• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V Pengembangan Model

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab V Pengembangan Model"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Bab V Pengembangan Model

V.1 Batasan Model

Dari pemaparan permasalahan yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, dapat disarikan bahwa menurunnya kondisi ketersediaan airtanah di wilayah Cekungan Airtanah Bandung disebabkan karena :

1. Kebergantungan industri yang sangat besar terhadap airtanah untuk menunjang kegiatan produksinya.

2. Penerapan harga air baku airtanah yang sangat murah dalam perhitungan pajak airtanah.

3. Ketidakberdayaan sumberdaya air lainnya dalam memenuhi kebutuhan air; 4. Perubahan fungsi dan Tata Guna Lahan, khususnya daerah-daerah resapan

akibat pembangunan.

Dalam model yang dibuat dalam tesis ini, faktor yang masuk ke dalam cakupan analisis adalah dua faktor yang disebutkan pertama. Sedangkan dua faktor lainnya yaitu ketidakberdayaan alternatif sumberdaya air lain dalam memenuhi kebutuhan air domestik maupun industri dan perubahan fungsi dan tata guna lahan tidak masuk dalam cakupan analisis. Model yang dibuat di sini lebih difokuskan untuk menganalisis adanya kebijakan dalam pengelolaan airtanah seperti kebijakan pajak airtanah, yang implementasinya diharapkan dapat memperbaiki kondisi ketersediaan airtanah di wilayah CAT Bandung dengan mengatur dan mengubah perilaku konsumsi airtanah industri, dan kebijakan-kebijakan pengelolaan airtanah lainnya. Faktor lain seperti pengembangan sumberdaya air lain selain airtanah dan pengaturan kebijakan di bidang tata guna lahan dapat dikembangkan untuk memperkaya model ini dalam penelitian lebih lanjut.

Dalam model digunakan data-data yang meliputi variabel endogen, variabel eksogen dan variabel yang diabaikan karena berada di luar batasan model (omited). Variabel endogen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh interaksi dalam model yang tercakup dalam diagram lingkar umpan balik. Variabel eksogen adalah elemen yang mempengaruhi keadaan dan dinamika model namun tidak dipengaruhi oleh model.

(2)

Variabel ini bersifat konstan terhadap perubahan waktu seperti laju pertumbuhan penduduk, kapasitas wilayah, dsb. Variabel yang dianggap berada di luar batas model tidak dapat dipengaruhi maupun mempengaruhi model, variabel ini dimaksudkan untuk membatasi bahasan masalah, seperti kondisi mikro ekonomi, daur hidrologi, dsb. Variabel endogenus dapat diubah menjadi variabel eksogenus dalam merancang skenario. Variabel tersebut selalu berubah terhadap waktu selama simulasi berlangsung. Data yang dipakai merupakan data empiris yang sesuai dengan data pada saat simulasi dimulai.

Indikator keberhasilan suatu kebijakan dalam model ini difokuskan pada adanya peningkatan/pemulihan kondisi ketersediaan airtanah di wilayah CAT Bandung.

V.2 Gambaran Umum Model

Untuk mengetahui pengaruh besaran pajak airtanah di wilayah Cekungan Airtanah Bandung terhadap ketersediaan airtanah, perlu dibangun suatu hubungan struktural yang menggambarkan perilaku wilayah tersebut.

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengembangkan suatu model permasalahan ketersediaan airtanah dengan variabel-variabel yang terkait dalam sistem ketersediaan airtanah tersebut. Setelah model dibuat untuk menggambarkan kondisi permasalahan di wilayah studi, kemudian perilaku tiap variabel dikaji dan kemudian dilakukan simulasi untuk mengetahui perilaku variabel jika dilakukan intervensi. Dari hasil simulasi inilah rekomendasi-rekomendasi diusulkan sebagai analisis kebijakan.

Model global pengaruh besaran pajak airtanah terhadap pemulihan ketersediaan airtanah dapat dilihat pada Gambar V.1. Adapun arti simbol-simbol dan anak panah serta penggunaannya dapat dilihat pada Lampiran.

Dalam penelitian ini sistem dibagi ke dalam 5 sub model, yaitu Sub model Ketersediaan Airtanah, Sub model Pertumbuhan penduduk, sub model pertumbuhan industri, Sub model Tataguna Lahan dan Sub model Pajak airtanah. Ketiga sub

(3)

model tersebut berinteraksi dalam sistem Cekungan Airtanah Bandung. Interaksi semua sub model ini akan berupa proses pembangunan dengan tolok ukur ketersediaan airtanah. Dalam penyusunan model ini variabel-variabel sistem diarahkan untuk membentuk suatu model pemulihan kondisi ketersediaan airtanah dengan pengaruh besaran pajak airtanah.

Gambar V.1 Causal Loop Diagram Model Pengaruh Besaran Pajak Airtanah terhadap Ketersediaan Airtanah

Pendekatan yang dilakukan dalam model ini adalah mengaitkan aspek perkembangan pembangunan industri dengan ketersediaan air, perkembangan populasi dengan ketersediaan air, perkembangan pembangunan lahan terhadap ketersediaan air dan pajak airtanah terhadap ketersediaan air.

Ketersediaan airtanah yang dimaksudkan di sini adalah cadangan airtanah di wilayah Cekungan Airtanah Bandung yang di dalamnya sedang terjadi proses pembangunan, proses perubahan tataguna lahan dari hutan menjadi wilayah pemukiman, pertanian, dan industri. Oleh karena itu wilayah cekungan dalam kajian model diasumsikan

(4)

memiliki kawasan hutan, daerah pertanian, wilayah industri, pemukiman dan segala infrastrukturnya.

Pada Causal Loop Diagram model di atas digambarkan bahwa ketersediaan airtanah dalam hal ini dinyatakan dengan Cadangan airtanah akan dipengaruhi oleh eksploitasi airtanah sebagai output dan laju pengisian airtanah sebagai input. Dalam model ini, eksploitasi airtanah dianggap hanya berasal dari konsumsi air domestik dan konsumsi air industri.

Dinamika penduduk akan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air untuk melangsungkan kehidupan dan memberikan kenyamanan. Untuk itu, jumlah konsumsi air domestik akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah penduduk, dimana semakin banyak jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan air bersihnya. Dalam hubungan lain dapat dikatakan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk akan mengurangi jumlah cadangan airtanah untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya.

Di sisi lain, industri sebagai sektor terbesar pengguna air tanah akan memberikan pengaruh negatif terhadap cadangan airtanah. Sebagaimana diketahui bahwa air merupakan salah satu faktor produksi yang sangat vital bagi suatu industri. Peningkatan jumlah industri yang digambarkan dengan peningkatan jumlah investasi akan menyebabkan peningkatan kebutuhan akan pemenuhan air bagi proses produksinya, baik sebagai faktor utama produksi maupun sebagai faktor penunjang produksi. Kebutuhan air ini akan dipenuhi dengan memanfaatkan airtanah baik secara legal melalui prosedur perijinan maupun secara ilegal. Pemanfatan airtanah secara legal akan tercatat sebagai konsumsi airtanah industri. Besarnya konsumsi airtanah industri ini akan menentukan jumlah pajak airtanah yang harus dibayarkan oleh pihak industri. Secara langsung, diperoleh hubungan bahwa cadangan airtanah akan mendorong pertumbuhan investasi, dan sebaliknya pertumbuhan industri akan mengurangi cadangan airtanah.

(5)

Pajak air tanah sebagai salah satu upaya pemerintah dalam rangka penyediaan dana pemulihan airtanah diasumsikan dialokasikan untuk pembangunan sumur-sumur resapan dalam. Sumur-sumur resapan dalam ini diharapkan akan menambah input cadangan airtanah. Jumlah pajak airtanah yang dibayarkan oleh pihak industri sangat ditentukan oleh konsumsi airtanah industri. Untuk itu, dalam upaya pemulihan kondisi ketersediaan airtanah di wilayah studi, implementasi pajak airtanah ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai "alat" untuk membatasi perilaku konsumsi airtanah industri, di mana semakin besar konsumsi airtanah oleh industri, maka akan semakin besar pula jumlah pajak yang harus dibayarkan (kontribusi positif (+)). Mengingat pihak industri memiliki keterbatasan kemampuan dalam membayar (willingness to pay), maka pihak industri didorong untuk dapat membatasi, berhemat dalam penggunaan airtanah atau mensubstitusi penggunaan airtanah dengan sumberdaya air lainnya agar mengurangi biaya pajak dan dalam hal ini berarti mengurangi biaya produksi. Di sini besaran harga airtanah sangat penting agar dapat bersaing dengan "harga" sumberdaya air lainnya, dan pada akhirnya pihak industri menjadikan airtanah sebagai alternatif terakhir dalam memenuhi kebutuhan airnya. Pembangunan sumur-sumur resapan dalam yang dibiayai dari pajak airtanah, akan menambah input cadangan airtanah. Dalam hal ini pajak airtanah memberikan kontribusi positif (+) terhadap cadangan airtanah, dan sebaliknya, secara logika, ketika cadangan airtanah semakin membaik akan menurunkan kebutuhan biaya pemulihan, yaitu pajak airtanah (-).

Input terhadap cadangan airtanah berasal dari hujan. Air hujan yang turun ke permukaan bumi, sebagian akan mengalir di atas daratan dan menjadi air limpasan (run off) dan sebagian lagi akan merembes masuk ke dalam tanah (infiltrasi) sebagai potensi input cadangan airtanah. Proses pengisian airtanah akan membutuhkan waktu atau delay yang lamanya tergantung dari kondisi geologis wilayah dan tingkat lapisan akifer yang akan diisi.

Pengisian airtanah ini juga sangat dipengaruhi oleh jumlah lahan terbuka yang tersedia. Di sini lahan terbuka memiliki peran sebagai daerah yang dapat meresapkan

(6)

air hujan. Lahan terbuka dalam model ini terdiri dari lahan hutan, lahan bera dan lahan sawah, yang masing-masing memiliki kemampuan untuk meresapkan air hujan (koefisien resapan) yang berbeda sesuai dengan karakteristik dan tata guna tanahnya.

Seiring dengan perkembangan pembangunan terjadi pegeseran fungi lahan. Dinamika konversi lahan ini ditentukan oleh dinamika jumlah industri dan jumlah penduduk yang membutuhkan lahan. Pergeseran fungsi lahan tersebut antara lain pergeseran fungsi lahan hutan menjadi lahan kering, lahan sawah menjadi lahan kering, lahan kering menjadi lahan terbangun, dan lahan sawah menjadi lahan terbangun. Yang dimaksud dengan lahan terbangun di sini meliputi lahan untuk pemukiman, industri, fasilitas sosial dan infrastrukturnya. Pergeseran fungsi lahan terbuka menjadi lahan terbangun akan menurunkan jumlah air hujan yang dapat diresapkan, dan sebaliknya akan meningkatkan jumlah air limpasan. Keadaan ini tentunya akan menurunkan jumlah input cadangan air tanah.

Besar debit pengisian airtanah juga akan berpengaruh terhadap base flow.

V.3 Struktur dan Perilaku Model

Diagram alir dari masing-masing sub model dibentuk dan dikembangkan dari struktur umpan balik yang telah dipaparkan sebelumnya dalam model global. Diagram alir ini telah dilengkapi dengan persamaan matematis yang menghubungkan seluruh variabel, sehingga dapat disimulasi dengan bantuan software Powersim Constructor.

Diagram Alir Sub Model Ketersediaan Airtanah

Cekungan airtanah merupakan suatu sistem DAS yang menjadi bagian dari siklus hidrologi. Sebagai bagian dari sistem hidrologis, wilayah cekungan sebagai sistem DAS menerima air dari hujan. Air dari hujan tersebut kemudian akan mengalami infiltrasi ke dalam tanah dan lebih dalam mengalami perkolasi ke dalam lapisan airtanah dalam. Sebagian dari air hujan yang tidak menyerap akan mengalir menuju sungai-sungai dan sebagian akan melimpas/terbuang percuma seperti banjir sebagai debit yang tidak tertampung sungai dan tidak menyerap ke dalam tanah.

(7)

Sumber-sumber air yang ada di DAS terdiri dari sungai, airtanah dalam dan airtanah dangkal yang mengalami eksploitasi untuk keperluan domestik, pertanian, industri dan kota/jasa. Dalam model ini sistem hanya memodelkan sumber airtanah sebagai suatu sistem yang mencakup airtanah dalam dan airtanah dangkal.

Dalam model ini diasumsikan pula bahwa airtanah hanya dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan air domestik dan untuk memenuhi kebutuhan air industri. Untuk memenuhi kebutuhan air penduduk, eksploitasi airtanah dilakukan oleh penduduk malalui sumur-sumur airtanah dangkal maupun pengambilan airtanah dalam yang dilakukan oleh PDAM yaitu melalui sumur-sumur penyediaan air bersih PDAM. Besarnya konsumsi air domestik sangat ditentukan oleh besarnya kebutuhan. Besarnya kebutuhan air domestik ditentukan oleh jumlah populasi dan kebutuhan air per orang/tahun. Sedangkan jumlah pengambilan airtanah yang dilakukan oleh PDAM dianggap konstan, karena selain fraksi pengambilan airtanah oleh PDAM sangat kecil juga disebabkan karena PDAM dikategorikan sebagai pengguna airtanah untuk kepentingan sosial sehingga berada di luar obyek pajak airtanah, sehingga dianggap tidak terlalu mempengaruhi model secara keseluruhan. Konsumsi air oleh sektor industri ditentukan oleh kebutuhannya yang tergantung dari jumlah industri dan besarnya kebutuhan air per industri per tahun. Pada kenyataannya jumlah air untuk kebutuhan air industri tidak sepenuhnya dapat terpenuhi. Hal ini menimbulkan gap yang salah satunya menimbulkan terjadinya pencurian air. Jumlah pengambilan airtanah ilegal yang dilakukan oleh pihak industri cukup signifikan, sehingga perlu digambarkan dalam model sebagai variabel endogen, yaitu pengambilan_AT_ilegal.

Kondisi air tanah (ketersediaan air tanah) mempengaruhi prospek investasi dan pertumbuhan penduduk, dalam hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah konsumsi air domestik maupun industri. Semakin berkurang ketersediaan air tanah (dinyatakan dalam rasio ketersediaan) akan memberikan efek terhadap menurunnya prospek investasi dan pertumbuhan penduduk. Dalam kondisi mencukupi, ketersediaan air tanah akan mendorong investasi dan pertumbuhan penduduk. Dalam kondisi defisit,

(8)

ketersediaan air tanah memunculkan feedback loop – yang menyeimbangkan perilaku investasi serta pertumbuhan penduduk pada satu tingkat tertentu. Dalam model yang dibangun, faktor ini dinyatakan sebagai efek_ketersediaan_AT. Efek ketersediaan airtanah ini digambarkan sebagai grafik yang dibentuk oleh hubungan rasio ketersediaan airtanah, yaitu perbandingan antara kondisi cadangan airtanah saat ini dengan kondisi cadangan airtanah awal (initial).

Selain dari konsumsi airtanah oleh domestik dan industri, cadangan airtanah pun mengalami pengurangan akibat adanya kehilangan air alamiah. Kehilangan airtanah alamiah ini terjadi karena proses-proses alam seperti siklus hidrologi, (evapotranspirasi) dan proses hidrogeologi. Nilai kehilangan airtanah alamiah ini cukup signifikan sehingga perlu dimasukkan dalam model karena akan mempengaruhi model secara keseluruhan.

Pengambilan airtanah dari pengambilan domestik, konsumsi industri, pengambilan airtanah ilegal, serta faktor kehilangan airtanah alamiah, dinyatakan sebagai output airtanah total (Output_AT_Total).

Input airtanah merupakan penambahan airtanah aktual akibat proses alamiah dan penambahan dari adanya pembangunan sumur-sumur resapan dalam (SRD). Penambahan airtanah alamiah ditentukan oleh jumlah air hujan yang mengalami infiltrasi dan menjadi potensi imbuhan airtanah. Berdasarkan data tahun 2003, jumlah total potensi imbuhan airtanah di CAT Bandung diperkirakan hanya sekitar 6,1% - 8,6% dari total curah hujan. Mengikuti kondisi topografi dan geologi, diprediksikan bahwa hanya sekitar 30% - 50% dari potensi imbuhan airtanah tersebut yang dapat secara efektif menjadi imbuhan airtanah di akifer dalam CAT Bandung (PPG LIPI, 2007).

(9)

Gambar V.2 Diagram Alir Sub Model Ketersediaan Airtanah

Air hujan yang tidak mengalami infiltrasi ke dalam lapisan tanah, dikategorikan sebagai air limpasan. Jumlah air yang mengalami infiltrasi maupun yang mellimpas dipengaruhi oleh variabel fraksi (koefisien) infiltrasi ataupun fraksi limpasan yang masng-masing besarannya sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan.

(10)

Variabel-variabel tersebut ditentukan oleh luas lahan terbuka yang dapat meresapkan dan luas lahan terbangun yang melimpaskan hujan.

Asumsi-asumsi dan nilai awal yang digunakan dalam sub model ketersediaan airtanah antara lain :

Tabel V.1 Asumsi dan Data Awal yang digunakan dalam

Sub Model Ketersediaan Airtanah

No Variabel dan Parameter

Dimensi Nilai Sumber

1. Cadangan Airtanah m3 1,9 milyar Distamben, 2006

2. Curah hujan tahunan mm/tahun 1700 Asumsi

3. Kehilangan AT

alamiah % 10 LIPI, Distamben,dengan perkiraan

4. Kebutuhan Air per orang

Lt/org/hari 140 Asumsi

5. Delay waktu pengisian Tahun 10 Asumsi

6. Fraksi Pengisian % 50 LIPI, 2007

7. Fraksi infiltrasi normal

Tanpa dimensi 0,3 Trisno, 2007, dan

Hasil analisis 8. Fraksi limpasan

normal

Tanpa dimensi 0,7 Trisno, 2007, dan

Hasil analisis 9. Tingkat pelayanan

PDAM % 0,4 PDAM

Diagram Alir Sub Model Pertumbuhan Penduduk

Dinamika pertumbuhan penduduk ditentukan oleh pertumbuhan netto (net_growth = laju pertumbuhan penduduk - laju depopulasi) serta tingkat inmigrasi dan outmigrasi. Fraksi kelahiran diasumsikan konstan.

Inmigrasi atau jumlah penduduk yang masuk ke dalam wilayah studi dipengaruhi oleh daya tarik wilayahnya. Daya tarik wilayah terdiri dari dua jenis daya tarik yang saling menentukan, yaitu daya tarik karena ketersediaan air (Daya_Tarik_Air), dan daya tarik karena ketersediaan lahan (Daya_Tarik_Lahan) Penduduk akan membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan vital hidupnya dan memberikan kenyamanan. Kondisi ketersediaan air di wilayah studi yang dinyatakan dengan efek_ketersediaan_air sangat mempengaruhi daya tarik air. Daya tarik karena

(11)

ketersediaan air tersebut menyatakan seberapa jauh kebutuhan air domestik dapat terpenuhi, yang di dalam model dinyatakan sebagai Rasio_pemenuhan_A_Dom (Rasio pemenuhan air domestik). Penduduk juga memanfaatkan lahan dan mengkonversi lahan, selain menjadi lahan pertanian untuk mata pencaharian juga digunakan untuk lahan pemukiman dan fasilitas pendukungnya. Daya tarik karena ketersediaan lahan dinyatakan sebagai daya tarik lahan, ditentukan oleh rasio lahan kebutuhan urban (Rasio_Lahan_Keb_Urban) yaitu total luas lahan dibagi kebutuhan lahan per orang.

Selain itu, penduduk juga dipengaruhi oleh keberadaan industri yang menjadi daya tarik ekonomi karena peluang lapangan kerja di sektor industri. Keberadaan sektor industri ini akan mebangkitkan kebutuhan akan tenaga kerja industri sehingga akan mengundang penduduk untuk datang ke wilayah studi.

Migrasi yang terjadi sebagai reaksi daya tarik terjadi setelah 3 tahun, dalam model dinyatakan sebagai delay.

Laju depopulasi yang besifat mengurangi jumlah penduduk, ditentukan oleh angka harapan hidup (umur) dan tingkat out_migrasi. Angka harapan hidup ditetapkan sebagai konstanta, ditentukan berdasarkan umur rata-rata yang dapat dicapai oleh penduduk di wilayah studi. Semua faktor yang berpengaruh pada sub model pertumbuhan penduduk ini disampaikan pada Gambar V.3.

Adapun asumsi-asumsi dan nilai awal yang digunakan dalam sub model pertumbuhan penduduk antara lain:

Tabel V.2 Asumsi dan Data Awal yang digunakan dalam

Sub Model Pertumbuhan Penduduk

No Variabel dan Parameter

Dimensi Nilai Sumber

1. Jumlah penduduk awal

Juta jiwa 6,29 BPS,2000

2. Fraksi kelahiran /tahun 0,016 Asumsi

(12)

4. Fraksi inmigrasi Tanpa dimensi 0,3 Asumsi

5. Faksi Outmigrasi Tanpa dimensi 0,025 Asumsi

Gambar V.3 Diagram Alir Sub Model Pertumbuhan Penduduk

Diagram Alir Sub Model Industri

Pertumbuhan industri akan terjadi karena adanya investasi. Investasi terjadi karena adanya kebijakan pembangunan yang meningkatkan kegiatan industri untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan nilai PDRB. Laju pertumbuhan investasi (laju_prtbhn_invest_kap_idstri) ini ditentukan oleh fraksi industri yang dianggap konstan dan pengaruh ketersediaan air terhadap pemenuhan air untuk kebutuhan industri (efek_keters_Air_thd_invest). Hal tersebut dikarenakan air memiliki peranan di dalam proses produksi industri. Peran tersebut dapat berupa

(13)

air sebagai bahan baku atau sebagai bahan penunjang produksi. Semakin terjamin ketersediaan airnya akan semakin tinggi prospek investasi. Adapun kebutuhan air industri ditentukan oleh jumlah industri dikalikan dengan kebutuhan air per kapita industri.

Selain faktor investasi yang memicu pertumbuhan industri, jumlah industri juga dipengaruhi oleh laju depresiasi. Dalam model ini diasumsikan bahwa depresiasi industri ditentukan oleh umur industri.

Secara lengkap pertumbuhan industri digambarkan dalam Gambar V.4.

Gambar V.4 Diagram Alir Sub Model Industri

(14)

Tabel V.3 Asumsi dan Data Awal yang digunakan dalam Sub Model Industri

No Variabel dan Parameter

Dimensi Nilai Sumber

1. PDRB initial Milyar Rp 50000 Perhitungan

2. Umur depresiasi Tahun 25 asumsi

3. Fraksi kontribusi industri

Tanpa dimensi 0.4 asumsi

4. Kebutuhan Air per

kapita industri m3/tahun 49400000 Trisno, 2007

Diagram Alir Sub Model Tata Guna Lahan

Sebagai konsekuensi dari adanya aktivitas pembangunan yang ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk dan jumlah industri yang akan membutuhkan lahan dalam perkembangannya, terjadi perubahan tata guna lahan di wilayah studi. Perubahan tata guna lahan ini antara lain adanya pergeseran fungsi lahan dari lahan hutan menjadi lahan kering, lahan sawah menjadi lahan kering, lahan kering menjadi lahan terbangun, dan lahan sawah menjadi lahan terbangun. Yang dimaksud dengan lahan terbangun di dalam model adalah lahan pemukiman, beserta fasilitas sosial pendukungnya, lahan industri dan infrastruktur pendukungnya.

Alih fungsi (konversi) lahan hutan menjadi lahan kering terjadi karena perambahan lahan hutan oleh penduduk untuk dijadikan lahan pertanian kering. Selain itu, alih fungsi lahan hutan juga disebabkan oleh adanya kegiatan penebangan pohon yang tidak disertai dengan kegiatan penanaman pohon kembali (reboisasi). Laju penebangan pohon ini berdasarkan peraturan dibatasi sebesar 2% per tahun. Adapun reboisasi membutuhkan waktu 10 tahun untuk proses pematangan lahan dan masa tumbuh pohon, yang di dalam model dinyatakan sebagai delay.

Alih fungsi lahan sawah menjadi lahan kering dipengaruhi oleh rasio bangkitan sawah menjadi lahan kering, di mana nilai ini ditentukan berdasarkan data bahwa dalam periode 1994-2001, terjadi pertumbuhan netto penduduk sebanyak 0.88 juta jiwa yang membangkitkan pergeseran lahan dari sawah ke lahan kering seluas 5000 Ha.

(15)

Alih fungsi lahan sawah menjadi terbangun juga dibangkitkan oleh nilai rasio bangkitan lahan sawah menjadi lahan terbangun di mana pada periode yang sama terjadi pergeseran lahan dari sawah ke permukiman seluas 1500 Ha. Alih fungsi lahan kering menjadi terbangun dibangun bedasarkan data bahwa pada periode yang sama juga telah terjadi pergeseran fungsi lahan kering menjadi terbangun seluas 600 Ha (Trisno, 2007).

Seluruh faktor yang membangun sub model Tata Guna Lahan ini digambarkan secara lengkap dalam Gambar V.5.

Gambar V.5 Diagram Alir Sub Model Tata Guna Lahan

Asumsi-asumsi dan nilai awal yang digunakan dalam sub model tata guna lahan antara lain:

(16)

Tabel V.4 Asumsi dan Data Awal yang digunakan dalam Sub Model Tata Guna Lahan

No Variabel dan Parameter

Dimensi Nilai Sumber

1. Lahan hutan Ha 61.290,60 Bapeda, 2004

2. Lahan kering Ha 190.045,10 Bapeda, 2004

3. Lahan sawah Ha 65.626,00 Bapeda, 2004

4. Lahan terbangun Ha 35.503,90 Bapeda, 2004

5. Rasio bangkitan lahan sawah _ terbangun

Tanpa dimensi 1500/0.88 Trisno, 2007

6. Rasio bangkitan lahan

kering _ terbangun Tanpa dimensi

600/0.88 Trisno, 2007

7. Rasio bangkitan lahan

sawah _ lahan kering Tanpa dimensi 5000/0.88 Trisno, 2007

8. Etate tebangan % 2 Trisno, 2007

9. Waktu reboisasi Tahun 10 Trisno, 2007

Diagram Alir Sub Model Pajak Airtanah

Pengenaan pajak airtanah di sini tidak diartikan langsung sebagai tambahan pendapatan daerah, tetapi sebagai pembayaran atas upaya pemulihan kondisi sumberdaya airtanah atau menginternalkan eksternalitas negatif akibat kegiatan pengambilan airtanah oleh industri.

Dalam perhitungannya, pajak airtanah ditentukan oleh NPA (Nilai Perolehan Air) yang sudah mengakomodasikan nilai-nilai lingkungan di dalam harga-harga : faktor produksi, ekosistem dan sosial. Dalam NPA nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam komponen sumberdaya, komponen kompensasi pemulihan dan komponen harga air baku.

Nilai komponen sumberdaya (Faktor_SDA) ditentukan berdasarkan Nilai Indeks SDA yaitu jumlah Nilai Jenis Sumber, Nilai Sumber Alternatif, Nilai Kualitas, dan Nilai Zona pengambilan airtanah. Di dalam model nilai-nilai ini ditetapkan dengan pendekatan berdasarkan jumlah terbanyak (mayoritas), sehingga dianggap dapat mewakili kenyataan di lapangan. Nilai-nilai ini diasumsikan bahwa sebagian besar industri mengambil airtanah dari jenis sumber airtanah dalam, dengan jenis kualitas airtanah adalah kualitas kelas I (data Laboratorium Kebumian Distamben Prov. Jabar

(17)

dan asumsi berdasarkan kedalaman pengambilan airtanah yang pada umumnya berkisar antara 150-250 m di bawah permukaan tanah), dan terdapat sumber air alternatif lain yang berada di sekitar lokasi industri yang dapat dimanfaatkan.

Adapun nilai zona pengambilan airtanah (Nilai_Zona) dibangun sesuai dengan formula yang sudah ditetapkan dalam NPA, di mana nilainya dipengaruhi oleh efek ketersediaan airtanah (efek_ketersediaan_AT). Dalam model nilai zona ini akan mengarah pada nilai zona hijau jika efek ketersediaan airnya masih tinggi, sebaliknya akan memberi nilai zona kuning atau merah jika efek ketersediaan air yang mempengaruhinya sudah menurun atau kritis.

Penjumlahan nilai-nilai indeks SDA ini kemudian dikoreksi lagi dengan pembobotan sesuai dengan zona pengambilan airtanahnya (Efek_zona), untuk menghasilkan nilai Faktor_SDA.

Faktor Komponen Kompensasi Pemulihan (Faktor_Kompensasi_Pemulihan) dibangun oleh Nilai Indeks Kompensasi Pemulihan (Nilai_Indeks_KP) yang besarnya ditentukan oleh jenis pemanfaatan aitanah dan volume pengambilan airtanah. Dalam model, jenis pemanfaatan airtanah diasumsikan sebagai faktor penunjang produksi, ditunjang berdasarkan data bahwa 80% industri di wilayah CAT Bandung merupakan industri tekstil yang memanfaatkan air sebagai bahan penunjang industri. Pembobotan juga dilakukan terhadap Nilai_Indeks_KP ini sesuai dengan zona pengambilan airtanah.

Penjumlahan Faktor_SDA dan Faktor_Kompensasi_Pemulihan dinyatakan sebagai Faktor Nilai Air (Faktor_Nilai_Air). Faktor Nilai Air ini menentukan Nilai Harga Dasar Air (HDA) setelah dikalikan dengan Harga Air Baku (HAB). Dalam model ini HAB ditetapkan sebesar Rp. 500,-/m3 sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagai harga air baku bagi sumber pengambilan airtanah dalam. Nilai perkalian HDA dengan HAB inilah yang menghasilkan NPA atau Nilai Perolehan Air.

(18)

Berdasarkan peraturan yang berlaku, pajak airtanah ditetapkan sebesar 20% dari NPA. Fraksi ini dinyatakan sebagai Fraksi Pajak. Nilai pajak yang terakumulasi digambarkan dalam Level Kas_Pajak.

Output dari Kas_Pajak ini merupakan pengeluaran pajak yang dialokasikan untuk pendanaan upaya-upaya pemulihan airtanah. Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, ditetapkan pajak dialokasikan sebesar 70% untuk pihak kabupaten/kota di mana kegiatan pengambilan airtanah tersebut berlangsung, dan sebesar 30% dialokasikan untuk pihak provinsi sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam memberikan pembinaan, pengawasan dan pengendalian pengambilan airtanah. Dalam kenyataannya di lapangan, alokasi pajak terbesar untuk pihak kabupaten/kota sangat sulit ditelusuri pemanfaatannya, sehingga tidak dapat diketahui nilai atau fraksi pengalokasian pajak airtanah yang digunakan untuk upaya-upaya pemulihan airtanah. Selain itu kegiatan-kegiatan dalam upaya pemulihan airtanah pun oleh pihak kabupaten/kota sangat jarang dilakukan/diketahui pelaksanaannya. Hal ini menyebabkan pendekatan untuk mengasumsikan nilai fraksi alokasi pajak airtanah untuk upaya pemulihan airtanah yang dilakukan oleh pihak kabupaten/kota tidak akan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Untuk itu, di dalam model, diasumsikan bahwa pihak kabupaten/kota tidak melaksanakan kegiatan dalam rangka upaya pemulihan airtanah dan keseluruhan alokasi pajak yang diterima digunakan sebagai PAD kabupaten/kota yang bersangkutan dan alokasi pajak yang dimodelkan untuk upaya pemulihan airtanah adalah alokasi pajak untuk provinsi. Upaya pemulihan airtanah yang dapat dilakukan antara lain melalui pengembangan teknologi baik teknologi vegetasi maupun teknologi non-vegetasi. Teknologi vegetasi diarahkan pada rehabilitasi daerah resapan/hutan melalui upaya-upaya reboisasi dan reforestasi. Adapun teknologi non-vegetasi merupakan upaya-upaya pemulihan kondisi airtanah secara langsung untuk menjaga kestabilan ketersediaan/cadangan airtanah, seperti pembangunan sumur-sumur resapan dalam dan sumur injeksi. Dalam model yang dibangun, sistem hanya memodelkan upaya pemulihan airtanah melalui teknologi sumur resapan dalam, hal ini sejalan dengan pelaksanaan program kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh Pemerintah

(19)

Provinsi Jawa Barat, khususnya Dinas Pertambangan dan Energi, sehingga dengan model ini diharapkan mampu memberikan gambaran keefektifaan proram kegiatan tersebut.

Dari variabel jumlah alokasi pajak provinsi untuk pemulihan dan biaya yang dibutuhkan untuk membangun sebuah SRD dapat diketahui jumlah SRD yang dapat dibangun. Dengan variabel jumlah SRD yang terbangun dan data kapasitas volume yang dapat ditampung dan diresapkan oleh SRD dapat diperoleh jumlah penambahan input airtanah yang diperoleh dari SRD atau kontribusi penambahan input airtanah terhadap cadangan airtanah.

Keseluruhan variabel yang membangun sub model Pajak Airtanah ini digambarkan dalam Gambar V.6.

(20)

Gambar V.6 Diagram Alir Sub Model Pajak Airtanah

Asumsi-asumsi dan nilai awal yang digunakan dalam sub model pajak airtanah antara lain:

(21)

Tabel V.5 Asumsi dan Data Awal yang digunakan dalam Sub Model Pajak Airtanah

No Variabel dan Parameter

Dimensi Nilai Sumber

1. Nilai jenis sumber Tanpa dimensi 0,8 NPA, asumsi

2. Nilai sumber alternatif Tanpa dimensi 0,6 NPA, asumsi

3. Nilai kualitas Tanpa dimensi 1,9 NPA, asumsi

No Variabel dan Parameter

Dimensi Nilai Sumber

4. Init HAB Rp/m3 500 NPA

5. Fraksi pajak % 20 UU

6. Fraksi alokasi

kabupaten % 70 UU

7. Fraksi alokasi provinsi % 30 UU

8. Kapasitas volume

SRD m3/unit/tahun

10.000 Distamben,2006

9. Biaya per sumur

resapan Rp/unit 150.000.000 Distamben,2006

10. Delay Waktu Pajak Tahun 1 Asumsi

V.4 Uji Perilaku Model

Agar model dapat dipergunakan untuk memperhitungkan kecenderungan di masa depan maupun untuk menganalisis kebijakan adalah model harus valid atau sahih. Salah satu upaya untuk menguji validitas model yang paling umum dipergunakan adalah dengan memperbandingkan perilaku model dengan perilaku historisnya (Uji Perilaku Model). Apabila perilaku historis variabel-variabel yang dipergunakan dalam model hampir mirip atau mendekati perilaku historisnya, maka model dikatakan valid.

Dalam penelitian ini, uji validitas model dilakukan terhadap sub model ketersediaan airtanah, yaitu data historis volume pengambilan airtanah industri (Gambar V.7), data historis perkembangan penduduk terhadap sub model pertumbuhan penduduk (Gambar V.8) dan data historis pergeseran fungsi lahan sawah dengan variabel alih fungsi lahan sawah dalam sub model tata guna lahan (Gambar V.9).

(22)

Berdasarkan pengamatan peneliti, perilaku model pada ketiga Sub Model yang diujikan dianggap mampu menirukan trend perilaku historisnya, sehingga model dinilai cukup valid untuk digunakan selanjutnya dalam perumusan analisis kebijakan.

Gambar V.7 Perilaku model dan data historis volume pengambilan airtanah industri (Tahun 2000-2005)

Gambar V.8 Perilaku model dan data historis pertumbuhan penduduk (Tahun 2000-2005)

(23)

Gambar V.9 Perilaku model dan data historis pergeseran fungsi lahan sawah (Tahun 2000-2005)

Setelah model memenuhi uji validitas, dilakukan simulasi jangka panjang terhadap kelima Sub Model, yaitu dari tahun 2000 hingga 2050 untuk mengetahui kecenderungan perilaku model dan sebagai dasar untuk menentukan arah skenario kebijakan yang dapat dilakukan.

Gambar

Gambar V.1 Causal Loop Diagram Model Pengaruh Besaran Pajak Airtanah terhadap Ketersediaan Airtanah
Gambar V.2  Diagram Alir Sub Model Ketersediaan Airtanah
Tabel V.1  Asumsi dan Data Awal yang digunakan dalam    Sub Model Ketersediaan Airtanah
Tabel V.2  Asumsi dan Data Awal yang digunakan dalam       Sub Model Pertumbuhan Penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, dari sudut doktrin alasan penghapus pidana, baik alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam undang-undang, maupun alasan pembenar dan alasan pemaaf

Dianalisis statistik menggunakan uji independent t test didapatkan hasil p value (Sig. 2 tailed) 0.116 > 0.05 yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara perasan dan

Hiperglikemia postprandial merupakan gangguan homeostasis glukosa yang paling dini ,yang dapat diidentifikasi ; keadaan ini merupakan faktor risiko yang kuat

Perlu dilakukan kajian lebih mendalam terhadap kualitas karbon aktif kulit pisang kepok dengan memvariasikan jenis aktivator dan waktu aktivasi sehingga didapat karbon

Sedangkan perbedaan yang terjadi antara periode pertama dan kedua mengenai pendidikan dan sosial kemasyarakatan, jika pada periode pertama penddikan Al-Qur’an sebagai satu

Kemudian, jika menggunakan kriteria batas penerimaan item menggunakan INFIT MNSQ, maka dapat diketahui bahwa Item 19 diterima atau  fit dengan modelnya..

ditampilkan hasil utuk gaya batang (Element Force-Frames), untuk berpindah / menampilkan output yang lain klik pada bagian kanan atas kotak dan pilih tipe

Bagian administrasi penjualan yang telah menerima pesanan dari pelanggan atau pembeli, akan memeriksa status hutang yang dimiliki oleh pelanggan pada perusahaan melalui