53
JENIS UPAYA, SARANA PRASARANA, DAN KETERLIBATAN INSTANSI DALAM PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO
LEPTOSPIROSIS DI KOTA SEMARANG
Maknunah Setyo Wati *), Mateus Sakundarno Adi**), Lintang Dian Saraswati**) *)Mahasiswa Peminatan EPID Kesehatan Masyarakat, FKM UNDIP Semarang
**) Dosen Peminatan EPID Kesehatan Masyarakat, FKM UNDIP Semarang E-mail : maknunahsetyowati@gmail.com
ABSTRACT
Leptospirosis caused by infection leptospira bacteria, attacking animals and human. Leptospirosis disease is influenced by three main factors: host, agent, and an environment. Leptospirosis cases may rise during heavy rainfall and the environment that many puddles, like the city of Semarang. The purpose of this study to describe the prevention of risk factors leptospirosis in the city of Semarang. This type of research is descriptive qualitative with interview method. The research sample as many as 37 Primary Health Care and 1 Health Department, using total sampling technique. The results showed that all surveillance officer in Primary Health Care implement prevention risk factors for leptospirosis is counseling. Most of the Primary Health Care in Semarang City has a diagnostic tool is RDT and tools to catch rats is live trap. All surveillance officers in Semarang City collaboration with stakeholder region and health organization when there are cases of leptospirosis. It is advisable to health Department in order to distribute tool catching mice and RDT to all Primary Health Care.
Keywords: prevention of risk factor leptospirosis, RDT, live trap
PENDAHULUAN
Leptospirosis termasuk penyakit menular zoonosis disebabkan oleh Leptospira interogans, golongan spirochaeta yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia.(1) Faktor risiko leptospirosis adalah kondisi individu (seperti riwayat, usia, jenis kelamin, dan keluarga) dan kebiasaan (seperti aktivitas sehari-hari) yang lebih umum di antara orang yang terkena leptospirosis di bandingkan orang yang tidak terjangkit leptospirosis. Penyakit dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu agen, host, dan lingkungan fisik.(2)
Negara tropis terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan
hewan yang terinfeksi karena kontaminasi yang tersebar luas di lingkungan. Kejadian leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan yang banyak genangan air, seperti Kota Semarang.(3) Keberadaan tikus merupakan faktor dominan yang paling berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis di Semarang.(4) Di Kota Semarang ada hubungan antara keberadaan sampah, keberadaan tikus, dan keberadaan air yang menggenang dengan kejadian leptospirosis.(5) Penyuluhan leptospirosis berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan praktik
54 masyarakat dalam pencegahan leptospirosis di Kota Semarang.(6)
Belum ada penelitian yang menggambarkan upaya pelaksanaan pengendalian faktor risiko dari segi Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Sementara itu Kota Semarang merupakan wilayah dengan faktor risiko leptospirosis yang tinggi dengan bukti Kota Semarang selalu menempati peringkat pertama kejadian leptospirosis di Jawa Tengah.
Leptospirosis di Kota Semarang sebagian besar terjadi di wilayah padat penduduk dengan mobilitas yang tinggi, daerah rawan banjir dan daerah pesisir pantai. Hal ini terjadi karena kondisi geografis Kota Semarang yang merupakan kawasan pantai dengan pemukiman padat penduduk. Hal tersebut menjadi faktor risiko penyebab kasus leptospirosis. Oleh sebab itu, penting untuk memfokuskan data faktor risiko ke dalam kegiatan pengendalian dan pencegahan penyakit leptospirosis.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan upaya pelaksanaan pengendalian faktor risiko leptospirosis di Kota Semarang. Variabel yang akan diteliti yaitu jenis pengendalian faktor risiko leptospirosis, keberadaan sarana prasarana, dan keterlibatan instansi lain dalam pengendalian faktor risiko leptospirosis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berjenis penelitian deskriptif kualitatif dengan metode wawancara. Populasi pada penelitian ini adalah semua petugas surveilans leptospirosis di Kota Semarang. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Sampel penelitian ini adalah 37 petugas surveilans di 37 Puskesmas
dan 1 petugas surveilans Dinas Kesehatan Kota Semarang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Jenis Pengendalian Faktor
Risiko Leptospirosis
Tabel 1 Jenis Upaya Pengendalian Faktor Risiko Leptospirosis Di Kota Semarang
Soal Jawab Puskesmas DKK f % f Jenis upaya Penyuluhan 37 100,0 0 Trapping tikus 6 16,2 0 Advokasi 1 2,7 0 Koordinasi 1 2,7 1 Pertemuan 1 2,7 1 Pembagian APD 2 5,4 0 Rapid tes 1 2,7 0 Kerja bakti 1 2,7 0 Ceramah 0 0,0 1 Pembagian RDT 0 0,0 1 Pembagian surat, buku 0 0,0 1 Surveilans 0 0,0 1 Berdasarkan Tabel 1 semua
petugas surveilans Puskesmas melakukan penyuluhan sebagai tindakan pengendalian leptospirosis.
Pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer yaitu perlindungan terhadap orang sehat agar terhindar dari leptospirosis, dan pencegahan sekunder sasarannya orang yang sudah sakit leptospirosis, agar terhindar dari komplikasi yang akan menyebabkan kematian.(2)
Di Kota Semarang, jenis pengendalian primer untuk leptospirosis yang dilakukan oleh Puskesmas berupa penyuluhan kepada kader kesehatan dalam kegiatan pertemuan kader bulanan, materi penyuluhan
55 tentang leptospirosis diberikan ketika pada bulan tersebut terjadi kasus leptospirosis, atau saat musim hujan. Kegiatan lainnya berupa advokasi, pertemuan, pembagian APD, dan kerja bakti. Dinas Kesehatan melaksanakan kegiatan rutin berupa pembagian RDT ke Puskesmas yang berisiko tinggi, Ceramah Klinis, pembagian surat edaran, pembagian buku pedoman, dan melaksanakan survailans.
Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat berperan aktif di dalam penanggulangan leptospirosis, terutama dalam higenie perorangan dan perbaikan sanitasi lingkungan agar tidak menjadi habitat tikus.(7) Adanya tikus didalam rumah mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terkena leptospirosis.(2)
Petugas surveilans Puskesmas melaksanakan penyuluhan kepada pasien/ keluarganya yang diberikan bersamaan dengan pelaksanaan Penyelidikan Epidemiologi (PE). Ketika PE, selain melaksankaan penyuluhan, Puskesmas juga melaksanakan Trapping tikus untuk mengetahui jumlah kepadatan di wilayah kasus. Puskesmas juga melaksanakan pemeriksaan pasien yang datang ke Puskesmas dengan gejala yang dicurigai leptospirosis menggunakan Rapid Diagnostik Test (RDT) sebagai pencegahan dini leptospirosis di masyarakat.
2. Keberadaan Sarana
Pengendalian Faktor Risiko
Leptospirosis
Tabel 2 Keberadaan Sarana Pengendalian Faktor Risiko Leptospirosis Di Kota Semarang
Pertanyaan Jawab Puskesmas DKK f % f Keberadaan leptotek Ada 23 62,2 1 Tidak 14 37,8 0 Keberadaan live trap Ada 21 56,7 1 Tidak 16 43,3 0 Berdasarkan Tabel 2,
sebagian besar Puskesmas sudah memiliki sarana pengendalian faktor risiko leptospirosis.
Di Kota Semarang, alat diagnosis leptospirosis yang digunakan berupa RDT yang bermanfaat sebagai diagnosis awal penyakit leptospirosis yang tersedia di Puskesmas atau Rumah Sakit. Alat penangkapan tikus yang digunakan berupa live trap. Kementrian kesehatan berperan dengan membantu menyediakan Rapid Diagnostik Test (RDT) untuk pemeriksaan diagnosis cepat dalam jumlah sampel seperlunya.(2) Penangkapan tikus dilakukan dengan menggunakan perangkap tikus hidup (metal live trap) didalam rumah dan diluar rumah selama minimal 5 hari berturut-turut.(7)
Menurut Dinas Kesehatan Kota Semarang, belum semua Puskesmas memperoleh alat diagnosis dan alat penangkapan tikus, pembagian ini disesuaikan dengan kondisi di masing-masing Puskesmas. Puskesmas yang sering terjadi kasus akan menjadi prioritas Dinas Kesehatan untuk mendapatkan alat diagnosis leptotek. Alat diagnosis ini bermanfaat sebagai pemeriksaan kepada pasien yang datang ke Puskesmas dengan gejala yang mengarah ke leptospirosis. Ketika menemukan hal itu maka Puskesmas akan mengambil darah pasien sebanyak 5 ml dan
56 memeriksanya di laboratorium menggunakan RDT atau leptotek.
Ketika di wilayah kerja puskesmas terjadi kasus leptospriosis dan telah dilaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi, kemudian ditemukan banyak tikus di wilayah kasus maka Puskesmas akan membuat rekomendasi untuk dilaksanakan kegiatan penangkapan tikus. Kegiatan rekomendasi dicantumkan dalam formulir PE yang kemudian di serahkan kepada Dinas Kesehatan Kota Semarang. Dinas Kesehatan akan menindaklanjuti kegiatan dengan mengirim petugas
trapping tikus beserta alat
penangkapan tikus berupa live trap. Kegiatan trapping tikus dilaksanakan untuk mengetahui jumlah kepadatan tikus di wilayah kasus.
Selain untuk mengetahui kepadatan tikus, kegiatan ini juga bertujuan untuk mengedukasi warga bagaimana tindakan yang harus dilakukan ketika menemukan tikus yang mati. Ketika menemukan tikus yang mati, warga di harapkan untuk mengubur tikus ke dalam tanah. Diharapkan memegang bangkai tikus menggunakan APD, serta memastikan untuk mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan bangkai tikus.
3. Keterlibatan Instansi Lain
Dalam Upaya Pengendalian
Faktor Risiko Leptospirosis
Tabel 3 Keterlibatan Instansi dalam Pengendalian Faktor Risiko Lepospirosis di Kota Semarang
Soal Jawab Puskesmas DKK f % f Instansi yang terlibat? Pemangku wilayah 37 100,0 1 BPVRP Salatiga 2 5,4 0 Dinas Pertanian 1 2,7 1 Kader 37 100,0 0 BaLitbang Banjarnegara 2 5,4 0 Seksi kesra 1 3,7 1 mahasiswa 2 5,2 0 Darma wanita 0,0 1
Berdasarkan Tabel 3, semua petugas surveilans di Kota Semarang bekerjasama dengan pemangku wilayah dalam upaya pengendalian faktor risiko leptospirosis.
Koordinasi dan kerjasama lintas sektoral dan lintas program terkait dalam penanggulangan leptospirosis.(7) tokoh masyarakat, LSM, oragnisasi profesi dan media masa berprean aktif dalam penggerakan masyarakat dan anggotanya dalam pengendalian leptospirosis.(2)
Setiap kegiatan Puskesmas harus seijin pemangku wilayah, karena pemangku wilayah bertindak sebagai pemilik wilayah untuk perijinan dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh Puskesmas atau Dinas Kesehatan. Puskesmas bekerjasama dengan kader yang berfungsi sebagai penyalur informasi antara puskesmas dengan masyarakat secara umum. Pertemuan kader rutin dilaksanakan setiap 1 bulan 1 kali untuk membahas penyakit, tidak hanya penyakit leptospirosis namun juga yang sedang menjadi trend di wilayah setempat.
Pihak lain yang pernah terlibat dalam pengendalian faktor risiko leptospirosis oleh
57 Puskesmas antara lain Dinas Sosial Seksi Kesejahteraan Masyarakat, Balai Litbang Banjarnegara dan BPVRP Salatiga, Puskesmas juga melibatkan mahasiswa yang sedang magang di untuk melakukan penyuluhan kepada pengunjung Puskesmas sebagai salah satu upaya pengendalian leptospirosis.
Instansi yang terlibat dalam pengendalian leptospirosis menurut petugas surveilans Dinas Kesehatan Kota Semarang selain pemangku wilayah (RT, RW, Kecamatan, Kota) adalah Kesejahteraan Masyarakat Kota Semarang, Dinas Pertanian, PKK Kota Semarang dan Darma Wanita.
KESIMPULAN
1. Semua petugas surveilans Puskesmas melakukan penyuluhan sebagai tindakan pengendalian leptospirosis. 2. Sebagain besar Puskesmas di
Kota Semarang telah memiliki alat diagnosis leptospirosis RDT dan live trap.
3. Semua petugas surveilans di Kota Semarang bekerjasama dengan pemangku wilayah.
SARAN
Disarankan kepada Dinas Kesehatan agar membagian alat diagnosis dan alat trapping tikus ke semua Puksesmas tidak hanya untuk wilayah yang berisiko tinggi kasus leptospirosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarto. Penyakit Menular Di
Indonesia (Cacing Protozoa
Bakteri Virus Jamur). Jakarta: Sagung Seto; 2009.
2. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Petunjuk Teknis Pengendalian
Leptospirosis. III. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI; 2014. 3. Kusmiyati; Susan Noor M; dan
Supar. Leptospirosis pada Hewan
dan Manusia. Wartazoa.
2005;15(4):213-220.medpub.litbang.pertanian.go.i d/index.php/wartazoa/article/down load/820/829.
4. Ramadhani, Tri; Bambang Yunianto. Reservoir dan Kasus Leptospirosis di Wilayah Kejadian Luar Biasa Reservoir and Case of Leptospirosis in Outbreak Area. Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011;7(4):162-168.
5. Hidayanti R. Hubungan Antara
Kondisi Lingkungan dengan
Praktik Pencegahan dengan
Kejadian Leptospirosis di Kota
Semarang. Kesehatan
Masyarakat. 2014.
6. K.H Yuninda Fajar. Pengaruh
Penyuluhan leptospirosis
Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Prktik Masyarakat dalam
Pencegahan Leptospirosis di
Kelurahan Kuningan Kota
Semarang Tahun 2014.
Kesehatan Masyarakat. 2014. 7. Sub Direktorat Zoonosis, Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Diagnosis Dan
Pelaksanaan Kasus
Penanggulangan Leptospirsis Di Indonesia. (Widarso, Gasem H, Purba W, Suharto T, Genefa S, eds.). jakarta: Direktorat Jendral PPM-PL Depkes; 2003.