RISET PENGEMBANGAN MODEL
RISET PENGEMBANGAN MODEL
MINAPOLITAN
BERBASIS BUDIDAYA
Tim:
Agus Heri Purnomo, Hikmah, Rani Hafsaridewi, Tikkyrino
i
ili
i
fi i
i
h
i
Kurniawan, Tenny Apriliani, Nensyana Safitri, Hertria Maharani,
Sapto Adi Pranowo
BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
Riset Minapolitan Berbasis Budidaya
Judul Riset:
PENGEMBANGAN MODEL MINAPOLITAN BERBASIS
BUDIDAYA
TIM PENELITI:
AGUS HERI PURNOMO
HIKMAH
RANI HAFSARIDEWI
TENNY APRILIANI
TIKKYRINO KURNIAWAN
SAPTO ADI PRANOWO
HERTRIA MAHARANI PUTRI
NENSYANA SAFITRI
RIESTI TRIYANTI
BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya iii LEMBAR PENGESAHAN
Lembaga Riset : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Nama Proyek : Bagian Proyek Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Proposal : Riset Minapolitan Berbasis Budidaya
Judul Kegiatan : Riset Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya
Status : Baru
Tahun Anggaran : 2010
Biaya : Rp. 450.000.000
Penanggung Jawab RPTP : Dr. Agus Heri Purnomo Wakil Penanggung Jawab : Hikmah, S.Pi, M.Si
Penanggung Jawab RPTP Wakil Penanggung Jawab
Dr. Agus Heri Purnomo, M.Sc. Hikmah, S.Pi, M.Si.
NIP. 19600831 198603 1 003 NIP. 19760216 2002 12 2 003
Mengetahui:
Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Agus Heri Purnomo, M.Sc.
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya iv DAFTAR ISI
LAPORAN AKHIR TAHUN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
EXECUTIVE SUMMARY ... xii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. LATAR BELAKANG ... 1
1.2. TUJUAN ... 3
1.3. KELUARAN ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1. Konsep Wilayah Dan Pengembangan Wilayah ... 4
2.2. Konsep Pengembangan Minapolitan ... 8
2.3. Tujuan Dan Sasaran Pengembangan Kawasan Minapolitan ... 11
2.4. Syarat-Syarat Dalam Usaha Pengembangan Kawasan Minapolitan ... 13
2.5. Model Minapolitan Yang Sudah Ada ... 16
III. METODOLOGI ... 24
3.1. Kerangka Pikir dan Ruang Lingkup Penelitian ... 24
3.1.1. Kerangka Pemikiran ... 24
3.1.2. Model Existing ... 24
3.1.3. Model Konseptual ... 26
3.1.4. Ruang Lingkup ... 28
3.1.5. Kerangka Pentahapan Penelitian ... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1. Profil Wilayah dan baseline survei sosek ... 31
4.1.1. Kabupaten Malang ... 31 4.1.2. Kabupaten Boyolali ... 42 4.1.3. Kota Palangkaraya ... 61 4.1.4. Kabupaten Gowa ... 71 4.1.5. Kabupaten Bogor ... 83 4.1.6. Kabupaten Gresik ... 91 4.1.7. Kabupaten Jambi ... 106
4.1.8. Kabupaten Kotawaringin Barat ... 114
4.2. Identifikasi Permasalahan Penerapan Minapolitan (Aspek-aspek generik dan aspek-aspek khusus kesesuaian lokasi, maupun komoditas yang dikembangkan) ... 122 4.2.1. Kabupaten Malang ... 122 4.2.2. Kabupaten Boyolali ... 128 4.2.3. Kotamadya Palangkaraya ... 133 4.2.4. Kabupaten Gowa ... 136 4.2.5. Kabupaten Bogor ... 143
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya v
4.2.6. Kabupaten Gresik ... 145
4.2.7. Kabupaten Jambi ... 152
4.2.8. Kabupaten Kotawaringin Barat ... 157
4.3. Analisis Peluang Perbaikan Terkait dengan Permasalahan Aspek-Aspek Generik dan Aspek Khusus dalam Penerapan Minapolitan ... 161
4.3.1. Aspek Kelembagaan ... 161
4.3.2. Aspek Sumberdaya dan Tata Ruang ... 168
4.3.3. Aspek Kemasyarakatan dan Bisnis ... 173
4.3.4. Aspek Kebijakan dan Governance ... 178
4.3.5. Aspek Infrastruktur ... 182
4.4. Model Praktikal ... 187
4.4.1. Model Praktikal Kabupaten Malang ... 187
4.4.2. Model Praktikal Kabupaten Boyolali ... 190
4.4.3. Model Praktikal Kabupaten Kota Palangkaraya ... 194
4.4.4. Model Praktikal Kabupaten Gowa ... 196
4.4.5. Model Praktikal Kabupaten Bogor ... 201
4.4.6. Model Praktikal Kabupaten Gresik ... 204
4.4.7. Model Praktikal Kabupaten Jambi ... 208
4.4.8. Model Praktikal Kabupaten Kotawaringin Barat ... 211
4.5. Perspektif Model Aktual Minapolitan (Rekomendasi Kebijakan) ... 214
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 219
5.1. Kesimpulan ... 219
5.2. Arahan Kebijakan ... 220
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya vi DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah ... 6
Gambar 2. Pola Pikir Pembentukan Minapolitan Usaha Perikanan Tangkap ... 17
Gambar 3. Tahapan Pembangunan & Pengembangan Minapolitan Perikanan Tangkap ... 18
Gambar 4. Mekanisme Minapolitan Pesisir ... 23
Gambar 5. Kerangka Pikir Penelitian ... 24
Gambar 6. Model Existing (Diadopsi dari Model Rustiadi E dan Hadi S, 2008) ... 25
Gambar 7. Kerangka Model Konseptual Minapolitan ... 28
Gambar 8. Tahapan Penelitian ... 29
Gambar 9. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kota Palangkaraya ... 64
Gambar 10. Perkembangan Produksi Perikanan Darat Perikanan di Kabupaten Gowa, Tahun 2005 – 2009 ... 76
Gambar 11. Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Kabupaten Bogor ... 84
Gambar 12. Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Kotawaringin Barat tahun 2003 - 2009 ... 115
Gambar 13. Jalur distribusi benih dan pemasaran hasil produksi ikan ... 127
Gambar 14. Jalur Distrubusi Sarana Input Produksi dan Pemasaran Ikan Lele di Kawasan Minapolitan ... 132
Gambar 15. Saluran Pemasaran Benih dan Ikan di Kabupaten Gowa ... 142
Gambar 16. Jalur Distrubusi Sarana Input Produksi dan Pemasaran Komoditas Unggulan di Calon Kawasan Minapolitan ... 151
Gambar 17. Saluran Pemasaran Benih dan Ikan di Kabupaten Jambi ... 156
Gambar 18. Model Praktikal Minapolitan Kabupaten Malang ... 189
Gambar 19. Model Praktikal Minapolitan Kabupaten Boyolali ... 193
Gambar 20. Model Perspektif Minapolitan di Kota Palangkaraya ... 195
Gambar 21. Model Praktikal Minapolitan Kabupaten Gowa ... 200
Gambar 22. Model Praktikal Kabupaten Bogor ... 203
Gambar 23. Model praktikal Kabupaten Gresik ... 207
Gambar 24. Model Perspektif Minapolitan di Kabupaten Batanghari ... 210
Gambar 25. Model Perspektif Minapolitan di Kabupaten Kotawaringin Barat ... 213
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya vii DAFTAR TABEL
Tabel 1. Integrasi Komponen Pendukung Minapolitan Pesisir ... 21
Tabel 2. Kronologi Pengumpulan Data, Pengolahan Data dan Interpretasi ... 29
Tabel 3. Luas wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Malang Tahun 2005 – 2008 ... 32
Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan di Kawasan Minapolitan dan Hinterland Kabupaten Malang ... 33
Tabel 5. Total Produksi Perikanan di Kabupaten Malang Tahun 2007-2008 ... 34
Tabel 6. Produksi Perikanan Berdasarkan jenis Perairan di Kabupaten Malang Tahun 2007-2008 ... 35
Tabel 7. Nilai Produksi Perikanan di Kabupaten Malang tahun 2008 ... 36
Tabel 8. Produksi Ikan Olahan di Kabupaten Malang tahun 2007-2008 ... 36
Tabel 9. Jumlah Pembudidaya Ikan pada tahun 2008 ... 36
Tabel 10. Jumlah kelompok pembudidaya di Kecamatan Wajak tahun 2009 ... 37
Tabel 11. Permasalahan Budidaya di Kabupaten Malang ... 38
Tabel 12. Kepadatan Penduduk di Kawasan Minapolitan ... 45
Tabel 13. Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kawsan Minapolitan ... 45
Tabel 14. Lapangan Pekerjaan Masyarakat di Kawasan Minapolitan ... 46
Tabel 15. Penggunaan Tanah Di Kawaan Minapolitan ... 47
Tabel 16. Produksi Perikanan Tangkap PUD 2008 ... 49
Tabel 17. Produksi Perikanan Budidaya Menurut Jenis dan Asalnya ... 49
Tabel 18. Produksi Perikanan Budidaya di Kawasan Minapolitan Kabupaten Boyolali ... 50
Tabel 19. Produksi Benih Ikan di Kawasan Minapolitan ... 50
Tabel 20. Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Kabupaten Boyolali ... 52
Tabel 21. Kelompok Unit Pembenihan Rakyat Kabupaten Boyolali ... 54
Tabel 22. Sarana Pendidikan Di Kawasan Minapolitan Kabupaten Boyolali Tahun 2008 ... 57
Tabel 23. Sarana Kesehatan Di Kawasan Minapolitan Kabupaten Boyolali Tahun 2008 ... 57
Tabel 24. Sarana Peribadatan Di Kawasan Minapolitan Kab. Boyolali Tahun 2008 ... 58
Tabel 25. Prasarana Perhubungan di Kawasan Minapolitan Kabupaten Boyolali Tahun 2008 ... 59
Tabel 26. Panjang Jalan Yang Dikelola Pemerintah Kabupaten Boyolali Tahun 2008 ... 59
Tabel 27. Luas Wilayah per kecamatan di Kota Palangkaraya ... 62
Tabel 28. Pemanfaatan Wilayah Kota Palangkaraya ... 63
Tabel 29. Luas wilayah, jumlah Penduduk, Jumlah KK dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Sebangau ... 64
Tabel 30. Struktur Penduduk Kota Palangkaraya Menurut Umur, tahun 2008 ... 65
Tabel 31. Jumlah Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan yang ditamatkan dan Jenis Kelaminnya ... 65
Tabel 32. Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Jenis Kelamin ... 66
Tabel 33. Kondisi Geografis dan Kegiatan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Palangkaraya ... 66
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya viii Tabel 34. Orbitasi dan Sumber Air Minum Per Kelurahan di Kabupaten
Palangkaraya ... 67
Tabel 35. Produksi Perikanan Menurut Kabupaten Kota (Ton) ... 68
Tabel 36. Produksi Perairan Umum dan Budidaya Tiga tahun Terakhir di Kota Palangkaraya (2006 – 2008) ... 69
Tabel 37. Luas dan Pembagian Daerah Admnistrasi Kabupaten Gowa ... 72
Tabel 38. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Gowa ... 73
Tabel 39. Luas dan Jenis Penggunaan Lahan dalam Kawasan ... 74
Tabel 40. Luas dan Poduksi Perikanan Darat Kabupaten Gowa ... 75
Tabel 41. Luas dan Produksi Perikanan Budidaya dalam Kawasan ... 76
Tabel 42. Jumlah RTP dalam Kawasan ... 76
Tabel 43. Luas Wilayah dan Jumlah Desa dalam Kawasan ... 79
Tabel 44. Sarana Pendidikan Di Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Tahun 2008 ... 80
Tabel 45. Sarana Kesehatan Di Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Tahun 2008 ... 81
Tabel 46. Sarana Peribadatan Di Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Tahun 2008 ... 81
Tabel 47. Wewenang Pemerintah Menurut Jenis Permukaannya dan Kondisi di Kabupaten Gowa Tahun 2007 (dalam Kilometer) ... 82
Tabel 48. Penyebaran Potensi lahan Perikanan ... 85
Tabel 49. Perkembangan Produksi Perikanan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2009 ... 86
Tabel 50. Pencapaian Produksi Perikanan Tahun 2009 ... 86
Tabel 51. Perkembangan Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2009 ... 87
Tabel 52. Penyebaran Aktifitas Budidaya Ikan... 87
Tabel 53. Perkembangan Produksi Benih Ikan di kabupaten Bogor Tahun 2008-2009 ... 88
Tabel 54. Jumlah Pelaku Usaha di Kabupaten Bogor ... 88
Tabel 55. Jumlah kelompok pembudidaya di Kabupaten Bogor tahun 2009 ... 89
Tabel 56. Lembaga keuangan di daerah Minapolitan Kabupaten Bogor ... 90
Tabel 57. Produksi Perikanan Kec. Sidayu dibanding dengan Kecamatan lain Tahun 2008 ... 93
Tabel 58. Jumlah Penduduk Masing-Masing Desa Berdasarkan Kepala Keluarga dan Jenis Kelamin ... 94
Tabel 59. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Kabupaten Gresik . 95 Tabel 60. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan di Kabupaten Gresik ... 96
Tabel 61. Jumlah Penduduk Pada Masing-Masing Desa berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 96
Tabel 62. Jumlah Sarana Pendidikan di Kabupaten Gresik ... 96
Tabel 63. Jumlah Sarana Peribadatan di Kabupaten Gresik ... 97
Tabel 64. Keadaan Perumahan Penduduk di Kabupaten Gresik... 97
Tabel 65. Luasan Areal Penggunaan Lahan di Kabupaten Gresik ... 98
Tabel 66. Luasan Tambak Di Kecamatan Sidayu, 2009 ... 98
Tabel 67. Nama dan Panjang Sungai/Saluran Tambak di Kecamatan Sidayu, Tahun 2010 ... 99
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya ix Tabel 69. Data Produksi Perikanan Tangkap Laut dan Perairan Umum di
Kecamatan Sidayu, 2009 ... 101
Tabel 70. Produksi Perikanan Tambak Air Payau Kecamatan Sidayu Tahun 2009 ... 102
Tabel 71. Produksi Perikanan Tambak Air Tawar di Kecamatan Sidayu Tahun 2009 ... 103
Tabel 72. Produksi Pengolahan Ikan di Kecamatan Sidayu Tahun 2010 ... 103
Tabel 73. Kelompok Pembudidaya Ikan Sektor di Kecamatan Sidayu ... 104
Tabel 74. Luas dan Jarak ke Ibukota di Masing-masing Desa di Kawasan Minapolitan ... 107
Tabel 75. Luas Areal, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Masing-masing Desa di Kawasan Minapolitan, tahun 2007 ... 109
Tabel 76. Jumlah KK berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Keluarga ... 109
Tabel 77. Penggunaan Lahan di Kecamatan Pemayung Tahun 2007 ... 110
Tabel 78. Perkembangan Poduksi Perikanan Kecamatan Pemayung ... 111
Tabel 79. Penduduk di Kotawaringin Barat berdasarkan budidaya yang dilakukan (orang) ... 115
Tabel 80. Jumlah luasan lahan pada setiap kecamatan dan tiap tipologi budidaya di Kabupaten Kotawaringin Barat (unit/hektar) ... 116
Tabel 81. Produksi Ikan Berdasarkan Jenis Usaha di Kabupaten Kobar, Tahun 2005-2009 ... 119
Tabel 82. Jenis Hasil Produksi di Kabupaten Kotawaringin Barat ... 119
Tabel 83. Kondisi Permasalahan Aspek Generik di Kabupaten Malang ... 124
Tabel 84. Biaya untuk Usaha Pembenihan ... 126
Tabel 85. Kondisi Permasalahan Aspek Khusus ... 128
Tabel 86. Kondisi Permasalahan Aspek Generik di Kabupaten Boyolali... 129
Tabel 87. Kondisi Permasalahan Aspek Khusus di Kabupaten Boyolali ... 130
Tabel 88. Struktur Biaya Budidaya Lele Dalam Satu Siklus Produksi ... 131
Tabel 89. Kondisi Permasalahan Aspek Generik di Kabupaten Palangkaraya... 134
Tabel 90. Kondisi Permasalahan Aspek Khusus di Kotamadya Palangkaraya ... 135
Tabel 91. Biaya untuk Usaha Pembenihan ... 135
Tabel 92. Kondisi Permasalahan Aspek Generik ... 138
Tabel 93. Kondisi Permasalahan Aspek Khusus ... 139
Tabel 94. Struktur Biaya Budidaya Ikan Mas dan Nila di Kabupaten Gowa ... 141
Tabel 95. Kondisi Permasalahan Aspek Generik di Kabupaten Bogor ... 143
Tabel 96. Analisis usaha pembenihan ikan lele di Kabupaten Bogor ... 144
Tabel 97. Kondisi Permasalahan Aspek Khusus ... 145
Tabel 98. Kondisi Permasalahan Aspek Generik di Kabupaten Gresik ... 148
Tabel 99. Struktur Biaya Budidaya Udang dan Bandeng, 2010 ... 151
Tabel 100. Kondisi Permasalahan Aspek Khusus di Kabupaten Gresik ... 152
Tabel 101. Kondisi Permasalahan Aspek Generik di Kabupaten Jambi ... 154
Tabel 102. Kondisi Permasalahan Aspek Khusus di Kabupaten Jambi... 157
Tabel 103. Kondisi Permasalahan Aspek Generik di Kabupaten Kotawaringin Barat ... 159
Tabel 104. Kondisi Permasalahan Aspek Khusus di Kabupaten Kotawaringin Barat ... 160
Tabel 105. Evaluasi Kondisi eksisting, permasalahan dan Peluang Perbaikan Kelembagaan di Lokasi Minapolitan ... 166
Tabel 106. Evaluasi Kondisi eksisting, permasalahan dan Peluang Perbaikan Sumberdaya dan Tata Ruang di Lokasi Minapolitan ... 171
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya x Tabel 107. Evaluasi Kondisi eksisting, permasalahan dan Peluang Perbaikan Aspek
Masyarakat dan Bisnis di Lokasi Minapolitan... 176 Tabel 108. Evaluasi Kondisi eksisting, permasalahan dan Peluang Perbaikan Aspek
Kebijakan dan Governance di Lokasi Minapolitan ... 180 Tabel 109. Evaluasi Kondisi eksisting, permasalahan dan Peluang Perbaikan Aspek
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya xi DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. NOTULEN FOCUS GROUP DISSCUSION - MINAPOLITAN KABUPATEN
BOYOLALI; KAMIS, 23 SEPTEMBER 2010 ... 222
LAMPIRAN 2. NOTULEN FOCUS GROUP DISSCUSION- MINAPOLITAN KOTA PALANGKARAYA; KAMIS, 12 JULI 2010 ... 227
LAMPIRAN 3. NOTULEN FOCUS GROUP DISSCUSION- MINAPOLITAN KABUPATEN GOWA; KAMIS, 21OKTOBER 2010 ... 229
LAMPIRAN 4. NOTULEN FOCUS GROUP DISSCUSION- MINAPOLITAN KABUPATEN GRESIK; KAMIS, 14 OKTOBER 2010 ... 233
LAMPIRAN 5. NOTULENSI FOCUS GROUP DISSCUSION RISET PENGEMBANGAN MODEL MINAPOLITAN DI KABUPATEN BATANGHARI; BATANGHARI, 28 OKTOBER 2010 ... 236
LAMPIRAN 6. NOTULENSI FOCUS GROUP DISSCUSION RISET PENGEMBANGAN MODEL MINAPOLITAN DI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT; SELASA, 28 SEPTEMBER 2010 ... 238
LAMPIRAN 7. FOTO KABUPATEN MALANG ... 243
LAMPIRAN 8. FOTO KABUPATEN BOYOLALI ... 245
LAMPIRAN 9. FOTO KOTA PALANGKARAYA ... 246
LAMPIRAN 10. FOTO KABUPATEN GOWA ... 248
LAMPIRAN 11. FOTO KABUPATEN BOGOR ... 249
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya xii EXECUTIVE SUMMARY
Paradigma pembangunan saat ini yang lebih cenderung terbatas pada pembangunan perkotaan dan menyebabkan sedang bergeser ke paradigma yang mengedepankan kesetaraan kota dan desa. Sebagai contoh saat ini berkembang gagasan untuk memacu perkembangan desa-desa perikanan melalui perbaikan aspek-aspek pendukung yang diperlukan batasan tersebut adalah minapolitan. Melalui pengembangan minapolitan, diharapkan terjadi interaksi positif yang kuat pada sistem usaha antara pusat – pusat produksi dengan pusat kawasan, dimana produk perikanan diolah dan dipasarkan. Melalui pendekatan minapolitan diharapkan pula perkembangan yang terjadi pada sistem usaha akan mendorong akumulasi nilai tambah yang selanjutnya akan memperkuat sistem permukiman di desa perikanan.
Pengembangan kawasan minapolitan yang merupakan pengembangan berbasis kawasan perikanan tidak bisa terlepas dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. RTRWN yang merupakan matra spasial yang menjadi kesepakatan bersama. Karenanya RTRWN merupakan acuan penting bagi pengembangan kawasan minapolitan. Mengacu pada kesepakatan bersama tersebut semua pihak yang terkait dengan pengembangan kawasan minapolitan harus mengindahkan keberadaan RTRWN dalam desain-desain maupun implemantasinya. Hal ini penting dalam rangka mewujudkan pembangunan yang serasi, seimbang dan terintegrasi.
Konsep minapolitan yang diadopsi dari agropolitan belum teruji di lapangan, sedangkan yang diterapkan minapolitan masih terfokus pada sistem produksi/usaha. Dari konsep ini perlu disesuaikan dengan keragaman tipologi budidaya kolam, tambak dan keramba jaring apung (KJA). Untuk mendukung kebijakan KKP tersebut, maka perlu dilakukan kajian model minapolitan dengan tujuan menganalisis potensi, tingkat perkembangan kawasan dan keberlanjutan untuk pengembangan minapolitan budidaya, membangun model pengembangan kawasan minapolitan budidaya secara berkelanjutan, dan merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan kawasan minapolitan budidaya. Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi permasalahan penerapan minapolitan di lokasi-lokasi minapolitan (aspek-aspek generik dan aspek-aspek khusus, kesesuaian lokasi, maupun komoditas yang dikembangkan) sebagaimana dipersyaratkan dalam model konseptual
2. Menganalisis peluang perbaikan terkait dengan permasalahan aspek-aspek generik dan aspek khususu dalam penerapan program minapolitan
3. Melakukan sintesa perbaikan kerangka model konseptual minapolitan 4. Merumuskan model praktikal pengembangan minapolitan budidaya
Metoda penelitian yang digunakan antara lain: menggunakan metoda survey lapangan, dengan pendekatan expert consultation, Focus Group Discussions (FGD) dan critical analysis.
Secara actual, konsep model minapolitan yang telah di tetapkan dalam buku pedoman pelakasaan minapolitan sudah detail komprehensif. Dalam buku pedoman umum pengembangan kawasan minapolitan yang dikeluarkan oleh dirjen
budidaya-Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya xiii KKP dinyatakan bahwa tujuan pengembangan Kawasan Minapolitan adalah untuk mendorong percepatan pengembangan wilayah dengan kegiatan perikanan sebagai kegiatan utama dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong keterkaitan desa dan kota dan berkembangnya sistem dan usaha minabisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di Kawasan Minapolitan.
Dengan berkembangnya system dan usaha minabisnis maka di Kawasan Minapolitan tersebut tidak saja dibangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm nya yaitu usaha minabisnis hulu (pengadaan sarana perikanan) dan jasa penunjangnya, sehingga akan menggurangi kesenjangan kesejahteraan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selanjutnya , dinyatakan bahwa persyaratan Kawasan Minapolitan sebagai berikut:
1. Memiliki sumberdaya lahan/ perairan yang sesuai untuk pengembangan komoditas perikananan yang dapat dipasarkan atau telah memiliki pasar (komoditas unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditas unggulannya. Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya perikanan (on farm) tetapi juga kegiatan off farmnya; yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana perikanan (benih, pakan, obat-obatan dsb) kegiatan pengolahan hasil perikanan sampai dengan pemasaran hasil perikanan serta kegiatan penunjang (pasar hasil, industri pengolahan, minawisata dsb);
2. Memiliki berbagai sarana dan prasarana Minabisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan system dan usaha Minabisnis yaltu:
- Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil perikanan, pasar sarana perikanan (pakan, obat-obatan dsb), maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, cold storage dan prosessing hasil perikanan sebelum dipasarkan; - Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal
untuk kegiatan minabisnis;
- Memiliki kelembagaan pembudidaya ikan (kelompok UPP) yang dinamis dan terbuka pada inovasi baru, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Minabisnis (SPPM). Kelembagaan pembudidaya disamping sebagai pusat pembelajaran (pelatihan), juga diharapkan kelembagaan pembudidaya ikan dengan pembudidaya ikan disekitarnya merupakan Inti-Plasma dalam usaha minabisnis;
- Balai benih Ikan (BBI), Unit Pembenihan Rakyat (UPR), dsb yang berfungsi sebagai penyumpai induk dan penyedia benih untuk kelangsungan kegiatan budidaya ikan.
- Penyuluhan dan bimbingan teknologi minabisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah Kawasan Minapolitan;
- Jaringan jalan yang memadai dan aksesibilitas dengan daerah lainnya ser:ta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha perikanan yang effisien.
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya xiv 3. Memiliki sarana dan prasarana umum vang memadai seperti transportasi,
jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih dll;
4. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial/masyarakat yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan dll; 5. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya alam, kelestarian
sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa terjamin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi perikanan pada lokasi penelitian sangat mendukung untuk dilaksanakan pengembangan program minapolitan. Namun dari potensi yang ada, masih ada permasalahan dan kendala yang teridentifikasi dalam pelaksanaan mianpolitan. Permasalahan yang teridentifikasi aspek-aspek generik dan aspek khusus.
Dari berbagai permasalahan yang teridentifikasi aspek-aspek generik, aspek kunci yang sering muncul pada setiap lokasi yang dikaji adalah aspek kebijakan dan governance. Permasalahan ini bersumber pada kurangnya pemahaman pemerintah daerah tentang konsep minapolitan. Sehingga dalam implementasi program minapolitan tidak sejalan dengan yang dipersyaratkan model kawasan minapolitan. Permasalahan-permasalahan dalam aspek kebijakan dan governance antara lain: - Kurangnya koordinasi antar instansi baik pusat, pemerintah daerah dan
dinas-dinas terkait untuk mendukung minapolitan
- Kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam melaksanakan minapolitan. - Pemerintah daerah masih memahami bahwa minapolitan adalah proyek dari
pusat dan akan mendapatkan anggaran dari pusat.
- Penentuan lokasi minapolitan belum memenuhi persyaratan berdasarkan kondisi eksiting dan potensi yang ada (adanya sentra kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran oleh sebagian besar kelompok masyarakat setempat di lokasi minapolitan).
Aspek sumberdaya dan tata ruang merupakan kendala yang utama disamping aspek kebijakan. sebagian besar daerah belum memiliki RTRW, RPIJM, dan masterplan, bahkan ada yang belum menentukan lokasi sentra minpolis. Aspek lain yang mempengaruhi keberhasilan pelaksaan minapolitan adalah aspek kelembagaan: permasalahan kelembagaan yang teridentifikasi di beberapa lokasi penelitian adalah kelembagaan penyuluh perikanan. Penyuluh perikanan kurang aktif dan inisiatif dalam memberikan penyuluhan tentang teknologi baru. Masih kurangnya pembinaan dari dinas terkait dalam pengembangan iptekmas.
Di samping itu, dari sisi aspek masyarakat dan bisnis, terkait dengan teknis juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan minapolitan. Permasalahan yang paling selalu teridentifikasi di beberapa lokasi penelitian adalah: - Harga input pakan yang terlalu tinggi sehingga pembudidaya sering merugi
dalam
usaha budidaya
- Segmen pasar terbatas dan belum ada kebijakan pengembangan minabisnis beroreintasi industri dan berbahan baku lokal
- Permasalahan pemasaran pada saat produksi ikan booming harga ikan turun - Tingkat kematian ikan yang tinggi disebabkan lingkungan usaha kurang kondusif.
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya xv Hasil survey menunjukkan adanya tingkat kematian sampai 25-75 persen di kolam lele Boyolali dan di karamba sungai kota Palangkaraya.
Aspek lain yang mempengaruhi penerapan model minapolitan adalah aspek infrastruktur. Berdasarkan hasil penelitian, ketersediaan infrastruktur tertutama sarana pendukung usaha perikanan seperti:
- Sarana Balai benih ikan untuk memenuhi kebutuhan benih lokal
- Belum adanya pabrik pembuatan pakan sebagai sarana yang mendukung kegiatan produksi usaha budidaya ikan. Sarana input pabrik pakan yang masih belum tersedia di kawasan-kawasan minapolitan.
- Sarana pemasaran untuk penjualan ikan olahan (showroom/toko)
- Peralatan yang digunakan untuk industri pengolahan ikan masih berbasis tradisional, teknologi sederhana, punya kesan tidak higienis dan kurang tahan lama
Perspektif model aktual kawasan minapolitan disarankan tetap mengacu pada model yang sudah ada, namun perlu memperhatikan beberapa aspek yang menjadi permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan minapoltan. Selanjutnya memerlukan komitmen awal, konsistensi serta perubahan mendasar dalam pembangunan oleh pemerintah daerah. Jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi maka secara umum keberhasilan penerapan konsep minapolitan relatif kecil.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan yang ada, implementasi dan pentahapan pengembangan model minapolitan yang diimplementasikan: Tahap Pertama, Sosialisasi program minapolitan ke seluruh daerah yang telah ditetapkan dalam SK Ditjen budidaya menjadi kawasan minapolitan yang melibatkan kepala daerah, dinas-dinas terkait seperti dinas kelautan dan perikanan, dinas pekerjaan umum, dinas pendidikan, dinas kesehatan dan dinas terkait lainnya sehingga pemahaman tentang konsep minapolitan dapat diterima dengan jelas. Tahap Kedua adalah mengidentifikasi daerah-daerah yang paling siap dan memenuhi atau minimal mendekati persyaratan sebagaimana yang persyaratkan dalam model minapolitan. Sehingga dalam implementasinya permasalahan dan kendala yang ada dapat diminimalisir. Tahap Ketiga, melakukan uji coba model minapolitan di beberapa lokasi yang dinilai sudah siap dan memenuhi persyaratan minapolitan sebagai lokasi percontohan. Hal ini perlu dibarengi dengan komitmen pemerintah daerah untuk mendukung pengembangan minapolitan baik dalam hal APBD atau pendanaan lain yang sah. Sehingga dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Pada tahap ini perlu memperbaiki aspek-aspek yang menjadi kendala dalam implementasi model minapolitan yaitu; aspek kebijakan dan governance, aspek kelembagaan, aspek masyarakat dan minabisnis, aspek sumberdaya dan tata ruang dan aspek infrastruktur.
Implementasi dan pentahapan pengembangan model minapolitan yang diimplementasikan adalah: Tahap Pertama, Sosialisasi program minapolitan ke seluruh daerah yang telah ditetapkan dalam SK ditjen budidaya menjadi kawasan minapolitan. Tahap Kedua, selanjutnya adalah mengidentifikasi daerah-daerah yang paling siap dan memenuhi atau minimal mendekati persyaratan sebagaimana yang persyaratkan dalam model minapolitan. Tahap Ketiga, melakukan uji coba model
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya xvi minapolitan di beberapa lokasi yang dinilai sudah siap dan memenuhi persyaratan minapolitan sebagai lokasi percontohan. Tahap keempat, mengimplementasikan model minapolitan ke seluruh daerah yang telah ditetapkan menjadi kawasan minpolitan.
Arahan kebijakan yang disarankan adalah:
1. Sosialisasi program minapolitan ke seluruh daerah yang ditetapkan menjadin kawasan minapolitan
2. Mendorong pemerintah daerah yang telah ditetapkan sebagai lokasi minapolitan untuk membuat RTRW, RIPJM dan masterplan minapolitan
3. Memfasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan penyuluhan, permodalan dan pemasaran
5. Memfasilitasi program percepatan penguasaan teknologi dan ketrampilan wirausaha kepada masyarakat
Memfasilitasi program pembangunan infrastruktur terutama yang berhubungan langsung dengan produksi ikan antara lain sarana dan prasarana BBI.
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 1 I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah memunculkan pemikiran diberbagai kalangan untuk mendorong upaya-upaya pembangungan di kawasan perdesaan. Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa sejauh ini, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali terpisah dari perencanaan pengembangan kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kawasan kesejahteraan masyarakat perdesaan justru berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1998). Sementara menurut Saragih (2001), ketimpangan pembangunan dan pendapatan antara perkotaan dan perdesaan menimbulkan fenomena demografi yang kurang menguntungkan seperti menguatnya arus urbanisasi dan migrasi dari wilayah tertinggal ke wilayah maju. Wilayah perdesaan tetap tertinggal dan mengalami gejala menderita pelarian sumberdaya manusia (brain-drain) dan pelarian kapital (capital flight) yang apabila tidak dihentikan akan semakin memperbesar kesenjangan ekonomi dan pembangunan.
Paradigma pembangunan saat ini yang lebih cenderung terbatas pada pembangunan perkotaan dan menyebabkan sedang bergeser ke paradigma yang mengedepankan kesetaraan kota dan desa. Sebagai contoh saat ini berkembang gagasan untuk memacu perkembangan desa-desa perikanan melalui perbaikan aspek-aspek pendukung yang diperlukan batasan tersebut adalah minapolitan. Melalui pengembangan minapolitan, diharapkan terjadi interaksi positif yang kuat pada sistem usaha antara pusat – pusat produksi dengan pusat kawasan, dimana produk perikanan diolah dan dipasarkan. Melalui pendekatan minapolitan diharapkan pula perkembangan yang terjadi pada sistem usaha akan mendorong akumulasi nilai tambah yang selanjutnya akan memperkuat sistem permukiman di desa perikanan.
Pengembangan kawasan minapolitan yang merupakan pengembangan berbasis kawasan perikanan tidak bisa terlepas dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. RTRWN yang merupakan matra spasial yang menjadi kesepakatan bersama. Karenanya RTRWN merupakan acuan penting bagi pengembangan kawasan minapolitan. Mengacu pada kesepakatan bersama tersebut semua pihak yang terkait dengan pengembangan kawasan minapolitan harus mengindahkan keberadaan
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 2 RTRWN dalam desain-desain maupun implemantasinya. Hal ini penting dalam rangka mewujudkan pembangunan yang serasi, seimbang dan terintegrasi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan sebuah kebijakan dalam pengembangan kawasan minapolitan di perdesaan. Dengan mengadopsi konsep agropolitan, konsep minapolitan ini dimaksudkan untuk: meningkatkan keterkaitan desa dan kota, mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasiskan kerakyatan dan berkelanjutan, mempercepat industrialisasi di perdesaan, memberi peluang usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi arus urbanisasi dari desa ke kota, mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan, meningkatkan pendapatan asli daerah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di perdesaan. Pengembangan kawasan agropolitan/minapolitan pada dasarnya memiliki keungulan-keunggulan yaitu: 1) mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan, 2) menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dan perkotaan, dan 3) menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri (Rustiadi et al. 2006).
Penetapan minapolitan oleh KKP sangat relevan dengan visi misi KKP, yang memfokuskan pada peningkatan produksi dan kesejahteraan masyarakat. minapolitan dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan visi tersebut. Sebagai negara penghasil produk perikanan terbesar, ditetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombak penghasil produk perikanan. Hal ini disebabkan adanya ketersediaan lahan untuk budidaya yaitu laut, payau dan tawar, serta adanya keberhasilan spesies ikan komersial yang telah berhasil dibudidayakan. Disamping itu, penguasaan teknologi dan adanya ketersediaan sumber daya manusia dalam bidang perikanan dan juga peningkatan permintaan pasar domestik dan internasional terhadap produk perikanan. Pada tahun 2015 mendatang diproyeksikan terjadi kenaikan produksi perikanan budidaya sebesar 350% (www.dkp.go.id). Di sisi lain, relevansi konsep minapolitan terletak pada pencantuman aspek permukiman sebagai salah satu komponen intinya. Ini berarti bahwa konsep ini tidak hanya mengedepankan sisi produksi melainkan juga sisi peningkatan kesejahteraannya.
Konsep minapolitan yang diadopsi dari agropolitan belum teruji dilapangan, sedangkan yang diterapkan minapolitan masih terfokus pada sistem produksi/usaha. Dari konsep ini perlu disesuaikan dengan keragaman tipologi budidaya kolam, tambak dan keramba jaring apung (KJA). Untuk mendukung kebijakan KKP tersebut, maka perlu dilakukan kajian model minapolitan dengan tujuan menganalisis potensi,
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 3 tingkat perkembangan kawasan dan keberlanjutan untuk pengembangan minapolitan budidaya, membangun model pengembangan kawasan minapolitan budidaya secara berkelanjutan, dan merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan kawasan minapolitan budidaya.
1.2. TUJUAN
5. Mengidentifikasi permasalahan penerapan minapolitan di lokasi-lokasi minapolitan (aspek-aspek generik dan aspek-aspek khusus, kesesuaian lokasi, maupun komoditas yang dikembangkan) sebagaimana dipersyaratkan dalam model konseptual
6. Menganalisis peluang perbaikan terkait dengan permasalahan aspek-aspek generik dan aspek khususu dalam penerapan program minapolitan
7. Melakukan sintesa perbaikan kerangka model konseptual minapolitan 8. Merumuskan model praktikal pengembangan minapolitan budidaya
1.3. KELUARAN
1. Data dan Informasi tentang permasalahan penerapan minapolitan di lokasi-lokasi minapolitan (aspek-aspek generik dan aspek-aspek khusus, kesesuaian lokasi, maupun komoditas yang dikembangkan) sebagaimana dipersyaratkan dalam model konseptual
2. Data dan Informasi tentang peluang perbaikan model konsep terkait dengan permasalahan penerapan minapolitan
3. Rekomendasi kebijakan model konseptual minapolitan
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 4 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Wilayah Dan Pengembangan Wilayah
Wilayah menurut UU No. 24 tahun 1992 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional. Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2004) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentukbentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogeny adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogeny, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen).
Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh perwilayah homogen artificial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan (peta kemiskinan).
Karena pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut Rustiadi et al. (2001) wilayah homogen sangat bermanfaat dalam :
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 5 1. Penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung
utama yang ada (comparative advantage).
2. Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah.
Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah belakang (periphari/hinterland), yang mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al., 2001). Pusat wilayah berfungsi sebagai :
1. Tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); 2. Pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri; 3. Pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; dan
4. Lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu.
Sedangkan hinterland berfungsi sebagai:
1. Pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; 2. Pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi;
3. Daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur dan umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma. Secara historik, pertumbuhan pusat-pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik.
4. Penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis.
Konsep wilayah berikutnya adalah wilayah perencanaan yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun artificial dimana keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral. Namun cara klasifikasi konsep wilayah menurut Hagget et al. ini ternyata kurang mampu menjelaskan kompleksitas atau keragaman konsep-konsep wilayah yang ada. Menurut Rustiadi et al. (2001) pemahaman wilayah dapat dilihat dalam Gambar xx. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa wilayah merupakan suatu sistem yang mempunyai keterkaitan fungsional yang berbeda. Namun sayangnya pendekatan perencanaan dan pengelolaan wilayah seringkali lebih didasarkan pada aspek administrasi-politik daripada aspek keterkaitan wilayah sebagai sebuah sistem.
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 6 Gambar 1. Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah
Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi :
1) Fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik;
2) Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari
Wilayah Homogen Sistem/ Fungsional Perencanaan/ Pengelolaan Sistem Sederhana Sistem Komplek Nodal (pusat-hinterland) Desa - Kota Budidaya - Lindung Sistem Ekonomi: Agrolopitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem Ekologi : DAS, hutan, pesisir
Sistem Sosial Politik: Cagar budaya, wilayah etnik
Umumnya disusun/dikembangkan berdasarkan :
Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING dan sebagainya Administrasi-politik: propinsi,
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 7 satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan;
3) Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3)keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).
Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus globalisasi. Menurut Rondinelli (1985), ada tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: 1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole); 2) integrasi fungsi (functional integration), dan 3) pendekatan pendesentralisasian wilayah (decentralized territorial approaches).
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 8 Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).
Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah :
1. Sebagai growth center
Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi
perencanaan pengembangan kawasan.
Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).
2.2. Konsep Pengembangan Minapolitan
Salah satu bentuk pendekatan pengembangan perdesaan pesisir yang dapat diwujudkan adalah berupa pengembangan kemandirian pembangunan perdesaan pesisir yang didasarkan pada potensi wilayah desa-desa pesisir itu sendiri, dimana keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Berkaitan dengan bentuk inilah maka pendekatan minapolitan disarankan sebagai strategi pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampal 150.000 orang.
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 9 Berdasarkan isu dan permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi, pengembangan kawasan minapolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah (perdesaan). Kawasan minapolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat minapolitan dan desa-desa disekitarnya membentuk kawasan minapolitan. Minapolitan akan menjadi relevan dengan wilayah pengembangan perdesaan karena pada umumnya sektor perikanan dan pemanfaatan sumberdaya laut memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat pesisir. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan di desa-desa sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan pesisir akan mempunyal tanggung jawab penuh terhadap pekembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Disamping itu, kawasan minapolitan ini juga dicirikan dengan kawasan perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha minabisnis dipusat minapolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangun perikanan (minabisnis) diwilayah sekitarnya.
Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan minapolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian, tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan.
Disamping itu pentingnya pengembangan kawasan minapolitan di Indonesia diindikasikan oleh ketersediaan lahan perikanan dan tenaga kerja yang murah, telah terbentuknya kemampuan (skill) dan pengetahuan (knowledge) di sebagian besar pembudidaya, jaringan (network) terhadap sektor hulu dan hilir yang sudah terjadi, dan kesiapan pranata (institusi). Kondisi ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) Indonesia dibandingkan dengan negara lain karena kondisi ini sangat sulit untuk ditiru (coping) (Porter, 1998). Lebih jauh lagi, mengingat pengembangan kawasan minapolitan ini menggunakan potensi lokal, maka konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial lokal (local social culture).
Secara lebih luas, pengembangan kawasan minapolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 10 keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal dan manusia. Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan minapolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud.
Dalam konteks pengembangan model minapolitan terdapat tiga isu utama yang perlu mendapat perhatian: (1) akses terhadap sumberdaya, (2) kewenangan administratif dari tingkat pusat kepada pemerintah daerah, dan (3) perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan daerah untuk lebih mendukung diversifikasi produk perikanan dan kelautan.
Tingkat pengembangan minapolitan cukup dikembangkan dalam skala Kabupaten, karena dengan luasan atau skala kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut yakni : (1) Akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat perdesaan untuk menjangkau kota; (2) Cukup luas untuk meningkatkan atau mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk untuk mengatasi keterbatasan keterbatasan pengembangan desa sebagai unit ekonomi; dan (3) Alih transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge spillovers) akan mudah diinkorporasikan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan.
Dari berbagai altematif model pembangunan, konsep minapolitan juga dapat dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalah ketimpangan perdesaan dan perkotaan sebagaimana disampaikan di pendahuluan sebelumnya, hal ini karena minapolitan memiliki karaktersitik :
Mendorong desentralisasi dan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, sehingga mendorong penciptaan urbanisasi (way of life) dalam arti positif;
Menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti migrasi desa kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan Ialu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya alam, pemiskinan desa dan lain sebagainya.
Konsep Minapolitan (kota dengan basis ekonomi sub sektor perikanan) merupakan salah satu upaya meningkatkan percepatan pembangunan perdesaan melalui pelaksanaan pembangunan pada desa-desa pusat pertumbuhan. Kawasan minapolitan adalah kota perikanan yang direncanakan mampu tumbuh dan berkembang sejalan dengan komoditas unggulan dan usaha agribisnis yang dikembangkan.
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 11 Dalam perkembangannya kawasan minapolitan diharapkan mampu melayani, mendorong dan menarik kegiatan pembangunan agribisnis di wilayah hinterlandnya. Struktur tata ruang kawasan minapolitan terdiri dari kota tani (desa dengan fasilitas kota) sebagai pusat kegiatan agroindustri (hilir), pusat pelayanan agribisnis, serta kawasan desa pemasok bahan baku yang berupa produksi primer.
Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip : integrasi, efisien, kualitas, dan akselerasi (Menteri Kelautan dan Perikanan, 2010). Sedangkan menurut Hubeis dan Wasmana (2010), pengertian minapolitan adalah kawasan pengembangan ekonomi berbasis perikanan yang dikembangkan secara bersama oleh pemerintah, swasta, dan organisasi non pemerintah untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi lokal dan penciptaan lapangan kerja pada wilayah yang ditetapkan.
Kawasan minapolitan adalah kawasan ekonomi yang terdiri dari sentra-sentra produksi dan perdagangan komoditas kelautan dan perikanan, jasa, perumahan, dan kegiatan lainnya yang saling terkait. Karakteristik kawasan minapolitan antara lain : (1) Kawasan terdiri dari sentra-sentra produksi dan pemasaran berbasis perikanan dan mempunyai multiplier effect tinggi terhadap perekonomian disekitarnya, (2) mempunyai keanekaragaman kegiatan ekonomi, produksi, perdagangan, jasa pelayanan kesehatan, dan sosial yang saling terkait, dan (3) mempunyai sarana dan prasarana memadai sebagai pendukung keanekaragaman aktivitas ekonomi sebagaimana layaknya sebuah kota.
Dengan demikian pendekatan Minapolitan ini diharapkan dapat mendorong penduduk perdesaan untuk tetap tinggal di perdesaan melalui investasi di wilayah perdesaan. Minapolitan juga diharapkan akan mampu mengantarkan tercapainya tujuan akhir dari upaya Pemerintah Pusat dalam menciptakan pemerintahan di daerah yang mandiri dan otonom.
2.3. Tujuan Dan Sasaran Pengembangan Kawasan Minapolitan
Tujuan program minapolitan adalah untuk (1) meningkatkan produktivitas dan kualitas, (2) meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya, dan pengolah ikan yang adil dan merata, (3) mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah (Menteri Kelautan dan Perikanan, 2010).
Sasaran pelaksanaan Minapolitan, menurut Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.12/Men/2010 Tentang Minapolitan meliputi:
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 12 1. Meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan skala
mikro dan kecil, antara lain berupa:
a. penghapusan dan/atau pengurangan beban biaya produksi, pengeluaran rumah tangga, dan pungutan liar;
b. pengembangan sistem produksi kelautan dan perikanan efisien untuk usaha mikro dan kecil;
c. penyediaan dan distribusi sarana produksi tepat guna dan murah bagi masyarakat;
d. pemberian bantuan teknis dan permodalan; dan/atau
e. pembangunan prasarana untuk mendukung sistem produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran produk kelautan dan perikanan.
2. Meningkatkan jumlah dan kualitas usaha kelautan dan perikanan skala menengah ke atas sehingga berdaya saing tinggi, antara lain berupa:
a. deregulasi usaha kelautan dan perikanan;
b. pemberian jaminan keamanan dan keberlanjutan usaha dan investasi;
c. penyelesaian hambatan usaha dan perdagangan (tarif dan non-tarif barriers); d. pengembangan prasarana untuk mendukung sistem produksi, pengolahan,
dan/atau pemasaran; dan
e. pengembangan sistem insentif dan disinsentif ekspor-impor produk kelautan dan perikanan.
3. Meningkatkan sektor kelautan dan perikanan menjadi penggerak ekonomi regional dan nasional, antara lain berupa:
a. pengembangan sistem ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah; b. pengembangan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan di daerah sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi lokal;
c. revitalisasi sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran sebagai penggerak ekonomi masyarakat; dan
d. Pemberdayaan kelompok usaha kelautan dan perikanan di sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran.
Sedangkan sasaran dalam pengembangan kawasan minapolitan secara umum adalah (Sulistiono, 2008):
a. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktifitas komoditi perikanan dan produk-produk olahannya secara efisien, menguntungkan dan berwawasan lingkungan;
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 13 c. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis perikanan meliputi penyedia input,
pengolah hasil, pemasaran dan penyedia jasa;
d. Pengembangan kelembagaan penyuluh pembangunan terpadu;
e. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung kegiatan agribisnis, umum dan kesejahteraan sosial.
2.4. Syarat-Syarat Dalam Usaha Pengembangan Kawasan Minapolitan
Karakteristik kawasan minapolitan meliputi:
1. Suatu kawasan ekonomi yang terdiri atas sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan kegiatan usaha lainnya, seperti jasa dan perdagangan;
2. Mempunyai sarana dan prasarana sebagai pendukung aktivitas ekonomi;
3. Menampung dan mempekerjakan sumberdaya manusia di dalam kawasan dan daerah sekitarnya; dan
4. Mempunyai dampak positif terhadap perekonomian di daerah sekitarnya.
Suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai kawasan minapolitan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. kesesuaian dengan Rencana Strategis, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan;
b. memiliki komoditas unggulan di bidang kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomi tinggi;
c. letak geografi kawasan yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan untuk pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan;
d. terdapat unit produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan jaringan usaha yang aktif berproduksi, mengolah dan/atau memasarkan yang terkonsentrasi di suatu lokasi dan mempunyai mata rantai produksi pengolahan, dan/atau pemasaran yang saling terkait;
e. tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap pasar, permodalan, sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran, keberadaan lembaga-lembaga usaha, dan fasilitas penyuluhan dan pelatihan;
f. kelayakan lingkungan diukur berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, potensi dampak negatif, dan potensi terjadinya kerusakan di lokasi di masa depan;
g. komitmen daerah, berupa kontribusi pembiayaan, personil, dan fasilitas pengelolaan dan pengembangan minapolitan;
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 14 h. keberadaan kelembagaan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
kelautan dan perikanan; dan
i. ketersediaan data dan informasi tentang kondisi dan potensi kawasan.
Beberapa persyaratan yang harus ada dalam usaha pengembangan kawasan minapolitan, antara lain (Menteri Kelautan dan Perikanan, 2010):
a. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan budidaya perikanan, telah mempunyai pasar serta berpotensi dikembangkan diversifikasi usaha dari komoditas unggulan;
b. Memiliki berbagai sarana dan prasarana minabisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis perikanan, yaitu pasar, lembaga keuangan, kelembagaan petani, penyuluh, balai pengembangan teknologi dan jaringan irigasi.
c. Memiliki sarana prasarana umum yang memadai yaitu jaringan transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih;
d. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial yang memadai seperti pendidikan, kesehatan.
e. Kelestarian lingkungan hidup terjaga dengan baik.
Sedangkan persyaratan dalam usaha pengembangan kawasan minapolitan antara lain (Sulistiono,2008):
1. Komitmen Daerah, komitmen daerah melalui rencana strategis, alokasi dana melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan penetapan tata ruang yang seimbang sesuai dengan renstra dan tata ruang, ditetapkan Bupati/Walikota, dan alokasi APBD seimbang.
2. Komoditas Unggulan, seperti udang, patin, lele, tuna, dam rumput laut 3. Lokasi strategis dan secara alami cocok untuk usaha perikanan
4. Sistem dan Mata Rantai Produksi Hulu dan Hilir; keberadaan sentra produksi yang aktif berproduksi seperti lahan budidaya dan pelabuhan perikanan.
5. Fasilitas Pendukung; keberadaan sarana dan prasarana seperti jalan, pengairan, listrik, dan lainnya.
6. Kelayakan Lingkungan; kondisi lingkungan baik dan tidak merusak.
Dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan secara terintegrasi, perlu disusun masterplan pengembangan kawasan minapolitan yang akan menjadi Acuan penyusunan program pengembangan. Adapun muatan yang terkandung didalamnya adalah:
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 15 a. Pusat perdagangan dan transportasi perikanan (aquacultural trade/transport
center).
b. Penyedia jasa pendukung perikanan (aquacultural support services).
c. Pasar konsumen produk non-perikanan (non aquacultural consumers market). d. Pusat industry perikanan (aqua based industry).
e. Penyedia pekerjaan non perikanan (non-aquacultural employment).
f. Pusat minapolitan dan hinterlandnya terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten).
2. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai (Douglas, 1986):
b. Pusat produksi perikanan (aquacultural production). c. Intensifikasi perikanan (aquacultural intensification).
d. Pusat pendapatan perdesaan da permintaan untuk barang-barang dan jasa non-perikanan (rural income and demand for non-aquacultural goods and services). e. Produksi ikan siap jual dan diversifikasi perikanan (cash fish production and
aquacultural diversification). 3. Penetapan sektor unggulan:
a. Merupakan sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.
b. Kegiatan minabisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan lokal).
c. Mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.
4. Dukungan sistem infrastruktur
Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan minapolitan diantaranya: jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi).
5. Dukungan sistem kelembagaan.
a. Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan minapolitan yang merupakan bagian dari pemerintah daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat. b. Pengembangan sistem kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan
kawasan minapolitan.
Melalui keterkaitan tersebut, pusat minapolitan dan kawasan produksi perikanan berinteraksi satu sama lain secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan untuk meningkatkan niali tambah (value added) produksi
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 16 kawasan minapolitan sehingga pembangunan perdesaan dapat dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan.
2.5. Model Minapolitan Yang Sudah Ada
Pengertian model menurut Meadows (1982) dalam Pranoto (2005) adalah usaha memahami beberapa segi dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Model juga dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses, atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya. Untuk meyakinkan keakuratan model, penggambaran dari kenyataan dalam permodelan harus dicek dengan kondisi sebenarnya.
1. Minapolitan Perikanan Tangkap (MPT)
Pembangunan perikanan tangkap diarahkan pada keterpaduan antara basis produksi dengan unit pengolahan dan pemasaran produk perikanan. Dalam sasaran strategis Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2010-2014, keterpaduan usaha penangkapan ikan tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pengembangan suatu kawasan minapolitan dengan usaha yang bankable, memiliki komoditas unggulan dengan mutu terjamin,diproduksi dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan dilaksanakan secara terintegrasi. Pembangunan suatu kawasan minapolitan perikanan tangkap juga diharapkan bisa membantu pemecahan permasalahan pembangunan perikanan tangkap dan meningkatkan kesejahteraan nelayan dan penduduk wilayah pesisir yang berada dalam lingkup kawasan minapolitan.
Berdasarkan hal tersebut, maka Minapolitan Perikanan Tangkap didefenisikan sebagai kawasan pengembangan ekonomi wilayah berbasis usaha penangkapan ikan yang dikembangkan secara bersama oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah.
Konsep manajemen pengelolaan minapolitan perikanan tangkap didasarkan pada konsep membangun sistem manajemen perikanan tangkap yang berbasis pada kemudahan nelayan bekerja dan memotivasi mereka untuk meningkatkan pendapatan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Disamping itu, juga memberikan kemudahan nelayan dalam bekerja dengan penyediaan sarana dan prasarana (pelabuhan perikanan, galangan kapal, bengkel, SPDN/SPBN, Unit Pengolahan Ikan, Pabrik Es dan Unit Pemasaran) di sentra-sentra nelayan,
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 17 penyederhanaan perijinan dan penyediaan permodalan (/www.pupi.dkp.go.id/ index.php?option=com_content &view=article&id=95&Itemid =103).
Minapolitan Perikanan Tangkap (MPT) merupakan kawasan pengembangan ekonomi berbasis perikanan tangkap. Jenis usaha perikanan tangkap meliputi perikanan laut dan perairan umum. Strategi pengembangan MPT antara lain :
1. Penyediaan Sarana dan prasarana pendukung pengembangan usaha 2. Consumer oriented melalui sistem keterkaitan produsen dan konsumen
3. Berorientasi pada kekuatan pasar (market driven) melalui pemberdayaan masyarakat
4. Komoditas yang akan dikembangkan bersifat export base bukan raw base. Pola pikir pembentukan minapolitan usaha perikanan tangkap disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Pola Pikir Pembentukan Minapolitan Usaha Perikanan Tangkap
(Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009)
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010), kriteria pembentukan minapolitan berbasis perikanan tangkap antara lain :
1. Memiliki potensi untuk mengembangkan komoditas unggulan serta informasi budidaya ikan yang terukur dengan baik.
2. Tersedia infrastruktur awal (pelabuhan perikanan).
3. Telah ditetapkan melalui rencana umum tata ruang (RUTR) menjadi zona pengembangan perikanan (Gambar 2).
Pengembangan Model Minapolitan Berbasis Budidaya 18 4. Terdapat unit-unit usaha yang telah berjalan dengan baik serta berpotensi
untuk pengembangan usaha baru.
5. Tersedia lahan yang dapat dikembangkan disekitar daerah pelabuhan perikanan maupun sentra kegiatan nelayan.
6. Tersedia suplai BBM, listrik, dan air bersih yang memadai.
7. Terdapat lembaga ekonomi berbasis kerakyatan seperti KUB, TPI, dan atau koperasi perikanan.
8. Diusulkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota dengan rekomendasi pemda Kabupaten/Kota dan Pemda Provinsi serta lolos seleksi dari tim seleksi.
Gambar 3. Tahapan Pembangunan & Pengembangan Minapolitan Perikanan Tangkap
(Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009)
Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor: 4885/DPT.5/ M.210.D5/XI/09 Tentang Penetapan Kawasan Minapolitan Perikanan Tangkap Tanggal 17 November 2009, berikut ini usulan calon lokasi MPT, sebagai berikut : a. SUMATERA BARAT: 1) PPS Bungus, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang
dan 2) Kawasan Pelabuhan Perikanan Carocok Terusan, Kec. Koto XI Terusan, Kab. Pesisir Selatan.
b. JAWA BARAT: 1) PPI Karangsong atau PPI Eretan Wetan, Kab. Indramayu, 2) PPI PPN Pelabuhanratu atau PPI Cisolok, Kab. Sukabumi dan 3) PPI Pamayangsari, Desa CikawungGading Kecamatan Cipatujah, Kab Tasikmalaya.