• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperkaya Bahasa Daerah Anak melalui Mu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memperkaya Bahasa Daerah Anak melalui Mu"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak: Pembelajaran bahasa daerah merupakan salah satu mata pelajaran muatan lokal di beberapa sekolah dasar untuk memperkenalkan dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada di daerah. Pembelajaran bahasa daerah menuntut pendidik menjadi sosok guru yang profesional. Tuntutan profesionalitas yang menghendaki para guru untuk mampu menjadi pendidik yang terampil dan kreatif dalam penggunaan strategi, metode dan media pembelajaran menjadi suatu tantangan tersendiri bagi para guru pada setiap pembelajaran yang akan dilaksanakan. Penggunaan metode yang tepat disertai dengan penggunaan media yang kreatif yang sesuai dengan materi ajar, akan mampu menciptakan pembelajaran yang menarik bagi peserta didik.

Kata kunci: pembelajaran, bahasa daerah, muatan lokal, metode

PENDAHULUAN

Dalam dunia sastra, bahasa memegang peranan penting, yaitu sebagai pengungkap ekspresi. Bahasa daerah telah merekam pikiran dan pengalaman manusia Indonesia dengan kekhasan masing-masing sehingga membentuk keanekaragaman dalam berbagai ras kehidupan bangsa yang pluralistik. Bahasa daerah di Indonesia memiliki keragaman tersendiri. Pada saat ini bahasa daerah menjadi pusat perhatian pemerintah dan masyarakat untuk

melestarikannya. Dalam pelestarian dan penggunaan bahasa daerah sangat memprihatinkan, ada alasan mendasar mengapa kepunahan suatu bahasa sangat dikhawatirkan. Bahasa memiliki jalinan yang sangat erat dengan budaya

(2)

generasi muda yang tidak memahami bahasa daerahnya sendiri. Bahasa daerah dari waktu kewaktu semakin terjerus dengan berkembangnya bahasa asing yang seakan-akan menjadi hal yang wajib sebagai salah satu bekal di masa depan. Seperti bahasa daerah Sumatera Utara tepatnya Buluh Naman yaitu bahasa Karo. Saat ini banyak sekali yang takut dan malu menggunakan bahasa Karo dalam percakapan sehari-hari meskipun orang itu memiliki keturunan Karo. Bahkan di kampung-kampung semakin banyak ibu-ibu yang mengajarkan anaknya bahasa Indonesia daripada bahasa Karo, ada juga yang anaknya sendiri lah yang tidak ingin menggunakan bahasa daerah nya meski ia berketurunan Karo dan hidup di tatar Tanah Karo. Tidak heran banyak generasi muda sekarang yang tidak tahu/mengerti bahasa daerahnya sendiri.

Bahasa Karo adalah bahasa “Ibu” bagi masyarakat Tanah Karo. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36, Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dengan demikian perlu adanya pelestarian bahasa daerah juga dikembangkan sesuai dengan

(3)

sebagai bahasa ibu (Alwi & Sugono, 2011, hlm. 3).

A. BAHASA DAERAH

Bahasa daerah adalah bahasa komunikasi sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat lokal. Bahasa ini telah bertahan melewati berbagai macam perubahan zaman dan telah sering bersinggungan dengan bahasa lain seperti bahasa daerah lain, bahasa asing maupun bahasa Indonesia. Akibat dari berinteraksinya bahasa ini dengan berbagai macam kondisi dan stuasi, maka muncullah berbagai macam jenis dialek dan logat yang berbeda. Akibatnya, bahasa daerah yang di ucapkan oleh satu masyarakat, meskipun secara akar dan rumpun sama, tetapi dalam prakteknya memiliki perbedaan dengan bahasa daerah yang diucapkan oleh masyarakat daerah lain. Kita ambil contoh yaitu bahasa Jawa Solo. Meskipun secara rumpun sama, namun dalam beberapa aspek, jelas berbeda dengan bahasa Jawa Banyuwangi. Demikian pula yang terjadi di Madura. Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Madura, orang Madura akan dapat terlihat jelas apakah

dia berasal dari Bangkalan atau Sumenep ketika mereka berbicara. Perbedaan ini bisa dilihat dari perbedaan aksen dan intonasi yang diucapkan oleh dua masyarakat yang berbeda tapi sama tersebut.

(4)

Kekhawatiran ini memang cukup berasalan. Menurut kurikulum DEPDIKNAS bahasa daerah berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar, berkomunikasi dan mengungkapkan pikiran atau perasaan serta melestarikan aset nasional di daerah ( Dinas P & K Jatim,1997 ). Di tingkat SD meliputi kemampuan dan ketrampilan berbahasa meliputi berbicara, mendengarkan, membaca dan menulis. Dimana pada tingkat sekolah dasar masuk dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai muatan lokal yang wajib dipelajari di lingkungan tempat tinggal siswa itu bersekolah. Sebuah temuan mengejutkan yang didapat dari hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi menjelaskan bahwa sebanyak 10 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedang puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini juga terancam punah. Pada tahun 2005, berdasarkan penelitian Pusat Bahasa Depdiknas RI, bahasa daerah di Indonesia berjumlah 731 bahasa. Pada 2007 tinggal 726 bahasa, karena 5 bahasa diantaranya mati. Untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kebinasaan inilah, maka

Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah mencantumkan Bahasa Daerah sebagai muatan lokal yang harus dan wajib dipelajari. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang pada substansinya adalah kurikulum berbasis kompetensi, menawarkan setitik asa terhadap peningkatan kualitas pembelajaran bahasa daerah sebagai salah satu muatan lokal. Mata pelajaran ini merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi siswa yang disesuaikan dengan potensi daerah beserta ciri khasnya, termasuk di dalamnya keunggulan daerah, corak kehidupan lokal daerah tersebut yang kesemuanya dikelompokkan ke dalam topik atau subtopik yang bervariasi. Inti dari mata pelajaran bahasa daerah ini ditentukan oleh Satuan Pendidikan. Keberadaan mata pelajaran bahasa

daerah merupakan bentuk

penyelenggaraan

pendidikan yang tidak terpusat. Inilah wujud nyata desentralisasi pendidikan yang berakar kuat pada kearifan terhadap keadaan dan kebutuhan lokal.

(5)

Utomo, dkk (1997: 1) menyatakan bahwa muatan lokal adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing- masing.

Muslich (2007: 17) mengemukakan bahwa muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah. Senada dengan hal itu Hidayat (2013: 96) menjelaskan bahwa muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak selalu menjadi bagian dari mata pelajaran lain dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tensendiri. Selanjutnya, dalam Panduan Penyusunan KTSP (Arifin: 2011: 206) dijelaskan bahwa muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang

disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran lain dan atau telalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan dan tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa muatan lokal adalah suatu kegiatan kurikuler yang terencana mengenai suatu daerah dengan mengembangkan kompetensi cirri khas daerah tersebut dan bahan pelajaran yang disusun oleh satuan pendidikan sesuai dengan keragaman potensi daerah, karakteristik daerah, keunggulan daerah, kebutuhan daerah dan lingkungan masing-masing serta isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, serta lingkungan budaya.

(6)

tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan pada tanggal 8 Juli 2003 (pos kupang.com). Sayangnya, meskipun suda diterapkan, hasilnya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal mendasar yang mungkin dapat dijadikan alasan adalah bahwa bahasa daerah adalah bukan bahasa official/resmi yang wajib dipakai di dalam segala kegiatan formal. Bahasa daerah hanyalah bahasa komunikasi sehari-hari yang ketika dipakaipun kadang kurang memenuhi standard penggunaannya karena sering dicampur adukkan dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi negara Indonesia dipakai sebagai bahasa formal yang kegunaannya akhir-akhir ini menjadi “trend” dan mampu “mengalahkan” penggunaan bahasa daerah dalam masyarakat.

Sebagai bukti nyata ada dalam pelaksanaan Festival Duta Wisata di Madura. Dari hasi pengamatan penulis2, tidak kurang dari 40 persen peserta festival tidak bias berbahasa daerah, 60 persen sisanya bisa berbahasa daerah dengan catatan bahasa yang mereka pakai adalah bahasa kasar. Hanya 3 persen dari keseluruhan peserta festival tersebut

(7)

Mengapa Sekolah? Karena jelas lembaga ini memiliki perangkat formal yang sebenarnya sangat mampu menanggulangi masalah tersebut. Perangkat pertama adalah sistem, yang kedua adalah kurikulum. Sistem dapat memaksa anak-anak untuk belajar bahasa daerah dengan baik dan benar melalui pelaksanaan pembelajaran formal sehari-hari yang kemudian secara formal pula dikhiri dengan ujian, sedangkan kurikulum adalah kerangka dan pedoman nyata akan kemana mata pelajaran muatan lokal ini diarahkan. Sistem dan kurikulum ini memang telah diimplementasikan oleh sekolah-sekolah yang mengajarkan muatan lokal bahasa daerah. Namun sayangnya ada banyak sekali kelemahan yang dijumpai, diantara lain: (1) materi pengajaran bahasa daerah lebih banyak menekankan pada pembahasan peribahasa, arti kosakata, isi dari sebuah teks, perubahan bahasa kasar ke bahasa halus, dan bagaimana menulis dengan huruf kuno (honocoroko, hanacaraka), sedang pembahasan tentang tata bahasa daerah yang baik dan bagaimana mengucapkan satu kata lewat metode menyimak, jarang dilaksanakan.

Padahal tidak semua siswa di sekolah tersebut adalah asli orang daerah tersebut. Mereka butuh kaset atau media lainnya yang bisa mereka pelajari di rumah yang berisi kosakata dan bagaimana cara mengucapkannya. (2) kegiatan pembelajaran masih

menggunakan gaya lama, yaitu ceramah dan jarang melibatkan kegiatan praktek seperti presentasi menggunakan bahasa daerah halus, atau memberikan sambutan dengan menggunakan bahasa daerah. (3) Guru jarang atau bahkan mungkin tidak pernah memakai peralatan multimedia seperti tape, dan TV untuk mengajarkan bahasa daerah di kelas. Padahal sumber belajar anak-anak tidak hanya ada di buku diktat mereka saja.

Kelemahan yang dipaparkan di atas menyebabkan pengajaran bahasa daerah terkesan monoton dan membosankan, sehingga banyak diantara siswa yang malas untuk

belajar dengan sungguh-sungguh ketika pengajaran bahasa ini dilaksanakan.

(8)

meaning making, sehingga akan terjadi internalisasi nilainilai dalam diri siswa. (wibawa, sutrisna, 2007).

Pola pembelajaran bahasa daerah didasarkan atas pendekatan kontekstual atau yang dikenal dengan pola pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Pembelajaran kontekstual sebagai dijelaskan dalam KTSP (Depdiknas, 2006) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru mengkorelasikan antara materi atau topik yang diajarkannya dengan keadaan di kehidupan nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Atau singkatnya CTL adalah konsep belajar yang ditunjukan oleh guru dengan menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

(9)

berbagai macam kegiatan kelas. Kita ambil contoh dalam pembelajaran berbicara, siswa secara langsung belajar untuk berbicara (berkomunikasi dengan orang lain, berpidato, bercerita, dan menyanyi). Mereka diberi kesempatan untuk berekspresi menggunakan bahasa daerah mereka. Tugas guru hanyalah membetulkan jika ada kesalahan penggunaan kata dan tata bahasa. Pembelajaran menulis juga demikian. Siswa diajak menulis atau mengarang secara langsung (mengarang puisi, cerita pendek, cerita bebas, atau lainnya). Dalam pembelajaran menyimak, guru dapat menggunakan fasilitas multimedia (audio visual) untuk membangkitkan semangat siswa dalam belajar. Multimedia ini digunakan untuk menampilkan penggunaan bahasa secara langsung yang ada di masyarakat seperti tayangan ketoprak, ludruk, lagu-lagu campur sari, pentas wayang, panembrama, karawitan, dan lomba puisi berbahasa daerah.

Menggunakan permainan individu atau kelompok dalam pengajaran bahasa daerah juga dianjurkan. Selain menghindari pembelajaran yang monoton, permainan juga dipakai untuk

melatih kreatifitas mereka. Semakin dini kreatifitas ini diasah, semakin bagus dan jelas hasilnya. Yang tak kalah pentingnya adalah penggunaan media. (Raharjo 1991) menyatakan bahwa visualisasi mempermudah orang untuk memahami suatu pengertian.

Sebuah pemeo mengatakan bahwa sebuah gambar “berbicara“ seribu kali dari yang dibicarakan melalui kata-kata (a picture is worth a thousand words). Hal ini tidaklah berlebihan karena sebuah wayang atau gambarnya akan lebih menjelaskan barangnya (atau pengertiannya) daripada definisi atau penjelasan dengan seribu kata kepada orang yang belum pernah mengenalnya.

KESIMPULAN

(10)

lahir di Indonesia, saya bangga memiliki suku karo dan menyandang marga Tarigan dibelakang nama saya. Menurut saya pembelajaran muatan lokal bahasa daerah adalah salah satu pembelajaran yang dapat membantu guru untuk membuat anak murid/generasi muda tidak melupakan adat budaya nya masing-masing, dan dengan muatan lokal bahasa daerah dapat mempertahankan bahasa daerah yang dikabarkan hampir punah. Saya sangat berharap pembelajaran muatan lokal bahasa daerah dapat dilaksanakan diseluruh sekolah di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional RI, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan(KTSP): Bahan Sosialaisasi. htpp//:www.depdiknas.id.org.

Wibawa, Sutrisna. 2007. Implementasi Pembelajaran Bahasa Daerah Sebagai Muatan Lokal. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pembelajaran Bahasa

Barba, H.R.1998. Science in The Multicultural Classroom A Guide to Teaching and Learning. Boston : Allyn and Bacon

DEPDIKNAS.2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 5 Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual, Jakarta: Pemerintah RI

DEPDIKBUD.1993.Kurikulum

Pendidikan Dasar, Landasan Program dan Pengembangan, Jakarta:

Pemerintah RI

Jones F.V. and Jones, S.L.1998. Comprehensive Classroom

Management Creating Communities of Support and Solving Problem. Boston : Allyn and Bacon

Joyce, B and Weil,M.1996. Models of Teaching. Boston : Allyn and Bacon

Kinsvatter, William,W; Ishler,M.1996. Dynamics of Effective Teaching.USA: Longman Publisher

Mashnur,M,Drs.1994.Kurikulum 1994, Dasar-Dasar Pemahaman.Malang: YA3

Saxe,W.D. 1994. Social Studies For Elementary Teaching, Massachusett: Allyn and Bacon

Undang-Undang RI No 20 tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Asoka Dikta Durat Bahagia Anonim. 2004. Standar Kompetensi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Direktorat

Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.

(11)

Lanjutan Pertama Dirjen Dikdasmen, Depdiknas.

_________. 2007. MGMP Bahasa Jawa. Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Bahasa Jawa. Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

_________. 2005.Pemprov Jateng. Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor.

895.5/01/2005 tentang Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa Tahun 2004 untuk Jenjang Pendidikan SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs, dan SMA/SMALB/ SMK/MA Negeri dan Swasta Propinsi Jawa Tengah. Semarang: Pemerintah Propins i Jawa Tengah.

Berns, Robert G. and Patricia M. Erickson. 2002. Contextual Teaching and Learning:Preparing Students for the New Economy. Article. The Highlight Zone:Research@Work.

Erickson, H. Lynn. 2002. Concept-Based Curriculum and Instruction: Teaching Beyond

the Facts. California: Corwin Press, Inc.

Halliday, M.A.K. 2002. Language as a Social Semiotics. London: Edward- Arnold.

Harmer, J. 2005. How to Teach English: An Introduction to the Practice of

English

language teaching. New York: Longman.

Krieger, Daniel. 2005. Teaching ESL Versus EFL: Principles and Practices. English

Teaching Forum Vol. 43 No. 2, 2005. pp. 8 – 16.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Surabaya: PT Gramedia.

Alwi, H., & Sugono, D. (2011). Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Seksi PAUD dan Pendidikan Inklusif, & Divisi Pendidikan Dasar. (2005).

Pendidikan Anak Usia Dini dan Kebijakan Keluarga Laporan Review Kebijakan: Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini di Indonesia. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta lagu Kebangsaan. (2009).

Wibowo, W. (2001). Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Wurm, Stephen A. (ed.). 2001. Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing. Paris: UNESCO Publishing

Mahsun. 1997-2000. “Pengembangan Materi Muatan Lokal yang Berdimensi

(12)

Surabaya:Dinas P & K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I

MEMPERKAYA BAHASA DAERAH ANAK MELALUI MUATAN LOKAL DENGAN METODE CONTEXTUAL TEACHING LEARNING DI SEKOLAH DASAR Diajukan untuk Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Apresiasi Bahasa dan Sastra

Indonesia

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Zulela M.S

Oleh

Annisa Persada Br Tarigan 1815163253

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

(13)

Referensi

Dokumen terkait

An. A suka sekali dengan chiki-chiki, chocolate dan minuman kemasan seperti teh gelas dan anak A mengkonsumsi mie goreng setiap hari pada pagi hari. Anak A memiliki berat badan 75

Demikian surat penetapan pemenang pelelangan ini diperbuat dengan sebenarnya dan. disampaikan kepada

Banyaknya pengakses detikcom membuat pemasang iklan sangat tertarik untuk memasang iklan di situs ini karena detikcom punya point plus tersendiri karena

Setiap orang memiliki potensi (bakat) dan keterbatasan. Jika bakat itu diasah dengan learning and practicing, maka akan menghasilkan kekuatan. Jika kekuatan itu digunakan secara

Hasil penelitian kandungan logam berat Kadmium di daun pada stasiun I adalah 2,59 mg/kg, stasiun II dan IIIsebesar <0,003 mg/kg (Tabel 6).Perbedaan nilai pada setiap

Praktik Pengalaman Lapangan adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Mazro’atul Huda Karanganyar Demak, aktivitas penerapan sistem informasi pendidikan CCTV berbasis aplikasi android dalam. pelaksanaan pembelajaran Akidah Akhlak dan

Raja Johansyah bersama Putri Bidasari memerintah dengan bijaksana. Rakyatnya bertambah hormat terhadap rajanya. Negeri Inderapura pun bertambah subur. Raja dan permaisuri