• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN - Pengaruh Pembelajaran Ekosistem Berbasis Kasus-Kasus Lokal terhadap Tingkat Miskonsepsi Siswa Kelas X SMA Praya Lombok Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "I. PENDAHULUAN - Pengaruh Pembelajaran Ekosistem Berbasis Kasus-Kasus Lokal terhadap Tingkat Miskonsepsi Siswa Kelas X SMA Praya Lombok Tengah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan Surakarta

Email: mramlim04@fkip.uns.ac.id

I. PENDAHULUAN

Ketika siswa mempelajari sebuah konsep baru, maka sering sekali siswa tidak dapat membangun konsepnya dengan benar, dan tetap menggunakan konsep lama atau konsep awal yang didapatnya melalui pengalaman belajar sebelumnya. Siswa mengembangkan konsep yang tidak sama atau sejalan dengan konsep yang benar tentang masalah yang ditanyakan. Fenomena memiliki persepsi yang berbeda dengan konsep yang benar dikenal dengan istilah miskonsepsi, atau dalam istilah lain disebut alternative concepts (Modell & Wenderoth, 2005). Secara general, siswa mempelajari sebuah konsep melalui interaksi langsung dirinya dengan benda-benda yang menjadi dasar terbangunnya sebuah konsep. Apabila dia hendak membangun konsep tentang sifat air, maka siswa mengenalinya melalui interaksi semua indera yang dimilikinya dengan objek air. Konsep tentang air dibangunnya melalui skemata-skemata sederhana hingga menjadi sebuah konsep yang kompleks sejalan dengan bertambahnya usia yang menentukan perkembangan proses kognitifnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep yang salah atau miskonsepsi dapat bersumber dari

Pengaruh Pembelajaran Ekosistem Berbasis Kasus-Kasus Lokal

terhadap Tingkat Miskonsepsi Siswa Kelas X

SMA Praya Lombok Tengah

Murni Ramli, Mar’atul Mufydah Palka, Suciati Sudarisman

Abstrak

Miskonsepsi atau konsep alternatif yang dimiliki siswa terkait sebuah pemahaman atau konsep tertentu masih menjadi faktor yang sulit dipecahkan ketika siswa membangun konsep baru. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi, salah satunya karena pembelajaran yang tidak bersifat kontekstual, dan siswa telah membawa konsep lama yang salah. Upaya mengurangi tingkat miskonsepsi siswa kelas X SMA Praya Lombok Tengah telah dilakukan melalui penerapan pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan pemofuksan pada masalah-masalah lokal di Lombok. Penelitian adalah kuasi eksperimen pada dua rombel kelas X di SMA Praya, yang dipilih secara acak, dan diberi perlakuan pembelajaran konvensional sebagai kelas eksperimen 1, dan perlakuan pembelajaran PBL sebagai kelas eksperimen 2. Kasus yang diangkat adalah ekosistem kangkung dan hama tikus di Desa Pujut, overpopulasi tokek yang merupakan hewan simbol daerah, dan ekosistem pantai di Lombok. Pengukuran miskonsepsi dilakukan dengan two-tier diagnostic test, berupa soal benar salah disertai alasan yang disertai dengan pengukuran tingkat kepercayaan atau Certainty of Response Index (CRI). Data dianalisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa perlakuan model PBL dengan mengangkat kasus-kasus lokal secara signifikan berpengaruh positif dalam mengurangi terjadinya miskonsepsi dalam sub materi ekosistem.

(2)

pengetahuan yang dipelajari siswa dalam lingkungan keluarga, baik yang diperolehnya dari orang tuanya, maupun orang di sekitarnya, serta dari lingkungan pendidikannya pada level dini, yaitu dari guru dan teman sebayanya (Alters dan Nelson, 2002).

Konsep-konsep dalam biologi adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan makhluk hidup, interaksinya dengan makhluk tak hidup, alam dan lingkungannya. Siswa membangun konsep-konsep biologi pada usia dini apabila guru dan orang dewasa di sekitarnya memberinya kesempatan untuk mengalami melalui proses mengenal dan belajar di alam. Namun, pada faktanya, banyak siswa yang tidak mengalami “nature” dan “nurture” yang memungkinkannya mengenal fakta, objek, dan selanjutnya merangkainya menjadi sebuah konsep. Akibat buruk dari fenomena ini adalah kesulitan siswa dalam membangun konsep selanjutnya.

Materi ekosistem dipelajari oleh siswa pada kelas X SMA. Apabila diamati urut-urutan materi sebelumnya, maka siswa kelas X SMA telah mempelajari materi Biologi sebagai Sains, Organisme renik (bakteri dan virus), Protista, Jamur, Plantae, dan Animalia. Konsep-konsep ekosistem dibangun dengan mengaitkan pemahaman siswa pada materi sebelumnya, yaitu ketika siswa akan membangun konsepnya tentang komponen-komponen ekosistem dan bagaimana interaksi antara komponen tersebut, maka prasyarat konsep yang harus dikuasai siswa adalah karakteristik biotik (organisme mikro, animalia, plantae) dan abiotik (lingkungan, habitat).

Cherret (1989) memetakan ada 20 konsep penting terkait dengan materi ekologi yang dapat menentukan apakah seseorang memiliki literasi tentang ekologi atau lingkungan. Salah satu konsep tersebut adalah ekosistem. Sementara Munson (1994) menyatakan bahwa miskonsepsi yang terjadi pada konsep ekosistem adalah pemahaman tentang populasi, yaitu apabila terjadi perubahan pada sebuah populasi makhluk hidup, maka dampaknya hanya akan terasa pada populasi yang terkait dengan jaring makanan. Miskonsepsi yang lain adalah perubahan populasi hanya akan berdampak pada organisme pada level yang sama. Tekkaya (2002) merumuskan beberapa kesalahan konsep yang ditemui saat siswa mempelajari tentang ekologi, yaitu makhluk hidup tidak berinteraksi dengan makhluk tak hidup, populasi adalah daerah tempat makhluk hidup ada, populasi adalah jumlah orang, populasi sama dengan komunitas, jumlah herbivor lebih banyak daripada karnivor karena herbivor memiliki lebih banyak keturunan; binatang yang kuat memiliki energi yang lebih besar; dan bakteri adalah sumber energi dalam rantai makanan.

Fakta dari beberapa hasil observasi pembelajaran di kelas menunjukkan bahwa guru cenderung “memaksakan” siswa menghapal konsep-konsep dasar tanpa memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan pembuktian mandiri. Misalnya, siswa diminta mengetahui konsep tentang protista mirip tumbuhan, yaitu berbagai jenis alga. Guru pada umumnya tidak pernah membawa contoh alga, atau membawa siswa ke pantai untuk melihat langsung bagaimana alga tumbuh. Sumber belajar yang dominan dipakai oleh guru adalah buku pelajaran biologi yang dilengkapi gambar-gambar alga yang terkadang tidak proporsional. Siswa dalam proses tersebut membangun konsepnya tentang alga melalui informasi guru dan buku pelajaran. Dengan kata lain, pendekatan, strategi, metode, model pembelajaran dan konten dalam buku pelajaran sangat berpengaruh pada pemahaman konsep siswa.

(3)

Kebanyakan tes standar yang diberikan berbentuk tes pilihan ganda atau benar salah. Berdasarkan hasil Ujian Nasional SMA tahun 2013 pada mapel Biologi diketahui bahwa daya serap siswa berdasarkan kompetensi dasar (KD) mapel Biologi yang diujikan (permasalahan biologi, peran makhluk hidup, klasifikasi dan pelestarian, ekosistem dan peran manusia terhadap lingkungan, sel dan jaringan, sistem organ, metabolisme, hereditas, evolusi, dan bioteknologi) berkisar pada 56.94 – 72.79 persen. Rata-rata pemahaman konsep siswa pada materi sistem organ dan metabolisme di bawah 60 persen, sedangkan pada materi ekosistem dan lingkungan, daya serap siswa mencapai 65.71 persen (Litbang Kemendikbud, 2013).

Fakta di atas dibuktikan kembali dengan memberikan tes materi ekosistem kepada siswa pada dua rombel kelas X SMA Praya Lombok Tengah, dan diperoleh hasil sebanyak 30 persen miskonsepsi yang dialami siswa terkait materi miskonsepsi. Untuk menyelidiki penyebabnya, observasi pembelajaran dan wawancara kepada guru pengajar dilakukan dan diketahui bahwa pembelajaran berlangsung dengan metode ceramah dan diskusi saja. Adapun kegiatan praktikum dalam satu tahun berlangsung sebanyak 25% di laboratorium dan 5% di lapangan dalam bentuk karyawisata.

Miskonsepsi dalam pembelajaran biologi dapat diatasi dengan menganalisis penyebab terjadinya miskonsepsi. Sebagaimana diutarakan di atas, miskonsepsi atau konsep alternatif dibangun siswa melalui informasi yang didapatkannya dari pengalaman-pengalaman belajarnya. Informasi tersebut dapat berupa penjelasan dari orang lain (guru, teman, orang tua, dll), informasi tertulis dalam bentuk buku atau literatur lain, dan fenomena yang diamatinya secara visual. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan perubahan dalam proses yang dialami siswa untuk memperoleh konsep, yaitu melalui pembelajaran yang pendekatannya adalah konstruktivis dan kontekstual.

Pembelajaran konstruktivis adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun konsepnya melalui interkasi dengan lingkungan, tantangan, dan bahan yang dipelajarinya. Pembelajaran seperti ini diduga dapat mengatasi miskonsepsi (Suparno, 2005). Sedangkan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan pembelajaran yang membawakan fakta-fakta real-world problems di hadapan siswa, sehingga siswa diharapkan dapat mengenali problema, dan kelak sanggup mengantisipasinya ketika berhadapan pada problema yang sama di waktu dan tempat yang berbeda.

Penelitian ini menawarkan dua pendekatan tersebut yang diramu dalam perlakuan model Problem-Based Learning yang dipadu dengan kasus-kasus lokal terkait materi ekosistem untuk mengantisipasi miskonsepsi pada kelas X SMA, dengan mengambil kasus SMA Praya Lombok Tengah. Permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam PBL adalah kasus-kasus yang akrab bagi siswa setempat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh penerapan Model PBL dengan kasus-kasus lokal terhadap miskonsepsi pada siswa terkait dengan materi ekosistem, sekaligus untuk memetakan miskonsepsi yang terjadi pada materi ekosistem.

II. METODE

(4)

perlakuan pembelajaran model tradisional (eskpositori dan diskusi) dan kelas eksperimen 2 yang diberi perlakuan pemberian model PBL berbasis kasus-kasus lokal.

Kasus lokal yang diangkat pada kelas perlakuan eksperimen 2 adalah overpopulasi tokek yang merupakan binatang yang banyak ditemukan di Lombok dan menjadi simbol wilayah setempat; pertanaman kangkung yang dipupuk secara berlebihan (kangkung adalah tanaman khas dan dikonsumsi sehari-hari masyarakat Lombok sebagai “plecing”, masakan khas Lombok; serangan hama tikus di Desa Pujut, dan permasalahan yang terjadi Pantai Gerupuk.

Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas X MIA SMA Negeri 1 Praya tahun pelajaran 2013/2014. Teknik pengambilan sampel dengan cluster sampling sehingga terpilih kelas X MIA 3 sebagai kelas eksperimen 2 (35 siswa) dan kelas X MIA 2 sebagai kelas eksperimen 1 (36 siswa).

Variabel terikat pada penelitian ini adalah tingkat miskonsepsi, yang diukur melalui

two-tier diagnostic test atau tes konseptual berupa soal benar-salah beralasan (true-false question) disertai CRI (Certainty of Response Index) berdasarkan Hakim, dkk. (2012). Skala pengukuran CRI disajikan pada Tabel 1. CRI merupakan teknik untuk mengidentifikasi tingkat keyakinan siswa dalam menjawab soal.

Tabel 1 Skala CRI

CRI Kriteria

0 Totally guessed answer (jawaban ditebak secara total) 1 Almost guess (hampir nenebak)

2 Not sure (tidak yakin) 3 Sure (yakin)

4 Almost certain (hampir pasti)

5 Certain (pasti)

Berdasarkan Tabel 1, angka 0 menandakan siswa dalam menjawab soal tidak tahu konsep sama sekali (jawaban ditebak secara total), sementara angka 5 menandakan kepercayaan diri yang penuh atas kebenaran pengetahuan tentang konsep (tidak ada unsur tebakan sama sekali). Adapun kemungkinan kombinasi jawaban soal dan CRI disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Pemahaman Konsep Siswa dengan CRI

Jawaban Alasan CRI Kriteria

Benar Benar >2,5 Mengerti konsep dengan baik Benar Benar <2,5 Mengerti konsep dengan baik tapi

tidak percaya diri

Benar Salah >2,5 Miskonsepsi

Benar Salah <2,5 Tidak paham konsep

Salah Benar >2,5 Miskonsepsi

Salah Benar <2,5 Tidak paham konsep

Salah Salah >2,5 Miskonsepsi

Salah Salah <2,5 Tidak paham konsep

Sumber : Diadopsi dari Hakim dkk (2012)

(5)

Tabel 3. Persentase Tingkat Miskonsepsi

Persentase Kategori

0-30% Rendah

31-60% Sedang

61-100% Tinggi

(Sumber: Suwarna, 2013)

Dokumentasi berupa nilai ujian tengah semester gasal digunakan untuk Uji Homogenitas dan Normalitas sampel. Lembar observasi dipakai untuk menilai aspek sikap dan keterampilan.Validasi Instrumen penelitian dilakukan dengan uji validasi dan reliabilitas. Uji validasi menggunakan rumus koefisien product moment. Validitas konstruk dan isi instrumen dilakukan oleh pakar.

III.HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan di kelas eksperimen 2 berupa Model PBL berbasis potensi lokal berpengaruh terhadap miskonsepsi pada kelas X MIA SMA Negeri 1 Praya Lombok Tengah Tahun Pelajaran 2013/2014 (Gambar 1 dan Gambar 2).

Gambar 1. Persentase tingkat pemahaman siswa tentang konsep pada materi ekosistem

(6)

Jenis dan analisis miskonsepsi yang terjadi pada siswa dalam materi ekosistem disajikan pada Tabel 4. Terlihat bahwa siswa mengalami miskonsepsi dalam istilah-istilah dalam ekosistem, identifikasi komponen dan perannya dalam ekosistem, interaksi dalam ekosistem, aliran energi, dan siklus kimia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Tekkaya (2002), siswa kelasX SMA Praya juga mengalami miskonsepsi pada pengertian populasi dan interaksi antarkomponen, dan peran komponen dalam ekosistem.

Tabel 4. Contoh Miskonsepsi di Kelas Eksperimen 1 dan Eksperimen 2

Indikator Analisis Miskonsepsi (Kelas Eksperimen 1)

Istilah-istilah dalam ekosistem

Kumpulan Avicenia lanata merupakan populasi. (Salah)

Pembahasan: Salah, karena pada pernyataan di atas tidak ditekankan pada tempat (habitat) dari Avicenia lanata.

Siswa yang mengalami miskonsepsi sebesar 97%.

Siswa yakin bahwa kumpulan spesies sejenis cukup dikatakan sebagai satu populasi. Namun, konsep yang benar harus ditekankan juga pada waktu dan tempat tertentu.

Analisis Miskonsepsi di Kelas Eksperimen 2

1)Istilah-istilah dalam Ekosistem

1. Kumpulan Avicenia marina dan Avicenia lanata

yang berada di Pantai Gerupuk merupakan satu populasi (Salah)

Pembahasan : Populasi adalah kumpulan individu sejenis pada suatu tempat dan waktu tertentu.

Berdasarkan definisi di atas pernyataan nomer 1 salah karena Avicenia marina dan Avicenia lanata berbeda jenis (spesies) walaupun 1 genus, yaitu Avicenia.

Siswa yang mengalami miskonsepsi: 3%

Sejumlah 3 persen siswa menjawab benar. Letak miskonsepsinya adalah siswa ini menganggap Avicenia marina dan Avicenia lanata 1 jenis karena sama-sama mangrove.

2. Hubungan antara sesama tikus tanah pada habitat sawah yang sama dapat dikatakan sebagai simbiosis.(Salah)

Pembahasan : Karena simbiosis adalah hubungan antarmahluk hidup dari spesies yang berbeda yang hidup bersama.

Siswa yang mengalami miskonsepsi :6%

Siswa menganggap bahwa simbiosis dapat terjadi pada mahluk hidup sejenis.

2) Mengidentifikasi komponen Ekosistem

3. Gelombang merupakan komponen abiotik. (Benar)

Pembahasan :Komponen abiotik adalah semua benda yang tak hidup yang terdapat dalam suatu ekosistem. Misalnya air, tanah, batu, pasir, udara, cahaya, suhu, dan gaya tarik bumi.

Siswa yang mengalami miskonsepsi : 3%

Letak miskonsepsinya adalah 3 % siswa menganggap bahwa komponen abiotik hanya air, udara, dan tanah.

4. Plankton yang ada di Pantai Gerupuk termasuk produsen. (Salah)

Pembahasan : Produsen adalah kelompok mahluk hidup yang dapat membuat makanan sendiri, meliputi semua tumbuhan hijau dan beberapa mikroorganisme contohnya plankton. Plankton adalah mikroorganisme yang hidup melayang dalam air, dimana kemampuan renangnya terbatas, menyebabkan mikroorganisme tersebut mudah hanyut oleh gerakan atau arus air (Bougius, 1976). Plankton sebagai organisme yang tidak dapat menyebar melawan pergerakan massa air, yang meliputi fitoplankton (Plankton nabati) dan zooplankton (Plankton hewani). Hanya fitoplankton yang dapat berfotosintesis dan membuat makanan sendiri. Sedangkan zooplankton tidak.

Siswa yang mengalami miskonsepsi : 6%

Siswa yakin bahwa plankton adalah produsen. 4) Mengidentifikasi

aliran energi dalam

(7)

ekosistem Pembahasan : Salah karena Energi yang masuk ke dalam ekosistem (hanya) dalam bentuk cahaya matahari. Sedangkan air bersiklus di dalam ekosistem dan siklus air termasuk dalam siklus kimia.

Siswa yang mengalami miskonsepsi : 11%. Siswa menganggap air juga merupakan energi.

6. Ketersediaan energi menurun seiring dengan meningkatnya tingkatan trofik dalam jaring-jaring makanan. (Benar)

Pembahasan : Energi yang diteruskan dalam rantai makanan dari satu mata rantai ke mata rantai yang lain, kapasitasnya yang berguna untuk kerja semakin berkurang sesuai dengan hukum kedua Termodinamika (Transfer panas:Panas bergerak dari benda yang panas ke benda yang dingin). Penjelasannya pada saat transformasi apapun, energi cendrung untuk semakin berkurang hingga tak tersedia cukup energi untuk melakukan kerja yang berhasil. (hal 14 Scaum’s outlines Biologi Edisi kedua)

Siswa yang mengalami miskonsepsi : 3%.

Siswa yakin bahwa energi akan semakin bertambah karena adanya proses

7. Interaksi antartokek dengan burung gereja yang berada di tempat yang sama adalah netral dikarenakan tidak saling mengganggu antarsatu sama lain. (Benar)

Pembahasan: Karena hubungan mereka tidak saling menggagu dan tidak saling merugikan kedua belah pihak.

Siswa yang mengalami miskonsepsi sebanyak: 3%.

Siswa yakin bahwa ada hubungan antara tokek dan burung gereja karena tempatnya sama.

6) Siklus Kimia dalam ekosistem

8. Siklus kimia dalam ekosistem hanya melibatkan komponen abiotik saja. (Salah)

Pembahasan: Salah. Karena Unsur-unsur kimia, seperti karbon dan nitrogen, bersiklus di antara komponen-komponen biotik dan abiotik.

Siswa yang mengalami miskonsepsi sebanyak : 3%.

Siswa yakin menjawab benar. Sepemahaman mereka siklus kimia hanya melibatkan komponen abiotik seperti karbon dan nitrogen

7) Jenis-jenis ekosistem

9. Ekosistem bendungan merupakan salah satu contoh ekosistem alami. (Salah)

Pembahasan : Salah. Ekosistem bendungan termasuk ekosistem buatan. Karena terbentuk dari campur tangan manusia.

Siswa yang mengalami miskonsepsi sebanyak: 3%. Siswa menulis alasan contoh ekosistem buatan adalah akuarium.

Berdasarkan hasil pengujian terhadap miskonsepsi siswa diperoleh hasil bahwa siswa memiliki keyakinan dan tingkat kepercayaan yang besar meskipun jawaban yang diberikannya tidak benar. Miskonsepsi banyak terjadi di kelas yang tidak diberi perlakuan, atau di kelas yang belajar dengan pendekatan teacher centered. Tetapi miskonsepsi tetap terjadi di kelas yang diberi perlakuan, sekalipun frekuensinya kecil. Miskonsepsi di kelas perlakuan rata-rata 3 %, atau terkategorikan rendah, sementara di kelas eksperimen 1 atau tanpa perlakuan rata-rata 25% atau terkategorikan rendah. Sementara persentase tidak paham konsep mencapai 22 % di kelas eksperimen 1 dan 23 % di kelas eksperimen 2. Fakta ini menunjukkan bahwa sekalipun berhasil mengurangi miskonsepsi, perlakuan PBL dipadu kasus-kasus lokal masih menyebabkan terjadinya ketidakpahaman konsep siswa.

(8)

penyelidikan menyebabkan proses belajar yang diterima siswa lebih bermakna, sesuai dengan konsep belajar bermakna yang dikemukakan oleh Ausuble dan Jerome Bruner (Dahar, 2006).

Kasus-kasus lokal yang diangkat dalam PBL memberikan kesempatan kepada siswa untuk melihat langsung kondisi di lapang dan menerapkan keterampilan proses sainsnya untuk memahami konsep-konsep baru. Pembelajaran aktif yang memberi kesempatan siswa untuk bereksplorasi secara langsung diduga dapat mengatasi miskonsepsi (Holding, Denton, Kulezsa, Ridgway, 2014).

IV.KESIMPULAN

Perlakuan Model PBL dengan mengangkat kasus-kasus lokal berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep siswa yang benar, atau mengurangi jumlah miskonsepsi pada siswa terkait materi ekosistem. Miskonsepsi pada dua kelas eksperimen terkategorikan rendah, tetapi persentase siswa yang mengalami miskonsepsi di kelas perlakuan model PBL dengan kasus lokal lebih rendah dibandingkan dengan kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran tradisional.

V. DAFTAR PUSTAKA

Alters, BJ, & Nelson, CE. 2002. Perspective: teaching evolution in higher education. Evolution, 56: 1891–1901.

Cherrett, J. M. 1989. Key concepts: The results of a survey of our members' opinions. In J. M. Cherrett (Ed.), Ecological concepts (pp. 1-16). Oxford: Blackwell Scientific Publications.

Dahar, R. W. 2006. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Hakim, A., Liliasari, & Kadarohman, A. 2012. Student Concept Undserstanding of Natural Product Chemistry in Primary and Secondary Metabolites Using the Data Collecting Technique of Modified CRI. International Online Journal of Education Sciences, 4 (3): 544-553. (Online), (http://www.iojes.net/userfiles/article/iojes_915.pdf.), diakses 25 April 2014

Matthew L. Holding, Robert D. Denton, Amy E. Kulesza and Judith S. Ridgway.2014. Confronting

Scientific Misconceptions by Fostering a Classroom of Scientists in the Introductory Biology Lab. The American Biology Teacher, 76,8 : 518-523

Litbang Kemendikbud. Daya Serap Ujian Nasional Jenjang SMA pada Mata Pelajaran Biologi Tahun 2013. (Online) (http://litbang.kemendikbud.go.id), diakses 6 Oktober 2013

Munson, B.H. 1994. Ecological misconceptions. Journal of Environmental Education, 25, 4 : 30-34 Modell, H, Michael, J, Wenderoth, MP. 2005. Helping the learner to learn: the role of uncovering

misconceptions. American Biology Teacher, 67: 20–26

Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta: Grasindo.

Gambar

Tabel 1 Skala CRI
Tabel 3.  Persentase Tingkat Miskonsepsi
Tabel 4. Contoh Miskonsepsi di Kelas Eksperimen 1 dan Eksperimen 2

Referensi

Dokumen terkait

Biannual stakeholder meetings/dialogues were organized to discuss and address Sanitation Issues at landing sites, IUU fishing practices, familiarization of Fisheries management plan,

Product Knowledge terhadap Keputusan Pembelian Produk Pakaian Jadi Impor, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Manajemen, Universitas Muhammadiyah Surakarta.. Santoso dan

Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keyakinan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden dapat

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE QUESTION STUDENTS HAVE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KERJASAMA SISWA DI SEKOLAH DASAR.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Dengan demikian dalam kerangka penelitian ini dikemukakan variabel yang akan diteliti yaitu lokasi yang dekat dengan pasar, transportasi, dan ketersediaan tenaga kerja

Pada pola monokultur, kadar sari larut alkohol tertinggi (19,81%) diperoleh pada perlakuan dosis 20 ton kompos + 500 kg fosfat alam + 60 kg pupuk bio, lebih tinggi

Berdasarkan hasil analisis dari dua lokasi yang diteliti melalui pengukuran langsung menggunakan timbangan injak serta Tabel klasifikasi BB/U untuk balita (Baku Rujukan

Hal ini terjadi ketika tertanggung memiliki tujuan tersendiri untuk mendapatkan uang pertanggungan dari hasil klaim. Tertanggung berusaha membuat kejadian yang