• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERIODISITAS NON PERIODIK Brugia Malayi DI KABUPATEN TABALONG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERIODISITAS NON PERIODIK Brugia Malayi DI KABUPATEN TABALONG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERIODISITAS NON PERIODIK Brugia Malayi DI KABUPATEN TABALONG

Juhairiyah

, Muhammad Rasyid Ridha, Deni Fakhrizal

Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu

Jl. Loka Litbang Gunung Tinggi Kab.Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, Indonesia

Email: ju2_juju@yahoo.com

NON PERIODIC OF PERIODICITY BRUGIA MALAYI IN TABALONG DISTRICT

Naskah masuk :08 Maret 2017 Revisi I : 18 Agustus 2017 Revisi II : 12 September 2017 Naskah Diterima : 10 Oktober 2017

Abstrak

Filariasis (penyakit kaki gajah) merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing mirkofilaria.. Penyakit ini menyerang saluran kelenjar getah bening dan kelenjar getah bening, mengakibatkan kerusakan pada sistem limfe serta menyebabkan cacat seumur hidup. Berdasarkan hasil ulang Survei Darah Jari (SDJ) pada tahun 2014 di Desa Bilas, Kabupaten Tabalong bahwa sebanyak 24 orang dilaporkan positif mikrofilaria. Walaupun pengobatan massal telah dilakukan selama 5 tahun di desa ini, tetapi hasilnya belum efektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat periodesitas microfilaria dalam rangka mencegah terjadinya filariasis. Studi periodisitas dilakukan terhadap orang yang di dalam darahnya positif mengandung mikrofilaria. Pengambilan sampel darah dilakukan mulai pukul 09.00 sampai 20.00. Formula Aikat dan Das digunakan untuk menentukan periodisitas cacing mikrofilaria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan mikrofilaria (m) tertinggi adalah 8,583 per 60 µl dan terendah adalah 1,583 per 60 µl. Nilai F hitung pada keempat penderita di Desa Bilas lebih kecil dari F teoritis sehingga digolongkan sebagai non periodik, selain itu sifat non periodik dapat dilihat dari ritme variasi kepadatan mikrofilaria (F) yang tidak sirkadian. Periodisitas non periodik ini mengindikasikan bahwa kewaspadaan terhadap nyamuk vektor yang menyerang pada siang maupun malam hari sangat diperlukan.

Kata Kunci:nonperiodik, filariasis, Tabalong

Abtract

Filariasis (elephantiasis) is a chronic infectious disease caused by microfilaria worm. The disease attacks tract and lymph nodes, generates the lymphatic system damage and leads to lifelong disability. Based on re-SDJ investigation in 2014 located in Bilas Village, Tabalong Regency that 24 people were positive for filariasis. Even though the mass treatment of filariasis has been conducted for 5 years, however the results remain ineffective. The aim of study was to observe the periodicity of the worm in order to anticipate filariasis. The periodicity study was performed to people with positive microfilaria. Blood sample was collected from at

09.00 am. to 08.00 pm. The Aikat and Das formula was used to analyse the periodicity of the worm. The results

revealed that the highest density of microfilaria was 8,583 per 60 µl and the lowest density was 1,583 per 60 µl. The F count of four patients in Bilas Village was smaller than F theory, so that it was categorized as a non-periodic. In addition, the non-periodic features was also showed from the density variation of non circadian

microfilaria (F). It can be concluded that the awareness of mosquitoes vector attacking either day or night is

fundamentally needed.

(2)

PENDAHULUAN

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak langsung, penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk ini dapat berdampak pada penurunan produktivitas kerja penderita, beban keluarga, dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit (Paiting, Setiani and Sulistiyani, 2012).

Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Terda-pat 241 KabuTerda-paten/Kota yang diketahui masih endemis filariasis di Indonesia. Dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 kasus filariasis di Indonesia terus mengalami peningkatan, namun pada tahun 2012 kasus klinis filariasis terjadi penurunan sebesar 163 kasus, hal ini disebabkan adanya penderita yang meninggal karena penyakit lain atau umur yang sudah cukup tua (Setyaningtyas, 2015).

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi

dan Brugia timori (Sitohang, Saraswati and Ginanjar, 2017). Jenis cacing B. malayi tersebar di wilayah pulau Kalimantan, salah satu di Kalimantan Selatan (Safitri, 2012). Provinsi Kalimantan Selatan terdapat 5 kabupaten yang endemis filariasis yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tanah Bumbu, Kotabaru dan Barito Kuala. Di Kabupaten Tabalong, sejak tahun 1979 telah dilaksanakan upaya penanggulangan filariasis di desa Pulau Ku’u, namun mikrofilaria rate (mf rate) menunjukkan angka yang berfluktuasi dan cenderung meningkat. Mikrofilaria rate di desa Pulau Ku’u adalah 0,87% (tahun 1997), dan 1,6% (tahun 1999), demikian juga di desa Warukin mf rate sebesar 6,4% (tahun 1999). Selain kedua desa tersebut di atas, diketahui terdapat 27 desa di Kecamatan Tanta, Tanjung, Murung Pudak, Upau, Banua Lawas, Pugaan, Muara Harus dan Haruai yang merupakan desa endemis dan diduga endemis filariasis. Di Kecamatan Upau, dari 6 desa yang dilakukan pengobatan massal, sampai tahun 2009 rata-rata setiap tahunnya jumlah penduduk yang diberikan pengobatan adalah sebanyak 4.762 orang (96,8%) dan rata-rata 3,2%/ yang tertunda pemberian pengobatannya (Anorital, 2012). Berdasarkan catatan Puskesmas Upau, telah dilakukan SDJ ulang pada tahun

2014, masih ditemukan 24 orang positif mikrofilaria 1 orang meninggal dikarenakan penyakit lain yang terdapat di Desa Bilas.

Berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis yang telah dilakukan terhadap semua penderita yang ditemukan di Desa Bilas Provinsi Kalimantan Selatan ditemukan jenis cacing B. malayi dalam darahnya. B. malayi dilaporkan pertama kali oleh Brug ditahun 1927 dari daerah endemis Bireuen, Aceh Utara (Sasa et al., 1977). Malayan filariasis atau filariasis malayi merupakan sebutan untuk filariasis yang disebabkan oleh infeksi Brugia malayi.

B. malayi dapat dibagi dalam 2 varian yaitu yang hidup pada manusia, dan yang hidup pada manusia dan hewan, misalnya kera, kucing, dan lain-lain (Gandahusada, Ilahude and Pribadi, 2003); (Chadijah, Rosmini and Srikandi, 2015). Kepadatan mikrofilaria dalam pembuluh darah perifer pada manusia dan hewan menunjukkan perilaku mikrofilaria yang berbeda pada tiga jenis mikrofilaria yaitu W. bancrofti, B. malayi dan B. timori. Perilaku mikrofilaria yang berbeda disebut periodisitas mikrofilaria terdiri dari periodik nokturna, subperiodik nokturna dan non periodik. Periodik nokturna yaitu bila kepadatan mikrofilaria ditemukan tinggi pada malam hari dan hampir tidak ada pada siang hari, sedangkan subperiodik nokturna, apabila mikrofilaria ditemukan sepanjang hari, namun kepadatan mikrofilarianya lebih banyak pada malam hari dibandingkan siang hari. Adapun nonperiodik yaitu mikrofilaria ditemukan sepanjang hari, baik pada siang hari maupun pada malam hari dengan volume yang hampir sama (WHO, 2013); (Chadijah, Rosmini and Srikandi, 2015). Perilaku mikrofilaria dalam darah perifer berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya kadar zat asam dan zat lemas di dalam darah, aktivitas hospes, “irama sirkardian”, jenis hospes dan jenis parasit (Kementerian Kesehatan RI, 2015); (Chadijah, Rosmini and Srikandi, 2015).

(3)

BAHAN DAN METODE Pengumpulan data

Penelitian dilakukan di Desa Bilas Kecamatan Upau Kabupaten Tabalong pada bulan Oktober 2016. Sampel merupakan penderita positif mikrofilaria, diketahui berdasarkan SDJ yang dilakukan terhadap masyarakat Desa Bilas yaitusebanyak 4 orang yang bersedia diambil darahnya selama 24 jam. Pengambilan darah dimulai dari jam 18.00-05.00. Sampel darah diambil sebanyak 60 µl menggunakan mikropitet, kemudian darah dibuat sediaan pada objek glass membentuk tiga garis paralel. Darah dikeringkan selama 24 jam, kemudian dihemolisis dan difiksasi menggunakan metanol absolut. Setelah difiksasi biarkan kering dan beri pewarnan dengan menggunakan giemsa. Slide darah diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100. Mikrofilaria yang ditemukan diidentifikasi dan dihitung jumlahnya. Identifikasi spesies cacing filaria dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi menurut P2M & PL.

Analisis data

Hasil pemeriksaan dianalisis menggunakan formula dari Aikat dan Das tahun 1977 yang merupakan penyederhanaan dari formula Sasa dan Tanaka. Analisis statistik ini akan memberikan gambaran variasi kepadatan mikrofilaria dalam darah tepi setiap waktu. Rumus yang digunakan dalam perhitungan ini adalah: (Aikat and Das, 1977)

Nilai rata-rata (m), b dan c didapat menggunakan persamaan:

Untuk menghitung nilai amplitudo (a) dan indek periodesitas (D) dapat dihitung dengan rumus:

Apabila nilai D lebih besar dari 50 menunjukkan bahwa gelombang bersifat harmonik yang periodik, sedangkan bila kurang menunjukkan subperiodik. Berdasarkan

(K) dapat dihitung dengan rumus :

Untuk menentukan suatu kasus termasuk sirkandia (F) atau tidak dapat dilakukan dengan membandingkan nilai F hitung dengan nilai F teoritis. Apabila nilai F hitung > 5% dari nilai F teoritis (F=4,26 dengan 2 dan (n-3) derajat kebebasan) maka hasil periodesitas menunjukkan sifat sirkandia yang harmonik. Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai F adalah:

HASIL

Jumlah penduduk yang diperiksa darah jari sebanyak 362 orang. Penderita positif filariasis yang ditemukan sebanyak 11 orang dan penderita yang bersedia untuk diambil darahnya untuk perhitungan periodisitas sebanyak 4 orang, satu orang laki-laki dan tiga orang perempuan dengan umur berkisar antara 29 – 50 tahun. Jenis mikrofilaria yang ditemukan adalah

Brugia malayi, dengan Mf rate sebesar 3,04%.

Berdasarkan hasil pengamatan jumlah mikrofilaria pada penderita, paling banyak ditemukan sebesar 103 ekor, rata-rata ditemukan 9 ekor per pemeriksaan. Sedangkan mikrofilaria yang paling sedikit ditemukan dengan jumlah mikrofilaria 19 ekor sehingga rata-rata ditemukan kurang dari 2 ekor mikrofilaria per pemeriksaan.

Tabel 1, dapat dilihat bahwa mikrofilaria ditemukan setiap waktu baik siang maupun malam hari. Berdasarkan hal ini, sebelum dilakukan perhitungan statistik data ini telah memberikan gambaran mengenai sifat B. malayi

di Desa Bilas yang nonperiodik. Berdasarkan rata-rata mikrofilaria perjam didapat jumlah mirofilaria terbanyak ditemukan pada pukul 16.00

(4)

ada pula puncak kepadatan penderita yang terjadi pada tengah malam. Hal ini mempertegas bahwa sifat mikrofilaria B.malayi Desa Bilas adalah nonperiodik selain itu sifat nonperiodik dapat dilihat dari ritme

Tabel 1. Kepadatan Fluktuasi Mikrofilaria per 60 µl pada empat penderita filariasis di Desa Bilas selama 24 jam

Pukul (WITA)

Kepadatan Mikrofilaria Penderita

1 % 2 % 3 % 4 %

18.00 2 5,3 7 6,8 3 3,2 4 21,1

20.00 4 10,5 7 6,8 2 2,1 0 0

22.00 7 18,4 4 3,9 12 12,8 0 0

24.00 1 2,6 16 15,5 7 7,4 0 0

02.00 6 15,8 6 5,8 13 13,9 1 5,3

04.00 3 7,9 16 15,5 5 5,3 3 15,8

06.00 0 0 9 8,7 5 5,3 1 5,3

08.00 0 0 3 2,9 8 8,1 0 0

10.00 2 5,3 4 3,9 10 10,6 2 10,5

12.00 4 10,5 3 2,9 5 5,3 1 5,3

14.00 3 7,9 5 4,9 6 6,4 2 10,5

16.00 6 15,8 23 22,3 18 19,1 5 26,3

Total 38 100 103 100 94 100 19 100

Gambar 1. Rata-rata kepadatan mikrofilaria pada keempat subjek selama 24 jam di Desa Bilas

(5)

Tabel 2. Analisis statistik hasil pemeriksaan periodesitas mikrofilaria di Desa Bilas

Analisis Statistik Subjek A Subjek B Subjek C Subjek D

Y 38 103 94 19

Y2 180 1331 974 61

Y cos 15 h -8,366 -14,222 -1,036 1,866

Y sin 15 h 5,634 -0,098 1,206 5,964

m 3,167 8,583 7,833 1,583

b -1,394 -2,37 -0,172 0,311

c 0,939 -0,016 0,201 0,994

a 1,681 2,37 0,265 1,046

k 14° 15’ 50” 17° 58’ 25” 15° 17’ 21” 01° 09’ 30”

F 3,572 0,734 0,016 2,4

D 53,085 27,616 3,383 65,78

PEMBAHASAN

Filariasis yang disebabkan oleh B.malayi merupakan yang terbesar di Indonesia. Brugia malayi ditemukan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Pasifik Barat, India, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand (da Rocha, Fontes and Ehrenberg, 2017). Filariasis tipe ini dapat berada di darah tepi pada malam dan siang hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Filariasis tipe ini juga merupakan zoonotik, yaitu dapat hidup dan berkembang dalam hewan sebagai host (inang) dan dapat menularkan pada manusia (Pan, 2015). Masih ditemukannya penderita positif mikrofilaria dengan kepadatan yang cukup tinggi merupakan salah satu faktor penularan filariasis masih terjadi di Desa Bilas, Kabupaten Tabalong.

Gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh cacing dewasa atau perkembangannya sangat bervariasi dan mempunyai spektrum yang luas serta tergantung masing-masing individu dan spesiesnya. Penduduk yang berasal dari daerah nonendemik filariasis apabila terkena infeksi pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala lebih berat dan munculnya lebih cepat dari penduduk setempat. Gejala klinis filariasis malayi muncul lebih cepat dari pada filariasis bancrofti (da Rocha, Fontes and Ehrenberg, 2017). Gejala klinis pada infeksi dengan

B. malayi dan B. timori lebih nyata. Pada stadium akut limfadenitis sering terjadi di daerah inguinal pada kelenjar limfe superfisial, dapat terjadi berulang-ulang terutama setelah bekerja berat. Gejala klinis filariasis bancrofti pada stadium akut dapat terjadi peradangan terutama pada saluran limfe genital seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis yang sifatnya periodik dan setiap kali serangan hanya berlangsung beberapa hari. Limfedema dan elefantiasis pada penderita filaria

bancrofti lebih jarang dijumpai jika dibandingkan dengan filaria malayi dan filaria timori. Kelainan fisik

payudara. Berbeda dengan filaria malayi dan timori, pada filaria bancrofti dapat terjadi pembengkakan seluruh tungkai atau lengan dengan ukuran sampai tiga kali dari keadaan normal (Goel and Goel, 2016).

Penelitian periodisitas pada keempat penderita yang diambil darahnya di Desa Bilas, Kabupaten Tabalong menunjukkan mikrofilaria yang ditemukan adalah B. malayi. Hal tersebut sesuai dengan ciri B. malayi memiliki panjang 170 – 260 μm dan lebar ± 6 μm, mempunyai sarung / sheath, ujung anterior membulat / tumpul dengan 2 buah stylet (alat pengebor), ujung posterior runcing, perbandingan cephalic space dengan panjang : lebar yaitu 2 : 1, inti tubur terlihat kasar, tersusun tidak teratur sampai ujung posterior dengan 2 buah nukleus terminalis (da Rocha, Fontes and Ehrenberg, 2017).

B. malayi ini pertama kali ditemukan di Sulawesi oleh Brug sehingga disebut Brugia. Brugia malayi disebut juga dengan Filaria malayi, dan Wuchereria malayi.

Perhitungan dengan formulasi rumus aikat dan das diperoleh Harga F yang diperoleh pada lima penderita menunjukkan harga F lebih kecil daripada harga F teoritis dengan derajat kebebasan 2 dan (n-3). Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa B. malayi di Desa Bilas memiliki gelombang yang tidak harmonik atau non sirkardian. Mikrofilaria dikatakan mempunyai irama sirkardian apabila nilai F lebih besar dari nilai F 5% teoritis dengan derajat kebebasan 2 dan (n-3) yaitu 4,26. Kriteria tersebut menunjukkan sifat periodistas

B. malayi bersifat non periodik. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah nilai K (waktu puncak kepadatan mikrofilaria). Nilai K ditemukan mulai pada tengah malam yaitu antara pukul 01° 09’ 30” sampai yang tertinggi pada pukul 17° 58’ 25”.

(6)

menentu. Aktifitas non periodik pada B. malayi juga dilaporkan Sudjadi di Desa Krayan, Kecamatan Long Ikis Kalimantan Timur (Sudjadi, 2015a, 2015b, 2015c). Selain itu, B. malayi nonperiodik juga dilaporkan di Desa Muara Padang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumarni, 2015)Kasus tersebut berbeda dengan yang dilaporkan di Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat, B. malayi bersifat periodik nokturna (Chadijah, Rosmini and Srikandi, 2015). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi periodisitas mikrofilaria adalah kadar zat asam dan zat lemas dalam darah, aktivitas Hospes ”irama sirkadian”, jenis Hospes dan jenis parasit, tetapi secara pasti mekanisme periodisitas mikrofilaria tersebut belum diketahui (Paily, Hoti and Das, 2009; Wurster, 2014).

Siklus sikardian inang sangat terkait dengan aktivitas dari inang. Perubahan aktivitas inang juga akan mempengaruhi siklus sikardian dan periodisitas mikrofilaria (Molyneux, 2015). Sifat nonperiodik

B. malayi menunjukkan bahwa penularan filariasis terjadi pada siang dan malam hari. Hal ini merupakan hasil adaptasi yang terjadi antara perilaku nyamuk vektor yang menggigit pada siang dan malam hari dengan perilaku mikrofilaria yang bersifat nokturna. Vektor utama filariasis tentunya akan menjadi lebih kompleks karena bisa dari 5 genus penting yaitu Aedes, Armigeres, Culex, Mansonia dan Anopheles. Vektor B. malayi di Kalimantan adalah Hospes definitif parasit ini adalah manusia sedangkan Hospes perantaranya adalah nyamuk Mansonia uniformis, Mansonia annulata, Anopheles barbirostris (Reid, Wilson and Ganapathipillai, 1962; Vythilingam, Wan-Sulaiman and Jeffery, 2013). Nyamuk dari genus Mansonia banyak ditemukan di rawa-rawa dimana larva dan pupanya menempel pada akar tumbuhan air, sehingga kebanyakan filariasis limfatik ditemukan di daerah pedesaan (rural). Sedangkan jika Hospes perantaranya nyamuk dari genus

Anopheles maka filariasis limfatik ditemukan di daerah hutan (Vythilingam, Wan-Sulaiman and Jeffery, 2013). Sesuai dengan kondisi lingkungan di daerah penelitian yang merupakan pedesaan dikelilingi oleh hutan dan perkebunan karet, dengan kebiasaan masyarakat sering mengobrol di pos ronda dan tempat bilyar desa, serta hampir sebagian warga yang pekerjaannya menyadap karet merupakan faktor risiko tertular filariasis limfatik. Sesuai dengan penelitian Sipayung et.al (2014) di Kabupaten Sarmi, kebiasaan masyarakat menyebabkan peluang kontak antara manusia dengan vektor filariasis yang memiliki habitat breeding palace di hutan menjadi

semakin besar sehingga potensi untuk terinfeksi filariasis limfatik juga menjadi semakin besar. (Sipayung, Wahjuni and Devy, 2014). Berdasarkan kebiasaan masyarakat dan periodisitas dari B. malayi yang telah diketahui di Desa Bilas, maka upaya penanggulangan filariasis di daerah tersebut tidak hanya dilakukan pada malam hari, namun juga pada siang hari. Penanggulangan dan pemberantasan filariasis merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, sehingga peran serta masyarakat sangat menentukan keberhasilan eliminasi di tingkat kabupaten atau kota (Yahya and Santoso, 2013). Berdasarkan hal tersebut guna mendukung keberhasilan program eliminasi filariasis limfatik agar lebih efektif dan efisien, perlu didukung oleh upaya pelayanan kesehatan baik tingkat promotif maupun tingkat preventif berupa pendidikan kesehatan pada masyarakat terkait filariasis limfatik secara rutin (Sipayung, Wahjuni and Devy, 2014).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penderita positif filariasis dengan jenis cacing B. malayi di Desa Bilas Kabupaten Tabalong ditemukan sebanyak 11 orang dengan Mf rate sebesar 3,04%. Kepadatan puncak pada keempat kasus ditemukan siang dan malam hari. Waktu puncak kepadatan (nilai K) ditemukan mulai pada tengah malam yaitu antara pukul 01° 09’ 30”sampai yang tertinggi pada pukul 17° 58’ 25, dapat dipastikan B. malayi bersifat non periodik karena munculnya kepadatan mikrofilaria yang tidak menentu serta dapat dilihat dari ritme variasi kepadatan mikrofilaria (F) yang tidak sirkadian.

Saran

Periodisitas nonperiodik mengindikasikan perlu kewaspadaan terhadap nyamuk vektor baik siang maupun malam hari. Perlu pengawasan dan sosialisasi terhadap warga agar program Pemberian Obat Pencegah Massal (POPM) dapat terlaksana dengan baik di Kabupaten Tabalong.

UCAPAN TERIMAKASIH

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Aikat, T. and Das, M. (1977) ‘A modified statistical method for analysis of periodicity of microfilariae’,

Indian J Med Res, 65, pp. 58–64.

Anorital (2012) ‘Situasi Filariasis di Kabupaten Tabalong-Kalimantan Selatan Tahun 1999-2009’,

Jurnal Biotek Medisiana Indonesia, 1(1), pp. 1–10.

Chadijah, S., Rosmini and Srikandi, Y. (2015) ‘Perilaku mikrofilaria Brugia malayi pada subjek Filariasis di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat’,

Aspirator, 7(2), pp. 42–47.

Gandahusada, S., Ilahude, H. and Pribadi, W. (2003)

Parasitiologi Kedokteran. ketiga. Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Goel, T. C. and Goel, A. (2016) Lymphatic Filariasis.

Springer.

Kementerian Kesehatan RI (2015) Peraturan Menteri Kesehatan Repubik Indonesia Nomor 94 tahun 2014, tentang Penanggulangan Filariasis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Molyneux, D. (2015) ‘The Theory of Everything and a neglected tropical disease: a Hawking legacy’,

The Lancet, 385(9973), pp. 1069–1070.

Paily, K. P., Hoti, S. L. and Das, P. K. (2009) ‘A review of the complexity of biology of lymphatic filarial parasites’, Journal of Parasitic Diseases, 33(1–2), pp. 3–12.

Paiting, Y. S., Setiani, O. and Sulistiyani (2012) ‘Faktor Risiko Lingkungandan Kebiasaan Penduduk Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua’, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1), pp. 76–81.

Pan, J. (2015) ‘Filariasis’, in Radiology of Infectious Diseases: Volume 2. Springer, pp. 307–314. Reid, J. A., Wilson, T. and Ganapathipillai, A. (1962) (2017) ‘Lymphatic Filariasis’, in Arthropod Borne Diseases. Springer, pp. 369–381.

Safitri, A. (2012) Laporan Penelitian Identifikasi Vektor dan Vektor Potensial Daerah Endemis Filariasis di Kalimantan Selatan Tahun 2011. Kalimantan Selatan.

Sasa, M., Shieasaka, R., Joecoef, A., Abdulwahab, R. and Yamaura, H. (1977) ‘A Study on The Microfilarial Periodicity at Bireuen, The Type Locality of Brugia Malayi “(Brug, 1927)”’,

Buletin Penelitian Kesehatan, V(1), pp. 41–46. Setyaningtyas, D. E. (2015) Laporan Akhir Penelitian

Risbinkes. Studi Endemisitas Mikrofilaria Pasca POMP Keempat di Kecamatan Kusan Hulu. Kabupaten Tanah Bumbu.

Sipayung, M., Wahjuni, C. U. and Devy, S. R. (2014) ‘Pengaruh Lingkungan Biologi dan Upaya Pelayanan Kesehatan Terhadap Kejadian Filariasis Limfatik di Kabupaten Sarmi’, Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(2), pp. 263–273.

Sitohang, M. Y., Saraswati, L. D. and Ginanjar, P. (2017) ‘Gambaran Kepatuhan Pengobatan Massal di Daerah Endemis Kota Pekalongan’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(3), pp. 100–106. Sudjadi, F. A. S. F. A. (2015a) ‘Daytime transmission of

filariasis caused by nonperiodic form of Brugia Malaya among Dayak indigenous inhabitants in East Kalimantan’, Journal of the Medical Sciences (Berkala ilmu Kedokteran), 29(4). Sudjadi, F. A. S. F. A. (2015b) ‘Filariasis caused by

nonperiodic form of Brugia ma/ayi among transmigrants in East Kalimantan’, Journal of the Medical Sciences (Berkala ilmu Kedokteran), 30(2). Sudjadi, F. A. S. F. A. (2015c) ‘Secondary transmissions

of filariasis caused by nonperiodic form of Brugia malayi among indigenous Dayak people in East Kalimantan’, Journal of the Medical Sciences (Berkala ilmu Kedokteran), 31(2).

Sumarni, E. E. S. S. (2015) ‘Epidemiology of filariasis malayi in Muara Padang Village, Muara Padang SubDistrict, Banyuasin District, South Sumatra, Indonesia’, Journal of the Medical Sciences (Berkala ilmu Kedokteran), 44(1).

Vythilingam, I., Wan-Sulaiman, W. Y. and Jeffery, J. (2013) ‘Vectors of Malaria and Filariasis in Southeast Asia: A Changing Scenario’, in

Parasites and their vectors. Springer, pp. 57–75. WHO (2013) Vector Biology and Profile in Global

Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis. Wurster, J. I. (2014) ‘Identification of clock gene

functional conservation between Caenorhabditis elegans and Brugia malayi’.

Yahya and Santoso (2013) ‘Studi Endemisitas Filariasis di Wilayah Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari Pasca Pengobatan Massal Tahap III’,

(8)

Gambar

Tabel 1, dapat dilihat bahwa mikrofilaria ditemukan
Tabel 1. Kepadatan Fluktuasi Mikrofilaria per 60 µl pada empat penderita filariasis di Desa Bilas selama 24 jam
Tabel 2. Analisis statistik hasil pemeriksaan periodesitas mikrofilaria di Desa Bilas

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan teknik analisis Parsial Adgustment Model (PAM) menunjukan bahwa variabel kurs dan bea masuk memiliki pengaruh signifikan terhadap neraca perdagangan,

PX1Y = Koefisien jalur kurs terhadap impor PX3Y = Koefisien jalur harga minyak dunia terhadap impor rX1X3 = Koefisien korelasi kurs dan harga minyak dunia Pengaruh tidak langsung

Penurunan polusi air dan lahan • Resource efficiency • Sustainable production • Sustainable consumption Green procurement Green standard • SCP • Struktur ekonomi

telah terjadi peradangan pankreas (pankreatitis) yang disebabkan oleh penyumbatan batu empedu pada saluran pankreas (duktus

buku diperpustakaan dirasa kurang efektif untuk memfasilitasi serta pandangan terhadap proses belajar-mengajar tanpa adanya sumber- sumber pembelajaran dari mahasiswa,

Hasil penelitian secara keseluruhan untuk penurunan jumlah koloni bakteri kokus Gram positif dan batang Gram positif sebelum dan setelah penguapan minyak esensial mawar

Objektif utama penyelidikan ini adalah untuk membangunkan sistem yang dapat mengecam puncak pada isyarat EKG (P, Q, R, S dan T) dan mendiagnosis penyakit jantung

Penulis berharap website ini dapat menjadi sarana edukasi yang menarik bagi semua pihak dan memberi gambaran kepada masyarakat yang tertarik untuk mempelajari sejarah purbakala