• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk dan jenis kekerasan dalam bernega

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bentuk dan jenis kekerasan dalam bernega"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Bentuk dan jenis kekerasan dalam bernegara KEKERASAN

1. Pengertian Kekerasan

Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin violentia, yang berarti keganasan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya, dan perkosaan (sebagaimana dikutip Arif Rohman : 2005). Tindak kekerasan, menunjuk pada tindakan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya, pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Walaupun tindakan tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar. Pada dasarnya kekerasan diartikan sebagai perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal maupun nonverbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilainilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban. Nah, cobalah temukan minimal lima contoh tindak kekerasan yang ada di sekitarmu!

2. Macam-Macam Kekerasan

Tidak dimungkiri tindak kekerasan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan seolah-olah telah melekat dalam diri seseorang guna mencapai tujuan hidupnya. Tidak

mengherankan jika semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan bentuk. Oleh karena itu, para ahli sosial berusaha mengklasifikasikan bentuk dan jenis kekerasan menjadi dua macam, yaitu:

a. Berdasarkan bentuknya, kekerasan dapat digolongkan menjadi kekerasan fisik, psikologis, dan struktural.

1) Kekerasan fisik yaitu kekerasan nyata yang dapat dilihat, dirasakan oleh tubuh. Wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh, sampai pada penghilangan nyawa seseorang. Contoh penganiayaan, pemukulan, pembunuhan, dan lain-lain. 2) Kekerasan psikologis yaitu kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa. Contoh kebohongan, indoktrinasi, ancaman, dan tekanan.

3) Kekerasan struktural yaitu kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan ini sulit untuk dikenali. Kekerasan struktural yang terjadi menimbulkan

ketimpangan-ketimpangan pada sumber daya, pendidikan, pendapatan, kepandaian, keadilan, serta wewenang untuk mengambil keputusan. Situasi ini dapat memengaruhi fisik dan jiwa seseorang. Biasanya negaralah yang bertanggung jawab untuk mengatur kekerasan struktural karena hanya negara yang memiliki kewenangan serta kewajiban resmi untuk mendorong pembentukan atau perubahan struktural dalam masyarakat. Misalnya, terjangkitnya penyakit kulit di suatu daerah akibat limbah pabrik di sekitarnya atau hilangnya rumah oleh warga

Sidoarjo karena lumpur panas Lapindo Brantas. Secara umum korban kekerasan struktural tidak menyadarinya karena system yang menjadikan mereka terbiasa dengan keadaan tersebut.

b. Berdasarkan pelakunya, kekerasan dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu:

1) Kekerasan individual adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu kepada satu atau lebih individu.

Contoh pencurian, pemukulan, penganiayaan, dan lain-lain.

(2)

Contoh tawuran pelajar,bentrokan antardesa konflik Sampit dan Poso, dan lain-lain. Keragaman jenis dan definisi

• Kekerasan yang dilakukan perorangan perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik

(kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam lingkup lingkungannya.

• Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai "monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain, genosida, dll.). • Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll.)).

• Kekerasan dalam politik umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.

• Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic power), merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence) dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.

Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak — seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.

Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern semakin meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.

Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena

kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya.

Transkulturasi, karena teknologi modern, telah berperan dalam mengurangi relativisme moral yang biasanya berkaitan dengan nasionalisme, dan dalam konteks yang umum ini, gerakan "antikekerasan" internasional telah semakin dikenal dan diakui perananya.

CONTOH KEKERASAN Kekerasan di Pantai Gading

Pantai Gading berada di jurang perang saudara. Menurut laporan media Senin lalu (21/03) sejumlah besar orang melarikan diri dari kota metropolitan Abijan. Pekan lalu, di Abijan sedikitnya 25 orang tewas, ketika tentara yang setia kepada Presiden Laurent Gbagbo

(3)

Ribuan Mengungsi

Ribuan orang setiap harinya berdesak-desakan menaiki bus yang mengadakan perjalanan ke daerah pedalaman, di mana mereka berharap mendapat perlindungan dari kekerasan yang terus berlangsung. Demikian laporan harian «Le nouveau Réveil». Ongkos untuk bus dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi dari biasanya. Seorang perempuan mengatakan, setidaknya di desa mereka dapat hidup dengan tenang dan dapat memperoleh bahan makanan. Akibat embargo ekonomi, rakyat Pantai Gading tidak hanya menghadapi kekerasan, melainkan juga kurangnya bahan pangan.

Negara Afrika Barat itu dilanda krisis akibat persaingan kekuasaan antara Laurent Gbagbo yang November lalu tidak terpilih lagi sebagai presiden dengan Alassane Ouattara yang diakui dunia internasional sebagai presiden berikutnya. Laurent Gbagbo sudah memerintah di negara itu sejak tahun 2000. Sebelum krisis terjadi, Pantai Gading menjadi pengekspor coklat terbesar di dunia. Perekrutan Baru

Menurut media Inggris BBC, ribuan pria muda mendaftarkan diri untuk menjadi anggota militer sebagai bukti dukungan bagi Gbagbo. Salah seorang dari pria muda itu mengatakan, “Waktunya sudah datang, untuk mempertahankan negara. Saya lebih senang mati di fron, daripada seperti pengecut dibunuh oleh penyerang di rumah sendiri.”

Berdasarkan keterangan PBB, 500.000 orang warga negara itu telah berada dalam pengungsian. Sementara sekitar 100.000 orang melarikan diri melewati perbatasan, terutama ke Liberia. Sejak pemilu presiden November lalu dan krisis yang menyusul, lebih dari 400 orang tewas.

Kritik terhadap Misi PBB

Sementara itu, kritik bermunculan terhadap pasukan PBB yang terdiri dari sekitar 10.000 orang, yang ditempatkan di negara itu. Harian "Le Patriote" yang mendukung Ouattara menulis, misi PBB hanya mengurus jumlah korban tewas, tetapi tidak melakukan apapun untuk mengakhiri kekerasan. Padahal perlindungan warga sipil termasuk dalam mandat pasukan PBB.

Pantai Gading dengan penduduknya yang berjumlah sekitar 20 juta orang dilanda perang saudara antara tahun 2002/2003, yang membagi negara itu menjadi dua bagian. Ouattara mendapat dukungan dari pemberontak di bagian utara negara itu.

Departemen Luar Negeri Jerman menyatakan menambah bantuan bagi pengungsi Pantai Gading. Dana bantuan berikutnya sejumlah 500.000 Euro itu diserahkan kepada badan PBB yang

mengurus pengungsi, UNHCR. Dana itu bertujuan untuk pemberian bantuan darurat bagi pengungsi di Liberia, misalsa selimut, alat memasak dan tempat penampungan. Demikian dinyatakan departemen luar negeri Selasa kemarin (22/03).

Studi tentang kekerasan terhadap anak di Propinsi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara ini bertujuan

(1) melakukan assessmen mendalam mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di rumah dan sekolah, serta dampak kekerasan;

(2) melakukan assessmen mengenai kekerasan terhadap anak atas dasar budaya;

(3) mengidentifikasi praktek budaya yang melindungi anak;

(4)

masukan untuk penyusunan program aksi nasional tentang perlindungan anak dari kekerasan. Studi ini menggunakan analisis baik data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh melalui Focus Group Discussion, wawancara mendalam, menggambar (HTP), dan kuesioner (SS dan CLBL) yang informannya terdiri dari anak-anak Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), anak-anak yang tidak sekolah, orangtua dan guru, jaksa, hakin,polisi, dan pemuka masyarakat, agama, dan adat. Sekolah dipilih secara purposive dari setiap kabupaten (dua kabupaten yang dipilih di propinsi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara), kelas yang dipilih secara random. Data sekunder dikumpulkan dari data yang tersedia di kantor-kantor BPS, kantor polisi, kejaksaan, pengadilan, rumah sakit, laporan LSM dan LPA, kliping mass media. Pengumpulan data lapangan dilakukan serempak di tiga propinsi tersebut selama bulan Januari 2006.

Peristiwa kekerasan massa atas nama agama yang terjadi di Cekeusik (Pandeglang, Banten) dan Temanggung (Jawa Tengah), beberapa waktu lalu menjadi antiklimaks robohnya pilar toleransi beragama di negeri ini. Kekerasan massa atas jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, telah menewaskan tiga orang dan melukai lima orang lainnya. Sementara amuk massa bernuansa sara di

Temanggung, telah merusak gedung pengadilan dan puluhan kendaraan, menghanguskan tiga gereja serta sempat bereskalasi menjadi hura hara massa. Ironisnya, kasus kekerasan agama itu terjadi di tengah acara Pekan Kerukunan Beragama (Interfaith Harmony Week) yang di gelar oleh para tokoh lintas agama di Istora Senayan. Acara yang bertujuan mempromosikan

peneguhan spirit kerukunan dan toleransi beragama itu, menjadi tak bermakna di tengah amuk massa Cikeusik dan Temanggung.

Genealogi Kekerasan

David Lochhead dalam The Dialogical Imperative: A Christian Reflection on Interfaith Encounter (1988) menunjukkan, identitas keagamaan ternyata tak luput dari benih kekerasan. Menurut Lockhead, dalam kehidupan keberagamaan terdapat akar-akar kecurigaan yang tertanam sangat dalam. Di sana, embrio kekerasan telah menjadi bagian inheren pembentukan identitas keagamaan. Munculnya kekerasan atas nama agama seringkali disebabkan oleh pemaknaan agama secara ideologis. Sebagai basis nilai simbolik, ideologi adalah doktrin. Sementara sebagai simbol politik, ideologi kerap digunakan oleh pengikutnya untuk

menjustifikasi cara apapun yang digunakan demi mencapai tujuan politik. Karakteristik ideologi agama yang cenderung intoleran terhadap epistemologi berfikir diluarnya, menjadi potensi laten yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi kekerasan dan huru-hara massa. Bangkitnya kekerasan massa atas nama agama, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang menguat di awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini tak hanya berlangsung dalam dimensi kultural, namun juga sistemik-struktural.

Situasi itu membawa dampak traumatis sehingga mengganggu toleransi. Di negara-negara muslim, toleransi beragama mengalami ketegangan tajam. Mengutip Huntington (2004), konflik antara konsepsi negara modern-sekuler dengan universalisme nilai/norma agama, kerap berubah menjadi benturan ideologis yang menegasi spirit toleransi dan kesadaran kebangsaan.

Kasus Mesir dan Tunisia (yang kini diikuti Aljazair dan Yaman) menunjukan, amuk massa dan frustrasi sosial terjadi akibat absennya negara dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi, menyelesaikan krisis ekonomi, serta meretas keadilan sosial. Tak pelak, situasi ini telah mendorong maraknya gerakan fundamentalisme agama untuk mendelegitimasi negara sekuler (yang dianggap sebagai biang krisis), dan menggantinya dengan tatanan nilai-nilai agama (Bassam Tibi, 1998).

(5)

masyarakat dalam merespons nilai dan norma baru yang diusung gelombang modernitas.

Realitas ini terkonfirmasi dari hasil riset Setara Institute terkait kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia selama periode 2007-2009 yang memprihatinkan. Riset ini mencatat, sepanjang tahun 2007 terdapat 185 jenis tindakan dalam 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2008 naik menjadi 367 tindakan dalam 265 peristiwa dan tahun 2009 terdapat 291 tindakan dalam 200 peristiwa. Selain melibatkan aktor, negara terkait dengan kekerasan organisasi Islam radikal.

Mendorong Negara

Beberapa jam setelah terjadi penyerbuan di Cekeusik dan Temanggung, Presiden Yudhoyono menyatakan prihatin atas kejadian itu. Peristiwa darurat ini, tampaknya belum direspon secara tegas oleh Presiden. Presiden, misalnya, tidak menyatakan bahwa para pelaku tindak kekerasan adalah musuh negara, kerena mereka telah merusak sendi dan fondasi paling vital dalam kehidupan republik, yakni penghargaan terhadap pluralisme dan toleransi.

Para pelaku kekerasan, harus dikutuk keras Presiden, karena mereka telah menginjak-injak harga diri bangsa. Para perusuh telah mempertontonkan tindakan brutal, dengan merusak, membakar, dan membunuh saudaranya sendiri. Amuk massa di Cikeusik dan Temanggung memberi pesan kuat pada kita bahwa pemerintah (mengutip pernyataan Presiden) tak punya niat serius untuk menuntaskan kasus kekerasan agama di luar kebijakan normatif, seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri.

Kedua, kekerasan massa yang terus mendera jemaat Ahmadiyah menunjukkan, (aparatur) negara tak memiliki kebijakan dan standar penanganan guna mengatasi berbagai bentuk tindak

kekerasan masa (terutama di level grass root)-yang kini telah menjadi ancaman nyata-di tengah meredupnya kepercayaan publik pada negara.

Pasca reformasi, kekerasan terhadap kebebasan beragama di negeri begitu nyata. Ia tak cuma potensial merusak sendi-sendi kerukuan hidup beragama, namun telah mengancam eksistensi Pancasila dan konstitusi negara, yang dengan tegas memberi hak pada setiap warga negara untuk menjalankan ibadah secara bebas sesuai dengan agama dan keyakinannya. Kekerasan terhadap kebebasan beragama yang kerap berwujud penyerangan tempat ibadah, pelarangan beribadah, atau pelarangan mendirikan tempat beribadah adalah fenomena umum yang mestinya bisa diantisipasi negara. Sayangnya, negara dan aparatusnya kerap telat hadir dan bertindak tegas untuk mengantisipasi dan memberi solusi konkret. Negara seharusnya memahami, bahwa berbagai kejadian yang terkait dengan kekerasan atas nama agama selalu terkait dengan dua aspek, yaitu aspek privat (menyangkut hak asasi warga negara atas keyakinannya) dan aspek publik (menyangkut tegaknya hukum di ruang publik).

Negara harus tegas, bahwa agama atau keyakinan merupakan hak konstitusional yang paling asasi dan wajib dilindungi negara. Setiap warga negara wajib menaruh hormat kepada tegaknya hak konstitusional warga negara itu. Karena menyangkut hak konstitusional warga negara, maka negara mutlak untuk menjamin terselenggaranya hak itu. Sayangnya, ketidaktegasan pemerintah kembali terlihat. Hasil rapat Menteri Agama, Mendagri, Kapolri, dan Muspida Banten kembali hanya menawarkan empat opsi pada jemaah Ahmadiyah: menjadi agama baru tanpa atribut Islam, kembali ke ajaran Islam, dibiarkan, atau dibubarkan

Pilihan yang ditawarkan pemerintah menunjukkan ketiadaan kebijakan, strategi, dan konsep permanen yang dimiliki negara untuk merespon realitas kekerasaan, yang krusialnya kerap berulang secara eskalatif di negeri ini.

(6)

negara berpihak dan bertindak intoleran serta diskriminatif dengan melakukan pembatasan melalui sejumlah kebijakan yang diproduksinya.

Ambiguitas peran negara dalam menjamin kebebasan beragama sekaligus menunjukkan pada publik bahwa elite negara tak cuma terlihat abai dalam mengatasa problem kekerasan agama, namun ada kesan telah menjadikan isu agama sebagai komoditas politik. Kekerasan atau konflik agama menarik untuk diatasi sebatas ukuran seberapa besar citra yang akan terpoles disana, dan seberapa besar dukungan yang akan didapat elite dari kekerasan atau konflik itu. Sungguh, reproduksi kekerasan terhadap kebebasan beragama yang terus berulang, secara psiko-politik, bisa memberi legitimasi bagi para pelaku kekerasan sekaligus mendelegitimasi otoritas negara dalam fungsinya selaku pemangku ketertiban umum. Guncangan terhadap kerukunan beragama tidak bisa dianggap main-main. Sejarah menunjukkan bagaimana negara hancur ketika pluralisme dan toleransi diabaikan. Kejadian di Balkan, Kashmir, Afganistan, dan Irak, menjadi contoh nyata ketika perbedaan menjadi ajang untuk saling menghabisi. Ketegasan, keseriusan, dan kesungguhan pemerintah untuk mengatasi problem intoleransi beragama ini sesungguhnya bisa menjadi entry point guna memutus mata rantai produksi kekerasan yang telah menjadi ancaman sosial paling nyata di negeri ini.

Meningkatnya angka dan kasus kekerasan kebebasan beragama tak hanya menunjukkan kian buruknya rasa toleransi masyarakat terhadap perbedaan, namun potensial menjadi embrio bagi hadirnya sosok fundamentalisme agama di negeri ini. Ironisnya, etape kekerasan yang terus menyeruak justru terjadi ketika negeri ini telah dinobatkan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

(7)

Oleh :

Nama : Sabarhati menderita lumban gaol

Npm : D1E015062

Prodi : ilmu komunikasi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji Pedoman standar teknis kerja di UPT Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah dalam proses digitalisasi koleksi deposit

Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri atau keadaan murni, Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri atau keadaan murni, Pada umumnya logam tidak berdiri sendiri

Pada penyimpanan di suhu ruang selama 7 hari dadih memiliki pH 3,91 total asam tertitrasi 0,22% kadar air 64,95% viskositas 2866,7 cP dengan populasi bakteri 1,54x1016 cfu/ml, dan

Nah, jika mereka saja yang lahir dengan mata biru, hidung mancung masih tidak menggunakan grammar yang benar, kenapa Anda bersusah payah menghafal rumus-rumus grammar yang

Atau bimbingan dilakukan kepala puskesmas dengan melakukan pengarahan kepada seluruh petugas di puskesmas tentang bagaimana pendokumetasian askep yang harus dilakukan oleh

Perilaku responden merupakan salah satu jenis perilaku refleks sebagai respon terhadap stimulus (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007) yang muncul kapanpun (Fordyce, 1976 dalam

menunjukkan nilai kalor tertinggi pada briket cangkang kakao sebelum diaktivasi dengan microwave adalah pada komposisi perekat 5 % dengan nilai kalor 7,678 kkal/gram