• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI INDISCHE VEREENIGING HINGGA PERHIMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DARI INDISCHE VEREENIGING HINGGA PERHIMP"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

DARI INDISCHE VEREENIGING HINGGA PERHIMPUNAN INDONESIA: NASIONALISME PEMUDA DI SEBERANG LAUTAN1

Oleh

Indah Wahyu Puji Utami2

Abstrak: Nasionalisme merupakan konsep yang selalu menarik untuk diperbincangkan terutama oleh mereka yang sedang berada di luar negeri. Tulisan ini berusaha mengungkap pertumbuhan nasionalisme Indonesia pada kalangan pelajar Indonesia di negeri Belanda selama periode pergerakan nasional. Indische Vereeniging yang berawal dari perkumpulan sosial pelajar Hindia di negeri Belanda berubah menjadi Indonesische Vereeniging kemudian Perhimpunan Indonesia (P.I) yang berhaluan non kooperatif dan radikal. Perhimpunan tersebut merupakan organisasi politik yang berpengaruh dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia melalui publikasi ide-ide dalam koran dan majalah. Para alumni P.I. setelah pulang ke tanah air merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai kaum intelektual untuk memajukan bangsa Indonesia.

Kata-kata kunci: nasionalisme, Perhimpunan Indonesia, tanggung jawab intelektual

Salah satu isu yang menarik dalam perbincangan para pelajar dan pemuda

Indonesia yang sedang berada di luar negeri adalah nasionalisme. Mereka yang

mengeyam pendidikan atau bekerja di luar negeri seringkali merasa terusik ketika

dianggap tidak atau kurang nasionalis jika dibandingkan dengan teman-temannya

yang berada di Indonesia. Kegalauan para pelajar dan pemuda Indonesia tersebut

dipotret secara menarik melalui tokoh Lintang dalam novel Negeri van Oranje (Wahyuningrat, 2009). Dengan gaya yang ringan dan kocak novel tersebut

mengingatkan bahwa mereka yang berada jauh di seberang lautan tak pernah luntur

nasionalismenya. Novel ini juga mengingatkan para pembacanya bahwa puluhan

tahun lalu, para pelajar Indonesia di negeri Belanda mendirikan Indisch

1

Makalah disampaikan dalam Kegiatan Seminar yang diadakan oleh HMJ Sejarah FIS UM, di Malang Jawa Timur tanggal 6 April 2015 dan dimuat dalam Prosiding yang berjudul “Pemuda dan Sejarah Indonesia dalam Perspektif Politik, Pendidikan dan Sosial Ekonomi” Editor Dr. Joko Sayono, M.Pd., M.Hum. diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. ISBN: 978-602-71506-7-6

2

(2)

Vereeneging yang kemudian mejadi Perhimpunan Indoesia (PI). Bahkan dalam manifesto politiknya tahun 1925, PI secara terbuka menginginkan Indonesia

merdeka.

Perihal orang-orang Indonesia di negeri Belanda telah dibahas dalam buku

Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (Poeze, 2014). Harry Poeze mengulas secara detail mengenai kedatangan orang-orang Indonesia

dari berbagai lapisan ke negeri Belanda mulai dari utusan resmi kerajaan, budak,

pembantu dan pelajar. Banyak di antara mereka yang belajar ataupun bekerja di

Belanda. Di negeri Belanda, orang-orang Indonesia mengahadapi situasi yang

sangat berbeda dengan tanah kelahirannya.

Perlahan-lahan, jumlah orang Indonesia di negeri Belanda semakin

meningkat terutama menjelang abad XX. Dibukanya Terusan Suez pada 1869

mempercepat lalu lintas manusia, modal dan barang dari Belanda ke Hindia

Belanda dan sebaliknya. Perjalanan yang biasanya memakan waktu tiga bulan

dengan kapal layar menjadi 40 hari, dan kemudian 17 hari (Simbolon, 2006). Pada

saat yang hampir bersamaan, ide tentang hutang budi bangsa Belanda kepada

penduduk Hindia Belanda yang mendasari politk etis mengemuka. Salah satu

program politik etis yang diusulkan oleh van Deventer adalah edukasi yang

mendorong banyak anak-anak dan pemuda Indonesia untuk mengenyam

pendidikan hingga ke negeri Belanda maupun negara Eropa lainnya.

Persemaian Kesadaran

Seperti telah disinggung sebelumnya, para pelajar ini menghadapi situasi

yang sangat berbeda dengan di tanah kelahirannya. Jika di Hindia Belanda pada

umumnya mereka masih memandang dirinya sebagai orang Jawa, orang Sunda,

orang Sumatera, dan sebagainya maka di Belanda para pelajar ini mendapati bahwa

orang-orang kulit putih memandang mereka semua sama saja, orang kulit berwarna

dari jajahannya di sebarang lautan (Miert, 2003). Secara tidak langsung pandangan

orang Belanda ini membuat para pelajar yang berasal dari berbagai daerah di Hindia

(3)

demikian mengandung sisi pencarian identitas (Surjomihardjo, 1994). Selain itu

pengalaman selama hidup di Belanda juga memberikan pengaruh yang lebih luas

karena mereka menghadapi masyarakat Eropa yang jauh lebih terbuka daripada

masyarakat di tempat asalnya (Ingelson, 1983).

Pendidikan Barat yang didapatkan oleh para pelajar Indonesia di negeri

penjajahnya membuat mereka mengenal konsep kesetaraan, nasionalisme dan

demokrasi yang akhirnya menumbuhkan kesadaran bahwa mereka adalah bangsa

yang terjajah. Melalui refleksi terhadap pengalamannya di negeri sendiri maupun

di negeri penjajah, para pelajar ini juga menyadari bahwa mereka telah

diperlakukan tidak adil oleh sistem kolonial. Namun mereka tidak terjebak dalam

lingkaran keterhinaan dan kebencian yang berlebihan (culture of humiliation and hatred) terhadap Belanda. Mereka tidak membenci orang Belanda sebagai pribadi, namun membenci kolonialisme dan imperialisme yang diterapkan oleh kerajaan

Belanda (Hariyono, 2011).

PI merupakan organisasi pelajar Indonesia di Belanda yang cukup

berpengaruh dan berperan besar dalam pergerakan nasional Indonesia. Banyak di

antara para anggotanya yang menjadi tokoh besar dan berpengaruh dalam

pergerakan nasional seperi Moh. Hatta dan Sjahrir. Namun perhimpunan ini pada

awalnya tidak pernah ditujukan untuk menjadi wadah perjuangan dalam pergerakan

nasional untuk mencapai Indonesia merdeka.

Ingelson (1983:3) mengungkapkan bahwa kebanyakan pelajar atau

mahasiswa dari Hindia Belanda baru berusia sekitar 20 tahun saat baru tiba di

Belanda. Kesepian dan keterasingan budaya merupakan masalah yang harus

mereka atasi. Guna mengatasi masalah tersebut mereka saling membina

persaudaraan dan saling membantu tanpa melihat kesukuan dan kekhasan daerah

asalnya. Salah satu wadah yang mereka gunakan untuk saling membantu adalah

Indisch Vereeniging (I.V.) yang merupakan cikal bakal dari P.I.

PH didirikan oleh R.M. Noto Soeroto, R. Soetan Casajangan Soripada, R.M.

Soemitro, R.M.P. Sastrokartono, dan R. Hoesain Djajadiningrat pada 25 Oktober

1908. Jika dicermati, berdirinya perhimpunan ini tidak lama setelah pendirian

(4)

beberapa anggotanya yang menginginkan agar I.V. menjadi cabang dari B.O. Namun usulan tersebut ditentang oleh dr. Apituly yang berasal dari Ambon dengan

alasan perhimpunan tersebut bukan hanya beranggotakan orang Jawa, namun

orang-orang dari berbagai suku bangsa di Hindia Belanda. Meskipun belum secara

eksplisit menyebut tentang nasion Indonesia, namun bibit-bibit kebangsaan sudah

mulai tersemai dan unsur kesukuan sudah mulai ditinggalkan. Oleh karenanya tidak

mengherankan jika dalam pernyataan resminya di Koloniaal Weekblad edisi 24 Desember 1908 Indisch Vereeniging bertujuan untuk “memajukan kepentingan bersama orang Hindia di negeri Belanda dan dan menjaga hubungan dengan Hindia

Timur Belanda” (Poeze, 2014). Masa-masa awal Indisch Vereeniging dapat dikatakan berhaluan moderat.

Kedatangan tiga serangkai mantan pimpinan Indische Partij (IP) yaitu E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat

yang dibuang ke negeri Belanda pada 1913 seakan pupuk yang menyuburkan

nasionalisme di kalangan pemuda dan pelajar Indonesia di negeri Belanda. Menurut

Surjomiharjo (1994) IP merupakan organisasi pertama yang melihat perlunya

prinsip persatuan Indonesia berdasarkan kenyataan bahwa Hindia sebagai daerah

jajahan harus bersatu agar dapat lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Tujuan

mempupuk nasionalisme bagi IP mencakup tidak saja penduduk bumiputra, tetapi

juga golongan keturuan Belanda, Tionghwa, dan lain-lain, yang menganggap

Hindia sebagai tanah airnya. Bangsa Hindia dengan demikian menyampingkan

kriteria ras, agama, da nasal suku bangsa. Dengan demikian bangsa Hindia

merupakan bangsa baru, yang lahir karena persamaan keinginan untuk bersatu dan

melepaskan dir dari hubungan kolonial.

Konsep nasionalisme IP terpengaruh oleh pemikiran Ernest Renan dalam

esainya yang terkenal Qu’est-ce qu’une nation? (Apakah Bangsa Itu?) yang merupakan kuliah yang disampaikannya di Universitas Sorbonne pada 1882.

A nation is a soul, a spiritual principle. Two things, which in truth are but one, constitute this soul or spiritual principle. One lies in the

past, one in the present…. To have common glories in the past and to have a common will in the present, to have performed great deeds together, to wish to perform still more, these are the essential

(5)

solidarity, constitute of the feeling of the sacrifies that one has made

in the past and those that one is to make in the future…” (Renan, 1991)

Konsep Renan tentang bangsa tersebut ternyata sesuai dengan kondisi yang sedang

dihadapi oleh kaum pergerakan nasional pada saat itu. Masyarakat Hindia Belanda

terdiri dari berbagai suku bangsa yang banyak di antaranya juga telah berbaur

sehingga konsep bangsa secara antropologis dianggap kurang sesuai. Konsep

Renan tentang pengalaman yang sama di masa lalu serta keinginan yang sama di

masa kini dan masa depan dirasa lebih sesuai. IP ingin melepaskan ikatan kolonial

yang berakar di masa lalu yang dirasa membelenggu. Para pemimpin IP

membayangkan Indonesia di masa depan yang merdeka. Keinginan untuk

merdeka ini yang oleh IP dianggap akan menyatukan berbagai suku bangsa di

Hindia Belanda.

Salah satu yang turut terpengaruh oleh ide dan pikiran tiga serangkai

pimpinan IP tentang emansipasi dan nasionalisme adalah I.V.. Pada bulan Desember 1913, R.M. Noto Soeroto menyampaikan agar I.V. tidak hanya menjadi perkumpulan bersenang-senang ataupun sekedar ikatan para pelajar di Belanda tapi

juga ikatan para pembela tanah air Hindia di masa depan. Pimpinan I.V. periode 1914, yaitu Gerungan S.S.J. Ratulangie, membawa perhimpunan tersebut ke arah

yang lebih radikal (Poeze, 2014). Hal tersebut tentu saja tidak pernah diharapkan

sebelumnya oleh pemerintah kolonial.

Perkembangan kondisi politik dunia juga turut berpengaruh pada

tumbuhnya kesadaran dan nasionalisme di kalangan pemuda dan pelajar Indonesia

di Belanda. Keterlibatan Belanda dan negara-negara Eropa lainnya dalam Perang

Dunia I membuat B.O. pada 6 Agustus 1915 mengajukan mosi untuk membentuk

milisi pertahanan untuk bangsa Indonesia. Pembentukan milisi tersebut hanya dapat

diputuskan oleh parlemen. Dengan demikian sebenarnya B.O. berusaha

memanfaatkan situasi untuk mendorong pemerintah kolonial memberikan

kesempatan pada rakyat di Hindia Belanda untuk memiliki parlemen sendiri.

Usulan B.O. tersebut mendapat tanggapan yang beragam baik di Hindia Belanda

(6)

terealisasi, namun ide akan perlunya parlemen sendiri terus mengemuka.Pimpinan

PH mengemukan pernyataan resminya tentang hal tersebut sebagai berikut.

“Orang-orang Indonesia yang tinggal di Nederland dengan penuh perhatian dan kepentingan mengikuti kejadian-kejadian besar di Eropa, yang tidak diragukan lagi besar juga artinya bagi tanah air

mereka sendiri…karena masa depan tanah jajahan sangat

tergantung pada pembaruan-pembaruan di Eropa umumnya, khususnya di Nederland, maka Perhimpunan Hindia menganggap perlu, sesuai dengan keinginan perhimpunan-perhimpunan besar di

Hindia….demi berkembangnya Hindia secara lancar dan tenang

menjadi negara mandiri, perlulah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat dengan wewenang membentuk undang-undang dari Dewan

Hindia…” (Poeze, 2014: 130)

Pemerintah kolonial akhirnya membentuk Volksraad pada 1918. Namun anggotanya masih didominasi oleh orang-orang Belanda dan belum memiliki

wewenang untuk membuat undang-undang (Hariyono, 2011).

Menuju Indonesia Merdeka

Selain I.V., di negeri Belanda juga ada Het Indonesisch Verbond van Studeerenden (Perserikatan Pelajar Indonesia) yang berdiri pada awal 1918. Organisasi ini tidak lagi menggunakan kata Hindia, melainkan Indonesia. Hal ini

merupakan sebuah kemajuan dalam dunia pergerakan nasional. Menariknya lagi,

anggota perserikatan ini bukan hanya pelajar bumiputra, tapi juga dari kalangan

Indo-Cina yang berasal dari Hindia Belanda, serta pelajar Belanda yang hendak

bekerja di Hindia Belanda. Tujuan awal perserikatan ini memang untuk memajukan

kerja sama di antara pelajar-pelajar dari berbagai kelangan tersebut. Namun

perkembangan politik yang terjadi justru membuat perserikatan ini menjadi ajang

bagi orang-orang Indonesia untuk menyuarakan ketidakpuasannya pada

pemerintah kolonial sementara anggota yang berasal dari orang Belanda hanya

pasif (Poeze, 2014). Perbedaan orientasi para pengurusnya tentang arah

perserikatan dan perkembangan ide tentang nasionalisme Indonesia yang makin

menguat mengakibatkan Perserikatan Pelajar Indonesia akhirnya mati pada 1923.

Periode 1920-an merupakan suatu dekade yang penting dalam

(7)

I.V. secara resmi mengubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging. Dengan demikian sifat organisasinya pun mengalami peruabahan drastis dari perkumpulan

sosial pelajar/mahasiswa menjadi organisasi yang menunjukkan kecenderungan

politik. Setahun kemudian organisasi ini berganti nama menjadi Perhimpoenan

Indonesia (P.I.). Nama majalah organisasi yang semula Hindia Poetra dirubah menjadi Indonesia Merdeka dengan semboyannya Indonesia merdeka, sekarang! (Abdullah, 2005).

Perubahan arah organisasi dan pertumbuhan nasionalisme Indonesia di

dalah tubuh P.I. tak lepas dari perkembangan politik di Barat selama Perang Dunia

I. Pada awal tahun 1918, Presiden AS Woodrow Wilson mengemukakan 14 butir

usulan untuk penyelesaian PD I. Salah satu butir yang sangat terkenal dan

memotivasi kaum pergerakan adalah hak menetukan nasib sendiri (self determination) (Simbolon, 2006). Selain itu Wilson juga mengungkapkan prisip kebangsaan yang menginspirasi berbagai bangsa di Eropa untuk membentuk negara

bangsa. Pasca Perang Dunia I terbentuk 27 negara bangsa di Eropa (Hobsbawm,

1990). Para intelektual bumiputra yang sedang berada di negeri Belanda pun

menyampaikan tuntutan untuk menentukan nasib sendiri sebagai wakil-wakil dari

‘nasion Indonesia’ (Miert, 2003).

Para anggota P.I. juga banyak mendapat pengaruh dari berbagai aliran

pemikiran yang sedang berkembang di Eropa pada awal 1920-an, terutama

Marxisme, Leninisme dan Sosialisme. Ingelson (1983) mengemukakan:

“…memang sedikit sekali yang punya komitmen kuat dengan Marxis dan hanya Semaoen yang menjadi agen Komintern di Eropa, namun demikian kebanyakan dari mereka terutama Hatta, Gatot Mangkupraja, dan Subardjo sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Marxis-Leninis tersebut. Daya tariknya terletak dalam penjelasannya tentang situasi penjajahan dan filsafat determinisme historisnya…walaupun para pemimpin P.I. sagat terpengaruh oleh pikiran marxis-leninis, namun sedikit sekali dari merea yang mengadakan analisa kelas dalam masyarakat Indonesia. Sebagai gantinya, mereka mereka melancarkan peruangan ras, antara orang Indonesia yang berkulit coklat melawan orang Belada yang berkulit

(8)

Arah pergerakan P.I. menjadi semakin radikal pada 1923. Organisasi ini

pun mengambil jalan non kooperasi. Ide nasionalisme pun makin kuat sejak

Indonesische Vereeniging berganti nama menjadi P.I. Susunan kepengurusan P.I. juga mewakili berbagai daerah di tanah air maupun berbagai jurusan studi. Mereka

adalah R. Iwa Koesoema Soemantri, J.B. Sitanala, Moh. Hatta, Sastromoeljono,

dan Darmawan Mangoenkoesoemo (Kartodirjo, 2005). Dalam Hindia Poetra yang merupakan organ P.I., pengurus yang baru mengemukakan asasnya sebagai berikut.

“…Hari depan bangsa Indonesia terletak semata-mata pada pembentukan suatu pemerintahan yang bertanggungjawab kepada rakyat dengan sesungguhnya, karena hanya pemerintahan yang demikian yang dapat diterima oleh rakyat. Untuk itu tiap-tiap orang Indonesia harus berjuang menurut kemampuan dan bakatnya masing-masing, tanpa tergantung pada ‘bantuan’ orang asing. Perpecah belah kekuatan Indonesia dalam bentuk apapub harus dicela sekeras-kerasnya, karena hanya persatuan putra-putra Indonesia yang kokoh kuat dapat mencapai tujuan

bersama….akhirnya dikemukakan asas: bekerja dengan kekuatan

sendiri dan kemampuan sendiri ‘tanpa tergantung’ pada ‘bantuan

orang asing…” (Poeze, 2014:175).

Asas pengurus P.I. tersebut menekankan pada sikap nonkooperasi dan

pentingnya persatuan di kalangan bangsa Indonesia. Asas tersebut diperkuat lagi

dalam pernyataan pengurus P.I. tahun 1924 sebagai berikut.

“…Hanya satu Indonesia yang merasa satu, yang menyingkirkan perbedaan-perbedaan kelompok satu sama lain, dapat mematahkan kekuatan penjajahan. Tujuan bersama – pembebasan Indonesia – menuntut dilaksanakannya aksi massa nasionalis yang sadar, yang bertumpu pada kekuatan sendiri. Aksi ini dilihat sebagai penjajahan ganda yang berciri dua, ketatanegaraan dan ekonomi, merupakan perseiapan kemerdekaan politik dan pengambilan sikap melawan

modal asing yang menghisap” (Poeze, 2014:176)

P.I. melihat bahwa perbedaan dan kekhasan tiap daerah yang diperlihara

oleh pemerintah kolonial harus dilihat dari persepektif yang berbeda. Pemerintah

kolonial sengaja melestarikan perbedaan di kalangan penduduk bumiputra di

Hindia Belanda agar lebih mudah untuk dikendalikan. Sementara itu ketika para

pelajar anggota P.I. berada di negeri asing, mereka menyadari bahwa sesungguhnya

(9)

penyadaran kepada seluruh bangsa bumiputra di Hindia Belanda bahwa mereka

adalah satu bangsa.

Penjajahan yang dilakukan oleh Belanda telah menempatkan bangsa

bumiptra sebagai bangsa yang inferior dengan mental menghamba. Kaum

pergerakan nasional Indonesia di negeri Belanda meyakini bahwa hanya

kemerdekaanlah yang dapat mengembalikan harga diri bangsa Indonesia. Oleh

karenanya pada tahun 1925 P.I. mengeluarkan manifesto politiknya sebagai

berikut.

1. Hanya satu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama untuk membentuk Indonesia merdeka menuntut pembinaan rasa kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi massa yang sadar dan percaya diri.

2. Syarat mutlak untuk tercapainya tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam suati perjuangan yang terpadu untuk mencapai kemerdekaan.

3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan atau menutupi masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas adanya konflik kopentingan terssebut.

4. Melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebaga akibat pengaruh pemerintahan kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari kehidupan orang Indonesia, diperlukan sejumlah besar usaha untuk memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal kembali. (Indonesia Merdeka, Pebruari 1925 dalam Ingelson, 1983: 6-7)

Ide tentang persatuan dan nasionalisme yang digagas oleh P.I. tidak hanya

beredar di negeri Belanda. Majalah Indonesia Merdeka tidak hanya beredar di Belanda melainkan juga di tanah air. Akibatnya ide-ide mereka pun tersebar luas

dan turut berpengaruh ke kalangan kaum pergerakan Indonesia.

Perkembangan teknologi cetak dan jurnalisme berperan besar dalam

persebaran ide tentang nasionalisme (Anderson, 1991). Tulisan para tokoh

pergerakan nasional baik yang berada di negeri Belanda maupun di tanah air

dipublikasikan di berbagai koran maupun majalah. Dengan demikian muncullah

kesadaran sebagai satu banga terutama di kalangan bumiputra yang terdiri dari

(10)

belenggu kolonialisme Belanda menyatukan mereka menjadi sebuah komunitas

politik besar yang terbayang dan disebut bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan

pendapat Benedict Anderson (1991:5-6) yang menyatakan “…nation: it is an imagined political community – and imagined as both inherently limited and sovereign.”

Konsep bangsa Indonesia yang dipergunakan oleh PI berbeda dengan IP.

Jika IP lebih bersikap inklusif dan ingin mewadahi semua orang yang lahir dan

dibesarkan di tanah Hindia (yang meliputi bangsa pribumi, keturunan Belanda

maupun Tionghoa), maka PI bersikap lebih eksklusif dengan membatasi bangsa

Indonesia sebagai bangsa bumiputra di Hindia Belanda. Meskipun pada saat itu

Indonesia belum lahir sebagai negara bangsa yang berdaulat, namun mereka

percaya bahwa bangsa Indonesia harus memperjuangkan kedaulatannya dan

menjadi negara bangsa yang merdeka.

Moh. Hatta yang sudah memiliki pengalaman panjang dalam organisasi

pergerakan baik di tanah air maupun di negeri Belanda memberi warna baru dalam

PI saat ia menjadi ketua organisasi itu pada 1926. Menurutnya, perjuangan lewat

pendidikan dan emansipasi yang akan mematangkan massa rakyat Indonesia

menuju kemerdekaan. Oleh karenanya ia menolak usul Semaoen yang pada tahun

itu mendekati Hatta dan ingin mengajaknya menggulingkan kekuasaan kolonial

dengan jalan kekerasan. Meskipun demikian, Hatta tetap memenag prinsip non

kooperasi.

Perkembangan PI yang sejak awal tahun 1920-an menjadi radikal membuat

pemerintah kolonial merasa kewalahan. Kedekatan Hatta dan Semaoen membuat

pemerintah kolonial semakin fobia dengan kegiatan yang dilakukan PI. Polisi

rahasia Belanda pun mengawasai gerak-gerik para anggota PI. Para pelajar dari

Hindia Belanda yang baru datang ke Belanda bahkan dilarang untuk ikut menjadi

anggota PI (Poeze, 2014). Puncaknya, Hatta dan pemimpin PI lainya akhirnya

ditahan pada bulan September 1927 dengan tuduhan menghasut rakyat untuk

menggulingkan penguasa Belanda di Indonesia dengan kekerasan. Setelah

menjalani penahanan dan persidangan, mereka akhirnya dinyatakan bebas pada

(11)

Tahun 1929, Hatta tidak lagi menjadi ketua PI. Ia digantikan oleh Abdoellah

Soekoer yang berasal dari Ambon. Sebagian besar anggota PI telah pulang ke tanah

air dan gelombang mahasiswa yang berangkat ke negeri Belanda juga mulai

menurun karena di Hindia Belanda sudah mulai didirikan perguruan tinggi dan

adanya anjuran dari pemerintah kolonial untuk tidak mengirimkan anak-anak

priyayi belajar ke Belanda. Sementara itu PI menunjukkan hubungan yang makin

intensif dengan kaum kiri di Belanda (Poeze, 2014).

Hatta sendiri meskipun dekat dengan kaum sosialis tetap beranggapan

bahwa bangsa Indonesia harus berjuang dengan mengandalkan kekuatan sendiri

dan tidak boleh mengandalkan kekuatan asing, termasuk kekuatan sosialis

internasional. Ia mengecam keputusan kongres Liga Socialist Internationale 1928 yang mengusulkan Indonesia untuk mempunyai semacam zelfbestuur (mengatur pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Belanda). Baginya, kaum sosialis

internasional bersikap demikian karena mereka adalah ras berkulit putih seperti

Belanda. Menurut Hatta, bangsa Indonesia harus secara konsisten menekankan

prinsip self-help (Hariyono, 2011).

Pada perkembangannya selama Perang Dunia II anggota PI memilih untuk

bekerja sama dengan Belanda untuk melawan fasisme sambil mendorong Belanda

untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang

dibayangkan oleh PI pada periode itu berbeda dengan cita-cita Hatta. Dalam

pernyataan Pengurus PI pada bulan Mei 1945 mereka menuntut “status

kemandirian Indonesia dengan perwakilan rakyat sendiri dan pemerintah yang

bertanggung jawab kepadanya, di samping sebuah badan di mana para wakil negara

Belanda, Indonesia, Suriname, dan Curacao dapat membahas soal-soal bersama”

(Poeze, 2014:340).

Kembali Pulang

Para pelajar yang menjadi anggota P.I. merupakan sekelompok kecil dari

masyarakat bumiputra yang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan

(12)

bahwa penggalangan kesatuan seluruh rakyat Indonesia, pencapaian kemerdekaan,

dan pembentukan masa depan bangsa Indonesia terletak di taangan kaum muda.

Mereka yang memperoleh pendidikan Barat merupakan kelompok elite intelektual

yang memiliki kesadaran politik, mempunyai tanggung jawab untuk memimpin

kebangunan bangsa. Oleh karenanya ketika pulang ke tanah air, mereka memiliki

kesempatan untuk merealisasikan tanggung jawab intelektualnya.

Para alumni P.I. yang pulang ke tanah air pada umumnya bermukim di

Batavia, Bandung, dan Surabaya. Tiga kota besar tersebut menyediakan peluang

yang besar bagi mereka yang berpendidikan Barat. Di ketiga kota inilah para alumni

P.I. mendirikan kelompok-kelompok studi. Mereka berusaha membuat wadah bagi

aksi politik menuju sebuah partai nasional. Hal ini terjadi karena mereka menemui

kesulitan saat harus menyesuaikan diri dengan partai-partai politik yang ada di

tanah air yang kurang sesuai dengan cita-cita dan arah politik mereka saat masih

berada di Belanda.

Kelompok Studi Indonesia merupakan kelompok studi pertama yang

beridiri di Surabaya pada tanggal 11 Juli 1924. Motor penggeraknya adalah

Seotomo yang pernah aktif dalam P.I. sejak tahun 1919 hingga 1923. Ia

mengharapkan agar kelompok studi tersebut dapat menyatukan kaum terpelajar di

Jawa, mengembangkan kesadaran tentang Indonesia sebagai suatu bangsa dan

memberikan kepemimpinan bagi gerakan kebangsaan. Awalnya, anggota

kelompok studi ini berasal dari alumni P.I. namun kemudian berkembang dan

menarik orang-orang Jawa yang mendapat pendidikan tingginya di Bandung dan

Batavia (Ingelson, 1983). Dalam sidang-sidangnya mereka membicarakan masalah

politik, ekonomi dan sosial. Menurut van Miert (2003:373), Soetomo tidak

mendukung sikap nonkooperasi yang prinsipil. Ia terutama menekankan pada

otoaktvitas, self help penduduk bumiputra.

Kelompok Studi Umum didirikan pada 29 Nopember 1925 atas inisiatif dari

alumni PI, tokoh nasionalis yang terkenal di Bandung dan mahasiswa Sekolah

Tinggi Teknik di Bandung dengan mengikuti pola Kelompok Studi Indonesia.

Kelompok Studi Umum lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada

(13)

dalam memegang prinsip nonkooperasi sesuai dengan garis pemikiran P.I. sejak

1923. Hal ini dapat terjadi karena pada umumnya anggotanya merupakan

mahasiswa dan orang-orang professional yang menciptakan pekerjaan sendiri.

Secara ekonomis mereka tidak bergantung pada pemerintah kolonial sehingga

relatif bebas, berbeda dengan anggota Kelompok Studi Indonesia di Surabaya yang

sebagian besar bekerja di kantor-kantor pemerintah sehingga mereka harus lebih

berhati-hati. Tokoh-tokoh nasionalis radikal seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan

Soekarno sangat mewarnai pendirian politik Kelompok Studi Umum yang tidak

kompromistis (Ingelson, 1983).

Para alumni PI juga terlibat dalam organisasi politik yang berdiri di tanah

air seperti PNI (Perserikatan Nasional Indonesia). Hal ini karena PI sebenarnya ikut

terlibat dalam pendirian PNI. Para anggota PI di Belanda yang saat itu dipimpin

oleh Hatta memang mempersiapkan sebah partai politik bercorak nasionalis di

tanah air melalui kerja sama dengan Kelompok Studi Umum. PNI akhirnya berdiri

di Bandung pada 4 Juli 1927.

Salah satu pelajaran berharga yang didapat dari sejarah PI adalah tanggung

jawab moral kaum intelektual terhadap bangsanya. Mereka yang mendapatkan

privilege berupa pendidikan tinggi, terutama di luar negeri, tidak boleh kehilangan nasionalisme. Pengalaman para pelajar yang tergabung dalam P.I. menunjukkan

bahwa nasionalisme justru tumbuh subur saat mereka berada jauh dari tanah airnya.

Persamaan nasib dan cita-cita akan kemajuan serta kemerdekaan Indonesia telah

menyatukan mereka yang berasal dari berbagai latar belakang suku dan agama.

Setelah pulang ke tanah air mereka pun melanjutkan perjuangan bersama dengan

kaum pergerakan Indonesia. Kewajiban moral kaum intelektual tidak berhenti saat

mereka lulus kuliah, namun justru setelah itu mereka harus berkarya dan

memajukan bangsanya.

(14)
(15)

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, T. (2005). Kata Pengantar. In S. Kartodirjo, Sejak Indische sampai Indonesia (pp. xi-xiv). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Anderson, B. (1991). Imagined Communities: Reflections on the Origins and the Spread of Nationalism. London: Verso.

Hariyono. (2011). Demokrasi Radikal: Blue Print Demokrasi Pendiri Bangsa. Malang: Lintas Kata.

Hobsbawm, E. (1990). Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality. Cambridge: Cambridge University Press.

Ingelson, J. (1983). Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES.

Kartodirjo, S. (2005). Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Miert, H. v. (2003). Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Jakarta: KITLV dan Hasta Mitra.

Poeze, H. (2014). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: KPG dan KITLV.

Renan, E. (1991). What is Nation? In H. Bhaha, Nation and Narration (pp. 8-21). London: Routledge.

Simbolon, P. T. (2006). Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Surjomihardjo, A. (1994). Perkembangan Nasionalisme di Indonesia Masa Pergerakan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan. Perspektif No. VII, 8-15.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada uji kualitatif isolat resisten menunjukkan bahwa isolat P5 lebih tahan dibanding isolat P3 yang ditunjukkan dengan pembentukan zona bening yang mengindikasikan

Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan pegangan oleh pemerintah, akademisi maupun produsen bahan bangunan untuk dapat memanfatkan bahan bangunan pengganti hasil penelitian

Pada pelaksanaan tindakan siklus 1 dilakukan observasi, baik terhadap aktivitas guru maupun terhadap aktivitas siswa yang dilakukan pada kegiatan pembelajaran

1) Character, merupakan keadaan watak/sifat, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Ini dapat dilihat dengan meneliti riwayat hidup nasabah, reputasi

Pada tahap ini konsumen menjadi seorang yang bersifat evagelist yaitu seorang konsumen yang menyebarluaskan suatu produk atau brand dari suatu perusahaan karena konsumen

Maka, bila kita ingin mencapai komunikasi antar pribadi yang otentik, berarti kita harus menempatkan orang lain bukan sebagai objek, melainkan subjek dalam komunikasi

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan berupa peraturan dan literatur dengan cara mempelajari bahan-bahan yang berupa buku- buku, peraturan perundang-undangan, dan