• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PROSES PENERIMAAN DIRI IBU YANG MEMILIKI ANAK DISLEKSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GAMBARAN PROSES PENERIMAAN DIRI IBU YANG MEMILIKI ANAK DISLEKSIA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PROSES PENERIMAAN DIRI IBU

YANG MEMILIKI ANAK DISLEKSIA

1*Genesia Devina, 2Handayani Penny

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

Abstract:

This research is intended in order to picture the process of self acceptance of the mothers whom their kids suffered dyslexia. This research uses quality approach with deep interview style. These data is gathered and done within three participants with the span of age between 20 to 40 years old who raises kids with dyslexia that ages between 7 to 11 years old, and has been diagnosed by certain psychologist. The interview is also done to two supporting participants that is significant others from the main participant. The result of the research shows that the psychological dynamics that occurred in the acceptance process is vary, include denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. The dominant phase that is experienced by the participants is anger and depression. Self acceptance process is supported by factors that is mentioned by Hurlock. Beside that, these factors that is mentioned by Hurlock is also slows down the self acceptance process. This discussion is also discuss another factor that is affecting the self acceptance itself like education, social economic status, and social support.

Keywords: Self acceptance process, Dyslexia, Mothers with Dyslexia kids.

1.

Latar Belakang

Keluarga merupakan lembaga paling utama yang bertanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak. Karena di tengah keluarga, anak dilahirkan dan dididik hingga dewasa (Kartono, 1992). Selama proses kehamilan, ibu mengembangkan bayangan mengenai anak yang akan dilahirkan (Ross, 1964 dalam Gargiulo, 1985). Ibu memikirkan hal positif

mengenai kondisi anak yang sedang

dikandung. Ia memikirkan bahwa anaknya akan lahir dengan kondisi normal dan tumbuh

menjadi anak yang sehat.Ketika ibu

melahirkan seorang anak dengan kondisi fisik yang sempurna, bukan menjamin bahwa anak tersebut tidak memiliki kebutuhan khusus tertentu. Seorang anak terlihat memiliki kebutuhan khusus, ketika usianya semakin bertambah. Misalnya saat anak tersebut sudah mulai sekolah (Gargiulo, 1985).

Saat mengetahui kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus, umumnya ibu akan merasa malu hingga mengalami putus asa. Ibu akan merasa dirinya adalah penyebab anaknya memiliki kebutuhan khusus.

*Corresponding author. Email : devina.genesia@gmail.com

Published online at http://IJDS.ub.ac.id

Copyright © 2016 PSLD UB Publishing.

Ibu akan menampilkan reaksi kaget, tidak percaya akan kenyataan yang dihadapi, mengabaikan anak, dan marah (Lerner dalam Mahabbati, 2009). Perasaan tersebut wajar dialami oleh ibu karena ia tidak memiliki persiapan bahwa akan memiliki anak berkebutuhan khusus. Kenyataan memiliki anak berkebutuhan khusus menjadi tekanan tersendiri bagi ibu. Tekanan yang lebih besar ini dikarenakan ibu dituntut untuk menghadapi peran yang berbeda dari sebelumnya (Wardhani, Rahayu, dan Rosiana, 2012). Peran yang berbeda ini termasuk cara

pengasuhan dan mendidik anak dalam

aktivitas sehari-hari. Hal ini dapat berdampak pada aktivitasnya sehari-hari, seperti sulit memusatkan perhatian dalam pekerjaan, mengurus rumah, mengasuh anak, serta memandang hidup tidak memiliki masa depan (Bernard, 2013).

Suran dan Rizzo (dalam Mangunsong, 2009) menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi penting dari kegiatan sehari-hari. Permasalahan kebutuhan khusus yang dialami oleh anak salah satunya pada bidang akademik dan dikenal sebagai kesulitan belajar spesifik. Menurut Susilowati

(2)

umumnya dialami oleh anak adalah kesulitan membaca. Usia anak terdeteksi mengalami kesulitan membaca adalah 7-11 tahun (Payne dan Turner, 1999). Anak yang mengalami kesulitan membaca juga mengalami satu atau lebih kesulitan dalam memproses informasi, seperti kemampuan dalam menyampaikan dan menerima informasi (Jamaris, 2014). Kesulitan

membaca membuat anak-anak yang

mengalaminya menjadi terhambat dalam

bidang pendidikan dan dapat mengganggu kepercayaan diri, status sosial serta hubungan interpersonal anak (Sattler, 2002).

Kesulitan belajar dalam hal membaca disebut juga disleksia. Disleksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dyslexia. Dys artinya tanpa atau kesulitan dan lexis/lexia artinya kata atau bahasa. Disleksia adalah salah satu karakteristik kesulitan belajar pada anak yang memiliki masalah dalam bahasa tertulis, oral, dan ekspresif (Damon & Learner, 2006).

Disleksia didefinisikan sebagai bentuk

kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja dengan benar dan

mengungkapkan pikiran secara tertulis

(Mangunsong, 2009).

Adanya kenyataan bahwa ibu memiliki anak disleksia, tentu akan berpengaruh pada peran-peran ibu. Selain menganggu aktivitas sehari-hari, ibu yang mengetahui bahwa

dirinya memiliki anak disleksia akan

menyebabkan relasi ibu dengan anggota keluarga juga dapat terganggu. Adanya perhatian yang berlebih pada anak disleksia dapat berdampak pada hubungan pernikahan, interaksi orangtua dengan anak, interaksi anak dengan saudara yang lain, serta hubungan dengan anggota keluarga yang lain (Grossman, 2011 dalam Pujaningsih, 2006).

Selain terganggunya relasi dengan

keluarga, ibu juga mengalami tekanan dari pihak sekolah. Pihak sekolah ternyata belum sepenuhnya membantu ibu dalam proses

belajar anak disleksia. Hal tersebut

dikarenakan tuntutan profesionalitas guru dalam hal kompetensi mengajar beragam

siswa termasuk anak disleksia, belum

sepenuhnya terpenuhi (Pujaningsih, 2006). Meskipun demikian, penting bagi ibu untuk terlibat langsung dalam proses belajar anak. Hal serupa juga dikemukakan oleh Walberg (dalam Pujaningsih, 2006) yang menyatakan bahwa perhatian orangtua berkontribusi pada keberhasilan akademik anak.

Perasaan-perasaan yang dialami turut mempengaruhi kondisi psikologis ibu. Hal tersebut mempengaruhi perhatian ibu terhadap anaknya yang disleksia. Menanggapi hal tersebut, ibu memerlukan penerimaan diri bahwa ia merupakan seorang istri dan ibu dari

anak yang disleksia. Setelah ibu bisa

menerima dirinya sendiri, ia cenderung menerima kondisi anaknya yang disleksia. Menurut Chaplin (2012), penerimaan diri adalah sikap yang menunjukkan rasa puas pada kualitas dan potensi, serta pengakuan akan keterbatasan yang dimilikinya. Individu yang menerima diri, terbebas dari rasa bersalah, malu, dan rendah diri karena keterbatasan yang dimiliki. Ibu akan memikirkan cara yang dapat ditempuhnya untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Cara ini dapat diperoleh melalui pengamatan yang dilakukan terhadap hal-hal yang terjadi. Setelah itu, ibu berusaha untuk memilih cara sesuai dengan perasaannya. Akhirnya ibu dapat menerima dirinya dengan kondisi yang dialami.

Penerimaan diri pada ibu dapat terjadi melalui lima fase yang dikemukakan oleh Kubler-Ross. Kelima fase ini mengacu dari konsep The Five Stages of Grief oleh Kubler- Ross. Awalnya, Kubler-Ross menerapkan fase-fase ini pada penderita penyakit yang sudah parah. Kemudian, diterapkan pada bentuk lain mengenai kerugian/kehilangan milik pribadi, seperti pekerjaan, penghasilan, harapan, dan kebebasan (Santrock, 2007).

Peneliti menggunakan teori Kubler-Ross

karena sesuai dengan konteks penelitian, yaitu kehilangan harapan. Kubler-Ross dan Kessler (2005), menjelaskan lebih lanjut mengenai lima fase ini. Lima fase tersebut adalah denial

(menyangkal), anger (marah), bargaining

(tawar menawar), depression (depresi), dan

acceptance (penerimaan). Fase-fase yang dialami oleh ibu tidak selalu harus diselesaikan sesuai urutan (Kubler-Ross & Kessler, 2005). Karena tidak semua orang bisa melakukan kelima fase tersebut. Beberapa fase bisa dilewati atau sebagian masih terjebak pada satu fase saja (Santrock, 2007).

(3)

untuk mendukung ibu dalam menjalankan peran dalam keluarga. Ibu dapat membangun respon positif dan relasi dengan anggota

keluarga yang lain. Ibu juga tidak

menyalahkan dirinya sebagai penyebab

kondisi anaknya. Selain itu, ibu dapat menjalankan peran sebagai pendidik dengan maksimal.

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti ingin melihat proses penerimaan diri ibu yang memiliki anak disleksia. Penerimaan diri ibu

terhadap anaknya yang disleksia

memunculkan keinginan untuk berusaha mencari informasi tentang kebutuhan yang diperlukan oleh anaknya. Penolakan dari ibu akan memunculkan rasa putus asa terhadap perkembangan anak yang juga berpengaruh pada kehidupan orangtua itu sendiri. Keadaan ini disebabkan dalam kesehariannya, ibu bergelut pada harapan yang jauh dari kenyataan dan menimbulkan situasi tidak

nyaman (Pujaningsih, 2006). Proses

penerimaan diri yang peneliti maksud meliputi dinamikanya (berdasarkan lima fase menurut Kubler-Ross) dan faktor-faktor penerimaan diri yang dapat mempengaruhi maupun menghambat.

2. Metode Penelitian

Peneliti menggunakan penelitian

kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dalam penelitian ini. Menurut Creswell (2012), penelitian kualitatif dapat menjelajahi masalah dan mengembangkan pemahaman secara rinci mengenai suatu fenomena utama yang dialami oleh partisipan. Salah satu tujuan penting dalam penelitian kualitatif adalah memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh mengenai topik yang diteliti (Poerwandari, 2011). Pendekatan fenomenologi merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memahami fenomena-fenomena yang dialami oleh subjek. Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang dalam situasi tertentu (Poerwandari, 2011).

Peneliti memilih metode penelitian

kualitatif dalam penelitian ini karena sesuai

untuk menjawab masalah penelitian.

Berdasarkan topik yang diangkat oleh peneliti, peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai proses penerimaan diri ibu. Peneliti

juga ingin memahami kondisi partisipan penelitian selama proses mencapai penerimaan diri. Pendekatan ini juga dapat memberikan informasi dengan mendetail, sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban dari masalah penelitian dengan mendalam.

Partisipan dalam penelitian ini merupakan ibu yang memiliki anak disleksia dengan kriteria sudah mengetahui diagnosa anaknya dari psikolog/ahli tertentu, usia ibu 20-40 tahun, dan usia anak 7-11 tahun. Berdasarkan

kriteria tersebut, metode pengambilan

partisipan penelitian menggunakan snowball

sampling. Snowball sampling merupakan teknik pemilihan partisipan yang dilakukan secara berantai dengan meminta bantuan dari

narasumber yang telah di wawancarai

sebelumnya (Poerwandari, 2011). Peneliti menyadari bahwa pencarian partisipan akan mengalami hambatan. Maka dari itu, ketika peneliti sudah menemukan partisipan pertama, peneliti meminta rekomendasi untuk partisipan kedua sesuai dengan kriteria yang sudah dibuat. Hal ini dilakukan agar pencarian partisipan menjadi lebih efektif.

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam untuk memahami permasalahan yang ada. Wawancara berguna untuk memahami opini, perasaan, dan pengetahuan individu terhadap sesuatu (Patton, 2002). Wawancara dilakukan karena peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami oleh individu berhubungan dengan topik penelitian (Banister dkk, 1994

dalam Poerwandari, 2011). Peneliti

menggunakan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Wawancara ini dilakukan dengan pedoman wawancara yang ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan, dan penjabarannya dalam kalimat (Poerwandari, 2011). Metode wawancara digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan

jawaban mendalam mengenai proses

penerimaan ibu. Selain itu, peneliti juga bisa melakukan penggalian data lebih lanjut dengan

melakukan probing, sehingga akan diperoleh

jawaban yang lengkap dan menyeluruh.

Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mengeksplorasi masalah

atau mendeskripsikan kondisi, proses,

kelompok sosial, atau pola interaksi yang

kompleks. Penjabaran mendalam yang

(4)

salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2011). Peneliti melakukan triangulasi guna memperkaya data penelitian dalam menjelaskan kompleksitas aspek-aspek. Peneliti menggunakan triangulasi data dalam penelitian. Triangulasi data

merupakan salah satu cara untuk

membandingkan konsistensi informasi dari

berbagai sumber data yang berbeda.

Triangulasi data dapat dilakukan dengan cara membandingkan informasi yang diberikan oleh partisipan dan significant other partisipan mengenai suatu kejadian, membandingkan informasi yang disampaikan di hadapan umum dan secara pribadi, serta konsistensi mengenai informasi yang sama dan dijelaskan di waktu yang berbeda (Patton, 2002).

Metode analisa dalam penelitian ini menggunakan analisis tematik. . Analisis

tematik merupakan proses mengkode

informasi yang dapat menghasilkan daftar tema yang dapat mendeskripsikan fenomena dan membantu untuk interpretasi fenomena tersebut (Poerwandari, 2011). Pengolahan dan

analisa data dimulai dengan

mengorganisasikan data terlebih dahulu Hal pertama yang dilakukan adalah membuat transkrip verbatim hasil wawancara. Setelah membuat transkrip verbatim, langkah

berikutnya yang dilakukan adalah

membubuhkan kode-kode pada data yang telah

diperoleh. Kode-kode ini nantinya

menghasilkan daftar tema dari masing-masing data (Poerwandari, 2011).

Peneliti akan memberikan gambaran atau deskripsi umum mengenai masing-masing partisipan. Setelah itu dilakukan analisis per

partisipan, kemudian dilanjutkan dengan

melakukan analisis gabungan dari ketiga partisipan. Peneliti juga terbuka pada temuan yang diperoleh saat berada dilapangan. Peneliti juga melihat persamaan dan perbedaan pola yang muncul dari masing-masing partisipan. Hasil dari persamaan dan perbedaan yang ditemukan, peneliti akan menarik kesimpulan dari seluruh informasi yang didapatkan.

3. Hasil Penelitian

Partisipan utama dalam penelitian

berjumlah tiga orang sesuai dengan

karakteristik partisipan penelitian yang telah

ditentukan, yaitu ibu yang berusia 20-40 tahun (dewasa awal) dan mengetahui bahwa anaknya disleksia berdasarkan diagnosa dari pihak profesional tertentu. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap partisipan pendukung yang

merupakan significant others dari partisipan

utama. Significant othersyang dimaksud adalah

orang-orang terdekat partisipan utama yang mendampingi setelah partisipan mengetahui

kondisi anaknya yang disleksia. Significant

othersterdiri dari orangtua (ibu) dan suami partisipan utama sesuai dengan rekomendasi partisipan utama.

Secara umum, tiap partisipan melewati fase yang dikemukakan oleh Kubler Ross, yaitu

denial, anger, bargaining, depression, dan

acceptance.Kelima fase tersebut terjadi setelah mengetahui diagnosa disleksia pada anaknya. Beberapa fase ada yang terjadi secara tumpang tindih. Bahkan ia mengalami kemunduran selama proses penerimaan diri. Ketika sudah lanjut ke fase berikutnya, ia masih mengalami fase sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman partisipan dalam usaha untuk

mencari solusi terhadap kondisi yang

diterimanya. Ketiga partisipan berusaha untuk mencari cara yang berguna untuk diri sendiri dan anaknya. Terkadang cara-cara tersebut tidak sesuai harapan, sehingga membuat partisipan kembali ke fase sebelumnya atau mengalami fase lain secara bersamaan.

Selama proses penerimaan diri yang dilalui oleh Ibu Yuli tidak terlepas dari adanya

faktor-faktor penerimaan diri. 10 faktor

penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock (2004) terlihat dalam diri Ibu Yuli. Faktor-faktor ini ada yang mendukung maupun menghambat proses penerimaan diri. Faktor- faktor ini lebih terlihat dalam fase bargaining

yang dilalui oleh Ibu Yuli. Selama fase

bargaining, ia menyadari kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Hal tersebut termasuk dalam faktor pemahaman diri. Kemampuannya

yang memiliki kemauan untuk mencari

informasi, membuat dirinya mencari cara untuk

membantu anaknya. Ibu Yuli mulai

menurunkan standar yang dimiliki. Penurunan standar ini didasarkan juga oleh harapan realistis yang dibentuknya. Ia sudah tidak lagi berharap anaknya menjadi seperti dirinya. Ia merasa tidak perlu memaksakan kehendak kepada anaknya.

(5)

berusaha untuk mencari kegiatan yang disenangi. Adanya dukungan dari keluarga dan teman-teman dikarenakan tidak ada hambatan lingkungan. Ibu Yuli juga melakukan proses identifikasi dengan orang lain yang memiliki penyesuaian diri yang baik untuk membantunya

menerima kondisi yang memiliki anak

disleksia. Ia merasa mendapatkan pelajaran untuk membantunya dalam merawat anak

merasa kehilangan harapan dan ingin kembali

bekerja seperti dulu. Ibu Yuli mulai

memikirkan keberhasilan-keberhasilan yang ia capai selama bekerja. Keadaan ini membuatnya merasa kehilangan tujuan hidup setelah berhenti bekerja. Perlahan ia mulai mengatasi rasa depresi tersebut dan menerima kondisinya yang memiliki anak disleksia. Ia memasuki fase

acceptanceyang didukung oleh faktor

pemahaman diri. Ibu Yuli mengenali

kemampuan dan kelemahannya. Ia juga membentuk harapan yang baru untuk anaknya, sesuai dengan kondisi saat ini. Akhirnya, ia berdamai dengan keadaan dan memiliki pikiran yang positif untuk menjalani hidupnya.

Partisipan kedua, proses penerimaan diri Ibu Ami melewati fase yang dikemukakan oleh Kubler-Ross dan di dukung oleh faktor-faktor penerimaan diri menurut Hurlock. Meskipun ada faktor yang mendukung, namun ada juga faktor yang menghambat. Akan tetapi, faktor yang menghambat itu membuat ibu terpacu untuk mengatasinya. Sehingga dirinya dapat menerima keadaan sebagai ibu yang memiliki anak disleksia. Faktor-faktor yang mendukung terlihat di dalam fase yang dilalui ibu. Ketika

berada dalam fase anger, Ibu Ami mengingat

keberhasilan yang sudah dicapai saat bekerja. Setelah mengetahui bahwa anaknya disleksia dan ia berhenti bekerja, kenangan selama bekerja menjadi alasan ia merasa marah dengan keadaannya. Hal ini disebabkan ia merasa tidak dapat melakukan pencapaian saat bekerja dan merasa sudah tidak punya harapan.

Saat berada dalam fase bargaining,

dipengaruhi oleh faktor pemahaman diri berupa

Ibu Ami mengetahui kemampuan dan

kelemahan yang dimiliki. Keadaan ini

mendukungnya untuk membuat harapan yang realistis setelah mengetahui diagnosa anaknya. Ibu Ami juga bertemu dengan ibu-ibu lain yang

juga memiliki anak disleksia. Ia merasa bahwa ada orang lain yang senasib dengan dirinya sehingga ada hal yang bisa dipelajari dari orang

tersebut. Keadaan ini termasuk faktor

identifikasi dengan orang yang memiliki

penyesuaian diri yang baik. Fase bargaining

yang dilalui oleh Ibu Ami dipengaruhi juga adanya dukungan dari keluarga dan teman- teman. Ibu Ami tidak mengalami hambatan dari lingkungan, sehingga penerimaan diri dapat cepat dilakukan.

Selain menimbulkan reaksi kemarahan, kenangan akan keberhasilan juga menjadi

faktor yang mempengaruhi fase depression. Ibu

Ami merasa putus asa dan kehilangan harapan karena keberhasilan yang sudah dicapai tidak bisa ia alami lagi. Akan tetapi, kenangan akan keberhasilan dapat membantu Ibu Ami untuk

memasuki fase acceptance. Ibu Ami mengingat

keberhasilan-keberhasilan yang sudah dicapai

dalam proses membantu anaknya. Acceptacne

didukung juga faktor pemahaman diri, karena ia mengetahui kemampuan dan kelemahan yang dimiliki untuk membantu anaknya. Setelah memahami dirinya, ia akan membuat harapan yang realistis yang semakin mendukung proses penerimaan dirinya.

Penerimaan diri yang dialami oleh partisipan ketiga juga didukung oleh beberapa faktor, seperti pemahaman diri. Hurlock (2004) menjelaskan bahwa pemahaman diri dapat terlihat ketika individu mengetahui kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya. Pemahaman

diri dapat terlihat dari fase bargaining yang

dialami oleh individu. Keadaan ini

menjadikannya dapat membuat harapan yang realistis dalam hidupnya. Adanya harapan yang realistis mendukung Ibu Wina untuk sampai

pada fase acceptance. Meskipun demikian,

faktor ekonomi yang menjadi penghambat

membuat dirinya kembali mengalami

kemunduran. Ia berada dalam fase depression

sebagai bentuk rasa putus asa yang dialami. Perlahan, Ibu Wina mulai bangkit dan didukung oleh tidak menemukan hambatan dalam

lingkungan. Keluarga dan tetangga tidak

memberikan penilaian yang negatif terhadap dirinya. Hal tersebut membuat dirinya semakin

(6)

stres emosional yang berlebihan. Jika merasa tertekan dengan keadaan, ia lebih senang

menghabiskan waktu berjalan-jalan ke mall. Ia

pun dapat mengingat kenangan akan

keberhasilannya. Adanya kenangan akan keberhasilan mendukungnya untuk semakin menerima dirinya yang memiliki anak disleksia.

Ia mengetahui usaha-usaha yang sudah

dilakukan sesuai dengan pemahaman diri dan harapannya yang realistis. Akhirnya faktor- faktor ini mendukung dirinya untuk berada

dalam fase acceptance. Ibu Wina menerima

dirinya yang memiliki anak disleksia.

Ketiga partisipan sudah mencapai fase

terakhir, yaitu acceptance. Saat mengetahui

diganosa anaknya, ketiga partisipan memasuki

fase yang sama, yaitu denial. Bentuk

denialyang ditampilkan oleh ketiga partisipan adalah kaget dan tidak percaya. Meskipun ketiga partisipan yang sudah menyadari bahwa sejak awal anaknya berbeda dibanding anak

lain, mereka tetap menampilkan reaksi denial.

Ketiga partisipan, yaitu Ibu Yuli, Ibu Ami, dan

Ibu Wina mengalami reaksi anger dan

depression secara bersamaan setelah mengetahui diganosa anaknya. Reaksi marah dan depresi yang dialami oleh ketiga ibu dikarenakan mereka merasa hidupnya tidak adil dan bingung akan masa depan anaknya. Bentuk kemarahan yang ditampilkan cukup beragam antar partisipan. Reaksi kemarahan yang ditampilkan Ibu Yuli dan Ibu Wina dengan menyalahkan Tuhan atas kondisi yang dialaminya. Sedangkan Ibu Ami, ia merasa tidak adil atas keadaan yang dialami.

Fase bargaining dan acceptance juga terjadi bersamaan dan dilalui oleh Ibu Ami dan ibu Wina. Bagi Ibu Ami fase ini dipicu adanya harapan untuk mengatasi masalah tersebut. Harapan ini muncul karena ia menemukan ibu yang juga memiliki anak disleksia. Ibu Ami merasa bahwa ada orang lain yang senasib dengan dirinya, sehingga ia merasa tidak sendirian. Ibu Ami juga bertukar informasi dengan orang lain, sehingga membantunya untuk menerima kondisi anaknya. Sedangkan pada Ibu Wina, kedua fase ini terjadi bersamaan karena adanya dukungan dari keluarga dan

teman-teman. Dukungan ini membuatnya

berusaha untuk mencari cara yang membantu anaknya, hingga akhirnya ia dapat menerima kondisi anaknya.

Kesamaan lain yang ditemukan adalah fase yang dominan dialami oleh ketiga

partisipan adalah fase depression. Depression

merupakan bentuk keputusasaan dan

kehilangan harapan yang dialami oleh individu. Ketiga partisipan mengalami fase ini relatif lebih lama dibanding fase yang lain. Penyebab fase depresi yang dialami oleh ketiga partisipan adalah mereka merasa kehilangan harapan dan takut akan masa depan anaknya. Meskipun demikian, bagi Ibu Yuli dan Ibu Ami, fase depresi juga disebabkan karena mereka harus berhenti bekerja untuk merawat anaknya. Kondisi mereka berdua yang biasa bekerja dan harus menjadi ibu rumah tangga, membuat mereka merasa stres saat pertama kali mengalami. Keadaan tersebut didukung juga keinginan mereka untuk tetap bekerja dan mengurus anaknya. Melihat bahwa mereka harus fokus mengurus anaknya, akhirnya Ibu Yuli dan Ibu Ami memutuskan untuk berhenti bekerja.

Ketiga partisipan sudah mencapai fase

acceptance, namun mereka melewati berbagai proses yang tidak selalu bergerak maju. Ketiga partisipan mengalami proses yang sama, yaitu ada fase yang bergerak mundur. Hal tersebut

dapat disebabkan karena mereka sudah

memiliki harapan, namun harapan tersebut tidak tercapai. Akhirnya, mereka mengalami kemunduran karena merasa usahanya sia-sia. Akan tetapi, mereka mendapatkan harapan baru dari orang lain yang mendukungnya. Dukungan dari orang lain turut membantu ketiga partisipan untuk mencapai fase berikutnya hingga fase menerima. Dukungan sosial

memiliki peranan penting dalam proses

penerimaan diri partisipan. Ketiga partisipan mendapatkan dukungan sosial dari suami atau teman-teman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock (2004), sikap positif dari orang-orang sekitar membantu proses penerimaan diri ke arah yang positif. Dukungan yang diberikan berupa motivasi, nasehat, atau memberikan penghiburan kepada partisipan.

Proses penerimaan diri ibu juga didukung adanya faktor-faktor yang mempengaruhi dan menghambatnya. Faktor yang mendukung adalah pemahaman diri, harapan yang realistis, tidak adanya hambatan lingkungan, tidak adanya stres emosional, kenangan akan keberhasilan, dan identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik. Faktor-faktor tersebut dapat terpenuhi karena ketiga partisipan menyadari bahwa kondisi yang dialami harus segera dicari penyelesaiannya. Hal ini membuat mereka

(7)

permasalahan yang ada. 10 faktor tersebut tidak semua dialami oleh ketiga partisipan. Keadaan ini disebabkan pengalaman yang dialami oleh dirinya turut mempengaruhi dalam proses belajar untuk mengatasi permasalahan yang dialami.

Faktor utama yang mempengaruhi proses penerimaan diri ibu adalah pemahaman diri. Pemahaman diri merupakan persepsi tentang diri yang dibuat secara jujur dan realistis. Persepsi yang dibuat ini meliputi kemampuan dan kelemahan yang dimiliki (Hurlock, 2004).

Ketika ketiga partisipan mengetahui

kemampuan dan kelemahannya, berdampak pada faktor-faktor berikutnya.

Faktor yang menjadi penghambat dalam proses penerimaan diri ibu adalah adanya hambatan dari lingkungan, yaitu keluarga. Ketika mengetahui diagnosa pada anaknya,

keluarga juga mengalami reaksi yang

cenderung sama dengan partisipan. Keluarga tidak siap akan diagnosa tersebut sehingga membuat mereka merasa tidak terima. Kondisi

ini akhirnya membuat keluarga tidak

memberikan dukungan sepenuhnya untuk partisipan. Kondisi ini dialami oleh Ibu Yuli dan Ibu Ami. Keluarga mereka tidak menerima bahwa anaknya mengalami disleksia. Keluarga

juga cenderung menampilkan reaksi denial saat

mengetahui bahwa anaknya disleksia. Ibu Yuli dan Ibu Ami berusaha untuk memberikan pengertian kepada keluarga bahwa anaknya

memang di diagnosa disleksia dan

membutuhkan pendampingan. Meskipun ada hambatan dari keluarga, Ibu Yuli dan Ibu Ami tetap berusaha untuk membantu anaknya, seperti mendaftarkan anaknya mengikuti terapi.

Berbeda dengan Ibu Yuli dan Ibu Ami, faktor penghambat untuk Ibu Wina adalah kondisi ekonomi. Keinginan Ibu Wina untuk membantu anaknya dengan mendaftarkan ikut terapi, tidak dapat terpenuhi. Kondisi ini disebabkan ekonomi keluarga yang kurang mencukupi. Keadaan ini sempat membuat Ibu Wina mengalami proses penerimaan diri yang

relatif beragam. Selain itu, Ibu Wina

merupakan partisipan yang lebih lama

menjalani proses penerimaan diri dari hasil diagnosa sampai wawancara dilakukan. Ibu Wina merasa cara yang dapat membantu anaknya adalah mengikuti terapi. Melihat kondisi ekonomi yang kurang memungkinkan, ia tetap berusaha untuk mencari alternatif lain. Akhirnya, ia mendaftarkan anaknya mengikuti

les. Ia tetap menginginkan anaknya agar dapat belajar dengan optimal.

DISKUSI

Hasil penelitian yang diperoleh

menemukan bahwa reaksi awal yang

ditunjukkan oleh partisipan saat mengetahui

diagnosa anaknya menyangkal (denial). Fase

denialcenderung tidak berlangsung lama karena sejak awal ketiga partisipan sudah merasa ada yang berbeda dengan perkembangan anaknya. Hal tersebut yang cenderung membuatnya tidak menolak terhadap diagnosa yang diberikan. Hal ini sesuai juga dengan penjelasan Gargiulo

(1985), perilaku denialditunjukkan dengan

menolak untuk mengenali keterbatasan anaknya melalui cara merasionalisasikan kekurangan anaknya. Ketiga partisipan melihat bahwa anaknya tidak memiliki gangguan fisik. Anaknya hanya mengalami kesulitan dalam membaca. Kondisi tersebut membuat mereka selalu merasa bahwa anaknya baik-baik saja

dan tidak mengalami gangguan apapun.

Kurangnya pemahaman mengenai disleksia juga menjadi faktor yang membuat ketiga partisipan menyangkal gangguan yang dialami oleh anaknya.

Berdasarkan hasil penelitian, fase yang dominan dialami oleh para partisipan adalah

depression.Keadaan ini disebabkan karena sejak masa kehamilan mereka membangun harapan yang positif untuk anaknya. Mahabbati (2009) meyebutkan bahwa pada umumnya ibu memiliki harapan yang positif mengenai anak yang dilahirkan. Kenyataannya, anaknya di diagnosa disleksia dan membuat harapan mereka menjadi runtuh. Adanya perbedaan antara harapan dan realita membuat ibu merasa tertekan hingga menjadi putus asa. Mahoney dkk (dalam Pujaningsih, 2006) menjelaskan

bahwa orangtua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus akan mengalami tekanan yang lebih besar. Tekanan ini dikarenakan mereka mengalami perubahan aktivitas secara mendadak. Bernard (2013) juga mengatakan ibu yang mengetahui bahwa dirinya memiliki anak berkebutuhan khusus akan berdampak pada aktivitasnya sehari-hari dan memandang hidup tidak memiliki masa depan.

Selain itu, partisipan pertama dan kedua merasa bahwa dirinya menjadi penyebab dari diagnosa disleksia pada anaknya. Wenar dan Kerig (2006) menjelaskan orangtua yang mengalami disleksia akan memiliki anak yang juga mengalami disleksia. Disatu sisi partisipan

(8)

penyebab dari gangguan anaknya. Akhirnya merasa bersalah kepada anaknya. Disisi lain, kedua partisipan tersebut merasa memiliki kesamaan dengan anaknya. Keadaan ini

semakin mendukung ibu dalam proses

penerimaan dirinya. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Wardhani, Rahayu, dan Rosiana (2012), bahwa ibu yang dapat menerima diri akan menyesuaikan diri sehingga dapat lebih mudah untuk menerima anaknya. Kesamaan yang dimiliki ibu dengan anaknya membuat mereka melakukan proses penyesuaian diri dalam aktivitasnya sehari-hari. Ibu menjadi lebih memahami kondisi yang dialami oleh anaknya. Keadaan ini berbanding terbalik dengan respon suami mereka. Suami mereka

berada dalam fase denial yang cukup lama

setelah mengetahui diagnosa anaknya. Hal ini dikarenakan mereka melihat bahwa anaknya dalam kondisi normal dan tidak memiliki gangguan tertentu. Mereka tidak mengetahui

bagaimana rasanya menjadi orang yang

mengalami disleksia. Keadaan tersebut

membuat mereka butuh proses untuk sampai akhirnya mengerti gangguan yang dialami anaknya.

Penerimaan diri yang dialami para

partisipan tidak terlepas dari adanya dukungan sosial yang diperoleh. Dukungan tersebut diperoleh dari keluarga, teman, dan kondisi

lingkungan sekitar. Mahabbati (2009)

mengatakan situasi dan dukungan lingkungan akan mendukung sikap positif ibu dalam

merespon keberadaan anaknya yang

berkebutuhan khusus. Dukungan tersebut membuat mereka termotivasi untuk mencari berbagai cara agar dirinya dapat menerima kondisi sebagai ibu dari anak disleksia.

Latar belakang pendidikan juga

mempengaruhi penerimaan diri ibu. Ibu yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi akan selalu memiliki keinginan untuk terus belajar. Hal tersebut didukung oleh penjelasan Sari (2002) bahwa ibu yang

memiliki pendidkan yang tinggi akan

mempunyai kesadaran yang lebih tinggi untuk menghadapi permasalahan. Adanya keinginan untuk menambah pengetahuan, membuat ibu mencari berbagai informasi, salah satunya tempat terapi atau ahli yang bisa dihubungi.. Salah satu cara yang dapat membantu anaknya adalah menjalani serangkaian proses terapi dengan biaya yang tidak sedikit.Peneliti menemukan bahwa faktor ekonomi turut mempengaruhi proses penerimaan diri ibu.

Setelah mengetahui diagnosa disleksia pada anaknya, partisipan berupaya untuk mencari Akan tetapi, ibu tetap mengupayakan proses belajar pada anaknya. Walaupun berada dalam keterbatasan, ia tetap ingin anaknya dapat berkembang dan mandiri dengan kondisi disleksia.

4. Kesimpulan

Tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui gambaran proses penerimaan diri ibu yang memiliki anak disleksia. Proses penerimaan diri ibu dilihat dari fase-fase menurut Kubler-Ross dan faktor-faktor yang mempengaruhi menurut Hurlock. Hasil yang didapatkan adalah Proses penerimaan diri dari ketiga partisipan cenderung beragam. Ketiga partisipan mengalami kelima fase yang

dikemukakan oleh Kubler-Ross, yaitu denial,

anger, bargaining, depression, acceptance. Kelima fase tersebut tidak selalu bergerak maju, namun terkadang bergerak mundur atau terjadi bersama fase lain..

Proses penerimaan diri ibu didukung adanya faktor-faktor yang mempengaruhi dan menghambatnya. Faktor yang mempengaruhi adalah pemahaman diri, harapan yang realistis, tidak adanya hambatan lingkungan, tidak adanya stres emosional, kenangan akan keberhasilan, dan identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik. Faktor-faktor tersebut dapat terpenuhi karena ketiga partisipan menyadari bahwa kondisi

yang dialami harus segera dicari

penyelesaiannya. Hal ini membuat mereka mulai mencari cara untuk memecahkan permasalahan yang ada. Adanya faktor penghambat ini menjadi salah satu pemicu yang membuat responden berusaha untuk

mengatasinya. Sehingga mereka dapat

menerima dirinya atas keadaan yang memiliki anak disleksia.

Penelitian ini memberikan gambaran mengenai proses penerimaan diri ibu yang memiliki anak disleksia, mencakup dinamika

(9)

mempengaruhinya. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa suami dari para

partisipan cenderung bersikap denial dan tidak

menerima mengenai kondisi anaknya yang disleksia. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan melihat proses penerimaan diri yang dialami oleh suami, terutama

individu yang menduga dirinya juga

mengalami disleksia. Selain itu, proses penerimaan diri pada individu yang mengalami disleksia (anaknya) perlu untuk diteliti. Dengan demikian dapat melengkapi

penelitian ini dengan melihat proses

penerimaan diri secara lebih luas.

Penelitian selanjutnya dapat

memperhatikan kriteria-kriteria yang turut mendukung hasil penelitian. Kriteria-kriteria tersebut antara lain latar belakang pendidikan, status sosial ekonomi, lamanya mengetahui gangguan disleksia anaknya, dan kegiatan yang mendukung proses belajar anaknya (terapi). Hal ini dilakukan untuk menemukan pola diantara proses penerimaan diri individu.

Karena kriteria-kriteria tersebut dapat

mempengaruhi reaksi dalam proses

penerimaan diri.

5. Daftar Pustaka

1. Bernard, M. E. (2013). The strength of self-acceptance: Theory, practice, research. Melbourne: Springer.

2. Chaplin, J. P. (2012). Kamus lengkap

psikologi. Jakarta: Rajawali Press.

3. Creswell, J. W. (2012). Educational

research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative Research (4th ed). Boston: Pearson.

4. Damon, D., & Lerner, R. M. (2006).

Handbook of child psychology (6th ed). Canada: John Wliley & Son.

5. Gargiulo, M. R. (1985). Working with

parents of exceptional children: A Guide for Professionals. Boston: Houghton Mifflin Company.

6. Hurlock, E. B. (2004). Psikologi

perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, cetakan ke-5. Jakarta: Erlangga.

7. Jamaris, M. (2014). Kesulitan belajar:

Perspektif, asesmen, dan penanggulangannya bagi anak usia dini dan usia sekolah. Bogor: Ghalia Indonesia.

8. Kartono, K. (1992). Psikologi wanita:

Mengenal wanita sebagai ibu dan nenek

(Jilid 2). Bandung: Mandar Maju.

9. Kubler-Ross, E. & Kessler, D. (2005). On grief and grieving. New York: Scribner. 10. Mahabbati, A. (2009). Penerimaan dan

kesiapan pola asuh ibu terhadap anak

berkebutuhan khusus. Jurnal Pendidikan

Khusus, 5, 75-82.

11. Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

12. Patton, M. Q. (2002). Qualitative research

& evaluation methods (3th ed). London: Sage Publications.

13. Payne, T., & Turner, E. (1999). Dyslexia: A parents and teacher guide. Virginia: Multilingual Matters.

14. Poerwandari, E. (1998). Pendekatan

kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

15. Pujaningsih. (2006). Penanganan anak berkesulitan belajar: Sebuah pendekatan

kolaborasi dengan orangtua. Jurnal

Pendidikan Khusus, 2, 85-100.

16. Santrock, J. W. (2007). A topical

approach to life-span develompent. New York: McGraw-Hill.

17. Sari, E. P., & Nuryoto, S. (2002). Penerimaan diri pada lanjut usia ditinjau

dari kematangan emosi. Jurnal Psikologi,

2, 73-88.

18. Sattler, J. M. (2002). Assessment of children. USA: Jerome Sattler Publisher. 19. Susilowati, R. (2012). Keadilan dan

kesetaraan dalam pendidikan inklusif bagi pengidap disleksia. Jurnal Palastren, 5, 248-267.

20. Wardhani, M. K., Rahayu, M. K., & Rosiana, D. (2012). Hubungan antara

“personal adjustment” dengan penerimaan

terhadap anak berkebutuhan khusus pada ibu yang memiliki anak bekebutuhan

khusus di RSUD X. Posiding Seminar

Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, 3, 47-54.

Referensi

Dokumen terkait

ABSTRAK Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Petngas Penyuluh Lapangan Pertanian Pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan Dan Ketahanan Pangan BP4KKP

Berdasarkan penelitian sebelumnya [13], mengenai pembakaran menyeluruh pada ruang bakar dan reaktor pirolisis ( sebelum optimasi) menggunakan bahan biomassa kayu,

Diagram 3.11 Presentase Pendidikan Pengunjung Pasar Baru 54 Diagram 3.12 Presentase Kebutuhan Memperbaiki EGD di Pasar Baru 54 Diagram 3.13 Presentase Kebutuhan Peta di

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah

Sejalan dengan apa yang dikatakan Wulansari, Pangaribuan (2017, hlm. 23) berpendapat bahwa keluarga tidak hanya memandang anak sebagai wadah dari semua harapannya, tetapi

Populasi dalam penelitian ini adalah para mahasiswa Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), dan yang menjadi sampel adalah seluruh mahasiswa dari program studi

Peneliti menyimpulkan secara keseluruhan bahwa fungsi pengawasan berdasarkan konsep Sarwoto mengenai pengawasan yang diperlukan bagaimana pengawasan itu menjadi lebih

Dengan demikian, dibutuhkan konstruksi pelindung pilar jembatan yang dapat menahan benturan material pada saat terjadi banjir bandang. Ada beberapa pertimbangan pemilihan