• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Posistif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Posistif"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 1

Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam

Hukum Posistif

Hasyim Nawawi*

Abstraks: Masyarakat Indonesia yang heterogen baik dari segi agama, ras, ataupun budaya dan adat istiadat merupakan masyarakat yang sudah barang tentu mempunyai norma-norma adat yang berlaku bagi masing-masing kelompok itu. Untuk itu, sejak pemerintah Indonesia menemukan bahwa hukum Islam yang menyangkut masalah keluarga; perkawinan, dengan mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1974. Dalam hal ini hukum Islam yang telah lama dianut dan diamalkan oleh mayoritas bangsa ini, layak untuk menduduki posisi yang penting. Masalah yang menjadi kajian penelitian ini, yaitu: Bagaimana sumbangan hukum Islam dalam pembentukan hukum Positif, dan bagaimana pelaksanaan hukum Islam yang telah teradopsi dalam hukum Positif itu, serta bagaimana tentang pencatatan pernikahan itu sendiri. Setelah mengadakan analisa, penulis mendapati bahwa dalam pembentukan hukum Perkawinan Indonesia banyak mendapat sumbangan dari hukum Islam yang mengatur masalah yang sama.

Kata Kunci: Ketentuan, pencatatan, pernikahan, Hukum Positif

Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan manusia sudah dibekali dengan nafsu disamping akal dan intuisi atau perasaan. Manusia dengan nafsu ini mempunyai syahwat, kecenderungan dorongan, semangat dan kemauan, tergantung mana yang lebih dominan dan sejauh mana kemampuannya untuk mengelola potensi tersebut agar

sesuai dengan norma-norma hukum syari’at maupun norma bermasyarakat.

Pernikahan bukanlah sekedar pintu masuk untuk pemenuhan kebutuhan biologis semata, tapi lebih dari itu yakni merupakan sunnah Rasul. Setiap insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan pernikahan. dalam diri manusia terdapat hajah atau syahwah jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang

*

(2)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 2

diberikan oleh Allah dalam rangka untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) bagai prasyarat proses imarah al-ardh (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan.1

Sudah bisa dipastikan pula, perkawinan tersebut diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu kondisi yang sering kita istilahkan dengan penuh mawaddah, mahabbah dan rahmah. Oleh karenanya, gagasan tentang

“rumahku adalah surgaku didunia” dapat menjadi nyata.

Memperbincangkan masalah pernikahan sudah barang tentu terkait erat

dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh hukum syari’at, hukum positif dan adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut. Perihal aturan-aturan hukum perkawinan baik hukum Islam, hukum adat maupun hukum formal tidak selamanya seiring sejalan. Hal ini disebabkan oleh produk hukum itu sendiri, hukum Islam berasal dari aturan aturan wahyu Ilahi, hadits maupun ijtihad ulama, sedangkan dalam hukum positif murni buah pemikiran manusia. Jadi tidak mengherankan bila pada gilirannya menyebabkan perbedaan materi hukumnya meskipun pada masalah yang sama, meskipun demikian pada sisi-sisi tertentu ada banyak kesamaan tapi tidak pada hal-hal yang prinsipil.

Penulis mencermati salah satu materi dalam Kompilasi Hukum Islam perihal keharusan pencatatan pernikahan bagi mempelai yang ingin mengikatkan dirinya dalam sebuah tali pernikahan. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu undang undang hukum positif yang berlaku di negeri ini. Pada pasal 5 Kompilasi Hukum Islam disebutkan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam

“harus” di catat.2

Pada pasal 6 ayat juga mengulangi pengertian pencatatan dalam

artian setiap perkawinan “harus” dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan

Pegawai Pencatat Nikah.3

1

Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2003) hlm. 243.

2

Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 2000) hlm. 15

3

(3)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 3

Apabila dipahami secara mendalam isi Kompilasi Hukum Islam, kata “harus”

disini adalah “wajib” menurut pengertian hukum Islam.4 Oleh karenanya pernikahan

yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka “tidak mempunyai

kekuatan hukum.” Sedangkan pada pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan

“hanya” dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat

Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan di dalam aturan hukum

syari’at sama sekali tidak menyebutkan tentang kewajiban pencatatan perkawinan ini.5

Apa yang terkandung dalam Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, perihal keharusan pencatatan perkawinan ini menurut hemat penulis terkait erat dengan tujuan hukum (maqashid syari’ah) yakni kemaslahatan kedua mempelai di dalam terlindungi secara hukum. Mengingat hukum yang berlaku di negeri ini bukanlah hukum Islam.

Pengertian Hukum Positif Di Indonesia.

Perkataan hukum yang sering kali digunakan sehari-hari, berasal dari kata

hukum dalam bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut dengan hukum dalam pengertian norma dalam bahasa arab tersebut memang sangat erat sekali, sebab setiap peraturan, apapun bentuk dan sumbernya, dapat dipastikan mengandung unsur norma atau kaidah sebagi intinya.6

Perangkat kaidah-kaidah hukum dalam masyarakat, biasanya mengatur pelbagai bidang kehidupan, sehingga menimbulkan tata hukum tertentu. Masyarakat dan warga-warganya hidup dalam suatu wadah disebut negara berinteraksi dengan

4

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hlm. 68.

5

Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, loc., cit.

6

(4)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 4

adanya sistem pemerintahan. Hubungan antara warga masyarakat dengan negara dan pemerintahan diatur oleh hukum negara. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah pendapat para pakar hukum tentang pengertian hukum positif:

1. Menurut C.S.T. Kansil, hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku pada suatu masyarakat.7

2. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum positif adalah sistem atau susunan hukum yang berlaku di suatu daerah atau negara tertentu8

3. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, hukum positif adalah hukum

perundang-undangan yang mencakup semua hasil keputusan resmi yang tertulis dari penguasa/pemerintah, yang mengikat secara umum. Perundang-undangan tersebut terikat oleh hierarki atau tingkatan tertentu dimana perundang-undangan yang lebih rendah harus mengacu pada yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya, Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan perundang-undangan daerah seperti Perda.9

Dengan demikian, kiranya dapat diambil pengertian bahwa hukum positif adalah suatu sistem dan aturan-aturan tentang hukum yang sedang berlaku atau diberlakukan dalam sebuah negara/pemerintahan. Lebih konkretnya adalah bahwa yang di maksud dengan hukum positif Indonesia adalah hukum yang sedang berlaku di dalam wilayah negara Republik Indonesia dan dalam penetapannya dilakukan oleh negara atau atas nama negara. Hukum positif Indonesia bisa juga disebut dengan hukum Nasional Indonesia, karena secara definitif, hukum Nasional adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.

Pengertian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif.

7

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hlm. 73.

8

Muhammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 231.

9

(5)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 5

Menurut pasal 26 Burgerlijk Wetboek, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang ini juga memandang perkawinan hanyalah hubungan keperdataan saja.10

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Perkawinan

adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.11

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang juga merupakan Instruksi Presiden Nomor I tahun 1991,

mendefinisikan pengertian perkawinan sebagai berikut: “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”12

ketentuan ini terdapat pada bab II pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

Mengenai pengertian perkawinan yang dirumuskan dalam konteks dasar-dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, dirumuskan sedikit berbeda dengan apa yang disepakati dalam Undang-undang No. I Tahun 1974. Dalam Kompilasi, menyebut perkawinan sebagai “akad” tanpa menjelaskan maknanya, apalagi dalam

artian “aqad yang kuat” atau “mitsaqan ghalidzan” sebenarnya masih memerlukan

penjelasan lebih lanjut, apakah sama, lebih luas atau bahkan lebih sempit dari kalimat

“ikatan lahir batin” yang terdapat pada Undang-undang No. I Tahun 1974.13

Terlepas dari perbedaan definisi di atas, secara umum pengertian perkawinan menurut ketiga keterangan di atas perbedaannya tidaklah terlalu prinsipil. Maka Dari itu dapat disimpulkan, pertama, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin maupun janji yang sangat mengikat di antara keduanya, dua, perkawinan tersebut dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita yang selanjutnya disebut sebagai pasangan

10

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, Tanpa Tahun) hlm. 23.

11

Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, (Jakarta: 2004) hlm. 117.

12

Instruksi Presiden RI No. I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam, 2000) hlm. 14

13

(6)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 6

suami isteri, ketiga, perkawinan tersebut mempunyai tujuan membangun keluarga yang bahagia dan kekal, empat, perkawinan dilakukan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian di atas, jelaslah bahwa perkawinan dalam perspektif hukum positif ini, mempunyai implikasi hukum yang mengikat yang pada gilirannya terkait penuh dengan aturan-aturan baku yang telah mempunyai ketentuan-ketentuan dan akibat-akibat hukum tersendiri.

Pengertian Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam Hukum Positif.

Keharusan pencatatan pernikahan adalah sebuah langkah yang mesti dilakukan oleh pihak-pihak yang akan melaksanakan atau meresmikan sebuah ikatan pernikahan. Menurut M. Atho’ Muzdar, keharusan pencatatan pernikahan diharuskan sebagai akibat banyaknya orang yang melakukan kawin di bawah tangan yang pada waktunya dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya.14 Menurut M. Yahya Harahap, bahwa keharusan pencatatan pernikahan merupakan landasan yuridis bagi yang melaksanakannya. Dengan keharusan ini setidaknya mempertegas sekaligus upaya mengaktualkan ketertiban perkawinan masyarakat Islam.15 Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa keharusan pencatatan pernikahan adalah dalam rangka terjaminnya kepastian hukum, kepastian hukum dalam keseluruhannya hanya dapat dicapai, apabila segala ketentuan dalam Undang-undang dipenuhi.16 Menurut Sudarsono, bahwa pencatatan tiap-tiap pernikahan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya, pencatatan kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juga di muat dalam daftar pencatatan.17

14 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution,

Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press) hlm. 211.

15

M. Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Logos, 1992) hlm. 52.

16

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, Cetakan keempat, 1960) hlm. 52.

17

(7)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 7

Ketentuan-Ketentuan Tentang Keharusan Pencatatan Pernikahan dalam

Hukum Positif.

1. Menurut Undang-undang Nomor I tahun 1974.

Materi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang perkawinan, merupakan salah satu dari upaya untuk memadukan dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat sebelumnya. Sesuai dengan konsideran Undang-undang Nomor I tahun 1974, bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.18

Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.19 Pasal ini termasuk asas dan prinsip yang tercantum dalam Undang-undang tersebut. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Akad perkawinan tersebut juga harus dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan ini menjadi penting mengingat pencatatan ini dimaksudkan demi ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Baik di dalam undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No.32 Tahun 1954 maupun Undang-Undang-undang No. 1 Tahun 1974, semuanya mengharuskan pencatatan tiap-tiap perkawinan.20

Menurut Sudarsono, pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini menitikberatkan pada adanya keharusan pencatatan perkawinan.21 Dengan demikian, aturan ini semenjak disahkannya hingga sekarang berlaku dan bersifat mengikat, bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Untuk menjamin kepastian hukum, maka

18

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Surabaya: Karya Anda) 1975, hlm. 5.

19

Ibid. hlm. 6.

20

Arso Sastroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm. 55.

21

(8)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 8

perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.22

2. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975.

Meskipun telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 sebagai sebuah Undang-undang, tapi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut, belum dapat berjalan maksimal dan efektif sebelum dikeluarkannya peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, (Pasal 67 ayat 1). Akan tetapi setelah mengalami proses panjang kurang lebih selama 15 bulan sejak diundangkannya Undang-undang Perkawinan, maka pada tanggal 1 April 1975 telah berhasil diundangkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.23

Selain pertimbangan di atas, sesuai dengan konsideran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut24

Salah satu prestasi gemilang umat Islam pada era sembilan puluhan adalah keberhasilan untuk “membumikan” hukum Islam, menjadi hukum positif di Indonesia. Dengan keberhasilan tersebut, umat Islam kini mendapat kenyamanan dan jaminan untuk menjalankan aturan-aturan agama dan keyakinannya.

Keberhasilan tersebut berupa tersusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kata “Kompilasi” sendiri berasal dari bahasa Latin “Compilatie” yang berarti

kumpulan atau pemberkasan.25 Ditinjau dari sudut bahasa, kompilasi adalah kegiatan

22

Ibid., hlm. 9.

23

Arso Sastroatmojo dan A. Wasit Aulawi, op. cit., hlm. 53.

24

Depag, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, (Jakarta: 2004) hlm.141.

25

(9)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 9

pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai persoalan tertentu.26

Sedangkan dalam pengertian terminologinya, Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.27

KHI merupakan himpunan materi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku,

yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku III tentang Hukum Perwakafan. KHI telah diberlakukan sebagai Undang-undang dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. 28

Pasal 6 ayat (2) menegaskan, bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan pasal 7 ayat (1) menyebutkan, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.29

Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai

Pencatat Nikah, maka perkawinannya tersebut termasuk “tidak mempunyai kekuatan

hukum, selain hal tersebut, perkawinan juga hanya dapat dibuktikan melalui surat Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, maka dari itu mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan.

Dari keterangan kedua hukum positif di atas, jelaslah bahwasanya perundang undangan yang berlaku, mengatur dengan tegas peraturan tentang pencatatan perkawinan. Dengan demikian, landasan yuridis bagi pasangan calon mempelai yang

26

Abdurrahman, op. cit., hlm. 11.

27

Abdurrahman, op., cit., hlm. 14.

28

Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 132.

29

(10)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 10

akan melangsungkan perkawinan telah diatur sedemikian rupa dalam rangka menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum perkawinan di masyarakat

Dengan landasan yuridis dalam KHI, (mengacu pada ketentuan pasal 2 undang-undang No. 1 Tahun 1974), setidaknya KHI telah mengakui sepenuhnya campur tangan penguasa dalam setiap perkawinan. Hal ini sekaligus melepaskan jauh-jauh dogma yang dikembangkan dan dipahami selama ini yang mengajarkan perkawinan sebagai individual affairs atau urusan pribadi. Bagi yang tidak mau mematuhi aturan, maka akan menanggung resiko yuridis.

Bagi mereka yang tidak mendaftarkan perkawinan atau enggan melangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinannya dikualifikasikan sebagai perkawinan liar dalam bentuk

compassionate marriage atau kawin kumpul kerbau.30

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pencatatan pernikahan bagi setiap pasangan suami isteri yang akan melangsungkan sebuah perkawinan, menurut undang-undang yang berlaku, diharuskan untuk dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Apabila aturan hukum positif ini dilanggar maka pernikahan yang bersangkutan, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Proses Perumusan dalam Kompilasi Hukum Islam

Menurut A. Qadri Azizi, proses perumusan hukum fiqh harus menggunakan 2 (dua) metode, yaitu: deduktif dan induktif. Dalam proses deduktif, pertama yang dilakukan adalah melalui penelitian dalil-dalil nash, kemudian ditafsirkan, diuraikan dan diberi penjelasan. Cara yang kedua adalah induktif, yaitu: pola pikir kontekstualis, cara yang diambil adalah dalil diposisikan sebagai inspirasi proposisi atau landasan (starting points) analisa hukum.31

Terkait dengan hal tersebut, ide pengadaan kompilasi Hukum Islam muncul

sekitar tahun 1985 dan mencuatnya ide ini adalah merupakan hasil kompromi antara

30

M. Yahya Harahap, op., cit., hlm. 53.

31

(11)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 11

pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Kemudian pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB), antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, yang kemudian membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI).32

Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut kemudian Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur, secara resmi KHI merupakan hasil konsesnsus (ijma’) ulama dari berbagai mazhab, yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara. Dengan demikian, keberhasilan

penyusunan KHI merupakan suatu proses tranformasi hukum Islam ke dalam hukum perundang-undangan nasional.

Perumusannya, secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan ijtihad ulama Indonesia dengan menggunakan metode al-Istihsan, al-urf dan metode istidlal lainnya dengan tujuan yang pasti yaitu jalbul mashalih wa dar’u al-mafasid (menarik kebaikan dan menolak kerusakan).33

Selain itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam juga memperhatikan tatanan hukum barat tertulis dan tatanan hukum adat yang memiliki titik temu dengan hukum Islam. dengan demikian, terjadi proses eklektisisme antara tatanan hukum Islam, hukum nasional dan hukum adat, ke dalam Kompilasi Hukum Islam, dengan kata lain, KHI dapat dikatakan sebagai wujud hukum Islam yang bercorak keindonesiaan.34

Proses perumusan tersebut menurut M. Yahya harahap, meliputi 4 (empat) pendekatan, yaitu:35

3. Pendekatan melalui Al-Qur’an dan Sunnah, dengan mengacu kepada tiga hal,

32

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm. 33.

33

Ibid., hlm. 19.

34

Cik Hasan Bisri, KHI dan Peradilan Agama; Dalam System Hukum Nasional, (Jakarta: Logos, 1992), hlm. 9.

35

(12)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 12

a. Bila nash-nash tersebut bersifat qath’I, maka ruang gerak dan ruang lingkup untuk melenturkan dan menafsirkan menjadi sangat terbatas.

b. Bila masih bersifat zanni, maka kemungkinan untuk melakukan reinterpretasi sangat terbuka lebar.

c. Bila tidak ditemukan dalam nash dan Sunnah maka menggunakan ijtihad. 4. Mengutamakan pemecahan masalah masa kini, dengan mengacu kepada:

a. Menghindari dari pengkajian perbandingan fiqh yang berlarut-larut.

b. Memilih alternatif yang lebih rasional, praktis, operasional, dan aktual yang

mempunyai potensi dan berorientasi kepada ketertiban dan kemaslahatan hukum.

5. Mengedepankan ciri hukum fiqh yang sarat dengan corak keindonesiaan.

Mengingat apabila ada hukum yang tidak sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia, terutama oleh umat Islam, maka konsekwensinya hukum itu pasti tidak akan bisa dilaksanakan, sebagaimana seharusnya hukum tersebut berlaku. Bahkan mungkin hukum tersebut akan menjadi pemicu pertentangan antara rakyat dengan penguasa, sebab rakyat memandang bahwa penguasa telah menyimpang dari nilai-nilai kebenaran yang diyakini oleh mayoritas warga negara.36

6. Melalui pendekatan kompromi dengan hukum adat.

Pendekatan perumusan ini dilakukan dalam kaitan terbatasnya nilai-nilai hukum yang terkandung dalam Nash dan Sunnah. Disamping itu, nilai-nilai hukum tersebut telah tumbuh dan berkembang sebagai norma adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia.

Dengan pendekatan 4 (empat) perumusan di atas, maka semakin memantapkan langkah dan posisi Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu acuan hukum formal yang diberlakukan untuk umat Islam di Indonesia. Sekaligus sebagai

upaya penyeragaman hukum dan menjamin kepastian hukum di lingkungan lembaga

36

(13)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 13

Peradilan Agama, yang sebelumnya belum mempunyai acuan dan landasan hukum yang kuat.

Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

a. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat kesamaan tentang ketentuan keharusan

pencatatan pernikahan. Alasan keduaanyapun sama, yakni demi ketertiban perkawinan dan mempunyai landasan serta kekuatan hukum.

b. Al-Syatibi memiliki konsep yang cukup brilian tentang maqashid syari’ah. Konsep tersebut kemudian mengilhami para ilmuan untuk mengekplorasi kedua sumber hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits dengan analisa maslahat.

c. Keharusan pencatatan pernikahan merupakan produk hukum Undang-undang perkawinan yang berorientasi pada ketertiban hukum perkawinan masyarakat dalam skala luas dan untuk menjamin kepastian hukum serta melindungi kedua belah pihak dari tindakan hukumnya tersebut. Terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara pandangan Al-Syatibi dengan keharusan pencatatan perkawinan yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam. Sisi korelatifnya terletak pada Maqashid al-Daruriyat

(14)

Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008. 14

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992).

Adiwinata, S. Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1986) Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) Azizi, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, (Jakarta: Gama Media, 1999). Bisri, Cik Hasan, KHI dan Peradilan Agama; Dalam System Hukum

Harahap, M. Yahya, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Logos, 1992)

Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 2000).

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989)

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, Cetakan keempat, 1960)

Mahfudh, Sahal, Solusi Problematika Umat, (Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2003).

Muzdhar M. Atho’, dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press)

Sastroatmojo Arso, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)

Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, Tanpa Tahun) Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994)

Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, (Jakarta: 2004)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Surabaya: Karya Anda, 1975)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh corporate social responsibility , ukuran perusahaan, leverage , struktur kepemilikan asing dan struktur kepemilikan

perlu ada pemahaman bahwa media sosial bukan hanya milik pribadi atau untuk dikonsumsi sendiri sehingga bisa melakukan apapun yang kita mau, melainkan media sosial

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Saya yakin jika saya serius dalam belajar maka saya dapat menyelesaikan ujian sesuai dengan hasil yang saya

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh bahwa, langkah-langkah pengenalan pengukuran arah kiblat di tingkat Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif aksiomatik, yaitu de- ngan menurunkan teorema yang telah ada dan pendeteksian pola yang kemu- dian diterapkan dalam

Saat ini Surakarta telah berkembang menjadi salah satu tujuan pariwisata baik oleh turis lokal maupun mancanegara. Dengan berjalannya waktu beberapa kawasan yang berada

Substansi perarem yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap benda sakral yang ada di Desa Plaga misalnya seperti : kewajiban seluruh desa pakraman untuk mengelola