1
2Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
(rommelpasopati@yahoo.com)
3Tenaga Ahli Anggota DPR RI Periode 2014-2019
(uddin.syarifuddin@gmail.com)
Abstrak Pada masa ini, urbanisasi masih menjadi pilihan individu untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Di sisi lain, pemerintah membangun perluasan akses dan infrastruktur desa melalui PNPM Mandiri hingga UU Desa supaya fasilitas desa makin memadai. Namun pada kenyataannya, kota masih menjadi ukuran utama kesejahteraan terutama ketika ukuran pengembangan diri dicapai dengan berpindah ke tempat yang dianggap lebih baik. Pandangan ini tidak selalu benar karena seringkali kemudahan yang diharapkan di kota malah membuahkan kesulitan yang lain. Kesejahteraan dicapai dengan segala cara tanpa memperhitungkan kemampuan diri. Dari latar belakang tersebut, sebuah pertanyaan muncul; mengapa individu tetap melakukan urbanisasi meskipun pembangunan di desa makin meningkat dewasa ini? Pertanyaan tersebut dibahas secara kualitatif dalam analisis motif ekonomi maupun non-ekonomi dari urbanisasi. Pada motif ekonomi, penulis membahas keuntungan, kebaikan, maupun kenikmatan yang ingin diraih: harapan pendapatan yang lebih tinggi, fasilitas dan akses yang melimpah, dan kesejahteraan yang lebih baik adalah yang utama bagi pelaku urbanisasi. Sementara itu, asumsi terhadap minimnya kesempatan untuk mengembangkan diri di desa maupun melimpahnya fasilitas di kota adalah alasan mengapa urbanisasi masih diminati dewasa ini. Infrastruktur yang dibangun untuk memajukan dan menyejahterakan desa, nyatanya malah mempermudah laju perpindahan dari desa ke kota. Pada motif non-ekonomi, sisi sosial-kultural lebih membahas kondisi pelaku urbanisasi daripada sekedar masalah keuntungan. Meskipun motif ekonomi dan non-ekonomi nyatanya berkelindan, urbanisasi tidak dapat dilepaskan dari stigma kota yang dianggap serba baik dan sejahtera. Stigma itulah yang membentuk kota sebagai narasi keberlimpahan fasilitas yang dipandang sejalan dengan kesejahteraan. Dalam kesimpulan, tindakan urbanisasi bertujuan meningkatkan taraf kehidupan melalui kenaikan pendapatan individu. Motif tersebut didorong oleh stigma bahwa mengembangkan diri harus pergi ke kota. Pandangan tersebut tidak selalu demikian karena kemudahan di kota selalu relatif sehingga kenaikan pendapatan bukan berarti peningkatan kesejahteraan pula. Maka, kenaikan pendapatan dari urbanisasi pun tidak sekaligus meningkatan taraf kehidupan.
2 ... yang muda lari ke kota, berharap tanahnya mulia,
kosong di depan mata, banyak asap di sana, menanam tak bisa, menangis pun sama, gantung cita-cita di tepian kota ... (Efek Rumah Kaca-Banyak Asap di Sana)
Pendahuluan
Urbanisasi pada dasarnya adalah perpindahan manusia dari desa ke kota. Hal ini
adalah proses dalam pilihan individu untuk merealisasikan kehidupan yang lebih baik (Ischak,
2001:275). Proses tersebut dilakukan untuk mengembangkan diri dengan pergi dari desa ke
kota. Desa dianggap kurang mampu mengakomodasi kemampuan individu untuk
mengembangkan diri. Anggapan tersebut bahkan mendorong individu untuk pergi ke kota
demi kehidupan yang lebih baik. Di sisi lain, kota dipandang sebagai pusat perkembangan
manusia yang maju. Kemajuan ini adalah bentuk modernisasi dan globalisasi terutama
melalui perkembangan informasi dan teknologi (Jalil, 2005:834). Perspektif ini cenderung
memiliki kelebihan dan menarik individu untuk pergi ke kota. Dengan demikian, urbanisasi
bukan hanya definitif tentang perpindahan dari desa ke kota melainkan juga dinamis dalam
perspektif antara individu, desa, dan kota dalam pemaknaan satu sama lain.
Pada masa ini, urbanisasi dipandang bukan hanya sebagai perpindahan semata
melainkan juga tren individu (Adam, 2010:1-2). Tren berpindah ke kota yang masih
terus-menerus berlangsung ini mengurangi jumlah individu di desa dengan segala potensinya.
Sebagai akibatnya, pemusatan di kota pun makin meningkat yang disertai dengan
peminggiran terhadap desa meskipun kota pun merasa terbebani oleh kedatangan para pelaku
urbanisasi (Ischak, 2001:282). Menghadapi hal ini, pemerintah berusaha untuk memeratakan
pembangunan di desa yang salah satu fungsinya untuk mengurangi urbanisasi. Berbagai
pembangunan infrastruktur baik akses maupun fasilitas kehidupan ditingkatkan guna
mengembangkan ekonomi desa (Salim dalam Adam, 2010:6-7). Undang-Undang Desa pun
dibentuk untuk memperlancar pembangunan baik dari sisi ekonomi maupun sosial budaya di
desa guna memperkuat pemerataan pembangunan.
Pembangunan di desa ternyata tidak menghapus urbanisasi karena individu tetap saja
pergi ke kota demi kehidupan yang lebih baik. Pembangunan akses di desa malah
memperlancar arus perpindahan ke kota daripada mengembalikan individu ke desa.
3 kota ke desa pun tidak menemukan perisnggungannya dalam realitas (Suharso, 2014:116).
Desa makin dibangun namun perpindahan ke kota pun tetap masif. Hal itu pun lalu makin
melanggengkan perbedaan yang makin jelas antara desa-kota melalui konsep daerah-kota
maupun desa-metropolitan. Bentuk urban sebagai dampak dari urbanisasi juga makin
membentuk desa untuk serupa dengan kota daripada membantunya menemukan kekhasannya
sendiri.
Perspektif pembangunan yang tidak sekaligus membentuk pemerataan di atas
dikarenakan tiap pembangunan di desa menggunakan kota sebagai ukuran kemajuannya. Kota
malah semakin dilanggengkan sebagai sebuah simbol kemajuan yang modern (Jalil,
2005:836). Urbanisasi ternyata tidak memandang desa dan kota dalam dualitas yang setara
satu sama lain namun melihatnya dalam dualisme terkait kota sebagai patokan yang utama.
Kota lalu makin menjejali desa dengan segala kemajuan kota yang malah makin meniadakan
esensi desa. Pembangunan di desa seringkali dibentuk melalui bahasa kota sehingga desa
tidak dipandang dalam esensinya sendiri namun hanya dilihat dari subordinasi eksistensi dari
kota terutama dari perspektif urban. Hal ini dikarenakan pembangunan yang ada adalah
tentang ekonomi yang bertumpu pada sisi industri dan produktivitas (Suharso, 2014:116-117).
Di sisi lain, kota memiliki kompleksitas kesulitannya sendiri sehingga tidak selalu
mendatangkan kepastian akan kehidupan yang lebih baik bagi para pelaku urbanisasi. Hal ini
dikarenakan kehidupan lebih baik yang dimaknai oleh para pelaku urbanisasi sebagai
kesejahteraan hanya terkait kekayaan semata tanpa memandang kesulitan di kota lebih jauh.
Kota terus-menerus dilanggengkan oleh urbanisasi sebagai stigma yang penuh dengan
kemajuan tanpa pernah memandang desa dalam kompleksitasnya sendiri (Purwanti,
2004:148). Desa selalu dipersepsikan dengan kemiskinan, kemunduran, dan kekurangan
sedangkan kota dipandang penuh kekayaan, kemajuan, dan kelebihan. Stigma atas struktur
yang sederhana inilah yang terus-menerus dihidupi tanpa pernah berusaha memandang kota
dan desa dari kompleksitasnya sendiri. Dengan kata lain, urbanisasi malah semakin
memperkuat ketimpangan desa dari kota (Purwanti, 2004:148). Ilusi peningkatan pendapatan
jauh lebih mudah diterima oleh individu daripada pemahaman tentang adanya berbagai
kesulitan yang lebih kompleks di kota.
Dari penjelasan di atas, sebuah pertanyaan muncul; mengapa individu tetap melakukan
urbanisasi meskipun pembangunan di desa terus meningkat saat ini? Artikel ini menjawab
4 motif non-ekonomi dalam kesejahteraan kultural dari urbanisasi yang dilakukan oleh individu.
Dua motif tersebut selanjutnya dianalisis melalui bagaimana konsep dan stigma atas kota
berkelindan dengan kesejahteraan dan pembangunan di desa. Masalah urbanisasi lalu
dipahami bukan hanya sekedar perpindahan manusia melainkan juga perpindahan nilai dari
sisi stigma atas desa dan kota itu sendiri.
Motif Ekonomi dalam Urbanisasi
Urbanisasi merupakan salah satu migrasi atau perpindahan penduduk dari suatu
tempat ke tempat lainnya melewati batas administrasi daerah asalnya. Urbanisasi menurut
Philip M Hauser diartikan sebagai pertambahan proporsi penduduk yang tinggal di daerah
kota sebagai akibat banyaknya penduduk yang datang dari luar kota (Nurwati, Setiawan dan
Suwartapraja, 2005). Menurut Tjiptoherijanto (Tjiptoherijanto dalam Nurwati, Setiawan dan
Suwartapraja, 2005), perpindahan penduduk dari desa menuju kota ini hanyalah salah satu
faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi. Dalam sudut pandang ekonomi-politik,
urbanisasi dilihat sebagai transformasi ekonomi dan sosial yang timbul sebagai akibat dari
pengembangan ekspansi kapitalisme (Drakakis dan Smith dalam Nurwati, Setiawan dan
Suwartapraja, 2005).
Tinggi rendahnya urbanisasi dalam suatu daerah, menurut berbagai studi yang
dilakukan para ahli, dipengaruhi oleh kemajuan tingkat ekonomi. Semakin tinggi perbedaan
ekonomi antara perkotaan dan perdesaan, maka kemungkinan perpindahan akan terus terjadi.
Menurut Oberai, di banyak negara Asia, kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih
besar menjadi pendorong penduduk untuk meninggalkan desa mereka (Oberai dalam Ubro,
Krisnata dan Nugroho, 2016). Hal ini ditegaskan oleh Mantra (Mantra dalam Ubro, Krisnata
dan Nugroho, 2016) bahwa terbatasnya pasar kerja dan fasilitas pendidikan menjadi kekuatan
sentrifugal sebagai pendorong seseorang meninggalkan daerah asal.
Kondisi kehidupan yang buruk terkait dengan fasilitas di daerah asal merupakan hal
yang tak bisa dihindarkan. Dalam hal ini, seseorang pasti akan melakukan migrasi ke tempat
yang lebih baik untuk mendapatkan kualitas ekonomi yang lebih baik pula. Oleh karena itu,
kemudian rumah tangga perdesaan memaksimalkan kesempatan mereka untuk bertahan hidup
dengan mengirimkan beberapa anggota keluarga untuk mencari sumber-sumber pendapatan
lain yang tidak mereka dapatkan di tempat tinggal mereka (Andresson dalam Beguy, et. al,
5 bahwa mobilitas ke perkotaan memiliki dua harapan yaitu memperoleh pekerjaan dan harapan
memperoleh penghasilan yang lebih tinggi daripada di perdesaan (Todaro dalam Haryono,
1999). Menurut Suntajaya (2014) beberapa faktor yang mempengaruhi perpindahan ke kota
yaitu faktor pendorong berupa terbatasnya lapangan pekerjaan di perdesaan, tingkat
penghasilan di desa yang relatif rendah dan kemiskinan di desa akibat pertumbuhan jumlah
penduduk. Sedangkan terdapat pula faktor penarik berupa kesempatan kerja yang lebih luas di
kota, tingkat upah yang lebih tinggi di kota dan ketersedian fasilitas penunjang yang lebih
mencukupi di kota.
Dalam hal ini, ketimpangan ekonomi yang terjadi antara kota dan desa merupakan
faktor yang menonjol secara ekonomi dalam urbanisasi. Kesempatan ekonomi yang lebih
besar di kota menjadi penyebab tenaga kerja dari desa mencari pekejaan di kota. Hal seperti
ini tidak bisa diabaikan dan juga ditolak begitu saja. Akibat dari pembangunan memang
menempatkan kota sebagai pusat dari segala kegiatan ekonomi. Oleh karena itu,
pembangunan di kota kemudian lebih diutamakan daripada di pedesaan. Hal inilah yang
menjadikan kota menjadi tujuan utama seseorang untuk mencari nasib yang lebih baik dalam
sektor ekonomi.
Tabel 1. Penduduk Indonesia tahun 2015-2019
Sumber: Razali Ritonga, 2016, www.bps.go.id
Bertambahnya penduduk kota, baik berasal dari migrasi maupaun kelahiran alami,
6 sampai dengan tahun 2019, proyeksi penduduk di perkotaan semakin meningkat. Sedangkan
di sisi lain, proyeksi penduduk di perdesaan semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa
urbanisasi akan terus terjadi. Sebagian besar masyarakat akan meninggalkan struktur mata
pencaharian mereka yang berbasis di perdesaan dan beralih ke mata pencaharian yang
berbasis di perkotaan. Bintarto (Bintarto dalam Ischak, 2001) menyatakan bahwa urbanisasi
dalam arti luas menyangkut proses sosio-ekonomis yang mempunyai banyak segi antara lain
perubahan sikap hidup, lapisan sosial baru, berubahnya mata pencaharian khususnya dari
pertanian ke industri atau sektor formal.
Dalam hal ini terlihat bahwa memang urbanisasi secara ekonomi telah menyebabkan
adanya perubahan sosial ekonomi. Masyarakat yang tinggal di pedesaan tidak lagi menjadikan
pertanian sebagai mata pecaharian utama. Mereka kemudian mengalihkan mata pencaharian
ke sektor industri dan formal lainnya. Adanya industrialisasi dalam beberapa dekade terakhir
telah menjadikan magnet tersendiri bagi seseorang untuk masuk sebagai pekerja industri
(Ischak, 2001). Selain itu, berkembangnya alat transportasi juga menjadikan mobilisasi massa
menjadi semakin mudah. Hal ini pula yang mendorong seseorang untuk melakukan mobilisasi
ke kota, baik itu secara permanen maupun hanya sekedar bekerja secara temporer.
Proses urbanisasi yang dipengaruhi dari faktor pendorong dan penarik menunjukkan
bahwa urbanisasi akan terus terjadi. Hal ini karena tingkat pertumbuhan penduduk di
perkotaan akan mengakibatkan masyarakat mencari lahan untuk pemukinan dan tempat
industri baru sehingga kemudian akan terjadi konversi lahan di daerah sekitar perkotaan.
Konversi lahan ini secara langsung akan semakin memperkecil lahan pertanian. Lahan
pertanian yang kecil akan mendorong petani untuk mencari pekerjaan baru. Salah satu jalan
keluar dari hal tersebut tentu saja melakukan urbanisasi dengan mencari pekerjaan di sektor
industri dan formal lainnya. Proses mekanisasi sektor pertanian yang terjadi sejak era 1980-an
juga menjadi penyebab kaum muda dan para sarjana, enggan menggeluti sektor pertanian atau
kembali ke daerah asal mereka (Harahap, 2013).
Industri dan tingkat ekonomi perkotaan yang lebih baik sebagai penarik urbanisasi ini
dapat dilihat dari pentumbuhan penduduk di kota penyangga Jakarta seperti Bekasi, Bogor
dan Depok. Dalam tabel di bawah terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk yang memiliki
tingkat pertumbuhan paling tinggi yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Bekasi dan
Bogor. Keempat kota ini merupakan bagian dari megapolitan Jabodetabek yang merupakan
7 telah mengakibatkan masyarakat memilih kota-kota sekitarnya sebagai tempat tinggal.
Ekspansi industri di kota-kota tersebut juga mengakibatkan jumlah penduduk yang
meningkat. Ernan Rustiadi (2016) mencatat bahwa fenomena diatas sebagai fenomena
suburbanisasi Jakarta dimana terdapat keterkaitan antara proses migrasi, pertumbuhan
ekonomi dan konversi lahan. Fenomena ini menghasilkan masyarakat pelaju dimana sebagian
besar mereka tinggal di luar kota Jakarta sedangkan setiap hari mereka masih bekerja di
Jakarta.
Tabel 2
Laju Pertumbuhan Penduduk di Jawa Barat
Kota 2012 2012
Bogor 2,72 4,25
Bekasi 4,07 7,73
Kota Depok 3,74 6,88
Kota Bekasi 3,01 4,99
Bandung 2,22 2,97
Sumber: Diolah dari http://jabar.bps.go.id/linkTabelStatis/print/id/81
Fenomena konversi lahan tersebut juga sejalan dengan tulisan Luh Kitty Katherina
terkait pertumbuhan indutri sepanjang koridor Surabaya-Sidoarjo dan Surabaya-Gresik yang
mengakibatkan kebutuhan lahan di pusat kota tidak mencukupi sehingga terjadi ekspansi
lahan di daerah pinggiran yang mengakibatkan adanya alih fungsi lahan di daerah pinggiran
(Katherina, 2014). Katherina juga mencatat bahwa pertumbuhan penduduk di daerah sekitar
Kota Surabaya semakin tinggi seperti Gresik dengan 6,3 %, Bangkalan sebesar 7,04%,
Sidoarjo sebesar 4,71%, dan Mojokerto sebesar 3,60% (Katherina, 2014). Dengan demikian,
aktivitas perkotaan disebut telah melebar melewati batas administrasi kota dan menyatu
dengan wilayah di sekitar kota.
Sedangkan dalam lingkup yang lebih luas, Felicia P. Adam (2010) menyatakan bahwa
tingkat urbanisasi menurut provinsi dari tahun 2000 hingga 2025 yang dihitung oleh BPS
mencapai 68 persen pada tahun 2025. Untuk Sumatera yaitu Riau sebesar 71,1 persen, di Jawa
yaitu Jakarta sebesar 100 persen, Jawa Barat sebesar 81,4 persen, Jawa Tengah sebesar 73,8
8 persen, Bali sebesar 81,5 persen, dan Kalimantan Timur sebesar 75,9 persen. Tingginya angka
urbanisasi di Jawa-Bali ini menunjukkan bahwa asumsi masyarakat bahwa Jawa-Bali
merupakan pusat ekonomi masih terjadi. Pertumbuhan ekonomi masih terkonsentrasi di
daerah Jawa-Bali sedangkan daerah pertumbuhan ekonomi baru di wilayah lain belum
dimaksimalkan dengan baik.
Dari hal diatas terlihat bahwa tren urbanisasi semakin meningkat mengikuti
pertumbuhan ekonomi. Daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi
cenderung mengalami tingkat urbanisasi yang tinggi pula. Umumnya urbanisasi terjadi lebih
tinggi pada wilayah dengan struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor sekunder dan
tersier (Luh Kitty Katherina, 2014). Kondisi ekonomi tidak bisa dipungkiri merupakan salah
satu faktor utama pendorong dan penarik urbanisasi. Perbedaan tingkat ekonomi dan
ketidakmerataan fasilitas dari pembangunan antara perdesaan dan perkotaan juga menjadi
salah satu pendorong urbanisasi. Pelaku urbanisasi terdorong untuk mencari pekerjaan yang
dirasa lebih baik dalam hal tingkat pendapatan dan fasilitas yang didapat.
Kondisi ini tidak pernah bisa dicegah karena memiliki sisi positif dan juga negatif.
Selain karena hal tersebut adalah hak setiap individu, urbanisasi juga mengakibatkan struktur
ekonomi yang semakin variatif. Sektor ekonomi berkembang dan semakin terdiferensiasi
dengan semakin banyaknya bidang usaha. Di sisi lain, perkembangan ini juga membutuhkan
lahan yang luas sehingga konversi lahan akan terus terjadi. Di samping itu, bukan tidak
mungkin struktur ekonomi di perdesaan lambat laun akan mengalami perubahan. Para pekerja
produktif tidak lagi bekerja di desa dan beorientasi perdesaan, melainkan memilih untuk
bekerja di kota. Meskipun demikian, urbanisasi harus tetap dikendalikan agar akibat positif
dari urbanisasi lebih terasa daripada dampak negatifnya.
Komplikasi Urbanisasi: Perebutan Ruang, Pola Konsumsi, dan Stigmatisasi Kota Faktor pemicu urbanisasi pada dasarnya adalah faktor ekonomi, yakni dipandang
sebagai penentu kesejahteraan yang lebih baik. Pandangan bahwa dengan melakukan
urbanisasi dapat lebih menyejahterakan sudah lama diterima sebagai pandangan yang umum.
Seolah-olah, ada jaminan bahwa kota memberikan kesuksesan bagi pelaku urbanisasi, dan
desa hanya menawarkan stagnasi. Padahal seperti yang telah banyak disajikan di media, Kota
seringkali merupakan tempat yang kurang bersahabat bagi rakyat kecil. Pemerintah di kota
pendatang-9 pendatang pelaku urbanisasi ini. Permasalahan urbanisasi sesungguhnya sangat kompleks dan
dapat dianalisis dalam berbagai sudut pandang.
Kota sebagai pusat perekenomian merupakan sumber komplikasi permasalahan
urbanisasi. Di satu sisi, kota merupakan daya tarik bagi perekonomian; bermacam-macam
jenis lapangan kerja, perputaran uang yang masif, peluang usaha, dan lain sebagainya. Di sisi
yang lain, kota dianggap telah terlalu padat populasinya sehingga pendatang dianggap
semakin memperparah komplikasi kota (kekumuhan, kemacetan, hingga ketidakteraturan
infrastruktur).
Kota selama ini selalu menjadi tujuan hidup masyarakat desa yang mendambakan
kemajuan. Namun dalam iklim neoliberalisme saat ini, kapitalisme telah membuat keberadaan
kota menjadi bermasalah bagi masyakarat kecil kota maupun masyarakat desa yang
berkeinginan mencari nafkah di kota. Kota adalah ruang (space) yang diperebutkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kaitannya dengan relasi kuasa, ruang pada akhirnya
akan selalu disesuaikan menurut kepentingan kapital untuk menjamin berlangsungnya
aktivitas produksi. Dalam hubungan antara ruang dan masyarakat kapitalistik inilah mentalitas
penghuni kota diatur sebagai penggerak perekenomian bagi pemilik modal.
Henry Lefebvre (2000: 28) menyatakan bahwa ruang sosial mewujudkan kehendak
manusia untuk memamerkan dirinya. Ruang dianggap sama dengan komoditas dan memiliki
nilai. Kota sebagai ruang sosial yang didominasi kapital juga memiliki fungsi tersebut,
ditunjukkan dengan upaya penguasaan ruang-ruang kota; sertifikasi lahan, penggusuran, dan
komersialisasi lahan tersebut dalam berbagai bentuk; pembangunan pusat perbelanjaan,
pembangunan jalan, pusat bisnis, perumahan mewah dan lain sebagainya. Kota sengaja untuk
dibangun untuk memamerkan kemajuan dan dengannya berusaha menunjukkan diri sejajar
dengan negara-negara maju di dunia. Penguasaan ruang sosial oleh kapital tersebut membuat
posisi penduduk miskin kota menjadi semakin rentan terhadap kriminalisasi dan kembali
terpinggirkan dalam kontestasi penguasaan kota (Brenner & Theodore, 2002). Sebagian
masyarakat miskin kota pada dasarnya dapat melakukan aktivitas produksi dan berkonsumsi
setiap harinya, namun untuk memiliki tempat tinggal yang menetap dan layak adalah sesuatu
yang berbeda. Dengan pola konsumsi khas kota, pendapatan yang diperoleh pada akhirnya
lebih besar dari konsumsi di desa. Memiliki tempat tinggal sendiri secara legal membutuhkan
10 Melihat kondisi kemiskinan tersebut, dapat dikatakan posisi penduduk desa yang ingin
beralih ke kota juga sama rentan dengan masyarakat miskin kota. Tata kelola Kota oleh
Pemerintah Kota atau Pemerintah Daerah tentu adalah penerjemahan dari ide ini, sehingga
memiliki potensi semakin meminggirkan masyarakat miskin kota. Semakin terpinggirkannya
masyarakat miskin kota seharusnya menjadi bahan pertimbangan lebih bagi masyarakat desa
yang hendak berurbanisasi. Untuk itu, masyarakat desa harus memiliki pengetahuan dan
dengannya memiliki kekuatan untuk merebut peluang-peluang ekonomis yang selama ini
hanya didominasi oleh kota. Tulisan ini bermaksud mengusulkan penguatan desa sebagai
pilihan alternatif pergi kota untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Penduduk desa
harus mampu untuk lebih produktif dalam sektor produksinya tidak sekedar sebagai
penyokong kehidupan kota namun juga dapat membangun ekonomi secara berdikari.
Secara sederhana, dapat ditemukan bahwa perpindahan masyarakat dari desa ke kota
disebabkan oleh ketiadaan lapangan kerja di desa, yang cukup untuk membuat semua warga
desa mendapatkan pekerjaan. Industrialisasi besar-besaran di Indonesia, yang terpusat di
kota-kota membuat desa hanya berfungsi sebagai penunjang kehidupan kota-kota saja, misalnya
mendukung kota dalam hal pangan karena ternak dan sawah kebanyakan berada di desa,
bukan di kota. Populasi desa terus tumbuh namun desa itu sendiri tidak mampu untuk
memberikan kerja pada masyarakatnya. Di sisi lain, Kota dengan perputaran uang yang jauh
lebih besar menjadi daya tarik bagi masyarakat desa. Kota selalu identik dengan kesempatan
untuk lebih makmur dan gaya hidup yang lebih mewah.
Gaya hidup masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh pola konsumsi. Warga desa yang
telah hidup di kota untuk mencari nafkah harus menyesuaikan perbedaan pola konsumsi ini.
Gaya hidup di kota, misalkan, mengkondisikan seseorang untuk mempunyai kendaraan
pribadi untuk mendukung mobilitas dalam bekerja. Pola konsumsi tidak hanya merupakan
tuntutan kenyamanan hidup di kota saja secara pribadi. Pola konsumsi juga ditentukan oleh
keinginan seseorang untuk diterima di komunitas yang lebih besar. Contohnya, kota
mengkondisikan seseorang untuk memiliki smartphone dengan kualitas tertentu, agar dapat
diterima oleh komunitas pengguna moda komunikasi tercanggih. Atau di lain kasus, harus
ikut berkonsumsi di kafe/restoran tertentu untuk dapat berinteraksi dengan komunitas
pergaulan tertentu. Perubahan pola konsumsi ini mau tidak mau dilakukan oleh masyarakat
11 Perubahan pola konsumsi ini nyatanya terjadi walau pendapatan yang diperoleh tidak
naik secara signifikan. Pola konsumsi masyarakat kota tidak selalu berbanding lurus dengan
pendapatan yang diterima. Namun perubahan pola konsumsi yang juga turut mengubah gaya
hidup dipandang sebagai penanda kesuksesan bagi masyarakat desa. Pola konsumsi ini
ditularkan ke desa dalam berbagai cara. Hari Raya Idul Fitri, contohnya, merupakan salah satu
kesempatan bagi masyarakat desa yang bekerja di kota untuk pulang dan kembali berinteraksi
dengan desa. Dalam kesempatan ini gaya hidup perkotaan terbawa ke desa dan
diinterpretasikan oleh masyarakat desa sebagai penanda kemajuan. Hal ini kemudian
merangsang warga desa lainnya (yang masih bertahan di desa) untuk pergi mencari nafkah di
kota.
Usaha untuk mencari kesejahteraan yang lebih baik di kota adalah hak semua lapisan
masyarakat. Namun di sisi lain, perpindahan masyarakat desa ke kota juga memberikan
dampak negatif. Semakin lesu dan sulit berkembangnya perekonomian desa adalah sedikit
dari dampak tersebut. Berubahnya pola konsumsi juga membuat desa lebih berperan menjadi
konsumen dari komoditas-komoditas yang diciptakan dari kota, daripada berproduksi secara
mandiri. Pola konsumsi yang perlahan-lahan sama dengan pola konsumsi kota juga mengikis
kearifan lokal dan pola-pola tradisional yang muncul dari pertanian.Terkikisnya kearifan lokal
berarti semakin tereksklusinya komunitas kultural desa untuk dalam interaksi ekonomi.
Kehendak untuk memamerkan diri yang dimungkinkan melalui ruang sosial akhirnya juga
diadopsi di desa sebagai perluasan artikulasi produksi kapitalis. Dalam perebutan ruang sosial,
kapitalisme akan selalu berusaha menjangkau dan menguasai desa. Untuk dapat selalu
berjalan, kapitalisme membutuhkan perluasan pasar, jangkauan bahan mentah yang lebih
mudah, tenaga kerja murah, dan lokasi yang efektif dan efisien untuk melakukan produksi
(Harvey, 1989).
Kontestasi perebutan ruang sosial juga dilakukan dengan menguasai wacana dan
pengetahuan mengenai pemaknaan dan pemanfaatan ruang (Lefebvre, 2000). Wacana
mengenai kota sebagai fasilitator pola konsumsi, gaya hidup, dan penanda kemajuan,
mengharuskan kota tampil teratur, bebas dari kekumuhan, dan tanda-tanda kemiskinan.
Pandangan ini direproduksi terus-menerus baik oleh media maupun kebijakan pemerintah.
Wacana keteraturan kota ini pada akhirnya menjadi wacana yang ideal mengenai kota, baik
bagi yang kaya maupun miskin. Bagi yang kaya, keteraturan kota adalah keharusan demi
12 ingin dituju. Yang sering terjadi, alih-alih memberikan fasilitas bagi yang miskin untuk dapat
hidup dengan layak, Pemerintah Daerah cenderung "membersihkan" kemiskinan melalui
penggusuran atau bahkan kriminalisasi.
Penguasaan wacana kota sebagai simbol kemajuan ini turut memungkinkan stigmatisasi
bagi masyarakat desa untuk terus datang dan bermatapencaharian di kota, walaupun desa
sudah mengalami pembangunan infrastruktur yang memadai. Upaya untuk menekan
stigmatisasi ini harus dilakukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur di desa.
Urbanisasi: Antara Konsep dan Stigma
Lebih dari sekedar definisi, masalah urbanisasi di Indonesia sesungguhnya dihidupi
oleh stigma individu dan pemerintah terhadap desa dan kota. Terhadap desa, individu sebagai
penduduk asli daerah tersebut memandang desa sebagai sebuah kecukupan bahkan sebuah
kekurangan dari sisi pendapatan. Urbanisasi yang awalnya berpengaruh pada proses produksi
nyatanya juga bersinggungan dengan proses konsumsi di kota. Desa mungkin saja
mengandung berbagai potensi namun hal itu tidak cukup membentuk individu untuk maju dan
modern. Aspek inilah yang membentuk stigma untuk menetap di kota dan tidak kembali ke
desa atau dengan lain membentuk perspektif pedesaan menjadi perkotaan (Harahap, 2013:12).
Terhadap kota, daerah ini dipandang dalam segala kemajuan dan keberlimpahan fasilitasnya
sehingga memampukan individu untuk terus berkembang meraih pendapatan yang lebih demi
kesejahteraan yang lebih baik. Kota adalah tempat bagi segala kemampuan untuk bertaruh
sekaligus berkompetisi demi kehidupan yang lebih baik (Harahap, 2013:36). Kota seringkali
dimaknai sebagai "tempat mengadu nasib" dibandingkan dengan desa yang dimaknai sebagai
"tempat menerima nasib". Stigma tentang kota tidak tumbuh dengan sendirinya namun
dibangun dengan perbandingan atas desa melalui proses urbanisasi.
Dari sisi individu, pelaku urbanisasi mengabaikan hingga tidak sama sekali menyadari
adanya stigma tersebut di atas. Individu cenderung hanya melihat motif ekonomi untuk
mewujudkan keinginan berpendapatan besar di kota daripada mempertimbangkan kesulitan
maupun ketidaknyamanan yang mungkin muncul (Harahap, 2013:3). Anggapan bahwa
memiliki gaji tinggi akan selalu sejahtera juga menjadi stigma yang terus dihidupi dalam
konteks urban. Makin seseorang berpendapatan tinggi, makin ia mampu membeli lebih
banyak fasilitas maka makin sejahtera pula. Tiap kesulitan yang ada di kota besar dianggap
13 penting bagi para urban untuk mendapatkan keuntungan sebagai cermin dari stigma
kesejahteraan.
Jika konsep urbanisasi masih menunjukkan dirinya sebagai sebuah pilihan untuk ke
kota, stigma urbanisasi memandang perspektif ekonomi sebagai kebutuhan yang harus
dipenuhi. Urbanisasi yang bertujuan untuk peningkatan taraf kehidupan yang bernilai
kompleks bergeser menjadi sekedar peningkatan jumlah pendapatan. Urbanisasi juga telah
bergeser dari sekedar perpindahan menjadi perubahan yang lebih kompleks (Harahap,
2013:37). Demikian pula kesejahteraan hanya dipandang dalam perkara pendapatan dalam
proses urbanisasi. Demi peningkatan pendapatan tersebut, perpindahan ke kota menjadi
stigma utama yang tercermin dalam urbanisasi. Stigma urbanisasi dapat dibongkar dari logika
di atas bahwa tujuan urbanisasi demi kenaikan pendapatan nyatanya tidak selalu sejalan
dengan peningkatan kesejahteraan maupun taraf hidup. Dengan demikian, peningkatan
kesejahteraan maupun taraf hidup tidak harus dilakukan dengan urbanisasi karena
kesejahteraan dan taraf hidup tidak hanya diukur dari masalah pendapatan ekonomi saja
namun juga perkara sosio-kultural di masyarakat.
Dari sisi pemerintah yang selalu berpusat di kota, desa tentu dipandang sebagai yang
nomor dua sebagai objek pembangunan dan sumber eksploitasi dalam keberlimpahan sumber
daya alam dan manusia. Desa makin dibentuk seperti kota dengan ukuran modernitas dengan
segala fasilitasnya. Stigma inilah yang mendorong urbanisasi untuk terus berlangsung bahkan
dilanggengkan oleh pembangunan berkelanjutan global. Kota pun selalu menganggap dirinya
lebih baik dari desa dalam perspektif urban padahal eksistensinya pun dipengaruhi oleh desa
itu sendiri. Pembangunan di desa selalu merujuk pada ide ekonomi yang mengarah ke
kemajuan individu daripada sosio-kultural yang penuh dengan kekerabatan dan kebersamaan.
Sisi ekonomi inilah yang memandang kenaikan pendapatan sejajar dengan peningkatan
kesejahteraan. Layaknya sebuah stereotipe yang hanya melihat dari satu perspektif namun
dipandang sama untuk semua hal, stigma dalam urbanisasi tentang desa dan kota mengukur
kesejahteraan hanya dari sisi kenaikan pendapatan semata. Kenaikan pendapatan memang
dapat meningkatkan daya beli namun hal itu nyatanya juga harus dibarengi berbagai kesulitan
di kota. Kesulitan tersebut mulai dari banyaknya kriminalitas di kota, maraknya kemacetan
jalan raya, sulitnya mencari tempat tinggal, hingga tingginya biaya hidup di daerah ini.
Berbagai aspek tersebut adalah aspek kultural dari kota daripada sekedar masalah
14 desa yang tertinggal dan kota yang maju maupun urbanisasi sebagai proses diantaranya. Sisi
yang cenderung kontradiktif tersebut lalu makin melanggengkan urbanisasi daripada
mendorong individu untuk kembali ke desa. Hal ini dikarenakan kota selalu menjadi patokan
utama bagi individu dan pemerintah baik dalam ukuran pembangunan hingga kesejahteraan.
Stigma di atas juga terbentuk melalui adanya kehidupan urban yang diukur dari sisi
kota daripada desa. Kota pun dipandang sebagai hasil maupun simbol modernitas sehingga
masalah urban adalah tentang kota itu sendiri (Barker, 2014:296). Dalam perkembangan ilmu
sosial hingga studi kultural saat ini, urbanisasi pun selalu dipandang sebagai sebuah
ambiguitas daripada suatu proses yang menghasilkan kepastian tertentu. Emile Durkheim
misalnya menyatakan bahwa urbanisasi mendorong kreativitas dan kemajuan dalam perkara
moral namun hal itu sekaligus mendorong adanya anomie atau ketidaksalingtahuan tiap
entitasnya (Durkheim dalam Barker, 2014:296). Masyarakat yang awalnya memahami
kekerabatan dalam keselarasan yang interaktif makin terdorong ke arah kehidupan urban yang
menjunjung tinggi individualisme saat ini. Demikian pula Karl Marx yang melihat masalah
urban adalah tentang lompatan besar produktivitas oleh kapitalisme namun sekaligus
membawa kemiskinan, ketidakpedulian, dan kemerosotan moral ikut serta dalam lajur
modernitas (Marx dalam Barker, 2014:296). Peningkatan ekonomi yang dijanjikan oleh
kehidupan urban rupanya tidak diikuti pula oleh kemajuan moral sehingga kepemilikan lebih
dominan daripada praktek etis pada aspek ini.
Menariknya, kehidupan urban menjadi suatu suguhan utama dalam masyarakat di
masa ini. Pemerintah makin membangun kota dengan bekerjasama dengan para pebisnis.
Keuntungan melalui peningkatan pendapatan pajak ke pemerintah masih menjadi ukuran
utama pada kehidupan saat ini padahal di dalamnya ada monopoli upah tenaga kerja,
penyingkiran serikat pekerja, hingga ketimpangan pendapatan yang kaya dan yang miskin.
Sisi ini pula yang terus dihidupi oleh individu pelaku kehidupan urban. Kehidupan urban
dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang harus dijalani meskipun kesulitan terus
bertambah di kota. Menjadi berkembang dan maju harus terus dilakukan dengan pergi ke kota
tanpa ada pilihan lain. Sejauh tiap tindakan dilakukan untuk menjadi makin modern, individu
dalam kehidupan urban akan melakukan apapun untuk itu bahkan jika harus bermain-main
dengan identitasnya (Barker, 2014:296). Stigma atas kemajuan, modernitas, dan kota
mendorong individu untuk bergerak dengan identitas yang mungkin berbeda dari pemahaman
15 selalu diraih meskipun individu harus menjadi penjahat, pengemis, bahkan pramuria
sekalipun. Kehidupan di desa dengan segala identitasnya yang mengikat harus mereka
lepaskan demi kebebasan yang ingin diraih di kota. Individu urban ingin dilihat berbeda dari
kondisinya di desa sebelumnya meskipun ia harus menghidupi stigma yang sesungguhnya
sangat ambivalen.
Cara untuk mengikis stigma di atas dapat dilakukan dengan membangun daerah sesuai
dengan esensinya. Pertama, daerah perlu membentuk standar pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhannya sendiri. Daerah perlu untuk melihat kota sebagai standar yang baik namun tidak
selalu emnjadikannya patokan utama. Pendidikan harus dipahami sebagai pembentukan
karakter daripada sekedar masalah nilai angka atau bertujuan pada kemajuan semata. Sebagai
contoh, jauh lebih baik untuk membentuk musyawarah guru daerah untuk membentuk
kurikulum yang sesuai bagi para murid sebagai bentuk pemberdayaan mental. Selain itu, jauh
lebih baik pula untuk mengundang dosen dari luar daerah untuk datang ke daerah daripada
mendorong individu untuk belajar ke luar daerah tersebut. Daerah perlu memperkaya diri
melalui nilai yang ditanamkan dan dihidupi oleh pendidikan bagi tiap individu. Kedua, daerah
perlu memahami potensinya sendiri sehingga pemberdayaan lokal dapat lebih sesuai daripada
menjadikan kota modern sebagai ukuran utama. Individu perlu dibentuk untuk tidak selalu
mengutamakan pendapatan yang tinggi karena kesejahteraan sesungguhnya jauh lebih
kompleks dari hal tersebut. Aspek sosio-kultural dari daerah dapat pula menjadi modal utama
untuk berkembang daripada harus selalu mengadu nasib ke kota besar.
Ketiga, daerah perlu memahami pusat-pusat bisnis di wilayahnya. Jika kota
memusatkan pusat bisnisnya pada Central Business District (CBD), daerah memiliki beragam
pusat bisnis mulai dari pasar, toko-toko kecil, hingga industri rumahan. Memahami
keberagaman potensi semacam ini dapat mendorong individu untuk menghidupi dan
mengembangkan akar yang sudah ada. Koperasi pun dapat dibangun sebagai wadah
komunikasi dan bisnis sehingga pemberdayaan wilayah sendiri akan lebih mudah tercapai.
Keempat, para sarjana pendidikan tinggi harus berani kembali ke daerahnya masing-masing.
Hal ini dapat dilakukan melalui penyuluhan, pembinaan, hingga meninggalkan kota dan
kembali ke daerahnya. Pendampingan perlu didorong bagi daerah bukan untuk mendorong
desa menjadi sama dengan kota melainkan memberi pemahaman tentang kesejahteraan lebih
luas. Menjadi sejahtera tidak harus bekerja dalam kantor di kota besar karena menjadi petani
16 Selanjutnya, memperluas perspektif individu tentang desa dan kota perlu dilakukan
untuk mengikis stigma di atas. Hal ini dikarenakan individu terlihat tidak memiliki pilihan
selain pergi ke kota dan membentuk dirinya sebagai manusia urban. Individu terkesan hanya
hidup dalam sebuah sistem yang mengekangnya padahal sistem itu pun dapat
memampukannya pada sisi lain (Smith dan Riley, 2009:136). Perluasan perspektif ini dapat
didorong melalui pemahaman tentang kehidupan sehari-hari terutama tentang bagaimana
individu tidak harus selalu mengangguk pada struktur urban saat ini. Kehidupan di desa pun
juga penuh makna dalam segala rutinitas dan kemajuannya sendiri tanpa perlu melompat ke
kota yang belum jelas bentuknya. Para pelaku urban perlu memandang desa secara lebih luas
bukan sebagai tempat kemiskinan dan kemunduran melainkan sebagai ruang praktis identitas
yang kaya dan bermakna. Hal ini dikarenakan individu bukan hanya sekedar objek yang patuh
pada strategi sistem melainkan juga subjek yang mampu melakukan resistensi (de Certeau
dalam Barker, 2014:69).
Bagi pemerintah, pembangunan di desa harus dipandang dalam dirinya sendiri dengan
memperkuat relasi di antara kelompok masyarakat daripada sekedar menonjolkan kemampuan
individu. Seringkali mudik yang dilakukan pelaku urbanisasi hanya membangun desa sesaat
saja sebelum perpindahan itu kembali dilakukan. Sistem perlu pula memampukan individu
untuk memilih daripada sekedar mematuhi tren urban saat ini. Memaksimalkan potensi desa
sangat diperlukan melalui pemberdayaan dan peningkatan pemahaman tentang wilayahnya
sendiri daripada hanya berpatokan pada kemajuan di kota. Desa bukanlah sisi kuno dan
miskin dari peradaban melainkan penuh dengan pemahaman kultural dalam kehidupan
sehari-hari. Dari sisi kota, pemerintah harus berani meningkatkan pemerataan di desa daripada
melakukan pemusatan sekaligus di kota. Kota tidak bisa dijadikan patokan utama
pembangunan karena stereotipe malah akan menghilangkan keunikan desa daripada
menghidupinya. Harapan hidup di kota yang tinggi pun seringkali tidak sejajar dengan biaya
hidupnya sehingga menghidupi desa jauh lebih memungkinkan daripada berjejalan di dalam
kota. Jika kota dipandang sebagai yang instan dan penuh kesempatan untuk peningkatan
pendapatan, desa jauh lebih kompleks dengan budayanya kecukupannya. Menghidupi desa
mungkin saja tidak mengindikasikan peningkatan pendapatan yang drastis namun aspek
kecukupan, kesederhanaan, dan kebersamaan di desa sangat mampu memanusiakan manusia
17 Kesimpulan
Urbanisasi tetap dilakukan oleh individu meskipun desa terus dibangun
infrastrukturnya. Persepsi ini terus ada bukan hanya karena kehendak individu untuk
melakukan urbanisasi melainkan juga karena ada stigma atas kota. Stigma tentang kota adalah
tentang kemajuan dan keberlimpahan fasilitas. Sisi ini terlalu dipandang dari perspektif
ekonomi daripada kultural oleh pelaku urbanisasi. Sebagai akibatnya, pelaku urbanisasi
melihat proses perpindahan dari desa ke kota hanya dari perspektif pendapatan saja tanpa
mempertimbangkan kesulitan yang ada di kota. Konsep bahwa urbanisasi ditujukan untuk
peningkatan taraf kehidupan hanya diartikan dari kenaikan pendapatan semata. Stigma
semacam ini membentuk individu untuk pergi ke kota dan menjadikan kota sebagai patokan
utama kemajuan. Desa pun makin dibangun seperti kota daripada esensi desa yang penuh
keberagaman dan kebersamaan. Hal ini pun makin diperparah dengan stigma bahwa kenaikan
pendapatan disejajarkan dengan peningkatan kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan yang
sesungguhnya bermakna sama dengan peningkatan taraf kehidupan dipersempit oleh stigma
urbanisasi menjadi hanya masalah pendapatan secara ekonomi saja. Dengan demikian,
urbanisasi tidak lagi hanya berkutat pada masalah perpindahan saja, namun juga stigma
tentang kota itu sendiri.
Kabupaten/Kota 2005-2013. http://jabar.bps.go.id/linkTabelStatis/print/id/81 diakses
pada 18 September 2016.
Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya (trans.). Yogyakarta:Kanisius.
Brenner, Neil dan Nick. 2002. Theodore Spaces of Neoliberalism Urban Restructuring in
North America and Western Europe. Oxford: Blackwell Publishing.
Harahap, Fitri, R. Dampak Urbanisasi bagi Perkembangan Kota di Indonesia. Jurnal Society Volume 1 Nomor Juni 2013.
Harvey, David. 1989. The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of
Cultural Change, Cambridge and Oxford: Blackwell Publishers.
Haryono, Tri, Joko, S.1999. Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah
Asal.Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4,Oktober 1999, hal. 67-78.
Ischak. 2001. Urbanisasi dan Dampaknya Terhadap Lingkungan. Jurnal Humaniora Volume XIII, 3/2001.
18 Katherina, Luh, Kitty, 2014. Fenomena Urbanisasi pada Kota Menengah di Indonesia.
http://kependudukan.lipi.go.id/id/kajian-kependudukan/desa-kota/156-fenomena-urbanisasi-pada-kota-menengah-di-indonesia diakses pada 25 September 2016. Lefebvre, Henri. 2000. The Production of Space. New York:Georgetown University Press. Nurwati, Nunug. Setiawan Nugraha. Suwartapradja, Opan S. 2005. Kajian Pola Penyusunan
Penanganan dan Pengendailan Urbanisasi. Bandung: Divisi Informasi dan Publikasi,
Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.
Purwanti, SW. 2004. "Isu dan Masalah Mobilitas Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia". Majalah Ilmiah Dinamika, Vol. 20, No. 2.
Ritonga, Rizal. 2016. Kebutuhan Data Ketenagakerjaan untuk Pembangunan Berkelanjutan.
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_346599.pdf diakses pada 9 September 2016.
Rustiadi, Ernan. 2016. Suburbanisasi Kota Jakarta.
https://www.researchgate.net/profile/Ernan_Rustiadi/publication/265011831_SUBURB ANISASI_KOTA_JAKARTA/links/5633362708ae5848780a60f9.pdf?origin=publicatio n_detail diakses pada 9 September 2016.
Smith, Philip dan Alexander Riley. 2004. Cultural Theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing.
Suharso, Yohanes. 2014. "Proses dan Dampak Urbanisasi". Majalah Ilmiah Pawiyatan. Vol. XXI, No. 2.
Suntajaya, I, Gede, Ketut. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Urbanisasi
di Provinsi Bali. Piramida volume X No. 2 : 60-71 Desember 2014.