• Tidak ada hasil yang ditemukan

AZAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AZAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

AZAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN

HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.

Menurut para ahli hukum, akar gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Gagasan ini mengilhami munculnya salah satu ketentuan dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang menyebutkan, tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang- undangan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis makalah ini yang berjudul “Azaz Legalitas Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana “Azas Legalitas Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana”?

C. Tujuan Penulisan

(2)

BAB II PEMBAHASAN

Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”. Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”. Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions)

(3)

pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).

Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa “Talmudic Jurisprudence” lah yang mendahului teori von Feurbach. Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali”.

Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik. J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu. Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra 5 ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.

(4)

melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang. Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.

Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”, dan merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776.

Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi “ketentuan perundang-undangan (wettelijk strafbepaling)” dan “undang-undang” maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum pidana materiil lebih luas dengan terminologi “perundang-undangan” dari kata “undang-undang” pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundang-undangan” (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.

Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.

(5)

(retroactivity), lex certa dan analogi. Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality. Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah Emong

Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat asas legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa). Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Lebih detail Machteld Boot menyebutkan bahwa:

(6)

statutes may not be applied by analogy which is reflected in the axion nullum crimen, noela poena sine lege stricta.”

JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben...). Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan).

(7)

berlaku surut, ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.

Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008). Akan tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan bahwa:

“Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”’ masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.”

Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa: “Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP

(8)

legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis. Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:

1. “nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis—unwritten law--) ;

2. “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogy) ;

3. “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut) ;

4. “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas –unclear terms-).

(9)

legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya. Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/ bergesernya asas legalitas antara lain dikarenakan sebagai berikut:

1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP ;

2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel ;

3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum ;

4. Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas) ;

5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai “pemaafan/pengampunan hakim” (dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “rechterlijk pardon”, “Judicial pardon”, “Dispensa de pena” atau “Nonimposing of penalty”) yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality principle” ;

(10)

7. Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “cybercrime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex certa”, karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.

Khusus terhadap pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti” sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini menentukan apabila terjadi perubahan perundang-undangan maka diterapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undangundang yang berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam pasal 1 ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil yang dianut oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Teori materiil tak terbatas dimana H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ”perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu”. Konklusi dasar asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas, dikaji dari prespektif karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai berikut:

 Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.

 Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi.

 Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.

(11)

 Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif).

 Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang.

 Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang. Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas tersebut juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Sebagai salah satu yang ingin dicapai dalam asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002). Asas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, tapi dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya perkembangan kejahatan. Dan, ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar.

B.Saran

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 5.22 Nilai Tegangan Kritis (Fcr) Gelagar Pelat I dan Dobel Delta 73 1 abel 5.23 Momen Batas Terhadap Tekuk Lokal dengan Tekuk Lateral.. Gelagar Pelat

Pemilihan Desain jaringan pipa pelanggan biogas future dilakukan dengan mencari model dengan pressure drop terkecil pada branch XA, XB, dan XC. Hasil perhitungan

Jalur sirkulasi pada tapak diatur dengan serangkaian sekuen agar wisatawan dapat menerima informasi dengan baik serta melihat potensi alam yang ada di sekitar

Terdapat perbedaan pengetahuan auditor pada berbagai tingkatan pengalaman, tidak dapat dijelaskan oleh lamanya pengalaman atau pengalaman audit pada industri tertentu

Dalam ketidak adaan data informasi yag selalu belanjut untuk manajemn maka bisa jadi tidak berdaya saat melakuakan sesuatu maka dari itu organisasi atau perusahaan diwajibkan

Menurut Borshchev & Filippov (2004) Agent Based Model (ABM) adalah suatu metode yang digunakan untuk eksperimen dengan melihat pendekatan dari bawah ke atas (

Disajikan narasi tentang ″Shehrazat″, peserta didik dapat menelaah hikmah tentang larangan pergaulan bebas dan perbuatan zina dengan tepat sesuai dengan makna

Skenario stabil dengan keuntungan maksimum dari masing-masing frame kemudian dibandingkan sedemikian hingga, dapat diketahui frame yang lebih baik untuk dipergunakan oleh