• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partai Politik dan Problem Keadilan bagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Partai Politik dan Problem Keadilan bagi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PARTAI POLITIK DAN PROBLEM KEADILAN BAGI MAZHAB MINORITAS

DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN AWAL)

(POLITICAL PARTY AND JUDICATURE PROBLEM FOR GROUP OF MINORITY IN

INDONESIA

(A FIRST STUDY))

Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta

e-mail: endra.wijaya333@yahoo.co.id

(Naskah diterima 07/07/2014, direvisi 02/10/2014, disetujui 07/10/2014)

Abstrak

Partai politik memiliki beberapa fungsi, dan lazimnya berhubungan erat dengan kegiatan pemilihan umum. Dinamika selanjutnya memperlihatkan bahwa partai politik juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan upaya memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas. Bahkan, secara teoretis dan praktik, partai politik ini telah menjadi salah satu sarana kelembagaan yang dapat dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompok-kelompok minoritas untuk melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Bagaimanakah dengan praktik di Indonesia? Permasalahan perlindungan kaum minoritas masih menjadi problem yang belum terselesaikan secara tuntas, misalnya saja untuk kasus diskriminasi yang dialami oleh para penganut mazhab Syiah di Indonesia. Namun demikian, permasalahan ini tampaknya belum menjadi perhatian yang serius dari partai-partai politik peserta pemilihan umum di Indonesia. Padahal, isu diskriminasi terhadap kaum minoritas ialah salah satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan, potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat Negara Indonesia dibangun di atas kondisi masyarakat Indonesia yang plural, baik dari sisi suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam agama). Sebenarnya “Para Pendiri Negara (The Founding Fathers and Mothers)” sejak awal telah menaruh perhatian yang serius terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang plural tersebut, sehingga merekapun akhirnya juga memilih Pancasila sebagai dasar negara yang mereka anggap mampu untuk “mempersatukan” seluruh masyarakat yang beragam latar belakangnya. Paper ini akan berfokus pada pembahasan mengkaji potensi beberapa partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam menjalankan fungsinya sebagai agen perlindungan kaum minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat dijadikan pula sebagai semacam “indikator awal” untuk menilai sejauh mana partai politik mengupayakan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan didasarkan pada data yang bersumber dari dokumen yang diterbitkan oleh beberapa partai politik dan data wawancara yang berasal dari narasumber yang relevan.

Kata-kata kunci: keadilan, pluralistik, program partai, mazhab minoritas.

Abstract

Political parties have their functions in related with their general election activities. Political parties have also the function to struggle the minority rights. Theoretically and practically political parties have already be an institutional instrument that can be formed by minority group of society to protect their rights as citizens. What is the condition in Indonesia practically? The problems of minority group protection in Indonesia are not completely finished, for example the case of Syiah in Indonesia. This problem is not attracted the political parties in a serious level. But actually the discrimination problem is really needs to solve to protect the country from disunity. At the very beginning, the “founding fathers” of this republic had given their serious attention on pluralism. So, they'd chosen Pancasila as our basis to unity the pluralism of Indonesian people. This writing focus on the role of political parties as the agent of discrimination protection of the minority group in Indonesia based on Pancasila's values. This study will be based on the data and document publishing by political parties and interviews from related informants.

Keywords: Justice, Pluralism, Party programs, Minority group.

A. Pendahuluan

Partai politik merupakan salah satu entitas yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak hanya terbatas pada kegiatan untuk meraup suara pada saat pemilihan umum saja, lebih jauh daripada itu, partai politik sebenarnya memiliki fungsi lain yang bisa ikut menentukan perjalanan sejarah suatu

bangsa dan negara.

(3)

keindonesiaan pada awal abad ke-20. Meskipun menjadi wadah aspirasi dari kelompok atau golongan ideologis yang berbeda-beda, partai-partai politik pada masa kolonial turut memberikan kontribusi bagi penemuan identitas keindonesiaan

1 yang mendasari pembentukan republik.

Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia, dapat dilihat pula bahwa partai politik telah berhasil menjadi agen perubahan yang ikut serta mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari tangan penjajah. Begitupun setelah memasuki masa kemerdekaan Indonesia, beberapa partai politik yang dibentuk relatif berhasil menjadi pengisi syarat bagi Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Mereka inilah yang menjadi peserta pemilihan umum untuk pertama kali pada tahun 1955.

Kehidupan partai politik di Indonesia mulai “semarak lagi” sejak adanya Maklumat Nomor X Tanggal 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai-Partai Politik, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta

2

pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu merupakan regulasi pertama di bidang kepartaian di Indonesia setelah merdeka yang telah melahirkan sistem multipartai. Ada banyak partai politik yang dibentuk oleh rakyat berdasarkan maklumat itu.

Partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan maklumat tersebut diarahkan oleh pemerintah agar mereka dapat ikut serta dalam pemilihan anggota badan perwakilan rakyat. Salah satu butir dari Maklumat Nomor X Tanggal 3 November 1945 menyebutkan bahwa “…Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.”

Berdasarkan maklumat itu berdirilah secara resmi partai-partai politik, yang sampai dengan bulan Januari 1946 telah berjumlah 10 (sepuluh) partai politik, yang terdiri dari: Partai Majelis Syuro Muslimin (Masyumi), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat Djelata, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Rakyat Sosialis (PRS), Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

David Reeve menyebutkan bahwa sebenarnya jumlah partai yang berdiri berdasarkan Maklumat Nomor X Tanggal 3 November 1945 bukan hanya 10 (sepuluh) partai politik, melainkan jauh lebih banyak, karena selain muncul beberapa partai politik kecil, partai-partai politik yang telah dilumpuhkan pada zaman Jepang juga bangkit kembali. Jumlah partai politik yang berdiri pada bulan November sampai dengan Desember 1945

3 mencapai 35 (tiga puluh lima) partai politik.

Pada tahun 1955 diselenggarakanlah pemilihan umum yang pertama kali sejak kemerdekaan Indonesia. Pemilihan umum itu diikuti oleh banyak partai politik, dan dimaksudkan untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante.

Berlanjut hingga masa sekarang, partai politik kembali menjadi aktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Bahkan, pada saat memasuki periode reformasi setelah berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru, berdirinya partai-partai politik menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia guna memenuhi statusnya kembali sebagai negara hukum yang demokratis setelah lebih dari 30 (tiga puluh) tahun berada dalam kekuasaan rezim yang “anti demokrasi.”

Oleh karena itulah, maka dapat dipahami mengapa pemikir seperti Antonio Gramsci sampai berani “memuji” partai politik sebagai bagian dari sejarah suatu negara. Mengenai hal itu Gramsci mengatakan bahwa, “… Jadi menulis sejarah partai

4 berarti menulis sejarah umum negara tersebut …”

Paparan tersebut di atas mencerminkan betapa kehadiran partai politik begitu dibutuhkan bagi kehidupan suatu negara, termasuk Indonesia, karena ia memiliki fungsi-fungsi yang pada akhirnya dapat ikut menentukan berjalannya negara sebagai sebuah organisasi politik dan hukum.

Di Indonesia, mengenai fungsi-fungsi dari partai politik telah diatur di dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Fungsi-fungsi tersebut kemudian ditujukan bagi pemenuhan dan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, ada variabel penting yang harus (wajib) menjadi concern bagi setiap partai politik dalam menjalankan aktivitasnya, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun faktanya Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah 2 (dua) hal yang “mudah” untuk diamalkan, dijalankan, dan diwujudkan dalam kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk oleh partai-partai politik yang ada. Untuk hal ini, banyak peristiwa yang bisa dilihat sebagai contohnya. Misalnya saja seperti peristiwa tindak diskriminasi terhadap kaum Syiah yang minoritas yang terjadi di Sampang, Madura.

Peristiwa diskriminasi terhadap kaum Syiah seperti yang terjadi di Sampang harus diakui masih belum dapat diselesaikan secara tuntas. Mereka yang bermazhab Syiah ini bahkan masih “berstatus” sebagai pengungsi saat memberikan suara mereka pada pemilihan umum tahun 2014

5

yang lalu. Padahal, apabila dilihat dari beberapa aspek, peristiwa Sampang tersebut jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peristiwa Sampang hanyalah salah satu dari serangkaian fakta bahwa sebenarnya di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini masih sering terjadi diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Dari peristiwa diskriminasi itu, maka nilai-nilai yang sedang diruntuhkan ialah nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, persatuan, serta perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dikandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan, semua itu akhirnya potensial dapat meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Permasalahan tersebut tentu harus dicarikan solusinya, dan upaya ini harus dilakukan oleh semua pihak, termasuk partai-partai politik yang ada di Indonesia. Apalagi, sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, salah satu tujuan yang diamanatkan kepada partai politik ialah ia harus dapat mewujudkan cita-cita nasional

bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Asumsi dalam kajian ini ialah permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas, termasuk diskriminasi yang dialami oleh kaum Syiah seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, belum menjadi fokus perhatian yang serius dari partai-partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 di Indonesia. Padahal, isu diskriminasi terhadap kaum minoritas ialah salah satu problem yang jika tidak bisa diselesaikan secara tuntas, potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengingat karena Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun di atas kondisi masyarakat Indonesia yang plural, baik dari sisi suku, agama, bahkan mazhab (aliran dalam agama).

Paper ini akan berfokus pada pembahasan mengkaji potensi beberapa partai politik peserta pemilihan umum tahun 2014 dalam menjalankan fungsinya sebagai agen perlindungan kaum minoritas di Indonesia. Hal tersebut tentunya dapat dijadikan pula sebagai semacam “indikator awal” untuk menilai sejauh mana partai politik mengupayakan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam Pancasila. Kajian akan didasarkan pada data yang bersumber dari dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh partai-partai politik, dan data wawancara yang berasal dari narasumber yang relevan.

B. Pembahasan

B.1.Dinamika Fungsi Partai Politik

Fungsi partai politik, setidaknya, dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif, yaitu perspektif yuridis, dan teoretis. Dari perspektif yuridis, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 telah mengamanatkan agar partai politik berfungsi menjadi sarana:

1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan k e w a j i b a n n y a d a l a m k e h i d u p a n bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 1 Syamsuddin Haris, “Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia,” Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol. 3, No. 1, 2006:

68.

2 Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 115. 3 Ibid., hlm. 46.

4 Antonio Gramsci, Prison Notebooks, Catatan-Catatan dari Penjara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 209.

5 M u h a m m a d S y a r r a f a h , “ P e n g u n g s i S y i a h d i S i d o a r j o I k u t M e n c o b l o s , ” < h t t p : / / p e m i l u . t e m p o . c o /

read/news/2014/04/09/058569339/Pengungsi-Syaih-di-Sidoarjo-Ikut-Mencoblos>, dan Muhammad Syarrafah, “Hak Pilih Pengungsi Syiah Tak Jelas,” <http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/04/08/269568878>, keduanya diakses pada tanggal 13 April 2014.

(4)

2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

4. Partisipasi politik warga negara Indonesia; 5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian

jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Selanjutnya, dari perspektif teoretis, biasanya partai politik itu dilihat sebagai sebuah institusi

6 yang memiliki beberapa fungsi, yaitu untuk:

1. Sosialisasi politik. Partai politik mempunyai fungsi sebagai sosialisasi politik. Dalam fungsinya tersebut, maka partai politik akan menjadi media melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada.

2. Partisipasi politik. Partai politik dapat menjadi alat mobilisasi warga negara ke dalam kehidupan dan kegiatan politik.

3. Rekrutmen politik. Partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Juga diusahakan untuk menarik golongan-golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama. Kemudian, kader tersebut bisa saja diikutsertakan bersaing dengan partai politik lainnya untuk peran-peran politik dalam parlemen, dalam kementerian, ataupun pemerintahan daerah.

4. Komunikasi politik. Dalam menjalankan fungsi komunikasi politik, partai politik menyalurkan beragam pendapat dan aspirasi masyarakat, serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.

5. Artikulasi kepentingan. Menyatakan atau mengartikulasikan kepentingan tertentu kepada badan-badan politik dan pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka

bentuk bersama dengan pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama.

6. Agregasi kepentingan. Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah. Dalam masyarakat yang demokratik, partai merumuskan program politik dan menyampaikan usul-usul kepada badan legislatif, dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintah mengadakan tawar-menawar dengan kelompok-kelompok kepentingan. Dalam tawar-menawar, calon dari partai politik menawarkan pemenuhan kepentingan kelompok tertentu apabila mereka mau mendukung calon tersebut.

7. Pembuat kebijaksanaan. Jelas bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan di dalam pemerintahan secara konstitusional. Sesudah partai politik itu merebut kekuasaan dalam pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif maupun legislatif, maka dia akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.

Sehubungan dengan fakta bahwa dalam setiap masyarakat akan selalu ada kelompok-kelompok minoritas, Florian Bieber berpendapat bahwa sebenarnya partai politik dapat juga dijadikan (berfungsi) sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok minoritas.

Secara lebih rinci, Bieber menjelaskan bahwa ada beberapa sarana perwakilan yang dapat dimanfaatkan atau dibentuk oleh kelompok-kelompok minoritas, yaitu: perkumpulan-perkumpulan untuk menyuarakan kepentingan kelompok minoritas, institusi-institusi khusus, seperti dewan, yang dibentuk untuk mewakili kepentingan kelompok minoritas, partai politik yang bisa saja bukan partai politik khusus yang dibentuk untuk menyuarakan kepentingan kelompok minoritas, tetapi lebih merupakan partai politik yang program-programnya juga menjangkau kepentingan kelompok minoritas, atau bahkan membentuk partai politik yang memang khusus

7 mewakili kepentingan kelompok minoritas.

B.2.Sekilas tentang Keadilan B.2.1. Perspektif Hukum Islam

“Keadilan” merupakan kata sifat yang artinya perbuatan yang adil. “Adil” artinya tidak berat sebelah,

8

tidak memihak. Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, kata “adil” secara terminologi berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak

9 berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain.

Keadilan menurut Quraisy Syihab adalah 10 “menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Sedangkan menurut Miskawaihi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir, bahwa keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan hikmah (wisdom), iffah (kesucian), dan syajaah

11 (keberanian).

Kitab suci Al-Quran sedikitnya menggunakan 2 (dua) kata kunci untuk menggambarkan keadilan,

12

yaitu “al-adl” dan “al-qist,” serta kata yang semakna dengan al-adl, yaitu “al-wazn” dan “ al-wast” yang tercantum dalam berbagai tempat di

13

dalam Al-Quran. Kata al-adl dalam bahasa Arab mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (levelling), maksudnya ialah bahwa keadilan dapat dirasakan sama oleh 2 (dua) pihak.

Al-Qist merupakan kata kunci yang digunakan Al-Quran untuk mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran,

14

dan kewajaran. “Al-Adl” dan “Al-Muqsith” juga merupakan nama Allah yang artinya Tuhan Maha

15

Adil. Kata al-wast yang berarti al-adl dan al-nisf (tengah atau pusat) dicantumkan pula dalam

Al-16

Quran. Kata al-wazn yang mempunyai makna ta'dil dan istiqomah (moderat dan lurus). Dalam Al-Quran, kata al-adl selalu disandingi oleh kata “

al-17

zulm,” yang merupakan lawan katanya. Al-zulm bermakna meletakkan sesuatu pada tempat yang tidak semestinya, baik dengan cara melebihkan atau mengurangi maupun menyimpang dari waktu

18 dan tempat.

Dalam konteks ajaran Islam, dapat ditemui 6 (enam) macam bidang keadilan (sedikitnya ada 6 (enam) bidang kehidupan yang dituntut untuk berlaku adil), yaitu: keadilan di bidang hukum, keadilan di bidang ekonomi, keadilan politik, keadilan berkeyakinan, keadilan kesehatan, dan keadilan pendidikan.

Keadilan dalam bidang politik dapat diartikan bahwa politik dijadikan sebagai standar dan tolok ukurnya, antara lain, di mana setiap warga negara mempunyai hak dan akses yang sama untuk terlibat dalam kegiatan politik. Ukurannya ialah instrumen negara seperti peraturan yang dibuat oleh negara, perilaku negara terhadap warga negaranya, dan apa yang dipandang adil oleh aparatur negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keadilan politik merupakan produk dari kekuatan politik, termasuk partai politik maupun orang yang berpengaruh.

Dalam pandangan Al-Quran, masalah keadilan juga dikaitkan dengan kekuasaan dan penguasa yang terpersonifikasikan dalam terminologi “khalifah.” Dalam Al-Quran surat Shaad ayat 26, Allah berfirman: “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Daud diutus ke dunia untuk menjadi khalifah, penguasa negara, yang tugasnya ialah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Nabi Daud juga diperingatkan agar tidak mengikuti hawa nafsu dalam menegakkan keadilan.

Pada masa kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW, keadilan dikembalikan kepadanya sebagai rujukan utama. Nilai keadilan

6 Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2005, hlm. 37-41. Lihat juga Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 163, dan Mohtar Mas'oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 64-69.

7 Florian Bieber, “Introduction: Minority Participation and Political Parties,” dimuat dalam Florian Bieber et al., Political Parties and

Minority Participation, Skopje: Friedrich Ebert Stiftung, 2008, hlm. 11.

8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 6-7. 9 Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hlm. 25. 10 M. Quraisy Shihab, Lentera Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2008, hlm. 238.

11 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 102.

12 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 59. Lihat juga Rifyal Ka'bah, Politik dan

Hukum dalam Al-Qur'an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005, hlm. 82-87.

13 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of Intelectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982, hlm. 21. 14 Ibid.

15 Seyyed Hosein Nasr, The Heart of Islam, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 289.

16 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam Al-Mufahras Li Alfadz Al-Qur'an Al-Karim, Mesir: Dar Al-Fikr, 1981, hlm. 448. 17 Ibid. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 62.

(5)

disandarkan kepada Rasul sebagai standarnya. Terkait dengan hal itu, Allah berfirman dalam Al-Quran surat An-Nisaa ayat 65 yang menjelaskan bahwa: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.”

Setelah masa kepemimpinan Rasulullah lewat, lalu siapakah yang diberi amanat untuk menegakkan hukum dan keadilan? Dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 59, Allah memberi petunjuk: ”Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada

19

Rasul serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ulil amri di sini ditempatkan pada urutan ke tiga dalam hierarki legitimasi kekuasaan yang berhak memerintah kaum muslimin. Ia wajib ditaati sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul. Dalam surat An-Nisaa ayat 83, Allah berfirman, “Dan kalau mereka menyerahkan kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).”

Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, diberitakan bahwa bisa saja terjadi perbedaan pendapat dalam menerjemahkan keadilan dalam wilayah politik, atau keadilan di mana politik menjadi bingkainya. Persoalannya kemudian ialah siapakah ulil amri yang mempunyai otoritas politik untuk menegakkan keadilan tersebut?

Dari aspek sejarah, awal mula perdebatan siapa yang layak dijadikan ulil amri (khalifah) muncul ketika Rasul wafat. Dalam pandangan sahabat Rasul, khalifah perlu dipilih dari kalangan mereka. Kaum muhajirin menghendaki khalifah dari kalangan muhajirin, dan ansar menghendaki khalifah dari ansar, sementara Bani Hasyim menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.

Pada saat itu terjadi perdebatan sengit untuk menentukan siapa yang akan menjadi khalifah. Hingga akhirnya pemilihan dilakukan secara musyawarah dan terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Cara musyawarah ini setidaknya hanya terjadi pada saat pemilihan khalifah Abu

20

Bakar saja. Untuk khalifah ke dua, metode pemilihan khalifahnya ialah secara penunjukan.

Dalam hal khalifah ke dua, Abu Bakar telah membuat surat wasiat bahwa jika dirinya meninggal, maka Umar bin Khattab yang berhak menggantikannya. Khalifah ke tiga diangkat berdasarkan pemilihan oleh sejumlah 6 (enam) formatur yang anggotanya dipilih oleh Umar bin Khattab. Sementara khalifah ke empat diangkat berdasarkan pemilihan. Selanjutnya, dalam tradisi Dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah berlakulah sistem monarki.

Dari paparan tersebut terlihat tidak ada konsistensi dalam pengangkatan khalifah. Hal ini dapat dipahami karena memang tidak ada dasar hukumnya yang pasti tentang bagaimana teknik mengangkat ulil amri (khalifah).

Memang tidak ada satu dasar hukum dari Al-Quran dan Sunah yang secara jelas menganjurkan atau melarang seorang muslim untuk terlibat dalam kegiatan politik dalam suatu negara. Dari paparan di atas harus diakui pula bahwa Islam tidak dapat memisahkan hubungan antara negara dan agama. Hal itu telah diberi teladan oleh Rasulullah ketika ia mendirikan “Negara Madinah.” Nabi Muhammad SAW selama sekitar 10 (sepuluh) tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang Nabi dan sekaligus seorang pemimpin masyarakat politik

21

(kepala negara). Sehingga, praktis Nabi Muhammad SAW yang langsung memberikan contoh berpolitik yang islami.

Di masa kepemimpinan Rasul, praktik keharmonisan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang diajarkan oleh Islam di Madinah salah satunya diwujudkan dalam dokumen yang dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah.” Dalam rangka itu pula, dikenal adanya terminologi “ummatan wahidah,” suatu terminologi yang sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh mayoritas kaum muslimin. Ummatan wahidah sering dipahami sebagai kondisi suatu masyarakat

yang homogen (tidak ada perbedaan). Padahal sesungguhnya, terminologi tersebut ialah untuk menggambarkan keharmonisan yang terjadi di masyarakat heterogen seperti yang ada di Madinah. Konsep ummatan wahidah itu juga merupakan suatu konsep yang dibangun oleh Rasul untuk memberikan pemahaman bahwa Islam ialah agama yang toleran dan menghargai perbedaan.

Lalu, apa relevansinya pembahasan tersebut di atas, yang dilakukan dari perspektif hukum Islam, dengan tema paper ini? Ada beberapa hal yang dapat menjadi jawaban (alasan) atas pertanyaan itu, yaitu:

Pertama, Islam dan politik ialah 2 (dua) hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagi para penganutnya, Islam diyakini merupakan ajaran yang komprehensif, termasuk mengatur bagaimana politik itu dijalankan, melalui apa, dan apa tujuannya. Pada titik ini, maka keberadaan partai politik, yang merupakan bagian dari melalui apa politik itu dijalankan, dibahas dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai melalui politik kepartaian. Dan yang ingin dicapai melalui politik kepartaian ini tentunya tertuju kepada “berbagai maslahat baik yang kembali kepada agama

22

maupun umat,” termasuk tentunya keadilan bagi mazhab minoritas yang ada di dalam tubuh Islam itu sendiri.

Kedua, problem keadilan bagi seluruh masyarakat, termasuk bagi kelompok minoritas yang ada di dalam masyarakat, secara potensial bisa diselesaikan antara lain melalui politik kepartaian. Hal ini dikarenakan partai politik memiliki fungsi sebagai sarana artikulasi, agregasi, dan pembuat kebijakan atau hukum yang responsif terhadap perwujudan keadilan di masyarakat. Secara lebih umum, hal seperti itulah yang disebut oleh Rocky Gerung sebagai “mengaktifkan politik

23

sebagai tata bahasa percakapan keadilan.” Sejalan dengan hal itu, dalam konteks politik Islam, Yusuf

24

Qardhawi juga menjelaskan bahwa: “… kaum muslimin lebih baik ikut berperan serta dalam kancah politik demi tercapainya berbagai maslahat baik yang kembali kepada agama maupun umat,

sekaligus untuk mencegah timbulnya bahaya dan kerusakan yang akan mengancam mereka… Di antara beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh kaum muslimin adalah mendirikan partai yang memperjuangkan hak-hak mereka serta hak-hak orang lain.”

B.2.2. Perspektif Negara Hukum Indonesia

Untuk memahami konsep keadilan di dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka yang menjadi landasannya haruslah (harus diawali dengan) pemahaman terhadap konsep keadilan yang terkandung dalam sila-sila pada Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia.

Menurut Abdulkadir Besar, ciri khas paham 25

keadilan menurut Pancasila ialah:

1. Subjeknya jamak yang berinteraksi secara berpasangan;

2. Bahan baku dari keadilan ialah hasil tunaian kewajiban memberi dari para subjek;

3. Keadilannya bersifat fungsional;

4. Dengan terjadinya transformasi kewajiban menjadi hak antarpasangan-subjek yang jamak, melalui relasi satu-banyak, keadilan sosial terwujud.

Berdasarkan penjelasan mengenai konsep keadilan dalam Pancasila tersebut di atas, apabila kemudian hal itu dihubungkan dengan upaya perlindungan hak asasi manusia kaum minoritas, maka akan diperoleh pemahaman bahwa keadilan dalam Pancasila jelas mengisyaratkan adanya perlindungan bagi kelompok minoritas oleh

26

kelompok mayoritas. Antara subjek yang saling terjalin dalam relasi ekuivalensi, mereka berada di dalam “relasi samaan” sekaligus “relasi tak samaan.” Menurut Besar, relasi samaan ialah terkait dengan kesamaan tujuan yang hendak dicapai oleh unsur-unsur yang saling berinteraksi, dan relasi tak samaan ialah terkait dengan keadaan tertentu yang berbeda yang mengakibatkan

27 antarunsur tadi saling bergantung.

Dalam konteks keadaan masyarakat Indonesia yang plural yang di dalamnya juga terdapat kelompok minoritas dan mayoritas, maka ini

19 Ulama adalah pemimpin agama, dan umaro adalah pemimpin pemerintahan.

20 Mengenai perdebatan dan insiden Saqifah Bani Sa'idah dapat dibaca pada Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Al-Imamah Wa Al-Siyasah, Juz I,

Mesir: Muassasah Al-Halabiy, tanpa keterangan tahun, hlm. 12-18.

21 Nurkholis Madjid, “Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina,

Vol. I, No. 1, Juli-Desember 1998: 589.

22 Yusuf Qardhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 283.

23 Rocky Gerung, “Representasi, Kedaulatan, dan Etika Publik,” Jurnal Jentera, Ed. 20, Thn. V, Januari-April 2010: 7. 24 Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 283.

25 Abdulkadir Besar, Pancasila: Refleksi Filsafati, Transformasi Ideologik, Niscayaan Metoda Berfikir, Jakarta: Pustaka Azhary, 2005, hlm.

42.

26 Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah, Tanius Sebastian, ed., “Menggugat Diskriminasi atas Nama Agama,” Digest Epistema, Vol. 4, 2013:

25.

27 Abdulkadir Besar, op.cit., hlm. 21 dan 123.

(6)

mengisyaratkan perlunya kedua belah pihak untuk saling bekerja sama, saling melengkapi, untuk kemudian secara bersama-sama berupaya mewujudkan kesejahteraan dalam kerangka Negara

28

Kesatuan Republik Indonesia. Sejalan mengenai hal tersebut, Nurkholis Madjid pernah menjelaskan bahwa dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin kerja sama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan serta perbedaan, dan untuk

29 meningkatkan mutu kehidupan bersama.

Menurut J.S. Furnivall, masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari 2 (dua) atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan

30

menyatu dalam satu unit politik tunggal. Dalam perkembangannya, masyarakat-masyarakat plural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhir perang dunia ke-2, dapat menyatu dalam satu-kesatuan unit politik tunggal. Namun, memang harus diakui bahwa penyatuan itu tidaklah menghilangkan realitas pluralitas sosial, budaya, bahkan keagamaan yang ada di dalam masyarakat

31 Indonesia.

Negara, menurut alam Pancasila, diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama. Selain itu, sebagai negara yang dihuni oleh warga negaranya yang memiliki beragam latar belakang agama dan keyakinan, Negara Indonesia diharapkan juga dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama dan keyakinan, serta melindunginya. Dan sehubungan dengan adanya fakta bahwa di dalam masyarakat selalu ada agama dan keyakinan yang berposisi sebagai mayoritas dan minoritas, maka Negara Indonesia harus dapat pula mengembangkan dan menjalankan kekuasaannya secara independen, tanpa didikte

32 oleh agama mayoritas sekalipun.

Pernyataan yang terakhir itu merupakan konsekuensi dari Negara Indonesia yang bukan “negara agama,” melainkan “negara berdasar atas

Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pada negara agama, negara hanya merepresentasikan salah satu unsur agama tertentu, dan memungkinkan agama

33

tersebut mendikte negara. Sedangkan, menurut Yudi Latif, pada negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keberadaan agama diharapkan (dimaksudkan) untuk: pertama, mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agama yang membawa kebaikan bagi

34

semua. Ke dua, setiap agama mencari titik temu dalam semangat gotong-royong untuk membentuk landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik bersama berdasarkan nilai-nilai moralitas

35

Ketuhanan. Ke tiga, setiap agama harus menghindari sikap mengucilkan agama lain yang mengakibatkan timbulnya fragmentasi berdasarkan

36

ideologi keagamaan. Ke empat, agama harus dapat berkontribusi bagi penciptaan budaya demokrasi dan kemajuan bangsa, seperti pada saat ia ikut 37 serta membuka jalan menuju Indonesia merdeka. Ke lima, dan melalui hal-hal itu semua, dapat mewujudkan “kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, konsensus secara bijaksana, serta keadilan sosial yang mengatasi tirani perseorangan

38 dan golongan.”

B.3. Problem Keadilan Bermazhab di Indonesia

Apakah yang dimaksud dengan problem keadilan bermazhab bagi mazhab minoritas tersebut? Problem keadilan bermazhab bagi minoritas ini sebenarnya ialah suatu permasalahan di mana keadilan tidak terwujud bagi mereka yang berasal dari kelompok mazhab minoritas. Wujud konkret dari permasalahan itu ialah adanya diskriminasi yang dialami oleh mereka yang berasal dari kelompok mazhab yang berbeda yang berada pada posisi minoritas.

Konsep mazhab minoritas mirip dengan konsep agama minoritas (minority religion). Perbedaannya terletak pada posisi mazhab yang justru berada di dalam satu tubuh agama tertentu. Faktor agama,

termasuk mazhab, tentunya juga dapat menciptakan entitas kelompok minoritas. Dan di dalam suatu masyarakat yang anggota-anggotanya memiliki beragam keyakinan agama, maka akan terdapat apa yang disebut sebagai “agama minoritas.”

Istilah agama minoritas (minority religion) dapat dipahami dalam beberapa pengertian. Secara sederhana, agama minoritas dapat dipahami sebagai sebuah situasi dalam mana sebuah bagian dari masyarakat mempraktikkan sebuah agama yang berbeda dari agama mayoritas pada

39 masyarakat yang bersangkutan.

Agama minoritas juga dapat dipahami dalam kaitannya dengan faktor kekuasaan. Karenanya yang patut pula diperhatikan ialah, terkadang dalam situasi tertentu, agama yang minoritas dalam hal jumlah pengikut justru dapat menjadi dominan secara politik (menguasai bidang politik). Dalam keadaan seperti ini, maka agama minoritas tadi tidaklah dapat disebut berada dalam kedudukan

40 yang minoritas.

Masih dalam kaitannya dengan faktor kekuasaan, agama minoritas dapat dipahami pula sebagai agama yang dalam hal jumlah pengikutnya memang sedikit apabila dibandingkan agama lain yang pengikutnya lebih banyak (agama mayoritas), ditambah lagi mereka (sebagai penganut agama minoritas) juga memiliki pengaruh yang kecil dalam

41 bidang politik.

Agama minoritas juga dapat dipahami dalam kaitannya dengan etnis minoritas tertentu yang ada di dalam suatu masyarakat. Apabila terdapat sekelompok etnis minoritas yang mana suatu agama menjadi salah satu bagian dari identitas budaya mereka, maka agama yang mereka peluk

42 itu juga akan menjadi agama minoritas.

Lebih lanjut, keberadaan kaum minoritas, termasuk minoritas karena latar belakang mazhab dalam suatu agama, biasanya terkait pula dengan masalah praktik diskriminasi. Diskriminasi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah: “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis

kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”

Apabila menggunakan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka jelas paham Syiah di Indonesia dapat dikategorikan sebagai entitas minoritas. Alasannya tentu dapat dikaitkan dengan pertimbangan dari sisi jumlah penganutnya, pengaruhnya secara politis, dan perlakuan diskriminasi yang mereka terima.

Penjelasan tersebut akan semakin relevan apabila dihubungkan dengan fakta-fakta (peristiwa) yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, terutama misalnya pada peristiwa di mana kelompok yang menganut mazhab Syiah yang minoritas mengalami diskriminasi secara terus-menerus. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang dapat dijadikan contoh mengenai diskriminasi itu, yaitu:

1. Pada April 2000, bangunan dan fasilitas Pesantren Syiah, Al-Hadi, di Pekalongan, dibakar dan dihancurkan;

2. Pada Februari 2011, terjadi penyerangan dan kerusuhan di dalam Pesantren YAPI Bangil. Bentrokan terjadi antara santri YAPI dan warga Sunni;

3. Pada Desember 2011, terjadi penyerangan sekaligus pembakaran rumah-rumah warga Syiah di wilayah Sampang, Jawa Timur; 4. Pada Mei 2012, di Jember juga terjadi

bentrokan yang disebabkan isu gesekan dakwah Syiah.

5. Pada Agustus 2012, ratusan orang telah menyerbu permukiman milik komunitas Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur.

6. Pada tanggal 14 November 2013, terjadi pembubaran perayaan Asyura dari para penganut mazhab Syiah di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta.

28 Endra Wijaya dan Zaitun Abdullah, Tanius Sebastian, ed., loc.cit.

29 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm.

390.

30 Azyumardi Azra, “Jadi Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme,” dimual dalam Jusuf Susanto, The Dancing Leader, Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2011, hlm. 18.

31 Ibid., hlm. 19.

39 Richard T. Schaefer, ed., Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society, Los Angeles dan London: SAGE Publications, Inc., 2008, hlm.

1139.

40 Ibid.

(7)

Permasalahan tersebut tentunya harus segera diselesaikan secara tuntas, karena apabila tidak diselesaikan, maka secara perlahan-lahan potensial meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masyarakatnya bersifat plural.

B.4. Fungsi Partai Politik dan Problem Keadilan Bermazhab

Apabila dihubungkan antara tujuan serta fungsi partai politik di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dengan permasalahan diskriminasi yang dihadapi oleh para pemeluk mazhab Syiah di Indonesia, maka idealnya partai politik di Indonesia seharusnya ikut serta menjadi agen yang menyelesaikan permasalahan tersebut. Alasan mengenai hal ini ialah karena secara yuridis keharusan itu sudah ditegaskan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, yang intinya mewajibkan setiap partai politik untuk berupaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dan, bentuk-bentuk dikriminasi yang dihadapi oleh kaum Syiah di Indonesia selama ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tadi. Oleh karena itu, apabila permasalahan diskriminasi itu tidak segera diselesaikan secara tuntas tentunya potensial untuk meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, partai politik yang ingin secara sungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagai pengemban nilai-nilai Pancasila seharusnya juga ikut aktif menyelesaikan permasalahan diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, seperti halnya yang dihadapi oleh kaum Syiah di Indonesia.

Penjelasan tersebut di atas akan menjadi lebih menarik lagi jika dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada dalam praktik kepartaian yang dijalankan di Indonesia. Dengan membatasi diri pada partai-partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014, penulis mengamati praktik yang dijalankan oleh beberapa partai politik, dan dari pengamatan itu dapat diketahui hal-hal penting sebagai berikut:

Pertama, dari 12 (dua belas) partai politik nasional peserta pemilihan umum tahun 2014, semua partai politik itu di dalam visi dan misi, anggaran dasar ataupun dokumen lainnya yang memuat penjelasan mengenai program-program kerja partai politik yang bersangkutan telah mencantumkan secara eksplisit maupun implisit perlunya bersikap adil dan menentang diskriminasi dalam kehidupan di masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk hal tersebut, frase atau kata kunci yang digunakan oleh partai-partai politik di dalam dokumen-dokumen mereka, antara lain, ialah “masyarakat madani,” “egaliter,” “keharmonisan dari keberagaman agama,” “tatanan masyarakat majemuk,” serta “setara, merata dan tidak diskriminatif.”

Tetapi memang, dalam perkembangan selanjutnya, masih dapat dilihat adanya ambiguitas perumusan program-program kerja dari partai politik tertentu terkait dengan isu keadilan dan kebebasan dalam memilih serta memeluk agama atau keyakinan.

Mengenai hal tersebut misalnya dapat dilihat dari dokumen yang diterbitkan oleh salah satu partai politik nasional yang, di satu sisi, dengan tegas mencantumkan bahwa mereka adalah partai yang menentang tindakan diskriminasi, termasuk diskriminasi yang dilakukan atas alasan agama atau keyakinan, tetapi di sisi yang lain, mereka justru mencantumkan pula ide campur tangan negara dalam hal “pemurnian ajaran agama.”

Padahal, sebagaimana terjadi dalam beberapa kasus, alasan pemurnian agama telah dijadikan sebagai salah satu dasar bagi “pembungkaman” terhadap beberapa pihak yang memiliki agama atau keyakinan yang minoritas, yang berbeda dengan agama atau keyakinan mayoritas. Salah satu contoh konkret mengenai kasus tersebut dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg, Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 481/Pid/ 2012/PT.SBY, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1787 K/Pid/2012 dengan terdakwa Tajul Muluk yang berlatar belakang mazhab Syiah.

Kedua, walaupun dari 12 (dua belas) partai politik nasional semuanya telah menaruh perhatian terhadap permasalahan diskriminasi, tapi tidak ada satupun dari mereka yang secara eksplisit menggunakan istilah “mazhab” yang merujuk pada pengertian paham atau aliran dalam suatu agama,

serta tidak pula ditemukan adanya penggunaan istilah “minoritas” dalam visi dan misi, anggaran dasar ataupun dokumen lainnya yang memuat penjelasan mengenai program-program kerja partai politik yang bersangkutan.

Berdasarkan pengamatan penulis, masih sangat sedikit partai-partai politik yang mau mengangkat isu (permasalahan) diskriminasi terhadap mazhab minoritas. Hanya Partai Nasdem yang secara jelas sempat mengangkat permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum Syiah di Sampang, yaitu melalui program jajak pendapat publik mengenai peristiwa Sampang. Sedangkan partai politik lainnya tampak belum begitu “bersemangat” mengangkat isu tersebut. Kalaupun ada, mereka ini hanya sekedar mempublikasikan “sekilas berita” mengenai peristiwa Sampang tadi.

Mengenai fenomena tersebut di atas, penulis telah mengkonfirmasi hal itu dengan mewawancarai Ahmad Hidayat dari organisasi Ahlul Bait Indonesia (ABI). Saat ia ditanya bagaimana pendapatnya mengenai kecenderungan bahwa peristiwa Sampang tampaknya masih belum menjadi isu “yang menarik” bagi partai-partai politik nasional 43 yang ada, Hidayat membenarkan hal tersebut. Bahkan, menurutnya, “Patut disayangkan bahwa partai politik justru tidak progresif dan bahkan pasif terhadap persoalan-persoalan sektarian seperti

44 yang terjadi di Sampang.”

45

Lebih lanjut menurut Hidayat: “Selama partai tidak keluar dari cara-cara berpikir yang kuno yang hanya mengharapkan dukungan suara, dan tidak dengan pertimbangan rasional, maka sangat mungkin persoalan sensitif seperti kasus Sampang tidak akan pernah menjadi hal yang menarik bagi partai politik. Walaupun demikian, tentu kami berharap agar partai-partai politik, baik yang mengklaim dirinya sebagai partai nasionalis maupun partai berdasar agama tertentu, semestinya menggunakan fungsi-fungsinya untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyat Indonesia, dan mampu menjelaskan bahwa sesungguhnya secara konstitusional persoalan keagamaan adalah persoalan bangsa yang sudah diatur dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Karena itulah, partai politik harusnya mencetak kader-kader politik yang negarawan yang tidak lagi terkooptasi oleh kepentingan sektarian.”

Namun, narasumber lain yang penulis wawancarai menolak pendapat yang mengatakan bahwa partai politik, terutama yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat, hanya bersikap pasif terhadap peristiwa diskriminasi seperti yang terjadi Sampang. Habiburrokhman yang menjabat sebagai Ketua Bidang Advokasi Partai Gerakan Indonesia Raya

46

(Parta Gerinda) menjelaskan bahwa: “Bagi Partai Gerindra isu penghormatan hak minoritas bukanlah persoalan layak dijual atau tidak, tapi seharusnya menjadi komitmen seluruh elemen bangsa termasuk seluruh partai politik. Partai Gerinda sangat serius merespons kasus Sampang, wakil kami di Dewan Perwakilan Rakyat telah mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan tegas.”

Dinamika permasalahan diskriminasi di Indonesia ini jelas tidak hanya berhenti pada lingkup suku, ras, dan agama saja. Peristiwa seperti yang terjadi di Sampang, yang melibatkan 2 (dua) kelompok masyarakat yang berbeda mazhab, yaitu Suni dan Syiah, sebenarnya memperlihatkan bahwa diskriminasi dapat pula terjadi di dalam lingkup 1 (satu) agama. Oleh karena itu, maka perspektif keadilan bagi mazhab minoritas juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh seluruh pihak, termasuk partai-partai politik di Indonesia.

Ketiga, berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat pula diketahui bahwa partai-partai politik yang ada di Indonesia, khususnya mereka yang menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014, masih belum menjadikan isu keadilan bermazhab bagi mazhab minoritas sebagai isu yang penting untuk diperjuangkan perwujudannya di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendapat semacam ini juga terungkap saat penulis menanyakan kepada Hidayat sebagai narasumber.

47

Hidayat berpendapat bahwa: “Memang patut disayangkan bahwa sejumlah partai politik yang ada tidak cukup siap untuk memberikan kontribusi yang positif bagi tegaknya kehidupan toleransi di

43 Wawancara dengan Ahmad Hidayat, Sekretaris Jenderal Ahlul Bait Indonesia (ABI). Wawancara dilakukan pada tanggal 16 September

2013. Sebagai organisasi, ABI ini telah aktif mengadvokasi warga masyarakat yang menjadi korban diskriminasi berlatar belakang perbedaan mazhab, seperti halnya yang menimpa kaum Syiah di Sampang.

44 Ibid. 45 Ibid.

46 Wawancara dengan Habiburrokhman, Ketua Bidang Advokasi Partai Gerakan Indonesia Raya (Parta Gerinda). Wawancara dilakukan

pada tanggal 10 September 2013.

47 Wawancara dengan Ahmad Hidayat, loc.cit.

(8)

Negara Indonesia yang bhinneka atau plural ini. Dan sesungguhnya hal itu tidak sesuai dengan konstitusi.”

Padahal, tambah Hidayat, “Partai politik adalah salah instrumen politik yang sangat baik, terutama sekali karena ia mempunyai fungsi untuk memberikan pendidikan politik dan budaya politik

48

bangsa.” Ia pun berharap agar partai-partai politik dapat lebih memainkan peran yang signifikan, terutama secara kelembagaan di Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga kehidupan toleransi dan keadilan bagi kelompok minoritas di Indonesia bisa

49 terwujud.

Berdasarkan pendapat dari narasumber tersebut dapatlah diketahui bahwa memang partai-partai politik yang ada di Indonesia belum secara maksimal menjalankan fungsinya sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan, terlebih lagi sebagai agen yang dapat ikut mewadahi kelompok minoritas dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Penulis pun masih sulit untuk menemukan adanya program-program “terobosan” yang dirumuskan atau ditempuh secara konkret oleh partai-partai politik dalam ikut menyelesaikan permasalahan diskriminasi atau problem keadilan bagi mazhab minoritas di Indonesia. Kesulitan dari penulis seperti ini “didukung” pula oleh penjelasan yang diberikan oleh Habiburrokhman sebagai narasumber yang diwawancarai. Saat ia ditanya, “program apakah yang partai anda tawarkan terkait dengan isu pluralisme di Indonesia?”

50

Habiburrokhman menjelaskan bahwa: “Hak berkeyakinan adalah hak paling dasar yang harus dilindungi. Secara prinsip, menghormati setiap elemen bangsa adalah komitmen Partai Gerindra. Oleh karena itu, tidak ada program khusus terkait isu pluralisme di Partai Gerindra. Justru Partai Gerindra menerapkan prinsip-prinsip menghormati setiap elemen bangsa dalam seluruh program politik Partai Gerindra” (huruf miring dari penulis).

Padahal, sebagaimana pendapat dari Bieber, yang telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan partai politik potensial dapat ikut menciptakan “ruang perjuangan kepentingan” bagi kelompok minoritas dalam menghadapi diskriminasi. Pentingnya perjuangan untuk menghapuskan diskriminasi bagi kelompok minoritas melalui wadah partai politik bisa dipahami karena adanya

fungsi yang melekat pada partai politik untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat, sehingga bisa berujung pada proses pembuatan kebijakan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Melalui wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga perwakilan rakyat maupun pemerintah inilah yang potensial dapat membantu menciptakan hukum (undang-undang) yang secara substantif lebih mampu memberikan perlindungan bagi kaum minoritas dari tindakan diskriminatif.

Oleh karena itu, semakin banyak partai politik yang peduli atau memiliki perspektif keadilan bagi minoritas, termasuk minoritas dalam konteks mazhab, sebenarnya semakin memperbesar pula peluang terciptanya hukum yang responsif terhadap kebutuhan kaum minoritas. Dan selanjutnya, kondisi seperti itu tentunya juga akan semakin memperbesar peluang untuk memaksimalkan perwujudan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kehidupan di masyarakat di Indonesia.

C. Penutup

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka beberapa hal yang dapat dijadikan simpulan bagi kajian ini ialah:

Pertama,partai politik merupakan salah satu entitas yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak hanya terbatas pada kegiatan untuk meraup suara pada saat pemilihan umum saja, lebih jauh daripada itu, partai politik sebenarnya memiliki fungsi lain yang bisa ikut menentukan sejarah perjalanan suatu bangsa dan negara.

Dari perspektif yuridis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, partai politik memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana: pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, penyerap serta penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara, partisipasi politik warga negara Indonesia, dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi.

Fungsi-fungsi tersebut pada akhirnya terkait erat dengan tujuan untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjaga serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Dalam perkembangan selanjutnya, partai politik ternyata juga memiliki fungsi yang potensial sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok minoritas.

Kedua, permasalahan diskriminasi sudah menjadi perhatian dari partai-partai politik di Indonesia yang menjadi peserta pemilihan umum tahun 2014. Kecenderungan ini setidaknya dapat dilihat dari dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh partai-partai politik yang bersangkutan. Tetapi, dapat juga dikatakan bahwa perhatian yang diberikan oleh partai-partai politik itu belumlah maksimal dipraktikkan.

Selain itu, partai-partai politik tersebut tampaknya masih belum pula mempunyai perspektif keadilan bermazhab bagi minoritas. Padahal, problem keadilan bermazhab bagi minoritas di Indonesia masih sering terjadi dalam wujud tindakan diskriminatif, dan hingga sekarang, hal ini pun masih belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Daftar Pustaka

Al-Dainuri, Ibnu Qutaibah. Tanpa keterangan tahun. Al-Imamah Wa Al-Siyasah, Juz I. Mesir: Muassasah Al-Halabiy.

Azed, Abdul Bari, dan Makmur Amir. 2005. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Azra, Azyumardi. 2011. “Jadi Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme.” Dalam Jusuf Susanto. The Dancing Leader. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 1981. Mu'jam Al-Mufahras Li Alfadz Al-Qur'an Al-Karim. Mesir: Dar Al-Fikr.

Basyir, Ahmad Azhar. 1993. Refleksi atas Persoalan Keislaman. Bandung: Mizan.

Besar, Abdulkadir. 2005. Pancasila: Refleksi Filsafati, Transformasi Ideologik,

48 Ibid. 49 Ibid.

50 Wawancara dengan Habiburrokhman, loc.cit.

Niscayaan Metoda Berfikir. Jakarta: Pustaka Azhary.

Bieber, Florian. 2008. “Introduction: Minority Participation and Political Parties.” Dalam Florian Bieber et al. Political Parties and Minority Participation. Skopje: Friedrich Ebert Stiftung.

Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Engineer, Asghar Ali. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gerung, Rocky. 2010. “Representasi, Kedaulatan, dan Etika Publik.” Jurnal Jentera (Ed. 20, Thn. V, Januari-April).

Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks, Catatan-Catatan dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haris, Syamsuddin. 2006. “Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia.” Jurnal Penelitian Politik LIPI (Vol. 3, No. 1).

Ka'bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum dalam Al-Qur'an. Jakarta: Khairul Bayan.

Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. 2011. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Madjid, Nurkholis. 1998. “Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan.” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina (Vol. I, No. 1).

Mas'oed, Mohtar, dan Colin MacAndrews. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nasr, Seyyed Hosein. 2003. The Heart of Islam. Bandung: Mizan.

Nasution, Harun. 1994. Islam Rasional. Bandung: Mizan.

Qardhawi, Yusuf. 2008. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

(9)

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity, Transformation of Intelectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press. Schaefer, Richard T., ed. 2008. Encyclopedia of

Race, Ethnicity, and Society. Los Angeles dan London: SAGE Publications, Inc. Shihab, M. Quraisy. 2008. Lentera Al-Qur'an.

Bandung: Mizan.

Syarrafah, Muhammad. 2014. “Hak Pilih Pengungsi Syiah Tak Jelas,” <http://pemilu.tempo. co/read/news/2014/04/08/269568878 >. Diakses pada tanggal 13 April 2014. ---. Syarrafah, Muhammad. 2014.

“Pengungsi Syiah di Sidoarjo Ikut

Mencoblos,” <http://pemilu.tempo.co/ read/news/2014/04/09/058569339/Pen gungsi-Syaih-di-Sidoarjo-Ikut-Mencoblos>. Diakses pada tanggal 13 April 2014. Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi dan Politik di

Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Wijaya, Endra, dan Zaitun Abdullah. Tanius Sebastian, ed. 2013. “Menggugat Diskriminasi atas Nama Agama.” Digest Epistema (Vol. 4).

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi

Hasil analisis tanggapan 10 mahasiswa tentang materi kualitas hand out hasil penelitian pewarisan obesitas dalam keluarga sebagai bahan ajar mata kuliah Genetika

Evaluasi kepeawatan adalah mengkaji respon klien setelah dilakukan intervensi keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan(Deswani, 2009). Penulis

Analisis yang digunakan adalah model persamaan struktural (SEM) dan terlebih dahulu dilakukan analisis faktor konfirmatori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi

Hal seperti itu dapat terjadi karena kebiasaan guru dalam menyajikan pembelajaran terlalu mengacu pada target pencapain kurikulum sehingga mengabaikan hal yang nampaknya sepele

SMA Islamic Centre Kota Tangerang belum memiliki video promosi dan informasi, hanya memiliki media desain promosi belum akurat untuk mempromosikan sekolah SMA Islamic Centre

Berdasarkan Pasal 7 Permendesa Nomor 4 Tahun 2015, (1) BUMDesa dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum; (2) Unit usaha yang berbadan hukum sebagaimana

Kriteria pengambilan keputusan dari hasil olah data model regresi adalah, apabila nilai probability value atau significant-t lebih kecil dari 5% maka dapat