• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Diterbitkan oleh :

Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan

Redaktur :

Haritedjo Soekirno, Walidi, Jati Wi-bowo, Ari Untung Subardianta, Mus-likhudin, Hendra Kurniawan K.H, Wahyu Indrawan, Asrukhil Imro, Dede Solihin, Aries Setiadi, Melissa Candra Puspi-tasari, Ade Permadi, Agus Slamet Ri-yadi, Sri Moedji Sampurnanto, Nurokhim

Penyunting/editor :

Achmad Zunaidi, Cahya Setiawan, Shinta Putri Permata Dewi, Hafiz Yossi Aprilian

Desain Grafis/Photografer :

Fr. Edy Santoso, Kandha Aditya San- djoyo, Agus Priyono

Sekretariat :

Faisal Khabibi, Reza Ibnu Prakoso, Yudanto D. Nugroho

Alamat Redaksi :

Gedung Sutikno Slamet

Jl. Wahidin Raya No. 1, Jakarta 10710 Telepon (021)3866117 pst. 8009 email : ortala_dja@yahoo.com

Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.

Salam Redaksi

Pembaca yang budiman,

Sebagaimana kita ketahui bahwa rencana kerja dan anggaran yang

disusun oleh menteri/pimpinan lembaga disusun berdasarkan prestasi

kerja yang akan dicapai. Hal ini diamanatkan dalam Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Artinya dalam

penyusunan RAPBN dan RKA-K/L, Pemerintah wajib menerapkan

anggaran berbasis kinerja.

Pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi (money

follow function), sebagai salah satu prinsip anggaran berbasis kinerja

merupakan pendekatan yang strategis dalam menjaga efektivitas dan

efisiensi dalam penggunaan anggaran yakni anggaran hanya

dialokasi-kan kepada kementerian/lembaga atau satuan kerja yang tugas

fung-sinya relevan dengan target kinerja yang akan dicapai secara nasional.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden menyampaikan

pemikiran-nya mengenai anggaran yakni anggaran mesti menggunakan konsep

money follow program.

Lantas, bagaimanakah sebenarnya penerapan konsep ini dalam

peng-anggaran di Indonesia?

Pembahasan ini akan dikupas dalam Warta Anggaran edisi 30 ini.

Pada edisi ini akan dibahas mengenai bagaimana sebenarnya konsep

anggaran berbasis kinerja itu. Dan bagaimana pula hubungannya

de-ngan konsep money follow program ataupun money follow function.

Dalam rubrik suplemen akan disajikan pembahasan berkaitan dengan

anggaran berbasis kinerja dalam kinerja DJA serta target-target

pem-bangunan dalam APBN.

(4)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

7

Penerapan Anggaran

Ber-basis Kinerja Melalui Money

Follow Program

9

Money Follow Function dan

Money Follow Program

13

Lonceng Kematian

Anggar-an Berbasis Kinerja

15

Optimalisasi Peran DJA

Dalam Kerangka

Let The Manager Manages

48

Renungan : Seberapa

Pantas

46

Khazanah : Cara

Seder-hana Mengenal Riba

29

Baku Cakap Penelaahan

Online

43

SIMPONI Quick Response

32

Survei Transparansi

Ang-garan Indonesia

27

Gotong Royong

Pemerin-tah Dan Swasta Dalam

Pembangunan Infrastruktur

41

Konsep Evaluasi Kinerja

Penganggaran

Kemente-rian/Lembaga

19

Wawancara : Made Arya

Wijaya

Konsepsi Dan Penerapan

Anggaran Berbasis Kinerja

49

Komunitas : DJAKustik

35

Transparansi Anggaran Dan

Partisipasi Publik Dalam

Penganggaran

23

Reviu ADIK Ditjen

Pem-belajaran dan

Kemaha-siswaan, Kemenristekdikti

38

Menuju Sistem Perlin-

dungan Purna Tugas PNS

Yang Baru

52

Catatan Perjalanan : “Prau”

Di Atas Awan

54

Resensi Film : Now You

See Me 2

Daftar Isi

(5)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

L I N T A S P E R I S T I W A

Sosialisasi Pokok-Pokok Kebijakan Anggaran, 12 Februari 2016

Direktorat Jenderal Anggaran melaksanakan Sosialisasi Pokok-pokok Kebijakan Anggaran kepada Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), pada hari Jum’at (12/2), bertempat di Auditorium Gedung Dhanapala. Seluruh pihak yang terlibat dalam proses penganggaran di berbagai Kementerian dan Lembaga perlu memiliki kesamaan persepsi sehingga proses penganggaran ke depan dapat berjalan lebih baik dari kondisi sebelumnya.

Sosialisasi Nasional :

Penyeleng-garaan JKK dan JKM Bagi

Pega-wai ASN, 25 Februari 2016

(6)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

L I N T A S P E R I S T I W A

Forum Group Discussion : Sistem

Jaminan Pensiun dan Hari Tua

Aparatur Sipil negara, 8 Maret 2016

Untuk menyempurnakan RPP terkait jaminan pensiun dan jaminan hari tua, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refor-masi Birokrasi, serta PT Taspen (Persero) melaksanakan Forum Grup Discussion : Sistem Jaminan Pensiun dan Hari Tua Apara-tur Sipil Negara

Pengukuhan Eselon III dan Eselon

IV di Lingkungan DJA

Pada hari Kamis (24/3), dilaksanakan pe-ngukuhan terhadap para pejabat Eselon III dan Eselon IV di lingkungan Direktorat Jen-deral Anggaran (DJA). Pengukuhan ditetap-kan berdasarditetap-kan Keputusan Menteri Keuang-an RI Nomor 118/KM.1/UP.11/2016.

Rapat Kerja DJA Tahun 2016

DJA menyelenggarakan Rapat Kerja pada Selasa (5/4). Acara yang diselenggarakan di Ballroom Dhanapala ini mengangkat tema ‘Peningkatan Profesionalisme dan Kualitas Pelayanan DJA Melalui Perbaikan Berkelan-jutan dan Semangat Kebersamaan’.

Review Proyeksi PNBP TA 2016,

Pe-nyusunan Rencana PNBP TA 2017

Dan Pemberian Apresiasi Pengguna

Simponi

(7)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

PENERAPAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA

MELALUI MONEY FOLLOW PROGRAM

Teks : Achmad Zunaidi

Rumusan program dan kegiatan beserta hasil yang akan dicapai harus jelas,

teru-tama dari sudut pandang rakyat yang akan menerima hasil-hasil pembangunan.

Tidak boleh ada kata-kata bersayap. Demikian juga dari sisi kelembagaannya,

kelembagaan harus mengikuti apa yang menjadi tujuan/prioritas yang akan dicapai.

(8)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

B

aru kali ini pucuk pimpinan peme- rintahan Indonesia secara jelas dan tegas membahas konsep penerapan anggaran (berbasis kinerja). Inti pemikir-an Presiden Jokowi tentpemikir-ang pemikir-anggarpemikir-an tersebut disampaikan pada saat mem-buka pertemuan kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 10 Februari 2016 lalu. “Tidak lagi money follow function, jadi yang betul mestinya money follow program, ya program kita apa, kita fokus ke situ”.

Apa yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan arahan sebagai pimpinan pemerintahan dalam hal pene-rapan penganggaran berbasis kinerja. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa anggaran berbasis kinerja se-bagai pendekatan penganggaran akan mengubah fokus pengukuran penca- paian program dan kegiatan yang semula didasarkan atas besarnya jumlah alokasi sumber daya bergeser kepada hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut.

Apa yang ada dalam undang-undang tersebut sejalan dengan maksud Presi-den, “Anggaran kedepan harusnya tidak dibagi-bagi mengikuti organisasi, karena selama ini cara tersebut membuat ang-garan kita hilang tidak berbekas. Ke depan, kita punya prioritas dan punya fokus sehingga kalau ada direktur di satu K/L tidak masuk program prioritas maka tidak perlu dianggarkan”. Inilah gambaran akhir yang akan dicapai dari penerapan money follow program.

Presiden sepertinya telah memperha-tikan bahwa selama ini program-program dan kegiatan yang dilakukan kementerian negara/lembaga tidak fokus pada hasil. Hal ini ditandai dengan nama program dan kegiatan serta hasil yang diharapkan kurang jelas keterkaitannya, kurang jelas dari sisi hasil yang akan dicapai.

Padahal, maksud UU Nomor 17 terse-but adalah agar penghitungan alokasi anggaran yang semula dilakukan se-cara incremental (tambah-kurang) dari alokasi anggaran periode sebelumnya (dikenal dengan anggaran tradisional atau line item budget) diubah menjadi anggaran berbasis kinerja. Kinerjanya terlebih dahulu yang dibahas dan didiskusikan untuk ditetapkan,

menyu-sul kemudian diskusi mengenai besaran anggarannya. Bukan lagi anggaran dibagi dan dikelompokkan menurut organisasi semata.

Dengan bahasa orang awam, rumus-an program drumus-an kegiatrumus-an beserta hasil yang akan dicapai harus jelas, terutama dari sudut pandang rakyat yang akan menerima hasil-hasil pembangunan. Tidak boleh ada kata-kata bersayap. Demikian juga dari sisi kelembagaanya, kelembagaan harus mengikuti apa yang menjadi tujuan/prioritas yang akan dicapai.

Meskipun demikian, istilah money follow program sebagai suatu perintah atau arahan pimpinan memang telah jelas. Namun, sebagai suatu konsep perlu diketahui duduk perkaranya apabila dihadapkan dengan konsep money follow function, yaitu konsep yang dipahami para birokrat perencana penganggaran selama ini. Banyak pertanyaan muncul dengan jargon baru ini: Apakah sebenar-nya kedua konsep ini berseberangan; Apakah hanya sudut pandang yang ber-beda; Barangkali, permasalahan tersebut hanya persoalan optimalisasi peran dan koordinasi antar unit yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran (baca Money Follow Program dan Money Fol-low Function).

Di samping mengenai penggunaan konsep, masih ada permasalahan lain dalam penerapan penganggaran berbasis keinerja di Indonesia. Pertama, upaya berbagai pihak untuk meng-kavling anggaran sesuai sektor-sektor yang menandakan bahwa perencanaan ang-garan tidak diperlukan lagi karena alokasi

anggaran terbagi berdasarkan amanat undang-undang sektoral. Secara tidak langsung juga menyiratkan, rumusan kinerja yang jelas atau mempunyai keterkaitan yang kuat antara program dan kegiatan beserta keluarannya tidak diperlukan lagi. Semua itu memang tidak perlu karena masing-masing sektor de-ngan jaminan anggaran yang dinyatakan dalam undang-undang, tidak membu-tuhkan perencanaan yang amat cang-gih (baca Lonceng Kematian Anggaran Berbasis Kinerja).

Kedua, penerapan aspek let the ma-nagers manage sebagai langkah selan-jutnya dari penerapan anggaran berbasis kinerja perlu dielaborasi dan dioptimal-kan. Konsep tersebut memang memberi-kan kebebasan bagi manajer (pimpinan K/L) untuk berkreasi tetapi dengan tu-juan kinerjanya berhasil. Di samping itu, bagi central agency bidang penganggar-an seperti Ditjen Anggarpenganggar-an, penerappenganggar-an let the managers manage harus diartikan sebagai peralihan tugas-pekerjaan yang semula bersifat administratif semata (pe-nyusunan dan penetapan dokumen ang-garan) menjadi tugas-pekerjaan bersifat strategis, yaitu review baseline atau mengkaitkan tambahan anggaran dengan isu-isu prioritas pembangunan dalam pertemuan forum trilateral meeting (baca Optimalisasi Peran DJA dalam Kerangka Let The Managers Manage). n

(9)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

MONEY FOLLOW FUNCTION

dan

MONEY FOLLOW PROGRAM

Teks : Hendra Kurniawan K.H.

Pilihan itu muncul seiring dengan isu yang ramai dibicarakan dalam proses perencanaan dan

peng-anggaran di tahun 2016 ini. Isu yang memunculkan dikotomi antara Money Follow Function dan

Money Follow Program sehingga menimbulkan perbedaan persepsi, padahal jika kita

memban-dingkan dengan seksama maka keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsip. Kedua-duanya

mengedepankan pemilihan untuk mendanai program/kegiatan prioritas, menekankan pada efisiensi

alokasi anggaran, serta transparansi dan akuntabilitas yang ditunjukkan dengan kejelasan sasaran

kinerja.

(10)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

A

da dua alasan yang dikemukakan mengapa Money Follow Function dianggap tidak tepat yaitu, pertama, dianggap menjadi penyebab terjadinya inefisiensi dalam penganggaran, karena melalui pendekatan ini maka semua fungsi-fungsi pemerintahan harus didanai walaupun tidak semuanya termasuk dalam program-program prioritas, metode yang digunakan adalah tambah/kurang sebesar persentase perubahan pagu berdasarkan data tahun sebelumnya; kedua, melemah-kan koordinasi antar sektor-sektor pem-bangunan, karena banyaknya program/ kegiatan yang jalan sendiri-sendiri (tidak terkoordinasi satu sama lainnya).

Sebaliknya di sisi lain justru ber-pendapat bahwa Money Follow Function sangat tepat untuk dilaksanakan saat ini dengan alasan : pertama, memperkuat koordinasi karena dengan program/ke-giatan berada dalam fungsi yang sama maka akan memudahkan koordinasinya; kedua, dengan meletakkan anggaran pada fungsi yang tepat dan hanya unit-unit yang secara profesional mempunyai tugas dan fungsi atas suatu kegiatan yang dapat melaksanakan kegiatan tersebut maka akan dapat mendorong terciptanya efisien-si dalam alokaefisien-si (menghindari duplikaefisien-si kegiatan/program). Lantas sebenarnya apa dan bagaimana paradigma Money Follow Function dan Money Follow Program?

”Konsep money follow

function pada prinsipnya

menegaskan bahwa

peng-alokasian anggaran harus

berdasarkan fungsi

tiap-tiap unit dalam organisasi

pemerintah. Secara

filoso-fi, konsep penganggaran

yang efektif - efisien dan

menjaga kesinambungan

fiskal dimulai dari

pelaksa-na program/kegiatan oleh

fungsi organisasi yang

tepat.”

Konsep Money Follow Function pada prinsipnya menegaskan bahwa pengalo-kasian anggaran harus berdasarkan fungsi masing-masing unit dalam organisasi pemerintah. Secara filosofi maksud dari konsep ini adalah ingin membangun konsep penganggaran yang efektif, efisien, dan menjaga kesinambungan fiskal melalui upaya peningkatan kualitas belanja (quali-ty spending), yang dimulai dari pelaksa-naan program/kegiatan oleh fungsi organ-isasi yang tepat. Jika anggaran atas suatu kegiatan itu dikelola dan dilaksanakan oleh unit organisasi yang tepat maka : (1) akan menghindari terjadinya duplikasi dalam penganggaran, karena sebuah ke-giatan hanya akan dilaksanakan oleh unit yang memang melaksanakan tugas dan fungsi tersebut; (2) mendorong terciptanya efisiensi, karena dapat dihindari terjadinya kegiatan yang overlapping, sebuah kegi-atan tidak dapat dialokasikan anggarannya jika tidak sesuai dengan tugas dan fungsi unit organisasi; (3) mendorong pencapai-an sasarpencapai-an secara lebih optimal, karena diselenggarakan oleh unit organisasi yang sesuai maka akan lebih profesional dalam pengelolaannya yang pada akhirnya dapat mengarah pada pencapaian sasaran se-cara lebih optmal.

Dalam konsep Money Follow Function tidak serta merta membagi anggaran pada semua unit/organisasi secara merata, tetapi tetap ada proses penilaian (assessment) terhadap usul sebuah pro-gram/kegiatan yang akan diusulkan oleh setiap unit/organisasi. Penilaian tersebut utamanya menyangkut apakah program/ kegiatan yang diusulkan termasuk dalam proses prioritas yang harus didanai atau tidak serta bagaimana kontribusi dan dampaknya terhadap pelaksanaan pem-bangunan.

Sementara pada konsep Money Follow Program sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Peren-canaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil, maupun Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasu-tion dalam beberapa kesempatan, yang menegaskan perlunya pendekatan peng-anggaran yang berdasarkan pada bobot program/kegiatan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah, dimana program/kegiatan dikatakan memiliki bo-bot yang tinggi jika memberi manfaat yang besar kepada rakyat. Melalui pendekatan ini diharapkan : (1) adanya skala prioritas

alokasi yang tinggi pada program-program yang memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat; (2) program dan kegiatan yang akan didanai lebih tegas dan jelas, sehingga jelas sasaran yang akan dicapai lebih optimal dan teratur; (3) mendorong terciptanya efisiensi melalui koordinasi yang jelas antarprogram dan kegiatan.

”Konsep money follow

program menegaskan

per-lunya pendekatan

peng-anggaran yang

berdasar-kan pada bobot program/

kegiatan sesuai dengan

tujuan yang ditetapkan

oleh pemerintah.”

Pada konsep Money Follow Prog-ram juga menegaskan adanya fase penilaian atas program-program yang akan diajukan. Program-program yang memberi manfaat yang besar pada rakyat akan mendapatkan prioritas utama dalam pengalokasian anggaran, baru berikutnya diikuti pengalokasian anggaran pada pro-gram-program dengan bobot dibawahnya (lebih rendah). Sebaliknya jika terjadi efisiensi (penghematan) anggaran maka program-program yang memiliki bobot yang memberikan manfaat lebih rendah kepada rakyat yang harus dihemat (di-potong) terlebih dahulu. Prinsipnya tidak semua fungsi pemerintahan yang didanai, jika memang tidak memberikan manfaat yang lebih besar kepada rakyat, maka tidak perlu didanai.

(11)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

nasi antarprogram/kegiatan; dan (3) kedua-duanya menekankan akuntabilitas, transparansi dan kejelasan atas sasaran kinerja yang ingin dicapai.

Alur proses yang berlaku adalah bahwa setiap unit organisasi harus mengusulkan program/kegiatan terlebih dahulu baru memperoleh pendanaan, itupun harus ter-lebih dahulu “lolos” dalam penilaian yaitu, harus memenuhi kriteria sebagai program/ kegiatan prioritas. Jadi jangan dibalik. Bukan ada anggaran dulu baru mem-buat program/kegiatan (Function Follow Money/Program Follow Money). Peng-gunaan data tahun lalu hanya sebagai ba-han dalam penyusunan dan penilaian usul alokasi anggaran, jika sebuah kegiatan pada tahun X merupakan kegiatan prioritas yang telah dialokasikan anggarannya pada tahun X, maka tahun X+1 akan dinilai lagi apakah masih temasuk program/kegiatan prioritas atau tidak. Jika masih masuk sebagai program/kegiatan prioritas yang harus dilanjutkan maka akan disediakan kembali alokasi anggarannya sesuai target kinerja pada tahun yang direncanakan,

se-baliknya jika sudah selesai dan tidak lagi menjadi kegiatan prioritas lagi pada unit tersebut, maka tidak akan dialokasikan lagi anggaran untuk mendanai kegiatan tersebut. Berkenaan dengan hal itu sangat terbuka ruang sebuah unit organisasi tidak mendapatkan alokasi anggaran program/kegiatan (kecuali untuk gaji dan operasional perkantoran) jika memang program/kegiatan yang diusulkan oleh sebuah unit tidak menjadi prioritas (tidak memberi manfaat yang besar untuk rakyat). Bahkan konsep Money Fol-low Function memiliki kelebihan dengan adanya unit-unit yang secara profesional melakukan pekerjaan itu sehingga meng-hindari terjadinya duplikasi dan mendorong efisiensi anggaran.

Sementara itu dari sisi kerangka hu-kum istilah Money Follow Function lebih dikenal daripada Money Follow Program, hal itu bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pada pasal 11 ayat (5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja; Pasal 12 ayat

(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja peme-rintah dalam rangka mewu-judkan tercapainya tujuan bernegara; pasal 14 ayat (2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasar-kan prestasi kerja yang aberdasar-kan dicapai, dan Pasal 15 ayat (1) APBN yang disetujui oleh DPR terrinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Selanjutnya dalam penjelasan umum atas UU No 17 Tahun 2003 dimaksud juga ditegas-kan kelemahan pengelompok-an pengelompok-anggarpengelompok-an berdasarkpengelompok-an kelompok anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang pernah dilaksanakan sebelum tahun 2005, yang dikatakan mem-berikan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan dan penyimpangan anggaran.

Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pem-bangunan Nasional juga ditegaskan pada Pasal 15 ayat (1) Pimpinan Kementerian/ Lembaga menyiapkan rancangan Ren-stra-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman kepada rancangan awal RPJM Nasional seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); Pasal 21 ayat (1) Pimpinan Kemen-terian/Lembaga menyiapkan rancangan Renja-K/L sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awak RKP sebagaimana di-maksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ber-pedoman pada Renstra-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

(12)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

L A P O R A N U T A M A

dan Klasifikasi Jenis Belanja; Pasal 6 ayat (1) RKA-K/L disusun berdasarkan Renja K/L, RKP, dan Pagu Anggaran K/L. Selanjutnya pada pasal 7,8,9,10,11,12, dan 13 sangat jelas digambarkan proses penyusunan anggaran yang diawali de-ngan pidato presiden yang menyampaikan arah kebijakan dan prioritas pembangunan nasional untuk tahun yang direncanakan, berdasarkan hasil evaluasi kebijakan berjalan, yang menjadi pedoman awal pe-rencanaan dan penganggaran tahun yang direncanakan. Dijelaskan pula tugas Bappenas untuk mengoordinasikan evalu-asi perencanaan program dan kegiatan untuk disinergikan prioritas pembangunan nasional, serta Kementerian Keuangan yang bertugas menyusun kapasitas fiskal menyusun pagu, mengkoordinasikan penelaahan dan menetapkan dokumen pelaksanaan anggaran. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum PP Nomor 90 Tahun 2010 ditegaskan Penerapan pengang-garan berbasis kinerja paling sedikit me-ngandung tiga prinsip yang salah satunya adalah Prinsip alokasi anggaran program dan kegiatan didasarkan pada tugas fungsi unit kerja yang dilekatkan pada struktur organisasi (Money Follow Funtion).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja

Pemerintah juga ditegaskan pada Pasal 3 ayat (1) Renja-KL disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif serta memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat; ayat (2) Program dan kegi-atan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disusun dengan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum PP Nomor 20 tahun 2010 juga menegaskan bahwa sebagai pedoman penyusunan RAPBN, RKP juga disusun dengan mengikuti pendekatan baru dalam penganggaran sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara tersebut. Pendekatan baru tersebut mencakup tiga hal : penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah, pan penganggaran terpadu, dan penera-pan penganggaran berbasis kinerja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip atas kedua paradigma tersebut baik Money Follow Function maupun Money Follow Program, kedua-duanya

mengan-dung prinsip-prinsip yang sama dalam penganggaran. Perbedaan persepsi atau sudut pandang dimungkinkan disebab-kan oleh tidak optimalnya peran dari masing-masing pihak yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran central agency maupun K/L. Bisa juga permasalahan tersebut disebabkan oleh lemahnya koordinasi sehingga antara setting pendanaan dan program yang didanai masih kurang optimal (kurang pas).

(13)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

LONCENG KEMATIAN

ANGGARAN BERBASIS KINERJA

Teks : Achmad Zunaidi

Melalui penetapan suatu undang-undang, anggaran pendidikan mematok 20% dari belanja negara;

anggaran kesehatan mematok 5% dari APBN; anggaran desa mematok 10% dari dan di luar (dana)

Transfer ke Daerah. Ini merupakan fakta bahwa politik anggaran sekadar membagi-bagikan

ang-garan, tanpa tahu apakah programnya dibutuhkan masyarakat atau tidak. Saat-saat seperti ini

merupakan lonceng kematian bagi penerapan anggaran berbasis kinerja di Indonesia.

U

saha dan taktik para pihak yang berkepentingan untuk memperoleh anggaran tanpa usaha ‘memadai’ kerap dilakukan. Seharusnya, para pihak yang bermaksud memperoleh anggaran negara berinistif merancang program/ kegiatan beserta keluaran yang hendak dicapai sebagai isu yang nantinya menjadi keputusan dalam forum para pengambil kebijakan, baik pada tingkat menteri atau kabinet. Memang upaya ini memerlukan usaha sungguh-sungguh agar program/ kegiatan terlihat menarik dari sisi kebijakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Berlawanan dengan itu, pihak yang berkepentingan tidak melakukan seperti tersebut di atas tetapi lebih berorientasi pada bagaimana mendapat alokasi ang-garan sebesar-besarnya. Caranya adalah melalui peraturan perundangan setingkat undang-undang yang mengamanatkan adanya keharusan untuk mematok ang-garan negara sebesar persentase tertentu dari belanja negara.

Upaya dimaksud merupakan upaya sekali ‘pukul’ tetapi berdampak selamanya, tanpa mengacuhkan kondisi keuangan

(14)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Anggaran Berbasis Kinerja Versus

Pematokan Anggaran

Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan tujuan reformasi penganggaran yaitu ang-garan berbasis kinerja mengubah fokus pengukuran pencapaian program dan kegiatan yang semula didasarkan atas besarnya jumlah alokasi sumber daya bergeser kepada hasil yang dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut.

Dalam kalimat yang lebih lugas, John Mercer seorang konsultan pengang-garan, menggambarkan mengenai anggaran berbasis kinerja dalam beberapa kalimat di bawah ini:

• Anggaran berbasis kinerja adalah proses penganggaran yang dapat menjelaskan hubungan antara proyeksi biaya yang dibutuhkan dengan ekspektasi hasil yang akan dicapai oleh pengeluaran pemerintah;

• Kegiatan yang dibiayai ang-garan akan menghasilkan keluaran(output), dan pada akhirnya kombinasi dari berbagai keluaran kegiatan tersebut dalam suatu program diharapkan meng-hasilkan dampak positif program (outcome);

• Anggaran berbasis kinerja yang efektif memiliki prinsip utama yaitu kejelasan hubungan (link-ages) antara ukuran kinerja pada tingkatan bawah dengan hierarki tujuan/sasaran yang lebih tinggi, baik dari sisi organisasional maupun dari sisi dampak positif (outcome).

Jadi, anggaran berbasis kinerja menurut pengertian di atas merupakan alat untuk mencapai kinerja tertentu yang diharapkan dari suatu perencanaan penganggaran.

Apalagi saat ini Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Anggaran sedang melakukan reformasi penganggaran ber-basis kinerja jilid II melalui arsitektur dan informasi kinerja (ADIK). Pada intinya, ADIK berupaya untuk memperjelas kelu-aran kegiatan yang berdampak kepada masyarakat secara langsung dan mem-perkuat kejelasan hubungan antara ukuran kinerja pada berbagai tingkatan organisasi.

Dengan landasan anggaran berbasis kinerja seperti tersebut di atas, upaya berbagai pihak untuk mematok anggaran

melalui penerbitan undang-undang yang mengamanatkan hal tersebut, tentu berto-lak beberto-lakang. Tanpa ada diskusi, alokasi anggaran dialokasikan dengan bersandar pada amanat undang-undang. Tidak ada lagi upaya adu program beserta capaian kinerja untuk rakyat yang dipertontonkan tetapi hanya sekadar membagikan ang-garan belanja sesuai amanat atau norma peraturan perundangan.

Kelemahan lain atas modus mematok anggaran sektoral dapat dirinci berikut ini.

Pertama, Pemerintah secara teknis sulit (kalaupun bisa, akan berupaya keras) melakukan harmonisasi dalam proses penyusunan postur APBN. Kesulitannya terletak memadu-padankan antara tujuan dari sisi ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi) pada satu sisi dan keharusan memenuhi anggaran belanja pada sektor tertentu berdasarkan undang-undang yang ada. Apalagi mandat tersebut tidak bisa ditawar oleh situasi dan kondisi, misal kondisi perekonomian yang lesu.

Kedua, fleksibilitas Pemerintah dalam membuat prioritas anggaran semakin berkurang karena adanya pembatasan anggaran berdasarkan peraturan per-undang ini. Pemerintah tidak bisa lagi menggeser peruntukan belanja yang lebih penting/mendesak pada suatu tahun

TABEL BATASAN DALAM PENYUSUNAN POSTUR APBN

No

Komponen dalam

Postur APBN

Besaran Persentase

Keterangan

1. Defisit Maksimal sebesar 3% dari

GDP (gross domestic bruto)

Amanat UU nomor 17 tahun 2003, penjelasan Pasal 12

2. Anggaran pendidikan 20% dari APBN • Amanat UUD 1945

Amandemen-IV, Pasal 31 • Daerah juga

mengalokasi-kan 20% dari APBD

3. Anggaran Kesehatan Minimal 5 % dari APBN diluar gaji

• Amanat UU nomor 36 tahun 2009, Pasal 171 • Daerah mengalokasikan

Minimal 10% dari APBD diluar gaji

4. Anggaran Desa 10% dari dan di luar dana

transfer (on top) secara bertahap

Amanat Penjelasan UU nomor 6 tahun 2014, Pasal 72, Ayat (2)

5. Anggaran Transfer Daerah

DAU sekurang-kurangnya sebesar 26 % dari Pendapa

-tan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam.

Amanat UU nomor 33 tahun 2004, Pasal 27

karena adanya ’tembok’ pembatas ini.

Ketiga, tidak ada unsur kompetisi bagi kementerian/lembaga sebagai pemangku kepentingan dalam memperoleh anggaran. Hal ini menyebabkan kurangnya rasa me-miliki terhadap suatu program/kegiatan, utamanya mengenai tujuan yang ingin dicapai. Peruntukan program/kegiatan dapat dipikirkan belakangan yang pen-ting ketersediaan alokasi anggarannya. Kementerian/lembaga yang bertanggung jawab terhadap program/kegiatan tidak

perlu berpikir sungguh-sungguh, apakah program/kegiatan yang akan dilaksanakan itu efektif untuk kesejahteraan masyarakat atau efisien dalam penghitungan biaya kegiatannya.

Di samping itu, apabila pematokan anggaran sampai sebesar 100% (arti-nya anggaran dibagi habis berdasarkan persentase tertentu) melalui amanat undang-undang, ada ketidakjelasan politik anggaran. Program dan kegiatan prioritas apa yang didukung oleh anggaran? Juga, tidak ada kegunaanya bagi pengambil kebijakan berupa masukan atau umpan balik atas permasalahan yang ada sebagai mekanisme evaluasi perencanaan-peng-anggaran di masa yang akan datang. Inilah lonceng kematian anggaran yang digembar-gemborkan berbasis kinerja. n

(15)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Optimalisasi Peran DJA Dalam Kerangka

LET THE MANAGERS MANAGE

Teks : Hendra Kurniawan. KH

D

ua belas tahun sudah perjalanan reformasi sistem penganggaran di Indonesia sebagai wujud implemen-tasi UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan PP Nomor 21 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan PP Nomor 90 Tahun 2010) Tentang Pe-nyusunan RKA-K/L. Berbagai hal sudah dilakukan dalam rangka menerapkan refor-masi sistem penganggaran. Penyiapan perangkat aturan, petunjuk dan pedoman teknis, sampai pada pengembangan Sum-ber Daya Manusia dilakukan agar proses reformasi sistem penganggaran berjalan dengan baik.

Dimulai pada 2005, diwujudkan peng-gabungan dokumen panganggaran dalam satu dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Semula kita

menge-nal Daftar Isian Kegiatan (DIK) untuk mengalokasikan anggaran yang bersifat rutin/operasional, Daftar Isian Proyek (DIP) untuk menampung alokasi anggaran yang bersifat investasi/pembangunan, atau dokumen-dokumen lain seperti Surat Keputusan Otorisasi (SKO) dan Daftar Isian Kegiatan Suplemen (DIKS). Doku-men ini digunakan untuk Doku-menampung alokasi anggaran untuk tujuan tertentu. Dokumen SKO menampung alokasi dari Belanja BUN khususnya belanja lain-lain, sedangkan DIKS menampung alokasi yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Langkah selanjutnya adalah menjadikan Satuan Kerja sebagai satu-satunya entitas dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pelaporan dan pertanggungjawaban

(16)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

tentang efektivitas dan efisiensi kegiatan. Perbaikan konsep dan implementasi PBK dilakukan dengan Restrukturisasi Pro-gram dan Kegiatan dan melalui Penataan Arsitektur dan Informasi Kinerja pengang-garan.Berdasarkan penjelasan umum atas PP Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, ditegas-kan bahwa penerapan PBK paling sedikit mengandung 3 (tiga) prinsip, yaitu :

a. Prinsip alokasi anggaran program dan kegiatan didasarkan pada tugas fungsi unit kerja yang dilekatkan pada struktur organisasi (money follow function);

b. Prinsip alokasi anggaran berorientasi pada kinerja (output and outcome oriented);

c. Prinsip fleksibilitas pengelolaan ang-garan dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas (let the managers ma-nage);

Prinsip let the managers manage

menunjukkan pemberian kewenangan/ keleluasaan kepada pimpinan unit pada Kementerian Negara/Lembaga untuk melaksanakan kegiatan dan mencapai ke-luaran sesuai dengan rencana. Kewenang-an yKewenang-ang diberikKewenang-an menyKewenang-angkut fleksibilitas dalam menentukan cara dan tahapan suatu kegiatan untuk mencapai keluaran.

Cara dan tahapan kegiatan beserta alokasi anggaran pada saat perencanaan hanya menjadi dasar dalam pelaksanaan kegiatan. Cara dan tahapan tetap mem-perhatikan akuntabilitas pengelolaannya dengan mempertanggungjawabkan peng-gunaan dana dan pencapaian kinerja yang telah ditetapkan.

Konsekuensi dari penerapan prinsip ini adalah munculnya pandangan bahwa K/L bebas menentukan (merencanakan dan menganggarkan), sedangkan DJA sudah tidak lagi meneliti alokasi anggaran dalam dokumen penganggaran secara detail. Dengan demikian kewenangan DJA untuk menjaga kualitas belanja dalam APBN menjadi berkurang. Pertanyaan yang mun-cul adalah apakah kualitas alokasi belanja dalam APBN sudah lebih baik, apakah K/L sudah dapat melaksanakan tugas perencanaan dan pengalokasian anggaran dengan baik pula, dan bagaimana DJA memposisikan dirinya untuk tetap dapat berperan dalam menjaga kualitas belanja yang dialokasikan dalam APBN.

Let The Managers Manage Sebagai

Sebuah Tuntutan

Syarat agar implementasi prinsip let the managers manage berjalan efektif adalah pengelola (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, aturan/regulasi yang jelas,

Standard Operating Procedure (SOP) penganggaran yang baik, serta dukung-an seperdukung-angkat sistem (teknologi) ydukung-ang baik. Sinergi keseluruhan unsur ini dalam perencanaan dan penganggaran akan mendorong upaya peningkatan kualitas belanja.

Mencermati hasil evaluasi data yang ada, sejujurnya bisa dikatakan bahwa kualitas RKA-KL sebagai salah satu indi-kator dari perencanaan dan penganggaran masih belum sampai pada taraf kuali-tas yang baik. Masih banyak ditemukan RKA-K/L yang belum menggambarkan keterkaitan yang tegas antara pendanaan dengan output/hasil. Alokasi anggaran atas suatu output masih “fleksibel”, dapat naik/turun sesuai ketersediaan anggar-an. Komponen yang membentuk output

juga belum memiliki relevansi yang kuat sehingga tahapan/komponen dapat

berkurang atau bertambah sesuai dengan kebutuhan perencana. Hal ini menunjuk-kan bahwa alokasi atas sebuah output

dimaksud belum efisien dan efektif.

Apabila tidak segera dicarikan solusi, kondisi seperti ini akan berpotensi terjadi inefisiensi dalam pengalokasian anggaran. Tentunya ini menjadi sebuah dilema. Di satu sisi DJA sudah harus menerapkan konsep Performance Based Budgeting

secara penuh, namun di sisi lain ada ke-wajiban untuk menjaga efisiensi dan efek-tifitas pengalokasian anggaran sebagai komitmen dan tanggung jawab DJA.

(17)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

reviu atas RKA-K/L masih belum berada pada tingkat kualifikasi yang handal untuk melaksanakan tugas tersebut, sehingga proses assesment RKA-K/L belum berja-lan sebagaimana mestinya.

Parameter sederhana yang dapat dija-dikan ukuran adalah hasil evaluasi K/L. Alokasi anggaran bisa saja tidak terserap seluruhnya tapi sasaran kinerja tercapai. Bukan karena efisiensi tapi justru kemung-kinan terjadinya over alokasi atas sebuah

output/kegiatan. Disamping itu masih tingginya revisi anggaran untuk mengu-rangi alokasi output tanpa mengurangi sasaran kinerja juga menunjukkan hal yang sama (over alokasi). Kondisi objektif ini haruslah disikapi secara wajar, dengan melakukan perbaikan-perbaikan ke arah kemajuan.

Hal yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah “komitmen” K/L untuk sungguh-sungguh dalam menyusun dan melakukan penelaahan RKA-K/L. Sudah menjadi hal yang umum terjadi jika pada saat penelaahan RKA-K/L, penelaah dari K/L hanya diwakili sekedarnya saja, staf atau bahkan honorer. Ini menunjuk-kan bahwa K/L tidak lagi menganggap forum penelaahan itu sebagai forum yang strategis. Mereka lebih memilih hadir di tempat lain daripada harus hadir di forum penelaahan. K/L merasa yakin sekali bahwa DJA tidak lagi sampai membatal-kan (mencoret) usul mereka, sehingga tidak ada kewajiban moral dari mereka untuk mempresentasikan usul secara baik dan mempertanggungjawabkan usulan itu dalam forum penelaahan. Mereka yakin bahwa usul mereka akan disetujui dan ditampung dalam DIPA.

Hal yang sangat berbeda jika diban-dingkan dengan penelaahan “tempo dulu”. Dalam penelaahan, pejabat yang hadir adalah pejabat yang dapat menyampaikan dan mempertanggungjawabkan usul ke-giatan yang dialokasikan dalam dokumen penganggaran. Bahkan terkadang usulan didukung dengan dokumen-dokumen yang berlebihan, sebagai wujud kesiapan dan upaya meyakinkan penelaah DJA atas pentingnya alokasi kegiatan tersebut. Apalagi dengan pelaksanaan penelaahan

online ke depan, akan sulit mewujudkan forum penelaahan sebagai forum untuk mengklarifikasi dan menilai bahwa output telah disusun dengan komponen yang tepat dan biaya yang efisien.

Dalam situasi ini, sulit untuk menga-takan bahwa output dari proses penelaah-an itu adalah RKA-K/L ypenelaah-ang menampung usul belanja, program, kegiatan dan

output yang berkualitas.

Reorientasi Peran DJA

Situasi seperti di atas haruslah dires-pon dengan bijak. Tidak harus melihat atau berjalan ke belakang lagi, kebijakan harus tetap berlanjut. Upaya perbaikan kualitas melalui edukasi harus semakin dioptimalkan. Pembuatan regulasi yang jelas, mudah diimplementasikan dan tidak multitafsir, serta penyederhanaan proses bisnis tetap dilanjutkan. Semua itu di-harapkan akan semakin mendorong upaya peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran pada semua lini.

Di samping itu, DJA harus dapat mem-perkuat perannya pada sisi-sisi lain dari

proses perencanaan dan penganggaran. Mengingat proses perencanaan dan peng-anggaran merupakan sebuah rangkaian proses dalam sebuah siklus perencanaan dan penganggaran, maka opsi untuk mengoptimalkan alur proses lainnya harus dilakukan yaitu penguatan fungsi-fungsi lainnya yang berkorelasi dalam upaya meningkatkan kualitas belanja dimaksud. Penguatan fungsi dan peran DJA seba-gai ikhtiar meningkatkan kualitas belanja dalam APBN tidak harus dilakukan dengan hal yang baru. Fungsi dan peran yang sudah dilakukan sejak dahulu, seperti misalnya reviu baseline, penilaian inisiatif baru, trilateral meeting, serta penerapan standar biaya perlu diperkuat.

(18)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

L E T T H E M A N A G E R S M A N A G E

setiap tahun tanpa ada komitmen untuk mengoptimalkan proses dan hasilnya.

Forum reviu baseline, sejatinya tidak hanya dalam rangka memperbaiki angka prakiraan maju dan exercise pagu saja, tetapi bagaimana hasil reviu baseline

dimaksud secara konsisten digunakan sebagai dasar penetapan Pagu Indikatif. Agar hal tersebut dapat diwujudkan, perlu diperkuat dengan aturan-aturan penun-jang yang lebih jelas, metodologi reviu yang terukur dan jelas, menggunakan hasil monev dalam penilaian, dan jika memungkinkan, mendesain rancangan pengembangan SDM untuk melakukan reviu baseline melalui Diklat. Pada saat reviu baseline, dapat dilakukan penilaian kembali atas alokasi anggaran pada setiap

output dan dilakukan tambah/kurang atas alokasi yang sudah diberikan atas suatu

output yang sudah ditetapkan pada RKA-K/L tahun sebelumnya. Selain itu dapat pula dilakukan penilaian penuh untuk menetapkan alokasi anggaran yang efektif dan efisien atas sebuah output.

”Penguatan fungsi dan

peran DJA sebagai ikhtiar

meningkatkan kualitas

belanja dalam APBN tidak

harus dilakukan dengan

hal yang baru. Fungsi dan

peran yang sudah

dilaku-kan sejak dahulu, seperti

misalnya reviu baseline

,

penilaian inisiatif baru,

trilateral meeting, serta

penerapan standar biaya

perlu diperkuat.”

Sampai saat ini, penilaian inisiatif baru termasuk kebijakan yang belum konsisten dilakukan padahal PP No. 90 Tahun 2010 tegas mengatur inisiatif baru sebagai bagian dari kebijakan penetapan pagu/ alokasi anggaran. Agar kebijakan ini dapat diterapkan secara efektif, harus ada komit-men bahwa setiap tambahan alokasi atas Pagu Baseline harus disertai dengan pro-posal inisiatif baru dan sudah dinilai oleh kedua belah pihak (Bappenas dan DJA),

dengan mengacu pada Peraturan Menteri Perencanaan No. 1 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011 tentang Tata Cara Penyu-sunan Inisiatif Baru. Selain itu metodologi penilaian inisiatif baru dan SOP-nya juga perlu dipertegas, sehingga akuntabilitas proses dan kualitas hasilnya dapat diper-tanggungjawabkan. Saat ini, masih banyak tambahan atas pagu anggaran yang tidak dilengkapi dengan proposal inisiatif baru apalagi proses penilaiannya. Cara-cara seperti ini harus dihilangkan dalam proses perencanaan dan penganggaran.

Forum Trilateral Meeting perlu lebih diperkuat dari sisi prosesnya terutama keterlibatan DJA khususnya bagaimana mensinkronkan kegiatan-kegiatan prioritas dengan ketersediaan anggaran. DJA harus ikut mengkonfirmasi atas kegiatan-kegiatan prioritas yang akan dialokasikan dalam RKA-K/L. Di samping itu DJA juga memperhatikan bagaimana menang-gapi usulan tambahan anggaran yang hampir pasti selalu dilakukan oleh K/L. Forum trilateral meeting juga harus dapat mengharmonisasikan semua program baik internal maupun lintas K/L, sehingga sinyalemen adanya perencanaan dan penganggaran yang tidak nyambung men-jadi tidak beralasan.

Untuk itu diperlukan keterbukaan dari Bappenas mengenai desain program-pro-gram prioritas baik internal maupun lintas K/L (antar sektor). Forum trilateral meet-ing harus benar-benar bisa merancang skala prioritas belanja K/L. Di samping itu, harus ada komitmen untuk menggu-nakan rekomendasi yang disepakati dalam kebijakan alokasi dan pagu selanjutnya. Misalnya jika terdapat optimalisasi setelah proses pembahasan di DPR maka pri-oritasnya sesuai dengan yang disepakati dalam forum trilateral meeting. Demikian pula sebaliknya apabila terjadi pengu-rangan pagu/alokasi maka yang harus ”dieksekusi” terlebih dahulu adalah yang skala prioritasnya rendah.

Standar Biaya, khususnya standar biaya keluaran, sampai saat ini juga meru-pakan hal yang sulit dilaksanakan karena ternyata kebijakan standar biaya belum memiliki “nilai jual” yang tinggi. Faktor yang menjadi penyebabnya antara lain, standar biaya keluaran belum menjajikan kemudahan dalam proses penyusunan RKA-K/L, dan menyebabkan kaku/tidak fleksibel bagi K/L dalam menyusun RKA-K/L. Untuk itu harus dibuatkan terobosan

bagaimana standar biaya khususnya standar biaya keluaran menjadi “menarik” dan merangsang setiap K/L untuk menyu-sunnya. Misalnya dengan adanya standar biaya keluaran maka penuangan kom-ponen/rincian belanja dalam RKA-K/L tidak perlu detail, kegiatan-kegiatan yang ditetapkan dalam standar biaya keluaran tidak terikat dalam beberapa kode akun akan tetapi cukup ditetapkan dalam akun tertentu.

Demikian pula halnya saat dilakukan audit agar sejalan dengan prinsip perfor-mance based budgetting cukup dilakukan dengan melihat capaian dan penyerapan anggaran atas output saja. Hal seperti ini sudah pernah dilakukan dalam kegiatan perencanaan dan penganggaran di masa lalu. Dengan dapat disusunnya standar biaya keluaran atas suatu output tertentu maka diharapkan ada standardisasi atas output baik dari segi pentahapannya mau-pun dari sisi besaran alokasinya.

Penerapan Prinsip Let The Managers

Manage

Sesungguhnya penerapan prinsip Let the Managers Manage, sebagai wujud penerapan penganggaran berbasis kinerja secara penuh, tidaklah serta merta mere-duksi kewenangan DJA dalam menjaga kualitas belanja dalam APBN. Optimalisasi fungsi dari pelaksanaan tugas-tugas lain dapat menjawab kekhawatiran itu. Banyak sisi dari upaya menjaga kualitas belanja dalam APBN yang dapat dilakukan oleh DJA yang mungkin selama ini belum opti-mal penyelenggaraannya.

Sebagaimana disampaikan di atas, yang paling penting dari semua itu adalah komitmen untuk melaksanakan hal tersebut secara sungguh-sungguh dan komitmen untuk menggunakan rekomen-dasi yang dihasilkan dalam implementasi kebijakan-kebijakan penganggaran, khu-susnya kebijakan tentang pagu.

(19)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Made Arya Wijaya

D I R E K T U R H A R M O N I S A S I

P E R A T U R A N P E N G A N G G A R A N

K o n s e p s i d a n Pe n e r a p a n

A n g g a r a n B e r b a s i s K i n e r j a

(20)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

A

manah ini tentunya membawa dampak perubahan yang sa-ngat mendasar jika dibandingkan dengan sistem penganggaran yang diterapkan sebelumnya yakni bersifat incremental dan berbasis input. Untuk mendukung penerapan sistem pengang-garan berbasis kinerja dalam pengelolaan APBN, Pemerintah yang dimotori oleh Kementerian Keuangan dan Kemente-rian Perencanaan telah membangun sistem penganggaran berbasis kinerja dengan mengacu pada best practice dan pengalaman dari beberapa negara yang telah lebih dahulu menerapkan sistem ini, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia.

Secara konsepsi penganggaran berbasis kinerja terdiri atas 3 (tiga) prinsip utama yaitu : (1) berorientasi pada kinerja (performance oriented), (2) fleksibilitas dalam pelaksanaan ang-garan (let the managers manage), dan (3) pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi (money follow func-tion). Penjelasan untuk masing-masing prinsip utama dimaksud sebagai berikut :

Pertama, berorientasi pada kinerja. Prinsip ini dalam penerapannya menga-manahkan bahwa setiap rupiah anggaran

yang dialokasikan kepada Satuan Kerja atau kementerian negara/lembaga harus dapat menghasilkan kinerja atau dapat dikaitkan dengan kinerja tertentu yang akan dihasilkan. Di samping itu, melalui prinsip ini juga dapat menjaga bahwa se-tiap usulan anggaran yang diajukan oleh kementerian negara/lembaga didukung dokumen perencanaan dengan target kinerja yang jelas dan terukur.

Kedua, fleksibilitas dalam pelak-sanaan anggaran. Prinsip ini pada dasarnya memberikan keleluasaan kepada para Pengguna/Kuasa Peng-guna Anggaran dalam membelanjakan anggarannya guna mendukung pelaksa-naan rencana kerja yang telah disusun sehingga target kinerja dapat dicapai de-ngan lebih efisien. Yang perlu dipahami dengan baik atas prinsip ini adalah para Pengguna/Kuasa Pengguna Anggaran diberikan fleksibilitas dalam menentu-kan metode pelaksanaan kegiatan atau menggunakan komposisi sumber daya yang paling efektif dan efisien sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan yang direncanakan baik dari sisi volume maupun kualitasnya.

Ketiga, pengalokasian anggaran dengan pendekatan fungsi. Prinsip ini merupakan pendekatan yang strategis dalam menjaga efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan anggaran yakni anggaran hanya dialokasikan kepada kementerian/lembaga atau satuan kerja yang tugas fungsinya relevan dengan target kinerja yang akan dicapai secara nasional. Di samping itu, melalui prinsip ini juga diharapkan dapat mencegah ada-nya duplikasi pengalokasian anggaran mengingat secara rumusan tugas fungsi, setiap unit seyogyanya mempunyai tugas fungsi yang spesifik dan tidak overlap dengan tugas fungsi unit yang lain.

Selain ketiga prinsip utama di atas, untuk memudahkan dalam mengimple-mentasikan sistem penggaran berbasis kinerja pada seluruh kementerian/lem-baga, juga dibangun 3 (tiga) instrumen atau tools yaitu :

(1) Indikator kinerja. Instrumen ini merupakan alat ukur yang digunakan pada saat melaku-kan pengukuran dan evalu-asi kinerja. Melalui indikator kinerja ini, evaluator akan dapat menilai apakah sebuah

unit atau satuan kerja berkinerja baik atau tidak dalam pelaksanaan tugas fungsinya.

(2) Standar biaya. Instrumen ini dimak-sudkan sebagai alat untuk menge-tahui berapa biaya yang dibutuh-kan untuk melaksanadibutuh-kan sebuah kegiatan dan menghasilkan kinerja tertentu. Disamping itu, melalui standar biaya ini juga akan dapat diketahui apakah sebuah kegiatan efisien atau tidak dengan memban-dingkan antara standar biaya yang ditetapkan dengan realisasi dalam implementasinya.

(3) Evaluasi kinerja. Instrumen ini meru-pakan alat untuk mengetahui apakah target kinerja yang direncanakan dapat dicapai dengan baik. Selanjut-nya berdasarkan hasil dari evaluasi kinerja ini dapat direkomendasikan langkah-langkah untuk perbaikan ke depan, baik dari sisi desain program, rumusan kinerja, indikator kinerja maupun metodologinya termasuk juga dalam hal rekomendasi terkait pemberian reward atau pengenaan sanksi bagi kementerian/lembaga.

Apakah pendekatan money follow function yang diterapkan selama ini telah mampu mendorong terciptanya efisiensi dalam pengalokasian dana di setiap satuan kerja?

Kalau dilihat dari prinsip dan tujuan yang menjadi dasar penerapan pendekatan ini, berdasarkan pengalaman penerapannya pada periode 10 (sepuluh) tahun tera-khir, pendekatan money follow function telah mampu mendorong ter- ciptanya efisiensi

dalam pengalo- kasian

ang-garan walau-pun hasilnya belum optimal.

Hal ini dapat

dili-hat

“Sesuai amanah yang

tertu-ang dalam Pasal 14 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuang-

an Negara disebutkan bahwa

“Rencana kerja dan anggaran

yang disusun oleh menteri/

pimpinan lembaga, disusun

berdasarkan prestasi kerja

yang akan dicapai”. Hal ini

secara tegas dapat dimaknai

bahwa dalam rangka

penyu-sunan RAPBN dan dokumen

RKA-K/L, Pemerintah wajib

menerapkan sistem

pengang-garan berbasis kinerja.”

(21)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

dari beberapa faktor antara lain : (1) pengalokasian anggaran tidak lagi berdasarkan pada line item atau input base tetapi sudah mengacu pada output dan outcome; (2) semakin tumbuhnya pemahaman tentang manfaat penyu-sunan dan penggunaan standar biaya keluaran dalam proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Hal ini tentu-nya akan menjadi acuan dalam menilai tingkat efisiensi mengingat salah satu fungsi standar biaya adalah sebagai tools dalam menilai efisiensi anggaran; dan (3) pengalokasian anggaran fokus pada unit atau satuan kerja sesuai tugas fung-sinya sehingga dapat dihindari adanya duplikasi pendanaan atau kesalahan alokasi pada unit atau satuan kerja yang tidak relevan.

Kendala terbesar apa yang menyebab-kan implementasi money follow func-tion belum mampu mendorong efisiensi penganggaran di Kementerian Negara/ Lembaga?

Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara yang pernah dikunjungi sebagai benchmark di dalam penerapan pende-katan money follow function termasuk juga kondisi yang terjadi di Indonesia, ada 2 (dua) penyebab utama yang men-jadi kendala yaitu : (1) paradigma dalam menyikapi kebutuhan anggaran; dan (2) pemahaman dalam penerapan pende-katan money follow function.

Berkaitan dengan paradigma dalam menyikapi kebutuhan anggaran yang dimaksud adalah sampai dengan saat ini sebagian besar Kementerian Negara/ Lembaga masih berorientasi pada besarnya pagu anggaran yang dapat dialokasikan (budget oriented), tidak berorientasi pada target kinerja yang akan dihasilkan (performance oriented).

Dengan adanya paradigma ini masing-masing Kementerian Negara/Lembaga berusaha untuk mendapatkan alokasi anggaran yang semakin besar setiap tahun tanpa didukung dengan rencana kinerja yang jelas dan terukur sehingga dalam implementasiannya sangat tidak efisien.

Selanjutnya, berkaitan dengan pema-haman dalam penerapan pendekatan money follow function, kondisi yang terjadi hingga saat ini masih banyak Kementerian Negara/Lembaga yang belum memahami pendekatan ini dengan baik. Kondisi ini membawa dampak pengalokasian anggaran kepada sebuah Satuan Kerja menjadi tidak tepat dan tidak efisien mengingat alokasi anggaran

diberikan kepada Satuan Anggaran yang tidak sesuai fungsinya atau digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang bu-kan merupabu-kan tugas fungsinya.

Akhir-akhir ini di media massa ba nyak dimuat ide Bappenas yang dires-tui Presiden bahwa perlunya pengang-garan dengan menggunakan money follow program.Apakah ada perbe-daan yang mendasar di antara kedua pendekatan tersebut?

Menurut pandangan saya, pendeka-tan money follow program merupakan strategi atau kebijakan dalam pengalo-kasian anggaran yang mengacu pada program prioritas pembangunan. Melalui pendekatan ini, anggaran belanja yang disediakan dalam APBN akan dialokasi-kan ke dalam program-program pemba- ngunan sesuai prioritasnya. Semakin tinggi prioritas sebuah program maka alokasi anggaran yang ditetapkan sema-kin besar dan sebaliknya. Setelah alokasi

anggaran ditetapkan, langkah selanjut-nya adalah mendistribusikan anggaran dimaksud kepada kementerian/lembaga yang tugas fungsinya sesuai dengan target kinerja yang direncanakan. Kalau kita cermati lebih jauh, kedua pendekatan ini sebenarnya tetap digunakan dalam tahapan yang berurutan (sequence).

Secara prinsip perbedaan yang men-dasar adalah pada proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran untuk sebuah program pembangunan. Me-lalui pendekatan money follow program, penyusunan dan penetapan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan urutan prioritas sebuah program pembangun-an dengpembangun-an tetap memperhatikpembangun-an target kinerja yang akan dicapai. Dengan

pendekatan ini, proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran lebih bersifat top-down. Sedangkan untuk pendekatan money follow function, proses penyu-sunan dan penetapan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan usulan rencana kerja dari kementerian/lembaga sesuai tugas fungsinya dengan tetap mengacu pada program prioritas pembangunan yang telah dituangkan dalam RPJMN, RKP atau direktif Presiden. Melalui pendekatan ini, proses penyusunan dan penetapan alokasi anggaran lebih bersifat bottom-up.

Apa yang melatarbelakangi munculnya ide money follow program?

Berdasarkan hasil pengamatan saya pribadi dan mencermati komentar serta pandangan publik berkaitan dengan volume APBN yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sering kita dengar komentar bahwa volume APBN dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir naik hampir 4 kali lipat atau dalam kurun

Secara konsepsi penganggaran berbasis kinerja terdiri atas 3 (tiga)

prinsip utama yaitu : (1) berorientasi pada kinerja (

performance

oriented

), (2) fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran (let the

managers manage

), dan (3) pengalokasian anggaran dengan

pendekatan fungsi (

money follow function).

(22)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

waktu 5 (lima) tahun terakhir naik hampir 2 kali lipat. Tapi bagaimana dikaitkan dengan hasil atau kinerja yang dihasil-kan? Secara umum publik berpandangan dengan tambahan volume belanja APBN yang naik sedemikian besar tidak ada perubahan yang signifikan yang dapat di-rasakan oleh masyarakat, sehingga pub-lik berkesimpulan pola belanja Pemerin-tah dinilai tidak efisien atau kurang tepat sasaran.

Di samping itu, mencermati statement Bapak Presiden dan arahan kepada para Menteri disampaikan bahwa pendekatan pengalokasian anggaran kepada Kemen-terian Negara/Lembaga selama ini lebih bersifat “incremental” dan “bagi rata”. Hal ini tentunya tidak dapat memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat.

Apakah konsekuensi pada sistem pen-ganggaran yang selama ini existing?

Kalau dikaitkan dengan sistem

pe- ngang-garan

yang saat ini sudah diterapkan, menurut pendapat saya secara prinsip tidak ada konsekuensi atau dampaknya, baik ter-hadap pendekatan pengangaran terpadu, kerangka pengeluaran jangka menengah maupun penganggaran berbasis kinerja. Sebagaimana saya jelaskan di atas, pendekatan money follow program pada dasarnya merupakan strategi dalam pengalokasian anggaran berdasarkan pada program sesuai dengan priori-tasnya. Yang perlu menjadi perhatian adalah adanya perubahan proses dalam pengalokasian anggaran yang semula lebih bersifat bottom-up menjadi top-down. Sekali alokasi anggaran untuk sebuah program ditetapkan, proses se-lanjutnya akan kembali mengikuti sistem penganggaran yang sudah ada.

Bagaimana peran Bappenas ke depan sebaiknya pada sistem penganggaran di Indonesia?

Berkaitan dengan peran sebuah unit atau Kementerian Negara/Lembaga dalam sistem pemerintahan menurut pandangan

saya harus tetap mengacu pada amanah regulasi dan tugas fungsi yang

men-jadi tanggung jawabnya. Kalau kita perhatikan sesuai amanah regulasi

dan tugas fungsi yang men-jadi tanggung jawab Bappenas

adalah menyusun arah kebijakan pembangunan dan menyusun

perencanaan pembangunan nasional.

Di samping itu, kalau kita cermati arahan Bapak Presiden dan Wakil Presiden pada be-berapa forum dan kesempatan ditegaskan bahwa peran Bappe-nas diposisikan sebagai “system integrator” yang diharapkan

dapat menghasil-kan sebuah

perenca-naan

pem-bangunan nasional yang terintegrasi, baik secara horisontal yakni antar Kemente-rian Negara/Lembaga maupun bersifat lintas sektor dan secara vertikal yakni antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

“Berdasarkan

penga-laman dari beberapa ne-

gara yang pernah

dikun-jungi sebagai benchmark

di dalam penerapan

pendekatan

money

fol-low function termasuk

juga kondisi yang terjadi

di Indonesia, ada 2 (dua)

penyebab utama yang

menjadi kendala yaitu:

(1) paradigma dalam

menyikapi kebutuhan

anggaran; dan (2) pema

-haman dalam penerapan

pendekatan

money

fol-low function.

Selanjutnya untuk mendukung pelak-sanaan tugas fungsi Bappenas dalam menyiapkan perencanaan sebuah program/kegiatan pemerintah, diharap-kan dapat bersinergi dengan universitas dan lembaga-lembaga penelitian seperti BPPT atau LIPI dalam menyusun design, perekayasaan atau studi kelayakan yang selama ini kegiatan-kegiatan seperti dilaksanakan oleh tenaga konsultan de-ngan biaya yang cukup mahal/tinggi.

Dengan gambaran peran Bappenas sebagaimana dijelaskan di atas, diharap-kan dapat menghasildiharap-kan perencanaan pembangunan nasional yang berkualitas sesuai dengan prioritas pembangunan dan program kerja Pemerintah sehingga Kementerian Keuangan akan lebih mu-dah di dalam mendistribusikan alokasi anggaran untuk setiap program/kegiatan yang akan dilaksanakan. n

(23)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

Teks : Asrukhil Imro

A

DIK dalam RKA-K/L adalah gambar-an ringkas mengenai suatu program sebagai respon/tanggapan terhadap suatu situasi/permasalahan/kebutuhan pemangku kepentingan dengan

menunjuk-kan hubungan logis antara sumber daya (input) yang digunakan, kegiatan yang dilaksanakan, keluaran (output) yang dihasilkan dan manfaat atau perubahan yang diinginkan atau dihasilkan (outcome)

dengan adanya program tersebut. Dalam PMK 192/PMK.02/2015 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Ang-garan Kementerian Negara/Lembaga

reviu adik

Penataan Arsitektur Dan Informasi Kinerja (ADIK) sudah dimulai pada TA 2016. Apabila diperhatikan

pada DIPA TA 2016 ada perubahan tampilan yakni pada halaman IA berisi Informasi Kinerja

Kemen-terian/Lembaga mulai dari informasi fungsi, sub fungsi, program, outcome, IKU Program, kegiatan,

Indikator Kinerja Kegiatan dan Keluaran (output).

R E V I U A D I K

KEMENRISTEKDIKTI

(24)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

dan Pengesahan DIPA, Penataan ADIK dalam RKA-K/L dimaknai sebagai bukan menyusun dokumen baru atau menambah dokumen perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang sudah ada, melainkan penajaman isi RKA-K/L untuk menghasil-kan cara pandang yang ringkas atas suatu program agar dapat terlihat dari perspektif yang utuh, terlihat jelas relevansinya, dan mudah dimengerti oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder).

“Pertanyaannya adalah mengapa

harus melakukan penataan ADIK?

Berdasarkan evaluasi atas

sub-stansi program yang dikelola K/L

memberikan hasil sebagai berikut :

tidak jelas mana

input

, atau

output

,

atau

outcome

; rumusan

outcome

kurang jelas dan terlalu

norma-tif; sulit melihat relevansi antara

input dengan

output

, dan dengan

outcome

; dan relevansi

outcome

terhadap

need or problem

tidak

terlihat karena informasi tersebut

tidak dapat diperoleh dalam

data-base RKA K/L.”

Penataan ADIK dalam RKA-K/L sebagai prasyarat keberhasilan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja (performance based bud-geting) dengan melihat keterkait-an keterkait-antara keterkait-anggarketerkait-an yketerkait-ang dike-luarkan (input) dengan kinerja (output). Penentu keberhasilan performance based budgeting tersebut adalah adanya rencana strategis yang jelas, relevan, dan terukur, yang didalamnya terdapat titik krusial berupa penentuan hasil (outcome) dan keluaran (output) pada level strategis.

Pertanyaannya adalah me-ngapa harus melakukan penata-an ADIK? Berdasarkpenata-an evaluasi atas substansi program yang dikelola K/L memberikan hasil sebagai berikut : tidak jelas mana input, atau output, atau outcome; rumusan outcome kurang jelas dan terlalu normatif; sulit melihat relevansi antara input dengan output, dan dengan outcome; dan relevansi outcome terhadap need

No

Program

Hasil (Outcome)

1.

Pembelajaran dan

Kemaha-siswaan

Meningkatnya kualitas pembelajaran

dan kemahasiswaan pendidikan tinggi

IKU PROGRAM

1.

Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi

2.

Jumlah mahasiswa yang berwirausaha

3.

Prosentase lulusan bersertifikat kompetensi

4.

Jumlah Prodi terakreditasi Unggul

5.

Jumlah mahasiswa peraih medali emas tingkat nasional

6.

Jumlah mahasiswa peraih medali emas tingkat internasional

7.

Prosentase lulusan yang langsung kerja

8.

Jumlah LPTK yang meningkat mutu penyelenggaraan pendidikan akademik

9.

Jumlah calon pendidik mengikuti Pendidikan Profesi Guru

or problem tidak terlihat karena informasi tersebut tidak dapat diperoleh dalam data-base RKA K/L.

Berdasarkan evaluasi tersebut, RKA-K/L belum dapat menyajikan rumusan informasi kinerja yang terukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan belum dapat menunjukkan relevansinya dengan sumber daya yang digunakan untuk mem-bantu proses perencanaan, penganggaran, dan evaluasi terhadap program-program pembangunan. Selain itu, ketiadaan output level K/L dan output level eselon I juga menjadi pertimbangan utama perlunya dilakukan penataan ADIK yang menggu-nakan pendekatan logic model.

Penyempurnaan atas Penataan

ADIK

PMK 192/PMK.02/2015 mengatur bagaimana melakukan penataan ADIK yakni dengan mulai menyusun informasi kinerja K/L berdasarkan dokumen Renstra K/L dan/atau dokumen Renja K/L yang disusun dengan menggunakan kerangka berpikir/konsep logic model. Penyusunan informasi kinerja juga harus memperhati-kan tugas dan fungsi K/L beserta unit-unit organisasi/struktural di lingkup K/L (unit eselon I dan unit eselon II/Satker).

Tabel Informasi Kinerja Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan

Penyusunan informasi kinerja dilakukan mulai dari level K/L, kemudian dilanjut-kan dengan menyusun informasi kinerja pada level Eselon I dan Eselon II/Satker (mekanisme top down). lnformasi kinerja yang berada pada level K/L merupakan informasi yang sifatnya strategis. Informasi kinerja berorientasi kepada customer/ stakeholder diluar K/L. Penerapan konsep Logic Model dengan mekanisme top down akan menghasilkan informasi kinerja yang apabila dilihat dari segi jumlah akan mengerucut dari level Eselon II/Satker dan Eselon I ke level K/L.

Selanjutnya informasi kinerja yang telah disusun dituangkan pada Formulir I untuk RKA level K/L; Formulir II untuk RKA level Unit Eselon I; dan Formulir III untuk RKA level Unit Eselon II/Satker. Untuk menjembatani penataan ADIK dengan aplikasi RKA-K/L SPAN, digunakan ap-likasi penataan ADIK untuk memasukkan rumusan output dan outcome (informasi kinerja) yang baru tersebut.

(25)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

IKK (Indikator Kinerja Kegiatan)

Keluaran (Output)

Komponen

Jumlah Mahasiswa penerima

bea-siswa dan bantuan biaya

pendidi-kan

Layanan Kesejahteraan dan

Kewi-rausahaan Mahasiswa

Bantuan Bidikmisi

Jumlah mahasiswa yg dilatih

kewi-rausahaan

Beasiswa ADik

Beasiswa Prestasi

Mahasiswa Melaksanakan Belajar

Bekerja Terpadu

Penyaluran Beasiswa dan Bantuan

Biaya Pendidikan PPA

Koordinasi, Pengelolaan dan

Vali-dasi Data

Pelatihan Kewirausahaan

Maha-siswa dan Dosen

Seleksi Afirmasi Pendidikan Tinggi

2015

Koordinasi, Pengelolaan dan

Vali-dasi Data

Sosialisasi Sistem Penetapan dan

Penyaluran Bidikmisi

Sosialisasi Program ADik

dan Kemahasiswaan pada halaman I A. Berdasarkan dokumen Renstra Kemen-terian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019, informasi kinerja Ditjen Belmawa sudah sesuai dengan sasaran strategis yaitu meningkatnya kualitas pembelajaran dan kemahasiswaan pendidikan tinggi. IKU Program juga sesuai dengan Indikator Kinerja Sasaran Strategis. Demikian pula, dengan tugas dan fungsinya Ditjen Belmawa yakni me-nyelenggarakan perumusan dan pelaksa-naan kebijakan di bidang pembelajaran dan kemahasiswaan.

Selanjutnya kita melihat keluaran (out-put) dan Indikator Kinerja Kegiatan pada halaman I A. Informasi Kinerja pada DIPA Induk Satker Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan untuk kegiatan (5704) Peningkatan Layanan kemahasiswaan dan Penyiapan Karir, output (5704.003) La-yanan kesejahteraan dan Kewirausahaan

Mahasiswa :

Berdasarkan dokumen Renstra Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019, informasi kinerja untuk IKK dan Output sudah sesuai dengan Sasaran Kegi-atan (Output)/Indikator. Penyusunan rumusan keluaran (output) pada level eselon II/Sat-ker berpedoman pada penataan ADIK yakni merumuskan output de-ngan mengambil sasaran kegiatan yang terdapat dalam dokumen Renstra K/L dan/atau Renja K/L. Idealnya, sasaran kegiatan dalam Renstra K/L dan/atau Renja

(26)

Warta Anggaran Edisi 30, Tahun 2016

IKK (Indikator Kinerja

Kegiatan)

Keluaran (Output)

Komponen

Jumlah Mahasiswa

pener-ima beasiswa dan bantuan

biaya pendidikan

Beasiswa

Sosialisasi Program Beasiswa Bidikmisi, Beasiswa

ADiK, Beasiswa Prestasi

Seleksi Afirmasi Pendidikan Tinggi 2015

Sosialisasi Sistem Penetapan dan Penyaluran

Bidik-misi

Penyaluran Beasiswa Bidikmisi, Beasiswa ADiK,

Beasiswa Prestasi dan Bantuan Biaya Pendidikan

PPA

Koordinasi, Pengelolaan dan Validasi Data

Monitoring dan Pelaporan Beasiswa Bidikmisi,

Bea-siswa ADiK, BeaBea-siswa Prestasi dan Bantuan Biaya

Pendidikan PPA

Jumlah mahasiswa yg

dilatih kewirausahaan

Kewirausahaan

Maha-siswa

penyiapan perumusan kebijakan pengembangan di

bidang kewirausahaan

Fasilitasi di bidang kewirausahaan

Pelaksanaan dibidang kewirausahaan

Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang

kewirausahaan

K/L merupakan output eselon II/Satker dalam RKA KL. Sedangkan penyusunan Indikator Kinerja Output Eselon II/Satker dengan memperhatikan rumusan output eselon II/Satker yang mengacu kepada sasaran kegiatan dalam Renstra K/L atau Renja K/L.

“Berdasarkan dokumen

Renstra Kementerian Riset,

Teknologi, dan Pendidikan

Tinggi Tahun 2015-2019,

informasi kinerja untuk

IKK dan Output sudah

se-suai dengan Sasaran

Kegi-atan (Output)/Indikator. “

Untuk penyusunan aktivitas atau taha-pan kegiatan yang akan dilakukan dalam menghasilkan output mengacu kepada rumusan output yang akan dihasilkan dan tugas/fungsi serta urusan yang menjadi tanggung jawab eselon II/Satker. Rumus-an aktivitas dinyatakRumus-an dalam bentuk kata kerja yang saling terkaitan dan menjadi satu kesatuan proses.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ristek Dikti Nomor 15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata kerja Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, salah satu tugas/fungsi Direktorat Kemahasiswaan adalah pelaksanaan pengawasan dan pengendalian bidang penalaran, kreativitas, kesejahteraan ma-hasiswa, kewirausahaan, minat dan bakat, organisasi kemahasiswaan, serta penye-larasan dunia kerja. Untuk menjalankan

tugas dan fungsi dibidang kesejahteraan dan kewirausahaan mahasiswa dilak-sanakan oleh Subdirektorat Kesejahteraan dan Kewirausahaan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan pe-rumusan kebijakan, fasilitasi, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian, serta pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kesejahteraan dan kewirausahaan mahasiswa.

Dengan mencermati tugas dan fungsi serta sasaran kegiatan pada Renstra tersebut, perumusan nomenklatur output dan aktivitas perlu disempurnakan kembali sehingga lebih fokus kepada hasil akhir berupa pemberian beasiswa dan pelatihan kewirausahaan. Demikian pula aktivi-tas mampu menjelaskan tahapan dalam mencapai output tersebut. Berikut adalah alternatif rumusan output dan aktivitas dengan tetap mempertahankan IKK. n

Gambar

TABEL BATASAN DALAM PENYUSUNAN POSTUR APBN
hun 2015 dilaksanakan juga oleh IBP (International Budget Partnership) bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat di 102 negara selama 18 Tabel 1
Grafik 1rata-rata (Grafik 2).
Grafik 1

Referensi

Dokumen terkait

Dengan telah dilegalisasi akta di bawah tangan maka bagi Hakim telah diperoleh kepastian mengenai tanggal dan identitas para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut

Fungsi : Untuk menampung Lumpur hasil fermentasi dari sampah organik.4. Tangki Penampungan

Atas dasar itu penelitian penting untuk dilakukan yang bertujuan mengkaji dan mengiventarisasi jenis tumbuhan obat tradisional masyarakat Suku Kaili di Dusun Tompu

Jagat Konstruksi Abdipersada didirikan pada tahun 1990 yang berkonsentrasi dalam pembangunan gedung komersial dan Industri.. Awal mula

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan pada PTPN IV Medan unit kebun Adolina.. Penelitian

Mekanisme pelaksanaan audit keuangan BPJS Kesehatan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Medan adalah dengan melakukan audit pendahuluan, tujuannya

Hasil uji pada alpha 5 % menunjukkan bahwa motivasi, pengawasan dan disiplin kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap prestasi kerja, hal ini menunjukkan bahwa