oleh para pihak tersebut. 3. Teori kesetaraan(Equivalen Theory).

Menurut teori ini bahwa para pihak dalam kesepakatan tersebut telah memberikan kesetaraan(kesamaan) bagi para pihak.

4. Teori Kerugian(Injurious Reliance Theory).

Teori ini menyatakan bahwa para pihak terikat karena para pihak telah menyatakan dirinya untuk mengandalkan pada pihak yang menerima janji dengan akibat adanya kerugian. Dengan kata lain pelanggaran terhadap kesepakatan akan menimbulkan kerugian.

Dari berbagai teori yang diuraikan di atas, tampaknya teori yang paling tepat dan juga dianut di Indonesia adalah teori yang pertama, yaitu teori kehendak(Will

(34)

Theory) seperti yang diungkapkan oleh Subekti, bahwa perikatan yang lahir dari

perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian.92

Di samping teori tersebut di atas dalam ilmu hukum kontrak dikenal juga berbagai teori yang masing masing mencoba untuk menjelaskan berbagai segmen dari kontrak sesuai dengan kelompoknya masing masing dengan memakai kriteria tertentu, yaitu.

1. Teori-teori berdasarkan formasi kontrak.

Dalam hubungannya dengan formasi kontrak, dalam ilmu hukum terdapat 4(empat) teori yang mendasar, yaitu:93

a. Teori kontrak defakto(implied impact), yaitu kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan tegas, tetapi ada dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang sempurna.

b. Teori promissory estoppel (detremental riance), yaitu teori yang mengajarkan bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak dari antara kedua belah pihak, jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu ikatan kontrak.

c. Teori kontrak quasi (quasi contract in atau implied in law ) teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu maka hukum dapat menganggap adanya kontrak diantara pihak dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun kontrak itu sebenarnya tidak ada.

92 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979, h. 3

93 Munir fuadi, 1999, Hukum Kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya,

(35)

d. Teori kontrak ekspresif, teori ini merupakan teori yang sangat kuat daya berlakunya, bahwa setiap kontrak yang dinyatakan secara tegas(ekpresif) oleh para pihak, baik secara tertulis atau lisan sejauh memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak. Bagi negara-negara anglo saxon unsur tri tunggal dianggap ikatan yang paling sempurna bagi para pihak yaitu adanya unsur “offer”, “acceptance’’dan “consideration”.

2. Teori-teori aliran klasik

Ada beberapa teori dasar (underlying presupposittion) yang klasik merupakan tempat berpijak dari suatu kontrak yaitu sebagai berikut94 :

a. Teori hasrat, yaitu teori yang lebih mendasarkan kepada “hasrat “ (intention, will).

b. Teori benda, menurut teori ini, kontrak adalah suatu “benda” (thing) yang telah ada keberadaannya secara obyektif sebelum dilakukan pelaksanaan (perfomance) dari kontrak tersebut.

c. Teori pelaksanaan, menurut teori ini bahwa yang terpenting dari suatu kontrak adalah pelaksanaannya (enforcement) dari kontrak yang bersangkutan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh badan-badan pengadilan atau badan penyelesaian sengketa yang lainnya.

d. Teori prinsip umum, menurut teori ini suatu kontrak tetap mengacu pada efek general dari konsep kontrak itu sendiri. Jadi kontrak disini diartikan tidak akan menyimpang dari prinsip-prinsip umum dan universal yang terdapat dalam konsep kontrak tradisional.

94 P.S. Atiyah, 1986. “ Essays on Contract” dalam munir fuady, hukum kontrak dari sudut

(36)

3. Teori Holmes

Menyangkut tentang tanggung jawab hukum (legal liability) yang berkenaan dengan kontrak. Teori ini pada prinsipnya mendasarkan kontrak itu pada dua prinsip yaitu95 :

a. Tujuan utama dari teori hukum adalah untuk menyesuaikan hal-hal eksternal ke dalam aturan hukum.

b. Kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban, karena itu teori holmes tentang kontrak memiliki intisari sebagai berikut : 1. Peranan moral tidak berlaku untuk kontrak

2. kontrak itu merupakan suatu alokasi risiko, yaitu risiko wanprestasi 3. Yang terpenting bagi suatu kontrak adalah standar tanggung jawab

yang eksternal. Sedangkan maksud aktual yang internal adalah tidak penting.

4. Teori liberal kontrak

Prinsip teori ini mengajarkan, bahwa setiap orang menginginkan keamanan. Sehingga Seorang harus menghormati kepada orang lain dan hartanya, tetapi orang juga perlu bekerjasama, dan kerjasama ini dapat dilakukan tanpa kehilangan kebebasannya, yang dalam hal ini dilakukan dengan kepercayaan dan perjanjian perlu adanya komitmen sehingga secara moral komitmen dapat dilaksanakan, tanpa komitmen tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban yang bersangkutan. Tetapi jika terjadi pelanggaran suatu kontrak oleh salah satu pihak maka tidak akan mendapatkan suatu bentuk ganti kerugian seperti yang ditulis oleh Hellen J. Bond & Peter Kay dalam bukunya yang berjudul Bussines Law “The

General Principle is that damages will not be awarded for non-pecuniary losses, such

(37)

as injury to the plaintiff’s feelings or for his mental distress, as a result of a breach of

contract96” dalam Teori-teori tersebut diatas pada prinsipnya dapat diterapkan dalam

upaya melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping sebagai akibat dari ratifikasi agreement est.

Dalam persaingan pasar bebas perjanjian yang tertuang dalam sebuah kontrak sangat penting, selain untuk mengikat kedua belah pihak kontrak juga sebagai hukum bagi keduanya. Sebagai contoh Seperti yang ditulis oleh Berhard Bergmans dalam bukunya Inside Information and Securities Trading “The Free Market approach

fundamentally rests on the role of property right and contracts in the functioning of

the market. These concepts need therefore to be briefly explained before examining

their application97”

Ada beberapa aliran atau mazhab dalam filsafat hukum yang memberikan jawaban atas kekuatan mengikatnya suatu kontrak :

1. Mazhab Hukum Alam

Merupakan mazhab hukum tertua dalam aliran filsafat, sarjana yang sangat terkenal pengikut aliran hukum alam ini adalah Hugo Grotius, menurut beliau bahwa kekuatan mengikat suatu kontrak berasal dari hukum alam. Menurut hukum alam kontrak tidak lain adalah kesepakatan timbal balik para pihak (mutual compact) yang memiliki kekuatan mengikat dari hukum alam.98 Menurut grotius, individu pada hakikatnya adalah mahluk yang lemah, ia membutuhkan banyak hal untuk membuat hidupnya nyaman. Oleh karena itu mengikatnya diri pada suatu masyarakat diamana

96 Hellen J. Bond & Peter Kay, 1995, Bussines Law, Blackstone Press Limited, London, h.223. 97 Berhard Bergmans,1991, Inside Information and Securities Trading, Graham & Trootman,

London, h.134.

98 Hugo Grotius, 1959 “On the rights of war and peace” dalam Clarence Morris, The Great

Legal Philosophers, seected reasing in jurisprudence, University of Pennsylvania press, philadelphia, h.

(38)

ia tinggal, untuk memenuhi kebutuhan itu antara ia dn masyarakatnya, maka hukum hadir disitu.99

Filsuf lain pengikut aliran hukum alam yang bernama Pufendorf, menyatakan bahwa kontrak melahirkan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak berdasarkan hal ini maka keadilan menuntut bahwa kedua belah pihak melaksanakan kontrak itu. Bila terdapat pelanggaran maka hukumnya menyusul100

Filsuf Jhon Locke sebagai pelopor ahli hukum alam menjelaskan bahwa prinsip ini harus dihormati (keeping of faith) tidak lain adalah prinsip yang berasal dari hukum alam. Jadi orang perorangan tersebut menurut Locke tidaklah cukup digantungkan kepada para pihak. Locke berpendapat peran negara sangatlah perlu. Menurut beliau, negara harus berfungsi sebagai pengawal hukum. Untuk itu orang perorangan perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara, yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi.101

2. Mazhab Wiena(Hans Kelsen)

Salah seorang sarjana terkemuka yang menjelaskan hakikat mengikatnya kontrak ini adalah Hans Kelsen. Mazhab beliau yang menarik adalah apa yang beliau sebut sebagai doktrin transisi atau tindakan hukum (legal transaction atau uristic act). Doktrin ini terbagi ke dalam dua bentuk yaitu pertama transaksi hukum sebagai tindakan yang menciptakan hukum dan yang menerapkan hukum. Bentuk kedua dari doktrin hukum ini adalah kontrak.

Menurut Kelsen, transaksi hukum itu adalah suatu tindakan dimana individu diberi wewenang oleh (tertib) hukum untuk mengatur tindakan-tindakan tertentu secara sah. Transaksi inilah yang disebut dengan tindakan yang menciptakan hukum

99 Ibid

100 Theo Huijbers, 2006, filsafat hukum dalam lintasan sejarah, kanisius, Yogyakarta, h. 73.

(39)

(law-creating act). Disebut demikian karena tindakan tersebut melahirkan hak dan kewajiban pada para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Pada saat yang sama tindakan berupa transaksi hukum tersebut terdapat didalam nya bukan saja menciptakn hukum tetapi juga adalah tindakan penerapan hukum (law applying act) . untuk memungkinkan semua tindakan tersebut sah, para pihak menggunakan norma-norma hukum. Menurut Kelsen lebih lanjut, denga memberi para pihak kemugkinan untuk mengatur hubungan-hubungan mereka secara timbal balik melalui apa yang disebut Kelsen sebagai transaksi hukum tersebut, maka norma hukum (legal Order) memberikan para individu suatu otonomi hukum tertentu. Dalam fungsinya sebagai pembentukan hukum inilah, maka transaksi hukum tersebut yang juga oleh kelsen disebut sebagai otonomi para pihak (Private-autonomy) tercermin didalamnya.102

Dengan adanya suatu tindakan hukum, maka terbentuklah suatu norma-norma hukum ( umum ) yang mengatur hubungan timbal balik para pihak. Norma-norma hukum ini oleh Kelsen disebut sebagai norma kedua (Secondary Norm). Alasan disebut norma kedua ini adalah karena tindakan hukum tersebut melahirkan hak dan kewajiban hukum yang apabila hak dan kewajiban tersebut dilanggar maka dapat menimbulkan suatu sanksi. Oleh karena itulah norma kedua ini mengatur tingkah laku atau perbuatan para pihak.

Bentuk kedua dari suatu transaksi yang disebut dengan istiah kontrak pada hakikatnya adalah transaksi hukum yang bersifat hukum perdata (legal transaction of

civil law).103 Kontrak semata-mata adalah suatu pernyataan kehendak dari dua atau

lebih individu. Pernyataan ini merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya

102 Ibid h. 137 103 Ibid, h. 140

(40)

pernyataan ini maka kontrak yang dibuat tidak dapat ada atau dikuatkan oleh suatu prosedur hukum (pengadilan).

Pernyataan atau deklarasi semata tidaklah cukup untuk melahirkan suatu kontrak. Menurut Kelsen, pernyataan ini baru akan mengikat apabila pernyataan tersebut ditujukan kepada pihak lainnya dan pihak ini menyatakan penerimaanya. Kelsen menyebut adanya tindakan dua pihak ini sebagai transaksi hukum dua pihak (two-sided legal transactions).

3. Mazhab Positivisme (Rudolf Von Jhering)

Mazhab lain dikemukakan oleh sarjana terkemuka Rudolf Von Jhering. Beiau adalah salah seorang yang memelopori secara gigih mazhab positivisme yuridis. Mazhab ini antara lain berpendapat bahwa satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah yang dipastikan kenyataannya.

Dalam hukum perjanjian ( kontrak ) ada beberapa asas atau prinsip fundamental yang harus ditaati dan dihormati, Felix O Soebagio menyebutkan asas atau prinsip-prinsip tersebut yaitu104

1. Asas hukum umum. Asas ini merupakan suatu asas yang sangat mendasar, dan berpengaruh kepada pelaksanaan dan perkembangan hukum kontrak di Indonesia. Dengan asas ini setiap orang diasumsikan mengetahui dan mengenl hukum. Dengan demikian setiap orang dan pelaku bisnis di ndonesia dianggap mengetahui setiap dan semua peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan

104 Felix O Soebagio, 1993, Perkembangan asas-asas hukum kontrak dalam praktek bisnis

selama 25 tahun terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah “perkembangan hukum kontrak dalam

praktek bisnis di Indonesia” diselenggarakan oleh badan pengkajian hukum nasional, Jakarta, 18 dan 19 Februari 1993

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Desa Grawan Kecamatan Sumber Kabupaten Rembang merupakan salah satu desa dengan kategori Desa Merah atau desa miskin menurut pemetaan Bappeda Provinsi awa Tengah.

Alhamdulillah, tiada sanjungan dan pujian yang berhak diucapkan selain hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta kemudahan dan

Zero waste dalam produksi fasyen ini yang terinspirasi dari pembuatan kimono Jepang, dalam industri fesyen menjadi salah satu teknik yang dapat dikembangkan

Konsep Kereta api Cerdas diupayakan melalui pengggunaan teknologi terbaru, teknologi ICT, dan system manajemen yang handal dengan indikator keberhasilan adalah kehandalan

Memberikan informasi kepada pihak Koperasi Kredit Karya Jasa Palembang mengenai peranan audit internal dan efektivitas pengendalian internal penyaluran kredit yang

merupakan suatu surat keterangan tentang hak pakai tanah Magersari. Pengaruh arsip serat kekancingan terhadap pengaturan hak atas tanah magersari tidak sekedar

Dengan kata lain, penyimpangan dari PSAK tidak dapat dilakukan jika ada satu perusahaan lain dalam industri yang sama mematuhi suatu PSAK yang dianggap bertentangan

Nilai barang yang masuk ke Kota Tarakan melalui Pelabuhan Tidak Resmi cukup besar (LP2M, Universitas Borneo, 2012). Survey yang dilakukan oleh LP2M Borneo menemukan