• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Serta Kontrol Diri Siswa dengan Perilaku Seks Pranikah di SMA Prayatna Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Serta Kontrol Diri Siswa dengan Perilaku Seks Pranikah di SMA Prayatna Medan"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK SERTA KONTROL DIRI SISWA DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH

DI SMA PRAYATNA MEDAN

TESIS

Oleh MINARLIN 117032227/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK SERTA KONTROL DIRI SISWA DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH

DI SMA PRAYATNA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MINARLIN 117032227/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK SERTA KONTROL DIRI SISWA DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH DI SMA PRAYATNA MEDAN

Nama Mahasiswa : Minarlin Nomor Induk Mahasiswa : 117032227

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D) (Asfriyati, S.K.M, M.Kes

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 20 Januari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. Asfriyati, S.K.M, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK SERTA KONTROL DIRI SISWA DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH

DI SMA PRAYATNA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2015

(6)

ABSTRAK

Perilaku seks pranikah pada siswa SMA Prayatna Medan tergolong tinggi sebesar 32,8%. Keadaan ini terkait dengan faktor komunikasi orang tua anak (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan) dan Kontrol diri.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan komunikasi orang tua dan anak (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan) serta kontrol diri siswa dengan perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan. Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi SMA Prayatna Medan kelas XI yang berjumlah 106 orang. Sampel sebanyak 106 orang, diambil dengan teknik total sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan uji regresi bergandapada α = 5%. `

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan komunikasi orang tua-anak (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan) dengan kontrol diri siswa dan perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan serta terdapat hubungan kontrol diri dengan perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan.

Disarankan kepada orang tua dan anak untuk meningkatkan komunikasi bersama dalam upaya meningkatkan kontrol diri dan menurunkan perilaku seks pranikah siswa SMA Prayatna Medan, kepada siswi SMA Prayatna Medan untuk meningkatkan kontrol diri dan mampu menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial dan kepada pihak SMA Prayatna Medan sebaiknya turut memperhatikan siswa dan mengarahkan siswa untuk tidak berperilaku seks pranikah.

(7)

ABSTRACT

Pre-marriage sexual behavior among the students of SMA Prayatna Medan is quite high (32.8%). This condition was related to the factors of parent-children communication (transparency, emphaty, supporting attitude, positive attitude, and equality) and self-control.

The purpose of this analytical survey study with cross-sectional approach was to analyze the relationship between the parent-children communication (transparency, emphaty, supporting attitude, positive attitude, and equality) and students' self-control and the pre-marriage sexual behavior at SMA Prayatna Medan. The population of this study was all of the 106 female students of Grade X of SMA Prayatna Medan, and all (106) of them were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through Chi-square test ata^O. 05 (5%).

The result of this study showed that there was a relationship between the parent-children communication (transparency, emphaty, supporting attitude, positive attitude, and equality) and the pre-marriage sexual behavior at SMA Prayatna Medan, there was a relationship between the children-parent communication (transparency, emphaty, supporting attitude, positive attitude, and equality) and the pre-marriage sexual behavior at SMA Prayatna Medan, and there was also a relationship between self-control and the pre-marriage sexual behavior at SMA Prayatna Medan.

The parents and children are suggested to improve their joint communication in order to minimize the pre-marriage sexual behavior of the students of SMA Prayatna Medan. The students of SMA Prayatna Medanare suggested to improve their self-control and be able to control their temporary desire which is in the contrary with the behavior and inappropriate with the social norm, and the management of SMA Prayatna Medan should pay attention to the students' behavior and to direct them not to have pre-marriage sexual behavior.

(8)

KATAPENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat serta pertolongan-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Serta Kontrol Diri Siswa dengan Perilaku Seks Pranikah di SMA Prayatna Medan”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan

bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk

itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc.(CTM)., Sp.A, (K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara yang telah membimbing kami dan memberikan masukan

(9)

4. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D dan Asfriyati, S.K.M, M.Kes,

selaku Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran

membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu selama proses

penyelesaian tesis ini.

5. Drs. Amir Purba, M.A, Ph.D dan Drs. Eddy Syahrial, M.S selaku Komisi

Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi

kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Para Dosen dan Staf di Lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada

Ayahanda Munaji dan Almarhummah Ibunda Marinten beserta seluruh

keluarga besar yang menjadi penyemangat sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Teristimewa buat suami Saharuddin, ATT , ananda tercinta Muhammad

Rafif dan Kalila Tsabita Fitri yang menjadi sumber kekuatan penulis

sehingga termotivasi untuk menyelesaikan studi ini.

9. Kepada semua sahabat dan teman-teman seperjuangan di program Studi

S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat yang selalu memberikan motivasi dan

semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program

(10)

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

Akhir kata, semoga Tuhan melimpahkan berkat dan karunia-Nya bagi kita

semua dan penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu penulis sangat

mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini

dengan harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2015 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Minarlin dilahirkan di Tanjung Alam pada tanggal 29 Juni

1978, beragama Islam, anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan ayahanda

Munaji dan Ibunda Almarhummah Marinten, sudah berkeluarga dan memiliki satu

orang putra dan satu orang putri. Saat ini bertempat tinggal di Jalan Buntu Desa

Bandar Setia Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

Penulis menamatkan pendidikan formal dimulai dari pendidikan Sekolah

Dasar Negeri No. 010037 Sei Dadap tahun 1985-1991, Sekolah Menengah Pertama

di Pesantren Modern Daruul Uluum (PMDU) Asahan tahun 1991-1994, SMA Negeri

2 Kisaran tahun 1994-1997, Program D3 Keperawatan Wirahusada Medan tahun

1997 - 2000, Program D4 Perawat Pendidik Universitas Sumatra Utara tahun

2001-2002. Tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Studi S2 flmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan

Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis memulai karir sebagai dosen tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Hipotesis ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Komunikasi (Communication) ... 13

2.1.1. Komponen Komunikasi ... 13

2.1.2. Bentuk Komunikasi... 15

2.1.3. Ciri-ciri dan Karakteristik Komunikasi yang Efektif ... 16

2.1.4. Hambatan dalam Berkomunikasi ... 19

2.1.5. Efektivitas Komunikasi Orang Tua dan Anak ... 20

2.1.6. Komunikasi Orang Tua dan Anak mengenai Seksualitas .. 22

2.2. Kontrol Diri ... 25

2.2.1. Pengertian Kontrol Diri ... 25

2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kontrol Diri ... 27

2.2.3. Jenis-jenis Kontrol Diri ... 28

2.2.4. Teknik Kontrol Diri ... 30

2.2.5. Aspek-aspek Kontrol Diri ... 32

2.2.6. Perkembangan Kontrol Diri pada Remaja ... 33

2.3. Perilaku Seks Pranikah ... 36

2.3.1. Pengertian Perilaku Seks Pranikah ... 36

2.3.2. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seks Pranikah ... 37

2.3.3. Bentuk-bentuk Perilaku Seks Pranikah ... 40

(13)

2.4. Hubungan Komunikasi Orang Tua dan Anak Serta Kontrol Diri

Siswa terhadap Perilaku Seks Pranikah ... 45

2.5. Landasan Teori ... 48

2.6. Kerangka Konsep ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1. Jenis Penelitian ... 50

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 50

3.2.2.Waktu Penelitian ... 50

3.3. Populasi dan Sampel ... 51

3.3.1. Populasi ... 51

3.3.2. Sampel ... 51

3.3.3. Kriteria Sampel ... 51

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 52

3.4.1. Jenis Data ... 52

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 52

3.5.1. Variabel Independen ... 52

3.5.2. Variabel Dependen ... 55

3.6. Metode Pengukuran ... 56

3.7. Metode Analisis Data ... 57

3.7.1.Analisis Univariat ... 57

3.7.2.Analisis Bivariat ... 57

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 58

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 58

4.2. Analisis Univariat ... 59

4.2.1. Komunikasi Orangtua – Anak ... 59

4.2.1.1. Keterbukaan ... 59

4.2.1.2. Empati ... 61

4.2.1.3. Sikap Mendukung ... 62

4.2.1.4. Sikap Positif ... 64

4.2.1.5. Kesetaraan ... 65

4.2.2. Kontrol Diri ... 67

4.2.3. Perilaku Seks Pranikah ... 69

4.3. Analisis Bivariat ... 70

4.3.1. Ringkasan Hasil Estimasi Parameter Model ... 71

(14)

4.3.3. Hasil Perhitungan Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Keterbukaan, Empati, Sikap Mendukung, Sikap Positif dan Kesetaraan) dan Kontrol Diri dengan Perilaku

Seks Pranikah Siswa SMA Prayatna Medan ... 76

BAB 5. PEMBAHASAN ... 80

5.1. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak dengan Kontrol Diri Siswa SMA Prayatna Medan ... 80

5.1.1. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Keterbukaan) dengan Kontrol Diri Siswa SMA Prayatna Medan ... 80

5.1.2. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Empati) dengan Kontrol Diri Siswa SMA Prayatna Medan... 82

5.1.3. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Sikap Mendukung) dengan Kontrol Diri Siswa SMA Prayatna Medan ... 83

5.1.4. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Sikap Positif) dengan Kontrol Diri Siswa SMA Prayatna Medan ... 85

5.1.5. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Kesetaraan) dengan Kontrol Diri Siswa SMA Prayatna Medan ... 86

5.2. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak dengan Perilaku Seks Pranikah Siswa SMA Prayatna Medan ... 87

5.2.1. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Keterbukaan) dengan Perilaku Seks Pranikah Siswa SMA Prayatna Medan... 87

5.2.2. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Empati) dengan Perilaku Seks Pranikah Siswa SMA Prayatna Medan ... 89

5.2.3. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Sikap Mendukung) dengan Perilaku Seks Pranikah Siswa SMA Prayatna Medan ... 91

5.2.4. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Sikap Positif) dengan Perilaku Seks Pranikah Siswa SMA Prayatna Medan... 93

5.2.5. Hubungan Komunikasi Orangtua-Anak (Kesetaraan) dengan Perilaku Seks Pranikah Siswa SMA Prayatna Medan ... 95

5.3. Hubungan Kontrol Diri dengan Perilaku Seks Pranikah Siswa SMA Prayatna Medan ... 97

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1. Kesimpulan ... 101

6.2. Saran ... 101

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur ... 56

4.1. Distribusi Frekuensi Keterbukaan Komunikasi Orang Tua-Anak

pada Siswa SMA Prayatna Medan ... 59

4.2. Distribusi Frekuensi Kategori Keterbukaan Komunikasi Orang

Tua-Anak pada Siswa SMA Prayatna Medan ... 60

4.3. Distribusi Frekuensi Empati Komunikasi Orang Tua Anak pada

Siswa SMA Prayatna Medan ... 61

4.4. Distribusi Frekuensi Kategori Empati Komunikasi Orang Tua

Anak pada Siswa SMA Prayatna Medan ... 62

4.5. Distribusi Frekuensi Sikap Mendukung Komunikasi Orang Tua

Anak pada Siswa SMA Prayatna Medan ... 63

4.6. Distribusi Frekuensi Kategori Sikap Mendukung Komunikasi

Orang Tua Anak pada Siswa SMA Prayatna Medan... 64

4.7. Distribusi Frekuensi Sikap Positif Komunikasi Orang Tua Anak

pada Siswa SMA Prayatna Medan ... 64

4.8. Distribusi Frekuensi Kategori Sikap Positif Komunikasi Orang Tua

pada Siswa SMA Prayatna Medan ... 65

4.9. Distribusi Frekuensi Kesetaraan Komunikasi Orang Tua Anak pada

Siswa SMA Prayatna Medan ... 66

4.10. Distribusi Frekuensi Kategori Kesetaraan Komunikasi Orang Tua

Anak pada Siswa SMA Prayatna Medan ... 67

4.11. Distribusi Frekuensi Kontrol Diri pada Siswa SMA Prayatna

Medan ... 67

4.12. Distribusi Frekuensi Kategori Kontrol Diri Anak pada Siswa SMA

(16)

4.13. Distribusi Frekuensi Perilaku Seks Pranikah pada Siswa SMA

Prayatna Medan ... 69

4.14. Distribusi Frekuensi Kategori Perilaku Seks Pranikah pada Siswa

SMA Prayatna Medan ... 70

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Kerangka Teori Devito (1997), Calhoun & Acocella (1995) dan

Sarwon (1991) ... 49

2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 49

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 107

2. Kuesioner Penelitian ... 108

3. Master Data Penelitian ... 113

4. Hasil Uji Statistik ... 123

5. Surat IzinPenelitian dari FKM USU ... 146

(19)

ABSTRAK

Perilaku seks pranikah pada siswa SMA Prayatna Medan tergolong tinggi sebesar 32,8%. Keadaan ini terkait dengan faktor komunikasi orang tua anak (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan) dan Kontrol diri.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan komunikasi orang tua dan anak (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan) serta kontrol diri siswa dengan perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan. Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi SMA Prayatna Medan kelas XI yang berjumlah 106 orang. Sampel sebanyak 106 orang, diambil dengan teknik total sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan uji regresi bergandapada α = 5%. `

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan komunikasi orang tua-anak (keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif dan kesetaraan) dengan kontrol diri siswa dan perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan serta terdapat hubungan kontrol diri dengan perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan.

Disarankan kepada orang tua dan anak untuk meningkatkan komunikasi bersama dalam upaya meningkatkan kontrol diri dan menurunkan perilaku seks pranikah siswa SMA Prayatna Medan, kepada siswi SMA Prayatna Medan untuk meningkatkan kontrol diri dan mampu menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial dan kepada pihak SMA Prayatna Medan sebaiknya turut memperhatikan siswa dan mengarahkan siswa untuk tidak berperilaku seks pranikah.

(20)

ABSTRACT

Pre-marriage sexual behavior among the students of SMA Prayatna Medan is quite high (32.8%). This condition was related to the factors of parent-children communication (transparency, emphaty, supporting attitude, positive attitude, and equality) and self-control.

The purpose of this analytical survey study with cross-sectional approach was to analyze the relationship between the parent-children communication (transparency, emphaty, supporting attitude, positive attitude, and equality) and students' self-control and the pre-marriage sexual behavior at SMA Prayatna Medan. The population of this study was all of the 106 female students of Grade X of SMA Prayatna Medan, and all (106) of them were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through Chi-square test ata^O. 05 (5%).

The result of this study showed that there was a relationship between the parent-children communication (transparency, emphaty, supporting attitude, positive attitude, and equality) and the pre-marriage sexual behavior at SMA Prayatna Medan, there was a relationship between the children-parent communication (transparency, emphaty, supporting attitude, positive attitude, and equality) and the pre-marriage sexual behavior at SMA Prayatna Medan, and there was also a relationship between self-control and the pre-marriage sexual behavior at SMA Prayatna Medan.

The parents and children are suggested to improve their joint communication in order to minimize the pre-marriage sexual behavior of the students of SMA Prayatna Medan. The students of SMA Prayatna Medanare suggested to improve their self-control and be able to control their temporary desire which is in the contrary with the behavior and inappropriate with the social norm, and the management of SMA Prayatna Medan should pay attention to the students' behavior and to direct them not to have pre-marriage sexual behavior.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perilaku seksual di kalangan remaja yang yang belum menikah menunjukkan

tren yang tidak sehat. Hal ini dapat dipengaruhi era globalisasi yang dianggap sebagai

bentuk modernitas bagi sebagian remaja. Pengaruh informasi global (paparan media

audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk

mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman

beralkohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar remaja

atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan

mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan

berperilaku seksual yang berisiko tinggi karena kebanyakan remaja tidak memiliki

pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas (Rachman,

2008).

Seks bebas dan kehamilan dikalangan remaja merupakan salah satu contoh

realita perilaku remaja di bidang seksual. Hal ini ditambah dengan terbatasnya

pengetahuan mereka tentang sistem reproduksi, seringkali menyebabkan perbuatan

coba-coba karena ingin tahu perbuatan mereka membuahkan kehamilan yang tidak

direncanakan (Tanjung, 2001).

Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan serangkaian akibat seperti

(22)

AIDS. Perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja akhir-akhir ini cukup

memprihatinkan. Beberapa remaja berpendapat bahwa mereka permisif terhadap

perilaku seksual pranikah. Bahkan banyak dari mereka yang sudah kehilangan

keperawanan saat masih duduk di bangku sekolah (Uin, 2013).

Bagaimanapun orang tua juga memegang peranan penting didalam remaja

memutuskan atau tidak melakukan hubungan seks. Penelitian pada tahun 2001

diperoleh 45% remaja mengatakan bahwa orang tua berpengaruh sangat kuat

terhadap keputusan mereka terhadap seks. Orang tua mempengaruhi keputusan

remaja dalam perilaku seks dengan melalui status perkawinan orang tua, sikap,

pengawasan dan meliputi kehidupan anak-anak mereka (Maher, 2005). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa komunikasi orang tua merupakan aspek yang dapat

mempererat kedekatan hubungan orang tua-remaja dan sekaligus internalisasi

nilai-nilai norma, keyakinan, sikap dan harapan yang disampaikan orang tua pada

remajanya (Martino, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Wiendijarti (2011) mengenai ”Komunikasi

Interpersonal Orang Tua dan Anak dalam Pendidikan Seksual” di SMU Yogyakarta

Kelas 2 yang berjumlah 50 orang menyebutkan bahwa dari sudut pandang remaja

sendiri, mereka mendambakan untuk memperoleh informasi tentang seks dari

orangtuanya sendiri. Bagi kaum remaja pada umumnya, mereka sebagian besar

mengenal seks pertama kali melalui media massa, baik melalui video porno yang

(23)

situs-situs porno di internet, pelajaran di sekolah dan hanya sedikit yang memperoleh dari

orang tua.

Ketika remaja menuntut otonomi, maka orang tua yang bijaksana harus

melepaskan kendali dalam bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil

keputusan-keputusan yang masuk akal, di samping terus memberikan bimbingan

untuk mengambil keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana

pengetahuan anak remajanya masih terbatas (Desmita, 2006).

Perlunya pengikatan dan pendampingan orang tua memang berat

tantangannya karena seringkali remaja bersikap kritis dan cenderung menentang

pendapat orang tua, sehingga orang tua perlu membangun komunikasi dengan anak

terutama masalah seksualitas dengan menyadari berbagai perubahan atau gejolak

yang dialami remaja. Orang tua harus mampu memposisikan diri sebagai sahabat bagi

remaja serta perlu melakukan pengikatan emosi terhadap mereka dengan tujuan agar

anak selalu merasa dekat dan aman di lingkungan keluarganya. Komunikasi orang tua

dan anak dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai dan

komunikasi diantara keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan adanya

keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi yang efektif dilandasi

adanya kepercayaan, keterbukaan dan dukungan yang positif pada anak agar anak

dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orang tua (Rakhmat, 2007).

Komunikasi efektif orangtua-remaja telah diidentifikasi sebagai strategi utama

dalam meningkatkan perilaku seksual bertanggung jawab dan pengalaman seksual

(24)

komunikasi, orangtua seharusnya menjadi sumber informasi dan pendidik utama

tentang seksualitas bagi remajanya. Namun, orangtua sering menghadapi kesulitan

untuk membicarakan masalah seksual kepada remajanya, begitu pun sebaliknya

(Kirby D, Miller BC, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Teguh (2012) mengenai Kesehatan

Reproduksi dengan Praktik Seksual Pranikah pada Mahasiswi Kebidanan di

Politeknik Kesehatan Depkes Semarang” yang berjumlah 43 orang oleh Ahmad

Teguh (2012) menyebutkan bahwa faktor yang memengaruhi perilaku seksual selain

sikap remaja adalah kurangnya informasi mengenai seks peran orang tua yang kurang

dan adanya situasi yang mendukung. Untuk itu perlunya informasi tentang

pemenuhan kebutuhan remaja melalui program yang tepat termasuk pendidikan dan

konseling.

Komunikasi antara orang tua dengan remaja dikatakan berkualitas apabila

kedua belah pihak memiliki hubungan yang baik dalam arti bisa saling memahami,

saling mengerti, saling mempercayai dan menyayangi satu sama lain (Putri, 2012).

Komunikasi antara orang tua dan anak mengenai seksualitas merupakan usaha

pemberian informasi kepada anak tentang kondisi fisik, hubungan antar manusia,

kesehatan seksual dan konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi

tersebut, sehingga timbul pengertian dan penghayatan pada remaja tentang identitas

seks dalam dirinya yang ditampilkan melalui sikap dan perilakunya sesuai dengan

(25)

Pembentukan sikap dapat dilakukan oleh orangtua melalui pendidikan seks

untuk meningkatkan pengetahuan remaja tentang seksualitas. Remaja yang memiliki

kesulitan berkomunikasi dengan orangtuanya tentang masalah seksualitas, cenderung

memiliki sikap permisif terhadap hubungan seksual (Nuranti, 2009).

Penelitian yang dilakukan Desi Kurnia Sari (2010) mengenai ”Komunikasi

Orang Tua dan Perilaku Seksual Remaja Sekolah Menengah Kejuruan di Kota

Baturaja” Kelas 3 SMK yang berjumlah 250 orang oleh menyebutkan bahwa dalam

berkomunikasi tentang hal yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja,

orangtua paling sering memberikan nasehat tentang larangan untuk tidak melakukan

hubungan seksual, namun orangtua tidak memberikan batasan yang jelas dalam

pacaran. Remaja mempersepsikan sendiri pesan orangtua, bahwa batas yang tidak

boleh dilakukan dalam pacaran adalah hubungan seks.

Permasalahan yang dihadapi remaja nampaknya kurang mampu ditanggapi

secara empati oleh orang tua, hal ini yang kemudian menimbulkan adanya

semacam‘gap’ antara remaja dan orang tua. Orang tua dipandang kurang mampu

memahami jiwa remaja, sebaliknya remaja dianggap oleh orang tua kurang bisa

mengerti keadaan orang tua. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan menciptakan

komunikasi interpersonal yang efektif antara remaja dengan orangtua (Wiendijarti,

2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Syaifuddin Zuhri (2008) mengenai ”Model

Pendidikan Seks (Sex Education) Orang Tua Bagi Remaja Guna Mencegah Seks Pra

(26)

Surabaya oleh Syaifuddin Zuhri (2008) menyebutkan orang tua remaja selalu

melakukan komunikasi dengan putra putri mereka, tetapi ketika topik pembicaraan

yang akan dibahas mengarah pada seksualitas remaja merasakan adanya kesenjangan

dalam berkomunikasi dengan alasan merasa tabu dan sungkan bila berbicara

seksualitas dengan putra putri.

Hasil penelitian lain dalam jurnal yang berjudul ”Parental Communication

and Youth Sexual Behaviour” menyebutkan telah dilakukan penelitian pada 1083

remaja dengan rentang usia antara 13-17 tahun menyatakan bahwa remaja

mempunyai kemungkinan yang sangat kecil untuk melakukan pergaulan bebas jika

orang tua mereka mengajarkan dengan jelas dan benar tentang penundaan aktivitas

seksual dan berbagai penyakit kelamin. Remaja yang aktif berkomunikasi dengan

orang tua cenderung tidak akan melakukan perilaku seks pranikah serta akan

melakukan pembatasan kelahiran. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang

tua mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mempengaruhi keputusan

perilaku seksual anak-anak mereka (Aspy, 2007).

Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Annika Joan Wood,

mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang asal Australia, yang hasilnya

memaparkan bahwa 30% mahasiswi sudah melakukan hubungan seks pranikah.

Faktor yang banyak mempengaruhi hubungan seks tersebut karena persoalan nafsu

yang sulit dikendalikan. Selain itu para pendidik, orang tua, maupun lembaga

pemerintah masih menganggap tabu tentang pendidikan kesehatan reproduksi

(27)

yang sudah menikah, serta masih banyak orang tua yang hanya melarang anaknya

melakukan pergaulan bebas tanpa pernah menjelaskan dampak negatifnya (Abm,

2009).

Hal yang sama ditemukan oleh Ririn Darmasih (2011) mengenai “Kajian

Perilaku Sex Pranikah Remaja SMA di Surakarta” yang berjumlah 114 orang

menyebutkan ada pengaruh secara signifikan antara peranan keluarga terhadap

perilaku seks pranikah pada remaja SMA di Surakarta. Orang tua adalah tokoh

penting dalam perkembangan indentitas remaja. Orang tua dapat membangun

hubungan dan merupakan sistem dukungan ketika remaja menjajaki suatu dunia

sosial yang lebih luas dan lebih kompleks.

Selain komunikasi orang tua dengan anak, salah satu faktor yang

mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah kontrol diri. Kontrol diri (self control)

dapat diartikan sebagai kemampuan mengatur proses fisik, psikologis, dan perilaku

dalam menghadapi stimulus sehingga dapat menghindari konsekuensi yang tidak

diinginkan (Safitri, 2007).

Menurut Safarino (1997) mengemukakan bahwa kontrol diri diperlukan untuk

mengatur perilaku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan pada saat seseorang

berhadapan dengan stimulus-stimulus. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan

bahwa kontrol diri merupakan salah satu faktor dari dalam diri manusia yang sangat

penting sehingga dapat terhindar dari perilaku seksual pranikah di kalangan remaja.

Kontrol diri yang tinggi sangat dibutuhkan sehingga seorang individu tidak gampang

(28)

Dalam konsep kontrol diri pada remaja selalu diikuti dengan perilaku yang

dikendalikan rasa bersalah, sebab dalam diri seseorang yang mempunyai moral yang

matang selalu ada rasa bersalah dan malu. Namun, rasa bersalah berperan lebih

penting dari pada rasa malu dalam mengendalikan perlaku apabila pengendalian

lahiriah tidak ada. Hanya sedikit remaja yang mampu mencapai tahap perkembangan

moral yang demikian sehingga remaja tidak dapat disebut secara tepat orang yang

”matang secara moral” (Susanti, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Iga Serpianing Aroma (2010) mengenai ”

Tingkat Kontrol Diri dengan Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja” di SMK X

Kediri yang berjumlah 265 orang oleh Iga Serpianing Aroma (2010), menyebutkan

bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat kontrol diri dengan kecenderungan

perilaku kenakalan remaja. Semakin tinggi tingkat kontrol diri maka semakin rendah

pula kecenderungan perilaku kenakalan remaja, sebaliknya semakin rendah tingkat

kontrol diri maka semakin tinggi kecenderungan perilaku kenakalan remajanya.

Perilaku kenakalan remaja yang menyimpang terhadap norma antara lain seks

pranikah dikalangan remaja dan aborsi oleh remaja wanita dan lain sebagainya.

Penelitian lain mengenai kontrol diri yang dilakukan oleh Dini Susanti,

mahasiswa psikologi UIIS Malang tahun 2002, yang memaparkan bahwa dari

keseluruhan responden sudah cukup mampu mengontrol diri mereka agar tidak

terjerumus pada seks pranikah namun sayangnya mayoritas dari mereka

menggunakan cara yang kurang tepat, negatif, tidak sehat dan tidak terarah. Dari

(29)

dengan jalan yang positif, dan 50% dari mereka yang mengatakan bahwa hubungan

seks pranikah adalah suatu hal yang wajar dan mereka tidak mampu mengontrol diri

untuk melakukan seks pranikah karena mereka didukung oleh pergaulan (Susanti,

2002).

Perilaku negatif remaja terutama hubungannya dengan penyimpangan

seksualitas seperti seks pranikah ini, banyak faktor yang mempengaruhi (internal dan

eksternal). Di samping kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak mengenai

seksualitas, ada juga faktor eksternal penyebab terjadinya perilaku seks pranikah

yaitu lemahnya kontrol diri remaja. Untuk itu diharapkan dengan adanya kontrol diri

remaja dan kontrol dari keluarga terutama efektivitasnya komunikasi orang tua dan

anak akan mampu menjaga sikap, tanggung jawab, etika dan moralnya, serta dapat

mengurangi atau mencegah terjadinya perilaku seksual pranikah di kalangan remaja.

Berdasarkan observasi peneliti terhadap SMA yang ada di Medan Tembung

yang terdiri dari SMA Mulia, SMA Prasetia, SMA Teladan dan SMA Prayatna

diperoleh bahwa SMA Prayatna yang dijumpai lebih banyak yang melakukan seks

pra nikah jika dibandingkan dengan SMA lain yang ada di Medan Tembung. Peneliti

melaksanakan penelitian di SMA Prayatna Medan.

Peneliti mengambil lokasi penelitian di SMA Prayatna Medan, dengan alasan

bahwa SMA Prayatna Medan adalah salah satu SMA yang siswanya banyak

melakukan seks pra nikah jika dibandingkan dengan SMA lain yang ada di Medan

Tembung. Selain itu SMA Prayatna Medan merupakan berada di pusat kota dan

(30)

yang dilakukan terhadap 10 orang siswa, menurut siswi tersebut bahwa mereka

sekitar 30% sudah melakukan seks pra nikah. Keadaan ini terkait dengan komunikasi

orang tua dan anak yang kurang baik terutama komunikasi tentang seksual dan

pendidikan seks yang kurang dari orang tua terhadap anak yang kurang di dapatkan

anak dari orang tua. Selain itu siswa SMA Prayatna kurang mengontrol diri dari

dorongan seksual yang menyebabkan keinginan-keinginan yang menuntut kepuasan,

sehingga sukar sekali dikendalikan, tetapi dengan jujur harus diakui bahwa remaja

kesulitan dalam mengendalikan seks pada saat berpacaran dengan lawan jenisnya. Karena

meningkatnya minat pada seks, remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi

mengenai seks.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di SMA Prayatna Medan, dengan alasan bahwa SMA Prayatna Medan adalah salah satu SMA yang siswanya banyak melakukan seks pra nikah jika dibandingkan dengan SMA lain yang ada di kota Medan. Selain itu SMA Prayatna Medan merupakan berada di pusat kota dan memiliki lingkungan sosial budaya yang berbeda-beda. Dan berdasarkan survey awal yang dilakukan terhadap 10 orang siswa, menurut siswi tersebut bahwa mereka sekitar 30% sudah melakukan seks pra nikah. Keadaan ini terkait dengan komunikasi orang tua dan anak yang kurang baik terutama komunikasi tentang seksual dan pendidikan seks yang kurang dari orang tua terhadap anak yang kurang di dapatkan anak dari orang tua. Selain itu siswa SMA Prayatna kurang mengontrol diri dari dorongan seksual yang menyebabkan keinginan-keinginan yang menuntut kepuasan, sehingga sukar sekali dikendalikan, tetapi dengan jujur harus diakui bahwa remaja

(31)

meningkatnya minat pada seks, remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi

mengenai seks.

Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa seluk-beluk tentang seks dapat

dipelajari dari orang tuanya. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi

yang mungkin dapat diperoleh, misalnya lewat internet, membahas dengan teman-teman,

buku-buku tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi,

bercumbu, atau bersenggama.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian

tentang ”Hubungan komunikasi orang tua-anak dan kontrol diri siswa dengan

perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan”.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah

bagaimana hubungan komunikasi orang tua-anak dan kontrol diri siswa dengan

perilaku seks pranikah di SMA Prayatna Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan komunikasi orang

tua-anak dan kontrol diri siswa dengan perilaku seks pranikah di SMA Prayatna

Medan.

1.4. Hipotesis

Ada hubungan komunikasi orang tua-anak dan kontrol diri siswa dengan

(32)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi Sekolah SMA Prayatna Medan dan khususnya guru-guru sebagai informasi

upaya meningkatkan perhatian perilaku seks pranikah siswa/siswinya.

2. Bagi orang tua siswa sebagai upaya meningkatkan komunikasi mengenai

seksualitas terhadap anak untuk menurunkan perilaku seks pranikah.

3. Bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya yang terkait dengan

(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi (Communication)

Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi di antara individu

melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkat laku. Komunikasi adalah

suatu proses melalui dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus

(biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku

orang-orang lainnya/khalayak (Riswandi, 2009).

Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang

lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain

diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source)

adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara

lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus

disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan

memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk

ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi

stimulus yang dikeluarkan oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur

komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media), adalah alat atau sarana yang

digunakan oleh komunikan dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada

(34)

2.1.1. Komponen Komunikasi

Terjadinya komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak lainnya,

antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain

memerlukan keterlibatan beberapa komponen komunikasi, yaitu komunikator,

komunikan, pesan, media dan efek.

Komponen komunikasi menurut Effendy O.U (2009), komponen komunikasi

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Komunikator (pembawa berita)

Komunikator, yaitu pemrakarsa komunikasi (pembawa berita), bisa individu,

keluarga, maupun kelompok yang mengambil inisiatif dalam menyelenggarakan

komunikasi. Komunikasi ini berlangsung antar individu atau kelompok lain yang

menjadi sasarannya. Komunikator dapat juga berati tempat berasalnya sumber

komunikasi.

2. Message (pesan atau berita)

Message (pesan) adalah berita yang disampaikan oleh komunikator melalui

lambang-lambang, pembicaran, gerakan dan sebagainya. Message bisa berupa

gerakan, sinar, suara, lambaian tangan, kibaran bendera atau tanda-tanda lain,

dengan interpretasi yang tepat akan memberikan arti dan makna tertentu.

3. Channel (media atau sarana)

Channel (saluran) adalah, sarana tempat berlalunya pesan yang disampaikan oleh

komunikator kepada komunikan. Komunikan (penerima berita).

(35)

Komunikan adalah objek atau sasaran dari kegiatan komunikasi atau orang yang

menerima pesan atau lambang. Dapat berupa individu, keluarga maupun

masyarakat.

5. Efek (effect).

Efek adalah tanggapan, seperangkat reaksi komunikan setelah menerima pesan.

2.1.2. Bentuk Komunikasi

Secara garis besar komunikasi dibagi menjadi empat bentuk, yaitu komunikasi

personal (komunikasi intra personal dan komunikasi interpersonal), komunikasi

kelompok, komunikasi massa, dan komunikasi medio (Effendy, 2009).

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan pada diri

sendiri, yang terdiri dari sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Komunikasi ini

biasanya dilakukan oleh seseorang ketika merenung tentang dirinya atau pada saat

melaukan evaluasi diri. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan

kepada orang lain atau kmunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Komunikasi kelompok terdiri dari dua bentuk yaitu komunikasi kelompok kecil dan

komunikasi kelompok besar. Kemunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan

dengan perantara atau media komunikasi yang ada dimasyarakat seperti radio,

televise, film, pers, dan lain-lain. Komunikasi medio adalah bentuk komunikasi yang

menggunakan media atau alat peraga tertentu seperti surat, telepon, e-mail, pamphlet,

poster, spanduk dan sebagainya (Effendy, 2009).

Agar proses komunikasi tentang kesehatan efektif dan terarah dapat dilakukan

(36)

komunikasi yang paling efektif, karena antara komunikan dan komunikator dapat

langsung tetap muka, sehingga timbul stimulus yakni pesan atau informasi yang

disampaikan oleh komunikan, langsung dapat direspon atau ditanggapi pada saat itu

juga (Notoatmodjo, 2003).

Pada pembahasan berikutnya akan dijelaskan lebih lanjut mengenai

komunikasi interpersonal.

2.1.3. Ciri-ciri dan Karakteristik Komunikasi yang Efektif

Menurut Devito (1989), faktor-faktor efektifitas komunikasi dimulai dengan

lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :

1. Keterbukaan (Openness)

Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi

interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka

kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus

dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya.memang ini mungkin

menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada

kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya

disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut.

Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator

untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam,

tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan

yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang

(37)

daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan.

Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap

orang lain.

Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner

dan Kelly, 1974). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan

dan pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik anda dan anda

bertanggungjawab atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini

adalah dengan pesan yang menggunakan kata Saya (kata ganti orang pertama

tunggal).

2. Empati (Empathy)

Empati adalah sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang

sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain

itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan

bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan

sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan

merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik

mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap

mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Kita dapat

mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara

nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1)

(38)

sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi komtak mata, postur tubuh yang penuh

perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.

3. Sikap Mendukung (Supportiveness)

Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap

mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan

berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat

berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap

mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan

strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

4. Sikap Positif (Positiveness)

Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan

sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif

mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu

pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi

interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka

sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat

penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari

pada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak

bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.

5. Kesetaraan (Equality)

Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin

(39)

yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal.

Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila

suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua

pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak

mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan

interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik

lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada

sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan

kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal

pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl

rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak

bersyarat” kepada orang lain.

2.1.4. Hambatan dalam Berkomunikasi

Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Menurut Supratiknya, sumber utama

kesalahpahaman dalam komunikasi adalah cara penerima menangkap makna suatu

pesan berbeda dari yang dimaksud oleh pengirim, karena pengirim gagal

mengkomunikasikan maksudnya dengan tepat. Sedangkan Johnson (1981)

berpendapat bahwa kegagalan yang timbul dalam komunikasi karena adanya

kesenjangan antara apa yang sebenarnya dimaksud pengirim dengan apa yang oleh

penerima diduga dimaksudkan oleh pengirim. Hal ini bersumber pada sejumlah

faktor, yaitu:

(40)

b. Dengan maksud sadar maupun tidak sadar ketika mendengarkan seringkali

seseorang memberikan penilaian dan menghakimi pembicara sehingga menjadi

defensif. Artinya, bersikap menutup diri dan sangat berhati-hati dalam

berkata-kata.

c. Kegagalan dalam menangkap maksud konotatif dibalik ucapan sehingga tidak

sepenuhnya mampu mengetahui arti denotatif kata-kata yang digunakan seorang

pembicara.

d. Kesalahpahaman atau distorsi dalam komunikasi sering terjadi karena tidak saling

mempercayai (Supratiknya, 1995).

Begitu banyak hal yang dapat menghambat efektivitas dalam komunikasi

remaja dan orang tua, yang begitu sering terjadi yaitu kecenderungan memberikan

tanggapan secara selektif,sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan menjadi

konflik dalam keluarga. Dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua harus

memperhatikan pemilihan kata, penggunaan intonasi, penyusun kalimat dan

penyertaan bahasa isyarat. Orang tua perlu menyadari bahwa apayang mereka

lakukan pada remajanya akan membentuk perilaku yangsama pada diri mereka.

Antara orang tua dan anak sering terjadi prbedaan perspektif dan persepsi selektif

sehingga sangat penting untuk seseorang memastikan makna setiap pesan yang

diterimanya sebelum menanggapi.

2.1.5. Efektivitas Komunikasi Orang Tua dan Anak

Komunikasi keluarga efektif tidak bisa lepas dari karakter dan fungsi dari

(41)

yang berperan dalam pembentukan kepribadian anggota keluarga khususnya anak.

Kegiatan komunikasi keluarga yang efektif dapat membentuk gaya hidup dalam

keluarga yang sehat. Dampak situasi hubungan yang sehat antara orang tua dengan

anak yaitu komunikasi yang penuh kasih sayang, persahabatan, kerja sama,

penghargaan, kejujuran, kepercayaan dan keterbukaan akan membentuk ketentraman

keluarga. Suasana komunikasi yang demikian merupakan suasana yang mendukung

pertumbuhan anak ke arah yang positif. Kesepahaman antara komunikator dengan

komunikan merupakan faktor penting dalam komunikasi. Komunikasi dapat sebagai

sarana pengenalan diri, pengembangan konsep diri, serta penetapan hubungan dengan

dunia sekitar. Dengan adanya kesepahaman menunjukkan bahwa komunikasi tersebut

merupakan komunikasi yang sempurna. Sempurnanya komunikasi menunjukkan

bahwa komunikasi yang dibangun tersebut telah efektif. Menurut Supratiknya, suatu

komunikasi disebut efektif apabila penerima (komunikan) menginterpretasikan pesan

yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim (komunikator).

Sedangkan Johnson berpendapat bahwa terdapat tiga syarat kiat untuk mengirimkan

pesan secara efektif yaitu: pertama , mengusahakan agar pesan yang dikirim mudah

untuk dipahami. Kedua, sebagai pengirim harus memiliki kredibilitas di mata

penerima. Ketiga, mengusahakan untuk mendapatkan umpan balik secara optimal.

Komunikasi merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena sebagai

makhluk sosial, manusia mempunyai pergaulan dalam keluarga, lingkungan

masyarakat, sekolah, organisasi sosial dan sebagainya. Dalam setiap

(42)

itu sendiri, frekuensi pertemuan, jenis relasi dan derajat pergaulan. Tetapi juga

terletak pada seberapa jauh mereka dapat saling mempengaruhi, saling terlibat satu

sama lainnya, berbagi informasi, gagasan dan sikap. Begitu juga dengan komunikasi

orang tua dan anak dapat dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling

menyukai dan komunikasi diantara keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan

adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi yang efektif

dilandasi adanya kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang positif pada anak

agar anak dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orang tua.

Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain karena

manusia adalah makhluk yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi segala

kebutuhannya, komunikasi juga mempengaruhi perkembangan kepribadian

seseorang. Apabila dalam lingkungan keluarga, dimana individu paling banyak

menghabiskan waktu bersama orang-orang yang terdekat dengannya, mampu

menjaga keefektifan komunikasi antara orang tua dan anak, maka besar peluangnya

bagi anak untuk tumbuh sebagai manusia dewasa yang dapat berkomunikasi dengan

baik dan bersikap positif pada diri dan lingkungannya.

2.1.6. Komunikasi Orang Tua dan Anak mengenai Seksualitas

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, seks mempunyai arti jenis kelamin,

sesuatu yang bisa ditunjuk. Jenis kelamin ini memberikan kita pengetahuan tentang

suatu ciri atau sifat yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, sedangkan

(43)

aspek atau dimensi yang sangat luas, di antaranya adalah dimensi biologis,

psikologis, sosial dan kultural.

a. Dimensi Biologis

Seksualitas berkaitan dengan organ reproduksi dan kelamin. Termasuk di

dalamnya adalah bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara

optimal, secara biologis sebagai alat reproduksi, rekreasi, dan dorongan seksual.

b. Dimensi Psikologis

Menyatakan bahwa seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana menjalankan

fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran, dan perasaan terhadap peranan

seksnya sendiri.

c. Dimensi Sosial

Dimensi ini menyorot bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia,

bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai

seksualitas dan pada akhirnya perilaku seksual kita.

d. Dimensi Kultural

Dimensi ini menunjukkan bagaimana perilaku seks menjadi bagian dari budaya

yang ada dalam masyarakat.

Memang dalam persoalan seks di masyarakat ketimuran masih dianggap tabu

untuk membicarakan secara fulgar. Namun mengingat ini merupakan salah satu dari

bagian kehidupan manusia harus mendapat perhatian yang serius agar tidak salah

pengertian tentang seks. Pengertian seksualitas yang ada di masyarakat masih sangat

(44)

hubungan seksual. Padahal secara harfiah seks artinya kelamin, sama sekali tidak

porno karena setiap orang memilikinya (Erwin, 2005).

Komunikasi orang tua dan anak mengenai seksualitas bermaksud memberikan

pengetahuan dan pandangan seluas-luasnya dari berbagai sudut pandang serta

memberikan informasi yang benar dan faktual kepada remaja mengenai seksualitas,

sehingga remaja memiliki pengetahuan yang lengkap tentang seksualitas dan tidak

terjerumus dalam penyimpangan-penyimpangan seksual termasuk perilaku seks

pranikah.

Dengan adanya pengetahuan atau informasi faktual yang benar dan utuh serta

perilaku yang bertanggungjawab, misalnya adanya resiko hamil di luar nikah jika

melakukan hubungan seksual pranikah, maka remaja akan berpikir dua kali bahkan

lebih untuk melakukan perilaku tersebut dan cenderung akan bersikap tidak setuju

terhadap perilaku yang bergaya kebarat-baratan tersebut.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua merupakan

mediator yang paling tepat dalam menyampaikan informasi tentang seksualitas

kepada remaja, karena tidak jarang remaja yang mencari informasi seksualitas yang

berasal dari luar, yang kurang bertanggung jawab, seperti teman sebaya, majalah

ataupun internet. Dengan adanya komunikasi tersebut maka orang tua mampu

memberikan pemahaman yang jelas dan nyata mengenai seksualitas sehingga remaja

akan lebih bisa menjaga sikap, tanggung jawab, etika dan moralnya. Komunikasi

tersebut juga dapat mengurangi atau mencegah terjadinya perilaku seksual pranikah

(45)

2.2. Kontrol Diri

2.2.1. Pengertian Kontrol Diri

Kontrol diri adalah pengaturan proses-proses fisik dan psikologis dari perilaku

seseorang, dengan kata lain kontrol diri merupakan serangkaian proses membentuk

dirinya sendiri (Calhoun, 1995).

Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan atau

dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan

norma sosial (Gunarsa, 2004).

Messina & Messina (2003) menyatakan bahwa kontrol diri adalah

seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi,

keberhasilan menangkal pengrusakan diri (self-destruction), perasaan mampu pada

diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh orang lain,

kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran

rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab atas diri

pribadi. Sedangkan Papalia (2004), menyatakan self control adalah kemampuan

individu untuk menahan dorongan-dorongan dan kemampuan individu untuk

mengendalikan tingkah lakunya pada saat tidak adanya kontrol dari lingkungan.

Beberapa ahli menyatakan bahwa kontrol diri merupakan konsep yang

diaplikasikan pada analisis pemecahan masalah, kemampuan berpikir dan kreativitas

seseorang. Kontrol diri merupakan suatu prosedur pengembangan tingkah laku yang

dilakukan individu terhadap dirinya dalam usaha pengembangan diri yang optimal.

(46)

menggunakan kontrol diri seseorang akan menjadi penguasa yang baik bagi dirinya

sendiri maupun lingkungan di luar dirinya.

Calhoun dan Acocella menyatakan bahwa ada dua alasan yang mengharuskan

individu mengontrol perilakunya, pertama bahwa individu merupakan makhluk sosial

yang tidak dapat hidup sendiri sehingga membutuhkan orang lain, namun agar

individu tidak melanggar hak-hak orang lain serta tidak membahayakan orang lain,

maka individu tersebut harus mengontrol perilakunya. Kedua, masyarakat mendorong

individu untuk secara konsisten menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya

sehingga dalam memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan kontrol diri agar dalam

proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang

menyimpang (Calhoun, 1995).

Kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan perkembangan usia.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa

yang diharapkan oleh kelompok dari dirinya kemudian mau membentuk perilakunya

agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong, dan

diancam (hukuman) seperti yang dialami pada waktu anak-anak (Hurlock, 1980).

Kemampuan mengontrol diri pada remaja juga berkembang seiring dengan

kematangan emosi. Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada

akhir masa remaja tidak “meledakkan ”emosinya dihadapan orang lain, melainkan

menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan

(47)

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kontrol diri

adalah kemampuan individu untuk membimbing, mengatur dan mengarahkan tingkah

laku, emosi serta dorongan-dorongan atau keinginan dalam dirinya sehingga dapat

memberikan dampak yang positif.

2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kontrol Diri

Sebagaimana faktor psikologis lainnya, kontrol diri dipengaruhi pula oleh

beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang

mempengaruhi kontrol diri seseorang adalah faktor usia dan kematangan. Semakin

bertambahnya usia seseorang maka akan semakin baik kontrol dirinya, individu yang

matang secara psikologis juga akan mampu mengontrol perilakunya karena telah

mampu mempertimbangkan mana hal yang baik dan yang tidak baik bagi dirinya

(Gunarsa, 2004).

Faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga

terutama orang tua akan menentukan bagaimana kemampuan kontrol diri seseorang.

Bila orang tua menerapkan kepada anaknya sikap disiplin secara intens sejak dini dan

orang tua bersikap konsisten terhadap semua konsekuansi yang dilakukan anak bila

menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap konsisten ini akan

diinternalisasi oleh anak, akan menjadi kontrol bagi dirinya. Teladan dan contoh

sangat penting, orang tua yang tidak mampu dan tidak mau mengontrol emosinya

terhadap anak akan semakin memperburuk keadaan (Calhoun, 1995).

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

(48)

Individu yang memiliki kontrol diri yang baik akan dapat mengatur perilaku, kognisi

dan memilih tindakan secara positif. Seseorang mampu memprioritaskan segala

sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya serta mampu mengendalikan diri dan

pikirannya untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan.

2.2.3. Jenis-jenis Kontrol Diri

Menurut Block and Block, ada tiga jenis kontrol diri yaitu:

a. Over control, yaitu kontrol yang berlebihan dan menyebabkan seseorang banyak

mengontrol dan menahan diri untuk bereaksi terhadap suatu stimulus.

b. Under control, yaitu kecenderungan untuk melepaskan impuls yang bebas tanpa

perhitungan yang masak.

c. Approprite control, yaitu kontrol yang memungkinkan individu mengendalikan

impulsnya secara tepat.

Menurut Safarino, kontrol diri yang digunakan individu dalam menghadapi

suatu stimulus meliputi:

a. Behavioral control, kemampuan dalam mengambil tindakan konkrit untuk

mengurangi akibat dari stressor. Tindakan inidapat berupa pengurangan intensitas

kejadian atau meperpendek durasi kejadian.

b. Cognitif control, yaitu kemampuan proses berpikir atau strategi untuk

memodifikasi akibat dari stressor. Strateginya dapat berupa penggunaan cara yang

berbeda dalam memikirkan kejadian tersebut atau memfokuskan pada pemikiran

(49)

c. Decision control, yaitu kesempatan untuk memilih antara prosedur alternatif atau

tindakan yang dilakukan.

d. Informational control, yaitu kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan,

mengenai kejadian yang menekan, kapan akan terjadi, mengapa dan apa

konsekuensinya. Kontrol informasional dapat mengurangi stres dengan

meningkatkan kemampuan seseorang untuk memprediksi dan mempersiapkan apa

yang akan terjadi dan mengurangi ketakutan seseorang dalam menghadapi sesuatu

yang tidak diketahuinya.

e. Retrospective control, yaitu kemampuan untuk menyinggung kepercayaan

mengenai apa atau siapa yang menyebabkan kejadian yang menekan setelah

kejadian tersebut terjadi (Mufidah, 2008).

Berdasarkan pendapat kedua tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa

jenis-jenis kontrol diri sebagai berikut:

a. Mengontrol perilaku, yaitu kemampuan mengambil tindakan konkrit untuk

mengurangi akibat dari penyebab.

b. Kontrol kognitif, yaitu kemampuan proses berpikir untuk mencari cara atau

strategi akibat dari stressor.

c. Kontrol keputusan, yaitu kesempatan untuk memilih antara prosedur alternatif

atau tindakan yang dilakukan.

d. Kontrol informasi, yaitu kesempatan memperoleh informasi untuk mengurangi

stres dengan meningkatkan prediksi dan persiapan serta mengurangi ketakutan

(50)

e. Retrospective control, yaitu kemampuan untuk menyinggung kepercayaan

mengenai apa atau siapa yang menyebabkan kejadian yang menekan setelah

kejadian tersebut terjadi.

2.2.4. Teknik Kontrol Diri

B.F. Skinner, mengemukakan beberapa teknik yang dapat digunakan untuk

melaksanakan kontrol diri yaitu:

a. Pengendalian dan pertolongan fisik, proses dimana seseorang individu dapat

mengontrol tingkah lakunya dengan pengendalian fisiknya.

b. Perubahan stimulus, selain membuat respon yang mungkin dan tidak mungkin,

juga dapat membuat atau menghapus peluang.

c. Penggunaan stimulus aversif, seseorang dapat mengontrol diri sendiri dengan

menciptakan stimulus verbal yang mempengaruhi pada diri.

Pernyataan yang sederhana yaitu aversif, memelihara tindakan spesifik yang

akan membawa perilaku yang tidak diinginkan. Cormier & Cormier mengemukakan

terdapat tiga teknik kontrol diri yaitu:

a. Self monitoring, merupakan suatu proses dimana individu mengamati dan peka

terhadap segala sesuatu tentang dirinya dan interaksinya dengan lingkungan. Self

monitoring dapat juga digunakan untuk alat ukur tingkat produktivitas suatu

keadaan atau tingkah laku seseorang dan akan menjadi efektif sebagai alat dalam

pengubahan suatu tingkah laku. Self monitoring bersifat reaktif, yaitu tindakan

yang selalu mencatat perilaku yang dapat menyebabkan perubahan, meskipun

(51)

perubahan. Dalam self monitoring, individu dapat memberi dirinya sendiri

dengan penguatan internal yang otomatis.

b. Self reward, merupakan teknik dimana individu mengatur dan memperkuat

perilakunya dengan segala akibat yang dihasilkan. Self reward adalah cara

mengubah tingkah laku yang dapat dilakukan dengan memberi hadiah atau

hal-hal yang menyenangkan apabila perilaku yang diinginkan berhasil.

c. Stimulus control, suatu teknik yang digunakan untuk mengurangi ataupun

meningkatkan perilaku tertentu. Teknik ini menekankan pada pengaturan kembali

atau modifikasi lingkungan sebagai stimulus kontrol sebagai susunan suatu

kondisi lingkungan yang ditetapkan untuk menjadikan suatu hal yang tidak

mungkin atau yang menguntungkan tingkah laku yang biasa terjadi (Mufidah,

2008).

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa teknik kontrol

diri sebagai berikut:

a. Pengendalian dan pertolongan fisik, proses dimana seseorang individu dapat

mengontrol tingkah lakunya dengan pengendalian fisiknya.

b. Perubahan stimulus, selain membuat respon yang mungkin dan tidak mungkin,

juga dapat membuat atau menghapus peluang.

c. Self reward, merupakan teknik dimana individu mengatur dan memperkuat

(52)

2.2.5. Aspek-aspek Kontrol Diri

Menurut Calhoun & Acocella ada tiga aspek yang dilibatkan dalam

mengontrol diri, yaitu:

a. Mempertimbangkan pilihan

b. Memilih salah satu dari dua perilaku yang menyebabkan konflik.

c. Memanipulasi stimulus untuk membuat sesuatu menjadi lebih mungkin dilakukan

dan perilaku lain kurang mungkin dilakukan (Calhoun, 1995).

Menurut Averill, terdapat tiga aspek kontrol, yaitu :

a. Kontrol perilaku yaitu kesiapan suatu respon yang dapat secara langsung

mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen yaitu

kemampuan mengatur pelaksanaan, yaitu kemampuan individu untuk menentukan

siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau aturan

perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu

individu menggunakan sumber eksternal, dan kemampuan memodifikasi

stimulus, kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus

yang tidak dikehendaki dihadapi.

b. Kontrol kognitif, yaitu kemampuan individu untuk mengolah informasi yang

tidak diinginkan dengan cara menginterpretasikan, menilai atau menghubungkan

suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau

(53)

Kontrol dalam mengambil keputusan, yaitu kemampuan untuk memilih suatu

tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini atau disetujui. Kontrol ini berfungsi baik

dengan adanya kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk

memilih berbagai kemungkinan tindakan (Mufidah, 2008).

Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek kontrol diri di atas dapat disimpulkan

bahwa kontrol diri dapat dikatakan berkembang baik apabila individu itu mempunyai

kemampuan untuk mengatur perilakunya, mampu mengatur kognisinya dan mampu

mengambil keputusan secara tepat.

2.2.6. Perkembangan Kontrol Diri pada Remaja

Kemampuan mengontrol diri berkembang seiring denganperkembangan usia.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa

yang diharapkan oleh kelompok dari dirinya kemudian mau membentuk perilakunya

agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong, dan

diancam (hukuman) seperti yang dialami pada waktu anak-anak (Hurlock, 1980).

Pada remaja kemampuan mengontrol diri juga berkembang seiring dengan

kematangan emosi. Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada

akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain, melainkan

menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan

cara-cara yang lebih dapat diterima.

Pada remaja cenderung keadaan emosinya masih labil karena erat

hubungannya dengan keadaan hormon. Kalau sedang senang-senangnya mereka lupa

(54)

terjerumus ke dalam tindakan tidak bermoral, misalnya remaja yang sedang asyik

berpacaran bisa terlanjur hamil sebelum mereka dinikahkan, bunuh diri karena putus

cinta dan sebagainya. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka

daripada pikiran yang realistis (Zulkifli, 1992).

Menurut Calhoun & Acocella (1990) pada dasarnya mempelajari

perkembangan kontrol diri mencakup tiga hal, yaitu:

a. Bagaimana mengontrol tubuh.

Pada saat kelahiran individu dalam kekuasaan kontrol eksternal. Individu tidak

memiliki kendali. Semua yang dilakukan adalah reflek bawaan yang

menyebabkan individu dapat melakukannya seca

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Teori Devito (1997), Calhoun & Acocella (1995)  dan Sarwon (1991)
Tabel 3.1. Variabel, Cara, Alat,  Skala dan Hasil Ukur
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Keterbukaan Komunikasi Orang Tua-Anak pada Siswa SMA Prayatna Medan
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Kategori Keterbukaan Komunikasi Orang Tua-Anak pada Siswa SMA Prayatna Medan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Zainoel Abidin Banda Aceh untuk meningkatkan kualitas penyuluhan bagi keluarga pasien rawat inap meliputi dimensi keterbukaan, empati, sikap mendukung, kesetaraan dan sikap

dilakukan Humas Badan Narkotika Provinsi Jawa Barat telah menunjukan betapa pentingnya menerapkan Sikap Keterbukaan, Empati, Sikap Mendukung, Sikap Positif, Kesetaraan, yang

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh komunikasi antarpribadi (keterbukaan, empati, dukungan, kepositifan, kesetaraan) dan semangat kerja (kedisiplinan,

Sementara pada informan 3, hanya menerapkan keterbukaan dan sikap empati sedangkan aspek komunikasi persuasi yang lain seperti sikap mendukung, sikap mendukung,

Peneliti mengukur predikat variabel efektivitas komunikasi antarpribadi dokter-pasien dari lima sub variabel, yaitu keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif,

Berkat limpahan kasih sayang dan hidayah Allah SWT kepada penulis, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Kontrol Diri

Sementara pada informan 3, hanya menerapkan keterbukaan dan sikap empati sedangkan aspek komunikasi persuasi yang lain seperti sikap mendukung, sikap mendukung,

Peneliti mengukur predikat variabel efektivitas komunikasi antarpribadi dokter-pasien dari lima sub variabel, yaitu keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif,