• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYIMAK PROSES DAN JENISNYA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENYIMAK PROSES DAN JENISNYA (1)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MENYIMAK WACANA BERBAHASA ARAB

KESULITAN DAN CARA PEMECAHANNYA

Nurhidayati (2017)

Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Menyimak merupakan bentuk bahasa pertama yang diperoleh penutur dan merupakan

keterampilan dasar yang membantu keterampilan berbahasa yang lain (Tompkins dan

Hoskissons, 1991:107). Dalam menyimak terdapat proses mental dalam berbagai tingkatan,

mulai dari pengidentifikasian bunyi, proses pemahaman dan penafsiran, sampai pada proses

penyimpanan hasil pemahaman dan penafsiran bunyi (Ashin, 1981:4). Keterampilan menyimak

dapat membantu pebelajar berpartisipasi dengan baik dalam komunikasi lesan karena

komunikasi tidak bisa berhasil jika pesan yang disampaikan tidak bisa dipahami (1997:14).

Beberapa hal yang merupakan penyebab pebelajar menghadapi kesulitan dalam

menyimak adalah sebagaimana dikemukakan oleh underwood(1989:16-20) yang menyebutkan

bahwa masalah mendasar yang dihadapi pebelajar menyimak adalah (1) ketidakmampuan

mengontrol kecepatan tuturan pembicara, (2) tidak ada kesempatan mengulang tuturan, (3)

keterbatasan kosakata pebelajar, (4) kegagalan untuk mengenali tanda-tanda pembicara,

(5)kesulitan untuk menginterpretasikan wacana, (6) ketidakmampuan berkonsentrasi, dan (7)

kebiasaan belajar. Menyimak wacana berbahasa Arab merupakan keterampilan berbahasa yang

dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa belum terbiasa dengan intonasi dan kecepatan

penutur asli. Keterbatasan fasilitas seperti kaset, VCD, dan sarana komunikasi yang

menggunakan bahasa Arab juga sebagai penghambat keterampilan menyimak bahasa Arab.

(2)

dengan baik, mengingat waktu siar malam hari, kejernihan suara radio, dan tidak semua

mahasiswa memiliki radio yang bisa mengakses siaran dari Negara Timur Tengah.

Keterampilan menyimak merupakan bagian penting komunikasi, dan merupakan dasar pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Esensi kemampuan interaksi adalah kemampuan memahami apa yang dikatakan orang lain. Waktu yang diperkirakan dalam kegiatan komunikasi manusia dewasa adalah 45% digunakan untuk menyimak, 30% untuk berbicara, 16% untuk membaca, dan 9% untuk menulis (Rivers & Temperley, 1978:62).

Keterampilan menyimak bagi pembelajar bahasa asing merupakan keterampilan yang sangat penting, karena keterampilan ini dibutuhkan untuk menguasai materi pelajaran, dan diperlukan untuk menyimak perkuliahan yang disampaikan dengan bahasa yang bersangkutan (Tresnadewi, 1994:28). Pembelajar tidak hanya dituntut memahami apa yang dikatakan, tetapi juga menyeleksi bagian informasi yang penting dan relevan untuk disusun secara cepat dalam bentuk lisan maupun tulisan dan sebagai catatan yang bisa dipahami di masa mendatang.

Pentingnya keterampilan menyimak ini juga ditegaskan oleh Cahyono (1997:14) bahwa keterampilan menyimak dapat membantu pembelajar berpartisipasi dengan baik dalam

komunikasi lisan, karena komunikasi tidak bisa berhasil jika pesan yang disampaikan tidak bisa dipahami. Anderson dan Lynch (1988:16) menyebutkan bahwa keberhasilan keterampilan berbicara tergantung pada keberhasilan keterampilan menyimak.

2.1 Pengertian Keterampilan Menyimak

Clark & Clark dan Richards (dalam Rubin & Mendelson,1995:151) menyebutkan bahwa menyimak merupakan pemrosesan informasi yang didapat oleh penyimak melalui pandangan dan pendengaran yang mencakup perintah untuk menyatakan apa yang akan dituju dan diekspresikan oleh pembicara. Definisi tersebut mengungkapkan bahwa pada saat

pemrosesan informasi penyimak tidak pasif, tetapi aktif untuk menyerap informasi. Sumber informasi yang ada juga bervariasi, tidak hanya bersumber dari kata kata yang diucapkan

(3)

menyimak merupakan proses dinamis yang menggunakan informasi dari penutur, penyimak, setting, dan interaksi untuk membentuk makna.

Menyimak merupakan kegiatan yang komplek yang mencakup komponen-komponen persepsi dan pengetahuan linguistik untuk membantu memahami wacana yang disajikan (Zhiqian, 1989:33). Tarigan (1985:19) menyebutkan bahwa menyimak merupakan proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian dan pemahaman untuk memperoleh informasi yang disampaikan secara lisan dan dapat memahami makna komunikasi yang disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan tersebut. Dalam menyimak terdapat proses mental dalam berbagai tingkatan, mulai dari pengidentifikasian bunyi, proses pemahaman dan penafsiran, sampai pada proses penyimpanan hasil pemahaman dan penafsiran bunyi (Ashin, 1981:4). Menyimak adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang dibicarakan orang lain (Fan Yagang, 1993:16). Hal ini mencakup pemahaman aksen pembicara, ejaan, tata bahasa, dan kosa kata yang digunakan, serta pemahaman makna. Seorang penyimak harus dapat memahami empat aspek tersebut secara serentak.

Willis (1981:134) menyebutkan beberapa kegiatan yang harus dilakukan seseorang dalam menyimak, yaitu: (1) Memprediksi apa yang akan dikatakan seseorang, (2) memperkirakan kata-kata atau frasa yang tidak dikenal tanpa rasa panik, (3) menggunakan pengetahuannya untuk membantu pemahaman, (4) mengidentifikasi pokok bahasan yang relevan dan menyeleksi informasi yang tidak relevan, (5) menguatkan poin-poin yang relevan melalui catatan atau simpulan, (6) mengenali penanda-penanda wacana, misalnya: baik, oh, sesuatu yang lain adalah, sekarang, dan lain lain, (7) memgenali alat-alt kohesi, misalnya: sebagaimana, yang mana tercakup dalam kata-berikut, kata ganti, reference, dan lain lain, (8) memahami contoh-contoh intonasi yang berbeda dan pemakaian tekanan yang mendukung makna dan setting sosial budaya, dan (9) memahami maksud informasi, sikap dan perhatian pembicara.

Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa menyimak merupakan proses aktif, yang mengharuskan penyimak secara aktif mengkonstruksi pesan yang disampaikan pembicara, melalui pemahaman aksen, sikap pembicara, ejaan, tata bahasa, kosa kata, frasa, penanda-penanda wacana, dan alat-alat kohesi.

(4)

Menyimak merupakan proses yang lebih komplek dari hanya sekedar mendengarkan. Mendengar merupakan satu komponen dari proses menyimak, sedang komponen penting lainnya adalah berpikir dan memberi makna apa yang didengarnya (Tompkins & Hoskissons, 1991:108).

Clark & Clark (1977:111-112) menegaskan bahwa proses menyimak meliputi tahap-tahap berikut: (1) penyerapan fonologi, (2) representasi fonologi, (3) identifikasi isi/fungsi, (4)

representasi proposisi secara hirarkis, dan (5) penyimpanan proposisi. Sedang Klatzy (dalam Cahyono, 1997: 15) mengajukan model lain, bahwa proses menyimak terdiri dari : (1) mencatat informasi, (2) mengenal contoh, (3) mengorganisasikan informasi, (4) latihan, dan (5)

penyimpanan informasi.

Ada tiga tahap dalam proses menyimak, yaitu proses menerima, proses pemusatan perhatian, dan proses pembentukan makna melalui proses asimilasi dan akomodasi. Pada tahap pertama (menerima) penyimak menerima stimulus lisan dan visual yang dihadirkan oleh pembicara. Langkah kedua (pemusatan perhatian) penyimak memfokuskan diri pada stimulus, karena banyak sekali stimulus yang ada, maka penyimak memfokuskan pada informasi yang paling penting dalam pesan yang disimak. Pada tahap ketiga (pemahaman makna), penyimak membentuk makna atau memahami pesan pembicara. Penyimak membentuk makna melalui proses asimilasi dan akomodasi untuk menyesuaikan pesan dengan kognitif mereka atau untuk menciptakan struktur baru jika diperlukan.

Richards (1988:63) menyatakan bahwa ada dua proses menyimak yang sering dipakai, yaitu proses menyimak bottom up dan proses menyimak top down. Proses menyimak bottom up yaitu proses menyimak yang mengacu paadaa penggunaan data yang masuk sebagai sumber informasi tentang suatu pesan yang dimulai dari menganalisa pesan yang diterima berdasarkan organisasi bunyi, kaata, dan kalimat sampai paada proses penemuaan makna (proses decoding atau penafsiran pesan). Sedang proses menyimak top down adalah proses yang menggunakan pengetahuan latar dalam memahami maksud suaatu pesan baik berupa topik suatu wacana, situasi daan kontekstual atau pengetahuan yang telah menjadi memori berupa skema yaitu sususnan suatu kejadian tentang suatu topik.

(5)

1. Pada saat menyimak suara, reaksi pertama adalah memastikan bagaimana suara itu disusun apakah sistematik atau tidak.

2. Tahap berikutnya menetapkan jenis struktur suara tersebut dalam bahasa yang dipergunakannya

3. Tahap terakhir menyeleksi pesan-pesan yang penting, untuk disimpan pada memori yang nantinya akan dipergunakan.

Proses tersebut pada tahap permulaan merupakan kegiatan yang komplek yang membutuhkan beberapa faktor untuk menerapkannya, antara lain: pemahaman fonologi atau sistem suara bahasa yang disimak, pemahaman terhadap tema pembicaraan, tujuan pembicaraan, sikap dan tekanan pembicaraan, ekspresi wajah, isyarat, tekanan/nada , yang semua ini dapat membantu penyimak memahami pesan yang disimaknya. Dengan demikian, proses menyimak adalah proses menerima informasi, berpikir, dan memusatkan perhatiaan untuk mendapatkan pemahaman makna atau pesan pembicara.

2.3 Tingkatan Menyimak

Farris (1993:158) membagi menyimak menjadi empat tingkat, yaitu: (1) tingkat marginal, (2) tingkat apresiatif, (3) tingkat atentife, dan (4) tingkat kritis dan analitis. Menyimak marginal adalah menyimak suara pada latar/suasana gaduh. Misalnya, menyimak suara seseorang pada situasi gaduh di jalan raya. Guru menggunakan menyimak marginal untuk melatih siswa jika pada suatu ketika kelas mendapat gangguan suara gaduh dari kelas lain misalnya. Karena beberapa murid ada yang hanya bisa belajar pada situasi yang tenang.

Menyimak apresiatif adalah menyimak untuk mendapat kesenangan, misalnya

mendengarkan lagu, musik, drama, bacaan puisi, dan sebagainya. Untuk melatih jenis menyimak ini guru bisa memutar kaset musik misalnya, sehingga anak bisa belajar dalam melakukan apresiasi terhadap berbagai ritme, lirik, aliran dan jenis musik. Selain itu siswa juga dilatih agar bisa menyaksikan penggunaan tekanan, jeda dan irama, nada, mood, gaya penutur, dsb. dengan menyimak penutur yang efektif.

(6)

pemahaman lisan. Penyimak harus mengkategorikan, menyelidiki, menghubungkan,

mempertanyakan, dan mengorganisasikan informasi agar bisa menerapkannya pada kesempatan lain. Jenis menyimak ini misalnya menyimak petunjuk-petunjuk lisan melalui berbagai sarana seperti menyimak berita televisi, menyimak nomor telephon dari jarak jauh, menyimak perkuliahan, dsb. Untuk menerima pesan lisan tertentu diperlukan strategi tertentu misalnya penyimak hendaknya mengetahui tujuan penting yang harus didengarkannya. Para siswa akan menggunakan taktik tertentu untuk mencatat. Mereka menggunakan kategori-kategori tertentu untuk ditulis sebagai judul atau topik di atas catatan.

Menyimak kritis atau analitis adalah menyimak untuk mengevaluasi dan menetapkan apa yang disimaknya. Jenis menyimak ini mengharuskan penyimak mengevaluasi dan menentukan input lisan, sehingga dia menjadi pemroses yang reflektif terhadap suatu pesan. Pemrosesan reflektif ini memerlukan pengembangan inferensi yang luas, pembandingan sebab dan akibat, evaluasi dan pertimbangan pesan penutur. Menyimak kritis ini sebenarnya merupakan dasar menyimak yang sering dilakukan anak, misalnya pada saat anak harus mengambil keputusan penting misalnya pada saat membeli mainan baru, memilih film baru yang akan ditonton, dsb. Dengan demikian, dilihat dari tingkat kesulitannya, ada empat jenis menyimak, yaitu: menyimak marginal, menyimak apresiatif, menyimak atentif, dan menyimak kritis.

2.4 Tujuan Menyimak

Walvin & Coakley (dalam Tompkin & Hoskisson, 1991:109) menyatakan bahwa terdapat 5 tujuan dalam menyimak, yaitu: (1) menyimak untuk membedakan, (2) menyimak untuk memahami, (3) menyimak untuk mengkritik, (4) menyimak untuk apresiasi, dan (5) menyimak untuk terapi. Pada menyimak dengan tujuan untuk membedakan seseorang menyimak untuk membedakan suara-suara dan untuk mengembangkan sensitivitas komunikasi non verbal. Mengajar menyimak dengan tujuan ini berbeda-beda untuk setiap tingkat kelas. Di TK atau kelas I sekolah dasar misalnya, siswa diajak menyimak suara-suara binatang melalui tape recorder dan suara-suara yang biasanya ada di dapur. Anak-anak biasanya baru bisa melakukan menyimak jenis ini pada usia 5 atau 6 tahun.

(7)

harus menentukan tujuan penutur dan kemudian mengkordinasi informasi yang terucapkan kemudian mengingatnya. Pada tingkat sekolah dasar biasanya pengajaran menyimak komprehensif ini hanya sedikit diberikan, karena guru berpendapat bahwa siswa baru

mempunyai pengetahuan sederhana untuk menyimak. Model yang dipakai biasanya berupa tugas mencatat sebagai salah satu strategi menyimak komprehensif.

Menyimak dengan tujuan untuk mengkritik atau mengevaluasi adalah menyimak yang mengharuskan penyimak pertama kali memahami, kemudian mengevaluasi pesan yang diterima. Menyimak dengan tujuan ini merupakan perluasan dari menyimak komprehensif, karena

disamping memahami pesan, penyimak harus menyeleksi pesan, misalnya untuk mendeteksi bahasa propaganda dan bahasa persuasi. Seperti, bahasa debat, iklan, pidato politik dan argumen-argumen lain.

Menyimak untuk apresiasi adalah menyimak untuk memperoleh kesenangan, seperti menyimak cerita, pembacaan puisi. Bentuk pengajaran menyimak yang penting di tingkat SD adalah dengan membaca keras untuk disimak siswa. Dengan cara ini guru bisa mendorong dan meciptakan situasi yang menyenangkan dalam pelajaran menyimak. Selain itu jenis menyimak ini bisa berupa menyimak pembicaraan teman sekelas dan tukar menukar ide. Siswa perlu belajar bagaiman berpartisipasi dalam pembicaraan, diskusi, dan kegiatan percakapan yang lain.

Menyimak untuk terapi adalah menyimak yang digunakan pada saat seseorang masalah-masalah yang diungkapkan pembicara. Sebagaimana orang dewasa, anak-anak juga memerlukan penyimak yang simpatik untuk menyimak permasalahan-permasalahan yang dialaminya.

Dengan demikian ada 5 tujuan menyimak, yaitu (1) menyimak untuk membedakan, yang digunakan untuk membedakan hal-hal yang disimak, sesuai dengan tujuan penyimak, (2)

menyimak untuk memahami, yaitu menyimak dengan tujuan memahami pesan pembicara baik secara detil maupun global, (3) menyimak untuk mengkritik, yaitu menyimak yang tidak hanya cukup memahami apa yang disimak, tetapi juga mengevaluasi dan memberikan kritik atau penilaian terhadap pesan yang disimak, (4) menyimak apresiasi, yaitu menyimak untuk memperoleh kesenangan, dan (5) menyimak untuk terapi, yaitu menyimak untuk menghibur pembicara dengan menyimak permasalahan-permasalahan yang diungkapkan.

(8)

Ada tiga jenis menyimak yang sering digunakan dan diajarkan di sekolah-sekolah , yaitu menyimak komprehensif, menyimak kritis, dan menyimak apresiatif. Ketiga jenis menyimak ini memerlukan strategi-strategi khusus yang akan digunakan pada saat menyimak. Sebagai contoh strategi membayangkan (imaji), organisasi, dan pengajuan pertanyaan-pertanyaan dapat

membantu para mahasiswa memperoleh informasi penting dari pesan yang disimaknya dan dapat memahaminya dengan lebih baik.

Tidak semua mahasiswa memahami berbagai strategi untuk tujuan menyimak yang berbeda. Pada umumnya mereka hanya memiliki satu pengertian bahwa menyimak adalah suatu kegiatan yang harus dilakukan sebaik mungkin, dan harus mengingat semua pesan yang

disampaikan. Menyimak dengan strategi ini tidak akan berhasil karena: (1) mengingat semua pesan dalam waktu singkat merupakan hal yang tak mungkin bisa dilakukan, dan (2) beberapa poin dari pesan yang disampaikan bukan merupakan hal yang perlu diingat. Adapun tiga jenis menyimak yang akan dibahas yaitu: (1) Menyimak komprehensif, (2) menyimak appresiatif, dan (3) menyimak kritis.

Menyimak komprehensif adalah menyimak untuk memahami pesan (Tompkins & Hoskisson, 1991:112). Beberapa faktor yang menentukan mahasiswa sebagai penyimak dapat memahami pesan adalah: (1) sebelum menyimak, berupa latar belakang pengetahuan yang berkaitan dengan isi pesan yang disimak. Para penyimak harus mampu menghubungkan apa yang disimak dengan pengetahuan yang telah diketahui dan pembicara atau dosen harus membantu untuk

menghubungkannya.(2) selama proses menyimak, yaitu berupa penggunaan berbagai strategi dan teknik untuk membantu ingatan mereka dalam mengorganisasikan pesan yang diterima. (3) pada saat selesai proses menyimak, yaitu menerapkan apa yang mereka simak sehingga hal ini merupakan dorongan atau penyebab untuk mengingat informasi/pesan yang diterima.

(9)

Menyimak apresiatif merupakan jenis menyimak yang menghasilkan rasa senang, puas, menikmati terhadap hal yang disimak, seperti mendengar musik, komedi, puisi, cerita,dsb. Dalam pelajaran bahasa menyimak apresiatif ini bisa digunakan untuk melatih mahasiswa dalam mereaksi prosa/puisi, menunjukkan kesenangan terhadap persajakam dalam puisi, kepekaan imajinasi, dan kepekaan suasana (Syafi’ie, 1999: 46).

Beberapa cara yang bisa dilakukan dosen untuk melaksanakan pengajaran menyimak apresiatif ini adalah:(1) memperdengarkan cerita atau memutar CD yang berisi cerita,

mengenalkan kosakata serta pola kalimat yang digunakan, membuat mahasiswa mampu memahami cerita yang terlalu sulit untuk disimak oleh mereka sendiri, (2) menimak secara berulang-ulang. Pengulangan dapat membantu mahasiswa melakukan kontrol terhadap bagian-bagian tertentu dari cerita, dan mensintesis bagian-bagian-bagian-bagian cerita ke dalam keseluruhan cerita secara lebih baik Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa jenis menyimak ada tiga, yaitu menyimak komprehensif, menyimak kritis, dan menyimak apresiatif. Menyimak

komprehensif adalah menyimak untuk memahami pesan, jenis menyimak ini merupakan jenis menyimak yang harus dikuasai penyimak untuk dapat menguasai dua jenis menyimak yang lain. Menyimak kritis adalah menyimak yang menuntut penyimak bersikap kritis terhadap hal-hal yang disimaknya, sedang menyimak apresiatif adalah menyimak untuk mendapatkan rasa senang, puas, dan menikmati apa yang disimaknya.

2.6 Pengertian Menyimak Apresiatif

Untuk mendeskripsikan pengertian tentang menyimak apresiatif, akan dipaparkan lebih dahulu istilah apresiasi khususnya apresiasi sastra. Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciato yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang, dan sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yaitu (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan (3) aspek evaluatif (Aminuddin, 1995:34).

(10)

dan struktur waacana dalam hubungannya dengan kehadiran maakna yang tersurat. Sedangkan unsur ekstrinsik antara lain berupa biografi peengarang, latar proses kreatif penciptaan maupun latar sosial budaya yang menunjang kehadiran teks sastra.

Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi peminat sastra dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan teks sastra. Unsur emosi sangat berperanan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau beersifat konotatif-interpretatif serta dapat pula berupa unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang bersifat metaforis.

Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian teeerhadap baik buruk, indah tidak indah, sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak haru hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh peminat sastra.

Dengan berpijak pada pengertian apresiasi karya sastra maka menyimak apresiatif mempunyai makna kegiatan menyimak yang bertujuan untuk menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra yang disimaknya.

2.7 Pendekatan dalam Menyimak Apresiatif

Istilah pendekatan dalam menyimak apresiatif merupakan prinsip dasar atau landasan yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa pada saat mengapresiasi karya sastra yang

disimaknya. Keanekaragaman pendekatan yang digunakan dalam mengapresiasi karya sastra ditentukan oleh (1) tujuan dan apa yang akan diapresiasi, (2) proses kelangsungan, dan (3) landasan teori yang digunakan (Aminuddin, 1995:40).

(11)

Berikut akan diuraikan pendekatan apresiasi karya sastra ditinjau dari aspek tujuan dan materi apa yang akan diapresiasi sebagaimana dipaparkan oleh Aminuddin (1995:41-45).

2.7.1 Pendekatan parafrastis.

Pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya.

2.7.2 Pendekatan emotif.

Pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat beeerhubungan dengan

keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik.

2.7.3 Pendekatan analitis.

Yang dimaksud dengan pendekatan analitis adalah suatu pendekatan yang berusaha

memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengemajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrisik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.

2.7.4 Pendekatan historis

Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.

2.7.5 Pendekatan sosiopsikologis

(12)

pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan.

2.7. 6 Pendekatan didaktis

Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadapa kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.

Pendekatan didaktis ini merupakan pendekatan yang menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya.Dalam pelaksanaannya ,

penggunaan pendekatan didaktis ini diawali dengan upaya pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra yang disarikan dari paparan gagasan, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari penulisnya.

2.8 Strategi Pembelajaran Menyimak Apresiatif

Strategi pembelajaran menyimak apresiatif berbeda dengan mengajar jenis menyimak lainnya, karena tujuan menyimak apresiatif ini adalah untuk mendapatkan suatu kesenangan. Kegiatan dalam strategi ini menurut Tompkins dan Hoskisson (1991:130) dibagi menjadi tiga tahap, sebelum, selama dan sesudah menyimak.

2.8.1 Kegiatan sebelum menyimak

Dosen berusaha mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh mahasiswa, memberikan informasi baru yang berkaitan dengan cerita atau penulisnya, dan mengaktifkan minat mahasiswa terhadap cerita. Dosen bisa membicarakan topik atau temanya, menunjukkan gambar, atau membahas masalah-masalah yang masih terkait dengan cerita agar semua

(13)

2.8.2 Kegiatan selama menyimak

Dosen memutar CD yang berisi cerita pendek, dan selama proses menyimak mahasiswa harus terlibat aktif dalam memahami cerita tersebut. Satu cara untuk meningkatkan partisipasi aktif mahasiswa adalah dengan menggunakan Directed Listening Thinking Activity ( DRTA) suatu prosedur yang meminta mahasiswa secara berkelompok untuk membuat prediksi tentang unsur-unsur intrinsik cerita yang meliputi: tema, gaya bahasa, alur, setting, dan unsur penokohan dalam cerita pendek yang disimaknya.

2.8.3 Kegiatan setelah menyimak

Mahasiswa saling berbagi pengetahuan dan masukan yang mereka peroleh pada saat menyimak dan melalui diskusi, mereka diminta untuk membahas hasil kerja mereka pada tahap menyimak. Dalam diskusi ini hendaknya mahasiswa dikondisikan untuk berpikir kritis, fokus diskusi pada tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi bukan pada pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban faktual.

PENGERTIAN MENYIMAK

Menyimak merupakan pemrosesan informasi yang didapat oleh penyimak melalui

pandangan dan pendengaran yang mencakup perintah untuk menyatakan apa yang akan dituju

dan diekspresikan oleh pembicara/penutur (Clark dan Clark dan Richards, dalam Rubin,

1995:151). Definisi tersebut mengungkapkan bahwa pada saat pemroseesan informasi penyimak

tidak pasif tetapi aktif untuk menyerap informasi. Sumber informasi bervariasi, tidak hanya

bersumber dari dari kata-kata yang diucapkan pentur saja namun juga meliputi tekanan suara dan

kecenderungan kata-kata tertentu. Kalimat sama yang diucapkan oleh penutur yang berbeda akan

berbeda maknanya sesuai dengan konteks pembicaraan. Definisi tersebut juga mengandung arti

(14)

merupakan proses yang mekanis. Dengan demikian, menyimak merupakan proses dinamis yang

menggunakan informasi dari penutur, penyimak, setting, dan interaksi untu membentuk makna.

Sejalan dengan pendapat tersebut, berikut dikemukakan beberapa pendapat para ahli

tentang pengertian menyimak. Zhiqian (1989:33) menyatakan bahwa menyimak merupakan

kegiatan yang kompleks yang mencakup komponen-komponen perepsi dan pengetahuan

linguistic untuk membantu memahami wacana yang disajikan. Ashin (1981:4) menyatakan

bahwa dalam menyimak terdapat proses mental dalam berbagai tingkatan mulai dari

pengidentifikasian bunyi dan tuturan, proses pemahaman dan penafsiran, sampai pada proses

penyimpanan hasil pemahaman dan penafsiran bunyi dan tuturan. Sementara Fan Yagang

(1993:16) menyatakan bahwa menyimak adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan

memahami apa yang dibicarakan orang lain yang mencakup aspek aksen penutur, ejaan,

tatabahasa, kosa kata, serta pemahaman makna secara serentak. Dari paparan definisi para ahli

tesebut dapat disimpulkan bahwa menyimak merupakan proses aktif yang mengharuskan

penyimak aktif mengkonstruksi pesan yang disampaikan penutur melalui pemahaman aksen,

sikap pembicara, ejaan, tata bahasa, kosakata, frasa, penanda wacana,dan alat-alat kohesi.

FAKTOR-FAKTOR UMUM YANG MEMPENGARUHI KESUKSESAN PENYIMAK

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan penyimak tuturan bahasa

kedua/asing adalah faktor usia, bakat, sosial psikologi, kepribadian, aspek kognitif, belahan

spesialisasi, dan strategi belajar (Freeman dan Long, 1991:154-203). Faktor usia mempengaruhi

kesuksesan pebelajar bahasa asing sebagaimana hasil penelitian Seright (dalam Freeman dan

Long, 1991) bahwa anak kecil lebih berhasil belajar aksen dan menirukan penampilan berbahasa

(15)

pembelajaran dari segi kuantitas. Bakat bahasa terkait dengan kemampuan mengenal fonem,

kepekaan gramatikal, belajar materi bahasa, dan belajar bahasa secara induktif. Aspek sosial

psikologi mencakup motivasi dan sikap. Aspek kepribadian meliputi kepribadian terbuka dan

tertutup. Pebelajar dengan kepribadian terbuka lebih cepat berrhasil dalam belajar bahasa asing

daripada pebelajar dengan kepribadian tertutup. Aspek kognitif terkait tentang proses atau

pendekatan belajar yang dipakai misalnya pendekatan holistic atau analitik. Spesialisasi belahan

otak pebelajar juga mempengaruhi kesuksesan pebelajar bahasa kedua/asing. Adapun strategi

belajar merupakan teknik yang digunakan pebelajar dalam belajar.

KESULITAN PENYIMAK DAN PENYEBABNYA

Underwood (1989:16-20) menyatakan bahwa masalah mendasar yang dihadapi pebelajar

menyimak adalah: (1) ketidakmampuan mengontrol kecepatan tuturan pembicara, (2)tidak ada

kesempatan mengulang tuturan, (3) keterbatasan kosakata pebelajar, (4) kegagalan mengenali

tanda-tanda penutur, (5) kesulitan menginterpretasikan wacana, (6) ketidakmampuan

berkonsentrasi, dan (7) kebiasaan belajar. Ketujuh hal tersebut dijelaskan berikut.

Kesulitan pertama berhubungan dengan kecepatan tuturan. Kecepatan tuturan merupakan

masalah pokok yang dihadapi penyimak, karena tidak ada kesempatan untuk mengulang teks

sebagaimana ketika membaca. Kadangkala penyimak disibukkan untuk memahami makna

bagian tertentu sehingga lengah untuk menyimak bagian berikutnya.

Kesulitan kedua berkaitan dengan tidak ada kesempatan untuk mengulang pesan yang

disimak. Misalnya, jika siswa harus menyimak pesan yang ada pada radio atau televisi secara

(16)

Kesulitan ketiga berkaitan dengan keterbatasan kosakata. Keterbatasan kosakata

merupakan masalah yang pelik bagi penyimak tuturan bahasa asing. Dengan tidak diketahui

kosakata tertentu dalam tuturan memancing siswa untuk berhenti dan memikirkannya sehingga

ia akan tertinggal untuk menyimak bagian tuturan berikutnya.

Kesulitan keempat terkait dengan kesulitan dalam mengenali tanda-tanda pembicaraan.

Tanda-tanda dalam tuturan lisan sering sulit dipahami oleh penyimak bahasa asing. Contoh

tanda-tanda yang bisa dimanfaatkan misalnya ahrufut tauki:d, ahruful qosam, jeda, pemberian

contoh, pengulangan poin-poin tertentu, dan simpulan tuturan.

Kesulitan kelima terkait dengan kemampuan menginterpretasikan informasi yang

disimak. Interpretasi pesan yang disimak mrupakan masalah bagi penyimak jika penyimak sama

sekali tidak ada pengetahuan tentang konteks tuturan yang disimak.

Kesulitan keenam terkait dengan ketidakmampuan penyimak dalam berkonsentrasi.

Ketidakmampuan berkonsentrasi merupakan masalah serius yang harus dicermati, karena dalam

menyimak diperlukan konsentrasi terus menerus selama proses menyimak.

Kesulitan ketujuh berkaitan dengan kebiasaan belajar. Kebiasaan pebelajar yang selalu

menggantungkan diri pada informasi atau penjelasan guru terkait dengan kosakata, gramatika,

makna pola-pola kalimat akan menjadi penghambat pada saat menyimak yang dilakukan tanpa

ada penjelasan kosakata terlebih dahulu.

Sementara itu Tresnadewi (1994:29) menyebutkan bahwa kesulitan menyimak yang biasa

dihadapi oleh pebelajar adalah (1) terkait dengan ejaan, ritme, intonasi, dan tekanan; (2)

ketidakmampuan untuk menyaring atau menyeleksi apa yang disimak, meliputi ketidakmampuan

(17)

memperkirakan; (3) ketidakmampuan memahami dan berlatih dengan berbagai jenis aksen dan

kosakata tertentu; dan (4) ketidamampuan menghubungkan kata-kata tertentu dalam konteksnya.

Ngee (1985:59) menyebutkan beberapa kesulitan yang dihadapi penyimak adalah: (1)

kecepatan tuturan; (2) belum dikenali jenis suara, tekanan, inntonasi, ritme penutur asli; (3) rasa

bosan yang mengakibatkan hilangnya konsentrasi; (4) faktor pengacau baik dari dalam maupun

luar kelas; dan (5)masalah-masalah khusus yang berfungsi untuk memahami pesan tuturan,

misalnya: penguasaan kosakata, frasa, pola kalimat, dan konteks tuturan.

Brown dan Yule (dalam Candlin, 1991:24) menyebutkan bahwa ada empat factor yang

menjadi penyebab kesulitan tugas-tugas bahasa lisan yaitu: (1) yang terkait dengan pembicara

(bagaimana kecepatan bicaranya, berapa banyak yang diucapkan, dan bagaimana bentuk

aksennya); (2) terkait dengan penyimak (partisipasi penyimak, tingkat respons yang diberikan,

dan perhatian individu terhadap tema; (3) terkait dengan isi (berupa tatabahasa, kosakata,

susunan informasi, dan latar belakang pengetahuan yang dimiliki); (4) terkait dengan motivasi

(apakah ada bantuan gambar, diagram, atau media yang digunakan untuk memvisualisasikan

tuturan yang disampaikan).

Selain itu, Andersons dan Lynch (dalam Candlin, 1991) menyebutkan tiga faktor utama

penyebab kesulitan menyimak, yaitu: (1) bentuk bahasa; (2) tujuan menyimak; dan (3)konteks

tuturan. Andersons dan Lynch juga menyebutkan bahwa kesulitan menyimak itu dipengaruhi

oleh hal-hal berikut. (1) Pengorganisasian informasi (tuturan yang disampaikan secara urut

kronologis akan lebih mudah disbanding dengan tuturan yang informasinya disajikan tidak

berurutan. (2) Pengenalan tentang topik tuturan yang disimak. (3) Susunan informasi yang

(18)

penyimak daripada susunan informasi yang implisit dan kompleks. (4) Bentuk ungkapan acuan

yang digunakan. Penggunaan kata ganti akan lebih sulit dipahami penyimak daripada

penggunaan kata benda secara langsung. (5) Bentuk pendeskripsian tuturan. Tuturan yang

dideskripsikan dengan menggunakan media akan lebih mudah dipahami penyimak daripada

tuturan yang disajikan tanpa menggunakan media.

Brown (dalam Rubin dan Mendelson, 1995:59) menyebutkan bahwa kesulitan yang lazim

ditemui dalam menyimak adalah tidak dikenalnya aspek tekanan, gramatika, dan kosakata

bahasa yang dipelajari. Di samping itu aspek budaya dan kebiasaan penutur serta aspek pribadi

penyimak juga ikut berpengaruh misalnya aspekminat an motivasi. Selanjutnya Brown

mengemukakan 6 prinsip muatan kognitif yang mudah dan sulit untuk tuturan menyimak bahasa

asing yaitu: (1)tuturan dengan muatan konten yang sederhana akan lebih mudah dipahami

daripada tuturan dengan muatan konten yang kompleks; (2) tuturan yang berisi nama individu

atau objek yang jelas karakteristiknya akan lebih mudah dipahami daripada tuturan yang belum

jelas nama pemerannya dan karakteristiknya; (3) tuturan yang berisi lokasi objek yang jelas akan

lebih mudah dipahami penyimak daripada tuturan yang ruang lokasinya lebih luas; (4) tuturan

yang berisi kejadian/peristiwa tertentu akan lebih mudah dipahami penyimak daripada tuturan

yang memuat peristiwa yang belum jelas; (5) tuturan akan lebih mudah dipahami jika

mengandung kata kunci yang dapat memudahkan penyimak memahami tuturan yang disimak;

dan (6) tuturan yang disimak akan mudah dipahami jika kosa kata dan gramatikanya sesuai

dengan kemampuan yang dimiliki penyimak.

(19)

Dalam menyimak pengajar dapat membantu penyimak untuk memahami pesan yang

disimak melalui proses pengenalan (recognition), terkaan (guessing), penggantian system

pembelajaran (transfer of learning), bentuk/gaya perhatian yang diperhatikan (stylistic

consideration), dan selingan humor ( Cahyono, 1997: 15). Beberapa upaya yang dapat dilakukan

pengajar untuk membantuk penyimak melalui proses pengenalan adalah dengan menggunakan

materi yang sudah dikenal penyimak, member waktu yang cukup untuk mengenali tanda-tanda

atau isyarat pada saat memeperdengarkan tuturan dengan cara memperlambat, mempertinggi

nada dan intonasi, dan menghentikan poin –poin penting, serta mengulang tuturan. Menerka atau

memperkirakan isi tuturan atau pesan yang disimak membantu penyimak untuk membentuk

schemata atau latar belakang konteks wacana yang disimak. Menyimak merupakan transfer

pembelajaran visual kepada pembelajaran audiolingual. Pembelajaran audiolingual akan lebih

sulit dipahami daripada pembelajaran visual karena itu pengajar harus membantu penyimak

dengan penyajian media yang diperlukan untuk memvisualisasikan materi tutuan yang

diperdengarkan. Gaya yang dipakai penutur sangat menentukan keberhasilan penyimak. Gaya

yang menarik dan diselingi humar akan dapat membantu penyimak lebih termotivasi dan tidak

lekas jenuh dengan tugas menyimak.

Rubin, dan Mendelsons (1995:113) menyebutkan bahwa ada tiga aspek yang harus

dipahami oleh pengajar menyimak, yaitu: (1) hakikat bahasa lisan, (2) proses kognitif bahasa

lisan, dan (3) cara-cara membantu pebelajar menjadi penyimak yang baik. Hakikat bahasa lisan

adalah bahasa yang disampaikan melalui media suara. Suatu kata yang disampaikan dengan

intonasi dan kecepatan yang berbeda akan membawa pemahaman yang berbeda bagi penyimak.

Bahasa lisan akan menyulitkan penyimak untuk mengulang apa yang disimak sehingga harus

(20)

satu unsure yang membedakan antara bahasa lisan dan tulis. Suara bias dikurangi, ditambah,

dikeraskan, atau dihilangkan tekanannya. Bahasa tulis diungkapkan dalam bentuk kalimat

sedang bahasa lisan diungkapkan dalam bentuk frasa atau klausa yang disebut unit-unit ide.

Chafe (dalam Rubin dan Mendelson, 1995:113) memaparkan 6 hal yang membedakan

wacana lisan dan wacana tulis yaitu (1) bahasa lisan mempunyai unit ide yang lebih pendek di

banding dengan bahasa tulis. Bahasa lisan berkisar antara tujuh kata sedang bahasa tulis berkisar

antara sebelas kata; (2) unit-unit ide dari bahasa lisan digabung melalui makna konjungsi seperti

dan atau tetapi, sedang bahasa tulis lebih banyak menekankan penggunaan pelekat seperti anak

kalimat, klausa penghubung, atau jumlah kalimat kompleks; (3) bahasa lisan bersifat spontan

karena bahasa lisan disusun pada saat penutur berbicara; (4)

Mengenai proses kognitif bahasa lisan sebagaimana dijelaskan oleh Buck (dalam Rubin

dan Mendelson, 1995:117) adalah bahwa ada tiga aspek pengetahuan penting yang harus

dikuasai penyimak yaitu (1) pengetahuan linguistik yang meliputi aspek fonologi, sistem suara,

kosakata, sintaksis, morfologi, wacana, penanda kohesi dan lain-lain; (2) latar pengetahuan yang

dimiliki penyimak terkait dengan konten tuturan, dan (3) konteks bahasa itu digunakan.

Adapun cara membantu menjadi penyimak yang baik adalah melalui (1) penciptaan

kondisi yang optimal untuk proses pembelajaran, misalnya menggunakan teks yang kesulitannya

sesuai dengan tingkat kemampuan penyimak dan penggunaan materi yang menarik, san (2)

mengarahkan perhatian siswa pada hal-hal yang penting misalnya pada prosesperubahan

(21)
(22)

Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, yang menghasilkan kesimpulan bahwa kemampuan awal mahasiswa dalam memahami aspek fonem dalam kategori kurang, aspek kata dalam kategori cukup, sedang aspek kalimat dalam kategori baik. (4) Nurhidayati (2006) dengan judul Pembelajaran Menyimak Apresiatif Cerita Pendek dengan Strategi Belajar Kooperatif , yang menghasilkan kesimpulan bahwa strategi belajar kooperatif sangat efektif digunakan dalam pembelajaran menyimak baik pada saat pramenyimak, menyimak, maupun pasca menyimak. Adapun nilai rata-rata yang diperoleh mahasiswa pada siklus I adalah: 91,6 (sangat baik), sedang nilai rata-rata yang diperoleh pada siklus II adalah: 93 (sangat baik).

Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: CV Sinar Baru Algesindo

Aminuddin. 1997. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya sastra. Semarang: CV IKIP Semarang Press.

Aminuddin. 2000. Metasemiotik sebagai Dasar Signifikasi Teks Sastra. Dalam Rahayu S. hidayat (Ed) Semiotik . Jakarta: Universitas Indonesia Jakarta.

Anderson & Lynch. 1988. Listening. Editor: Candlin & Widdowson. New York: Ocford University Press.

Ashin, A. 1981. Pengajaran Menyimak: Memimlih dan Mengembangkan Tujuan Pengajaran. Jakarta: P2LPTK.

Bogdan & Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn aand Bacon Inc.

Burns, P.C., Betty, d. D. dan Elinor, P. R. 1996. Teaching reading in Todays elementary school. New York: Boston Toronto.

Cahyono, B.Y. 1992/1993. Aplikasi Teori Skemata Struktur Teks dan Metakognitif pada

Pengajaran Membaca Bahasa Inggris. Malang: Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas.

Cahyono, B.Y. 1997. Pengajaran Bahasa Inggris: Teknik, Strategi, dan Hasil Penelitian. Malang: Penerbit IKIP Malang.

(23)

Coelho, Elizabeth. 1992. Jigsaw: Integrating Language and Content. Dalam: Carolyn Kessler (Ed). Cooperative Language Learning: A. Teacher’s Resourche Book. Engelwood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Regents.

Farris, J.P. 1993. Language Arts Approach. Australia: Brwon & Benchmark Publishers.

Gani, R. 1988. Pengantar Sastra Indonesia:Respon dan Analisis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ghazali, Abd. Syukur. 2002. Strategi Belajar Kooperatif dalam Belajar Mengajar. Dalam: Sumber Belajar : Kajian Teori dan Aplikasi. Nomor 1 Tahun 8.

Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hanim, 1997. Pembelajaran Bahasa Inggris pada Mahasiswa MIN Malang I: analisis

Berdasarkan Pendekatan Cooperatif Learning. Tesis tidak diterbitkan. Malang : Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.

Ibrahim, Rachmadiarti, Nur, dan Ismano. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa: University Press.

Fakultas Sastra .2003. Katalog Jurusan Sastra Arab.Malang: Fakultasa Sastra Universitas Negeri Malang.

Farris, J. P. 1993. Language Arts Approach.Australia:Brown & Benchmark Publishers.

Kemmis, S. dan MC. Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. Victoria: Deaken University Press.

Kusumobroto, R.I. 1995. Kemampuan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Jurusan Pendidikan Bahasa Arab FPBS IKIP Malang yang Telah Menempuh Matakuliah Istima’ II dalam Menyimak Berita Berbahasa Arab di Radio. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: IKIP Malang.

Luxemburg, Janvan, Bal M., weststeiju, Willem, G. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

May, F. B. 1990. Reading as Communication: an Interactive Approach. Colombus: Merril Publishing Company.

MC Niff, J. 1992. Action Research: Principles and Practise. London: Macmillan Education Ltd.

(24)

Moleong, Lj. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rodakarya.

Nicholas, L. N. 1988. English Teaching. Dalam: Forum. Volume XXVI No. 1.

Nurhadi, Yasin, dan Senduk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Nurhidayati, 2003. Jenis dan Sebab Kesulitan yang Dihadapi Mahasiswa dalam Menyimak Teks Bahasa Arab. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Nurhidayati, 2004. Kemampuan Menyimak Mahasiswa Baru Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Laporan Penelitian. Malang:Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang.

Nurhidayati (2006) Pembelajaran Menyimak Apresiatif Cerita Pendek dengan Strategi Belajar Kooperatif Laporan Penelitian. Malang:Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang.

Nur, Mohamad & Wikandari Prima Retno. 2000. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan

Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah Universitas Negeri Suarabaya.

Purwa, B. K. 1997. Pokok-Pokok Pengajaran Bahasa dan Kurikulum 1994 Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Richards, J. 1988. Designing Instructional Materials for Teaching Listening Comprehention. Singapore: Seameo.

Rivers & Temperley. 1978. Apractical Guide to the Teaching of English as Second or Foreign Language. New York: Oxford University Press.

Rozaq, A. 2002. Pengefektifan Pembelajaran appresiasi Cerita Pendek dengan Pendekatan Interaksi Dinamis Siswa Kelas II SLTPN I Tumpang Kabupaten Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.

Tarigan, H.G. 1985. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tresnadewi, S. 1994. Developping Listening Skill in EFL Classroom. Dalam: Guidelines. Volume: 16. No. 1.

Saryono, Dj. 1997. Dasar-Dasar Apresiasi Sastra. Malang:IKIP Malang.

(25)

Stone, J. M. 1990. Cooperative Learning and language Arts. Riverside Calivornia: resources for Teachers, San Juan capistrano.

Sugihastuti & Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogjakarta: Pustaka Pelajar Ofset.

Sujiman, P. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sulistiyono. 2003. Peningkatan Keterampilan Menulis Narasi Melalui Strategi Belajar

Kooperatif Siswa Kelas III Sekolah Dasar Negeri Nyabakan Timur I Kecamatan Batang-Batang Kabupaten Sumenep. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.

Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Syafi’ie, I. 1999. Diagnosis Kesulitan Belajar Bahasa. Dalam Bahasa dan Seni. Februari No:I

Syafi’ie, I. 1999. Pengajaran Membaca di Kelas-Kelas Awal Sekolah Dasar. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Pengajaran Bahasa Indonesia pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Disampaikan pada sidang senat terbuka Senat Universitas Negeri Malang, 7 Desember.

Tompkins, G.E. & Hoskissons K. 1991. Language Arts: Content and Teaching Strategies. New York: Macmillan Publishing Company.

Wellek, Rene, dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Willis, J. 1981. Teaching English Trough English. London: Longman.

Yagang, F. 1993. Listening: Problems and Solutions. Dalam: English Teaching Forum. Volume:31. No. 1.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak seperti sistem operasi lain yang hanya menyediakan satu atau 2 shell, sistem operasi dari keluarga unix misalnya linux sampai saat ini dilengkapi oleh banyak shell

Sistem pertahanan kita dari jalur respons imun alamiah, juga dibekali dengan reseptor#reseptor "ang mampu mengenal “keasingan” seperti reseptor mannosa mengenali mannosa

yang berkaitan dengan unsur ketrampilan khusus (kemampuan kerja) dan penguasaan pengetahuan, sedangkan yang mencakup sikap dan keterampilan umum dapat mengacu pada

Dari penjelasan tampilan dalam beberapa scene tersebut, pengiklan ingin menunjukkan bahwa Naga yang keluar dari cairan putih itu adalah sebagai bentuk kekuatan dan

Dalam penelitian yang dilakukan ini mengacu pada signaling theory , dimana meningkatnya ukuran perusahaan maka akan diikuti pula dengan peningkatan struktur modalnya karena

Variabel adversity quotient, lingkungan keluarga, dan minat berwirausaha diukur dengan skala Likert, yaitu skala dipergunakan untuk mengetahui setuju atau tidak

Dengan demikian penggunaan pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bendungan Hilir 01 Pagi Jakarta Pusat..