• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urbanisasi di Indonesia antara Motif Eko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Urbanisasi di Indonesia antara Motif Eko"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

2Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

(rommelpasopati@yahoo.com)

3Tenaga Ahli Anggota DPR RI Periode 2014-2019

(uddin.syarifuddin@gmail.com)

Abstrak Pada masa ini, urbanisasi masih menjadi pilihan individu untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Di sisi lain, pemerintah membangun perluasan akses dan infrastruktur desa melalui PNPM Mandiri hingga UU Desa supaya fasilitas desa makin memadai. Namun pada kenyataannya, kota masih menjadi ukuran utama kesejahteraan terutama ketika ukuran pengembangan diri dicapai dengan berpindah ke tempat yang dianggap lebih baik. Pandangan ini tidak selalu benar karena seringkali kemudahan yang diharapkan di kota malah membuahkan kesulitan yang lain. Kesejahteraan dicapai dengan segala cara tanpa memperhitungkan kemampuan diri. Dari latar belakang tersebut, sebuah pertanyaan muncul; mengapa individu tetap melakukan urbanisasi meskipun pembangunan di desa makin meningkat dewasa ini? Pertanyaan tersebut dibahas secara kualitatif dalam analisis motif ekonomi maupun non-ekonomi dari urbanisasi. Pada motif ekonomi, penulis membahas keuntungan, kebaikan, maupun kenikmatan yang ingin diraih: harapan pendapatan yang lebih tinggi, fasilitas dan akses yang melimpah, dan kesejahteraan yang lebih baik adalah yang utama bagi pelaku urbanisasi. Sementara itu, asumsi terhadap minimnya kesempatan untuk mengembangkan diri di desa maupun melimpahnya fasilitas di kota adalah alasan mengapa urbanisasi masih diminati dewasa ini. Infrastruktur yang dibangun untuk memajukan dan menyejahterakan desa, nyatanya malah mempermudah laju perpindahan dari desa ke kota. Pada motif non-ekonomi, sisi sosial-kultural lebih membahas kondisi pelaku urbanisasi daripada sekedar masalah keuntungan. Meskipun motif ekonomi dan non-ekonomi nyatanya berkelindan, urbanisasi tidak dapat dilepaskan dari stigma kota yang dianggap serba baik dan sejahtera. Stigma itulah yang membentuk kota sebagai narasi keberlimpahan fasilitas yang dipandang sejalan dengan kesejahteraan. Dalam kesimpulan, tindakan urbanisasi bertujuan meningkatkan taraf kehidupan melalui kenaikan pendapatan individu. Motif tersebut didorong oleh stigma bahwa mengembangkan diri harus pergi ke kota. Pandangan tersebut tidak selalu demikian karena kemudahan di kota selalu relatif sehingga kenaikan pendapatan bukan berarti peningkatan kesejahteraan pula. Maka, kenaikan pendapatan dari urbanisasi pun tidak sekaligus meningkatan taraf kehidupan.

(2)

2 ... yang muda lari ke kota, berharap tanahnya mulia,

kosong di depan mata, banyak asap di sana, menanam tak bisa, menangis pun sama, gantung cita-cita di tepian kota ... (Efek Rumah Kaca-Banyak Asap di Sana)

Pendahuluan

Urbanisasi pada dasarnya adalah perpindahan manusia dari desa ke kota. Hal ini

adalah proses dalam pilihan individu untuk merealisasikan kehidupan yang lebih baik (Ischak,

2001:275). Proses tersebut dilakukan untuk mengembangkan diri dengan pergi dari desa ke

kota. Desa dianggap kurang mampu mengakomodasi kemampuan individu untuk

mengembangkan diri. Anggapan tersebut bahkan mendorong individu untuk pergi ke kota

demi kehidupan yang lebih baik. Di sisi lain, kota dipandang sebagai pusat perkembangan

manusia yang maju. Kemajuan ini adalah bentuk modernisasi dan globalisasi terutama

melalui perkembangan informasi dan teknologi (Jalil, 2005:834). Perspektif ini cenderung

memiliki kelebihan dan menarik individu untuk pergi ke kota. Dengan demikian, urbanisasi

bukan hanya definitif tentang perpindahan dari desa ke kota melainkan juga dinamis dalam

perspektif antara individu, desa, dan kota dalam pemaknaan satu sama lain.

Pada masa ini, urbanisasi dipandang bukan hanya sebagai perpindahan semata

melainkan juga tren individu (Adam, 2010:1-2). Tren berpindah ke kota yang masih

terus-menerus berlangsung ini mengurangi jumlah individu di desa dengan segala potensinya.

Sebagai akibatnya, pemusatan di kota pun makin meningkat yang disertai dengan

peminggiran terhadap desa meskipun kota pun merasa terbebani oleh kedatangan para pelaku

urbanisasi (Ischak, 2001:282). Menghadapi hal ini, pemerintah berusaha untuk memeratakan

pembangunan di desa yang salah satu fungsinya untuk mengurangi urbanisasi. Berbagai

pembangunan infrastruktur baik akses maupun fasilitas kehidupan ditingkatkan guna

mengembangkan ekonomi desa (Salim dalam Adam, 2010:6-7). Undang-Undang Desa pun

dibentuk untuk memperlancar pembangunan baik dari sisi ekonomi maupun sosial budaya di

desa guna memperkuat pemerataan pembangunan.

Pembangunan di desa ternyata tidak menghapus urbanisasi karena individu tetap saja

pergi ke kota demi kehidupan yang lebih baik. Pembangunan akses di desa malah

memperlancar arus perpindahan ke kota daripada mengembalikan individu ke desa.

(3)

3 kota ke desa pun tidak menemukan perisnggungannya dalam realitas (Suharso, 2014:116).

Desa makin dibangun namun perpindahan ke kota pun tetap masif. Hal itu pun lalu makin

melanggengkan perbedaan yang makin jelas antara desa-kota melalui konsep daerah-kota

maupun desa-metropolitan. Bentuk urban sebagai dampak dari urbanisasi juga makin

membentuk desa untuk serupa dengan kota daripada membantunya menemukan kekhasannya

sendiri.

Perspektif pembangunan yang tidak sekaligus membentuk pemerataan di atas

dikarenakan tiap pembangunan di desa menggunakan kota sebagai ukuran kemajuannya. Kota

malah semakin dilanggengkan sebagai sebuah simbol kemajuan yang modern (Jalil,

2005:836). Urbanisasi ternyata tidak memandang desa dan kota dalam dualitas yang setara

satu sama lain namun melihatnya dalam dualisme terkait kota sebagai patokan yang utama.

Kota lalu makin menjejali desa dengan segala kemajuan kota yang malah makin meniadakan

esensi desa. Pembangunan di desa seringkali dibentuk melalui bahasa kota sehingga desa

tidak dipandang dalam esensinya sendiri namun hanya dilihat dari subordinasi eksistensi dari

kota terutama dari perspektif urban. Hal ini dikarenakan pembangunan yang ada adalah

tentang ekonomi yang bertumpu pada sisi industri dan produktivitas (Suharso, 2014:116-117).

Di sisi lain, kota memiliki kompleksitas kesulitannya sendiri sehingga tidak selalu

mendatangkan kepastian akan kehidupan yang lebih baik bagi para pelaku urbanisasi. Hal ini

dikarenakan kehidupan lebih baik yang dimaknai oleh para pelaku urbanisasi sebagai

kesejahteraan hanya terkait kekayaan semata tanpa memandang kesulitan di kota lebih jauh.

Kota terus-menerus dilanggengkan oleh urbanisasi sebagai stigma yang penuh dengan

kemajuan tanpa pernah memandang desa dalam kompleksitasnya sendiri (Purwanti,

2004:148). Desa selalu dipersepsikan dengan kemiskinan, kemunduran, dan kekurangan

sedangkan kota dipandang penuh kekayaan, kemajuan, dan kelebihan. Stigma atas struktur

yang sederhana inilah yang terus-menerus dihidupi tanpa pernah berusaha memandang kota

dan desa dari kompleksitasnya sendiri. Dengan kata lain, urbanisasi malah semakin

memperkuat ketimpangan desa dari kota (Purwanti, 2004:148). Ilusi peningkatan pendapatan

jauh lebih mudah diterima oleh individu daripada pemahaman tentang adanya berbagai

kesulitan yang lebih kompleks di kota.

Dari penjelasan di atas, sebuah pertanyaan muncul; mengapa individu tetap melakukan

urbanisasi meskipun pembangunan di desa terus meningkat saat ini? Artikel ini menjawab

(4)

4 motif non-ekonomi dalam kesejahteraan kultural dari urbanisasi yang dilakukan oleh individu.

Dua motif tersebut selanjutnya dianalisis melalui bagaimana konsep dan stigma atas kota

berkelindan dengan kesejahteraan dan pembangunan di desa. Masalah urbanisasi lalu

dipahami bukan hanya sekedar perpindahan manusia melainkan juga perpindahan nilai dari

sisi stigma atas desa dan kota itu sendiri.

Motif Ekonomi dalam Urbanisasi

Urbanisasi merupakan salah satu migrasi atau perpindahan penduduk dari suatu

tempat ke tempat lainnya melewati batas administrasi daerah asalnya. Urbanisasi menurut

Philip M Hauser diartikan sebagai pertambahan proporsi penduduk yang tinggal di daerah

kota sebagai akibat banyaknya penduduk yang datang dari luar kota (Nurwati, Setiawan dan

Suwartapraja, 2005). Menurut Tjiptoherijanto (Tjiptoherijanto dalam Nurwati, Setiawan dan

Suwartapraja, 2005), perpindahan penduduk dari desa menuju kota ini hanyalah salah satu

faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi. Dalam sudut pandang ekonomi-politik,

urbanisasi dilihat sebagai transformasi ekonomi dan sosial yang timbul sebagai akibat dari

pengembangan ekspansi kapitalisme (Drakakis dan Smith dalam Nurwati, Setiawan dan

Suwartapraja, 2005).

Tinggi rendahnya urbanisasi dalam suatu daerah, menurut berbagai studi yang

dilakukan para ahli, dipengaruhi oleh kemajuan tingkat ekonomi. Semakin tinggi perbedaan

ekonomi antara perkotaan dan perdesaan, maka kemungkinan perpindahan akan terus terjadi.

Menurut Oberai, di banyak negara Asia, kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih

besar menjadi pendorong penduduk untuk meninggalkan desa mereka (Oberai dalam Ubro,

Krisnata dan Nugroho, 2016). Hal ini ditegaskan oleh Mantra (Mantra dalam Ubro, Krisnata

dan Nugroho, 2016) bahwa terbatasnya pasar kerja dan fasilitas pendidikan menjadi kekuatan

sentrifugal sebagai pendorong seseorang meninggalkan daerah asal.

Kondisi kehidupan yang buruk terkait dengan fasilitas di daerah asal merupakan hal

yang tak bisa dihindarkan. Dalam hal ini, seseorang pasti akan melakukan migrasi ke tempat

yang lebih baik untuk mendapatkan kualitas ekonomi yang lebih baik pula. Oleh karena itu,

kemudian rumah tangga perdesaan memaksimalkan kesempatan mereka untuk bertahan hidup

dengan mengirimkan beberapa anggota keluarga untuk mencari sumber-sumber pendapatan

lain yang tidak mereka dapatkan di tempat tinggal mereka (Andresson dalam Beguy, et. al,

(5)

5 bahwa mobilitas ke perkotaan memiliki dua harapan yaitu memperoleh pekerjaan dan harapan

memperoleh penghasilan yang lebih tinggi daripada di perdesaan (Todaro dalam Haryono,

1999). Menurut Suntajaya (2014) beberapa faktor yang mempengaruhi perpindahan ke kota

yaitu faktor pendorong berupa terbatasnya lapangan pekerjaan di perdesaan, tingkat

penghasilan di desa yang relatif rendah dan kemiskinan di desa akibat pertumbuhan jumlah

penduduk. Sedangkan terdapat pula faktor penarik berupa kesempatan kerja yang lebih luas di

kota, tingkat upah yang lebih tinggi di kota dan ketersedian fasilitas penunjang yang lebih

mencukupi di kota.

Dalam hal ini, ketimpangan ekonomi yang terjadi antara kota dan desa merupakan

faktor yang menonjol secara ekonomi dalam urbanisasi. Kesempatan ekonomi yang lebih

besar di kota menjadi penyebab tenaga kerja dari desa mencari pekejaan di kota. Hal seperti

ini tidak bisa diabaikan dan juga ditolak begitu saja. Akibat dari pembangunan memang

menempatkan kota sebagai pusat dari segala kegiatan ekonomi. Oleh karena itu,

pembangunan di kota kemudian lebih diutamakan daripada di pedesaan. Hal inilah yang

menjadikan kota menjadi tujuan utama seseorang untuk mencari nasib yang lebih baik dalam

sektor ekonomi.

Tabel 1. Penduduk Indonesia tahun 2015-2019

Sumber: Razali Ritonga, 2016, www.bps.go.id

Bertambahnya penduduk kota, baik berasal dari migrasi maupaun kelahiran alami,

(6)

6 sampai dengan tahun 2019, proyeksi penduduk di perkotaan semakin meningkat. Sedangkan

di sisi lain, proyeksi penduduk di perdesaan semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa

urbanisasi akan terus terjadi. Sebagian besar masyarakat akan meninggalkan struktur mata

pencaharian mereka yang berbasis di perdesaan dan beralih ke mata pencaharian yang

berbasis di perkotaan. Bintarto (Bintarto dalam Ischak, 2001) menyatakan bahwa urbanisasi

dalam arti luas menyangkut proses sosio-ekonomis yang mempunyai banyak segi antara lain

perubahan sikap hidup, lapisan sosial baru, berubahnya mata pencaharian khususnya dari

pertanian ke industri atau sektor formal.

Dalam hal ini terlihat bahwa memang urbanisasi secara ekonomi telah menyebabkan

adanya perubahan sosial ekonomi. Masyarakat yang tinggal di pedesaan tidak lagi menjadikan

pertanian sebagai mata pecaharian utama. Mereka kemudian mengalihkan mata pencaharian

ke sektor industri dan formal lainnya. Adanya industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir

telah menjadikan magnet tersendiri bagi seseorang untuk masuk sebagai pekerja industri

(Ischak, 2001). Selain itu, berkembangnya alat transportasi juga menjadikan mobilisasi massa

menjadi semakin mudah. Hal ini pula yang mendorong seseorang untuk melakukan mobilisasi

ke kota, baik itu secara permanen maupun hanya sekedar bekerja secara temporer.

Proses urbanisasi yang dipengaruhi dari faktor pendorong dan penarik menunjukkan

bahwa urbanisasi akan terus terjadi. Hal ini karena tingkat pertumbuhan penduduk di

perkotaan akan mengakibatkan masyarakat mencari lahan untuk pemukinan dan tempat

industri baru sehingga kemudian akan terjadi konversi lahan di daerah sekitar perkotaan.

Konversi lahan ini secara langsung akan semakin memperkecil lahan pertanian. Lahan

pertanian yang kecil akan mendorong petani untuk mencari pekerjaan baru. Salah satu jalan

keluar dari hal tersebut tentu saja melakukan urbanisasi dengan mencari pekerjaan di sektor

industri dan formal lainnya. Proses mekanisasi sektor pertanian yang terjadi sejak era 1980-an

juga menjadi penyebab kaum muda dan para sarjana, enggan menggeluti sektor pertanian atau

kembali ke daerah asal mereka (Harahap, 2013).

Industri dan tingkat ekonomi perkotaan yang lebih baik sebagai penarik urbanisasi ini

dapat dilihat dari pentumbuhan penduduk di kota penyangga Jakarta seperti Bekasi, Bogor

dan Depok. Dalam tabel di bawah terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk yang memiliki

tingkat pertumbuhan paling tinggi yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Bekasi dan

Bogor. Keempat kota ini merupakan bagian dari megapolitan Jabodetabek yang merupakan

(7)

7 telah mengakibatkan masyarakat memilih kota-kota sekitarnya sebagai tempat tinggal.

Ekspansi industri di kota-kota tersebut juga mengakibatkan jumlah penduduk yang

meningkat. Ernan Rustiadi (2016) mencatat bahwa fenomena diatas sebagai fenomena

suburbanisasi Jakarta dimana terdapat keterkaitan antara proses migrasi, pertumbuhan

ekonomi dan konversi lahan. Fenomena ini menghasilkan masyarakat pelaju dimana sebagian

besar mereka tinggal di luar kota Jakarta sedangkan setiap hari mereka masih bekerja di

Jakarta.

Tabel 2

Laju Pertumbuhan Penduduk di Jawa Barat

Kota 2012 2012

Bogor 2,72 4,25

Bekasi 4,07 7,73

Kota Depok 3,74 6,88

Kota Bekasi 3,01 4,99

Bandung 2,22 2,97

Sumber: Diolah dari http://jabar.bps.go.id/linkTabelStatis/print/id/81

Fenomena konversi lahan tersebut juga sejalan dengan tulisan Luh Kitty Katherina

terkait pertumbuhan indutri sepanjang koridor Surabaya-Sidoarjo dan Surabaya-Gresik yang

mengakibatkan kebutuhan lahan di pusat kota tidak mencukupi sehingga terjadi ekspansi

lahan di daerah pinggiran yang mengakibatkan adanya alih fungsi lahan di daerah pinggiran

(Katherina, 2014). Katherina juga mencatat bahwa pertumbuhan penduduk di daerah sekitar

Kota Surabaya semakin tinggi seperti Gresik dengan 6,3 %, Bangkalan sebesar 7,04%,

Sidoarjo sebesar 4,71%, dan Mojokerto sebesar 3,60% (Katherina, 2014). Dengan demikian,

aktivitas perkotaan disebut telah melebar melewati batas administrasi kota dan menyatu

dengan wilayah di sekitar kota.

Sedangkan dalam lingkup yang lebih luas, Felicia P. Adam (2010) menyatakan bahwa

tingkat urbanisasi menurut provinsi dari tahun 2000 hingga 2025 yang dihitung oleh BPS

mencapai 68 persen pada tahun 2025. Untuk Sumatera yaitu Riau sebesar 71,1 persen, di Jawa

yaitu Jakarta sebesar 100 persen, Jawa Barat sebesar 81,4 persen, Jawa Tengah sebesar 73,8

(8)

8 persen, Bali sebesar 81,5 persen, dan Kalimantan Timur sebesar 75,9 persen. Tingginya angka

urbanisasi di Jawa-Bali ini menunjukkan bahwa asumsi masyarakat bahwa Jawa-Bali

merupakan pusat ekonomi masih terjadi. Pertumbuhan ekonomi masih terkonsentrasi di

daerah Jawa-Bali sedangkan daerah pertumbuhan ekonomi baru di wilayah lain belum

dimaksimalkan dengan baik.

Dari hal diatas terlihat bahwa tren urbanisasi semakin meningkat mengikuti

pertumbuhan ekonomi. Daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi

cenderung mengalami tingkat urbanisasi yang tinggi pula. Umumnya urbanisasi terjadi lebih

tinggi pada wilayah dengan struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor sekunder dan

tersier (Luh Kitty Katherina, 2014). Kondisi ekonomi tidak bisa dipungkiri merupakan salah

satu faktor utama pendorong dan penarik urbanisasi. Perbedaan tingkat ekonomi dan

ketidakmerataan fasilitas dari pembangunan antara perdesaan dan perkotaan juga menjadi

salah satu pendorong urbanisasi. Pelaku urbanisasi terdorong untuk mencari pekerjaan yang

dirasa lebih baik dalam hal tingkat pendapatan dan fasilitas yang didapat.

Kondisi ini tidak pernah bisa dicegah karena memiliki sisi positif dan juga negatif.

Selain karena hal tersebut adalah hak setiap individu, urbanisasi juga mengakibatkan struktur

ekonomi yang semakin variatif. Sektor ekonomi berkembang dan semakin terdiferensiasi

dengan semakin banyaknya bidang usaha. Di sisi lain, perkembangan ini juga membutuhkan

lahan yang luas sehingga konversi lahan akan terus terjadi. Di samping itu, bukan tidak

mungkin struktur ekonomi di perdesaan lambat laun akan mengalami perubahan. Para pekerja

produktif tidak lagi bekerja di desa dan beorientasi perdesaan, melainkan memilih untuk

bekerja di kota. Meskipun demikian, urbanisasi harus tetap dikendalikan agar akibat positif

dari urbanisasi lebih terasa daripada dampak negatifnya.

Komplikasi Urbanisasi: Perebutan Ruang, Pola Konsumsi, dan Stigmatisasi Kota Faktor pemicu urbanisasi pada dasarnya adalah faktor ekonomi, yakni dipandang

sebagai penentu kesejahteraan yang lebih baik. Pandangan bahwa dengan melakukan

urbanisasi dapat lebih menyejahterakan sudah lama diterima sebagai pandangan yang umum.

Seolah-olah, ada jaminan bahwa kota memberikan kesuksesan bagi pelaku urbanisasi, dan

desa hanya menawarkan stagnasi. Padahal seperti yang telah banyak disajikan di media, Kota

seringkali merupakan tempat yang kurang bersahabat bagi rakyat kecil. Pemerintah di kota

(9)

pendatang-9 pendatang pelaku urbanisasi ini. Permasalahan urbanisasi sesungguhnya sangat kompleks dan

dapat dianalisis dalam berbagai sudut pandang.

Kota sebagai pusat perekenomian merupakan sumber komplikasi permasalahan

urbanisasi. Di satu sisi, kota merupakan daya tarik bagi perekonomian; bermacam-macam

jenis lapangan kerja, perputaran uang yang masif, peluang usaha, dan lain sebagainya. Di sisi

yang lain, kota dianggap telah terlalu padat populasinya sehingga pendatang dianggap

semakin memperparah komplikasi kota (kekumuhan, kemacetan, hingga ketidakteraturan

infrastruktur).

Kota selama ini selalu menjadi tujuan hidup masyarakat desa yang mendambakan

kemajuan. Namun dalam iklim neoliberalisme saat ini, kapitalisme telah membuat keberadaan

kota menjadi bermasalah bagi masyakarat kecil kota maupun masyarakat desa yang

berkeinginan mencari nafkah di kota. Kota adalah ruang (space) yang diperebutkan oleh

pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kaitannya dengan relasi kuasa, ruang pada akhirnya

akan selalu disesuaikan menurut kepentingan kapital untuk menjamin berlangsungnya

aktivitas produksi. Dalam hubungan antara ruang dan masyarakat kapitalistik inilah mentalitas

penghuni kota diatur sebagai penggerak perekenomian bagi pemilik modal.

Henry Lefebvre (2000: 28) menyatakan bahwa ruang sosial mewujudkan kehendak

manusia untuk memamerkan dirinya. Ruang dianggap sama dengan komoditas dan memiliki

nilai. Kota sebagai ruang sosial yang didominasi kapital juga memiliki fungsi tersebut,

ditunjukkan dengan upaya penguasaan ruang-ruang kota; sertifikasi lahan, penggusuran, dan

komersialisasi lahan tersebut dalam berbagai bentuk; pembangunan pusat perbelanjaan,

pembangunan jalan, pusat bisnis, perumahan mewah dan lain sebagainya. Kota sengaja untuk

dibangun untuk memamerkan kemajuan dan dengannya berusaha menunjukkan diri sejajar

dengan negara-negara maju di dunia. Penguasaan ruang sosial oleh kapital tersebut membuat

posisi penduduk miskin kota menjadi semakin rentan terhadap kriminalisasi dan kembali

terpinggirkan dalam kontestasi penguasaan kota (Brenner & Theodore, 2002). Sebagian

masyarakat miskin kota pada dasarnya dapat melakukan aktivitas produksi dan berkonsumsi

setiap harinya, namun untuk memiliki tempat tinggal yang menetap dan layak adalah sesuatu

yang berbeda. Dengan pola konsumsi khas kota, pendapatan yang diperoleh pada akhirnya

lebih besar dari konsumsi di desa. Memiliki tempat tinggal sendiri secara legal membutuhkan

(10)

10 Melihat kondisi kemiskinan tersebut, dapat dikatakan posisi penduduk desa yang ingin

beralih ke kota juga sama rentan dengan masyarakat miskin kota. Tata kelola Kota oleh

Pemerintah Kota atau Pemerintah Daerah tentu adalah penerjemahan dari ide ini, sehingga

memiliki potensi semakin meminggirkan masyarakat miskin kota. Semakin terpinggirkannya

masyarakat miskin kota seharusnya menjadi bahan pertimbangan lebih bagi masyarakat desa

yang hendak berurbanisasi. Untuk itu, masyarakat desa harus memiliki pengetahuan dan

dengannya memiliki kekuatan untuk merebut peluang-peluang ekonomis yang selama ini

hanya didominasi oleh kota. Tulisan ini bermaksud mengusulkan penguatan desa sebagai

pilihan alternatif pergi kota untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Penduduk desa

harus mampu untuk lebih produktif dalam sektor produksinya tidak sekedar sebagai

penyokong kehidupan kota namun juga dapat membangun ekonomi secara berdikari.

Secara sederhana, dapat ditemukan bahwa perpindahan masyarakat dari desa ke kota

disebabkan oleh ketiadaan lapangan kerja di desa, yang cukup untuk membuat semua warga

desa mendapatkan pekerjaan. Industrialisasi besar-besaran di Indonesia, yang terpusat di

kota-kota membuat desa hanya berfungsi sebagai penunjang kehidupan kota-kota saja, misalnya

mendukung kota dalam hal pangan karena ternak dan sawah kebanyakan berada di desa,

bukan di kota. Populasi desa terus tumbuh namun desa itu sendiri tidak mampu untuk

memberikan kerja pada masyarakatnya. Di sisi lain, Kota dengan perputaran uang yang jauh

lebih besar menjadi daya tarik bagi masyarakat desa. Kota selalu identik dengan kesempatan

untuk lebih makmur dan gaya hidup yang lebih mewah.

Gaya hidup masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh pola konsumsi. Warga desa yang

telah hidup di kota untuk mencari nafkah harus menyesuaikan perbedaan pola konsumsi ini.

Gaya hidup di kota, misalkan, mengkondisikan seseorang untuk mempunyai kendaraan

pribadi untuk mendukung mobilitas dalam bekerja. Pola konsumsi tidak hanya merupakan

tuntutan kenyamanan hidup di kota saja secara pribadi. Pola konsumsi juga ditentukan oleh

keinginan seseorang untuk diterima di komunitas yang lebih besar. Contohnya, kota

mengkondisikan seseorang untuk memiliki smartphone dengan kualitas tertentu, agar dapat

diterima oleh komunitas pengguna moda komunikasi tercanggih. Atau di lain kasus, harus

ikut berkonsumsi di kafe/restoran tertentu untuk dapat berinteraksi dengan komunitas

pergaulan tertentu. Perubahan pola konsumsi ini mau tidak mau dilakukan oleh masyarakat

(11)

11 Perubahan pola konsumsi ini nyatanya terjadi walau pendapatan yang diperoleh tidak

naik secara signifikan. Pola konsumsi masyarakat kota tidak selalu berbanding lurus dengan

pendapatan yang diterima. Namun perubahan pola konsumsi yang juga turut mengubah gaya

hidup dipandang sebagai penanda kesuksesan bagi masyarakat desa. Pola konsumsi ini

ditularkan ke desa dalam berbagai cara. Hari Raya Idul Fitri, contohnya, merupakan salah satu

kesempatan bagi masyarakat desa yang bekerja di kota untuk pulang dan kembali berinteraksi

dengan desa. Dalam kesempatan ini gaya hidup perkotaan terbawa ke desa dan

diinterpretasikan oleh masyarakat desa sebagai penanda kemajuan. Hal ini kemudian

merangsang warga desa lainnya (yang masih bertahan di desa) untuk pergi mencari nafkah di

kota.

Usaha untuk mencari kesejahteraan yang lebih baik di kota adalah hak semua lapisan

masyarakat. Namun di sisi lain, perpindahan masyarakat desa ke kota juga memberikan

dampak negatif. Semakin lesu dan sulit berkembangnya perekonomian desa adalah sedikit

dari dampak tersebut. Berubahnya pola konsumsi juga membuat desa lebih berperan menjadi

konsumen dari komoditas-komoditas yang diciptakan dari kota, daripada berproduksi secara

mandiri. Pola konsumsi yang perlahan-lahan sama dengan pola konsumsi kota juga mengikis

kearifan lokal dan pola-pola tradisional yang muncul dari pertanian.Terkikisnya kearifan lokal

berarti semakin tereksklusinya komunitas kultural desa untuk dalam interaksi ekonomi.

Kehendak untuk memamerkan diri yang dimungkinkan melalui ruang sosial akhirnya juga

diadopsi di desa sebagai perluasan artikulasi produksi kapitalis. Dalam perebutan ruang sosial,

kapitalisme akan selalu berusaha menjangkau dan menguasai desa. Untuk dapat selalu

berjalan, kapitalisme membutuhkan perluasan pasar, jangkauan bahan mentah yang lebih

mudah, tenaga kerja murah, dan lokasi yang efektif dan efisien untuk melakukan produksi

(Harvey, 1989).

Kontestasi perebutan ruang sosial juga dilakukan dengan menguasai wacana dan

pengetahuan mengenai pemaknaan dan pemanfaatan ruang (Lefebvre, 2000). Wacana

mengenai kota sebagai fasilitator pola konsumsi, gaya hidup, dan penanda kemajuan,

mengharuskan kota tampil teratur, bebas dari kekumuhan, dan tanda-tanda kemiskinan.

Pandangan ini direproduksi terus-menerus baik oleh media maupun kebijakan pemerintah.

Wacana keteraturan kota ini pada akhirnya menjadi wacana yang ideal mengenai kota, baik

bagi yang kaya maupun miskin. Bagi yang kaya, keteraturan kota adalah keharusan demi

(12)

12 ingin dituju. Yang sering terjadi, alih-alih memberikan fasilitas bagi yang miskin untuk dapat

hidup dengan layak, Pemerintah Daerah cenderung "membersihkan" kemiskinan melalui

penggusuran atau bahkan kriminalisasi.

Penguasaan wacana kota sebagai simbol kemajuan ini turut memungkinkan stigmatisasi

bagi masyarakat desa untuk terus datang dan bermatapencaharian di kota, walaupun desa

sudah mengalami pembangunan infrastruktur yang memadai. Upaya untuk menekan

stigmatisasi ini harus dilakukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur di desa.

Urbanisasi: Antara Konsep dan Stigma

Lebih dari sekedar definisi, masalah urbanisasi di Indonesia sesungguhnya dihidupi

oleh stigma individu dan pemerintah terhadap desa dan kota. Terhadap desa, individu sebagai

penduduk asli daerah tersebut memandang desa sebagai sebuah kecukupan bahkan sebuah

kekurangan dari sisi pendapatan. Urbanisasi yang awalnya berpengaruh pada proses produksi

nyatanya juga bersinggungan dengan proses konsumsi di kota. Desa mungkin saja

mengandung berbagai potensi namun hal itu tidak cukup membentuk individu untuk maju dan

modern. Aspek inilah yang membentuk stigma untuk menetap di kota dan tidak kembali ke

desa atau dengan lain membentuk perspektif pedesaan menjadi perkotaan (Harahap, 2013:12).

Terhadap kota, daerah ini dipandang dalam segala kemajuan dan keberlimpahan fasilitasnya

sehingga memampukan individu untuk terus berkembang meraih pendapatan yang lebih demi

kesejahteraan yang lebih baik. Kota adalah tempat bagi segala kemampuan untuk bertaruh

sekaligus berkompetisi demi kehidupan yang lebih baik (Harahap, 2013:36). Kota seringkali

dimaknai sebagai "tempat mengadu nasib" dibandingkan dengan desa yang dimaknai sebagai

"tempat menerima nasib". Stigma tentang kota tidak tumbuh dengan sendirinya namun

dibangun dengan perbandingan atas desa melalui proses urbanisasi.

Dari sisi individu, pelaku urbanisasi mengabaikan hingga tidak sama sekali menyadari

adanya stigma tersebut di atas. Individu cenderung hanya melihat motif ekonomi untuk

mewujudkan keinginan berpendapatan besar di kota daripada mempertimbangkan kesulitan

maupun ketidaknyamanan yang mungkin muncul (Harahap, 2013:3). Anggapan bahwa

memiliki gaji tinggi akan selalu sejahtera juga menjadi stigma yang terus dihidupi dalam

konteks urban. Makin seseorang berpendapatan tinggi, makin ia mampu membeli lebih

banyak fasilitas maka makin sejahtera pula. Tiap kesulitan yang ada di kota besar dianggap

(13)

13 penting bagi para urban untuk mendapatkan keuntungan sebagai cermin dari stigma

kesejahteraan.

Jika konsep urbanisasi masih menunjukkan dirinya sebagai sebuah pilihan untuk ke

kota, stigma urbanisasi memandang perspektif ekonomi sebagai kebutuhan yang harus

dipenuhi. Urbanisasi yang bertujuan untuk peningkatan taraf kehidupan yang bernilai

kompleks bergeser menjadi sekedar peningkatan jumlah pendapatan. Urbanisasi juga telah

bergeser dari sekedar perpindahan menjadi perubahan yang lebih kompleks (Harahap,

2013:37). Demikian pula kesejahteraan hanya dipandang dalam perkara pendapatan dalam

proses urbanisasi. Demi peningkatan pendapatan tersebut, perpindahan ke kota menjadi

stigma utama yang tercermin dalam urbanisasi. Stigma urbanisasi dapat dibongkar dari logika

di atas bahwa tujuan urbanisasi demi kenaikan pendapatan nyatanya tidak selalu sejalan

dengan peningkatan kesejahteraan maupun taraf hidup. Dengan demikian, peningkatan

kesejahteraan maupun taraf hidup tidak harus dilakukan dengan urbanisasi karena

kesejahteraan dan taraf hidup tidak hanya diukur dari masalah pendapatan ekonomi saja

namun juga perkara sosio-kultural di masyarakat.

Dari sisi pemerintah yang selalu berpusat di kota, desa tentu dipandang sebagai yang

nomor dua sebagai objek pembangunan dan sumber eksploitasi dalam keberlimpahan sumber

daya alam dan manusia. Desa makin dibentuk seperti kota dengan ukuran modernitas dengan

segala fasilitasnya. Stigma inilah yang mendorong urbanisasi untuk terus berlangsung bahkan

dilanggengkan oleh pembangunan berkelanjutan global. Kota pun selalu menganggap dirinya

lebih baik dari desa dalam perspektif urban padahal eksistensinya pun dipengaruhi oleh desa

itu sendiri. Pembangunan di desa selalu merujuk pada ide ekonomi yang mengarah ke

kemajuan individu daripada sosio-kultural yang penuh dengan kekerabatan dan kebersamaan.

Sisi ekonomi inilah yang memandang kenaikan pendapatan sejajar dengan peningkatan

kesejahteraan. Layaknya sebuah stereotipe yang hanya melihat dari satu perspektif namun

dipandang sama untuk semua hal, stigma dalam urbanisasi tentang desa dan kota mengukur

kesejahteraan hanya dari sisi kenaikan pendapatan semata. Kenaikan pendapatan memang

dapat meningkatkan daya beli namun hal itu nyatanya juga harus dibarengi berbagai kesulitan

di kota. Kesulitan tersebut mulai dari banyaknya kriminalitas di kota, maraknya kemacetan

jalan raya, sulitnya mencari tempat tinggal, hingga tingginya biaya hidup di daerah ini.

Berbagai aspek tersebut adalah aspek kultural dari kota daripada sekedar masalah

(14)

14 desa yang tertinggal dan kota yang maju maupun urbanisasi sebagai proses diantaranya. Sisi

yang cenderung kontradiktif tersebut lalu makin melanggengkan urbanisasi daripada

mendorong individu untuk kembali ke desa. Hal ini dikarenakan kota selalu menjadi patokan

utama bagi individu dan pemerintah baik dalam ukuran pembangunan hingga kesejahteraan.

Stigma di atas juga terbentuk melalui adanya kehidupan urban yang diukur dari sisi

kota daripada desa. Kota pun dipandang sebagai hasil maupun simbol modernitas sehingga

masalah urban adalah tentang kota itu sendiri (Barker, 2014:296). Dalam perkembangan ilmu

sosial hingga studi kultural saat ini, urbanisasi pun selalu dipandang sebagai sebuah

ambiguitas daripada suatu proses yang menghasilkan kepastian tertentu. Emile Durkheim

misalnya menyatakan bahwa urbanisasi mendorong kreativitas dan kemajuan dalam perkara

moral namun hal itu sekaligus mendorong adanya anomie atau ketidaksalingtahuan tiap

entitasnya (Durkheim dalam Barker, 2014:296). Masyarakat yang awalnya memahami

kekerabatan dalam keselarasan yang interaktif makin terdorong ke arah kehidupan urban yang

menjunjung tinggi individualisme saat ini. Demikian pula Karl Marx yang melihat masalah

urban adalah tentang lompatan besar produktivitas oleh kapitalisme namun sekaligus

membawa kemiskinan, ketidakpedulian, dan kemerosotan moral ikut serta dalam lajur

modernitas (Marx dalam Barker, 2014:296). Peningkatan ekonomi yang dijanjikan oleh

kehidupan urban rupanya tidak diikuti pula oleh kemajuan moral sehingga kepemilikan lebih

dominan daripada praktek etis pada aspek ini.

Menariknya, kehidupan urban menjadi suatu suguhan utama dalam masyarakat di

masa ini. Pemerintah makin membangun kota dengan bekerjasama dengan para pebisnis.

Keuntungan melalui peningkatan pendapatan pajak ke pemerintah masih menjadi ukuran

utama pada kehidupan saat ini padahal di dalamnya ada monopoli upah tenaga kerja,

penyingkiran serikat pekerja, hingga ketimpangan pendapatan yang kaya dan yang miskin.

Sisi ini pula yang terus dihidupi oleh individu pelaku kehidupan urban. Kehidupan urban

dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang harus dijalani meskipun kesulitan terus

bertambah di kota. Menjadi berkembang dan maju harus terus dilakukan dengan pergi ke kota

tanpa ada pilihan lain. Sejauh tiap tindakan dilakukan untuk menjadi makin modern, individu

dalam kehidupan urban akan melakukan apapun untuk itu bahkan jika harus bermain-main

dengan identitasnya (Barker, 2014:296). Stigma atas kemajuan, modernitas, dan kota

mendorong individu untuk bergerak dengan identitas yang mungkin berbeda dari pemahaman

(15)

15 selalu diraih meskipun individu harus menjadi penjahat, pengemis, bahkan pramuria

sekalipun. Kehidupan di desa dengan segala identitasnya yang mengikat harus mereka

lepaskan demi kebebasan yang ingin diraih di kota. Individu urban ingin dilihat berbeda dari

kondisinya di desa sebelumnya meskipun ia harus menghidupi stigma yang sesungguhnya

sangat ambivalen.

Cara untuk mengikis stigma di atas dapat dilakukan dengan membangun daerah sesuai

dengan esensinya. Pertama, daerah perlu membentuk standar pendidikan yang sesuai dengan

kebutuhannya sendiri. Daerah perlu untuk melihat kota sebagai standar yang baik namun tidak

selalu emnjadikannya patokan utama. Pendidikan harus dipahami sebagai pembentukan

karakter daripada sekedar masalah nilai angka atau bertujuan pada kemajuan semata. Sebagai

contoh, jauh lebih baik untuk membentuk musyawarah guru daerah untuk membentuk

kurikulum yang sesuai bagi para murid sebagai bentuk pemberdayaan mental. Selain itu, jauh

lebih baik pula untuk mengundang dosen dari luar daerah untuk datang ke daerah daripada

mendorong individu untuk belajar ke luar daerah tersebut. Daerah perlu memperkaya diri

melalui nilai yang ditanamkan dan dihidupi oleh pendidikan bagi tiap individu. Kedua, daerah

perlu memahami potensinya sendiri sehingga pemberdayaan lokal dapat lebih sesuai daripada

menjadikan kota modern sebagai ukuran utama. Individu perlu dibentuk untuk tidak selalu

mengutamakan pendapatan yang tinggi karena kesejahteraan sesungguhnya jauh lebih

kompleks dari hal tersebut. Aspek sosio-kultural dari daerah dapat pula menjadi modal utama

untuk berkembang daripada harus selalu mengadu nasib ke kota besar.

Ketiga, daerah perlu memahami pusat-pusat bisnis di wilayahnya. Jika kota

memusatkan pusat bisnisnya pada Central Business District (CBD), daerah memiliki beragam

pusat bisnis mulai dari pasar, toko-toko kecil, hingga industri rumahan. Memahami

keberagaman potensi semacam ini dapat mendorong individu untuk menghidupi dan

mengembangkan akar yang sudah ada. Koperasi pun dapat dibangun sebagai wadah

komunikasi dan bisnis sehingga pemberdayaan wilayah sendiri akan lebih mudah tercapai.

Keempat, para sarjana pendidikan tinggi harus berani kembali ke daerahnya masing-masing.

Hal ini dapat dilakukan melalui penyuluhan, pembinaan, hingga meninggalkan kota dan

kembali ke daerahnya. Pendampingan perlu didorong bagi daerah bukan untuk mendorong

desa menjadi sama dengan kota melainkan memberi pemahaman tentang kesejahteraan lebih

luas. Menjadi sejahtera tidak harus bekerja dalam kantor di kota besar karena menjadi petani

(16)

16 Selanjutnya, memperluas perspektif individu tentang desa dan kota perlu dilakukan

untuk mengikis stigma di atas. Hal ini dikarenakan individu terlihat tidak memiliki pilihan

selain pergi ke kota dan membentuk dirinya sebagai manusia urban. Individu terkesan hanya

hidup dalam sebuah sistem yang mengekangnya padahal sistem itu pun dapat

memampukannya pada sisi lain (Smith dan Riley, 2009:136). Perluasan perspektif ini dapat

didorong melalui pemahaman tentang kehidupan sehari-hari terutama tentang bagaimana

individu tidak harus selalu mengangguk pada struktur urban saat ini. Kehidupan di desa pun

juga penuh makna dalam segala rutinitas dan kemajuannya sendiri tanpa perlu melompat ke

kota yang belum jelas bentuknya. Para pelaku urban perlu memandang desa secara lebih luas

bukan sebagai tempat kemiskinan dan kemunduran melainkan sebagai ruang praktis identitas

yang kaya dan bermakna. Hal ini dikarenakan individu bukan hanya sekedar objek yang patuh

pada strategi sistem melainkan juga subjek yang mampu melakukan resistensi (de Certeau

dalam Barker, 2014:69).

Bagi pemerintah, pembangunan di desa harus dipandang dalam dirinya sendiri dengan

memperkuat relasi di antara kelompok masyarakat daripada sekedar menonjolkan kemampuan

individu. Seringkali mudik yang dilakukan pelaku urbanisasi hanya membangun desa sesaat

saja sebelum perpindahan itu kembali dilakukan. Sistem perlu pula memampukan individu

untuk memilih daripada sekedar mematuhi tren urban saat ini. Memaksimalkan potensi desa

sangat diperlukan melalui pemberdayaan dan peningkatan pemahaman tentang wilayahnya

sendiri daripada hanya berpatokan pada kemajuan di kota. Desa bukanlah sisi kuno dan

miskin dari peradaban melainkan penuh dengan pemahaman kultural dalam kehidupan

sehari-hari. Dari sisi kota, pemerintah harus berani meningkatkan pemerataan di desa daripada

melakukan pemusatan sekaligus di kota. Kota tidak bisa dijadikan patokan utama

pembangunan karena stereotipe malah akan menghilangkan keunikan desa daripada

menghidupinya. Harapan hidup di kota yang tinggi pun seringkali tidak sejajar dengan biaya

hidupnya sehingga menghidupi desa jauh lebih memungkinkan daripada berjejalan di dalam

kota. Jika kota dipandang sebagai yang instan dan penuh kesempatan untuk peningkatan

pendapatan, desa jauh lebih kompleks dengan budayanya kecukupannya. Menghidupi desa

mungkin saja tidak mengindikasikan peningkatan pendapatan yang drastis namun aspek

kecukupan, kesederhanaan, dan kebersamaan di desa sangat mampu memanusiakan manusia

(17)

17 Kesimpulan

Urbanisasi tetap dilakukan oleh individu meskipun desa terus dibangun

infrastrukturnya. Persepsi ini terus ada bukan hanya karena kehendak individu untuk

melakukan urbanisasi melainkan juga karena ada stigma atas kota. Stigma tentang kota adalah

tentang kemajuan dan keberlimpahan fasilitas. Sisi ini terlalu dipandang dari perspektif

ekonomi daripada kultural oleh pelaku urbanisasi. Sebagai akibatnya, pelaku urbanisasi

melihat proses perpindahan dari desa ke kota hanya dari perspektif pendapatan saja tanpa

mempertimbangkan kesulitan yang ada di kota. Konsep bahwa urbanisasi ditujukan untuk

peningkatan taraf kehidupan hanya diartikan dari kenaikan pendapatan semata. Stigma

semacam ini membentuk individu untuk pergi ke kota dan menjadikan kota sebagai patokan

utama kemajuan. Desa pun makin dibangun seperti kota daripada esensi desa yang penuh

keberagaman dan kebersamaan. Hal ini pun makin diperparah dengan stigma bahwa kenaikan

pendapatan disejajarkan dengan peningkatan kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan yang

sesungguhnya bermakna sama dengan peningkatan taraf kehidupan dipersempit oleh stigma

urbanisasi menjadi hanya masalah pendapatan secara ekonomi saja. Dengan demikian,

urbanisasi tidak lagi hanya berkutat pada masalah perpindahan saja, namun juga stigma

tentang kota itu sendiri.

Kabupaten/Kota 2005-2013. http://jabar.bps.go.id/linkTabelStatis/print/id/81 diakses

pada 18 September 2016.

Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya (trans.). Yogyakarta:Kanisius.

Brenner, Neil dan Nick. 2002. Theodore Spaces of Neoliberalism Urban Restructuring in

North America and Western Europe. Oxford: Blackwell Publishing.

Harahap, Fitri, R. Dampak Urbanisasi bagi Perkembangan Kota di Indonesia. Jurnal Society Volume 1 Nomor Juni 2013.

Harvey, David. 1989. The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of

Cultural Change, Cambridge and Oxford: Blackwell Publishers.

Haryono, Tri, Joko, S.1999. Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah

Asal.Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,Oktober 1999, hal. 67-78.

Ischak. 2001. Urbanisasi dan Dampaknya Terhadap Lingkungan. Jurnal Humaniora Volume XIII, 3/2001.

(18)

18 Katherina, Luh, Kitty, 2014. Fenomena Urbanisasi pada Kota Menengah di Indonesia.

http://kependudukan.lipi.go.id/id/kajian-kependudukan/desa-kota/156-fenomena-urbanisasi-pada-kota-menengah-di-indonesia diakses pada 25 September 2016. Lefebvre, Henri. 2000. The Production of Space. New York:Georgetown University Press. Nurwati, Nunug. Setiawan Nugraha. Suwartapradja, Opan S. 2005. Kajian Pola Penyusunan

Penanganan dan Pengendailan Urbanisasi. Bandung: Divisi Informasi dan Publikasi,

Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.

Purwanti, SW. 2004. "Isu dan Masalah Mobilitas Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia". Majalah Ilmiah Dinamika, Vol. 20, No. 2.

Ritonga, Rizal. 2016. Kebutuhan Data Ketenagakerjaan untuk Pembangunan Berkelanjutan.

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_346599.pdf diakses pada 9 September 2016.

Rustiadi, Ernan. 2016. Suburbanisasi Kota Jakarta.

https://www.researchgate.net/profile/Ernan_Rustiadi/publication/265011831_SUBURB ANISASI_KOTA_JAKARTA/links/5633362708ae5848780a60f9.pdf?origin=publicatio n_detail diakses pada 9 September 2016.

Smith, Philip dan Alexander Riley. 2004. Cultural Theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing.

Suharso, Yohanes. 2014. "Proses dan Dampak Urbanisasi". Majalah Ilmiah Pawiyatan. Vol. XXI, No. 2.

Suntajaya, I, Gede, Ketut. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Urbanisasi

di Provinsi Bali. Piramida volume X No. 2 : 60-71 Desember 2014.

Gambar

Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan model pembelajaran Direct Instruction berbantuan aplikasi presentasi pada materi perangkat keras

3 Tiga tahun terakhir, Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar telah mengupayakan pengadaan insentif bagi bidan desa untuk kegiatan mendeteksi seluruh ibu hamil berisiko

Penelitian ini dimulai dengan mencari nilai Hue dan Saturation pada citra HSV dan menentukan range nilai kulit manusia yang dapat dibedakan juga dengan objek yang memiliki

Untuk mendapatkan izin edar produk obat jadi yang mengandung prekursor, PT Bayer Indonesia Cimanggis plant harus terdaftar pada Badan Pengawas Obat dan makanan

Analisis Kualitas Pelayanan dan Harga serta Pengaruhnya terhadap Loyalitas Akseptor IUD dengan Kepuasan sebagai Variabel Intervening.. Azan Putra., Sefnedi,

Menurut Ibnu Qayyim (1983), cinta atau al-mahabbah itu mempunyai beberapa peringkat-peringkat yang tertentu. Tahap paling awal disebut al- Alaqah kemudian al-Sababah,

Hal ini didukung oleh Guniarti (2014) yang menunjukkan leverage berpengaruh positif terhadap aktivitas hedging, sedangkan Ahmad dan Haris (2012) menunjukkan leverage