• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Tumpeng Kering Ready Stock Dalam Sistem Upakara Hindu Di Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fenomena Tumpeng Kering Ready Stock Dalam Sistem Upakara Hindu Di Bali"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

http://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/Purwadita Penerbit: STAHN Mpu Kuturan Singaraja Fenomena Tumpeng Kering Ready Stock Dalam Sistem Upakara Hindu Di Bali

Ayu Veronika Somawati, Ni Wayan Wiraswastini

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja, Indonesia Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bangli, Indonesia

[email protected], [email protected]

ARTICLE INFO ABSTRACT

Received 2021-02-20 Revised 2021-02-24 Accepted 2021-03-11 This is an open access article under the CC–BY-SA

license.

Hinduism with all its uniqueness basically cannot be separated from acara as a part of the Tri Framework for Hindu Religion, as well as the use of ceremonial facilities as a medium to get closer to the Creator. One of the means of upakara that is often found in Hindu religious practice is the use of tumpeng. Tumpeng is one of the upakara ingredients in the shape of a cone made from rice. The higher the human mobility, the less time that can be devoted to the preparation of religious events. Things like this are ultimately used as business land. Like the current phenomenon, it is common to find the use of dried tumpeng in the manufacture of upakara. This type of tumpeng is usually very easy to find in the market and some are even traded online at very affordable prices. Apart from being cheap, the tumpeng dries up a solution for Hindus who do not have enough time to make this upakara.

Keywords: Tumpeng, Upakara, Hindu, Bali

Agama Hindu dengan segala keunikannya pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan acara sebagai salah satu bagian dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu serta penggunaan sarana upakara sebagai media untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Salah satu sarana upakara yang sering dijumpai dalam praktek keagamaan Hindu adalah penggunaan tumpeng. Tumpeng merupakan salah satu sarana upakara yang berbentuk kerucut dengan berbahan dasar nasi. Semakin tinggi mobilitas manusia, semakin sedikit waktu yang bisa diluangkan untuk kepentingan persiapan acara keagamaan. Hal seperti ini yang pada akhirnya dimanfaatkan sebagai lahan bisnis. Seperti fenomena yang ada saat ini, sering dijumpai penggunaan tumpeng kering dalam pembuatan upakara. Tumpeng jenis ini biasanya sangat mudah ditemui di pasar bahkan ada yang diperjualbelikan secara daring dengan harga yang sangat terjangkau. Selain karena murah, tumpeng kering ini sering menjadi solusi bagi umat Hindu yang tidak memiliki cukup waktu untuk membuat sarana upakara ini.

(2)

PENDAHULUAN

Agama Hindu memiliki tiga kerangka yang menjadi landasan dasar pelaksanaan aktivitas keagamaan. Tiga kerangka dasar tersebut terdiri dari tattwa, susila, dan acara. Tattwa merupakan inti dari ajaran agama Hindu, filsafat dalam agama Hindu yang memberi arti dan makna dalam setiap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila merupakan seperangkat aturan yang menjadi dasar pelaksanaan aktivitas keagamaan dalam agama Hindu. Acara merupakan serangkaian aktivitas keagamaan dalam agama Hindu sebagai bentuk implementasi dari tattwa dan susila. Ketiga bagian tersebut saling mempengaruhi saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Tiga kerangka tersebut memberikan fungsi masing-masing dalam setiap pelaksanaan dan pengamalan ajaran agama Hindu dalam prakteknya pada kehidupan sehari-hari.

Acara atau ritual merupakan kulit luar yang nampak sangat jelas dalam aktivitas keagamaan umat Hindu secara umum dan di Bali khususnya. Secara umum dalam pelaksanaan ritual keagamaan umat Hindu senantiasa menyertakan persembahan berupa upakara sebagai wijud rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasiNya. Selain itu,

upakara sendiri merupakan media

penerapan ajaran agama. Wiana (2009: 4) di dalam bukunya menjelaskan bahwa demikian juga halnya dengan upacara dan upakara agama Hindu sebagai media penerapan Sanatana Dharma menjadi tradisi yang disebut acara agama Hindu. Upacara dan upakara agama Hindu itu adalah salah satu wujud dari acara agama Hindu. Salah satu unsur dari upacara

agama Hindu itu adalah banten dalam tradisi agama Hindu di Bali.

Persembahan bagi umat Hindu pada umumnya menggunakan berbagai sarana untuk memantapkan hati dalam pelaksanaannya. Sarana-sarana tersebut merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Sarana persembahan tersebut yaitu ada berupa daun, bunga, buah, ada juga air dan dupa, ikan, hewan, wewangian, biji-bijian dan yang lainnya. Umat Hindu Bali biasanya merangkai berbagai sarana tersebut dalam bentuk banten atau upakara. Di dalam upakara atau banten menggunakan berbagai sarana dalam proses pembuatannya. Salah satu sarana yang tidak pernah terlepas pada setiap pembuatan upakara dalam Hindu yaitu penggunaan nasi (dalam berbagai bentuk), seperti tumpeng, penek, kepelan, pangkonan, tipat, dan berbagai bentuk lainnya sesuai dengan bentuk dan fungsinya ada beberapa jenis persembahan yang mempergunakan nasi. Secara umum yang paling sering dijumpai dalam pembuatan upakara di Bali yang nasi yang dibentuk menjadi tumpeng.

Bagi umat Hindu di Bali khususnya, tumpeng tentunya merupakan sarana upakara yang sudah tidak asing lagi pada setiap pembuatan upakara. Tumpeng merupakan salah satu sarana pokok dalam pembuatan upakara di Bali. Mendengar istilahnya tentunya sudah dapat dibayangkan bagaimana bentuk benda tersebut. Setiap sarana upakara yang digunakan dalam pembuatan upakara tentunya tidak terlepas dari bentuk, fungsi dan makna di dalam penggunaannya, dan di tengah kemajuan teknologi dan perkembangan zaman dewasa ini perkembangan zaman sangat berpengaruh terhadap aktivitas manusia

(3)

termasuk dalam hal berupacara. Seperti fenomena yang ada saat ini, sering dijumpai penggunaan tumpeng kering dalam pembuatan upakara. Tumpeng jenis ini biasanya sangat mudah ditemui di pasar bahkan ada yang diperjualbelikan secara daring dengan harga yang sangat terjangkau. Selain karena murah, tumpeng kering ini sering menjadi solusi bagi umat Hindu yang tidak memiliki cukup waktu untuk membuat sarana upakara ini. Melalui artikel ini, akan diulas mengenai keberadaan tumpeng dalam upakara Hindu, etika dalam pembuatannya serta makna yang terkandung di dalam penggunaan tumpeng dalam upakara. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1 Tumpeng dan Etika Pembuatannya sebagai Sarana Upakara

Umat Hindu tentunya sudah tidak asing lagi dengan jenis sarana upakara yang disebut dengan tumpeng, dan pastinya sudah sangat terbiasa dengan penggunaannya di dalam pembuatan

-upakara atau banten. Tumpeng

merupakan salah satu sarana upakara yang berbentuk kerucut dengan berbahan dasar nasi. Salah satu contoh banten yang menggunakan tumpeng sebagai sarana pelengkapnya adalah banten pras yang di dalamnya menggunakan dua buah tumpeng.

Dewasa ini, sering dijumpai penggunaan tumpeng kering atau tumpeng ready stock dalam pembuatan upakara, bahkan tumpeng ini sangat mudah didapatkan di pasaran hingga melalui media social dengan harga yang sangat terjangkau sehingga tumpeng kering dianggap sebagai jalan alternatif yang memudahkan umat dalam pembuatan upakara.

Gambar 1

Penjualan tumpeng melalui media sosial Sebelum menelisik mengenai makna filosofisnya, pertama-tama akan dikaji mengenai etika dalam proses pembuatan tumpeng sebagai sarana upakara. Bagus (2002: 217) di dalam bukunya juga menjelaskan bahwa etika berasal dari bahasa Yunani ethikos, ethos (adat, kebiasaan, praktek). Sebagaimana digunakan Aristoteles istilah ini mencakup ide “karakter” dan disposisi (kecondongan). Sedangkan Bertens (2013: 5) di dalam bukunya menjelaskan bahwa etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

Kata “etika” dalam pengertian umum adalah suatu bentuk pandangan manusia mengenai benar-salah, baik-buruk, tepat-tidak tepat, dan bentuk-bentuk perbandingan lainnya yang menyangkut perilaku kehidupan manusia di dalam pergaulannya di masyarakat, serta menyangkut juga bagaimana cara manusia sebagai bagian dari kelompok kemasyarakatan bertingkah laku di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam agama

(4)

Hindu etika lebih dikenal dengan istilah susila. Susila merupakan salah satu bagian dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, yakni tattva atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama Hindu, serta upacara atau praktek-praktek keagamaan Hindu. Hubungan ketiganya ini diibaratkan dengan sebutir telur, dimana kuning telur melambangkan tattva atau inti dari ajaran agama Hindu tersebut; putih telur melambangkan susila; sedangkan kulit telur melambangkan

upacara-nya karena praktek-praktek

keagamaan inilah yang sangat mudah dilihat dan diamati oleh manusia (Somawati & Made, 2019).

Dilihat dari proses pembuatan

tumpeng sebagai sarana upakara,

hendaknya dipilih bahan yang sempurna disamping untuk mengahsilkan kualitas tumpeng yang bagus, bahkan sering didengar para tetua panglingsir terdahulu mempersiapkan beras dengan kualitas terbaik untuk pembuatan tumpeng. Beras tersebut dipilih melalui proses nampinin atau ditapis hingga memilih beras yang terbaik dan masih utuh untuk bahan pembuatan tumpeng. Bahkan agar lebih nikmat untuk dinikmat lungsurannya, tidak jarang tetua kita menumbuk nasi tersebut agar lebih halus sehingga tumpeng yang dihasilkan merekat lebih bagus dan tahan lebih lama. Dari kebiasaan tetua terdahulu kita diajarkan untuk memilih bahan-bahan dengan kualitas paling bagus sebagai sarana upakara. Terkadang tidak jarang juga ada ungkapan tetua kita “iraga gen sing ngidaang nunas lungsurane apa buin katur ring Ida Bhatara” (kita saja tidak bisa meminta/makan lungsurannya, apalagi dipersembahkan kepada Tuhan). Dari ungkapan kecil tersebut para tetua mengajarkan untuk mempersembahkan

upakara dengan bahan yang masih layak untuk dikonsumsi.

Adnyana (2012: 45) di dalam bukunya menuliskan bahwa mengapa ajuman atau rayunan dibuat enak sesuai dengan selera manusia? Apakah ada maksud agar waktu ngelungsur kita juga dapat menikmati enaknya? Ini bukanlah tujuan pertama ketahuilah, karena dorongan bhakti manusia ingin mempersembahkan yang terbaik dan yang terindah dan yang terenak dari apa yang bisa dibuat untuk Ida bhatara. Ida Bhatara juga merasakan demikian karena Beliau menikmati rasa hati kita. Berdasarkan uraian dari Adnyana di atas, dapat dipahami pula bahwa penggunaan

tumpeng sebagai sarana upakara

hendaknya diupayakan agar menggunakan bahan yang terbaik yang bisa dipersembahkan.

Etika dalam proses pembuatan tumpeng juga perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan etika pembuatan upakara. Sebelum pembuatan sarana upakara diupayakan diri bersih secara jasmani, berpakaian sopan dan rapi, serta diupayakan untuk menjaga kesucian pikiran untuk dapat menghasilakn yajna yang satwika. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tumpeng hendaknya menggunakan alat yang bersih dan sukla. Selanjutnya bagaimana dengan etika di dalam penggunaan sarana upakara seperti tumpeng dalam upakara? Hendaknya tumpeng difungsikan sesuai fungsi dan kegunaanya, semisal tumpeng sebagai sarana pembuatan banten pras atau

pengambean. Sebagai orang yang

bertanggung jawab dalam proses pembuatan upakara ada beberapa aturan yang mengatur bagaimana etika di dalam pembuatannya. Sepeti termuat dalam Lontar Yajna Praketi berikut ini :

(5)

...mangkana angawiti sira akarya, den ambek suci juga, aywa sabda gangsul, wak

prakasa, mwang cemer,

tinemah kita de Bhatari, balik sabda rahayu juga ucap menak maka ucapanta, apan ri sedengta akarya babanten ya ika kalanta angajum rupa warna mwang pawangganing

sarwa Dewata-Dewati,

Bhatara mwang Bhatari. Terjemahan :

Berikut adalah etika seorang yang hendak membuat upakara, selalu bersih dan berpikiran suci, sudah mewinten, mendapat mandat dari Pandita, membuat banten sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Pandita, dan tidak bermotif bisnis.

Selain itu, dalam pembuatan upakara juga hendaknya memperhatikan petunjuk sastra agar tidak menyimpang dari ketentuan yang telah ditentukan, tidak mengurangi dan menambahkan sarana yang digunakan dalam pembuatan suatu upakara. Karena sangat buruk phalanya bagi seseorang yang berani menambahkan atau mengurangi sarana dalam pembuatan upakara seperti diuraikan dalam Lontar Yajna Prakerti berikut ini:

...Ayuwa sira sang tukang angangapus-apusi

tatandingan, amunjuk lungsur, angurang-ngurangi,

angalebih-lebihi, tan manuta ri warah mami Bhatari Tapini, umungguh ing Empu Lutuk apan saksat anguwah-uwuhi raga sarira, ala dahat pala tinemunya, ri kapatyani, lewih

papa narakanta kadenda de Yama Bala, dumadi sira wekasan, wetu salah rupa, wetu mala katuna lebih ring

sarira, mangkana

temahanya... Terjemahan :

...Sebagai seorang tukang banten, jangan membohongi, jangan berpikiran untuk kenikmatan semata, tidak boleh mengurangi dan melebihi dari ketentuan yang diajarakan oleh Dewi Tapini, yang termuat dalam Empu Lutuk, karena akan membahayakan diri menemui bahaya bahkan bisa mengantarkan pada kesengsaraan bahkan bisa terbawa sampai kepada kelahiran berikutnya.

Berdasarkan rujukan tersebut dapat dipahami bahwa dalam pembuatan upakara idealnya disesuaikan dengan sumber sastra yang ada. Demikian juga halnya dengan penggunaan tumpeng dalam upakara. Tumpeng sebagai persembahan idealnya bahan dasarnya adalah nasi, upayakan nasi yang digunakan adalah nasi yang bagus dan masih layak untuk dikonsumsi karena pada akhirnya segala macam persembahan yang dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan dinikmati sebagai prasadham.

Selain itu, di dalam pustaka suci Bhagavadgita dijelaskan pula mengenai jenis-jenis yajna sebagai berikut :

Bhagavadgita, XVII.11

aphalākāṅkṣhibhir yajño vidhi-driṣhṭo ya ijyate yaṣhṭavyam eveti manaḥ

(6)

samādhāya sa sāttvikaḥ Terjemahan:

Yajna menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnya bahwa upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah sattvika (Pudja, 1999: 392). Bhagavadgita, XVII.12

Abhisandhāya tu phalaṁ dambhārtham api chaiva yat ijyate bharata-śhreṣhṭha taṁ yajñaṁ viddhi rājasam Terjemahan:

Tetapi yang dilakukan dengan mengharap ganjaran, dan semata-mata untuk kemegahan belaka, ketahuilah, wahai Arjuna, yajna itu adalah bersifat rajas (Pudja, 1999: 392-393). Bhagavadgita, XVII.13 vidhi-hīnam asṛiṣhṭānnaṁ mantra-hīnam adakṣhiṇam śhraddhā-virahitaṁ yajñaṁ tāmasaṁ parichakṣhate Terjemahan:

Dikatakan bahwa, yajna yang dilakukan tanpa aturan (bertentangan), di mana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra dan sedekah serta tanpa keyakinan dimakan tamas (Pudja, 1999: 393). Berdasarkan petikan sloka Bhagavadgita jenis yajna tersebut di atas dapat dijadikan bahan renungan bersama bahwa untuk mewujudkan yajna yang bersifat sattvika hendaklah disesuaikan

dengan sastra-sastra agama, yang salah satunya adalah Lontar Yajna Prakerti.

Pembuatan tumpeng perlu diperhatikan etika pembuatannya mulai dari pemilihan bahan dan etika dalam mempergunakan tumpeng dalam pembuatan banten. Bahan yang digunakan sebagai bahan pembuatan tumpeng idealnya dipilih bahan yang yang bagus, diolah dengan etika yang yang ditentukan dalam sastra, ditata atau ditanding sesuai dengan ketentuan dalam sastra serta setelah menjadi prasadham hendaknya dinikmati sebagai amertha untuk mendapatkan kehidupan yang abadi. Untuk tumpeng ready stock yang dijual bebas baik secara luring maupun daring, hendaknya diperhatikan kembali dari berbagai sudut pandang sastra-sastra agama yang telah dijelaskan di atas. 1.2 Prasadham Tumpeng, antara

Spiritual dan Kesehatan

Tumpeng dilihat dari bentuknya merupakan sarana upakara yang berbahan dasar nasi yang berbentuk krucut. Dilihat dari bahan dasarnya sudah jelas bahwa hendaknya bahan yang digunakan dalam pembuatan tumpeng adalah nasi. Mengapa mempersembahkan nasi? Hal ini dilakukan dengan tujuan agar selesai

upakara tersebut dipersembahkan

lungsurannya dapat dinikmati sebagai prasadham.

Menikmati lungsuran atau

prasadam setelah selesai

persembahyangan merupakan bentuk lain dari cara bersyukur atas anugrah Tuhan dan para leluhur. Segala makanan yang sudah dipersembahkan sebelum dimakan merupakan dapat membebaskan manusia dari dosa dan sebaliknya ketika memakan makanan yang belum dipersembahkan sama dengan memakan dosa, seperti

(7)

termuat dalam pustaka suci Bhagavadgita, III.13 berikut ini.

Yajña-śiṣṭāśinaḥ santo mucyante sarva-kilbiṣaiḥ bhuñjate te tv aghaḿ pāpā ye pacanty ātma-kāraṇāt Terjemahan :

Orang saleh yang memakan makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu sebagai persembahan suci, terbebaskan dari segala jenis dosa. Sedangkan mereka yang memasak makanan untuk kenikmatan diri sendiri, sesungguhnya mereka hanya memakan dosa (Darmayasa, 2013: 284).

Berdasarkan petikan sloka tersebut, diajarkan bahwa sebelum makan hendaknya dipersembahkan terlebih dahulu karena makanan yang sudah dipersembahkan memberikan dampak positif bagi tubuh dan dapat membebaskan diri dari dosa ketika proses memasak makanan tersebut. Hal inilah yang menjadi landasan sebaiknya

lungsuran dapat dinikmati setelah

dipersembahkan. Lungsuran atau prasadham merupakan salah satu sarana untuk mencapai alam yang kekal abadi seperti termuat dalam pustaka suci Bhagavadgita, IV.31 berikut ini :

Yajña-śhiṣhṭāmṛta-bhujo yānti brahma sanātanam nāyaṁ loko ’sty ayajñasya

kuto ’nyaḥ kuru-sattama Terjemahan :

Mereka yang sudah merasakan amerta dari sisa-sisa pelaksanaan korban-korban suci, maka mereka akan mencapai tujuan tertinggi

yang kekal abadi. Sedangkan mereka yang tidak melakukan persembahan-persembahan suci, mereka tidak akan menemukan kebahagiaan di dunia ini, lalu wahai Arjuna, ksatria terbaik dari keturunan Dinasti Kuru….., bagaimana (mungkin mereka memperoleh kebahagiaan) setelah kematian? (Darmayasa, 2013: 327).

Berdasarkan sloka tersebut memakan sisa persembahan atau di Bali lebih dikenal dengan istilah lungsuran sesungguhnya merupakan salah satu cara untuk mendapatkan amrta atau mendapatkan keabadian untuk dapat mencapai Sang Pencipta. Demikian muliannya dan besarnya manfaat yang diperoleh ketika dapat menikmati

lungsuran atau makanan hasil

persembahan. Hendaknya segala yang dipersembahkan dapat dinikmati sebagai amrta demikian juga dengan nasi atau tumpeng yang dipersembahkan dalam bentuk banten. Untuk dapat menikmati segala anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam lungsuran tersebut maka perlu dipertimbangkan juga dalam pembuatan bahan dasar dari upakara idealnya menggunakan bahan-bahan yang bisa untuk dinikmati lungsurannya, seperti penggunaan tumpeng dengan nasi yang memang layak untuk dimakan agar lungsuran tumpeng tidak terbuang-buang. Hal ini senada dengan yang dijelaskan oleh (Somawati & Adnyana, 2020) yang di dalam tulisannya menjelaskan bahwa agama Hindu mengajarkan bahwa sebelum makan, hendaknya makanan yang dibuat dipersembahkan terlebih dahulu karena makanan yang sudah

(8)

dipersembahkan memberikan dampak positif bagi tubuh dan dapat membebaskan diri dari dosa. Makanan yang sudah dipersembahkan serta didoakan terlebih dahulu, memiliki vibrasi positif dan tentu saja vibrasi tersebut akan mempengaruhi orang yang memakannya. Hal inilah yang menjadi landasan sebaiknya prasadham atau lungsuran dinikmati setelah dipersembahkan.

Termuat di dalam pustaka suci Bhagavadgita XVII. 8-10, diuraikan tentang tiga macam makan sebagai berikut :

Bhagavad-gītā XVII. 8

Āyuḥ-sattva-balārogya sukha-prīti-vivardhanāḥ rasyāḥ snigdhāḥ sthirā hṛdyā

āhārāḥ sāttvika-priyāḥ Terjemahan :

Makanan-makanan yang membantu memperpanjang usia hidup, menambah vitalitas, kekuatan, kesehatan, kesenangan dan kepuasan, dan juga lezat, tidak kering, bergizi dan menyenangkan hati adalah jenis makanan yang disukai oleh mereka yang berada dalam sifat kebaikan (Darmayasa, 2013: 671). Bhagavad-gītā XVII. 9 Kaṭv-amla-lavaṇāty-uṣṇa- tīkṣṇa-rūkṣa-vidāhinaḥ āhārā rājasasyeṣṭā duḥkha-śokāmayā –pradāḥ Terjemahan : Makanan-makanan yang terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, sangat panas, terlalu pedas, terlalu kering, serta makanan dengan bumbu

yang menyengat adalah makanan yang disukai oleh orang-orang yang berada dalam sifat kenafsuan, yang memberikan kedukaan, kesedihan dan timbulnya berbagai jenis penyakit (di dalam badan (Darmayasa, 2013: 672).

Bhagavad-gītā XVII. 10

Yāta-yāmaḿ gata-rasaḿ pūti paryuṣitaḿ ca yat ucchiṣṭam api cāmedhyaḿ bhojanaḿ tāmasa-priyam Terjemahan :

Makanan yang dimasak terlalu lama, hambar rasa, basi, busuk, sisa dimakan orang lain, dan makanan yang (tidak bersih dan) tidak suci, adalah jenis makanan yang disukai oleh mereka yang berada di dalam sifat kegelapan (Darmayasa, 2013: 672). Berdasarkan petikan sloka Bhagavadgita mengenai jenis makanan tersebut di atas dapat dijadikan bahan renungan bersama bahwasannya bahan yang digunakan adalah bahan-bahan yang segar dan menyehatkan, setiap banten yang dibuat haruslah banten yang segar, tidak basi, busuk, dan tidak kering/layu, sehingga prasadam atau lungsurannya dapat memberikan dampak kesehatan. Demikian juga halnya dengan

tumpeng yang digunakan dalam

pembuatan upakara, apabila merujuk pada pustaka suci Bhagavadgita tersebut, hendaknya diupayakan menggunakan tumpeng dengan berbahan nasi yang masih bagus dan layak untuk dinikmati untuk mewujudkan persembahan yang

(9)

sattvika dan prasadham atau lungsurannya juga menjadi makanan yang sattvika yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Seperti yang termuat di dalam kutipan berikut ini “Makanan sattvika sangat penting bagi kehidupan spiritual dan kesehatan. Menyantap makanan sattvika dapat memurnikan pikiran dan menyembuhkan badan dengan menyeimbangkan unsur-unsur di dalam tubuh, melepaskan racun dalam tubuh, dan memberi nutrisi yang diperlukan untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh” (Arsa, 2007: 199). Dikuatkan juga dengan kutipan dari Suhardana (2010 : 35-36) yang mengatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang bersifat sattvika memberikan efek yang lebih baik kepada pikiran daripada mengkonsumsi makanan rajasika atau tamasika. Para Rsi dan Brahmana pada jaman dahulu mengkonsumsi makanan sattvika untuk meningkatkan sifat sattwam pada dirinya. 1.3 Makna Filosofis Tumpeng dalam

Upakara Hindu

Mengulas makna filosofis dari tumpeng sebagai salah satu sarana pembuatan banten akan berangkat dari penggunaan tumpeng tersebut dalam pembuatan upakara atau banten. Banten atau upakara merupakan perwujudan dari alam semesta beserta isinya, lambang dari kemahakuasaan Tuhan, serta lambang dari pengorbanan diri manusia. Seperti yang termuat dalam kutipan berikut ini: “The Balinese ancestors popularized some slogans such as: upakara banten satmaka Anda Bhuana (oblationas symbolizes the universe), upakara banten satmaka stana Widhi (ritual paraphernalia serve as God’s abode), upakara banten satmaka raganta tuwi (sacrificial means symbolize a self-sacrifice)” (Donder, 2012: 14).

Seperti yang termuat juga pada sloka

Bhagavadgita berikut:

ahaṁ kratur ahaṁ yajňaḥ svadhāham aham auṣadham mantro ‘ham aham evājyam aham agnir ahaṁ hutam

(Bhagavadgītā IX. 16) Terjemahan:

Tetapi Akulah ritual, Akulah korban suci, persembahan kepada leluhur, ramuan yang menyembuhkan, dan mantra rohani. Aku adalah mentega, api, dan apa yang dipersembahkan (Prabhupada, 2006: 473).

Banten dalam Lontar Yajna

Prakrti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut

banten disebutkan: "Sahananing

Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana". Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: "Pinaka Raganta Tuwi" artinya banten itu merupakan perwujudan dari manusia itu sendiri; "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Sang Hyang Widhi Wasa; serta "Pinaka Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti ulu atau kepala (utama angga), badan (madhyama angga), kaki atau suku (kanistama angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi sebagai ulu adalah banten yang

(10)

berada di sanggar surya, sanggar tutuan, sanggar tawang maupun pada palinggih-palinggih. Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah banten yang berada di panggungan yang letaknya di jaba, termasuk banten segehan dan caru.

Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: badan kasar atau sthula sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, badan astral atau suksma sarira yang terdiri dari alam pikiran (citta, budhi, manah, ahamkara; atau sattwam, rajas, tamas) serta Sang Hyang Atman (antah karana sarira) sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Bhuta ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai suksma sarira seperti banten peras, penyeneng, pengambyan, dapetan, sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti banten daksina, banten guru, banten lingga adalah merupakan simbol Atman.

Banten sebagai warna rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman sraddha terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Mengingat Beliau yang bersifat nirguna, suksma, gaib, dan bersifat rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat niskala itu dapat dipuja dalam

wujud sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah banten. Adapun banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai lingga atau linggih Bhatara seperti: daksina tapakan (linggih), banten catur,

banten lingga, peras, penyeneng,

bebangkit, pula gembal, banten guru dan sebagainya.

Banten sebagai anda

bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replika dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Veda, bahwa Tuhan ini tidak hanya bersthana pada bhuvana alit, Beliau juga bersthana pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: daksina, suci, bebangkit, pula gembal, tanam tuwuh dan sebagainya.

Berdasarkan uraian tersebut banten memiliki makna yang sangat mendalam dalam penggunaannya. Demikian juga halnya dengan tumpeng yang digunakan dalam pembuatan banten tersebut memiliki makna sesuai dengan penggunaan tumpeng dalam suatu banten. Tumpeng yang digunakan sebagai banten

pras mengandung makna sebagai

penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita dan sebagai suksma sarira. Tumpeng yang digunakan dalam banten pras juga sebagai lingga sthana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tumpeng dalam banten pras juga lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan

(11)

sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan

Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan

kebendaan/perempuan) harus disatukan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.

Bentuk tumpeng yang berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada puncaknya dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan berasal dari agama Hindu. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata. Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau tirtha, air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam upakara Hindu. Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos.

Demikian pentingnya makna

tumpeng yang digunakan dalam

pembuatan upakara, setelah diinterpretasikan dalam penggunaannya tumpeng merupakan lambang dari Tuhan yang menguasai alam semesta. Tumpeng sebagai simbol Tuhan dan merupakan pokok dari persembahan berupa upakara yang ditujukan kehadapan Tuhan dengan segala manifestasi-Nya, sehingga menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk mempersembahkan yang utama dan yang terbaik untuk Beliau penguasa seluruh kehidupan di alam semesta. Tumpeng

setelah dipersembahkan menjadi

prasadam yang memiliki anugerah

amertha sebagai simbol kehidupan abadi maka lungsurannya tidak layak untuk disia-siakan. Untuk mendapatkan anugrah amertha dari lungsuran tumpeng tersebut maka upayakan persembahkan tumpeng yang layak untuk dikonsumsi.

Begitu utamanya keberadaan tumpeng dalam pembuatan upakara di Bali, pembuatan tumpeng dengan bahan beras pilihan dan etika pembuatannya mengikuti petunjuk sastra sehingga menghasilkan kekuatan amertha bagi kehidupan manusia dan alam semesta dengan menikmati lungsuran dari

tumpeng tersebut, untuk itu

mengupayakan menggunakan tumpeng dengan bahan nasi yang dibuat dari beras pilihan agar amertha melalui lungsuran tumpeng tersebut dapat dinikmati. Apapun yang hendak dinikmati oleh manusia hendaknya ia mempersembahkannya terlebih dahulu kepada Tuhan sebagai bhakti, karena jika tidak maka orang tersebut adalah seorang pencuri dan hanya akan memakan dosanya sendiri, dan adalah kewajiban pula baginya untuk menikmati setiap hasil persembahan sebagai prasadham (karunia Tuhan), karena jika tidak maka orang tersebut adalah orang yang paling berdosa.

Pembuatan upakara hendaknya disesuikan dengan ketentuan susastra Veda dan dalam pembuatannya mengikuti tata aturan yang benar agar dapat menjadi persembahan yang utama. Bagamana apabila dalam pembuatan upakara dalam skala besar yang tidak bisa persiapan dengan waktu yang singkat dan tidak memungkinkan untuk menggunakan tumpeng nasi yang lembek? Salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah dengan membuat tumpeng dengan nasi

(12)

setengah matang (nasi aron). Tumpeng yang dibentuk dari nasi setengah matang lalu dijemur akan merekat kuat dan bertahan lebih lama dari tumpeng yang terbuat dari nasi biasa. Tumpeng dengan nasi setengah matang ini nantinya setelah menjadi lungsuran tetap bisa dinikmati dengan diolah kembali menjadi nasi. Dengan demikian maka segala anugerah yang terdapat dalam lungsuran tumpeng ini tetap dapat dinikmati.

SIMPULAN

Tumpeng dalam upakara Hindu merupakan nasi yang dibentuk kerucut menyerupai gunung yang bagian puncaknya adalah simbol dari Tuhan. Sebagai simbol Tuhan maka inilah sumber dari alam semesta dengan segala isinya, dan sebagai tempat kembali alam semesta dengan segala isinya. Di dalam pembuatan tumpeng perlu dipilih bahan-bahan pilihan dan dibuat dengan etika yang sesuai dalam susastra Veda karena pada akhirnya inti dari sebuah persembahan adalah prasadham atau lungsuran. Dengan mengkonsumsi prasadham yang telah didoakan terlebih dahulu maka persembahan tersebut akan menjadi makanan yang sattvika yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Dikaitkan dengan penggunaan tumpeng ready stock yang diperjualbelikan baik secara luring ataupun daring, dikembalikan lagi kepada pribadi masing-masing dengan mempertimbangkan hal-hal yang termuat di dalam pustaka-pustaka suci Hindu tersebut di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I Nyoman Mider. 2012. Arti dan Fungsi Banten Sebagai Sarana

Persembahyangan. Denpasar:

Pustaka Bali Post.

Arsa, G. D. (2007). Kesehatan dan

Meditasi Matahari Terbit.

Surabaya: Paramita.

Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta: PT Kanisius.

Darmayasa. (2013). Bhagavad-gita

(Nyanyian Tuhan). Denpasar:

Yayasan Dharma Sthapanam. Donder, I Ketut. 2012. “The Essence Of

Animal Sacrifice In Balinesse Hindu Ritual.” dalam

International Journal of

Multidisciplinary Educational

Research (Volume 1, Issue 4, September 2012), 1-27.

Prabhupada, Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2006. Bhagavad-Gita Menurut Aslinya. Yogyakarta: Narasi.

Pudja, Gede. 1999. Bhagavad Gītā

(Pańcamo Veda). Surabaya:

Paramita.

Somawati, A. V., & Made, Y. A. (2019). Implementasi Ajaran Tri Kaya Parisudha dalam Membangun Karakter Generasi Muda Hindu di Era Digital. Jurnal Pasupati, Vol 6 No 1, 1-22.

Somawati, A. V., & Adnyana, K. S. (2020). Makanan Sattvika dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan dan Karakter. JURNAL YOGA DAN KESEHATAN Vol 3 No 2, 142-151.

Suhardana, K. (2010). Ahimsa dan Vegetarian Jalan Menuju Kasih Sayang. Surabaya: Paramitha. Wiana, I Ketut. 2009. Suksmaning Banten.

Referensi

Dokumen terkait

(Foto oleh Navio Tantra).. 39 Untuk asrama Fuchu yang di pakai oleh penerima beasiswa Monbukagakusho satu kamar di isi dengan tiga orang dan per-orangnya akan membayar

Gerak semu Matahari jika dilihat dari Bumi, maka Matahari seolah–olah bergerak dari timur ke barat mengitari Bumi. Posisi terbit dan terbenam Matahari tidak

Dengan hasil tersebut maka karakter diameter buah, panjang buah, tinggi tanaman, kejadian penyakit, dan intensitas penyakit dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi

Kenaikan subsidi listrik akan menyebabkan kenaikan pendapatan tertinggi diterima oleh rumah tangga pengusaha golongan atas yang berada di perkotaan sekaligus

(seperti ketapel). Sebelum melawan Goliat, Daud berdoa kepada Tuhan supaya Tuhan menolongnya dan memberi dia kemenangan. Lalu Daud maju berperang melawan Goliat, ia berlari sambil

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa system informasi yang dikembangkan yaitu system informasi perhitungan caddie pada imperial klub golf karawaci kabupaten

Visi dan misi PMIPTI adalah berusaha untuk menciptakan generasi penerus dan pemimpin yang diharapkan kelak memimpin masyarakat Melayu Patani dengan berdasarkan ideologi agama Islam,