• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. persalinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan profesional (dokter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. persalinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan profesional (dokter"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penolong Persalinan

Menurut Depkes RI (1998), tenaga yang dapat memberikan pertolongan persalinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan dan perawat bidan) dan dukun bayi (terlatih dan tidak terlatih). Dalam proses pertolongan persalinan, tidak jarang ibu hamil yang kritis meningggal sesampai di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya, dan tidak jarang juga sering terjadi kematian akibat pertolongan persalinan yang tidak ditangani oleh tenaga yang ahli dan berlatar belakang kesehatan seperti dukun bayi (Darwizar, 2002).

2.1.1 Bidan

Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

Bidan adalah seorang tenaga kesehatan yang mempunyai tugas penting dalam bimbingan dan penyuluhan kepada ibu hamil, persalinan, nifas, dan menolong persalinan dengan tanggung jawabnya sendiri serta memberikan asuhan kepada bayi baru lahir (prenatal care).

(2)

Asuhan ini termasuk tindakan pencegahan, deteksi kondisi abnormal ibu dan anak, usaha mendapatkan bantuan medik dan melaksanakan tindakan kedaruratan dimana tidak ada tenaga bantuan medik. Dia mempunyai tugas penting dalam pendidikan dan konseling, tidak hanya untuk klien tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat (Notoatmodjo, 1993).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 363/1990 tentang wewenang bidan, bidan ialah seseorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Bidan di desa adalah bidan yang ditempatkan dan bertugas di desa, mempunyai wilayah kerja satu sampai dua desa, dan dalam melaksanakan tugas pelayanan medis baik didalam maupun di luar jam kerjanya bidan harus bertanggung jawab langsung kepada Kepala Puskesmas.

Dasar pelaksanaan penempatan bidan di desa ini sesuai dengan kebijaksanaan Departemen Kesehatan yang telah disebarluaskan keseluruh propinsi dengan surat edaran Direktur Jenderal Pembina Kesehatan Masyarakat No. 429/Binkesmas /DJ/III/89 pada tanggal 29 Maret 1989.

Bidan di Puskesmas ialah bidan yang ditempatkan dan bertugas di Puskesmas, mempunyai wilayah kerja I Kecamatan dan dibantu oleh bidan di Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Bidan di Desa (Bides) dalam melaksanakan tugas pelayanan medis, baik di dalam maupun di luar jam kerjanya. Bidan harus tetap bertanggung jawab kepada Puskesmas di wilayah Kecamatan dimana dia ditempatkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak.

(3)

Secara umum dapat kita ketahui bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat termasuk keluarga ada tiga segi yang perlu diperhatikan yaitu : 1. Segi manusianya (petugas kesehatan)

2. Sarana (Puskesmas, Rumah sakit dan lembaga kesehatan lainnya) 3. Dana (biaya untuk pengobatan)

Keterbatasan dan kekurangan salah satu dari ketiga segi ini sedikit banyak mempengaruhi pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat (WHO, 1998)

Menurut Azwar (2006) pelayanan kesehatan yang terdapat dalam masyarakat secara umum dapat dibedakan atas tiga macam yaitu ;

1. Pelayanan kesehatan tingkat I, pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan yang bersifat dasar.

2. Pelayanan kesehatan tingkat II, pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan spesialis satu bahkan kadang – kadang pelayanan sub – spesialisasi tetapi terbatas.

3. Pelayanan kesehatan tingkat III, pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan spesialisasi serta sub – spesialisasi luas.

Dari hal tersebut diatas dapat diketahui bahwa pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh bidan di desa cenderung dalam pelayanan tingkat dasar pertama. Selain membantu penurunan angka kematian dan peningkatan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, Bidan di desa juga membantu memberikan pengobatan pertama pada masyarakat yang membutuhkan pertolongan dalam pelayanan kesehatan sebelum pasien mendapat pertolongan yang lebih efisien di Rumah Sakit.

(4)

Untuk terwujudnya kebijaksanaan yang telah ditetapkan maka diselenggarakan Pendidikan Bidan satu tahun dengan dasar pendidikan lulus SPK, dan sejak tahun 1996 ditingkatkan menjadi Akademi (DIII). Lulusan pendidikan tersebut akan ditempatkan di Puskesmas dan di Desa dengan kriteria tertentu dalam rangka melaksanakan upaya kesehatan Puskesmas dan membina Posyandu. Agar Bidan dapat bekerja secara berdaya guna dan berhasil guna, maka disusunlah pedoman atau program kerja.

Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat No. 429/Binkesmas/DJ/II/89 Tanggal 29 Maret 1989 menyatakan bahwa tujuan penempatan bidan Puskesmas di desa secara umum adalah untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan melalui Puskesmas dan Posyandu dalam rangka menurunkan angkat kematian ibu, bayi dan anak balita dan menurunkan angka kelahiran, serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berprilaku hidup sehat (Depkes RI, 1989).

Tujuan khusus penempatan Bidan di Puskesmas: (a) Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat, (b) Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan khususnya 5 program prioritas di desa, (c) Meningkatnya mutu pelayanan ibu hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas dan perinatal, serta pelayanan kontrasepsi, (d) Menurunnya jumlah kasus – kasus yang berkaitan dengan penyulit kehamilan, persalinan dan perinatal, (e) Menurunnya jumlah balita dengan gizi buruk dan diare, (f) Meningkatnya kemampuan keluarga untuk hidup sehat dengan

(5)

membantu pembinaan kesehatan kelompok Dasa Wisma, (g) Meningkatnya peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD termasuk gerakan Dana Sehat.

Tugas Pokok Bidan Puskesmas: (a) Melaksanakan kegiatan Puskesmas di desa wilayah kerjanya berdasarkan urutan prioritas masalah kesehatan yang dihadapi, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan diberikan, (b) Menggerakkan dan membina masyarakat desa di wilayah kerjanya agar tumbuh kesadarannya untuk dapat berperi hidup sehat.

Fungsi Bidan di wilayah kerjanya adalah : (a) Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah – rumah, menangani persalinan, pelayanan keluarga berencana dan pengayoman medis kontrasepsi, (b) Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat, (c) Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader kesehatan serta dukun bayi, (d) Membina kelompok dasa wisma dibidang kesehatan, (e) Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral dan lembaga swadaya masyarakat, (f) Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada Puskesmas kecuali dalam keadaan darurat harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lainnya, (g) Mendeteksi secara dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta adanya penyakit – penyakit dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuan.

Wewenang bidan yang bekerja di desa sama dengan wewenang yang diberikan kepada bidan lainnya. Hal ini diatur dengan peraturan Menteri Kesehatan. (Depkes RI, 1990). Wewenang tersebut adalah sebagai berikut :

(6)

1. Wewenang umum

Kewenangan yang diberikan untuk melaksanakan tugas yang dapat dipertanggungjawabkan secara mandiri.

2. Wewenang khusus

Wewenang khusus adalah wewenang untuk melaksanakan kegiatan yang memerlukan pengawasan dokter. Tanggung jawab pelaksanaannya berada pada dokter yang diberikan wewenang tersebut.

3. Wewenang pada keadaan darurat

Bidan diberi wewenang melakukan pertolongan pertama untuk menyelamatkan penderita atas tanggung jawabnya sebagai insan profesi. Segera setelah melakukan tindakan darurat tersebut, bidan diwajibkan membuat laporan ke Puskesmas di wilayah kerjanya.

4. Wewenang tambahan

Bidan dapat diberi wewenang tambahan oleh atasannya dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat lainnya, sesuai dengan program pemerintah, pendidikan dan pelatihan yang diterimanya.

Sesuai dengan kewenangan bidan yang diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1990, maka kegiatan bidan Puskesmas yang ditempatkan di desa adalah sebagai berikut :

a. Mengenal wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem pemerintahannya.

(7)

b. Merencanakan dan menganalisa data serta mengidentifikasikan masalah kesehatan untuk merencanakan penanggulangannya.

c. Menggerakkan peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD dengan melaksanakan Pertemuan Tingkat Desa (PTD), Supaya Mawas Diri (SMD) dan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) yang diikuti dengan menghimpun dan melatih kader kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

d. Memberikan bimbingan teknis kepada kader kesehatan dan memberikan pelayanan langsung dimeja lima pada saat kegiatan Posyandu dalam wilayah kerjanya, terutama pelayanan KIA dan KB serta membantu pelaksanaan imunisasi.

e. Melaksanakan pembinaan para sekolah di TK dan masyarakat. f. Memberikan pertolongan persalinan.

g. Memberikan pertolongan kepada pasien (orang sakit), kecelakaan dan kedaruratan.

h. Kunjungan rumah untuk melaksanakan perawatan kesehatan masyarakat di wilayah kerja bidan.

i. Melatih dan membina dukun bayi agar mampu melaksanakan penyuluhan dan membantu deteksi ibu hamil resiko tinggi.

j. Melatih dan membina ketua kelompok dasa wisma (persepuluhan) dalam bidang kesehatan secara berkala sesuai dengan kebutuhan setempat.

k. Menggerakkan masyarakat agar melaksanakan kegiatan dana sehat di wilayah kerjanya.

(8)

l. Mencatat semua kegiatan yang dilakukan dan melaporkan secara berkala kepada Puskesmas sesuai dengan ketentuan.

m. Bekerja sama dengan rekan staf Puskesmas dan tenaga sektor lain yang ada di desa, antara lain PLKB, dan pamong setempat dalam rangka pelayanan kesehatan dan pembinaan peran serta masyarakat.

n. Menghadiri rapat staf (lokakarya mini) Puskesmas setiap bulan. o. Melaksanakan upaya kesehatan sekolah di desa wilayah kerjanya.

p. Merujuk penderita dengan kelainan jiwa, dan melakukan / pengobatan tindak lanjut pasien dengan kelainan jiwa yang dirujuk oleh Puskesmas.

Kewenangan bidan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010, bidan dalam menjalankan peraktiknya dapat memberikan pelayanan yang meliputi :

a. pelayanan kesehatan ibu b. pelayanan kesehatan anak

c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.

Pelayanan kesehatan ibu diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan. Pelayanan tersebut meliputi pelayanan konseling pada masa pra hamil, pelayanan antenatal pada kehamilan normal, pelayanan persalinan normal, pelayanan ibu nifas normal, pelayanan ibu menyusui dan pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan.

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu berwenang untuk melakukan episiotomy, penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II, penanganan

(9)

kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan, pemberian tablet Fe pada ibu hamil, pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas, fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif, pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum, penyuluhan dan konseling, bimbingan pada kelompok ibu hamil, pemberian surat keterangan kematian dan pemberian surat keterangan cuti bersalin.

Pelayanan kesehatan anak diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah. Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak berwenang untuk melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat. pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah, pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah, pemberian konseling dan penyuluhan, pemberian surat keterangan kelahiran, pemberian surat keterangan kematian.

Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, berwenang untuk memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana dan memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.

Selain kewenangan tersebut bidan juga menjalankan program Pemerintah, berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi

(10)

bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan di bawah supervisi dokter, penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan, melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan, pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah , melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas, melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya dan pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah.

Pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, dan penanganan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) hanya dapat dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.

Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangannya. Daerah yang tidak memiliki dokter adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. Jika dalam daerah tersebut telah terdapat dokter, kewenangan bidan dimaksud tidak berlaku.

Pemberian surat keterangan kelahiran dan kematian dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

(11)

a. Untuk surat keterangan kelahiran hanya dapat dibuat oleh bidan yang memberikan pertolongan persalinan tersebut dengan menyebutkan :

(a) Identitas bidan penolong persalinan (b) Identitas suami dan ibu yang melahirkan

(c) Jenis kelamin, berat badan dan panjang badan anak yang dilahirkan. (d) Waktu kelahiran (tempat, tahun, bulan, tanggal dan jam)

b. Untuk surat keterangan kematian hanya dapat diberikan terhadap ibu dan atau bayi yang meninggal pada waktu pertolongan persalinan dilakukan dengan menyebutkan :

(a) Identitas bidan

(b) Identitas ibu/bayi yang meninggal (c) Identitas suami dan ibu yang meninggal

(d) Identitas ayah dan ibu dari bayi yang meninggal (e) Jenis kelamin

(f) Waktu kematian (tempat, tahun, bulan, tanggal dan jam) (g) Dugaan penyebab kematian

c. Setiap pemberian surat keterangan kelahiran atau surat keterangan kematian harus dilakukan pencatatan.

d. Setiap kematian, baik ibu yang mempunyai bayi harus melapor kepada Kepala RT/RW, Kepala Desa dan Pimpinan Puskesmas setempat.

(12)

2.1.2 Dukun Bayi Terlatih

Pengertian dukun bayi terlatih adalah seseorang dengan jenis kelamin wanita yang dapat dan mampu membantu persalinan dan merawat bayi yang telah mendapatkan pelatihan sehingga memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menolong persalinan secara normal, minimal tentang kebersihan dalam menolong persalinan (Depkes RI, 1993).

Peran dukun bayi terlatih ini tidak berbeda jauh dengan peran Bidan dalam kehidupan masyarakat, yang membedakan hanya latar belakang dan jenis pendidikan formal yang pernah diperoleh, disamping itu dukun bayi terlatih berada langsung dibawah pengawasan pimpinan Puskesmas atau bidan koordinator di Puskesmas, dengan demikian seluruh tugas dan kegiatan yang dilakukannya langsung dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada pimpinan Puskesmas atau bidan koordinator di Puskesmas (Depkes RI, 1993).

Pada saat ini fasilitas pelayanan kesehatan belum mampu menjangkau masyarakat secara luas seperti saat ini yang dilakukan melalui program pembangunan di bidang kesehatan. Masyarakat di daerah pedesaan umumnya memanfaatkan pelayanan kesehatan yang bersifat tradisional, pelayanan kesehatan tersebut tidak terbatas pada penyembuhan penyakit tetapi juga pertolongan persalinan (Depkes RI, 1993).

Sampai saat ini keberadaan dukun bayi masih menjadi pilihan yang utama bagi masyarakat di desa kurang mampu untuk menjangkau pelayanan persalinan yang disediakan oleh pemerintah seperti Bidan di Desa yang maupun Bidan di Puskesmas,

(13)

atau masyarakat itu sendiri yang tidak mampu untuk menjangkau pelayanan persalinan akibat keterbatasan tingkat ekonomi, masalah sosial budaya yang ditradisikan oleh nenek moyang, maupun faktor lainnya (Depkes RI, 1993).

Para dukun bayi terlatih yang membantu persalinan tersebut umumnya berusia lanjut dan keterampilan mereka terbatas. Sering kali persalinan yang seharusnya dibantu dokter kebidanan, tidak tertangani dengan baik. Hal ini membuat seorang ibu bisa dalam ancaman maut. Menyikapi situasi tersebut perlu dijalin kemitraan bidan dan dukun bayi terlatih. Dengan adanya kemitraan ini diharapkan tenaga dukun bayi terlatih dapat dimanfaatkan dalam hal memandikan bayi dan membantu ibu yang baru melahirkan untuk memulihkan kesehatannya (Suprihatini, 2003).

Secara historis keberadaan dukun bayi terlatih sangat dekat dengan proses pertolongan persalinan oleh bidan dalam masyarakat Indonesia, mengingat di masa lalu jumlah tenaga medis yang mampu menolong persalinan (dokter atau bidan) masih sangat sedikit, sehingga masyarakat tidak memiliki alternatif lain dalam pertolongan persalinan oleh dukun bayi terlatih. Keadaan ini berlangsung cukup lama sampai pemerintah membuat program penempatan bidan di desa sebagai tenaga penolong persalinan.

2.2 Persalinan

Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan atau hampir cukup bulan disusul dengan pengeluaran placenta dan selaput janin dari tubuh si ibu.

(14)

Jenis persalinan adalah (1) spontan, yaitu persalinan yang berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri dan melalui jalan lahir atau tanpa usaha dari luar, (2) persalinan buatan, yaitu persalinan dengan dibantu tenaga dari luar, misalnya : ekstraksi dengan forceps, atau melakukan operasi section caesarea, dan (3) persalinan anjuran, yaitu persalinan setelah pemecahan ketuban, pemberian potocin atau prostaglandin.

Menurut Manuaba (2001) peningkatan pelayanan antenatal care, penerimaan gerakan keluarga berancana, melaksanakan persalinan bersih dan aman (pelayanan kebidanan dasar), dan meningkatkan pelayanan obstetric essensial dan darurat yang merupakan pelayanan kesehatan primer. Tidak jarang ibu hamil yang kritis meninggal sesampai di rumah sakit, artinya si ibu terlambat mendapatkan pertolongan. Kejadian ini dapat berupa kasus kelainan letak janin, hipertensi, perdarahan (rupture uteri) karena dukun bayi terlatih mendorong janin keluar rahim. Dalam keadaan kritis ditangan dukun bayi terlatih barulah si ibu dirujuk ke rumah sakit.

Kasus persalinan yang dirujuk ke rumah sakit antara lain partus lama, bayi lahir tetapi placenta dalam kandungan (retensio plasenta), anak besar, ketuban pecah sebelum waktu persalinan, abortus, eklampsia. Beberapa kasus yang terlambat dirujuk oleh dukun bayi terlatih membuat para ibu yang hendak bersalin meninggal setelah beberapa jam di rumah sakit. Uniknya, dalam beberapa kasus meskipun ibu hamil memeriksakan kehamilan ke bidan atau ke dokter, belum tentu bersalin dibantu oleh dokter atau bidan.

(15)

Masalah pertolongan persalinan di daerah pedesaan sangat memprihatinkan, hal ini semakin diperparah apabila selama masa kehamilan seorang ibu juga tidak pernah melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan, kalaupun dilakukan pemeriksaan hanya kepada dukun bayi yang tentunya tidak memiliki kemampuan dan fasilitas yang cukup untuk mengetahui dan mendeteksi secara dini apabila terdapat kelainan atau penyakit yang mengiringi kehamilan tersebut (Resty, 2003).

Masalah mendasar yang sering menjadi kendala dalam peningkatan kesehatan perempuan adalah sering terjadinya nilai-nilai sosial budaya yang menempatkan posisi perempuan pada posisi subordinatif yaitu stereotip masyarakat terhadap peran dan kedudukan perempuan (Sumaryoto, 2003).

Upaya untuk meningkatkan harga diri dan martabat perempuan selain pendidikan keterampilan, juga sangat memperhatikan character building (pembangunan karakter). Pembangunan hanya bisa sukses jika masyarakat termasuk perempuan mempunyai karakter yang baik. Penerapan kemampuan harus berjalan secara selaras. Negara hanya dapat bertahan jika etika dan moral penduduknya bagus. Masyarakat yang pintar secara intelektual tidak bermanfaat apabila moral dan etikanya rusak karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat. Kenyataan selama ini perempuan baru bisa dihargai jika memiliki kemampuan intelektual dan emosi yang seimbang (Resty, 2003).

Pelayanan kebidanan dalam masa kehamilan, masa persalinan dan masa nifas meliputi pelayanan yang berkaitan dengan kewenangan yang diberikan. Perhatian khusus diberikan pada masa sekitar persalinan, karena kebanyakan kematian ibu dan

(16)

bayi terjadi dalam masa tersebut. Pelayanan kesehatan kepada anak diberikan pada masa bayi (khususnya bayi baru lahir), balita dan anak pra sekolah. Dalam melaksanakan pertolongan persalinan, bidan dapat memberikan uterotonika. Pelayanan dan pengobatan kelainan ginekologik yang dapat dilakukan oleh bidan adalah kelainan ginekologik ringan, seperti keputihan dan penundaan haid. Pengobatan ginekologik yang diberikan tersebut pada dasarnya bersifat pertolongan sementara sebelum dirujuk ke dokter, atau tindak lanjut pengobatan sesuai advis dokter.

Masalah pertolongan persalinan di daerah pedesaan sangat memprihatinkan, hal ini semakin diperparah apabila selama masa kehamilan seorang ibu juga tidak pernah melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan, kalaupun dilakukan pemeriksaan hanya kepada dukun bayi yang tentunya tidak memiliki kemampuan dan fasilitas yang cukup untuk mengetahui dan mendeteksi secara dini apabila terdapat kelainan atau penyakit yang mengiringi kehamilan tersebut.

2.3 Permasalahan Persalinan

Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan atau hampir cukup bulan disusul dengan pengeluaran placenta dan selaput janin dari tubuh si ibu.

Jenis Persalinan adalah :

1. Spontan: Persalinan yang berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri dan melalui jalan lahir atau tanpa usaha dari luar.

(17)

2. Persalinan buatan : persalinan dibantu dengan tenaga dari luar, misalnya: ekstraksi dengan Farceps, atau melakukan operasi sectio caesarea.

3. Persalinan anjuran : persalinan setelah pemecahan ketuban, pemberian pitocin atau prostaglandin.

Menurut Manuaba (2001) peningkatan pelayanan antenatal care, penerimaan gerakan keluarga berencana, melaksanakan persalinan bersih dan aman (pelayanan kebidanan dasar), dan meningkatkan pelayanan obstetri essensial dan darurat yang merupakan pelayanan kesehatan primer.

Menurut Darwizar (2002) tidak jarang ibu hamil yang kritis meninggal sesampai di rumah sakit, artinya si ibu terlambat mendapat pertolongan. Kejadian ini dapat berupa kasus kelainan letak janin, hipertensi, perdarahan (ruptura uteri) karena dukun bayi terlatih mendorong janin ke luar rahim. Dalam keadaan kritis di tangan dukun bayi terlatih barulah si ibu dirujuk ke rumah sakit. Dalam keadaan seperti itu, fasilitas lengkap di rumah sakit tidak menjamin menurunkan kesakitan dan kematian ibu. Sementara itu ibu yang mau melahirkan membutuhkan operasi seringkali harus menunggu waktu, bahkan terkadang operasi untuk menyelamatkan si ibu tidak bisa dilakukan karena tidak mendapat izin keluarga. Kasus-kasus yang dirujuk banyak yang tidak tertolong karena sangat buruk prognosisnya. Pada kasus persalinan normal, bantuan bidan sudah memadai. Pada persalinan yang tidak normal diperlukan keterampilan lebih tinggi semacam operasi yang harus ditangani dokter kebidanan dan kandungan.

(18)

Kasus persalinan yang dirujuk ke rumah sakit antara lain partus lama, bayi lahir tapi plasenta di dalam kandungan (retensio plasenta), anak besar, ketuban pecah sebelum waktu persalinan, abortus, eklampsia. Beberapa kasus yang terlambat dirujuk oleh dukun bayi terlatih membuat para ibu yang hendak bersalin meninggal setelah beberapa jam di rumah sakit. Uniknya, dalam beberapa kasus meskipun ibu hamil memeriksakan kehamilan ke bidan atau ke dokter, belum tentu bersalin dibantu dokter atau bidan.

Pada persalinan dibantu bidan biayanya mencapai Rp 300.000. Sementara imbalan jasa bagi dukun bayi terlatih tidak harus berupa uang tunai. Imbalan bisa dalam bentuk beras, ayam, yang nilainya setara dengan tarif bidan, perbedaan tersebut merupakan alternatif bagi masyarakat yang kurang mampu untuk memanfaatkan jasa pelayanan dukun bayi terlatih untuk menolong persalinan.

Target kelahiran 100 % ditolong oleh tenaga terlatih masih belum terpenuhi, karena berdasarkan Laporan MDG’s tahun 2010 jumlah persalinan yang ditolong tenaga kesehatan (bidan dan dokter) sebesar 79,2%. Belum tercapainya target pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan disebakan permasalahan yang dihadapi bidan desa, yaitu : jumlah bidan desa saat ini hanya sekitar 20.000 dari 80.000 bidan di Indonesia. Adapun jumlah desa yang tercatat saat ini sekitar 76.613. Kekurangan bidan desa mengurangi kemampuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi.

Masalah pertolongan persalinan di daerah pedesaan sangat memprihatinkan, hal ini semakin diperparah apabila selama masa kehamilan seorang ibu juga tidak

(19)

pernah melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan, kalaupun dilakukan pemeriksaan hanya kepada dukun bayi yang tentunya tidak memiliki kemampuan dan fasilitas yang cukup untuk mengetahui dan mendeteksi secara dini apabila terdapat kelainan atau penyakit yang mengiringi kehamilan tersebut (Aryanti, 2002).

Kurangnya pemeriksaan kehamilan pada daerah pedesaan terkait dengan keterbatasan tingkat ekonomi. Keadaan itu cukup memprihatinkan, mengingat seorang ibu harus memeriksakan kehamilannya minimal empat kali selama kehamilan. Data dari profil kesehatan Indonesia menyebutkan bahwa secara nasional sekitar 93 % ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa kehamilan. Terdapat 81,5 % ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan baru mencapai 65,5 persen. Meski cakupan ANC cukup tinggi, diperlukan perhatian khusus karena penurunan angka kematiaan ibu masih jauh dari target. Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah kualitas layanan ANC untuk memastikankan diagnosis dini dan perawatan yang tepat, di samping pendekatan kesehatan ibu hamil yang terpadu dan menyeluruh (Bappenas, 2010).

Angka kematian ibu dan juga bayi berkait dengan indikator, yaitu : terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas, terutama bagi penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) . Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED),

(20)

posyandu dan unit transfusi darah belum merata dan belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk. Sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit juga belum berjalan dengan optimal. Ditambah lagi, dengan kendala geografis, hambatan transportasi, dan faktor budaya. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama bida petugas kesehatan di DTPK sering kali tidak memperoleh pelatihan yang memadai . Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan ibu. Indikator sosial ekonomi seperti tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah serta determinan faktor lainnya dapat mempengaruhi tingkat pemanfaatan pelayanan serta berkontribusi pada angka kematian ibu di Indonesia (Bappenas, 2010).

Upaya yang dilakukan untuk menurunkan AKI ini dengan memperkuat fungsi bidan desa, termasuk kemitraan dengan tenaga kesehatan swasta dan dukun bayi serta memperkuat layanan kesehatan berbasis masyarakat antara lain melalui posyandu dan poskesdes, memperkuat sistem rujukan, untuk mengatasi masalah tiga terlambat dan menyelamatkan nyawa ibu ketika terjadi komplikasi melalui perawatan yang memadai tepat pada waktunya. Meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan, baik jumlah, kualitas dan persebarannya (dokter umum, spesialis, bidan, tenaga paramedis) (Bappenas, 2010).

Daerah yang memiliki AKI tertinggi di Indonesia adalah di Jawa Barat dengan rata – rata meninggal 3-4 orang per hari disetiap kecamatan. AKI tertinggi berikutnya adalah Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat sebesar 46%

(21)

kematian ibu hamil disebabkan oleh perdarahan, terjadi perdarahan yang berujung pada kematian ibu hamil utamanya berkaitan dengan masalah pelayanan kesehatan. Aborsi tidak aman tersebut terselubung dalam angka perdarahan yang menjadi penyebab utama kematian ibu. Diperkirakan sebanyak 11% dari jumlah perdarahan yang berujung kematian ibu disebabkan karena aborsi yang tidak aman (Sumaryoto, 2003).

Tahun 2007 kematian ibu akibat perdarahan diperkirakan 6-16% disebabkan oleh praktek aborsi yang tidak aman. Tidak terpenuhinya kebutuhan akan layanan KB menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan sehingga memicu pada tindakan aborsi. Di Indonesia, aborsi termasuk tindakan yang ilegal sehingga para ibu yang hamil di luar rencana memilih menggunakan cara aborsi yang tidak aman (SDKI, 2007).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 ditemukan angka kematian ibu di Indonesia 228 per 100.000 kelahiran hidup. Dengan kecenderungan seperti ini, pencapaian target Millenium Development Goal (MDG) untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 225/100.000 kelahiran hidup akan sulit terwujud kecuali akan dilakukan upaya yang lebih intensif untuk mempercepat laju penurunannya. Ada tiga fase terlambat yang berkaitan erat dengan angka kematian ibu hamil dan bersalin, yaitu: (1) terlambat untuk mengambil keputusan mencari pertolongan ke pelayanan kesehatan terdekat atau merujuk dari pelayanan kesehatan ke pelayanan kesehatan lainnya; (2) terlambat untuk sampai atau tiba di

(22)

pelayanan kesehatan; (3) terlambat menerima asuhan atau sampai di pelayanan kesehatan.

Tahun 2000 kematian ibu akibat pendarahan mencapai 50% dari seluruh kematian ibu hamil tidak perlu terjadi kalau saja aborsi dilakukan dengan aman. Aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Aborsi bisa terjadi secara tidak disengaja, atau yang disebut dengan keguguran, dan bisa pula dilakukan dengan sengaja. Aborsi sebenarnya bisa dilangsungkan secara aman, yaitu jika dilakukan sebelum janin berumur 12 minggu, oleh dokter yang terlatih, tanpa paksaan, serta melalui tahapan konseling. Usia 12 minggu merupakan awal dimana janin mulai menampakkan bentuk sebagai bayi. Kalau aborsi dilakukan secara tidak aman, yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih dan tidak mengikuti prosedur kesehatan (Sumaryoto, 2003).

Faktor usia perkawinan muda menjadi penyebab utama tingginya kematian ibu melahirkan di Jawa Barat. Sebanyak 34,2% perempuan Jawa Barat menikah dibawah usia 15 tahun. Kasus kematian ibu melahirkan itu sangat banyak terjadi di wilayah Jawa Barat. Gerakan Sayang Ibu harus segera digalakkan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Masyarakat harus ikut serta membantu program pemerintah jika ingin angka kematian ibu dapat ditekan, keadaan ini makin diperparah lagi dengan banyaknya suami yang tidak menunggui istrinya ketika melahirkan. Sebanyak 68% kasus kematian ibu melahirkan di Jawa Barat ternyata tidak ditunggui suaminya. Saat ini sedang di upayakan usaha cuti bagi para suami

(23)

yang istrinya sedang melahirkan karena peran suami sangat besar dalam menjaga kesehatan istrinya itu. Suami 'siaga' atau 'siap antar dan jaga' merupakan upaya yang harus terus dikembangkan (Sentika, 2003).

Berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan dan laki-laki sudah berimbang, tetapi kualitas hidup perempuan dalam berbagai bidang masih tertinggal dibanding laki-laki. Rendahnya peranan perempuan itu meliputi bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan sosial budaya, hal itu disebabkan oleh masih terbatasnya kesempatan, peluang dan akses bagi perempuan untuk berperan serta dalam berbagai bidang pembangunan dan masih rendahnya perempuan memperoleh manfaat dari pembangunan. Padahal, rendahnya kualitas perempuan akan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia Indonesia secara keseluruhan (Aryanti, 2002).

Masalah mendasar yang sering menjadi kendala dalam peningkatan kesehatan perempuan adalah sering terjadinya nilai-nilai sosial budaya yang menempatkan posisi perempuan pada posisi subordinatif yaitu stereotip masyarakat terhadap peran dan kedudukan perempuan (Sumaryoto, 2003).

Upaya untuk meningkatkan harga diri dan martabat perempuan selain pendidikan keterampilan, juga sangat memperhatikan character building. Pembangunan hanya bisa sukses jika masyarakat termasuk perempuan mempunyai karakter yang baik. Penerapan kemampuan harus berjalan secara selaras. Negara hanya dapat bertahan jika etika dan moral penduduknya bagus. Masyarakat yang

(24)

pintar secara intelektual tidak bermanfaat apabila moral dan etikanya rusak karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat. Kenyataan selama ini perempuan baru bisa dihargai jika memiliki kemampuan intelektual dan emosi yang seimbang (Aryanti, 2002)

Di beberapa Provinsi masih terdapat AKI yang masih lebih tinggi dibandingkan angka nasional. Banyak faktor penyebab tingginya AKI dan AKB, antara lain terlambat mengenali masalah kehamilan dan melahirkan, terbatasnya sarana, fasilitas pelayanan kesehatan dan biaya, rendahnya pengetahuan masyarakat dan persoalan sosial budaya, terlalu muda dan terlalu tua melahirkan (di bawah usia 20 tahun dan di atas 35 tahun), rapatnya jarak kelahiran dari jarak ideal (2-2,5 tahun) (Bappenas, 2007).

2.4 Determinan

Konsep-konsep dasar tentang determinan pemilihan penolong persalinan yang menjadi fokus penelitian ini dapat dikaji berdasarkan pendapat Anderson (dalam Sarwono, 2004) yang mendefinisikan determinan sebagai

Menurut Anderson dalam Notoatmodjo (2005) mengemukakan konsep bahwa perilaku sesorang terhadap pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga hal yaitu :

faktor-faktor penentu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.

1. Karakteristik predisposisi (Predisposing Charcteristic). Setiap individu memiliki kecenderungan yang berbeda untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan karena adanya perbedaan–perbedaan karakteristik demografi, struktur sosial dan

(25)

kepercayaan tentang kesehatan yang akan menolongnya menyembuhkan penyakit. Karakteristik predisposing menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda– beda yang digolongkan atas :

a. Ciri demografi seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan dan jumlah keluarga

b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan dan kesukuan c. Sikap dan keyakinan individu terhadap pelayanan kesehatan

2. Karakteristik Pendukung (Enabling Characteristic).Karateristik ini mengambarkan bagaimana individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan perlu didukung oleh faktor lain seperti : faktor pendapatan, ketercapaian atau kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan yang ada.

Karakteristik pendukung ini menjelaskan bahwa meskipun individu mepunyai predisposisi untuk menggunakan pelayanan kesehatan, tidak akan bertindak menggunakannya kecuali mampu memperolehnya. Penggunaan pelayanan kesehatan yang ada tergantung pada kemampuan konsumen untuk membayar. Yang termasuk karakteristik ini adalah :

a. Sumber keluarga (family resources), yang meliputi pendapatan keluarga, cakupan asuransi kesehatan dan pihak – pihak yang membiayai individu atau keluarga dalam mengkonsumsi pelayanan kesehatan

(26)

b. Sumber daya masyarakat (community resources), yang meliputi tersedianya pelayanan kesehatan, ketercapaian pelayanan dan sumber – sumber yang ada didalam masyarakat

3. Karakteristik kebutuhan (need). Faktor predisposisi dan faktor pendukung dapat terwujud menjadi tindakan pencarian pengobatan, apabila tindakan itu dirasakan sebagai kebutuhan. Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan menjadi :

a. Kebutuhan yang dirasakan (perceived need), yaitu keadaan kesehatan yang dirasakan

b. Evaluate / clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan oleh penilaian petugas.

Model pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan yang diajukan oleh Andersen pada tahun 1984, sering disebut sebagai model penentu siklus kehidupan (life cycle determinants model) atau model perilaku pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan (behaviour model of health services utilization).

Konsep determinan dalam proses keputusan memilih penolong persalinan sebagai implementasi konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan suatu proses pada diri konsumen apabila hendak mengambil suatu keputusan untuk membeli suatu barang atau jasa. Proses pengambilan keputusan ini agak aneh

(unique) sebab biasanya melibatkan beberapa komponen. Demikian juga untuk

(27)

keluarga, pihak petugas kesehatan setempat, pihak penanggung biaya, biasanya ikut berperan dalam keputusan pembelian.

Adapun macam peranan dalam keputusan membeli menurut Kotler (1997) ialah: pengambil inisiatif (inisiator), orang yang mempengaruhi (influences), pembuat keputusan (decides), pembeli (buyer) dan pemakai (user). Analisis perilaku konsumen dalam perencanaan pemasaran merupakan hal yang penting (Sutisna 2003 dan Sabarguna, 2004). Demikian juga untuk perencanaan penjualan pelayanan kesehatan diperlukan status kesehatan dan analisis tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada, baik masa lalu, sekarang dan rencana pelayanan kesehatan masa akan datang (Sabarguna 2004).

2.5 Pengambilan Keputusan

2.5.1 Pengertian Pengambilan Keputusan

Menurut Robbins (2001) pengambilan keputusan adalah rasional, artinya membuat pilihan dengan memaksimalkan nilai-nilai yang konsisten pada batas tertentu. Ciri umum dari pengambilan keputusan : (1) keputusan merupakan hasil berfikir dan hasil usaha intelektual, (2) keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai laternatif, (3) keputusan selalu melibatkan tindakan nyata.

Menurut Rivai (2005) pengambilan keputusan yang dapat diimplementasikan

dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan melalui beberapa langkah, yaitu : (1) manfaat dari tindakan pengambilan keputusan, (2) risiko tindakan, (3) alternatif

(28)

Pola pengambil keputusan dalam keluarga untuk menentukan penolong persalinan ternyata bervariasi menurut daerah, latar belakang keluarga, dan sosial ekonomi. Menurut daerah ternyata keluarga pihak isteri di daerah perdesaan lebih dominan dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan di perkotaan, sebaliknya peran suami dominan di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan (Musadad, dkk., 1999).

Dalam kondisi demikian besarnya peran orangtua mengikuti besarnya peran isteri/ibu bersalin. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi keluarga, di mana suami isteri di perdesaan umumnya tinggal bersama orangtua isteri sehingga pihak isteri lebih banyak yang mengambil keputusan, sebaliknya keluarga suami isteri di perkotaan umumnya merupakan keluarga inti yang mandiri sehingga suami cukup menonjol dalam mengambil keputusan, termasuk dalam menentukan penolong persalinan (Musadad, dkk., 1999).

Teori pengambilan keputusan yang paling dikenal dan mungkin pula yang banyak diterima oleh kalangan luas ialah teori rasional komprehensif. Unsur-unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.

2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.

(29)

3. Pelbagai altenatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara saksama. 4. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap altenatif yang

dipilih diteliti.

5. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya.

6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif’ dan akibat-akibatnya’ yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan.

Teori rasional komprehensif banyak mendapatkan kritik dan kritik yang paling tajam berasal dari seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom. Lindblom secara tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebenarya tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas.

Teori rasional komprehensif ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam diri pengambil keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambil keputusan memiliki cukup informasi mengenai berbagai alternatif sehingga mampu meramalkan secara tepat akibat-akibat dari pilihan alternatif yang ada, serta memperhitungkan asas biaya manfaatnya.dan mempertimbangkan banyak masalah yang saling berkaitan.

2.5.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan dalam Pemilihan Penolong Persalinan

Pemilihan penolong persalinan bukanlah suatu proses yang sederhana. Ada banyak faktor yang berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan tersebut, hal

(30)

ini terjadi pada perempuan yang baru pertama kali hamil ataupun ibu primipara yang baru saja melahirkan. Faktor - faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. Keyakinan dan Kepatuhan Mengikuti Adat

Keyakinan dan kepatuhan mengikuti adat istiadat selama masa kehamilan, persalinan, dan nifas mempengaruhi perempuan dalam memilih penolong. Dimasyarakat, selain dipercaya memiliki kemampuan untuk memeriksa dipercaya memiliki pengetahuan sering diminta untuk memimpin upacara-upacara selamatan seperti empat bulanan dan tujuh bulanan. Hal ini berbeda dengan bidan. Asumsi di masyarakat, bidan adalah hanya memiliki keahlian dalam memeriksakan kehamilan, persalinan dan nifas, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan tentang adat istiadat mengenai larangan selama kehamilan, persalinan dan nifas. Oleh karena itu perempuan yang masih taat dan patuh mengikuti adat istiadat akan lebih memilih dukun dari pada bidan atau kalau pun mereka memilih memeriksakan kehamilannya ke bidan mereka juga akan meminta dukun untuk memimpin upacara tujuh bulanan dan sebagainya atau meminta saran dan dukun berkaitan dengan keharusan dan pantangan selama masa kehamilan, persalinan, dan nifas (Juariah, 2009).

2. Akses terhadap Informasi Kesehatan

Informasi tentang kehamilan, persalinan, dan nifas memiliki pengaruh penting terhadap perempuan dalam memilih penolong. Dari informasi yang diterima, mereka dapat memahami komplikasi yang dapat muncul selama periode tersebut. Sehingga mereka akan lebih berhati-hati untuk memilih penolong. Perempuan yang

(31)

tidak memiliki informasi kesehatan lebih cenderung untuk memilih dukun dibandingkan dengan perempuan yang memiliki akses terhadap informasi kesehatan. Akses tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan yang diberikan oleh tenaga kesehatan, buku-buku atau majalah kesehatan, dan lain-lain (Juariah, 2009). 3. Persepsi tentang Jarak

Jarak dapat menjadi faktor yang mempengaruhi seorang perempuan dalam memilih penolong selama masa kehamilan, persalinan dan nifas. Perempuan yang memilih dukun beralasan pertama karena dukun tinggal dekat dengan rumah mereka. Jadi walaupun di kampung yang sama ada bidan, mereka tetap memilih dukun sebagai penolong. Sebaliknya, perempuan yang memilih bidan juga beralasan karena mereka sudah familiar dengan bidan tersebut karena sejak hamil mereka sudah memeriksakan kehamilannya ke bidan (Juariah, 2009).

4. Dukungan Suami dan Keluarga

Suami dam keluarga memiliki peranan penting dalam memilih penolong selama kehamilan, persalinan dan nifas. Hal ini terutama terjadi pada perempuan yang relatife muda usianya sehingga kemampuan mengambil keputusan secara mandiri masih rendah. Mereka berpendapat bahwa pilihan orang yang lebih tua adalah yang terbaik karena orang tua lebih berpengalaman daripada mereka. Selain itu, kalau mereka mengikuti saran orang tua, jika terjadi sesuatu yang buruk, maka seluruh keluarga dan terutama orang tua akan ikut bertanggung jawab. Oleh karena itu ketika orang tua menyarankan memilih dukun, mereka akan memilih dukun

(32)

ataupun sebaliknya. Hal ini agak berbeda dengan perempuan yang lebih dewasa usianya.

2.6 Landasan Teori

Andersen merupakan salah satu ahli yang ikut mengembangkan teori tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan, teori ini biasa disebut “Andersen’s Behavioral

model of Health Service Utilization” dan sering dianut oleh banyak orang. Teori

darinya ini dibuat pada tahun 1968 tetapi sampai sekarang banyak dirujukan karena masih relevan.

Menurut Andersen keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan itu ada tiga komponen yaitu: predisposisi (pemungkin), enabling (pendukung), dan need. Komponen predisposisi terdiri dari tiga unsur yaitu: demografi (usia, jenis kelamin, status perkawinan dan jumlah anggota keluarga), struktur sosial (jenis pekerjaan, status sosial, pendidikan, ras, dan kesukuan), dan kepercayaan kesehatan. Komponen

enabling (pendukung) mempunyai dua unsur: sumber daya keluarga (penghasilan

keluarga, kemampuan membeli jasa pelayanan dan keikutsertaan dalam asuransi kesehatan), dan sumber daya masyarakat (jumlah sarana pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, rasio penduduk dan tenaga kesehatan, lokasi sarana kesehatan). Komponen need, merupakan komponen yang paling langsung berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Komponen ini diukur dengan laporan tentang berbagai simptom, fungsi-fungsi yang terganggu, dan persepsi terhadap status kesehatan.

(33)

Berkaitan dengan pemilihan penolong persalinan, faktor yang menjadi determinan adalah ditinjau dari beberapa faktor sebagaimana teori Anderson pada skema di bawah ini.

Gambar 2.1 Landasan Teori Sumber : Anderson dalam Notoatmodjo (2005)

Predisposing Enabling Need

Demografic (Age, Sex) Social Structure (Etnicity, Education, Occupation of Head Family) Health Belief Family Resources (Income, Health Assurance) Community Resources (Health Facility and Personal) Perceived (Symptoms Diagnose) Evaluated (Clinical Diagnose) Health Services

(34)

2.7 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Faktor Predisposisi (Pemungkin) - Umur Ibu - Pendidikan Ibu - Pengetahuan Ibu tentang Penolong Persalinan - Sikap terhadap Penolong Persalinan - Kepercayaan terhadap Penolong Persalinan Faktor Enabling (Pendukung) - Penghasilan Keluarga - Keikutsertaan dalam Asuransi Kesehatan - Sarana Pelayanan Persalinan - Ketersediaan Tenaga Penolong Persalinan - Lokasi Sarana Pertolongan Persalinan Pemilihan Penolong Persalinan - Tenaga Kesehatan (Bidan atau Dokter) - Non Tenaga Kesehatan (Dukun Bayi) Faktor Need (Kebutuhan) - Kebutuhan Berdasarkan Gejala atau Gangguan pada masa Hamil dan Saat Persalinan - Kebutuhan Berdasarkan Diagnosis oleh Tenaga Kesehatan

Gambar

Gambar 2.1 Landasan Teori  Sumber : Anderson  dalam Notoatmodjo (2005)
Gambar 2.2  Kerangka Konsep Penelitian Faktor Predisposisi (Pemungkin) -  Umur Ibu -  Pendidikan Ibu -  Pengetahuan Ibu tentang Penolong Persalinan -  Sikap terhadap Penolong Persalinan -  Kepercayaan terhadap Penolong Persalinan Faktor  Enabling  (Penduku

Referensi

Dokumen terkait

• mempunyai kelayakan akademik dan teknikal yang tinggi, kepelbagaian kemahiran dan pengetahuan menggunakan Teknologi Maklumat dan Komunikasi (ICT) serta nilai- nilai dan etika

Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa prevalensi konsumsi tembakau pada penduduk usia di atas 15 tahun semakin meningkat jika dilihat dalam tahun 1995 sampai 2013 terlihat

No Nama Peserta No Peserta Asal Sekolah KAB/KOTA MAPEL HOTEL 436 MUHAMMAD KHOIRUL ANAM 15051623520006 MTSS DARUSSALAM KAB. TULUNGAGUNG

Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual yang telah diuraikan, maka hipotesis penelitian ini adalah; inventory turnover ratio, account payable to cost of goods

DUNIA MAYA ( CYBERSPACE CYBERSPACE ) ) MELALUI MEDIA INTERNET.. MELALUI

Kelemahan form input data gaji yaitu untuk menhitung total jumlah jam pelajaran harus melihat laporan data absensi guru, apabila ada tunjangan yang bersifat bulanan

Proses penjanaan kata sinonim dan antonim dilakukan menggunakan senarai nilai ofset yang mewakili set perkataan awal bagi set positif dan set negatif dengan menggunakan