• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Uang dan Konsolidasi Demokrasi I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Uang dan Konsolidasi Demokrasi I"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

KONSOLIDASI DEMOKRASI INDONESIA

1

Dr. Ali Nurdin2

I. PENDAHULUAN

Praktik politik uang (vote-buying) telah lama menjadi persoalan serius dalam setiap pemilu di Indonesia, termasuk pada pemilu keempat pasca Reformasi yang baru saja digelar 9 April 2014 lalu. Sejumlah pemantau pemilu bahkan menilai praktik politik uang pada pemilu legislatif kali ini jauh lebih masif, vulgar, bahkan brutal dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya (Kompas.com, 27 Mei 2014). Masif karena praktik politik uang ditemukan secara meluas di hampir semua provinsi di Indonesia. Vulgar karena dilakukan secara terang-terangan menjelang hari pencoblosan. Dan brutal karena partai-partai dan calon anggota legislatif berlomba merayu pemilih dengan cara memberi iming-iming berupa uang dalam amplop, barang, maupun jasa. Calon anggota legislatif saling sikut dengan sesama calon satu partai demi mendapatkan suara terbanyak.

Indonesian Corruption Watch (ICW) yang ikut menjadi pemantau pemilu menerima laporan sebanyak 259 kasus politik uang di 15 provinsi di Indonesia pada Pemilu 9 April 2014.

(2)

Kasus yang dilaporkan terdiri atas pemberian uang tunai sebanyak 104 kasus, pemberian barang 128 kasus, dan pemberian jasa 27 kasus. Jumlah ini meningkat dari 62 kasus pada Pemilu 1999, menjadi 115 kasus pada Pemilu 2004, dan 150 kasus pada Pemilu 2009 (ICW, 2014: 13). Pemantau pemilu lainnya, Kemitraan (The Partnership for Governance Reform) menerima laporan pembagian uang dan barang dari 129 pemantau yang mereka tugaskan (dari 1.062 pemantau) di berbagai daerah di Indonesia (Kemitraan, Mei 2014).

Data tersebut di atas memberi indikasi bahwa politik uang telah menjadi semacam “penyakit kronis” dalam perpolitikan Indonesia pasca Orde Baru. Politik uang bukan hanya terjadi pada pemilu legislatif, melainkan juga pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, bahkan pemilihan kepala desa. Hampir dalam setiap momen pemilu lokal maupun nasional kasus politik uang senantiasa muncul dan menjadi perbincangan publik (Bunte dan Ufen, 2009: 127; Erb, 2005: 31).

(3)

petugas pemilu dilarang “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.” Menjanjikan atau memberikan iming-iming materi kepada calon pemilih termasuk ke dalam tindak pidana pemilu yang ancaman hukumannya maksimal 2 tahun penjara atau denda Rp24 juta rupiah (Pasal 299 UU No 8 Tahun 2012). Dalam UU Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sanksi bagi pasangan calon dan tim kampanye yang dinyatakan terbukti melakukan kecurangan dan praktik politik uang lebih berat lagi, yakni dapat berupa pembatalan pencalonan atau diskualifikasi (Pasal 82 UU No 32 Tahun 2004).

Praktik politik uang sejatinya bukanlah gejala baru di Indonesia. Praktik ini setidaknya dapat dilacak kepada kebiasaan menjelang pemilu semasa Orde Baru, dimana partai penguasa yakni Golkar sering menggunakan iming-iming materi untuk meraih sebanyak mungkin suara (Suryadinata, 2007: 18). Karena sering diberikan pada malam hari menjelang pemilihan, praktik iming-iming politik itu kemudian sering dijuluki “serangan fajar”. Praktik ini kemudian terus berkembang dalam hampir semua bentuk pemilihan di lingkungan partai politik semasa Orde Baru (Tomsa, 2008: 88).

(4)

(popular vote) sejak era reformasi sejatinya dapat mengurang praktik politik uang. Namun dalam kenyataannya, perubahan sistem pemilihan umum lokal menjadi pemilihan langsung ternyata malah membuat praktik politik uang semakin meluas di kalangan pemilih pada umumnya. Seperti dikatakan Bunte dan Ufen (2009: 164), “the institution of direct elections at these levels did not erase vote-buying but transferred it.” Politik uang, dalam berbagai bentuknya, telah menjadi permainan politik utama di kota maupun desa di Indonesia dewasa ini (Hadiz, 2010: 120).

(5)

Maraknya politik uang dalam berbagai pemilu membuat penilaian tentang proses demokratisasi Indonesia yang pada awalnya disambut dengan optimisme, tetapi belakangan mulai dihinggapi pandangan pesimis. Indonesia pasca Orde Baru pernah dianggap sebagai emerging democracy (Platzdasch, 2009: 2), bahkan new democracy (Bird dan Hill, 2007: 17). Belakangan Indonesia lebih banyak dikategorikan sebagai negara demokrasi transisi. Mietzner (Bunte dan Ufen, 2009: 124) menyebut Indonesia sedang mengarah ke rejim demokrasi berkualitas rendah atau low-quality democracy. Henk Schulte Nordholt (dalam Harriss, dkk., 2005: 29) menyatakan bahwa alih-alih membuat pemerintahan daerah lebih demokratis, desentralisasi yang berbasis pemilihan langsung malah mengukuhkan budaya patrimonial di daerah. Desentralisasi dan demokratisasi di tingkat daerah bahkan dianggap ikut menyuburkan praktik premanisme (Hadiz, 2010: 119; Harriss, dkk., 2005: 51).

Makalah ini ingin menganalisis lebih lanjut kaitan antara politik uang dengan prospek konsolidasi demokrasi di Indonesia.

(6)

Politik uang adalah istilah khas Indonesia. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan gejala politik serba uang dalam pelaksanaan pemilihan umum. Yakni para pemilih diduga lebih mempertimbangkan tawaran uang kontan atau materi lainnya agar bersedia memilih calon tertentu, ketimbang melihat indikator-indikator lain seperti kredibilitas kandidat, kepribadian, serta pengalamannya dalam menduduki jabatan politik. Istilah politik uang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi money politics, suatu istilah sebenarnya yang tidak dikenal dalam literatur politik di luar Indonesia. Studi literatur yang dilakukan penulis terhadap sejumlah referensi terkait tidak menemukan istilah money politics dengan penjelasan yang memadai, karena itu konsep tersebut tidak digunakan dalam studi ini.

(7)

dalam studi ini pengertian politik uang diartikan sama dengan vote buying.

Vote buying memiliki beragam arti dan sering dipahami

dalam konteks yang berbeda-beda di sejumlah negara,

tergantung kepada beragam faktor seperti budaya, tradisi

politik, dan model pemilihan yang dijalankan (Schaffer, 2007:

25). Di Amerika Serikat, misalnya, politik uang sering dilihat

dalam konteks sumbangan uang dalam jumlah banyak ke suatu

partai politik atau calon presiden atau calon gubernur untuk

melindungi kepentingan bisnis sang donatur. Motif di balik

sumbangan ini adalah agar presiden/gubernur terpilih

mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan sang donatur. Di

Filipina, politik uang dapat diartikan sebagai penggunaan uang

atau imbalan dalam kegiatan pembelian suara secara langsung

untuk mempengaruhi suara pemilih agar mendukung calon yang

menyumbang dana (Forest dan Teresita, 2000: 94). Baik politik uang model Amerika Serikat maupun model Filipina dugaan

penulis tidak jauh berbeda dengan tradisi pemilihan umum di

Indonesia.

Salah satu definisi vote buying yang sering dikutip banyak

kalangan sebagaimana disampaikan Etzioni-Halevy adalah

“pertukaran dukungan politik dengan keuntungan material

(8)

money and direct benefits to influence voters” (Bryan, 2005: 4). Dalam kedua pengertian tersebut vote buying ditekankan pada tujuannya, yakni mendapatkan keuntungan materi yang bersifat pribadi atau langsung kepada pemilih sebagai pertukaran dengan dukungan politik. Praktik ini dapat terjadi baik dalam pemilihan umum langsung maupun kompetisi politik yang lebih terbatas seperti pemilihan pengurus partai politik.

Definisi yang hampir sama dinyatakan oleh Fox yang mengartikan vote buying sebagai “exchanging political rights for material gains” (Fox, 1994:151-184). Dalam pengertian ini vote buying dapat terjadi dalam pemilu maupun dalam kompetisi politik non-pemilu. Fox tidak terlalu mementingkan tujuan vote buying, tetapi lebih menekankan aspek pertukarannya antara keuntungan materi dengan dukungan politik. Kedua pengertian vote buying baik yang disampaikan Etziony-Halevy maupun Fox lebih menggambarkan fenomena yang terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa. Di Indonesia dan hampir semua negara demokrasi, politik uang atau vote-buying adalah terlarang.

(9)

kebijakan atau keputusan politik.” Pengertian yang kedua merujuk kepada praktik politik uang yang lebih khusus yaitu “pembelian suara langsung kepada pemilih, bentuknya berupa pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uang/barang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, ‘serangan fajar’, dan lain-lain”. Definisi yang pertama mengacu kepada peristiwa atau kompetisi politik non-pemilu, yang tidak secara langsung melibatkan pemilih. Sedangkan definisi yang kedua secara jelas menunjuk kepada pemilihan umum, dengan aktor politik uang yang lebih terbatas yakni kandidat politik dan pemilih, namun dengan bentuk transaksi yang lebih beragam.

(10)

yang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah suara yang diperoleh calon atau partai politik tertentu dalam pemilihan umum dengan memberikan uang atau manfaat lainnya kepada konstituen sebagai pertukaran untuk suara mereka” (Ohman dan Zainulbhai, 2009:112). Pengertian ini juga sejalan dengan pandangan Schaffer dan Schedler (2005:4) yang menyatakan vote-buying lebih banyak berhubungan dengan pemilihan umum langsung untuk memperebutkan jabatan publik.

Dalam konteks pemilihan langsung di Indonesia, terdapat sedikitnya empat lingkaran perputaran politik uang. Pertama, transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pasca-Pemilukada. Kedua, transaksi antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan. Praktik seperti ini disimpulkan oleh Buehler dan Tan (2007: 67) sebagai “the parties’ grubbing for money from prospective candidates”. Partai politik cenderung memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari kandidat yang akan diusung atau dicalonkan.

(11)

Tujuannya adalah agar kandidat memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan suara guna memenangkan pemilihan, dengan cara-cara yang tidak sah melalui bantuan dari otoritas pelaksana pemilukada. Keempat, transaksi antara calon atau tim kampanye dengan calon pemilih dalam bentuk pembelian suara. Kandidat peserta pemilu memberi atau membagi-bagikan uang langsung kepada calon pemilih dengan harapan mendapatkan suara secara instan (Supriyanto, 2005: 4).

Keempat lingkaran politik uang tersebut melibatkan sedikitnya lima aktor, yakni penyandang dana atau donor, kandidat politik dan timnya, partai politik, penyelenggara pemilu, dan calon pemilih. Hubungan di antara kelima aktor tersebut bersifat saling menguntungkan, yang membuka peluang terjadinya tukar-menukar kepentingan, di mana kandidat kepala daerah berada di posisi sentral untuk bertransaksi dengan keempat aktor lainnya.

(12)

politik untuk menjalankan aktivitas organisasinya. Kandidat bisa juga bertransaksi dengan penyelenggara pemilu untuk memanipulasi hasil pemilihan agar menguntungkan sang kandidat. Terakhir, kandidat membeli suara calon pemilih dengan uang atau materi lainnya agar calon pemilih mendukungnya pada hari pemilihan.

(13)
(14)

jual-beli suara dalam pemilu dianggap semacam penyakit kotor pemilu (Schaffer, 2005: 1), sejenis dengan intimidasi kepada pemilih, pemberian suara ganda, manipulasi daftar pemilih dan manipulasi hasil pemilu.

Alasan ketiga, yang lebih praktikal, penggunaan uang yang tidak legal dapat mendorong terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pengalaman di sejumlah negara Afrika Barat menunjukkan bahwa uang yang digunakan untuk membeli suara pemilih sering berasal dari prakek-praktik yang tidak sah seperti penyelundupan dan penggelapan (Vicente dan Wantchekon, 2009: 17). Di negara-negara Asia Timur dan Tenggara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina, dan Thailand, praktik politik uang sering dikaitkan dengan masalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (Austin dan Tjernström, 2004: 55-67). Bahkan di Amerika Latin praktik jual-beli suara

pemilih sering dilakukan oleh kelompok-kelompok kartel narkotika yang berusaha menempatkan orang-orangnya dalam jabatan publik melalui pemilihan umum (Hodess, 2004: 76-82).

2.2. Konsolidasi Demokrasi

(15)

rezim authoritarian berubah menjadi rezim demokrasi atau yang mengklaim sebagai demokrasi. Huntington (1991) menyebutnya sebagai “gelombang ketiga demokratisasi di penghujung abad ke-20” sesuai dengan judul bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century yang terbit pertama kali tahun 1991.

(16)

Menurut O’Donnell, awalnya istilah konsolidasi demokrasi dimaksudkan untuk menggambarkan tantangan untuk membuat demokrasi yang baru tumbuh dapat berjalan aman, mampu memperpanjang harapan hidup mereka dalam jangka panjang, dan membuat mereka kebal terhadap ancaman regresi otoriter. Tantangan-tantangan tersebut antara lain berupa legitimasi berdasarkan pemilihan, difusi nilai-nilai demokrasi, netralisasi aktor birokrasi, supremasi sipil atas militer, penghapusan kantong otoriter, keberadaan gedung partai politik, adanya organisasi kepentingan fungsional, stabilisasi aturan pemilu, desentralisasi kekuasaan negara, pengenalan mekanisme demokrasi langsung, reformasi peradilan, pengentasan kemiskinan, dan stabilisasi ekonomi (Mainwaring, et. al,. 1992: 92-93).

Untuk mengkur kualitas demokrasi suatu negara, O’Donnell (1996: 35) setuju dengan tujuh atribut demokrasi yang disampaikan oleh Robert Dahl3 yaitu: 1) elected officials –

(17)

autonomy – kebebasan berserikat. Namun O’Donnell (1996: 37) memberikan kritik terhadap istilah consolidated democracy (demokrasi terkonsolidasi) yang sering disematkan ke negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebutan “consolidated”, dianggap menimbulkan kerancuan terhadap pengertian konsolidasi demokrasi, seolah-olah istilah “democracy” diperhadapkan dengan istilah “consolidation”. Menurutnya istilah yang lebih tepat adalah institutionalized (pelembagaan) karena faktanya dari tujuh atribut demokrasi di atas implementasinya di berbagai negara berbeda-beda, ada yang sudah terlembaga dengan baik dan ada yang masih dalam tahap awal.

III. METODE KAJIAN

(18)

argumen-argumen pokok untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan.

Untuk menjaga keandalan data dan sumber referensi dilakukan triangulasi berdasarkan sumber data (Denzin, 1978 dalam Creswell, 2007: 272) dimana argumen-argumen pokok yang dibangun dalam makalah ini hanya dianggap valid jika dinyatakan oleh sedikitnya dua sumber referensi yang berbeda.

IV. PEMBAHASAN

Demokrasi sesungguhnya memiliki bermacam-macam pengertian dan makna, meski secara sederhana sering diartikan sebagai “suatu bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, dan bekerja untuk rakyat”. Salah satu ciri negara demokrasi yang relatif disepakati bersama adalah adanya kompetisi politik yang sehat yang memungkinkan terjadinya sirkulasi elite kepemimpinan pada semua level pemerintahan. Pandangan ini antara lain merujuk kepada pendapat Dahl (2006: 68) yang menyatakan bahwa demokrasi identik dengan “civil and political rights plus fair, competitive, and inclusive elections.”

(19)

sejarah dan pengalaman negara tersebut dalam menjalankan demokrasi. Karena itu sejumlah lembaga berusaha merumuskan “alat ukur” yang bersifat universal untuk menilai praktik demokrasi suatu negara dan membandingkannya satu sama lain, sehingga didapat klasifikasi mana negara yang dianggap termasuk ke dalam demokrasi mapan (established democracies) atau demokrasi penuh (full democracies) dan mana yang termasuk negara demokrasi baru (new democracies) atau demokrasi transisi (transition democracies).

(20)

pembatalan pencalonan (diskualifikasi) bagi kandidat yang terbukti melakukan praktik politik uang. Sanksi pembatalan pencalonan hanya ada dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana ditaur UU No 32 tahun 2004.

(21)

Tahun 2012 Freedom House menyurvei 195 negara dimana Indonesia mendapat nilai 2 untuk hak-hak politik dan 3 untuk kebebasan sipil (Puddington, 2013: 15). Dengan skor rata-rata 2,5 Indonesia dikelompokkan ke dalam negara yang bebas, namun skor tersebut sangat dekat untuk masuk ke dalam kelompok negara-negara yang dianggap sebagian bebas. Dengan kata lain, Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi yang relatif baru dan masih dalam tahap konsolidasi.

(22)

dianggap sebagai negara yang masih authoritarian (The Economist Intelligence Unit, 2013: 27).

Penilaian yang dilakukan The Economist Intellegence Unit tersebut pada tahun 2012 menempatkan Indonesia pada ranking 53 dari 167 negara di dunia. Dengan nilai rata-rata sebesar 6,76 Indonesia dikelompokkan ke dalam negara demokrasi yang cacat bersama dengan 54 negara lain di dunia. Menurut The Economist, “these countries also have free and fair elections and even if there are problems (such as infringements on media freedom), basic civil liberties will be respected. However, there are significant weaknesses in other aspects of democracy, including problems in governance, an underdeveloped political culture and low levels of political participation -- negara-negara ini juga memiliki pemilu yang bebas dan adil dan bahkan jika ada masalah (seperti pelanggaran terhadap kebebasan media), kebebasan sipil dasar akan dihormati. Namun, ada kelemahan yang signifikan dalam aspek lain dari demokrasi, termasuk masalah dalam pemerintahan, budaya politik yang belum berkembang dan rendahnya tingkat partisipasi politik” (The Economist Intelligence Unit, 2013: 27).

(23)

yang hanya mencapai 5,63 dan yang paling tinggi adalah variabel kebebasan sipil yaitu 7,65. Variabel budaya politik ini antara lain dibentuk oleh indikator (1) kepercaya publik terhadap kepemimpinan yang kuat yang diperoleh melalui pemilihan umum yang adil dan bebas; (2) tingkat dukungan publik terhadap demokrasi; (3) persepsi tentang demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, bahwa demokrasi yang baik dapat meningkatkan ekonomi; dan (4) kepercayaan mengenai pemerintahan yang dijalankan oleh para ahli atau tekhnokrat.

Keempat indiaktor tersebut secara tidak langsung bersinggungan dengan politik uang yang sudah makin membudaya di kalangan pemilih Indonesia. Kepercayaan terhadap kepemimpinan yang kuat menjadi rendah karena masyarakat kemungkinan lebih percaya atau lebih memilih memiliki sumberdaya besar meski integritasnya diragukan, ketimbang pemimpin yang hanya memiliki pengalaman dan intergritas yang baik tapi minim sumberdaya ekonomi. Pengalaman pemilu 2014 menunjukan sejumlah kandidat yang dinilai relatif berkualitas di berbagai daerah ternyata tidak terpilih akibat kebiasaan politik uang ini.4

(24)
(25)

Politik uang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemilihan umum karena yang terpilih bukanlah kandidat yang paling memiliki kemampuan dan track-record yang baik, melainkan kandidat yang royal memberikan uang dan barang kepada pemilih. Hal ini jelas menghilangkan prinsip keadilan yang selama ini menjadi landasan dan prinsip umum dalam penyelengaraan pemilu di negara-negara demokratis.

(26)

Karena meski pemilu kita menggunakan sistem suara terbanyak, calon dengan nomor urut 1 tetap saja lebih diuntungkan karena lebih mudah dikenali oleh pemilih ketika tertera di surat suara.

Dari perspektif kandidat, politik uang mengakibatkan biaya yang sangat tinggi bagi setiap peserta pemilu. Kegiatan kontestasi politik dianggap sebagai “investasi bisnis” yang ditandai dengan pengeluarn biaya yang sangat besar sebagai modal awal, dimana modal tersebut harus dapat dikembalikan pada saat si kandidat terpilih menjadi pejabat publik. Informasi yang diperoleh penulis, untuk membiayai kampanye calon anggota DPRD tingkat kabupaten di Banten seorang calon anggota legislatif terpilih menghabiskan dana sampai Rp1 milyar lebih. Sedangkan untuk calon anggota DPR RI beberapa calon terpilih mengaku menghabiskan dana antara Rp5 milyar sampai Rp15 milyar. Kasus politik uang di Banten adalah adalah yang tertinggi (32 kasus) di antara 15 provinsi yang dipantau. Politik uang dilakukan dengan cara membagikan uang tunai antara Rp5 ribu sampai Rp25 ribu (ICW, 2014: 12).

(27)
(28)

skor CPI di bawah 50 mengindikasikan masih adanya “a serious corruption problem” di negara tersebut. Peringkat persepsi korupsi Indonesia bahkan menurun dibandingkan tahun 2011 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke 100 dari 182 negara.

Dari segi budaya politik, politik uang dapat menimbulkan penghargaan yang berlebihan terhadap figus-figur yang memiliki kekuatan uang besar. Budaya penghargaan yang berlebih terhadap materi atau uang, mengurangi budaya egaliter yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Padahal budaya politik yang egaliter selama ini menjadi satu pilar bagi tumbuhnya budaya politik demokratis. Pengalaman di beberapa negara Amerika Latin (seperti Brazil, Argentina, Meksiko) menunjukan bahwa demokrasi mereka kurang berkembang dengan baik karena adanya budaya clientelism (Brusco, et. al. 2004: 66). Hal yang sama juga terjadi di Filipina dan Thailand yang memiliki budaya patron-client cukup kuat. Kultur patronase bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab mengapa praktik politik uang di kedua negara tersebut sulit untuk dikurangi sekalipun dilakukan kampanye anti politik uang yang masif (Schaffer, 2007: 177).

(29)

Banyak tantangan yang harus diatasi, diantaranya yang terkait dengan masih lemahnya budaya politik yang egaliter dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih belum memadai. Selama ini alasan kebutuhan ekonomi masih sering diungkapkan untuk menjelaskan maraknya praktik politik uang di Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten, termasuk sanksi bagi pemilih yang terbukti menerima politik uang, perlu diterapkan. Untuk itu diperlukan penguatan ketentuan larangan politik uang secara komprehensif dan konsisten, sebagai landasan yang lebih kuat bagi penyelengaraan pemilu yang adil dan bebas sebagai salah satu syarat demokrasi.

V. KESIMPULAN

(30)
(31)

DAFTAR PUSTAKA

Adetula, Victor A.O. (ed). 2008. Money and Politics in Nigeria. Abuja: IFES-Nigeria.

Agustino, Leo dan Yusoff, Mohamad Agus. 2009. “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih: Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia.” POELITIK, Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Volume 5 Nomor 10, hal. 555-582. Alvarez, R. Michael, dkk. (eds). 2008. Election Fraud: Detecting ad Deterring Electoral Manipulation. Washington DC: Statistical Perspective. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

---, dkk. 2005. Emerging Democracy in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Austin, Reginald dan Tjernström, Maja (eds). 2004. Handbook of Funding of Political Parties and Election Campaigns.

Birch, Anthony H. 2007. The Concepts and Theories of Modern Democracy. Third Edition. Abingdon: Routledge.

Brusco, Valeria; Nazareno, Marcelo and Stokes, Susan C. 2004. “Vote Buying in Argentina”, Latin American Research Review, Volume 39 Nomor 2 June 2004, hal: 66-88.

(32)

Bunte, Marco dan Ufen, Andreas (eds). 2009. Democratization in Post-Suharto Indonesia. London: Routledge.

Burnell, Peter. 2007. Evaluating Democracy Support Methods and Experiences. Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA).

Cahyono, Heru. 2004. “Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004” dalam Jurnal Penelitian Politik, Volume 1 Nomor 1, hal: 9-27

(33)

Freedman, Amy L. 2006. Political Change and Consolidation: Democracy’s Rocky Road in Thailand, Indonesia, South Korea, and Malaysia. New York: Palgrave MacMillan.

Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. Stanford: Stanford University Press.

Harris, Syamsuddin (ed). 2007. Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Harriss, John, dkk. 2005. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization. New York: Palgrave MacMillan.

Hodess, Robin, dkk. (eds). 2004. Global Corruption Report 2004: Special Focus Political Corruption. London: Transparency International.

IFES Report. 2005. The 2004 General Elections in the Republic of Indonesia Priorities for Democratic Renewal. Jakarta: USAID.

IFES Report. 1999. Money Politics: Regulation of Political Finance in Indonesia 1999. Washington DC: IFES

Kang, David C. 2004. Crony Capitalism: Corruption and Development in South Korea and The Phillipines. Cambridge: Cambridge University Press.

Lehoucq, Fabrice. 2007. “When Does a Market for Votes Emerge?” dalam Schaffer, Frederic Charles (ed). Elections for Sale: The Causes and Consequences of Vote Buying, hal 33-45. Manila: Ateneo De Manila University Press. Lesmana, Teddy. 2007. “Politik Uang Dalam Pilkada” dalam

Hidayat, Syarif, dkk (eds). Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan Penyelenggara Pemerintah Daerah Pasca Pilkada. Jakarta: LIPI Press, hal 83-128.

(34)

Mainwaring, Scott, dkk. 1992. Issues in Democratic Consolidation: The New South American Democracies in Comparative Perspective. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Mariana, Dede. 2008. Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia. Bandung: Puslit KP2W Lemlit Unpad. Marsh, Ian (ed). 2006. Democratization Governance and

Regionalism in East and Southeast Asia: A Comparative Study. London: Routledge.

Myagkov, Michail dan Ordeshook, Peter C. 2009. The Forensic of Election Fraud: Russia and Ukraine. Cambridge: Cambridge University Press.

Niemi, Richard G., dkk (eds). 2011. Controversies in Voting Behavior. Fifth Edition. Washington DC: CQ Press.

Norris, Pippa. 2004. Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behavior. Cambridge: Cambridge University Press.

Nuryati, Sri. 2005. “Antara Uang dan Ketokohan: Kasus Kota Medan dan Kabupaten Simalungun” dalam Kleden, Ignes dan Haris, Syamsuddin (eds), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 205-242

Ohman, Magnus dan Zainulbhai, Hani (eds). 2009. Political Finance Regulation: The Global Experience. Washington DC: IFES.

O’Donnell, Gulermo. 1996. Illusion About Consolidation. Journal of Democracy Vol. 7 No. 2 (1996), hal: 35-51.

O’Rourke, Kevin. 2002. Reformasi: The Struggle for Power in Post-Suharto Indonesia. New South Wales: Allen & Unwin. Platzdasch, Benhard. 2009. Islamism in Indonesia: The Politics

(35)

Puddington, Arch. 2013. Freedom in the World 2013: Democratic Breakthroughs in the Balance. New York: Freedom House.

Ramdansyah. 2010. Sisi Gelap Pemilu 2009: Potret Aksesori Demokrasi Indonesia. Jakarta: Penerbit Rumah Demokrasi. Rinakit, Sukardi. 2005. Indonesian Regional Election in Praxis.

Singapore: IDSS Commentaries.

Robinson, Richard dan Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligharcy in An Age of Markets. London: Routledge.

Schedler, Andreas. 1998. “What is Democratic Consolidation?” Journal of Democracy Vol. 9 No. 2 (1998), hal: 91-107. Schaffer, Frederic Charles and Schedler, Andreas. 2005. “What

Is Vote Buying? The Limits of the Market Model.” Paper presented The Conference Poverty, Democracy, and Clientelism: The Political Economy of Vote Buying, Stanford University, Department of Political Science, Bellagio Center, Rockefeller Foundation, 28 November – 2 December 2005.

Schaffer, Frederic Charles (ed). 2007. Elections for Sale: The Causes and Consequences of Vote Buying. Manila: Ateneo De Manila University Press.

Stott, David Adam. 2014. “Indonesia’s Elections of 2014: Democratic Consolidation or Reversal?” The Asia-Pacific Journal, Vol.12, Issue 10, No. 2, March 10, 2014.

Sugiarto, Bima Arya. 2009. “Politik Uang dan Pengaturan Dana Politik di Era Reformasi” dalam Wijayanto dan Zachrie, Ridwan. Korupsi Mengkorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 473-502.

Supriyanto, Didik. Makalah dalam Diskusi Publik “Politik Uang dalam Pilkada”, Jakarta 5 Juni 2005.

(36)

The Economist Intelligence Unit. 2013. Democracy Index 2012: Democracy at A Standstill. London: The Economist Intelligence Unit Limited.

Tomsa, Dirk. 2008. Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era. London: Routledge.

Vicente, Pedro C dan Wantchekon, Leonard. 2009. “Clientelism and Vote Buying: Lessons from Field Experiments in African Elections”. The Oxford Review of Economic Policy, Volume 25 Nomor 2 Tahun 2009, hal 292-305.

Referensi

Dokumen terkait

PENERAPAN MODEL REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA Universitas Pendidikan Indonesia

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui proses pencabutan pengaduan dan laporan terhadap delik aduan dan delik biasa di Polresta Surakarta; (2) Untuk mengetahui

Hasil penelitian yang dilakukan pada Pegawai Kantor Dinas Pemerintah Kabupaten Toba Samosir memperoleh data bahwa variabel Motivasi Kerja dan Kreatifitas Kerja

[r]

Preferensi pakan tikus pada beberapa perlakuan beras menunjukkan varietas yang disukai adalah Pandan Wangi dengan rata-rata konsumsi 6,82g ekor -1 , kemudian berturut-.

Setelah dinyatakan valid dan reliable selanjutnya dicari nilai rata-rata masing- masing variabel dimensi yang diteliti dari setiap indikator tiap kuisioner

Perlakuan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan jumlah cabang, jumlah daun, diameter batang, jumlah bunga, jumlah bintil akar, dan luas daun per pot tanaman kacang pinto

Gaya kepemimpinan transformasional direktur dalam menerapkan budaya keselamatan pasien belum seluruhnya sesuai dengan tujuh langkah keselamatan pasien di rumah sakit, direktur