• Tidak ada hasil yang ditemukan

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PENERBIT:

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 387, Fax.: +62-271-646655. E-mail: [email protected]. Online: www.biology.uns.ac.id.

TERBIT PERTAMA TAHUN: 2000

ISSN: 1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 52/DIKTI/Kep/2002

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB: S u t a r n o

SEKRETARIS REDAKSI:

Ahmad Dwi Setyawan, Purin Candra Purnama, Elisa Herawati PENYUNTING PELAKSANA:

Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Agung Budiharjo (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Biologi Lingkungan)

PENYUNTING AHLI: Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. (UGM Yogyakarta) Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. (IPB Bogor)

Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. (UNS Surakarta)

Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. (Murdoch University Australia) Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. (UGM Yogyakarta)

Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. (ITB Bandung)

Dr. Setijati Sastrapradja (Yayasan KEHATI Jakarta) Dr. Dedi Darnaedi (Kebun Raya Bogor)

Dr. Elizabeth A. Wijaya (Herbarium Bogoriense Bogor) Dr. Yayuk R. Suhardjono (Museum Zoologi Bogor)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap

naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Hingga nomor

ini, jurnal dikirimkan kepada institusi-institusi yang meminta tanpa biaya pengganti, sebagai bentuk pertukaran pustaka demi mendorong penelitian, perlindungan dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati. Jurnal ini terbit dua kali

setahun, setiap bulan Januari dan Juli.

Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta juga menerbitkan BioSMART, Journal of Biological Science untuk mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup biologi murni dan

(4)

Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah dan satu disket ukuran 3 ½”, kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk pencetakan.

Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf

Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua

sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan

untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan bertele-tele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini.

Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul pelari (running title) sekitar 5 kata. Nama penulis atau para penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor faksimili, alamat e-mail dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar 5 kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum 3 halaman, dapat dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital. Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah

sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan.

Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Suranto et al., 1998; Baker and Manwell, 1991; Smith 1982a, b). Pada sitasi bertingkat digunakan kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999).

Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut: Jurnal:

Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020.

Buku:

Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure

and Applied Aspects. London: Chapman and Hall.

Bab dalam buku:

Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V.

Abstrak:

Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of

97th Annual International Conference of the American Society for Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000.

Prosiding:

Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan dae-rah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju

Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000.

Skripsi, Tesis, Disertasi:

Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae

UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas

Indonesia. Informasi dari Internet:

Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http:// www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasi-kan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi. Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi.

Kemajuan Naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal nomor penerbitan berikutnya.

PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini.

(5)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X

Volume 5, Nomor 2 Juli 2004

Halaman: 43-47

♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122.

Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854 e-mail: [email protected]

Pengaruh pH dan Substrat Organik Terhadap Pertumbuhan dan

Aktivitas Bakteri Pengoksidasi Amonia

Effect of pH and organic substrate on growth and activities of

ammonia-oxidizing bacteria

DWI AGUSTIYANI1,♥, HARTATI IMAMUDDIN1, ERNI NUR FARIDAH2,OEDJIJONO2 1

Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor 16122. 2

Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 53122. Diterima: 15 Januari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT

The physiological character, especially the effect of pH and organic substrate on the growth and activity of some ammonia-oxidizing bacteria was carried out. The results show that eight out of twenty isolates have ability to reduce ammonium, two of them i.e. isolate AOB1 and AOB2 could reduce more than 90% of ammonium. The growth and activity to reduce ammonium to nitrite was attained optimum at pH 7-8. From the result also indicated that the growth and activity of both isolate AOB1 and AOB2 were higher on the organic carbon (acetate)-containing media. This finding indicated that both of isolate AOB1 and AOB2 were heterotrophic ammonia-oxidizing bacteria.

© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: organic substrate, acetate, ammonia-oxidizing bacteria, ammonium, nitrite.

PENDAHULUAN

Bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat autotrofik adalah kelompok bakteri yang terutama berperan dalam proses oksidasi amonia menjadi nitrit pada siklus nitrogen, juga pada proses peruraian nitrogen dalam sistem pengolahan limbah cair. Bakteri autotrofik yang berperan dalam oksidasi amonia menjadi nitrit adalah Nitrosomonas,

Nitrosococcus, Nitrosospira, Nitrosolobus, dan Nitrosovibrio. Beberapa mikroorganisme yang bersifat

heterotrofik juga dilaporkan mampu mengoksidasi amonia atau nitrogen organik menjadi nitrit atau nitrat (Sylvia et al., 1990). Mikroorganisme yang termasuk dalam golongan tersebut diatas antara lain adalah: fungi (Aspergillus) dan bakteri (Alcaligenes,

Arthrobacter spp., dan Actinomycetes). Menurut

Alexander (1977), Arthrobacter dan Aspergillus flavus mampu menghasilkan nitrat dalam media yang mengandung amonia sebagai sumber nitrogen.

Bakteri autotrofik menggunakan CO2 sebagai sumber karbon, sedangkan bakteri heterotrofik menggunakan senyawa organik, seperti asetat,

piruvat, dan oksaloasetat sebagai sumber karbon. Laju pertumbuhan bakteri yang bersifat autotrofik lebih lambat dibandingkan dengan bakteri heterotrofik. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi amonia (Esoy et al., 1998). Derajat keasaman (pH) optimum untuk pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat autotrofik berkisar dari 7,5 sampai 8,5 (Ratledge, 1994). Sedangkan bakteri yang bersifat heterotrofik lebih toleran pada lingkungan asam, dan tumbuh lebih cepat dengan hasil yang lebih tinggi pada kondisi dengan konsentrasi DO rendah (Zhao et al., 1999).

Sampai saat ini ekologi populasi bakteri pengoksidasi amonia di alam masih belum diketahui dengan jelas. Hal ini disebabkan sulitnya mengisolasi dan mengkultivasi mikroorganisme pengoksidasi amonia. Klasifikasi bakteri pengoksidasi amonia terutama didasarkan pada morfologi sel, ultrastruktur membran dan karakter fisiologinya (Watson et al., 1989). Pada penelitian ini, sifat fisiologi beberapa isolat bakteri pengoksidasi amonia dipelajari. Kajian fisiologis ditekankan pada upaya mengetahui pengaruh tingkat keasaman (pH) dan sumber organik (asetat) terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi amonium.

(6)

BAHAN DAN METODE Media

Media isolasi bakteri pengoksidasi amonia (Krummel dan Harms, 1982 dalam Watson et al., 1989). Komposisi: NH4Cl(535 mg), NaCl (584 mg), MgSO4. 7H2O (49,3 mg), CaCl2. 2 H2O (147,0 mg), KH2PO4 (54,4 mg), KCl (74,4 mg), FeSO4. 7H2O (973,1 μg), (NH4)6Mo7O24.4H2O (37,1 μg), MnSO4. 4H2O (44,6 μg), CuSO4.5H2O (25μg), ZnSO4. 7H2O (43,1 μg), H3BO3 (49,1μg), Cresol red (0,05%,1ml), Akuades (1 l). Bahan-bahan tersebut dilarutkan ke dalam akuades sampai volume 1000 ml, pH media 7,5-8 dengan penambahan HCl 1 N. Larutan tersebut kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit

Media pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia (media basal). Komposisi: KH2PO4 (725 mg), Na2HPO4 (1136 mg), MgSO4. 7H2O (50 mg), CaCl2. 2H2O (20 mg), Fe. EDTA (1 mg), Trace element (1 ml), Akuades (1 l). Trace element: Na2MoO4. 2H2O (10 mg), MnCl2. 4H2O (20 mg), ZnSO4. 7H2O (10 mg), CoCl2. 6H2O (0,2 mg), CuSO4. 5H2O (2 mg), Akuades (100 ml). Bahan-bahan di atas dilarutkan ke dalam akuades sampai volume 1000 ml, pH media 7,7 de-ngan penambahan HCl 1 N. Larutan tersebut kemu-dian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Sebagai sum-ber nitrogen ditambahkan 200 mg/l (NH4)2SO4 steril.

Media organik. Pembuatan media organik sama dengan media basal ditambah dengan sodium asetat (20 mM) sebagai sumber karbon. Sebagai sumber nitrogen ditambahkan 200 mg/l (NH4)2 SO4 steril. Cara kerja

Kultivasi bakteri pengoksidasi amonia

Sumber isolat bakteri adalah lumpur (sludge) dari kolam aerasi pengolahan limbah industri minyak kelapa sawit, PT. Tania Selatan, Palembang. Lumpur sebanyak 1ml ditumbuhkan pada erlenmeyer (100 ml) yang berisi 50 ml media basal (pH 7,7) yang mengandung 200 mg/l (NH4)2SO4. Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang diatas penggoyang (shaker). Selama inkubasi dilakukan pengamatan pertumbuhan mikroba nitrifikasi, yaitu dengan cara mengukur perubahan amonia dan pembentukan nitrit secara kualitatif, menggunakan indikator penentuan amonia dan indikator penentuan nitrit (Gerhardt et al., 1994). Pengamatan dilakukan secara berkala. Derajat keasaman (pH) di dalam kultur dipertahankan pada kisaran 7-8.

Isolasi dan seleksi bakteri pengoksidasi amonia Kultur yang menunjukkan indikasi adanya pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia diambil dan diisolasi secara tabur. Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 3-5 hari. Isolat yang tumbuh kemudian dimurnikan dan dipindahkan pada media agar miring. Isolat yang diperoleh diseleksi kemampuan tumbuhnya dengan cara menumbuhkannya dalam erlenmeyer yang berisi 50

ml media basal. Kultur tersebut diinkubasi pada suhu ruang diatas penggoyang (shaker). Pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia ditentukan dengan meng-ukur perubahan amonia dan pembentukan nitrit secara kualitatif, menggunakan indikator penentu amonium dan indikator penentu nitrit (Gerhardt et al., 1994). Pengujian pertumbuhan isolat bakteri (pada media tanpa senyawa organik dan media organik)

Isolat terseleksi ditumbuhkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal tanpa bahan organik (pH 7,7). Kultur tersebut diinkubasi pada temperatur 28°C diatas penggoyang (shaker) dengan kecepatan 115 rpm. Pertumbuhan ditentukan dengan cara mengukur kekeruhan (Optical density/OD) kultur bakteri tersebut dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 430 nm dan mengukur penurunan konsentrasi amonia yang terjadi. Pengujian dengan cara yang sama juga dilakukan dengan menggunakan media organik. Pembuatan starter

Isolat bakteri yang akan diuji diinokulasikan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal. Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang diatas penggoyang (shaker). Starter yang digunakan untuk pengujian selanjutnya ialah yang telah mencapai pertumbuhan eksponensial dengan kepadatan sel 107-108 sel/ml.

Pengaruh pH terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi amonia (pada media tanpa senyawa organik dan media oganik)

Starter sebanyak 10 % v/v ditumbuhkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal dalam bufer fosfat pH 5, 6, 7, 8 dan 9. Kultur tersebut kemu-dian diinkubasi pada suhu ruang diatas penggoyang (shaker) selama 72 jam. Selama inkubasi dilakukan pengamatan setiap 24 jam terhadap pertumbuhan dan kemampuannya dalam mengoksidasi amonia. Pertumbuhan ditentukan dengan menghitung jumlah sel bakteri menggunakan haemocytometer. Pengujian dengan cara yang sama juga dilakukan dengan menggunakan media organik.

Parameter penelitian

Parameter yang diukur adalah amonium (NH4-N), nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N). Konsentrasi amonium dan nitrit ditentukan dengan menggunakan metode yang tercantum dalam Standard Method (APHA, 1992) yang telah dimodifikasi. Konsentrasi nitrat (NO3-N) ditentukan dengan metode yang tercantum dalam SNI, (Anonim, 1990) yang telah dimodifikasi (Agustiyani dan Imamuddin, 2000).

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) berdasarkan uji F dengan tingkat kepercayaan 99% dan 95%. Jika ada beda nyata analisis dilanjutkan dengan uji BNT dengan taraf kesalahan 1% dan 5% (Steel dan Torrie, 1981).

(7)

AGUSTIYANI dkk.– Aktivitas bakteri pengoksidasi amonia 45

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan seleksi

Hasil isolasi bakteri dari sludge kolam aerasi pengolahan limbah industri minyak kelapa sawit, diperoleh 20 isolat. Isolat-isolat tersebut kemudian diseleksi kemampuan tumbuhnya dalam media basal yang mengandung amonium. Dari hasil pengujian diperoleh 16 isolat yang mampu tumbuh pada media amonium dan menunjukkan kemampuannya mengoksidasi amonium menjadi nitrit yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah muda setelah penambahan indikator nitrit (Tabel 1.).

Dari 16 isolat, 8 isolat menunjukkan kemampuan memproduksi nitrit lebih banyak daripada isolat lainnya (Tabel 1.). Delapan isolat tersebut kemudian diuji kemampuan tumbuhnya pada dua macam media basal amonium yaitu media basal tanpa senyawa organik dan media basal dengan senyawa organik (asetat). Pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia pada kedua media tersebut ditentukan berdasarkan tingkat kekeruhan (Optical Density; OD) dan kemampuannya menurunkan konsentrasi substrat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat AOB1 dan AOB2 mempunyai pertumbuhan paling baik, ditunjukkan dengan kekeruhan yang tinggi dan kemampuannya mereduksi amonia juga cukup tinggi (Tabel 2. dan 3.). Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka isolat bakteri AOB1 dan AOB2 dipergunakan untuk pengujian selanjutnya.

Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri

Hasil penghitungan jumlah sel bakteri pada perlakuan berbagai variasi pH dan uji BNT dari

rata-rata jumlah sel bakteri isolat AOB1 dan AOB2 ditampilkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Pada Tabel 4 dan 5 ditunjukkan bahwa jumlah sel bakteri meningkat sejalan dengan meningkatnya pH. Jumlah sel isolat bakteri AOB1 mencapai nilai optimal pada pH 7-8, sedangkan isolat bakteri AOB2 mencapai optimal pada kisaran pH 7-9.

Tabel 2. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia dalam media tanpa senyawa organik.

Kekeruhan (OD) KonsentrasiNH 4+ Isolat

0 hari 3 hari 7 hari 0 hari 7 hari

NE 0,046 0,080 0,050 47,35 40,72 NC1 0,014 0,100 0,102 47,35 36,64 AMDA 4-1 0,025 0,159 0,120 47,35 9,17 AMDA 4-2 0,037 0,154 0,100 47,35 8,27 AMI 1 0,034 0,133 0,090 47,35 4,77 AOB1 0,030 0,222 0,196 47,35 2,65 Am OB1 0,051 0,196 0,167 47,35 4,03 AOB2 0,038 0,290 0,270 47,35 2,08

Tabel 3. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia dalam media yang mengandung senyawa organik.

Kekeruhan (OD) KonsentrasiNH 4+ Isolat

0 hari 3 hari 4 hari 0 hari 4 hari

NE 0, 057 0,044 0,052 44,38 39,65 NC1 0,083 0,089 0,092 44,38 41,77 AMDA 4-1 0,023 0,838 0,830 44,38 4,11 AMDA 4-2 0,062 0,835 0,770 44,38 3,30 AMI 1 0,033 0,873 0,675 44,38 3,79 AOB1 0,032 1,068 1,050 44,38 2,81 Am OB1 0,058 0,670 0,575 44,38 3,30 AOB2 0,060 1,430 1,195 44,38 2,79

Tabel 1. Hasil isolasi bakteri pengoksidasi amonia dan pengujian pertumbuhan secara kualitatif.

No Isolat Karakteristik Morfologi Pengujian pertumbuhansecara kualitatif

1. AM I1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++ 2. AM I2 (AOB1) Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++ 3. AMDA3 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata + 4. AMDA4.1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++ 5. AMDA4.2 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++

6. AmB I1 Koloni berbentuk bulat kecil, tebal, putih, tepi rata

-7. AmB I2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata -8. AmB II1 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata + 9. AmB II2.1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata ++ 10. AmB II2.2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata -11. AmB III Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata -12. NC I Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata +++ 13. NC II1 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata ++ 14. NC II2 Koloni berbentuk bulat sedang, tipis, transparan, tepi rata ++ 15. NC II3 Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata ++ 16. NL2 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata ++ 17. EF4 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi tidak rata ++ 18. AmOB1 Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata +++ 19. AmOB2 (AOB2) Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi rata +++

20. NE Koloni berbentuk bulat kecil, transparan, tepi rata +++

Keterangan: +++ = nitrit yang terbentuk banyak; ++ = nitrit yang terbentuk agak banyak; + = nitrit yang terbentuk sedikit; - = tidak terbentuk nitrit.

(8)

Jumlah sel rata-rata tertinggi dari kedua isolat bakteri dicapai pada perlakuan pH 8 dengan media yang mengandung senyawa organik asetat (P9) yaitu 35,20 x 106 sel per ml untuk isolat AOB1 dan 59,20 x 106 sel per ml untuk isolat AOB2. Jumlah sel bakteri cenderung menurun sejalan dengan menurunnya pH. Dari data diatas, diketahui bahwa pH sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri AOB1 maupun AOB2. Pertumbuhan kedua isolat bakteri ini lebih baik pada media yang mengandung senyawa organik asetat.

Tabel 4. Rerata jumlah sel isolat bakteri AOB1 pada berbagai variasi pH.

Kombinasi perlakuan sel AOB1 (x 10Rataan jumlah6) P1 (pH 5, media tanpa organik) 4,16 b P2 (pH 6, media tanpa organik ) 4,53 c P3 (pH 7, media tanpa organik ) 21,97 f P4 (pH 8, media tanpa organik ) 22,85 fg P5 (pH 9, media tanpa organik ) 16,03 e P6 (pH 5, media dengan organik) 3,15 a P7 (pH 6,media tanpa organik) 13,52 d P8 (pH 7,media tanpa organik) 34,67 i P9 (pH 8,media tanpa organik) 35,20 ij P10 (pH 9, media tanpa organik ) 27,73 h Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. BNT 0,05 = 0,0369.

Tabel 5. Rerata jumlah sel isolat bakteri AOB2 pada berbagai variasi pH.

Kombinasi perlakuan sel AOB2 (x 10Rataan jumlah6) P1 (pH 5, media tanpa organik) 4,35 ab P2 (pH 6, media tanpa organik ) 6,48 c P3 (pH 7, media tanpa organik ) 39,20 ef P4 (pH 8, media tanpa organik ) 41,60 efg P5 (pH 9, media tanpa organik ) 37,87 e P6 (pH 5, media dengan organik) 4,32 a P7 (pH 6,media tanpa organik) 24,29 d P8 (pH 7,media tanpa organik) 58,40 hi P9 (pH 8,media tanpa organik) 59,20 hij P10 (pH 9, media tanpa organik ) 54,93 h Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. BNT 0,05 = 0,0345.

Pengaruh pH terhadap aktivitas bakteri

Aktivitas bakteri pengoksidasi amonium ditentukan dengan cara mengukur penurunan amonium dan pembentukan nitrit. Hasil penghitungan efisiensi penurunan amonium dan efisiensi pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2 ditampilkan pada Tabel 6 dan 7. Dari Tabel 6 dan 7 diketahui bahwa aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2 dalam mengoksidasi amonia menjadi nitrit sangat dipengaruhi oleh pH. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan pembentukan nitrit mencapai optimal pada pH 7-8. Dari Tabel 6 dan 7 juga terlihat

adanya perbedaan aktivitas oksidasi amonium pada kedua media yang digunakan, pada media organik aktivitas kedua isolat bakteri lebih tinggi. Namun demikian nampak bahwa efisiensi penurunan amonium tidak linear dengan efisiensi pembentukan nitrit. Efisiensi penurunan amonium jauh lebih tinggi dibandingkan dengan efisiensi pembentukan nitrit. Isolat AOB1 mempunyai efisiensi penurunan amonium berkisar antara 9,71-99,25% dan efisiensi pembentukan nitrit berkisar antara 0,06-15,71%. Sedangkan isolat AOB2 mempunyai efisiensi penurunan konsentrasi amonia berkisar antara 14,88-98,98% dan efisiensi pembentukan nitrit berkisar antara 0,15-28,22%. Efisiensi penurunan amonia tertinggi untuk isolat AOB1 sebesar 99,25% dan AOB2 sebesar 98,98%, akan tetapi efisiensi pembentukan nitritnya rendah yaitu 15,71% untuk isolat AOB1 dan 28,22% untuk isolat AOB2. Hal ini menunjukkan rendahnya aktivitas oksidasi amonium menjadi nitrit.

Tabel 6. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB1 (inkubasi 72 jam). Isolat dan media Perlakuan Efisiensi penurunan amonia (%) Efisiensi pembentukan nitrit (%) P1 (pH 5) 11,68 i 0,06 a P2 (pH 6) 48,56 h 0,25 abc P3 (pH 7) 87,61 d 1,12 ef P4 (pH 8) 89,82 c 1,30 efg AOB1 Media tanpa organik P5 (pH 9) 81,61 ef 0,93 e P6 (pH 5) 9,71 Ij 0,15 ab P7 (pH 6) 59,84 g 1,41 abcd P8 (pH 7) 95,88 b 8,49 hi P9 (pH 8) 99,25 a 15,71 ij AOB1 Media organik P10 (pH 9) 83,10 e 7,06 h

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. BNT 0,05 = 0,0369 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT 0,05 = 0,1050 (untuk konsentrasi nitrit).

Tabel 7. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB2 (inkubasi 72 jam). Isolat Perlakuan Efisiensi penurunan amonia (%) Efisiensi pembentukan nitrit (%) P1 (pH 5) 19,28 i 0,06 a P2 (pH 6) 52,24 h 0,30 c P3 (pH 7) 89,12 cd 2,62 f P4 (pH 8) 90,14 c 3,05 g AOB2 Media tanpa organik P5 (pH 9) 82,07 e 2,11 de P6 (pH 5) 14,88 ij 0,15 ab P7 (pH 6) 62,18 g 7,00 d P8 (pH 7) 95,67 b 22,09 h P9 (pH 8) 98,98 a 28,22 j AOB2 Media organik P10 (pH 9) 80,67 ef 22,55 hi Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. BNT 0,05 = 0,2984 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT 0,05 = 0,1155 (untuk konsentrasi nitrit).

(9)

AGUSTIYANI dkk.– Aktivitas bakteri pengoksidasi amonia 47

Dari hasil pengujian, diketahui bahwa aktivitas oksidasi amonia menjadi nitrit dari isolat bakteri AOB1 dan AOB2 lebih tinggi di media yang mengandung karbon organik asetat. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat tersebut bersifat heterotrofik, karena mampu memanfaatkan senyawa organik sebagai sumber karbonnya. Jenie dan Rahayu (1993) menyatakan bahwa selain bakteri nitrifikasi autotrof, juga terdapat bakteri heterotrof yang selain mampu menggunakan senyawa organik, juga mampu memanfaatkan nitrogen anorganik, misalnya amonia, sebagai donor elektron dan sumber energi. Fakta kedua yang mendukung dugaan bahwa kedua isolat bakteri tersebut adalah bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat heterotrofik adalah rendahnya aktivitas oksidasi amonium menjadi nitrit. Seperti dikemukakan Ambarsari (1999) bahwa bakteri nitrifikasi heterotrofik mempunyai aktivitas yang jauh lebih rendah dibandingkan bakteri yang bersifat autotrofik. Berbeda dengan bakteri nitrifikasi yang bersifat autotrofik, sebagian besar bakteri heterotrofik akan mengeluarkan nitrit atau nitrat jika fase pertumbuhannya telah aktif (Doxtader dan Alexander, 1966; Obaton et al., 1968; Verstraete dan Alexander, 1972). Dilaporkan juga bahwa beberapa bakteri heterotrofik, seperti P. pantotropha dan Alcaligenes

faecalis hanya mampu mengoksidasi amonium

menjadi hydroxylamine (Otte et al., 1999). Reaksi biokimia peruraian amonium oleh bakteri nitrifikasi yang bersifat heterotrofik antara lain adalah sebagai berikut: NH4 + Æ NH 2OH Æ NOH Æ NO2 - Æ NO 3 -(Killham, 1986; Haynes, 1986). Dari reaksi diatas diketahui bahwa hasil akhir dari reaksi oksidasi amonium secara sempurna adalah nitrat (NO3

-). Dalam penelitian ini nitrat tidak terdeteksi, hanya terdeteksi nitrit. Selain itu dalam penelitian ini hydroxylamine juga tidak diukur, sehingga belum bisa disimpulkan pola reaksi yang lengkap dari proses oksidasi amonium oleh isolat bakteri AOB1 dan AOB2. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan.

Pada pH 8, pertumbuhan sel isolat bakteri AOB1 dan AOB2 sangat baik. Seperti pada umumnya bakteri nitrifikasi, bakteri pengoksidasi amonia lebih menyukai lingkungan yang basa dengan tingkat pH optimal untuk pertumbuhan berkisar antara 7,5 sampai 8,5 (Imas et al., 1989 dan Ambarsari, 1999). Sedangkan pada pH 5, pertumbuhan maupun aktivitas oksidasi amonium oleh isolat bakteri AOB1 dan AOB2 menurun, hal ini menunjukkan terjadinya penghambatan. Pada pH yang rendah, membran sel menjadi jenuh oleh ion hidrogen sehingga membatasi transport membran. Keracunan yang terjadi pada pH rendah adalah karena sebagian substansi asam yang tidak terurai meresap ke dalam sel, sehingga terjadi ionisasi dan pH sel berubah. Perubahan ini menyebabkan proses pengiriman asam-asam amino dari RNA terhambat sehingga menghambat pertumbuhan dan bahkan dapat membunuh mikroba.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini diketahui bahwa derajat keasaman (pH) berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2 dalam mengoksidasi amonia. Pertumbuhan dan aktivitas oksidasi amonia mencapai optimum pada kisaran pH 7-8. Isolat bakteri AOB1 dan AOB2 memperlihatkan pertumbuhan dan aktivitas yang jauh lebih baik pada media yang mengandung asetat. Fakta ini menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut merupakan bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat heterotrofik. Alur reaksi oksidasi amonium secara lengkap belum diketahui.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiyani, D dan H. Imamuddin. 2000. Pertumbuhan kultur mikro-ba campuran pada senyawa amonium. Proseding Seminar

Nasional Biologi XVI dan Konggres Nasional Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI) XII, ITB Bandung, 25-27 Juli 2000.

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd edition. Toronto: John Wiley and Sons.

Ambarsari, H. 1999. Karakteristik dan peran bakteri penitrifikasi dalam usaha minimisasi amonia yang terakumulasi di dalam sistem akuakultur. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 1 (2): 43-52. Anonim. 1990. Kumpulan SNI Bidang Pekerjaan Umum Mengenai

Kualitas Air. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.

American Public Health Association (APHA). 1992. Standard

Methods for the Examination of Water and Wastewater. 18th

edition. Washington DC.: APHA.

Doxtader, K.G., and M. Alexander. 1966. Nitrification by growing and replacement cultures of Aspergillus. Canadian Journal of

Microbiology 12: 807-815.

Esoy, A., H. Odegaard and G. Bentzen. 1998. The Effect of Sulphide and Organic Matter on The Nitrification Activity In Biofilm Procces. Water Science Technology 37 (1): 115-122. Gerhardt, P., R.G.E. Murray, W. A. Wood and N. R. Krieg. 1994.

Methods for General Molecular Bacteriology. Washington DC.:

American Society for Microbiology.

Haynes, R.J. 1986. Mineral Nitrogen In the Plan-Soil System. London: Academic Press, Inc.

Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.G. Gunawan, dan Y. Setiadi. 1989.

Mikrobiologi Tanah II. Bogor: PAU IPB.

Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Cair

Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.

Killham, K. 1986. Heterotrophic nitrification. In Prosser, J.I. (ed).

Nitrification. Oxford: IRL Press.

Obaton, M., N. Amarger, and M. Alexander. 1968. Heterotrofik nitrification by Pseudomonas aeruginosa. Archipes of

Microbiology 63: 122-132.

Otte S, J. Schalk, J.G. Kuenen, and M.S. Jetten. 1999. Hydroxylamine oxidation and subsequent nitrous oxide production by the heterotrophic ammonia oxidizer Alcaligenes faecalis. Applied Microbiologi and Biotechnology 51: 255-261. Ratledge, C. 1994. Biochemistry of Microbial Degradation.

Amsterdam: Kluwer Academic Publisher.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1981. Prinsip dan Prosedur

Statis-tika. Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: PT. Gramedia.

Sylvia, D. M., J. J. Furbrmann, P. G. Hartel and D. A. Zuberer. 1990. Principles and Application of Soil Microbiology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Verstraete, W. and M. Alexander. 1972. Heterotrophic nitrification by Arthrobacter sp. Journal of Bacteriology 110: 955-961. Watson, S.W. , E. Bock, H. Harms, H.P. Koops, and A.B. Kooper.

1989. Nitrifiying bacteria. In: Staley, J.T., M.P. Bryant, N. Hennig, and J.G. Holt (eds). Bergey Manual of Systematic

Bacteriology Vol. 3. Baltimore: Williams and Wilkins.

Zhao, H.W., D.S. Mavinic, W.K. Oldham, and F.A. Koch. 1999. Controlling factors for simultaneous nitrification and denitrification in a two-stage intermittent aeration process treating domestic sewage. Water Resources 33 (4): 961-970.

(10)

Halaman: 48-51

♥ Alamat korespondensi:

Jl Raya Bogor KM 46 Cibinong 16911 Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588. Email: [email protected]

Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger

pada Substrat Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit

Evaluate the effect of mutans Aspergillus niger to the nutritive value of fermentation

at coconut meal and karnel palm meal

LAELA SARI1, TRESNAWATI PURWADARIA2 1

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong-Bogor 16911 2

Balai Penelitian Ternak Ciawi PO Box 221 Bogor 16002 Diterima: 19 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004

ABSTRACT

Agricultural wastes, such as coconut meal and kernel palm meal can be used to fulfill the need of feed for ruminants or monogastrics. Fermentation technology using Aspergillus niger has been reported allow to increase their nutritive value. Isolation of the asporogenous strain which could spored at room temperature but could not spored at 37oC is expected to sole the fermentation of spores in the fermentation product. The spore formation of mutants at the fourth day incubation time (10%) was less than the wild type (100%). The variance analysis of protein content in vitro Dry Matter Digestibility (IVDMD) and in vitro Protein Digestibility (IVPD) showed that the kind of mutants were interacted with the incubation time (P<0,01). The highest protein content of coconut meal was obtained from E27 mutant (33.0%), kernel palm meal was obtained from E14 mutant (31.4%) at the fourth day of incubation time. The highest IVDMD of coconut meal (62.1%), kernel palms meal (61.8%) at the fourth day incubation time and from all E27 mutant. The highest IVPD of coconut meal was obtained from E27 mutant (20.49%) at the fourth day incubation time, kernel palm meal was obtained from E27 mutant (18.66%) at the fourth days incubation time.

© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: mutant Aspergillus niger, coconut meal, kernel palm meal, fermentation.

PENDAHULUAN

Pakan ternak sebagai sarana produksi ternak dirasakan petani cukup mahal, hal ini disebabkan ketersediaan bahan pakan yang berkualitas seperti tepung ikan, jagung dan bungkil kedelai belum memadai dan sebagian besar masih diimpor. Sebagai gambaran, pada tahun 1994 Indonesia mengimpor tepung ikan, jagung dan bungkil kedelai masing-masing sebanyak 227.213 ton, 1.109.253 ton dan 450.340 ton. Di lain pihak, berbagai limbah industri yang mungkin dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak seperti bungkil kelapa dan bungkil inti sawit cukup banyak diproduksi di Indonesia (Sinurat dkk., 1998a,b; Ketaren dkk., 1999). Oleh karena itu perlu diteliti penggunaan bahan lain seperti bungkil kelapa dan bungkil inti sawit. Bahan tersebut merupakan bahan pakan yang murah, bernilai gizi tinggi, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan dapat

diproduksi tinggi dengan biaya serendah-rendahnya. Bungkil kelapa merupakan hasil dari ikutan pembuatan minyak kelapa, bungkil inti sawit merupakan hasil ikutan industri minyak sawit. Kedua bahan tersebut mempunyai faktor pembatas yaitu kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan daya cernanya rendah. Daya cernanya berkurang dikarenakan proses pelumatan serat kasar memerlukan banyak tenaga dan enzim (Lubis, 1963), sehingga perlu dilakukan perlakuan pada kedua bahan tersebut agar kualitasnya lebih baik.

Menurut Kompiang et al. (1994) dan Sinurat dkk. (1998a,b), teknologi untuk meningkatkan mutu bahan pakan adalah dengan fermentasi. Secara umum semua produk akhir fermentasi biasanya mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna daripada bahan asalnya sehingga dapat meningkatkan nilai gizinya (Purwadaria et al., 1995; Sinurat dkk., 1996; Supriyati dkk., 1998). Fermentasi juga berfungsi sebagai salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan bahan dan cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang dikandung suatu bahan. Berbagai jenis mikroorganisme mempunyai kemampuan untuk

(11)

meng-ENDRI dkk., – Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus 49

konversikan pati menjadi protein dengan penam-bahan nitrogen anorganik ini melalui fermentasi.

Kapang yang sering digunakan dalam teknologi fermentasi antara lain Aspergillus niger. A. niger merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan (Gray, 1970). Proses fermentasi menggunakan kapang, selain pembentukan miselium selalu diikuti oleh pembentukan spora yang berguna untuk pembuatan inokulum pada proses fermentasi. Inokulum yang berupa spora merupakan starter yang baik dalam fermentasi (Purwadaria et al., 1994). Keberadaan spora dapat membuat turunnya daya cerna produk fermentasi dibandingkan dengan sel miselium dan merupakan bahan pencemar bagi kesehatan manusia, sehingga untuk alasan ini mutan yang hilang kemampuan berspora pada suhu tertentu akan mempunyai keuntungan.

Mutan asporogenous A. niger telah dikembangkan dengan teknik mutasi ultra violet (Glenn dan Roger, 1988). Mutasi adalah suatu perubahan yang terjadi pada bahan genetik yang menyebabkan perubahan ekspresinya. Proses pembentukan mutan disebut mutagenesis. Radiasi dengan penyinaran ultra violet sering digunakan dalam studi mutagenesis (Yusuf, 1988; Iskandar dkk, 1995).

Penelitian ini bertujuan untuk membentuk mutan asporogenous A. niger dengan menggunakan sinar ultra violet dan mengkaji nilai gizi produk fermentasi bungkil kelapa dan bungkil inti sawit.

BAHAN DAN METODE Substrat dan mikroba

Substrat yang digunakan adalah bungkil kelapa dan bungkil inti sawit yang diperoleh dari toko makanan ternak di daerah Bogor. Sedangkan mikroba yang digunakan adalah A. niger koleksi Balitnak Ciawi dan mikroba mutan E14 dan E27 (hasil penelitian ini).

Teknik mutasi

Spora galur A. niger tipe liar pada media PDA (Potato Dextose Agar) dilarutkan dengan larutan fisiologis dengan pengenceran 10-6. Setiap pengenceran dimasukkan ke dalam botol McCartney steril dan ditutup dengan rapat. Tempat untuk mutasi dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian disiapkan lampu Ultra Violet (Clemco 9015, 227 nm, 15 watt) dengan jarak 10 cm di atas cawan petri steril. Sampel dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut dan disinari selama 2’ (Glenn dan Roger, 1988) lalu dimasukkan ke dalam botol McCaartney. Sebanyak 0,2 ml sampel ditumbuhkan pada cawan petri berisi media PDA lalu diinkubasikan selama 4 hari pada suhu 37oC. Setelah mutan yang tumbuh pada suhu 37oC diperoleh, maka dilakukan isolasi, dan ditumbuhkan pada media PDA dan diinkubasikan pada suhu kamar dan suhu 37oC. Selanjutnya dipilih

mutan yang dapat berspora pada suhu kamar namun tidak berspora pada suhu 37oC. Mutan tersebut ditumbuhkan pada cawan petri untuk dijadikan biakan inokulum.

Proses fermentasi substrat padat

Substrat berupa bungkil kelapa dan bungkil inti sawit masing-masing sebanyak 1 kg diberi larutan mineral (Modifikasi Ramos et al., 1993) dan dilarutkan dalam 800 ml air, campuran diaduk sampai homogen dan dikukus selama 30 menit. Setelah dingin, substrat diberi galur inokulum yang berbeda (E14, E27 dan tipe liar sebagai kontrol) dan diaduk sampai homogen. Setelah itu diletakkan dalam baki plastik dengan ketebalan 3cm secara aerob, lalu dinkubasikan pada suhu 37oC selama 4 hari.

Uji analisis kimia

Analisis kimia yang diuji menurut AOAC (1984) adalah kadar protein produk fermentasi dalam bentuk kadar protein sejati. Kadar protein sejati merupakan kadar protein kasar dengan kadar nitogen terlarut (X 6,25). Selanjutnya diuji daya cerna bahan kering dan daya cerna protein sejati secara in vitro dan protein tercerna. Nilai protein tercerna merupakan perkalian daya cerna protein dengan kadar protein.

Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktorial (Suntoyo, 1993) dengan 3 ulangan menggunakan 2 faktor yaitu faktor inokulum (3 isolat) dan faktor waktu inkubasi (0, 2, 3, dan 4 hari). Perlakuan yang diberikan meliputi masing-masing substrat percobaan yang difermentasikan dengan A. niger Balitnak tipe liar, E14 dan E27 (hasil penelitian ini), serta dipanen setelah 0, 2, 3 dan 4 hari.

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan BNJ (Suntoyo, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil mutasi

Hasil mutasi dengan sinar UV menunjukkan adanya pembentukkan mutan asporogenous A. niger. Koloni kapang yang berspora pada suhu 37oC merupakan koloni tipe liar, sedangkan koloni yang tidak berspora merupakan koloni mutan (Tabel 1.). Koloni kapang yang tidak berspora tersebut dipisahkan dan dibiakkan pada suhu kamar dan suhu 37oC. Kemudian kedua mutan tersebut diuji lebih lanjut dengan menanamnya pada suhu kamar dan 37oC selama empat generasi. Setelah empat kali dipindahkan ternyata mutan tersebut tetap stabil dan mempunyai karakteristik serta sifat yang sama seperti pada generasi pertama (dilihat dari pengamatan pembentukan spora secara visual Tabel 2.).

(12)

Tabel 1. Pembentukan spora isolat mutan dan tipe liar A. niger pada suhu inkubasi 28oC dan 37oC.

Proses Mutasi Jenis galur Waktu penyinaran (menit) Pengenceran spora Suhu kamar Suhu 37oC TL - - +++ ++++ E14 2 10-6 +++ -,+ E27 2 10-6 +++ -,+

Keterangan: (-) = tidak berspora; (+) = berspora sedikit; (++) = Berspora sedang; (+++) = Berspora banyak; (++++) = Berspora sangat banyak/sangat rapat.

Tabel 2. Pertumbuhan A. niger TL, E14, dan E27 pada substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit.

Hari ke Substrat 1 2 3 4 Bungkil kelapa TL E14 E27 --,+ -,+ + ++ ++ ++ ### ++# ++# Bungkil inti sawit

TL E14 E27 --,+ -,+ + ++ ++ ++ ### ++# ++# Keterangan: (-) = Tidak tampak pertumbuhan; (-,+) = hifa tumbuh menutupi substrat ± 50%; (+) = hifa tumbuh menutupi substrat ± 70%; (++) = hifa tumbuh menutupi substrat 100%; (++#) = hifa tumbuh ± 90%, dipinggir baki tumbuh spora ± 10%; (###) = tumbuh spora warna hitam. Fermentasi substrat padat

Dilakukan analisis pada 0 (kontrol), 2, 3 dan 4 hari, namun tidak dilakukan pada waktu fermentasi satu hari, karena masa tersebut merupakan waktu adaptasi mikroba sehingga aktivitasnya belum optimal. Menurut Fardiaz (1988), fase adaptasi diperlukan mikroorganisme untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di sekitarnya.

Tabel 3. dan Tabel 4. menunukkan adanya interaksi antara jenis mutan dan waktu inkubasi (P<0,01). Analisis ragam pengaruh jenis mutan terhadap kadar protein sejati berbeda nyata (P<0,01). Dibandingkan dengan tipe liar, mutan E14 dan E27 tumbuh lebih baik karena pertumbuhan spora mutan tersebut lebih sedikit dari tipe liar.

Pada substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit lamanya waktu fermentasi memperlihatkan adanya perbedaan nyata (P<0,01) terhadap kandungan protein. Kenaikan kadar protein pada substrat fermentasi padat diakubatkan oleh penambahan protein yang diperoleh dari perubahan nitogen inorganik menjadi protein sel selama pertumbuhan mikroba. Meningkatnya kadar protein ini ada hubungannya dengan pertumbuhan kapang A. niger. Makin subur pertumbuhan kapang makin tinggi pula kadar proteinnya, karena sebagian besar sel kapang merupakan protein.

Tabel 3. Nilai kadar protein, daya cerna bahan kering, daya cerna protein sejati, protein tercerna (%) A. niger tipe liar, mutan E14 dan E27 terhadap substrat bungkil kelapa.

Waktu inkubasi (hari) Analisis

(%) Galur 0 2 3 4

Tipe liar 22,3a 29,5bc 28,4b 30,3bc

E14 21,9a 31,3c 32,2c 32,7c

Kadar protein

E27 20,7a 31,6c 32,2c 33,0c

Tipe liar 38,7a 44,1b 46,9c 40,0ab E14 41,0ab 46,1bc 52,6cd 56,3d Daya cerna bahan kering E27 48,1bc 51,8c 58,2d 62,1e

Tipe liar 70,2b 75,5c 71,7bc 60,5a

E14 63,0a 83,3d 81,3d 78,2c Daya cerna protein sejati E27 84,6e 81,1d 75,1c 78,1c Tipe liar 8.63 13.01 13.32 12.12 E14 8.98 14.43 16.94 18.41 Protein tercerna E27 9.96 16.37 18.74 20.49

Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Tabel 3 menunjukkan protein tertinggi pada bungkil kelapa diperoleh pada mutan E27 (33%) dengan waktu inkubasi 4 hari. Sedangkan protein tertinggi pada bungkil inti sawit diperoleh pada mutan E14 (31,4%) dengan waktu inkubasi 4 hari (Tabel 4). Pada tipe liar terjadi penurunan kadar protein pada hari ke empat, karena pertumbuhannya berbeda pada jenis mutan maka yang terjadi disini adalah aktivitas kapang yang satu lebih rendah dari yang lainnya. Aktivitas kapang memecah protein substrat sehingga laju pertumbuhannya menurun.

Metode yang digunakan untuk uji daya cerna bahan kering secara in vitro merupakan pendekatan untuk mengetahui gambaran kecernaan bahan kering produk (Saunders et al., 1973). Analisis sidik ragam daya cerna bahan kering dan protein sejati in vitro menunjukkan interaksi antara jenis inokulum dan waktu inkubasi (Tabel 3. dan Tabel 4.). Nilai daya cerna bahan kering in vitro bungkil kelapa tertinggi diperoleh pada mutan E27 (62,1%) waktu inkubasi 4 hari (Tabel 3.). Sedangkan nilai daya cerna bahan kering in vitro bungkil inti sawit tertinggi diperoleh pada mutan E27 (61,8%) waktu inkubasi 4 hari (Tabel 4.). Kecuali pada tipe liar waktu inkubasi 4 hari menunjukkan nilai daya cerna bahan kering terendah karena selama proses fermentasi kapang memproduksi enzim pengurai serat kasar. Pada tipe liar terjadi penurunan daya cerna bahan kering karena terbentuk spora lebih banyak daripada isolat mutan. Dinding sel spora lebih banyak mengandung serat daripada miselium sehingga lebih sukar dicerna dan menurunnya daya cerna bahan kering.

Pada tipe liar terjadi pada hari ke empat penurunan daya cerna bahan kering, karena seratnya terurai sehingga daya cerna proteinnya meningkat. Pada tipe liar terjadi penurunan daya cerna terjadi karena terdapat spora yang tumbuh lebat pada hari ke empat, hal ini tersebut diduga karena spora meningkatkan kadar serat kasar bahan. Kadar serat

(13)

ENDRI dkk., – Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus 51

kasar yang tinggi mengakibatkan enzim pencernaan sukar menembus dinding sel dan menyebabkan zat gizi yang terdapat pada bahan tidak dapat dimanfaat-kan sebaik mungkin. Pada mutan E14 dan E27 mi-seliumnya tumbuh subur namun hanya sedikit spora yang tumbuh pada hari ke empat, sehingga bahan tersebut lebih mudah dicerna dan dimanfaatkan. Tabel 4. Nilai kadar protein, daya cerna bahan kering, daya cerna protein sejati, protein tercerna (%) A. niger tipe liar, mutan E14 dan E27 terhadap substrat bungkil inti sawit.

Waktu inkubasi (hari) Analisis

(%) Galur 0 2 3 4

Tipe liar 19,9a 26,3bc 28,3c 27,1bc

E14 18,2a 29,7cd 25,6b 31,4d

Kadar protein

E27 19,1a 26,7bc 27,5bc 30,2cd Tipe liar 33,0a 35,2ab 42,5c 32,4a

E14 37,2b 42,6c 45,5cd 48,7d Daya cerna bahan kering E27 40,8bc 47,7d 54,5c 61,8f Tipe liar 72,5b 77,1c 76,0bc 79,2cd E14 65,7a 74,6bc 81,5d 77,3cd Daya cerna protein sejati E27 69,2ab 81,6d 72,9bc 76,4bc Tipe liar 6,57 9,26 12,03 8,78 E14 6,77 12,65 11,65 15,29 Protein tercerna E27 7,79 12,74 14,99 18,66

Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Nilai daya cerna protein sejati tertinggi pada bungkil kelapa dan bungkil inti sawit diperoleh pada mutan E27, walaupun demikian untuk nilai gizi produk fermentasi nilai daya cerna berhubungan dengan kadar protein produk atau nilai protein tercerna. Nilai protein tercerna tertinggi pada bungkil kelapa diperoleh pada mutan E27 (20,49%) waktu inkubasi 4 hari (Tabel 3). Sedangkan nilai protein tercerna tertinggi pada bungkil inti sawit pada E27 (18,66%) waktu inkubasi 4 hari atau kapang ini terbaik untuk nilai gizi protein (Tabel 4). Isolat mutan menunjukkan nilai gizi protein lebih baik daripada nilai tipe lainnya karena beberapa mutan hasil ultra violet menunjuk-kan adanya peningkatan aktivitas enzim hidrolisis.

KESIMPULAN DAN SARAN

Mutan pada fermentasi bungkil kelapa dan bungkil inti sawit menunjukkan hifa tumbuh 90%, di tepi baki tumbuh spora 10%, sedangkan tipe liar menunjukkan hifa dan spora tumbuh subur pada substrat (100%). Waktu inkubasi mempengaruhi kadar protein. Kadar protein yang paling baik diperoleh pada substrat bungkil kelapa pada mutan E27 (33%) dengan waktu inkubasi 4 hari.

Kenaikan daya cerna bahan kering terjadi pada mutan E14 dan E27 sejalan dengan bertambahnya hari fermentasi. Daya cerna bahan kering yang paling baik diperoleh pada substrat bungkil kelapa pada mutan E27 (62,1%) dengan waktu inkubasi 4 hari.

Protein tercerna tertinggi pada bungkil kelapa terdapat pada mutan E27 (20,49%) dengan waktu inkubasi 4 hari. Protein tercerna tertinggi pada bungkil inti sawit terdapat pada mutan E27 (18,66%) dengan waktu inkubasi 4 hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Karya ilmiah ini merupakan bagian dari thesis sarjana penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balitnak, Ciawi untuk fasilitas yang diberikan dalam penelitian ini, juga kepada Tuti Haryati, M.Sc. atas segala bantuan dalam pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of

Official Analytical Chemists. Washingtong D.C.: AOAC.

Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pasca Sarjana PAU-IPB & LSI PAU-IPB,.

Glenn, D.R. and R.E. Roger., 1988. A solid substrate fermentation process for animal feed product, studies on funngal strain improvement. Australian Journal of Biotechnology 2 (1): 50-54. Gray, W.D., 1970. The Use of Fungi as Food and in Food

Processing. Ohio: CRC Press.

Iskandar, Y.M., I.Z. Udin dan A.T. Karossi. 1995. Strain Aspergillus oryzae untuk meningkatkan produksi alfa amilase.

JKTI 5 (1): 29-33.

Ketaren, P.P., A.P. Sinurat, D. Zainuddin, T. Purwadaria, dan I.P. Kompiang. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya sebagai pakan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan

Veteriner 4 (2): 107-112.

Kompiang, I.P., A.P. Sinurat, S. Kompiang, T. Purwadaria, and J. Darma. 1994. Nutrition value of protein enriched cassava: Cassapro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7 (2): 22-25. Lubis, D.A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta: PT Pembangunan. Purwadaria, T., T. Haryati, A.P. Sinurat, J. Darma, and T. Pasaribu.

1995. In vitro nutrient value of coconut meal fermented with Aspergillus niger NRRL 337 at different enzimatic incubation temperatures. 2nd Conference on Agricultural Biotechnology

Jakarta, 13-15 June 1995.

Ramos. A.V., M. de la Torre, and C. Casas-Campillo. 1993. Solid Strate Fermentation of Cassava with Rhizopus oligosporus NRRL 2710. In Ferranti, M.P., and A. Fiechter (eds.).

Production and Feeding of Single Cell Protein. London: Applied

Science Publisher.

Saunders, R.M, M.A. Corner, A.N. Booth, E.M. Bickoff, and G.O. Kohler. 1973. Measurement of digestibility of alfaefa protein concentrates by in vivo and in vitro methods. Journal of

Nutrition 103: 530-535.

Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwadaria, A.R. Setioko, dan J. Darma. 1996. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum itik jantan. Jurnal Ilmu Ternak

dan Veteriner 1 (3): 161-168.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, A. Habibie, T. Pasaribu, H. Hamid, J. Rosida, T. Haryati, dan I. Sutikno. 1998. Nilai gizi bungkil kelapa terfermentasi dalam ransum itik petelur dengan kadar fosfor yang berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (1): 15-21.

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid, dan I.P. Kompiang. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (4): 225-229. Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid, dan A.P. Sinurat. 1998.

Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Ternak dan

Veteriner 3 (3): 165-170.

Suntoyo, Y. 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis, dan

Interpretasinya. Jakarta: PT. Gramedia.

(14)

Halaman 52-60

♥ Alamat korespondensi:

Jl. Ir. Sutami 31a, Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-274-387781. e-mail: [email protected]

The Genus Koilodepas Hassk. (Euphorbiaceae) in Malesia

MUZAYYINAH1,, EDI GUHARDJA2, MIEN A. RIFAI3, JOHANIS P. MOGEA3, PETER VAN WALZEN4 1

Program Study of Biological Education, Department of PMIPA FKIP Sebelas Maret University Surakarta 57126, Indonesia. 2

Department of Biology, Faculty of Mathematic and Sciences, Bogor Agriculture University, Bogor Indonesia 3

"Herbarium Bogoriense", Department of Botany, Research Center of Biology -LIPI, Bogor 16013, Indonesia 4

Rijksherbarium Leiden, The Netherlands. Received: 8th December 2003. Accepted: 17th May 2004.

ABSTRACT

The Malesian genus Koilodepas Hassk. has been revised based on the morphological and anatomical character using available herbarium collection in Herbarium Bogoriense and loan specimens from Kew Herbarium and Leiden Rijksherbarium. The present study is based on the observation of 176 specimens. Eight species has been recognized, namely K. bantamense, K. cordifolium, K. frutescns, K. homalifolium, K. laevigatum, K. longifolium, K. pectinatum, and two varieties within K. brevipes. The highest number of species is found in Borneo (5 species), three of them are found endemically in Borneo, K. cordisepalum endemically in Aceh, and K. homalifolium endemically in Papua New Guinea. A phylogenetic analysis of the genus, with Cephalomappa as outgroup, show that the species within the genus Koilodepas is in one group, starting with K. brevipes as a primitive one and K. bantamense occupies in an advance position.

© 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keyword: Koilodepas Hassk., Malesia, outgroup, phylogenetic analysis, outgroup.

INTRODUCTION

The genus Koilodepas belongs to the tribe Epipri-neae of the subfamily Acalyphoideae. The charac-teristics of this tribe are flowers without a disk, pollen grains coarsely reticulate or perfora-tectate, indumen-tum stellate, inflexed in bud (except dorsifixed in

Koilodepas), monoecious, pistillate calyx often

accrescent, and seeds ecarunculate. The Epiprineae have been divided into two sub tribes Epiprinae and the monotypic Cephalomappinae (containing

Cephalomappa). The characteristics of the sub tribe

Epiprineae are: staminate calyx splitting into distinct segments, the pollen sexine rather coarsely reticulate, and the pistillate sepals often persistent and accrescent (Webster, 1994).

MATERIAL AND METHODS Material

Material specimen of Koilodepas was collected in Malesia phytogeography area. The genus Koilodepas was presented based on 176 specimens from Kew Herbarium (K), the Rijksherbarium Leiden (L) and the Herbarium Bogoriense (BO).

Methods

The methods of research were morphological and leaf-anatomical description. The research had been used a large of herbarium specimens (i.e. 176 speci-mens) from Herbarium Bogoriense, Kew Herbarium, and Leiden Rijksherbarium. The material specimens were analyzed with Henning 86 programme.

RESULT AND DISCUSSION Morphology

Characters like stipule shape, leaf margin, number of glands, hairs on the lower leaf surface, and flower morphology are used for the description of the species and for a study of the relationships within the genus.

Stipules

The genus has three forms of stipules, namely elliptical, deltoid, and angular. The margin of the stipules can either be pectinate, entire or serrate. The stipules of K. bantamense are triangular and the margin is serrate. The stipules of K. brevipes, K.

cordisepalum, and K. homalifolium are triangular and

the margin is entire. The shape of K. longifolium stipules is deltoid and the margins are entire or serrate. In K. laevigatum the stipules are deltoid and the margin is entire. The stipules of K. pectinatum are pectinate (Figure 1.).

(15)

MUZAYYINAH et al– Koilodepas in Malesia 53

Leaves

The Leaves are simple, alternate, and elliptical. K.

pectinatum and K. brevipes are hairy on the lower leaf

surface, but K. laevigatum, K. homalifolium, K.

bantamense, K. cordisepalum, and K. frutescens are

glabrous. The leaf margin of K. homalifolium is crenate, when young crenulate. The leaf margin of K.

laevigatum is entire, whereas in the other species it is

serrate or dentate. A pair of glands is usually found at the lower surface, near the base of the leaves, but there are 3-7 pairs of glands in K. brevipes. The apex of the leaves is caudate, but acuminate to cuspidate

in K. bantamense, K.

homalifolium, and K. frutescens.

The texture of the lamina is chartaceous in K. laevigatum and

K. homalifolium, subcoriaceous in K. bantamense, K. frutescens, K. brevipes, K. pectinatum, and K. cordisepalum, and coriaceous in K. longifolium. The tertiary

venation is scalariform, except in

K. cordisepalum, where it is

reticulate (Figure 2.). Inflorescences

The inflorescences are axillary racemous or branched spikes. The staminate flowers are arranged in glomerate heads. The bracts are cuneate with an entire margin and acute apex. The lobes of the calyx are acute and densely set with stellate long hairs. The number of stamens varies from 3 to 10. The filaments are basally united into an androphore. The filaments are subulate in K. laevigatum and obspathulate n the other species (Figure 3). The anthers are subapically dorsifixed.

The pistillate flowers are solitary. The shape of the sepal is somewhat different in each species. The sepals of K.

pectinatum are free, foliolate,

cordate, chartaceous, with 6-8 lobes, persistent, the margin serrate, but K. cordisepalum has smaller. The sepals of K. brevipes are free, subulate or elliptical, apex acute, 6-9 lobes, persistent. In K. longifolium are free,

elliptical, and the apex obtuse. In

K. bantamense, they are connate,

5-lobed, apex obtuse. The calyx of K. frutescens has 6 or 7 lobes. The styles are connate in K.

bantamense, K. brevipes, K. longifolium, K. frutescens, K. homalifolium, and K. pectinatum, and free in K. cordisepalum and K. laevigatum (Figure 4.).

The number of stigmas is generally 3, but K.

bantamense and K. frutescens has 6. The shape of

the stigma is somewhat difference species, K.

pectinatum, K. laevigatum, K. Pectinatum, K. cordisepalum, and K. brevipes have antennate

stigmas; K. homalifolium and K. longifolium have multifid stigmas; K. frutescens and K. bantamense have coralliform. The stigma surface is stellately hairy (Figure 4.).

Figure 1. Stipule’s and margin of Koilodepas. A. elliptical and pectinate, B. entire, C. serrate, D. entire, E. serrate.

Figure 2. Leaf of Koilodepas Hassk. showing the margin. A. K. codisepalum (glabrous, serrate, caudate); B. K. pectinatum (hairy, serrate, caudate); B1. The density of stellate hairs on the lower surface; C. K. laevigatum (glabrous, entire, caudate); D. K. brevipes var. stenosepalum (hairy, serrate, caudate); D1. The density of stellate hairs on the lower surface; E. K. brevipes var. brevipes; E1. The density of stellate hairs on the leaf surface; F. K. homalifolium (glabrous, crenate, caudate).

(16)

Distribution

Koilodepas is found in the

phytogeograpic area Malesia. K.

pectinatum, K. brevipes, and K. laevigatum are endemic in

Borneo. K. bantamense is found in Java and Sumatra. K.

longifolium is widespread in West

Malesia (Malay Peninsula, Sumatra and Borneo) K.

homalifolium is endemic in Papua

New Guinea. K. cordisepalum is found, so far, only in Aceh (Figure 5.).

Phylogenetic analysis of

Koilodepas

The phylogenetic analysis of

Koilodepas was performed using

21 characters and the genus

Cephalomappa as an outgroup

(Table 3.). The letter was selected because it is classified in the Cephalomappinae as the sister sub tribe of the Epiprineae. Tribe Cephalomappa seems to be the SE Asian genus which shares most primitive characters with

Koilodepas, e.g. staminate flowers

in racemes, styles free, pistillate calyx not accrescent or involucrate, and the filaments inflexed in bud (Webster, 1994).

The analysis is performed using the Hennig 86 program with optional and all the characters unordered. Two cladogram (Figure 6.) were found 29 steps, consistency index = 0.93 and retention index = 0.89. This tree has short branch. K. brevipes as a primitive one and ending with the

K. bantamense.

The outgroup is separated from Koilodepas by a plesiomorph character of the outgroup namely staminate flowers is sessile (6), surface of staminate is not stellate but lepidote (7), stipulate absent (9), surface of fruit is echinate (17), surface of stigma is papillate (20), sepal of pistillate flowers aestivation is valvate (15), and the inflorescences is racemose (19).

K. brevipes is separated from the

other Koilodepas by the stigma shape (8), the type of marginal stipules (11) and the inflorescences (19). The varieties is allied by number of abaxial glands (3), hairs on leaves (4), Figure 3. Variation of staminate flowers. A. Staminate inflorescences; B. K.

bantamense; C. K. pectinatum; D. K. homalifolium; E. K. longifolium; F. K. brevipes var. brevipes; G. K. brevipes var. stenosepalum; H. K. frutescens; I. K. laevigatum; J. K. cordisepalum.

Figure 4. Variation of pistillate flowers of Koilodepas Hassk. A. K. cordisepalum; B. K. longifolium; C. K. bantamense; D. K. brevipes var. stenosepalum; E. K. brevipes var. brevipes; F. K. homalifolium; G. K. pectinatum; H. K. frutescens; I. K. laevigatum. Types of sepals: free (A,D,E,G); connate (CFH); subconnate (B,I); types of styles: free (A,I), connate (B,C,D,E,F,G,H); types of stigma: antennate (A,E,G,I); multifid (B,F) and coralliform (C, H).

Figure 5. Distribution map of Koilodepas Hassk. ○ = K. bantamense;♦ = K. brevipes; ◊ = K. pectinatum; } = K. cordisepalum; ▲ = K. laevigatum; z = K. longifolium; = K. homalifolium;

(17)

MUZAYYINAH et al– Koilodepas in Malesia 55

stigma shape (8), petiolate length (12), and sepal shape of pistillate flowers (14). K. cordisepalum is separated from the other five Koilodepas by sepal shape of pistillate flowers (14), sepals of pistillate flowers (15), leaf shape (1), and venation (13). K.

laevigatum is separated from the other species by

stigma shape (4). K. longifolium is separated from the other two species by stigma shape (8), number of stigma (10), and styles (18). The last branch, K.

frutescens is separated from K. bantamense by

caducous stigma (16).

Taxonomy

Koilodepas Hassk., Bot. Zeit. (1856) 802; Hassk., Flora 40 (1857) 531 (Coelodpas); Retzia 1 (1858) 44;

Miq., Fl. Ned. Ind I. (1859) 398; Hassk. Bull. Soc. Bot.

Fr. 6 (1859) 713; Mull Arg. In DC. Prodr. 15. 2. (1866)

759; Baill., Hist. Pl. 5 (1874) 220; Hook. F, Fl. Brit.

Ind. 5 (1890) 419; Boerl., Handl. Fl. Ned. Indie. 3 (1)

(1900) 196; Bourd. For. Trees Travancore (1908) 345; J.J. Sm, Meded. Depart. Landb. 12 (1910) 379; Koord., Exkursionsfl. Java (1912) 489; Pax & K Hoofm. In Engl., Pflanzenr. Ed 4. 147. 7 (1914) 268; A.C. Sm, J. Arn. Arb. 23 (1942) 50; Pax & K Hoffm. In Engl. & Harms, Nat. Pflanzenfam. Ed. 2, 19C. (1931) 124; Airy Shaw, Kew Bull. 14 (1960) 283; Backer & Bakhuin. Fl. Java 1 (1963) 486; Whitemore, Tree Fl.

Malay 2 (1973) 103. Airy Shaw, Kew Bull. Add. Ser. 4

(1975) 138; Airy Shaw. Kew Bull. Add. Ser. 8 (1980)

128; Airy Shaw. Kew Bull. 36 (1981) 609. Type:

Koilodepas bantamense Hassk. Description

Tree, monoecious. Indumentum of short and long stellate hairs. Stipules: elliptical, subulate or cuneate, margin entire or pectinate. Leaves: alternate, simple; petioles terete or ungulate, basally and apically pulvinate; lamina elliptical, subcoriaceous to

coriaceous, rarely chartaceous, at the base flat (elevated in K. brevipes), base round, with one pairs of glands on lower surface (K. brevipes with 3-7 pairs of glands); margin entire, crenate, dentate, or serrate, with glands on the lower surface; apex cuspidate or caudate; upper surface smooth, glabrous; venation pinnate, flat to raised above, raised below, submarginally looped, secondary and tertiary veins scalariform, quartenery veins reticulate.

Inflorescences: axillary, spikes to simple panicles;

pistillate flowers 1-3 at the base and staminate flowers at the apex of the rachis. Bracts subulate to cuneate. Staminate flowers in glomerules, 7-10; calyx 3- or 4-merous, lobes rounded to acute, membranaceous, densely covered with stellate hairs; petals absent; stamens (3) 4-7 (10), filaments basally united, or spathulate (K. laevigatum, subulate); anther sub-apically dorsifixed, latrorse, 2 locular, opening length-wise, smooth; pistillode 1, small. Pistillate

flowers: the sepal free, 5-9 lobes cordate or elliptical; Figure 6. Dendrogram of Koilodepas Hassk. bre: K. brevipes var. brevipes; brs: K. brevipes var. stenosepalum; pec: K. pectinatum; cor: K. cordisepalum; lae: K. laevigatum; lon: K. longifolium; hom: K. homalifolium; fru: K. frutescens; ban: K. bantamense.

Gambar

Tabel 2. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia dalam media tanpa senyawa organik.
Figure 1. Stipule’s and margin of Koilodepas. A. elliptical and pectinate, B. entire, C
Figure 4. Variation of pistillate flowers of Koilodepas Hassk. A. K. cordisepalum;
Figure 6. Dendrogram of Koilodepas  Hassk.  bre:  K.  brevipes var. brevipes;  brs:  K
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penggunaan sagu kukus dan tepung keong mas sebagai pengganti jagung kuning dalam pakan tidak berbeda nyata terhadap persentase karkas

Berdasarkan uji korelasi menggunakan uji Anova seperti yang ditunjukkan pada table 4, pengaruh mengkonsumsi makanan manis dan lengket setelah 30 menit di SDN

Meskipun kegiatan operasionalnya masih dilakukan di dalam rumah, pengusaha ini juga membuka sebuah warung kecil yang tempatnya berada tepat di depan PT. Djarum di desa

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran perpustakaan Sekolah Luar Biasa Bagian Tunanetra (SLB-A) Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (PRPCN) Palembang

Keberadaan data bermuatan kualitatif adalah catatan lapangan yang berupa catatan atau rekaman kata- kata, kalimat, atau paragraf yang diperoleh dari wawancara

PENGEMBANGAN METODOLOGI PENGAJARAN MATA KULIAH KEWIRAUSAHAAN DI JURUSAN ADMINISTRASI NIAGA POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA 34 pada pelaksanaan proses belajar yang baru pada

[r]

Hasil penelitian ini, tidak mendukung dengan hasil penelitian Elloumi dan Gueyie (2001) yang menyatakan Proporsi Komisaris Independen dalam suatu perusahaan memilki