• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINTASAN DAN PRODUKSI UDANG WINDU (Penaeus monodon) YANG DIBUDIDAYAKAN DENGAN SISTEM MULTITROPIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SINTASAN DAN PRODUKSI UDANG WINDU (Penaeus monodon) YANG DIBUDIDAYAKAN DENGAN SISTEM MULTITROPIK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SINTASAN DAN PRODUKSI UDANG WINDU (Penaeus monodon)

YANG DIBUDIDAYAKAN DENGAN SISTEM MULTITROPIK

Bunga Rante Tampangallo, Arifuddin Tompo, dan Nurhidayah

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: litkanta@indosat.net.id

ABSTRAK

Budidaya multitropik merupakan suatu usaha untuk membudidayakan beberapa jenis organisme dalam satu areal dengan memperhatikan pemanfaatan ruang yang ada dengan fungsinya masing-masing. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui potensi budidaya sistem multitropik sebagai alternatif pencegahan pada budidaya udang windu dengan tujuan khusus mengetahui sintasan, produksi, populasi, serta jenis bakteri hasil isolasi pada budidaya dengan sistem multitropik. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 8 buah petak tambak berukuran 500 m2. Perlakuan yang diuji adalah udang windu dengan

kepadatan 4 ekor/m2 (kontrol), udang windu + rumput laut Gracilaria sp. (1.500kg/ha) (A); udang windu +

rumput laut + bandeng (0,2 ekor/m2) (B); dan udang windu + rumput laut + tiram (Crasostrea sp. 240 g/m2)

(C). Peubah pengamatan yang diukur adalah: sintasan dan produksi udang budidaya, populasi dan jenis bakteri hasil isolasi, serta parameter kualitas air seperti: pH, salinitas, DO, alkalinitas, amoniak, nitrat, nitrit, PO4-P dan BOT sebagai data penunjang. Sintasan dan produksi dianalis ragam sedangkan populasi bakteri dan parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik dan tabel. Sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan C (76,57%) dan signifikan berbeda terhadap kontrol (56,55%); perlakuan A (45,0%) dan yang terendah perlakuan B (42,00%). Demikian halnya dengan produksi, C (319,4 kg/ha) berbeda secara signifikan terhadap perlakuan A (210,60 kg/ha); perlakuan B (139,50 kg/ha); dan yang terendah perlakuan K (60,80 kg/ha). Populasi bakteri Vibrio (TBV) di air berkisar 101-103 cfu/mL dan di sedimen 101-104 cfu/mL.

Sedangkan total bakteri umum (TPC) di air berkisar antara 103-108 cfu/mL dan di sedimen 104-109 cfu/mL.

Jenis bakteri Vibrio spp. yang diisolasi selama penelitian adalah bakteri Vibrio mimicus, V. splindidus, V. ordalli,

V.tubiaschii, V. metschnikovii, V. alginolyticus, dan V. P.fishery; sedangkan bakteri umum didominasi oleh Acinobacter, Pseudomonas, Enterobacter, Chromobacterium, dan Flavobacterium. Parameter kualitas air yang diamati masih

berada pada kondisi yang dapat ditolerir oleh organisme budidaya. KATA KUNCI: budidaya multitropik, sintasan, produksi, udang windu PENDAHULUAN

Penyakit pada budidaya udang windu merupakan salah satu penyebab kematian dan kerugian yang cukup besar yang disebabkan oleh virus, jamur, bakteri, dan organisme patogen lainnya. Salah satu jenis bakteri yang telah diidentifikasi sebagai penyebab utama timbulnya penyakit dan menyebabkan turunnya produksi udang windu pada usaha budidaya adalah bakteri Vibrio. Penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri ini dikenal dengan nama penyakit kunang-kunang atau “luminescent

Vibriosis” yang bercahaya pada kondisi gelap (Lightner et al., 1992).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit vibriosis pada udang windu antara lain dengan menggunakan obat-obatan dan antibiotik (Chanratchakool et al., 1995 ) namun tidak efektif karena berdampak negatif pada ikan/udang itu sendiri, bahkan dapat menimbulkan resistensi bagi bakteri Vibrio spp. Alternatif lainnya adalah dengan menggunakan immunstimulan, bakterin (Tompo et al., 2005; 2006; 2007), probiotik dan melalui sistem budidaya multitropik.

Budidaya multitropik adalah suatu sistem budidaya yang menggabungkan beberapa spesies dalam satu lingkungan budidaya dengan memperhatikan pemanfaatan ruang dan nutrien dalam perairan. Budidaya multitropik hampir sama dengan budidaya polikultur, perbedaannya adalah pada budidaya multitropik mengacu pada budidaya yang lebih intensif dari berbagai spesies dengan menggabungkan

(2)

hewan dan tumbuhan. Budidaya multitropik yang dilakukan di tambak, biasanya menggabungkan antara udang, bandeng, nila, tiram, dan rumput laut.

Pada awal 2008, Harris (2008) telah berhasil membudidayakan udang windu, Gracilaria, dan ikan nila dalam tambak seluas 600 m2 dengan kedalaman sekitar 60 cm dan memberikan hasil yang cukup signifikan. Udang windu menghasilkan biomassa sebanyak 386 kg, bandeng 37 kg, nila 207 kg, dan Gracilaria 200 kg. Hal ini dapat terjadi oleh karena adanya simbiosis mutualisme dari organisme yang dipelihara. Rumput laut dalam tambak dapat menyuplai oksigen dalam perairan tambak pada siang hari, menyerap racun-racun dalam tambak, tempat melekat klekap yang dapat menjadi makanan bagi bandeng, tempat menempel mikroorganisme yang dapat menjadi makanan bagi udang windu. Selain itu, ekstraksi rumput laut juga dapat berfungsi sebagai anti mikroba (Diarti, 2009). Tiram, Crassostrea iredalei yang ditempatkan dalam tandon biofilter tambak udang intensif dengan kepadatan 250 kg/ha dengan ukuran cangkang < 5 cm mampu menyerap logam berat, plankton, dan bakteri (Tompo, 1997).

Budidaya multitropik adalah suatu sistem budidaya yang menggabungkan beberapa spesies dalam satu lingkungan budidaya dengan memperhatikan pemanfaatan ruang dan nutrien dalam perairan. Budidaya multitropik hampir sama dengan budidaya polikultur, perbedaannya adalah pada budidaya multitropik mengacu pada budidaya yang lebih intensif dari berbagai spesies dengan menggabungkan hewan dan tumbuhan. Budidaya multitropik yang biasa dilakukan di tambak, biasanya menggabungkan antara udang, bandeng, nila, tiram, dan rumput laut.

Pengembangan budidaya multitropik dimaksudkan sebagai alternatif pencegahan penyakit pada budidaya udang yang bersifat ramah lingkungan. Hal ini dapat terjadi karena organisme-organisme yang dibudidayakan dengan sistem multitropik misalnya kekerangan (tiram) mempunyai kemampuan sebagai biofilter. Dengan kemampuan biofilter yang dimilikinya diharapkan dapat memperbaiki kualitas air yang ada selama masa pemeliharaan sehingga menghambat dan mengurangi pertumbuhan bakteri-bakteri yang bersifat oportunistik pathogen. Sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan sintasan dan produksi pada usaha budidaya yang dilakukan. Oleh karena itu, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sintasan, produksi, populasi, dan jenis bakteri pada budidaya multitropik di tambak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan 8 petakan tambak masing-masing seluas 500 m2. Persiapan tambak dilakukan dengan mengikuti standar operasional pertambakan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 2 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah pemeliharaan udang windu dengan sistem multitropik dengan kombinasi sebagai berikut:

A. Udang windu + Gracilaria sp.

B. Udang windu + Gracilaria sp. + bandeng

C. Udang windu + Gracilaria sp. + tiram D. Kontrol (udang windu)

Hewan uji yang dicobakan adalah tokolan udang windu PL-42, yang telah dinyatakan negatif WSSV dengan menggunakan PCR, dengan padat tebar 4 ekor/m2, tiram 240 g/m2, Gracilaria 1.500kg/ ha, dan nener bandeng 0,2 ekor/m2. Kepadatan ini disesuaikan dengan daya dukung lahan tambak Maranak. Metode pemeliharaan tiram dengan menggunakan tray bambu sedangkan penanaman

rumput laut menggunakan metode tebar lepas dasar. Pemberian pakan dilakukan 2 minggu setelah penebaran dan pemupukan susulan setiap 10 hari.

V 1 X 5 1 X T O P 

(3)

Pengamatan bakteri Vibrio spp. menggunakan TCBSA (Thiosulfat Citrate Bile Soy Agar), sedangkan total bakteri (TPC), menggunakan TSA (Triptic Soy Agar). Setiap koloni yang tumbuh dihitung dengan menggunakan rumus:

di mana :

P = populasi bakteri (cfu/mL)

Q = total bakteri yang tumbuh dalam satu tingkat pengenceran (koloni)

T = jumlah plate yang digunakan

S = tingkat pengenceran

V = volume sampel yang ditanam (mL)

Identifikasi bakteri dilakukan secara morfologi dan dengan menggunakan uji biokimia berdasarkan petunjuk Austin (1993). Beberapa parameter kualitas air seperti pH, salinitas, alkalinitas, amoniak,

A B C D

Bobot awal (g) 0,003 0,003 0,003 0,003

Padat tebar (ekor/m2) 4 4 4 4

Sintasan (%) 45,0ab 42,00b 76,57a 56,55ab

Produksi (kg/ha) 210,60b 139,50c 319,40a 60,80c

Data biologis Perlakuan

Tabel 1. Bobot awal, padat tebar, sintasan, dan produksi udang windu selama penelitian budidaya multitropik

nitrat, nitrit, PO4-P, dan BOT diamati setiap 2 minggu sekali, sedangkan sintasan dan produksi dihitung pada akhir penelitian.

HASIL DAN BAHASAN Sintasan dan Produksi

Sintasan dan produksi udang windu pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 memperlihatkan sintasan tertinggi didapatkan pada perlakuan C yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap perlakuan B akan tetapi tidak berbeda nyata terhadap perlakuan A dan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa kombinasi penggunaan udang windu + Gracilaria + tiram yang dibudidayakan secara bersama memberikan pengaruh positif terhadap sintasan udang windu, demikian juga dengan produksi yang dihasilkan pada perlakuan ini lebih besar jika dibandingkan dengan produksi yang dihasilkan pada perlakuan lainnya.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena keberadaan Gracilaria dan tiram dapat mendukung sintasan dan pertumbuhan udang windu karena fungsinya masing-masing sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme di antara ketiganya. Seperti diketahui rumput laut berfungsi sebagai penyuplai oksigen dalam perairan tambak pada siang hari, menyerap racun-racun dalam tambak, tempat melekat klekap yang dapat menjadi makanan bagi bandeng, serta tempat menempel mikroorganisme yang dapat menjadi makanan bagi udang windu. Selain itu, ekstraksi rumput laut juga dapat berfungsi sebagai anti mikroba (Diarti, 2009). Polikultur abalon dengan rumput laut merah, Gracilaria textorii dapat menurunkan konsentrasi total Vibrio spp. dan memperbaiki keseimbangan komposisi bakteri Vibrio (Pang et al., 2006 dalam Butterworth, 2009).

Fungsi dan aktivitas rumput laut sebagai antimikroba ini dapat menekan perkembangan White

Spot Syndrome Virus (WSSV). Hal ini seperti yang terlihat selama masa pemeliharaan di mana pada

masa pemeliharaan 1 bulan lebih, udang windu yang dipelihara terinfeksi WSSV, akan tetapi pada pengamatan selanjutnya hasil deteksinya negatif hingga akhir penelitian. Penelitian terhadap aktivitas

(4)

dari rumput laut sebagai anti virus saat ini telah banyak dilakukan antara lain oleh Prajitno (2010); Ridlo et al. (2008); Ekasari (2010).

Penggunaan tiram dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan dalam pengelolaan mutu air karena fungsi tiram sebagai biofilter seperti yang dikemukakan oleh Chanratchakol (1985). Tiram bakau yang dipelihara sebagian besar dapat tumbuh dengan baik, akan tetapi ada juga yang mati. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh karena adanya proses adaptasi dan tingginya suhu air dibanding habitat asli dari tiram ini yang umumnya terlindung di bawah pohon bakau yang tumbuh di sepanjang pinggiran sungai tempat tiram ini diambil. Produksi tiram tertinggi didapat pada petak C2, yakni sebesar 300 kg sedang di petak C1 hanya mencapai 200 kg. Metode pemeliharaan tiram bakau dalam petakan tambak dipelihara dengan menempatkannya di atas bilah-bilah bambu (Mangampa, 1998).

Tiram dapat berfungsi sebagai biofilter oleh karena bersifat bakterioplankton feeder yang dapat menyaring lebih baik dibanding filter ukuran 3 mm. Akan tetapi penggunaan tiram sebagai biofilter juga harus diwaspadai karena dengan sifat bakteriplankton feeder yang dimilikinya dapat menyebabkannya sebagai carrier WSSV, seperti yang ditemukan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Muliani et al. (2007). Hal ini terbukti pada akhir penelitian tiram bakau yang berada dalam petak tambak yang terserang WSSV, terdeteksi positif terinfeksi WSSV.

Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa rata-rata sintasan yang diperoleh untuk semua perlakuan rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tingginya suhu air di petakan pada waktu penebaran sehingga menyebabkan udang menjadi stres. Rendahnya sintasan yang diperoleh juga disebabkan karena pada masa pemeliharaan di sekitar hamparan tambak penelitian terjadi wabah serangan WSSV. Hal ini diperkuat oleh hasil deteksi WSSV pada akhir penelitian (panen) yang menunjukkan bahwa sebagian besar sampel udang yang diperiksa positif terinfeksi WSSV. Udang windu yang terserang Virus ini dalam jangka waktu 2-7 hari dapat mengakibatkan kematian massal hingga 100% (Chang et al., 1998).

Untuk produksi udang windu tertinggi juga didapatkan pada perlakuan C (P<0,05) dan berbeda nyata terhadap semua perlakuan, disusul perlakuan A yang juga berbeda nyata terhadap perlakuan B dan kontrol sedangkan produksi terendah diperoleh pada perlakuan B. Rendahnya produksi pada perlakuan B disebabkan oleh karena pakan udang yang diberikan sebagian dimakan oleh bandeng yang juga dipelihara bersama-sama dalam petakan ini.

Ikan bandeng yang dipelihara mengalami pertumbuhan yang sangat lambat, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh karena pakan untuk ikan bandeng ini sangat sedikit. Bandeng yang dipelihara tidak diberi pakan buatan dengan harapan bahwa ikan ini akan mendapat makanan dari pakan alami dan pemeliharaan bandeng ini juga terlalu singkat, hanya kurang lebih 3 bulan pemeliharaan dengan bobot awal 3-5 gram/ekor. Akan tetapi dari segi sintasan, cukup baik, oleh karena sintasan terendah hanya didapatkan pada petak B1 yakni 94%. Pada penelitian ini, bandeng diharapkan dapat menjadi biofilter dalam petakan tambak.

Rumput laut Gracilaria sp. yang ditanam dalam tambak ini, sebagian besar tidak dapat bertumbuh dengan baik, bahkan setelah 1 bulan pemeliharaan, telah dilakukan penebaran ulang karena sebagian besar petakan telah berkurang rumput lautnya sehingga dilakukan penebaran ulang.

Populasi Bakteri

Populasi bakteri Vibrio selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Populasi bakteri Vibrio baik di air maupun di sedimen pada umumnya cenderung meningkat seiring dengan lama pemeliharaan. Bakteri Vibrio di air berkisar antara 0,21 x 102 - 1,1 x 103 cfu/mL. Populasi bakteri

Vibrio di air tertinggi diperoleh pada pengamatan ketiga diperlakuan A dan terendah di petakan D

pada pengamatan pertama. Populasi bakteri Vibrio di sedimen, berkisar antara 0,32 x 102 - 3,09 x 104 cfu/mL. Populasi bakteri Vibrio tertinggi ditemukan pada perlakuan B pada pengamatan keenam dan terendah di petakan A setelah 1,5 bulan penelitian 0,6 x 102 cfu/mL.

Konsentrasi Vibrio sp. yang cukup rendah kemungkinan disebabkan karena aktivitas rumput laut yang dapat bersifat sebagai antimikroba. Menurut Prajitno (2007), kandungan Flavonoid dari ekstrak

(5)

pertumbuhan V. harveyi secara in vitro. Selanjutnya Pelczar et al. (1977) dalam Prajitno (2007) menyatakan bahwa persenyawaan Flavonoid sebagai anti-bakteri menghambat pertumbuhan dan metabolisme bakteri dengan cara merusak membran sitoplasma dan mendenaturasi protein sel. Selain rumput laut, dalam petakan perlakuan C, juga dipelihara tiram bakau yang diketahui sangat baik bila berada dalam perairan untuk menjaga kualitas air oleh karena tiram (Crassostrea) dapat memangsa/menyaring bakteri plankton lebih efektif dibanding saringan dengan mata jaring 3 mm (Tuwo, 2010).

Populasi bakteri umum cenderung menurun, baik di sedimen maupun di air selama penelitian berlangsung (Gambar 2). Populasi total bakteri di air berkisar antara 6,324 x 103 - 1 x 108 cfu/mL. Populasi tertinggi didapatkan pada petakan kontrol pada awal penelitian dan terendah di air petakan B pada akhir penelitian. Pada sedimen, populasi total bakteri berkisar antara 8,45 x 104 - 1,88 x 109 cfu/mL. Populasi total bakteri tertinggi diperoleh pada sedimen petakan kontrol pada pengamatan kedua dan terendah di petakan A pada pengamatan terakhir. Rendahnya populasi bakteri ini kemungkinan juga disebabkan oleh adanya interaksi positif dari organisme yang dipelihara, misalnya rumput laut seperti yang didapatkan oleh Izzati (2007) yang menemukan ekstrak rumput laut Caulerpa sp. dan Padina sp., paling aktif menghambat bakteri Pseudomonas sedangkan Sargassum polycistum dan Gelidium sp paling aktif menghambat pertumbuhan bakteri dari spesies Vibrio spp.

Identifikasi Bakteri

Hasil uji identifikasi bakteri dilakukan secara morfologi dan biokimia terhadap isolat bakteri yang berhasil dikoleksi dapat dilihat pada lampiran 1. (bentuk dan warna serta respons terhadap uji biokimia yang dilakukan). Dari tabel pada Lampiran 1, terlihat bahwa pada umumnya bakteri Vibrio spp. yang berhasil diisolasi selama penelitian mempunyai ciri-ciri morfologi kuning putih cembung basah, hijau cembung mengkilap, hijau putih cembung basah, kuning cembung basah, hitam cembung mengkilap, hijau putih cembung basah menyala, hijau berpasir, kuning berpasir, kuning agak kering pinggir bergerigi, dan kuning menyebar. Berdasarkan hasil uji identifikasi dengan menggunakan Gambar 1. Populasi bakteri Vibrio spp. pada air (A) dan sedimen (B) pada budidaya udang windu

multitropik

(6)

media uji biokimia dan software fortran, maka jenis isolat bakteri Vibrio yang diisolasi pada penelitian ini adalah seperti pada Gambar 3.

Dari Gambar 3, terlihat bahwa bakteri Vibrio spp. yang diisolasi dari air tambak adalah bakteri

Vibrio mimicus, V. alginolyticus, V.tubiashii, V. fischeri, V. splendidus, V. leiognathi, V. ordalii, dan V. metschnikovii. V. mimicus merupakan salah satu jenis bakteri yang paling banyak ditemukan dan

didapatkan di semua petakan tambak. Jenis bakteri Vibrio yang ditemukan di sedimen adalah Vibrio

mimicus, V.tubiashii, V. splendidus, V. Ordalii, dan V. metschnikovii. V. ordalii paling banyak ditemukan,

kemudian Vibrio mimicus dan ditemukan hampir di semua petakan tambak. Pada penelitian ini tidak ditemukan bakteri Vibrio harveyii yang biasanya bersifat lebih patogen pada budidaya udang windu, walaupun pada isolat yang berhasil dikoleksi juga ditemukan bakteri Vibrio yang berpendar, akan tetapi setelah diidentifikasi secara biokimia, hasilnya adalah bakteri V. mimicus.

Hasil pengamatan terhadap morfologi dan respons terhadap uji biokimia bakteri umum yang diisolasi selama penelitian dapat dilihat pada tabel Lampiran 2. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa pada umumnya ciri-ciri morfologi bakteri yang diisolasi pada media TSA adalah bundar, timbul mengkilap, hijau daun; tak beraturan, cilia, cream; bundar, timbul mengkilap, orange tua; bundar, timbul, mengkilap, putih susu; bundar, licin, cembung, basah, kuning; bundar, tak beraturan cembung putih dan sebagainya. Setelah isolat ini diidentifikasi dengan menggunakan media uji biokimia, maka hasilnya adalah seperti pada Gambar 4.

Berdasarkan data pada Gambar 4, terlihat bahwa bakteri umum yang ditemukan di air selama penelitian adalah Acinobacter, Chromobacterium, Pseudomonas, dan Enterobacter. Persentase tertinggi ditemukan adalah Acinobacter dan ditemukan di petak A dan B, sedangkan persentase terendah di temukan adalah Pseudomonas yang ditemukan di air tambak petak B. Jenis bakteri umum yang ditemukan di sedimen tambak selama penelitian adalah dari genus Acinobacter, Pseudomonas, dan Gambar 3. Jenis bakteri Vibrio spp. yang ditemukan di air (A) dan di sedimen (B) selama penelitian

(7)

Flavocytopaga. Jenis tertinggi yang ditemukan adalah Acinobacter dan ditemukan pada semua petakan

sedang presentase terendah ditemukan adalah Flavocytopaga.

Kualitas Air

Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5, dapat dilihat hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air A = kadar BOT (mg/L), B = kadar NO2N (mg/L), C = kadar NO3N (mg/L), D = kadar NH3N (mg/L), E = kadar PO4 (mg/L) dan F = kadar alkalinitas selama penelitian budidaya udang multitropik.

Dari Gambar 5, diketahui bahwa kadar bahan organik total (BOT) dalam lingkungan tambak selama penelitian berkisar antara 20-50 mg/L; fosfat berkisar 0,001-0,9 mg/L; kadar amoniak 0,01-0,4 mg/L; kadar NO2N berkisar antara 0,001-0,75 mg/L; kadar NO3N 0,001-0,4 mg/L; dan alkalinitas berkisar antara 155-188. Dari Gambar 5 terlihat bahwa pada umumnya kadar tertinggi diperoleh pada pengamatan keenam, seperti terlihat pada nilai BOT, PO4P, dan amoniak. Bahan organik terlarut

A

B

C

D

E

F

Gambar 5. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air A = kadar BOT (mg/L), B = kadar NO2N (mg/L), C = kadar NO3N (mg/L), D = kadar NH3N (mg/L), E = kadar PO4 (mg/L) dan F = kadar alkalinitas selama penelitian budidaya udang multitropik

(8)

tertinggi didapatkan pada perlakuan A pengamatan ke-6 (masa pemeliharaan memasuki bulan ke-3). Demikian pula dengan kadar PO4P dalam air tambak, tertinggi dipengamatan ke-7. Kandungan BOT dan PO4P ini, dapat menjadi suatu petunjuk berkaitan dengan kematian rumput laut dalam petakan tambak penelitian. Kemungkinan rumput laut mati akibat tingginya kandungan bahan organik terlarut dan kadar fosfat ini. Hal lain yang cukup menarik dalam pengamatan kualitas air ini adalah tingginya kadar NH3N di tandon dan saluran masuk. Air yang ada dalam tandon berasal dari sumur bor dan sepanjang saluran pemasukan telah dipenuhi oleh tanaman mangrove yang cukup padat, akan tetapi kadar NH3N masih cukup tinggi pada sumber air ini.

Salinitas selama penelitian berkisar antara 15‰-35‰. Salinitas terendah terjadi di awal penelitian. Hal ini disebabkan karena masih terpengaruh oleh musim hujan. Suhu air dalam tambak berkisar 24°C-34°C. Suhu tinggi dalam air tambak cukup mempengaruhi organisme budidaya, udang misalnya, menjadi lemah dan mudah terserang penyakit, demikian halnya dengan tiram yang dipelihara, sebagian mati oleh karena panasnya suhu air.

KESIMPULAN

Sinergi positif dari organisme yang dipelihara menyebabkan sintasan dan produksi yang diperoleh cukup baik dengan perlakuan terbaik ialah penggunaan udang windu, rumput laut. dan tiram. Populasi bakteri Vibrio spp. cenderung meningkat seiring dengan lama pemeliharaan sedang populasi total bakteri cenderung menurun. V. mimicus cenderung mendominasi jenis bakteri Vibrio yang diisolasi di penelitian ini. Bakteri umum yang diisolasi didominasi oleh Acinobacter. Kualitas air yang diamati masih dalam kondisi yang aman untuk budidaya akan tetapi pada beberapa kali pengamatan tergolong cukup tinggi, namun tidak menyebabkan kematian pada organisme udang yang dibudidayakan.

DAFTAR ACUAN

Austin, B. 1993. Methods in aquatic bakteriology. John Wiley and Sons. Chinhester. New York. Brisbane Toronto. Singapore, 425 pp.

Butterworth, A. 2010. Integrated multitropic aquaculture systems incorporating abalone and seaweeds. http://www.nuffieldinternational.org/rep_pdf/1287395494Nuffield_Report-_Adam_Butterworth.pdf Pog-Shing, C., Hsiao-chao, C., & Yu_Chi, W. 1998. Detection of white spot syndrome associated baculoVirus in experimentally infected wild shrimp crab and lobster by in situ hyridiztion.

Aquaculture, 164: 233-342.

Chanratchakool, P., Turnbull, J.F., Limsuwan, C., & Smith, S.F. 1995. Third Shrimp Health Management. Training Hand Book. The Aquatic Animal Health Research Institute. Departement of Fisheries Kasetsart UniVersity Campus. Bangkok.

Diarti, W.M. 2009. Senyawa antimikroba dari rumput laut. http://www.penemuan.com/senyawa-antimikroba-dari-rumput-laut.html.

Ekasari. 2010. Pemanfaatan Rumput Laut Sargassum sp. Sebagai Alternatif Pengobatan Kanker Leher Rahim. fpk.unair.ac.id/./PEMANFAATAN%20RUMPUT% 20LAUT%20Sargassum%20sp.ppt.

Enang, E. 2008. Sebanyak 1,45 ton Gracilaria sp. mampu suplai oksigen di tambak setara satu kincir air berkekuatan 1 Hp. Majalah Trubus.

Hendrajad, E.A. & Pantjara, B. 2004. Pengaruh metode tanam yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kandungan agar rumput laut (Gracilaria verrucosa) di tambak sulfat masam. Prosiding Konferensi Nasional IV. Kalimantan Timur.

Izzati, M. 2004. Kejernihan dan salinitas perairan tambak setelah penambahan rumput laut, Sargassum

plagyophyllum dan ekstraknya. Jurn. BIOMA, 10(2): 53-56.

Lightner, D.V., Bell, T.A., Redman, R.M., Mohley, L.L., NatiVidad, J.M., Rukyani, A., & Poernomo., A 1992. A reView of some major diseases of economic significance in Penaeid prawns/shrimps of the Americas and Indopacific. p:57-80. In Shariff, M., R.P.Subasinghe, and J.R. Arthur (Eds), Diseases in Asian Aquaculture I. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.

Muliani, Tampangallo, B.R., & Atmomarsono, M. 2007. Pemantauan penyakit white spot syndrome

(9)

Prajitno, A. 2007. Uji Sensitifitas FlaVonoid Rumput Laut (Eucheuma cottoni) Sebagai Bioaktif Alami Terhadap Bakteri Vibrio HarVeyi. J. Protein, (15): 2

Ridlo, A. & Pramesti, R. 2008. Pengembangan Pemanfaatan Seaweed Sebagai Agensia Pengendali Penyakit Udang Berbasis Biosecurity Melalui AktiVitas Ganda Sebagai Antimikrobia Dan

Immunomodulator Sistem Pertahanan Tubuh Nonspesifik. http://www.lemlit.undip.ac.id/abstrak/

content/View/499/280/

Tompo, A., Atmomarsono, M., Madeali, M.I., Muliani., Mangampa, M., & Burhanuddin. 1997. Laporan Tekhnis Hasil Penelitian Managemen Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Balai Penelitian Perikanan Pantai. Maros, 59 hlm.

Tompo, A., Atmomarsono, M., Madeali, M.I., Muliani, Nurhidayah, Susianingsih, E., & Nurbaya. 2005. Laporan Tekhnis Hasil Penelitian ManaJemen Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, 59 hlm.

Tompo, A., Atmomarsono, M., Madeali, M.I., Muliani., Nurhidayah, Susianingsih, E., & Nurbaya. 2006. Laporan Tekhnis Hasil Penelitian Riset Budidaya Udang Windu. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros.

Tompo, A., Atmomarsono, M., Madeali, M.I., Muliani., Nurhidayah, Susianingsih, E., & Kadriah, I.A.K. 2007. Laporan Tekhnis Hasil Penelitian Riset Budidaya Udang Windu Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros.

Tuwo, A. 2010. Bahan Kuliah Ekologi Perairan di Terumbu Karang. Program Pascasarjana UNHAS. Makassar.

(10)

La m p ir an 1 .M o rf o lo g i d an re sp o ns t er had ap uj i b io ki m ia b eb er ap a is o lat b ak te ri y ang d it em uk an se lam a p ene lit ian

(11)

La nj ut an L am p ir an 1 .

(12)

La m p ir an 2 .M o rf o lo g i d an re sp o ns t er had ap uj i b io ki m ia b eb er ap a is o lat b ak te ri y ang d it em uk an se lam a p ene lit ian

Gambar

Gambar  2. Populasi total bakteri pada air (A) dan sedimen (B) pada budidaya udang windu multitropik
Gambar  4. Jenis/genus bakteri  yang diisolasi dari  air (A)  dan sedimen (B)  selama penelitian
Gambar  5. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air A = kadar BOT (mg/L), B = kadar NO 2 N (mg/L), C = kadar NO 3 N (mg/L), D = kadar NH 3 N (mg/L), E = kadar PO 4  (mg/L) dan F = kadar  alkalinitas  selama  penelitian  budidaya  udang  multitropik

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan radiologi mempunyai peran yang sangat penting untuk melihat gambaran anatomi abnormalitas toraks, yang meliputi tanda klasik kegawatdaruratan, yaitu: adanya

JUDUL:PERAN INHIBITOR HMG-CoA REDUKTASE DALAM PENURUNAN INTERLEUKIN-6 TERHADAP HASIL AKHIR KLINIS PENDERITA KONTUSIO SEREBRI..

yang sama pada kecepatan data yang lebih tinggi tetapi dengan pembawa tunggal.. pada kanal bandwidth yang

Rendahnya konflik peran yang dihadapi Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama disebabkan oleh kendali diri dalam diri mereka yang baik dalam pengambilan keputusan, sehingga

a. Keputusan tentang jenis produk: Dalam hal ini konsumen dapat mengambil keputusan tentang produk apa yang akan dibelinya untuk memenuhi dan memuaskan

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk pendidikan yang mengarahkan pada tumbuh kembang anak. Pada anak usia dini, anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat

Taggart yang terdiri dari perencanaan (plan), pelaksanaan dan observasi (action and observation), dan refleksi (reflection) yang diterapkan. Model tersebut diterapkan

Pertumbuhan Ekonomi dalam penelitian ini merupakan suatu pencapaian yang diperoleh perusahaan dari aktivitas pemasaran yang dilakukannya.Sehingga dalam hal ini