• Tidak ada hasil yang ditemukan

COPE OFR EGULATION IN THE MEDIAG LOBAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "COPE OFR EGULATION IN THE MEDIAG LOBAL"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

L

INGKUP

R

EGULASI

M

EDIA

D

ALAM

L

ANSKAP

G

LOBAL

T

HE

S

COPE OF

R

EGULATION IN THE MEDIA

G

LOBAL

L

ANSCAPE

Pandan Yudhapramesti

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran

Jalan Raya Jatinangor Sumedang KM 21 Jawa Barat, Indonesia. Telp.022 7796954. Hp. 082117983165 Email: pandanpramesti@gmail.com

diterima: 8 Mei 2016 | direvisi: 18 Juni 2016 | disetujui: 20 Juni 2016

ABSRACT

The use of media in a variety of platforms, continues to increase globally. As it is, many problems arise, such as the increase in cyber crime, the number of lawsuits as well as an increase in people who are subject to the penalties for actions in the cyber world. This paper is the result of literature research on the study of media regulation trends. The focus of research aimed at: a) Current issues related to media policy in the global landscape, b) Trends on research issues of media studies, and c) an alternative method in the study of media regulation. The focus of research directed its relevance to the context of Indonesia. The study concluded that study of media regulation should aim to understand the current issues in the media, including efforts to find ideas solutif due to the development of a multi-dimensional global landscape, as well as issues that arise as a result of the user interaction media between the state and the nations. Trends issue generally highlighted are: 1) The policy of media, freedom of expression and citizenship, 2) media policy and institutional design, 3) media policy and the state media, as well as 4) the problems arising from the transformation of technology and global interactions. Recent developments in the media and global digital landscape has prompted numerous new problems, thus demanding the emergence of alternative methods, such as method of comparison or comparative studies and policy analysis method is based on a system perspective.

Keywords: Media Studies, Media Policy, The Digital Era, Global Era

ABSTRAK

Penggunaan media dalam berbagai platform, terus meningkat secara global. Seiring hal tersebut, berbagai masalah muncul, seperti peningkatan kejahatan siber, jumlah tuntutan hukum serta peningkatan orang yang dikenai hukuman akibat tindakan di dunia siber. Makalah ini merupakan hasil penelitian kepustakaan mengenai tren kajian regulasi media. Fokus penelitian diarahkan pada: a) persoalan-persoalan mutakhir terkait kebijakan media dalam lanskap global, b) Tren tentang isu-isu penelitian kajian media, serta c) Metode alternatif dalam kajian regulasi media. Fokus penelitian diarahkan relevansinya kepada konteks Indonesia. Kajian ini menyimpulkan bahwa, kajian regulasi media perlu diarahkan untuk memahami persoalan mutakhir pada media, termasuk upaya menemukan gagasan solutif akibat perkembangan multi dimensi dalam lanskap global, serta persoalan yang muncul akibat interaksi pengguna media antar negara dan bangsa. Tren isu yang umumnya disoroti adalah: 1) Kebijakan media, kebebasan berekspresi (freedom of expression) dan citizenship, 2) kebijakan media dan desain institusional, 3) Kebijakan media dan media pemerintah, serta 4) masalah-masalah yang muncul akibat transformasi teknologi dan interaksi global. Perkembangan mutakhir media dalam lanskap digital dan global telah memunculkan berbagai persoalan baru, sehingga menuntut lahirnya metode-metode alternatif, seperti metode-metode perbandingan atau studi komparasi serta metode-metode analisis kebijakan berdasarkan perspektif sistem.

(2)

I.

PENDAHULUAN

Penggunaan media dalam berbagai platform, baik media konvensional, maupun media baru yang berbasis internet, terus meningkat secara global. Sebagai contoh di Amerika Serikat, pada tahun 2015, diperkirakan bahwa setiap orang Amerika mengonsumsi media tradisional dan digital rata-rata lebih dari 15,5 jam per hari. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap lebih dari 30 sumber data yang berbeda (Short, 2015), jumlah data yang diantarkan oleh berbagai media tersebut rata-rata lebih dari 8,75 zettabytes per hari atau jika dihitung per orang maka jumlah data yang diantarkan 74 giga bites per orang per hari, setara dengan jumlah data yang muat dalam 9 DVD. Zettabites setara dengan sejuta juta gigabites. Jumlah ini merupakan peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Riset konsumsi media di Indonesia memang masih bersifat parsial. Namun berbagai hasil riset tersebut menunjukkan bahwa tren peningkatan penggunaan media juga terjadi di Indonesia. Menurut data Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012, rata-rata waktu yang dihabiskan anak-anak Indonesia saat menonton siaran televisi setiap harinya mencapai 5 jam bahkan lebih, sedangkan negara ASEAN lain hanya 2 sampai 3 jam dalam sehari (RG, 2012).

Sementar menurut Nielsen Media Research (NMR), secara keseluruhan, konsumsi media di kota-kota baik di Jawa maupun Luar Jawa menunjukkan bahwa televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%). Namun ketika dilihat lebih lanjut, ternyata terdapat perbedaan yang sangat menarik antara pola konsumsi media di

kota-kota di Jawa bila dibandingkan dengan kota-kota-kota-kota di luar Jawa. Konsumsi media Televisi lebih tinggi di luar Jawa (97%), disusul oleh Radio (37%), Internet (32%), Koran (26%), Bioskop (11%), Tabloid (9%) dan Majalah (5%). Sementara itu, di Jawa hanya konsumsi Internet yang sedikit lebih tinggi yaitu sebanyak 34%. Khusus mengenai Internet, penggunaan media ini mengalami pertumbuhan tertinggi dalam 4 tahun terakhir, hingga mencapai dua kali lipat baik di Jawa maupun luar Jawa. Pertumbuhan konsumsi internet melalui akses bergerak (mobile ) seperti telepon genggam dan wi-fi lebih tinggi di Jawa yaitu lima kali lipat, dibandingkan di luar Jawa yang hanya mencapai tiga kali lipat (Anon., 2014). Nielsen hanya melakukan survei di sepuluh kota besar di Jakarta, sehingga belum dapat dikatakan bahwa hasil surveynya mewakili kondisi nasional. Namun demikian, data Nielsen memberikan gambaran tingkat interaksi media dan masyarakat Indonesia di sepuluh kota besar yang disurvey.

Tren peningkatan penggunaan media tidak

hanya terjadi di Amerika Serikat atau negara

maju lainnya, namun terjadi di berbagai negara,

terutama untuk media berbasis internet. Itu

sebabnya era ini disebut era informasi. Pada era

ini, masyarakat pengguna media tidak hanya

menjadi konsumen media, namun juga secara

aktif dapat menjadi produsen media, atau

biasanya diberi istilah prosumer.

Seiring dengan tren peningkatan tersebut,

berbagai masalah juga muncul. Secara klasik

masalah yang biasanya muncul adalah 1)

pemenuhan hak atas akses kepada informasi, 2)

(3)

kebebasan

berekspresi,

berserikat,

dan

berkumpul dalam menggunakan media, serta 3)

masalah-masalah yang muncul akibat interaksi

global yang melintasi batas negara. Kasus-kasus

pembatasan atau pengingkaran terhadap poin

satu dan dua terus bermunculan. Kasus

kejahatan siber serta tuntutan hukum akibat

tindakan dalam dunia siber juga meningkat.

Sementara untuk poin ke tiga, perbedaan

peraturan atau regulasi media di setiap negara

menyebabkan kesulitan penanganan untuk

persoalan-persoalan yang timbul akibat interaksi

antar negara. Setiap negara bisa jadi memiliki

kebijakan media berbeda. Misalnya batasan

tentang konten pornografi atau kebebasan

menyampaikan kritik, berbeda antara satu

negara dengan negara lain. Padahal interaksi

pengguna media sudah melintasi batas-batas

negara. Akibatnya, banyak hal belum diatur

manakala terjadi masalah yang muncul akibat

interaksi antar negara. Itu sebabnya isu tentang

regulasi serta kebijakan media tetap menjadi hal

yang penting dan relevan untuk selalu dikaji.

Fokus penelitian diarahkan pada: a)

persoalan-persoalan mutakhir terkait kebijakan

media dalam lanskap digital, b) Tren tentang

isu-isu penelitian kajian media, serta c) Metode

alternatif dalam kajian media. Seluruh elemen

dalam fokus penelitian diarahkan relevansinya

kepada persoalan-persoalan yang dihadapi dan

harus diatasi di Indonesia.

II.

METODE PENELITIAN

Makalah ini merupakan hasil penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif, terkait tren tentang kajian regulasi media. Sumber data yang digunakan mencakup berbagai hasil penelitian tentang kajian regulasi media yang dapat ditelusuri secara on line, baik berupa kajian praktis dalam bentuk jurnal, laporan penelitian, maupun buku, serta kajian akademik dalam bentuk jurnal maupun buku; buku bahan ajar dan buku lainnya; serta sumber data dalam jaringan (on line) yang relevan dengan topik kajian media. Penelitian dilakukan pada awal hingga pertengahan tahun 2016.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebijakan (Policy) adalah ketetapan atau langkah atau tindakan yang telah disetujui atau digariskan tapi tidak harus dijadikan sebagai suatu peraturan. Kebijakan itu making a climate : langkah-langkah untuk membuat sebuah iklim/kondisi shg strategi bisa berjalan menuju tujuannya. Instrumennya adalah peraturan. Langkah-langkah tersebut adalah: Membuat pernyataan (statement); Membuat aturan. Policy instrument atau instrumen kebijakan adalah peraturan, Undang-Undang dan turunannya, peraturan (Regulation) adalah kebijakan yang disetujui dan ditetapkan dalam bentuk peraturan.

A.

Sistem Media di Berbagai Negara,

Berbagai Perbedaan, dan Dampaknya :

Aneka Persoalan terkait Kebijakan

Media dalam Lanskap Global

(4)

juga memengaruhi jenis sistem media yang dianutnya serta akses masyarakat terhadap media. Sebagai contoh, penduduk Amerika yang sejahtera cenderung tinggal di rumah yang berukuran lebih luas dibandingkan masyarakat di berbagai negara lain. Hingga tahun 90 an, tiap penduduk Amerika memiliki dua radio dan satu televisi untuk satu orang. Australia adalah negara makmur yang sangat luas. Banyak penduduknya tinggal di daeah terpencil di negara benua ini. Di sana, setiap penduduk juga memiliki lebih dari satu radio, tetapi hanya satu televisi untuk setiap orang. Lain lagi di Uganda. Di negara Afrika yang sedang berkembang ini, banyak warganya yang hampir tidak memiliki televisi, bahkan radio. Sementara negara lainnya, negara padang pasir Oman yang kaya akan minyak, pada tahun 90 an tercatat hanya 1 dari 11 orang yang memiliki saluran telepon, namun ada satu televisi untuk setiap dua orang. Kondisi ini terjadi karena secara geografis daerah-daerah di Oman cukup berbahaya sehingga menyulitkan pembangunan dan pemeliharaan jaringan telepon.

Momen penting dalam perkembangan teori mengenai media (waktu itu masih “era” surat kabar) terjadi melalui publikasi buku teks kecil karya Siebert dan kawan-kawan pada tahun 1956 (McQuail, 2005). Dalam buku tersebut, Siebert mengategorikan sistem pers ke dalam empat bentuk, yaitu otoritarian, libertarian, komunis, dan tanggung jawab sosial. Secara sederhana keempat teori pers tersebut dijabarkan menjadi : otoriarian adalah sistem pers yang sangat ketat dengan kontrol, libertarian identik dengan kebebasan, komunis identik dengan Soviet (yang telah bubas), serta tanggung jawab sosial sebagai konsep yang dianggap “ideal namun sulit dilakukan” karena merupakan kombinasi dari

kebebasan yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

Gagasan Siebert tentang pengategorian teori pers ke dalam empat kelompok mendapat dukungan sekaligus kritik. Ada pula pihak-pihak yang mengembangkan empat kategori tersebut serta menemukan bentuk-bentuk baru. Karena pada prakteknya hampir setiap negara mengembangkan sistem medianya sendiri. Sebagai contoh, China yang dikategorikan sama dengan Uni Soviet sebagai sesama komunis misalnya, sesungguhnya mengembangkan sistem medianya sendiri. Apalagi Soviet telah bubar sebelum era internet ada, sedangkan China hingga kini masih tetap eksis sebagai salah satu negara besar termasuk dalam sistem politik, ekonomi, dan tentu saja sistem medianya sendiri.

Banyak negara berkembang dikategorikan sebagai negara yang termasuk kelompok otoritarian. Indonesia yang pada masa orde baru sering mengakui memiliki sistem pers tanggung jawab sosial, pada sisi lain sering dikategorikan ke dalam sistem otoritarian karena berbagai pembatasan terkait pengelolaan media dan kebebasan berekspresi. Setelah terlepas dari masa orde baru yang penuh pengekangan, Indonesia justru menghadapi persoalan bumerang kekebasan, sesuatu yang dulu sangat dirindukan pada masa-masa terkekang.

(5)

Bermedia adalah hak mendasar setiap orang, bagian dari freedom of expression dan freedom of experience. Pembatasan berarti pengekangan terhadap hak dasar tersebut. Memang perlu dikaji kembali apakah kritik ini datang dari dalam, untuk mengukur apakah masyarakat sudah menyadari bahwa mereka mengalami pengekangan, atau justru datang dari luar, dari para peneliti atau kritikus yang memandang kebebasan dari versi mereka sendiri.

Gagasan pemenuhan hak atas kebebasan ini telah diakui dalam dokumen Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia atau dalam Bahasa Inggris diterjemahkan menjadi Universal Declaration of Human Rights, yang dideklarasikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa tahun 1948. Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal yang menggarisbesarkan pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia (HAM) kepada semua orang. Sebanyak 48 negara menyetujui dokumen tersebut dan delapan negara yaitu blok Soviet, negara-negara Arab, serta Afrika Selatan menyatakan diri abstain.

Negara-negara yang menyepakati, memiliki perangkat hukum tersendiri yang menjamin pemenuhan kebutuhan hak dasar kemanusiaan tersebut. Amerika Serikat mempunyai dokumen Bill of Right nama untuk sepuluh amandemen pertama terhadap Konstitusi Amerika Serikat yang dibuat pada tahun 1789 dan berlaku sebagai Amandemen Konstitusional pada 15 Desember 1791. Amandemen ini dibuat untuk melindungi hak-hak asli dari kebebasan dan harta benda. Perancis memiliki Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara. Indonesia menjamin pemenuhan hak tersebut melalui pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan berpendapat, berkumpul,

dan berserikat. Pada perkembangannya kemudian, secara historis, reformasi 1998 merupakan titik balik dan dianggap sebagai landasan utama dalam upaya memastikan hak-hak warga negara atas media. Setelah itu, muncul amandemen UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 yang menjamin hak atas informasi dan media bagi warga.

Pada negara yang sudah menganut sistem yang menjamin kebebasan, kritik utamanya adalah bumerang dari kebebasan. Sebagai contoh, sebagai pemenuhan dari jaminan kebebasan, maka negara meniadakan sistem kontrol terhadap isi media dan menyerahkan kontrol kepada pengelola media atau biasa dinamakan self regulation. Sayangnya, self regulation tidak jarang diselewengkan menjadi pemenuhan kepentingan ekonomi politik pemilik media. Untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan maka negara memberi sejumlah aturan. Hal-hal yang diatur adalah:

a. Memberikan jaminan kebebasan untuk setiap warga negara mendirikan dan mengelola media. Perizinan khusus dilakukan kepada media penyiaran televisi dan radio siaran karena keduanya menggunakan frekuensi yang sifatnya terbatas.

b. Memberikan peran dan fungsi kontrol kepada pengelola media atau self regulation.

(6)

terjadinya muatan pornografi, kekerasan, fitnah (defamation), fitnah lisan (slander), fitnah tertulis (libel); ujaran kebencian (hate speech), penguntitan siber (cyberstalking), hak cipta dalam internet (Mirabito & Morgenstern, 2004). Terkait ujaran kebencian, sampai saat ini, belum ada pengertian atau definisi secara hukum mengenai apa yang disebut ujaran kebencian atau hate speech dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia. Hampir semua negara di seluruh Dunia mempunyai undang-undang yang mengatur tentang hate speech. Contohnya adalah Inggris, pada saat munculnya Public Order Act 1986 menyatakan bahwa suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindakan kriminal adalah ketika seseorang melakukan perbuatan “mengancam, menghina, dan melecehkan baik dalam perkataan maupun perbuatan” terhadap “warna kulit, ras, kewarganegaraan, atau etnis”. Di Brazil, negara mempunyai konstitusi yang melarang munculnya atau berkembangnya propaganda negatif terhadap agama, ras, kecurigaan antarkelas, dll. Di Turki, seseorang akan divonis penjara selama satu sampai tiga tahun apabila melakukan penghasutan terhadap seseorang yang membuat kebencian dan permusuhan dalam basis kelas, agama, ras, sekte, atau daerah. Di Jerman, ada hukum tertentu yang memperbolehkan korban dari pembinasaan untuk melakukan tindak hukum terhadap siapapun yang manyangkal bahwa pembinasaan itu terjadi. Di Kanada, Piagam Kanada untuk hak dan kebebasan (Canadian Charter of Rights and Freedoms) menjamin dalam kebebasan berekspresi namun dengan ketentuan-ketentuan tertentu agar tidak terjadi penghasutan.

Selain hal-hal yang dimuat dalam regulasi atau kebijakan, masih ada beberapa hal yang biasanya mengundang perdebatan menyangkut etika. Etika

adalah aturan perilaku atau prinsip moral yang memandu tindakan kita dalam situasi tertentu. Penerapan etika hampir selalu melibatkan pencarian jawaban yang paling bisa dipertahankan secara moral terhadap masalah yang tidak memiliki jawaban yang benar atau terbaik. Seperti dikatakan Baran (2014), persoalan-persoalan yang biasanya muncul terutama adalah konflik kepentingan menyangkut :

a. Apakah media mampu menyampaikan kebenaran dan kejujuran secara utuh mengingat media melakukan framing terhadap isu tertentu. b. Penghormatan terhadap privasi baik bagi figur

publik maupun orang-orang biasa yang menjadi tokoh berita

c. Kerahasiaan nara sumber karena alasan keamanan

d. Konflik kepentingan antara pribadi media dan kepentingan publik

e. Konflik antara keharusan mencari keuntungan sebagai sebuah perusahaan dan tanggung jawab sosial

f. Etika tentang konten yang ofensif

Untuk membantu para praktisi dalam penalaran moralnya, kelompok profesional media, di Indonesia seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), ALiansi Jurnalis Indonesia (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dll, yang diwadahi oleh Dewan Pers telah menerbitkan kode formal dan standar-standar etika tingkah laku berupa Kode Etik Wartawan Indonesia. Bagi sebagian orang, kode etik merupakan bagian penting dari sebuah profesi, namun bagi sebagian yang lain, hal tersebut tidak lebih dari sekumpulan gagasan klise yang tidak dapat diterapkan.

(7)

lain, terkait kepentingan sosial, politik, ekonomi, kultural, serta idologi. Pada prakteknya, pada umumnya negara juga memiliki sejumlah persoalan terkait sulitnya menemukan titik keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, yang sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai setempat. Sejumlah peraturan dan kebijakan yang telah dibuat serta implementasinya sering belum mampu untuk menjaga titik keseimbangan tersebut. Seiring berjalannya waktu, dinamika penggunaan media juga telah melintasi batas-batas negara sehingga dalam beberapa hal, regulasi yang ada di tingkat negara tidak memadai lagi. Beberapa contoh kasus berikut menjelaskan masalah-masalah yang umumnya dihadapi oleh berbagai negara dalam membangun serta menjaga sistem dan regulasi media mereka.

1.

Pertarungan Regulasi dan Deregulasi Media

di Amerika

Amerika Serikat sebagai penganut utama kebebasan, memiliki sejarah panjang yang memperlihatkan bahwa definisi kebebasan dan tanggung jawab itu tidak mudah dicarikan titik temu dan diimplementasikan. Regulasi media di Amerika Serikat mengikuti model libertarian. Keterlibatan pemerintah pusat dalam operasi sehari-hari organisasi media sangat kecil. Berdasarkan filosofi libertarian, pendekatan yang dilakukan oleh badan pengelolaan penyiaran FCC (Federal Comucation Commission) dalam mengatur regulasi media adalah dengan membiarkan terjadinya kompetisi di dalam pasar komersial sehingga pasar inilah yang kemudian akan mengatur diri mereka sendiri - khususnya dalam menyediakan konten media. Dengan kata lain, FCC berharap bahwa sebagian besar regulasi haruslah berasal dari para pelaku media itu sendiri. FCC memiliki kewenangan atas pemberian, pencabutan

izin serta denda terhadap media, namun FCC tidak mengatur konten media serta akses media.

Ada tiga bidang regulasi konten yang pengawasannya menjadi tanggungjawab FCC. Yang pertama adalah indecency (ketidakpatutan), yang di Amerika memiliki definisi yang berbeda dengan obscenity (kecabulan). Namun demikian, pendekatan yang dilakukan untuk memengaruhi konten media agar tidak menyiarkan kekerasan, alkohol, iklan dan ketidakpatutan, adalah dengan masyarakat menentukan sendiri apa yang bisa dan tidak bisa diterima. Oleh karena itu, FCC akan berfungsi sebagai sebuah regulator isi media jika diminta oleh masyarakat luas.

FCC pernah mewajibkan seluruh stasiun televisi untuk menyiarkan program anak-anak. Namun kebijakan ini ditentang oleh National Association of Broadcasters (Asosiasi Lembaga Penyiaran Nasional), sebuah lembaga regulator industri. Asosiasi ini berpendapat bahwa peraturan FCC tersebut melanggar hak ‘free-speech’ mereka. Kedua lembaga ini terus berseteru dan berbeda pendapat atas konten siaran. Perselisihan atau tumpangtindih regulasi antar lembaga sering kali berakhir di pengadilan dengan adanya keputusan pengadilan yang bersifat mengikat.

(8)

melewati pemerintahan George Bush. Seperti disebutkan Hickey (Baran, 2014), para pemimpin kongres dari Partai Republik dan Demokrat, kolumnis liberal dan konservatif, dan sejumlah kelompok kepentingan umum dari beragam spektrum politik terus berkampanye menentang hasil deregulasi, dengan mengatakan bahwa deregulasi adalah kosentrasi, konglomerasi, komersialisasi berlebihan, mengabaikan hak anak, dan menurunkan standard kesopanan. Kesulitan dalam menyeimbangkan kepentingan publik dan kebebasan penyiaran merupakan inti perdebatan mengenai deregulasi dan pelonggaran kepemilikan, serta peraturan lain untuk radio dan televisi (Baran, 2014).

2.

Kasus Arab Spring

Tidak banyak informasi atau literatur yg tersedia, terutama yg dibuat atau ditulis oleh ilmuwan dari negeri-negeri Arab sendiri, yang membahas bagaimana kondisi system pers dan sistem media di Arab memengaruhi aktivitas jurnalis-jurnalisnya. Faktor penyebabnya adalah karena belum cukup kuatnya tradisi riset akademik di bidang regulasi media yang tumbuh pada ilmuwan dari negeri-negeri Arab sendiri, sementara ilmuwan dari luar, katakanlah dari barat mengalami kendala bahasa karena hukum media di negeri-negeri Arab disusun dalam bahasa mereka sendiri tanpa terjemahan ke dalam Bahasa Inggris (Duffy, 2014). Jika dikaitkan dengan gagasan Siebert tentang teori pers, maka negara-negara Arab pada umumnya menganut sistem pers authoritarian, meski pada prakteknya terdapat variasi antara negara yang satu dengan negara yang lain. Pemerintah melakukan kontrol yang ketat terhadap isi dan pengelolaan media pemerintah maupun swasta.

Pada tahun 2011 lalu negara-negara Arab mengalami gejolak. Kasus yang dikenal dengan istilah Arab Spring ini diawali dengan kisah Mohamed Bouazizi, seorang penjual buah berusia 26 tahun. Bouazizi yang tinggal di kota Sidi Bouzid Tunisia, ingin meningkatkan usahanya dari berjualan di gerobak menjadi menjadi kendaraan roda empat sejenis pick up. Keluarganya tidak mampu membayar uang sogok ke tiga orang petugas pemda. Barang dagangan Bouazizi digaruk dan si penjual dipentung petugas. Bouazizi yang frustasi, membakar dirinya dengan bensin dan korek api pada 17 Desember 2010. Bouazizi mengalami luka bakar 90 persen dan meninggal pada 5 Januari 2011.

Kasus ini menimbulkan gejolak protes besar di masyarakat Tunisia, yang telah lama memendam amarah terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang sering terjadi. Media massa swasta maupun pemerintah di Tunisia tidak memberitakan kasus Bouazizi. Namun media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube menyediakan fasilitas untuk para aktivis menyebarluaskan informasi atas gerakan mereka. (Duffy, 2014). Di luar dugaan rezim yang tengah berkuasa, media sosial digunakan sebagai sarana baru untuk menyebarluaskan gerakan sosial politik. Pembatasan kebebasan bermedia ternyata tidak lagi ampuh menghadapi jaringan media yang kini terhubung secara global.

3.

Pembatasan Akses Media di China

(9)

perusahaan raksasa Amerika seperti Microsoft, Yahoo, Google, serta Cisco untuk mengubah jargon ideologi mereka tentang penghormatan terhadap privasi dan kebebasan, demi untuk memperoleh izin membuka usaha di China. Google telah memfilter internet search engine mereka, sehingga pencarian kata kunci Tianamen hanya akan memunculkan foto pariwisata yang indah tentang Tianamen. Yahoo pernah membocorkan identitas pengirim email anonim yang menyebarkan pesan kritik terhadap penguasa. Akibatnya, para pengirim email tersebut memperoleh hukuman antara empat hingga sepuluh tahun penjara.

Namun, pengetahuan dan keterampilan masyarakat China pun berkembang terus sehingga kini mereka mulai terampil menggunakan server-server di luar China dengan menggunakan akun anonim. Hingga menjadi perdebatan bahwa pada akhirnya hal kontroversial yang dilakukan perusahaan raksasa Amerika tersebut mendatangkan manfaat bagi masyarakat China. Syarat yang diberikan pemerintah China kepada seluruh investor/pebisnis dari luar China yang ingin berinvestasi dibidang TIK, tidak lagi ampuh manakala rakyat China sudah lebih melek internet dan terampil menggunakan TIK.

Dalam dekade terakhir, ruang lingkup kebijakan media telah bertambah kompleks sebagai akibat dari sejumlah fenomena aktual (Bulck, 2013), yaitu: pertama, digitalisasi dan konvergensi telah membuka market media tradisional kepada para pemain baru dari sektor telekomunikasi dan hal-hal terkait. Konvergensi juga membuat konfigurasi baru antara pemain baru dan pemain lama. Secara bersama-sama, hal ini menghasilkan stakeholder baru yang dapat diidentifikasi dan dianalisis kedudukannya

masing-masing dan pengaruhnya dalam kebijakan media (d’Haenens dan Brink, 2001, dalam Bulck). Kedua, pertumbuhan bisnis media dan TIK telah mendorong kemunculan pemain baru dalam bidang kebijakan media. Para pemain baru ini memiliki kekuatan untuk mengarahkan kebijakan media. Para pemain baru ini mengarahkan, menentukan, bahkan melakukan hegemoni (Freedman, 2005, dalam Bulck) terhadap konten atau jenis pelayanan yang ditawarkan.

Ketiga, lanskap politik media telah berevolusi. Kebijakan media tidak lagi terbatas pada satu lokus politik pengambilan keputusan. Selain melibatkan pertimbangan bisnis, sosial, politik, kultural, dan nilai-nilai setempat, kebijakan media kini telah berada pada level kebijakan antar negara. Di Eropa, level kebijakan antar negara di bidang media selama ini telah dikoordinir oleh Uni Eropa. Hasilnya adalah homogenisasi hukum dan kebijakan media pada negara-negara yang berada dalam arahan Uni Eropa (Bulck, 2013). Kondisi ini menyebabkan penetapan hukum dan kebijakan media sangat rentan dengan lobby dari para pemangku kepentingan media yang menekan pemerintahan negara-negara partisipan agar memperluas ruang lingkup kebijakan sesuai kebijakan antar negara. Pada level global, kebijakan media juga terkait dengan kepentingan WTO yang menetapkan status dan posisi media dalam Perjanjian Umum Tentang Layanan Perdagangan Bebas (GATS – General Agreement on Trade in Services) dan kesepakatan tentang hal-hal menyangkut hak cipta intelektual (puppis 2008, Freedman 2008, dalam Bulck, 2013).

(10)

(Sreberny, 2005), pengaturan tentang kewenangan antar institusi serta kehidupan sosial. Hukum dan kebijakan media merupakan jembatan penghubung dengan globalisasi. Kajian tentang hal ini membutuhkan kerangka analitik yang lebih dari sekedar “letter of the law”, menerapkan aspek sosio-legal, namun juga menggunakan interdiciplinary methodology, atau menggunakan perspektif kajian perbandingan hukum dan kebijakan media antar negara yang komprehensif (Verhulst & Price, 2013). Perbandingan kajian hukum dan kebijakan media dapat memberi kita pengertian yang lebih baik tentang pengalaman kegagalan dan kesuksesan (best practice) dari berbagai negara.

B.

Tren Isu-Isu Penelitian Kajian Media

Dalam buku Handbook of Media Law, Verhulst dan Price (2013) menjelaskan beberapa isu yang berkembang dalam kajian hukum dan kebijakan media, yaitu :

a. Kebijakan media dan desain institusional. Topik ini membahas tentang desain institusional, identifikasi para pemain yang berwenang menentukan aturan, norma dan standar, serta perubahan-perubahan yang dianggap perlu terkait aturan, norma, dan standar tersebut. Pembahasan juga diarahkan pada : 1) pembagian peran dan kewenangan serta hubungan antar pemain dan institusi, 2) bagaimana menganalisis proses pembentukan kebijakan dengan melibatkan analisis terhadap para pemangku kepentingan, 3) menganalisis dampak rasional dari kewenangan yang melekat pada institusi pemegang kebijakan terhadap operasional pemberitaan dan kerja jurnalistik, 4) bagaimana memahami konsep kebebasan : antara hukum dan implementasi, 5) menganalisis hubungan

antar pemerintahan, kultur perjanjian dan konsensus antar pemerintah, bagaimana pendekatan yang dilakukan dalam kebijakan antar pemerintah, lembaga independen, serta bagaimana dampaknya terhadap kedaulatan negara.

b. Kebijakan Media, kebebasan berekspresi (freedom of expression), dan citizenship. Topik ini membahas konsep-konsep mendasar terkait hukum dan kebijakan media serta implementasinya dalam negara demokratis. Konsep-konsep mendasar tersebut menyangkut kebebasan berekspresi, gagasan tentang citizenship, serta minat publik serta tantangan yang dihadapi oleh konsep-konsep dasar tersebut terhadap perubahan teknologi dan perkembangan politik. Era internet telah membuka perdebatan seputar makna tentang akses, kebebasan, dan hak dalam lingkungan digital dan bagaimana mentransfer hal-hal tersebut dalam cara pandang advokasi.

c. Kebijakan media dan perspektif komparasi (perbandingan). Topik ini menelusuri cara-cara untuk mengkonseptualisasikan hukum dan kebijakan media di berbagai negara termasuk membandingkan dasar pemikiran di balik konsep atau narasi hukum dan kebijakan tersebut. d. Kebijakan media dan media pemerintah.

(11)

e. Kebijakan media dan transformasi teknologi. Perubahan teknologi dan hal-hal terkait transformasi teknologi telah mengubah konstelasi media, termasuk dampaknya terhadap bagaimana informasi dimediasi dan dikontrol, serta bagaimana interest publik terhadap perubahan teknologi. Studi komparasi membandingkan sebuah kondisi dengan kondisi lainnya dengan asumsi sebuah model teknologi dapat diterima oleh sebuah kelompok/situasi/kondisi tertentu namun belum tentu dapat diterima oleh kelompok/situasi/kondisi lainnya. Kajian tentang hal ini mengarahkan pada refleksi tentang pembagian kewenangan dan pertanggungjawaban antara media, telekomunikasi, dan internet akan berakibat pada target-target demokrasi, pertumbuhan ekonomi, dan keadilan sosial.

Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai perkembangan yang terjadi menunjukkan peningkatan kesadaran tentang manfaat atau nilai-nilai yang diperoleh dari analisis perbandingan sistem media antar negara. Berbagai peristiwa besar terjadi dalam beberapa dekade terakhir, seperti perkembangan globalisasi, berakhirnya perang dingin, pertumbuhan ekonomi Asia, perkembangan geopolitik Arab Spring. Di tengah berbagai perkembangan peristiwa tersebut, kemunculan jaringan internet yang menghubungkan individu hingga pemerintahan ke tingkat global telah mengubah bentuk komunikasi ke dalam platform baru, yang mampu memobilisasi orang dan menggerakan berbagai bentuk protes.

Peningkatan interkoneksi antar negara, orang, dan informasi menjadi tantangan terhadap konsep

teori dan model tentang keuniversalan bagi Barat (Curran & Park, 2000). Di tengah pertumbuhan homogenity dan uniformiti, hal yang perlu digarisbawahi dalam kajian akademik telah bergeser dari mencari kesatuan (uniformity), menjadi kajian tentang pemeliharaan kantong-kantong atau bidang-bidang yang unik. Studi komparasi menelaah kesuksesan yang diperoleh dalam pengalaman lintas negara, institusi, dan budaya.

Lebih dari itu, transformasi yang masif terjadi pada sektor media akibat konvergensi teknologi, liberalisasi ekonomi, dan globalisasi dalam proses manufaktur, telah menghasilkan perubahan besar dalam pola-pola kepemilikan media di seluruh dunia. Kepemilikan media yang sebelumnya dibatasi oleh batas-batas geografis dari sebuah negara, kini melintasi batas-batas geografis sebuah negara. Karenanya, transparansi struktur kepemilikan media dan jaminan pemenuhan hak atas keberagaman merupakan tantangan untuk setiap pemerintahan dan institusi. Pada konteks ini, kebutuhan untuk memetakan kepemilikan media secara global dan pola-pola kontrol terhadap media menjadi hal penting dalam kajian komparasi tentang media.

(12)

kewenangan prerogatif negara dan kebebasan media outlet.

C.

Tren Isu-Isu Penelitian Kajian Media Di

Indonesia

Kajian tentang Kebijakan dan Media di Indonesia telah banyak dilakukan baik oleh peneliti akademisi, praktisi secara independen maupun peneliti yang bekerja di bawah sponsor lembaga swadaya masyarakat. Kajian-kajian tersebut menggunakan berbagai perspektif, seperti dari perspektif ekonomi, politik, perspektif hukum, perspektif budaya, maupun campuran dari berbagai perspektif. Gabungan perspektif ekonomi politik bahkan telah menjadi tradisi tersendiri sebagai kajian ekonomi politik media.

Sebagian dari kajian tersebut menyoroti satu bidang saja, seperti Nawiroh Vera yang melakukan tinjauan Ekonomi Politik Regulasi Media terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (saat ini telah menjadi Undang-Undang). Sebagian yang lain menyoroti sistem regulasi pada satu periode, seperti pada masa orde baru, atau pada masa setelah orde baru. Ada pula lembaga kajian yang memang mengkhususkan diri pada pemantauan media dan kebijakan tentang media seperti Remotivi. Kajian-kajian yang menggunakan perspektif ekonomi politik pada umumnya memberikan kritik terhadap bagian-bagian tertentu dari sistem hukum dan kebijakan media di Indonesia, sesuai objek dan tujuan kajian masing-masing.

Diantara cukup banyak kajian tersebut, beberapa penelitian dilakukan dengan penelusuran sejarah yang lengkap, melingkupi berbagai faktor yang memengaruhi sistem kebijakan hukum dan media seperti faktor sosial, ekonomi, politik, kultur, bisnis, teknologi, dll.

Penelitian David T. Hill dan Krishna Sen

tentang media di Indonesia (Sen & Hill, 2001)

merupakan penelitian yang sangat banyak

dikutip, karena meliputi dinamika yang sangat

luas tentang pers, media arus utama, dan

kebudayaan populer di Indonesia selama Orde

Baru. Pada masa itu sangat sulit untuk

melakukan penelitian tentang hukum dan

kebijakan media secara komprehensif. David T

Hill merupakan seorang akademisi ahli tentang

kajian Indonesia dan Asis Tenggara asal

Australia.

Memetakan Kebijakan Media di Indonesia.

Riset ini menelaah kebijakan media di Indonesia

dan mengkaji dampaknya terhadap berbagai

bentuk media dan warga negara serta

hak-haknya, terutama yang berkaitan dengan hak

mereka atas media. Dalam penelitian ini, hak

semacam itu mengacu pada hak untuk

mengakses media, mengakses informasi yang

terpercaya dan konten yang berkualitas, dan

berpartisipasi

dalam

proses

pembuatan

kebijakan media. Riset ini menelusuri secara

historis arah hukum dan kebijakan media di

Indonesia sepanjang sejarah Indonesia Merdeka

serta menelusuri berbagai faktor penghambat

pemenuhan

hak

warga

negara

dalam

memperoleh akses bermedia (Nugroho, et al.,

2012)

Freedom Institute dan FNS meluncurkan

studi berjudul

Ensuring the Law and Civil

Rights: Press, Film and Publishing

(2010).

(13)

penelitian yang menggunakan perspektif hak

warga negara dalam mengamati perkembangan

terbaru media dan pers di Indonesia. Secara

khusus, penelitian ini mendiskusikan hak warga

negara dalam ruang lingkup pers, film, dan

literatur (Nugroho, et al., 2012).

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga

menerbitkan laporan tahunan mengenai kondisi

pers dan institusi media di Indonesia, serta

pemenuhan hak masyarakat atas kebebasan

berekspresi.

Dalam

laporan

tahun

2015

misalnya, disebutkan bahwa :

“Kabar baiknya adalah media di Indonesia terus tumbuh mengikuti perkembangan teknologi yang mendorong perubahan besar-besaran dalam cara mengakses informasi….Informasi semakin mu-dah dan murah didapat….Kabar kurang menggembirakannya, teknologi ini menimbulkan keren-tanan baru. Batas-batas kebebasan masyarakat menyampaikan penda-pat dipertanyakan. Ruang publik yang muncul dari teknologi internet hendak dibatasi melalui regulasi. Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik yang berlaku sejak tahun 2008 sudah membuat lebih dari 100 orang masuk tahanan karena pendapat atau ekspresinya di internet. Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Info-rmatika juga melakukan pemblo-kiran situs-situs meski Undang-Undang tak eksplisit memerintahkan pemblokiran” (Manan, 2015)

Dalam kasus Indonesia, kebijakan terkait

pengelolaan informasi, komunikasi, dan media

dalam lanskap digital dan global masih kurang

adaptif. Akibatnya, berbagai persoalan dan

konflik muncul, seperti :

a.

Kasus perselisihan antara perusahaan dan

pengemudi taksi reguler dengan perusahaan

dan pengemudi taksi atau ojek berbasis

aplikasi on line seperti Gojek.

b.

Pemblokiran netflix serta kewajiban sensor

film oleh Lembaga Sensor Film terhadap

film-film keluaran Netflix padahal servernya

berada di Amerika Serikat.

c.

Pemblokiran Vimeo dan Tumblr karena

dianggap menyebarkan konten pornografi.

Pemblokiran ini cukup kontrovesial karena

seperti halnya media sosial lain, misalnya

Facebook atau Instagram, kehadiran konten

pornografi juga menyangkut manajemen

konten yang dilakukan oleh pemilik akun.

d.

Ratusan pesawat televisi lokal rakitan

Kusrim warga Karanganyar Jawa Tengah

dimusnahkan karena dianggap melanggar

Undang-Undang dengan tidak menempuh

perizinan yang memberatkan bagi pengusaha

kecil dan menengah.

e.

Belum ada regulasi yang memadai terkait

layanan Over-The-Top (OTT). Baru-baru ini

Menteri

Kominfo

memang

telah

mengeluarkan

Surat

Edaran

Menteri

Komunikasi dan Informatika Republik

Indonesia Nomor 3 tahun 2016 tentang

Penyediaan Layanan Aplikasi dan/Atau

(14)

Selain penyedia Layanan Over the Top, layanan Over the Top dapat disediakan oleh perorangan atau badan usaha asing dengan ketentuan

wajib mendirikan. (3) Bentuk Usaha Tetap

(BUT) di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap

didirikan

berdasarkan

pada

ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang

perpajakan.

Namun demikian, banyak pihak merasa

kebijakan dalam bentuk surat edaran menteri

belum memadai untuk menyelesaikan berbagai

persoalan terkait informasi, komunikasi, dan

media dalam lanskap digital dan global. Kondisi

ini juga menunjukkan pentingnya kajian regulasi

media diarahkan pada aspek menemukan

berbagai persoalan yang telah dan mungkin akan

timbul

akibat

kekosongan

regulasi

atau

ketidaktepatan regulasi, serta upaya untuk

menemukan gagasan solutif untuk mengatasi

berbagai persoalan tersebut.

D.

Metode Alternatif dalam Kajian Media

Selain melanjutkan tradisi riset yang telah banyak dilakukan, terbuka peluang untuk melakukan pengembangan kajian hukum dan kebijakan media. Berikut beberapa gagasan mengenai pengembangan kajian hukum dan kebijakan media :

1.

Kajian Kebijakan Media dari Perspektif

Sistem

Dalam tradisi penelitian ilmu komunikasi, Litte John menyatakan terdapat tujuh tradisi (John & Foss, 2009), satu diantaranya adalah perspektif sistem. Perspektif ini dikenal juga dengan pendekatan sibernetika. Selain sibernetika, kajian media dari perspektif sistem juga dapat dilakukan dengan

pendekatan system thinking dari Peter Senge. Dalam perspektif ini system dinyatakan sebagai grup dari interaksi, keterkaitan, atau antar ketergantungan komponen yang diformulasikan secara kompleks dan menyatu (Anderson & Johnson, 1997). Terdapat beberapa kemiripan antara sibernetika dan system thinking, yaitu dengan menggambarkan dinamika persoalan melalui pemodelan causal loop diagram. Pemodelan dengan cara ini mengidentifikasi unsur-unsur manusia maupun non manusia dan memetakan hubungan atau keterkaitan diantara unsur-unsur tersebut. Melalui cara pemodelan ini akan dapat diketahui aspek mengapa dan bagaimana sebuah fenomena terjadi. Dengan mengetahui struktur atau cara kerja sistem, termasuk sistem sosial, pemodelan juga dapat mengkaji intervensi tindakan atau kebijakan yang dapat dilakukan agar sistem berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kebijakan yang dihasilkan juga dapat lebih membumi atau sesuai dengan karakter sistem, atau katakanlah dalam sebuah sistem sosial akan sesuai karakter perilaku masyarakat.

2.

Menggunakan Analisis Pemetaan

Personal dan Komparasi

Analisis komparasi memiliki beberapa manfaat, yaitu : 1. memahami makna historis dan budaya, 2. kegunaan praktis komersial, 3. bantuan legislasi untuk para penentu kebijakan, serta 4. penggunaannya untuk hukum internasional.

Terdapat empat cara memodelkan dalam kajian komparasi hukum dan kebijakan media (Verhulst & Price, 2013), yaitu :

(15)

mediapun menjadi seragam karena diarahkan oleh kepentingan pasar bebas. Meski demikian, tetap perlu dikaji ketahanan tradisi sosial dan kultural yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu. Kemampuan mereka bertahan dan kompromi terhadap kondisi keseragaman menjadi hal yang penting untuk dibandingkan dan dikaji. Kajian komparasi tentang hal ini fokus pada manfaat dan keterbatasan keseragaman dan keberagaman, dari justifikasi terhadap kesatuan (uniformity) menjadi kajian tentang keunikan dan variasi diantara keseragaman (homogenity).

2. Retorika dan Realitas (Antara retorika dan kenyataan). Kajian jenis ini membandingkan hal-hal ideal yang dicita-citakan dengan kondisi yang ada, untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik agar dapat menuju kondisi yang dicita-citakan.

3. Metaphor dan Model. Teknik ini menjelaskan tataran konsep dengan menggunakan metafora untuk menjelaskan sebuah fenomena secara sederhana, seperti menggunakan metafora “information

superhighway”, “ cyberspace”, atau

“killer applications”. Metafora membantu

periset membuat peta jalan atau hubungan. 4. Transfer dan ekskusi. Hal mendasar dari

bentuk kajian ini adalah bahwa proses penyebaran atau difusi dari gagasan atau ide tentang hukum dan kebijakan adalah melalui proses penjelasan dengan meniru (immitation), menjiplak (copying) dan

adaptasi. Kajian komparasi tentang hal ini melihat bagaimana sebuah sistem hukum dan kebijakan yang pernah sukses di sebuah negara dapat dijadikan contoh oleh negara lainnya.

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

Persoalan menyangkut hukum dan kebijakan media terus berkembang, mengingat berbagai perubahan dan perkembangan mendasar terjadi dalam peta persoalan di bidang informasi dan media. Para pemain baru yang sebelumnya tidak ada atau tidak diperhitungkan dalam bisnis media, seperti operator telekomunikasi, perusahaan penyedia jasa aplikasi, dll, kini muncul dan bahkan menjadi pemegang peranan penting dalam aktivitas pertukaran informasi dan akses bermedia. Selain itu, aktivitas pertukaran informasi ini terjadi lintas negara atau dalam tingkat global sehingga perlu dilakukan kajian dalam level antar pemerintahan atau antar negara. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa kajian hukum dan kebijakan media semakin penting untuk terus dilakukan dengan mengembangkan berbagai pendekatan baru.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, V. & Johnson, L., 1997. System Thinking Basics : From Concepts to Causal Loop. s.l.:Pegasus Communication Inc.

Anon., 2014. Press Room. [Online] Available at:

http://www.nielsen.com/id/en/press- room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html

[Accessed 02 03 2016].

(16)

Top). s.l.:s.n.

Baran, S. J., 2014. Introduction to Mass Communication, Media Literacy and Culture. s.l.:McGraw Hill Companies.

Bulck, H. v. d., 2013. Tracing media policy decisions : of stakeholders, networks and advocacy coalitions. In: M. E. Price, S. G. Verhulst & L. Morgan, eds. Routledge Handbook of Media Law. s.l.:Routledge, pp. 17-34.

Duffy, M. J., 2014. Arab Media Regulations : Identifying Restraints on Freedom of The Press in the Laws of Six Arabian Peninsula Countries, 6. Berkeley J middle E., & Islamic L. 1.

John, L. W. & Foss, K. A., 2009. Teori Komunikasi : Theories of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika.

Manan, A., 2015. Dibawah Bayang-Bayang Krisis : Laporan Tahunan AJI 2015, s.l.: Aliansi Jurnalis Independen Indonesia.

McQuail, D., 2005. McQuail's Mass Communication Theory. In: s.l.:Sage Publication.

Mirabito, M. & Morgenstern, B. L., 2004. The New Communication Technologies : Application, Policy, and Impact. s.l.:Elsevier.

Nugroho, Y., Siregar, M. F. & Laksmi, S., 2012. Memetakan Kebijakan Media di Indonesia, s.l.: Centre for Innovation Policy and Governance.

RG, 2012. [Online] Available at: http://www.kpi.go.id/index.php/terkini/30944- anak-indonesia-kedapatan-paling-lama-menonton-tv

[Accessed 02 03 2016].

Sen, K. & Hill, D. T., 2001. Media, Budaya, dan Politik di Indonesia. s.l.:Institut Studi Arus Informasi dan PT Media Lintas Inti Nusantara.

Short, J. E., 2015. [Online] Available at: http://www.marshall.usc.edu/faculty/centers/ct m/research/how-much-media

[Accessed 02 03 2016].

Sreberny, A., 2005. Society, Culture, and Media : Thinking Comparatively. In: J. D. Downing, ed. The Sage Handbook of Media Studies. s.l.:Sage.

Referensi

Dokumen terkait

Ayamaru Timur Selatan, Perda No. Mare Selatan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh seduhan mahkota dewa (Phaleria Macrocarpa) dan terapi musik gamelan terhadap perubahan Tekanan Darah

Hasil keseluruhan pengujian mengunakan alat ukur volume paru-paru, rata-rata kapasitas viltal paru-paru orang pada usia dewasa antara umur 18-25 tahun (mahasiswa

Dari Tabel 4.13 parameter hubungan antara variabel kepercayaan terhadap kecemasan berbelanja melalui internet adalah sebesar -0,359 dan nilai T-statistik sebesar

Angker:Angker ialah bahagian motor yang berputar danmerupakan bahagina yang menerima tenagaelektrik.Angker terdiri daripada beberapa bahagian iaitu : •Teras angker – berfungsi sebagai

(2) Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelengkapan organisasi BPIP yang memiliki tugas melaksanakan penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku sesuai

Dalam hal ini terdapat faktor tingkat income seseorang yang berpengaruh ke dalam pengambilan keputusan untuk berlangganan pay TV, sehingga dapat dikatakan mereka yang kontra

Jaya Trishindo (HELI) menargetkan pertumbuhan pendapatan sebesar 20% YoY pada tahun 2018 yang didukung oleh kenaikan permintaan terutama dari perusahaan pertambangan dan