• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pekerja adalah Universal Manusia dan Sub (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pekerja adalah Universal Manusia dan Sub (1)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pekerja adalah Universal

Manusia dan Subjek dalam Mutasi Kapitalisme1

Hizkia Yosie Polimpung2

TULISAN ini adalah suatu refleksi awal mengenai posisi, peran dan juga prospek manusia dalam Kapitalisme. Istilah ‘manusia’ di sini hendak diberi penekanan, sehingga dalam mengujarkannya diharapkan pembaca memberikan kehati-hatian khusus. Pasalnya, dalam tulisan ini, manusia hendak ditandaskan sebagai ‘subjek’, bahkan subjek universal. Di sinilah kemudian muncul beberapa problem, seperti antropomorfisme dan antroposentrisme. Memahami problem-problem ini dan – jika mungkin – memecahkannya, sekiranya dapat menjadi modalitas penting untuk memahami di mana dan bagaimana posisi subjek di dalam sejarah panjang mutasi Kapitalisme. Pembahasan akan difokuskan pada pemikiran Karl Marx, khususnya di Economic and Philosophical Manuscript,3 dan resonansinya dalam pemikiran dari tradisi ‘marxis-pekerjais’ (marxist-workerist/operaist).4 Melalui pemikiran pekerjais ini, argumen universalitas manusia-subjek akan diekstrapolasikan ke argumen universalitas pekerja-manusia-subjek di dalam kapitalisme. Pemahaman ini pada gilirannya akan memberikan pandangan baru mengenai potensialitas pekerja-subjek dalam mengupayakan perlawanan di dalam dan terhadap kapital.

Tulisan ini terbagi ke dalam tiga bagian. Di bagian pertama, penulis membangun argumen spekulatif mengenai manusia sebagai subjek universal. Sekalipun menandaskan universalitas manusia, argumen yang dibangun mampu untuk keluar dari manusia-sentrisme yang dalam tulisan ini disebut narsisisme spesies manusia, sehingga pada gilirannya mampu menyandangkan predikat nir-manusia pada argumen ini. Di bagian ini pula penulis mengusulkan tiga tesis universalitas manusia sebagai suatu subjek. Ketiga tesis inilah yang pada bagian kedua akan diekstrapolasikan untuk pekerja di dalam kapitalisme. Apabila pada bagian sebelumnya klaim yang dibangun adalah “manusia adalah universal,” maka pada bagian kedua ini klaimnya adalah “pekerja adalah universal.” Bagian ketiga adalah upaya untuk menurunkan ketiga tesis spekulatif, yang karenanya aksiomatik, ‘pekerja adalah universal’ ke ranah teoritik yang akan lebih berguna untuk kerja-kerja di ranah empiris dan praksis. Untuk upaya ini, penulis menggunakan pemikiran Mario Tronti, sebagai salah satu perintis tradisi pekerjais. Namun demikian, karena keterbatasan tempat, pembahasan hanya akan dibatasi pada derivasi tesis pertama saja. Dua tesis universalitas pekerja lainnya akan menjadi porsi pembahasan di kesempatan lainnya.

1 Penulis berter ima kasih untuk komentar dar i par a pengulas anonim. 2 Peneliti di Koperasi Riset Pur usha (hypolimpung@pur usha.id).

3 Kar l Mar x, “Economic and Philosophical Manuscripts (1844),” dlm. Ear ly Wr it ings, ter j. R. Livingstone & G. Benton

(London: Penguin, 1992), 279-400.

4 Tradisi mar xis-peker jais akan dibahas dibagian ketiga tulisan ini.

(2)

2

Subjek atau Manusia?

Apakah subjek adalah selalu manusia? Ataukah manusia adalah satu-satunya subjek? Apakah, misalnya, binatang tidak bisa menjadi subjek? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa diperpanjang daftarnya. Namun demikian, yang menjadi problematik terletak pada apa yang kita pahami tentang kedua istilah tersebut: subjek dan manusia. Terlebih dari itu, problematisasi ini dibayang-bayangi oleh hal-hal yang lebih subtil: yaitu antroposentrisme, antropomorfisme dan humanisme.5 Ketiganya merupakan bentuk dari apa yang penulis sebut ‘narsisisme spesies’ kita

sebagai manusia yang memaksakan atribut ke-manusia-an kita ke segala sesuatunya, dari alam, benda-benda, ide, bahkan sampai Tuhan. (Misalnya. ‘kaki kursi’—memangnya kursi itu manusia, punya kaki? ‘mata Tuhan’—memangnya Tuhan itu manusia, punya mata? ‘Ibu alam bersedih’, ‘memengaruhi sentimen pasar’, ‘negara sahabat’, dan deretan frasa antropomorfis ganjil lainnya yang karena saking sering dipakai, telinga kita menjadi terbiasa). Seakan-akan, manusia adalah suatu standar universal tentang segala sesuatu di dunia ini dipandang, dipahami dan dimaknai. Namun demikian, mengikuti Marx, kita akan berspekulasi mengenai beberapa ironi, yaitu bahwa: 1) hanya yang universal saja yang bisa menjadi subjek, 2) manusia bisa menjadi subjek karena manusia bisa menjadi universal, dan 3) bahwa universalitas manusia-subjek bukanlah manifestasi narsisisme spesies kita sebagai manusia. Bagaimana bisa?

Marx, dalam Economic and Philosophical Manuscript, mengatakan bahwa manusia adalah universal, yang “lebih universal dari hewan”6. Alasannya adalah karena “ia memandang dirinya sendiri sebagai suatu universal, dan karenanya makhluk yang bebas” (ibid.). Terkait universalitas manusia, Marx menulis (saya kutip agak panjang):

Persis seperti tumbuhan, hewan, bebatuan, udara, cahaya, dsb., secara teoritis membentuk sebagian kesadaran manusia, [...] apakah itu dalam bentuk makanan, pemanas, pakaian, tempat berlindung, dsb. [...] Universalitas manusia menjelma dalam praktik dalam artian universalitas itu menjadikan keseluruhan alam tubuh inorganik sang manusia, (1) sebagai sarana hidup sehari-hari

5 Secara umum, antr oposentrisme adalah pandangan yang melihat bahwa manusia sebagai pusat segala sesuatu;

antr opomorfisme melihat segala sesuatu dalam terma, ker angka, dan ar tian manusia dan kemanusiaan; dan humanisme adalah kerangka nilai, nor ma, etis, moral, dan ter lebih lagi maknaw i dalam standar kemanusiaan yang diuniver salisasi secara sepihak (oleh manusia, qua spesies, itu sendiri). Ter kait humanisme, yang dimaksud di sini mencakup selur uh ver si yang per nah ada di sepanjang sejarah manusia, dan bahkan selur uhnya yang mampu dibayangkan manusia. Sehingga, misalnya, bagi pembaca yang familiar dengan per debatan law as antara “humanisme univer sal” dan “humanisme ker akyatan,” maka humanisme yang dimaksud di sini juga mencakup keduanya—ter lepas per bedaan tr ivial di antara keduanya. Per lu ditekankan di sini, yang menjadi penekanan di sini adalah pada r ujukan ‘human’-nya, dan bukan pada bagasi idiologis yang dikandungnya. Malahan, penekanan ini juga pada gilirannya menunjukkan betapa r etor ika ‘humanisme ker akyatan’ sebenar nya juga ber tumpu pada univer salitas spesies manusia sebagai r ujukan “humanisme”-nya.

(3)

3

dan (2) sebagai bahan, objek dan perkakas bagi aktivitas kehidupannya. Alam adalah tubuh

inorganik manusia, yaitu alam sejauh ia bukan tubuh manusia. Manusia hidup dari alam, yi. alam adalah tubuhnya dan ia harus menjalin dialog terus-menerus dengan alam jika ia tidak ingin mati. Mengatakan bahwa kehidupan fisik dan mental manusia itu terhubung dengan alam, maksudnya adalah bahwa alam terhubung dengan dirinya sendiri, karena manusia adalah bagian dari alam.7

Nampak jelas dalam kutipan ini bagaiman universalitas manusia terletak pada keterserapan seluruh dunia oleh dan dalam manusia itu sendiri. Alam, dalam skema keterserapan ini, tak lebih dari sekedar perpanjangan tubuh manusia, hanya saja ia inorganik. Namun apabila diperhatikan dua kalimat terakhir tentang bagaimana manusia, karena kehidupan fisik dan mental/kesadarannya bergantung dari alam fisik di sekitarnya, harus senantiasa “berdialog” dengan alam jika ia ingin tetap hidup, Marx mengesankannya bukan sebagai hubungan pertukaran antara dua entitas terpisah. Melainkan sebagai suatu kesatuan!

Mengatakan manusia adalah satu kesatuan dengan alam tidak lantas membuat kita harus bergabung dan bersepakat dengan logika dan retorika “kembali ke alam” sebagaimana yang marak direproduksi para neo-hippies, sebagian besar aktivis gerakan lingkungan, dan perusahaan-perusahaan seperti Body Shop dan Starbucks.8 Sama sekali tidak. Bahkan, membawa

pandangan Marx ini lebih jauh, kita bisa mendapatkan suatu dilema yang sepenuhnya ganjil. Pasalnya, mengatakan bahwa manusia adalah bagian dari alam, dan bahwa alam adalah “tubuh inorganik” manusia bisa berarti dua hal: apakah manusia juga adalah alam itu sendiri, ataukah alam adalah sebentuk kemanusiaan tersendiri.9 Ke manapun pilihan dijatuhkan, tidaklah menjadi soal di sini. Poin terpentingnya adalah pada sifat universalitas manusia yang dicirikan sebagai suatu kemenyatuan organik dengan alam.

Di bagian lain, Marx kembali menyatakan universalitas manusia, kali ini vis-à-vis hewan. Apabila dengan alam universalitas manusia tercirikan dengan sifat kemenyatuan, maka dengan hewan universalitas manusia mengemuka dalam kaitannya dengan produksi.

7 "Just as plants, animals, stones, air , light, etc., theoretically form a par t of human consciousness, [...] whether in the

form of nourishment, heating, clothing, shelter, etc. […] The univer sality of man manifests itself in practice in that univer sality w hich makes the w hole of natur e his inor ganic body, (1) as a direct means of life and (2) as the matter , the object and the tool of his life activity. Natur e is man's inor ganic body, that is to say natur e in so far as it is not the human body. Man lives fr om natur e, i.e. natur e is his body, and he must maintain a continuing dialogue w ith it if he is not to die. To say that man's physical and mental life is linked to nature simply means that nature is linked to it self, for man is a par t of nature." Ibid., 327-8, ter jemahan bebas penulis.

8 Pembahasan lebih lanjut, lih. Timothy Morton, Ecology wit hout Nat ur e: Ret hinking Envir onment al Aest het ics

(Cambridge: Har var d Univer sity Press, 2007), 124.

(4)

4

Benar bahwa hewan juga berproduksi. Mereka membangun sarang dan tempat tinggal, seperti lebah, berang-berang, semut, dsb. Namun mereka hanya memproduksi kebutuhan sehari-harinya sendiri atau anak-anaknya; mereke memproduksi secara sepihak (one-sidedly), sementara

manusia memproduksi secara universal; mereka memproduksi hanya saat kebutuhan fisik langsung memaksa mereka untuk memproduksi, sementara manusia memproduksi bahkan saat ia terbebas dari kebutuhan fisik dan benar-benar memproduksi dalam kebebasannya dari kebutuhan tersebut; mereka memproduksi hanya diri mereka sendiri, sementara manusia mereproduksi keseluruhan alam; hasil produksi mereka adalah kepunyaan langsung tubuh-tubuh fisik mereka, sementara manusia dapat dengan bebas berhadap-hadapan dengan produknya. Hewan memproduksi hanya dengan berpatokan pada standar dan kebutuhan spesiesnya sendiri, sementara manusia mampu memproduksi dengan berpatokan pada standar semua spesies dan mampu dalam setiap menerapkan standarnya masing-masing; karenanya manusia juga memproduksi berdasarkan hukum keindahan.10

Adalah kebebasan dalam memproduksi yang ingin ditekankan Marx sebagai biang universalitas manusia di hadapan hewan. Manusia bisa memproduksi bahkan saat ia sebetulnya tidak harus memproduksi; manusia bisa memproduksi dan memperlakukan hasil produksinya sewenang-wenang; bahkan ia bisa memproduksi seturut taraf dan takaran yang dimiliki oleh spesies lain. Adalah unsur estetis dalam produksi yang menjadikan manusia universal dibandingkan hewan. Estetika di sini tidak sesempit gagasan keindahan (dan kejelekan), melainkan lebih ke sifat-sifat yang nir-standar dan sewenang-wenang. Estetika berbicara mengenai potensi kemungkinan untuk menjadi dan menjadikan apa dan bagaimana, dengan ataupun tanpa mengacu pada marka-marka normatif. Estetika produksi, dengan demikian, memungkinkan suatu aktivitas produktif untuk memproduksi suatu produk yang memiliki nilai kegunaan yang di luar standar kegunaan yang baku, atau malah sama sekali tidak memiliki nilai kegunaan.

Namun apabila kita mengesampingkan sementara definisi dari istilah produksi, maka muncul satu kejanggalan mengenai posisi manusia vis-à-vis hewan. Apapun pemaknaan kita mengenai ‘produksi’, tetap saja unsur pembeda manusia dan hewan adalah pada sifatnya dalam memproduksi—dan bukan lainnya (ciri fisiknya, ciri mentalnya, dst.). Maka, jika manusia adalah universal karena kebebasan estetisnya (yi. ragam potensi kemungkinannya) dibandingkan hewan, maka bisa disimpulkan bahwa hewan menjadi partikular karena absennya kebebasan estetis.

10 "It is tr ue that animals also pr oduce. They build nests and dwellings, like the bee, the beaver, the ant, etc. But they

(5)

5

Implikasinya pun tak kalah janggal dari kasus hubungan manusia-alam di atas; yaitu bahwa kita harus menerima kenyataan bahwa apakah manusia adalah hewan universal, atau bahwa hewan adalah kemanusiaan partikular.

Penulis sendiri mengalami dilema dalam memilih kedua set pilihan. Dilema ini muncul dari antroposentrisme yang tidak terelakkan diidap penulis sebagai suatu makhluk yang menyebut diri ‘manusia’ dan melihat segala sesuatunya dalam kerangka manusia dan kemanusiaan. Inilah problem epistemologis (yi. bagaimana memikirkan sesuatu) dan metodologis (yi. bagaimana cara membuktikan pemikiran tersebut) saat seorang manusia hendak menggapai yang “di luar manusia”: ia telah selalu terkerangkeng antroposentrisme, antropomorfisme dan humanisme. Sebagai manusia, saya—dan juga Anda yang mampu membaca tulisan ini (berarti Anda juga manusia)—telah membawa problem bawaan yang sangat akut, yaitu narsisisme spesies. Lalu, bagaimana keluar dari perangkap ini?

Tulisan ini menawarkan jalan yang spekulatif dan yang nir-manusia. Beberapa syarat dan ketentuan tentunya berlaku. Pertama-tama, kita, manusia, harus menerima kenyataan bahwa kita telah-selalu terkerangkeng dalam narsisisme spesies dan ketiga avatarnya—antroposentrisme, antropomorfisme dan humanisme. Namun demikian, ketimbang diacuhkan begitu saja, keterkerangkengan ini justru harus menjadi titik berangkat dalam upaya kita untuk merangsek keluar dari kerangkeng tersebut. Kedua, karena kita praktis secara epistemologis dan metodologis tidak berkesempatan untuk benar-benar tahu apa itu yang di luar manusia, maka penting untuk menjadi selalu terbuka terhadap segala kemungkinan. Ketertutupan justru akan menggagalkan upaya ini. Dengan demikian predikat ‘spekulatif’ adalah yang paling cocok untuk mengafirmasi penuh keterbukaan ini. Pasalnya, pemikiran spekulatif tidak berangkat dari suatu koordinat kemungkinan yang ada, melainkan sebaliknya menandaskan suatu klaim yang tidak berterima dari perspektif dunia kemungkinan yang berlaku, lalu bergegas membangun argumentasi rasional tentangnya. Ketiga, kita harus cukup rendah hati untuk menerima kenyataan bahwa justru ke-manusia-an kitalah yang selalu menjadi halangan untuk keluar dari kerangkeng narsisisme spesies dan avatar-avatarnya. Karenanya, ketimbang mengabaikannya bulat-bulat dan secara psikotik bertindak seolah-olah ke-manusia-an kita tidak berpengaruh apa-apa pada klaim-klaim yang kita daku objektif, maka menjadi perlu untuk mulai membatalkan (to undo, to render inoperative) kemanusiaan kita tersebut. Pasca-pembatalan ini biarlah manusia menjadi sekedar nama untuk suatu “makhluk apa saja” (whatever being, dlm istilah, Agamben).11

(6)

6

Dengan berbekal ketiga prinsip yang digariskan barusan—yaitu berangkat dari keterkerangkengan narisisme spesies manusia, terbuka dengan segala kemungkinan, dan membatalkan manusia—penulis berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menyiangi narsisisme spesies, dan dengan demikian meratifikasi tesis ‘manusia adalah universal’ dalam pemikiran Marx, adalah dengan mengafirmasi satu prinsip ontologis yang melandasi ketiga prinsip sebelumnya, dan yang sebenarnya juga diimplikasikan Marx. Prinsip ontologis tersebut adalah kekosongan: mengatakan ‘manusia adalah universal’ berarti juga menyatakan bahwa manusia adalah suatu kekosongan. Kekosongan di sini bukan sesederhana berarti bahwa manusia adalah suatu kehampaan tanpa makna. Yang lebih tepat adalah bahwa manusia adalah suatu ketakbermaknaan yang memungkinkannya secara tak terhingga dimaknai secara silih berganti. Alhasil dengan melihat kekosongan ini sebagai suatu universalitas, maka seluruh esensi maknawi manusia menjadi terbatalkan dengan sendirinya, dan akhirnya menjadi terkosongkan. Alih-alih suatu kondisi yang statis, kekosongan justru adalah suatu kondisi yang menyimpan potensialitas tak terbatas. Marx menangkap dua sisi dalam satu koin kekosongan ini dalam kaitannya dengan pekerja: di satu sisi ia adalah suatu “kemiskinan absolut” (absolute poverty)—namun kemiskinan di sini bukan sebagai suatu kekurangan, melainkan “sebagai eksklusi total kekayaan objektif”, namun di sisi lain pekerja adalah suatu “kemungkinan umum akan kekayaan” (general possibility [allgemeine Möglichkeit] of wealth) yang memungkinkannya menciptakan nilai dan kekayaan apa saja, dan hal ini “secara timbal-balik terdeterminasi dan berseturutan dengan esensi kerja”.12 Alhasil, karena ia adalah universal, maka ‘manusia’ bisa secara hilir-mudik “diisi” oleh alam, oleh hewan, oleh apa saja!

Perlu ditekankan di sini bahwa afirmasi kekosongan yang dimaksud sama sekali bukan suatu tindakan pengosongan. Afirmasi ini lebih merujuk pada semacam sikap menginsafi ketakbermaknaan dengan menerima kenyataan ontologis bahwa manusia adalah suatu kekosongan esensi atau makna. Ketakbermaknaan ini adalah fondasi universal bagi gagasan apapun yang hilir mudik menempati terma ‘manusia’ berikut rujukannya itu. Esensi bisa silih berganti sepanjang zaman, namun kenyataan ia mungkin untuk selalu berganti adalah testimoni dari kekosongan esensi manusia. Apabila menggelayut terma Heideggerian, maka manusia dengan ketakbermaknaannya adalah suatu ontik yang memungkinkan segala macam kemanusiaan, sebagai logos, bergantian mengisinya, dan menjadikannya memiliki makna yang terbatas—ontologi.

Untuk sampai pada klaim ganjil barusan, kita harus terlebih dahulu mengubah fakta keterkerangkengan kita dalam manusia dan kemanusiaan menjadi suatu universalitas. Oleh karena itu, usulan spekulatif penulis adalah menetapkan sebagai aksioma klaim ini: ‘Manusia

12 Kar l Mar x, Gr undr isse: Foundat ions of t he cr it ique of polit ical economy (Rough Dr aft ). (Harmondsw or th, Eng.,

(7)

7

adalah universal’—namun, tetap dengan syarat dan ketentuan di atas. Manusia adalah suatu nama untuk posisi pandang tertentu yang sifatnya universal yang tidak pandang bulu, spesies, apalagi suku, agama, ras dan golongan. Artinya, dengan kata lain, seekor kutu bisa saja menjadi manusia! Tentu saja, dalam perbincangan sehari-hari, “manusia” tetaplah manusia. Adalah absurd untuk mengatakan bahwa kutu adalah juga manusia. Namun demikian, lini argumen yang ditawarkan penulis di sini pada dasarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa menjadi manusia—yaitu terdefinisikan oleh suatu terma yang silih berganti berubah sepanjang zaman dan tak seorangpun yang menyadari keganjilan ini sehingga melihatnya sebagi sesuatu yang normal dan yang aneh untuk dipertanyakan—adalah suatu pengalaman universal!

Untuk memahami klaim janggal barusan, kita hanya perlu memikirkannya sejenak: apakah kutu dalam melihat sesama kutu adalah sama seperti manusia dalam melihat sesamanya manusia? Ya!—setidaknya menurut beberapa penelitian di seputar tema rekognisi intra-spesies.13 Maka,

dengan aksioma ‘manusia adalah universal’, tentu sah apabila dikatakan bahwa kutu melihat kutu sebagai manusia, persis seperti manusia melihat manusia sebagai manusia! Lalu apakah kutu dalam melihat manusia adalah sama seperti manusia saat melihat kutu? Menjawab ini, kita mesti mundur sejenak ke pertanyaan sebelumnya. Tetap berpegang pada aksioma ‘manusia adalah universal’ dan karenanya ‘manusia’ adalah jangkar universal, maka kita harus berani dan rendah hati untuk mengatakan kenyataan menggelikan ini: persis seperti manusia melihat kutu yaitu sebagai nir-manusia, demikian pula kutu melihat manusia sebagai nir-manusia. Sekali lagi: manusia adalah universal.

Sampai di sini, sedikit klarifikasi nampaknya diperlukan untuk mengantisipasi penyimpulan-penyimpulan bahwa argumen barusan adalah sebentuk mistisisme atau vitalisme naif; seolah-olah, dengan klaim-klaim di atas, penulis mengidealkan suatu vitalitas tertentu yang membuat hal-hal nir-manusia menjadi tidak sepasif dan selembam yang selama ini banyak dipersepsikan. Perlu ditekankan, bahwa tulisan ini adalah mengenai paradigma dan cara pandang, khususnya bagaimana menempatkan atau menginagurasi sesuatu sebagai subjek. Sehingga, dalam analisis, adalah memungkinkan untuk berbicara mengenai subjek secara objektif—ketimbang narsisistik-spesies—sekalipun subjek tersebut adalah kutu! Cara objektif tersebut tidak lain adalah dengan melihatnya sebagai semata-mata entitas perspektival (perspectival being) yang tanpa makna dan, karenanya memungkinkan dirinya untuk hilir mudik diisi oleh apapun.

Menariknya, seruan ‘manusia adalah universal’ secara paradoksal justru malah membatalkan dimensi narsisisme spesies yang seolah menyelubungi klaim ‘manusia adalah universal’. Klaim ‘manusia adalah universal’ yang semula terdengar arogan di hadapan

13 Lih. misalnya, Dominique Autier-Dérian, Ber trand L. Deputte, Karine Chalvet-Monfr ay, Mar jorie Coulon, dan Luc

(8)

8

spesies lainnya, seketika berbalik menjadi suatu klaim yang amat progresif. Progresivitas tidak diraih dengan sekedar upaya hipokrit untuk “mengemansipasi” spesies nir-manusia untuk menjadi setara dengan manusia; jauh dari itu, klaim ini justru membuat ketidaksetaraan itu—jika memang ada—menjadi batal secara logis dan kehilangan topangan kemungkinannya.14 Bahkan terlebih dari itu, pada akhirnya ia justru membatalkan kemanusiaan itu sendiri, dan “mendemokratisasikan” kualitas universal kemanusiaan itu bagi seluruh spesies. Kesetaraan spesies dengan demikian adalah sesuatu yang pra-ontologis, yang aksiomatik, yang mendahului tidak hanya seluruh ratapan mengenai ketidaksetaraan dan dominasi manusia akan alam, melainkan juga bahkan keterpahaman (intelligibility) keduanya sama sekali. Dengan mengadopsi posisi universal, esensi manusia justru “menghilang.” Di altar universalitas, kemanusiaan manusia adalah sesuatu yang harus dikorbankan agar ia dianugerahi predikat universal.

Klaim penulis, jalur spekulatif dan nir-manusia ini adalah satu-satunya cara bagaimana manusia sah menjadi subjek!—yaitu saat manusia justru dikosongkan dari esensi/substansi narsisistik spesiesnya. Sampai di sini kita sebenarnya bisa melihat hakikat universalitas: yaitu sebagai suatu perspektif, sebagai suatu sudut pandang. Namun demikian, ia bukan sembarang sudut pandang; universalitas adalah suatu posisi perspektif yang akan menetralisir esensi dan makna (si)apapun yang menempatinya. Tidak terkecuali manusia. Pemahaman mengenai universalitas—dan manusia adalah universal—ini juga mampu membatalkan dan mende-aktivasi potensi-potensi destruktif dan eksploitatif manusia terhadap “alam”—apapun yang kita pikirkan dengan istilah ini. Pasalnya dari sudut pandang ini, manusia tidaklah begitu spesial. Manusia (sebagai homo sapiens), menjadi manusia (sebagai subjek) karena dan hanya karena perspektif semata. Perspektif kemanusiaan universal menempatkannya sebagai subjek. Namun demikian, menggunakan perspektif serupa, seekor kutu busuk pun bisa menjadi subjek! Dengan demikian, adalah “sudut pandang yang menciptakan subjek; apapun yang diaktifkan atau dijadikan agensi oleh sudut pandang akan menjadi subjek”.15

14 Hipokrisi ini bisa dibilang sebagai war isan pemikiran filsafat antr opologi (philosophical anthr opology) à la Jerman

yang menganut ‘rendah diri antr opologis’ (ant hr opological modest y) dengan menganggap alam dan binatang adalah “lebih” dar i manusia: lebih hidup, lebih inspirasional, lebih tangguh, dst. Dalam hipokrisi ini, alam dan binatang ter eduksi menjadi idealisasi simbolik yang “dipeker jakan” dalam ragam metafor, filosofi, teor isasi, puisi, dan liter asi manusia sembari penubuhan fisiknya dikonsumsi dengan lahap oleh sang manusia. Lih. Paolo Vir no, When t he w or d becomes flesh: Language and human nat ur e, ter j. Giuseppina Mecchia. (Semiotext(e), 2015).

15 Eduar do Viveir os de Castr o, Cosmological Per spect ivism in Amazonia and Elsew her e, Hau Masterclass Series, 2012.

(9)

9

Daya cipta sudut pandang akan subjek menunjukkan betapa ia semata-mata entitas perspektival. Setiap esensi (narasi, idiologi, pemaknaan), terlepas dari perbedaan substansialnya, selalu mensyaratkan posisi subjek. Itulah mengapa, subjek, ketimbang dideterminasi oleh substansi pemaknaan idiologisnya, terlebih dahulu ia ditentukan oleh posisi perspektival itu per se. Apapun kerangka teorisasi mengenai subjek, tetap saja teorisasi tersebut terlebih dahulu harus membayangkan suatu posisi yang akan dijadikannya subjek. Pada akhirnya tetap saja kerangka tersebut menjadi suatu perspektif. Sehingga apapun perspektifnya, tetap saja adalah perspektif qua perspektif yang melahirkan subjek. Tentu saja pandangan ini tidak hendak menganulir perbedaan dalam substansi setiap perspektif tersebut. Namun mesti diterima dahulu bahwa bahkan semata-mata kemungkinan untuk mengerangkakan atau menteorikan suatu ‘subjek’ harus bergantung pada sifat ontologis dari ‘subjek’ yang adalah entitas perspektival (perspectival being).

Meringkas hasil diskusi sejauh ini, kita sudah mendapati beberapa hal mengenai universalitas manusia dalam pemikiran Marx:

1) Bahwa manusia dan alam fisiknya adalah satu kesatuan tak terpisahkan;

2) Bahwa universalitas manusia ditunjukan melalui sifat estetis dalam produksinya yang memberikannya suatu potensi kemungkinan tak terbatas akan apapun yang hendak diproduksi;

3) Bahwa manusia menjadi subjek hanya apabila diterima aksioma spekulatif nir-manusia ‘Manusia adalah universal’, yaitu bahwa universalitas manusia, sebagai suatu sudut pandang yang menciptakan subjeknya sendiri—apapun itu, bahkan tidak harus manusia—justru mensyaratkan pembatalan manusia dan esensi kemanusiaannya itu sendiri.

Di sini, menurut penulis, kita sudah cukup diperlengkapi untuk melihat kiprah manusia (homo sapiens) sebagai subjek dalam sejarah panjang mutasi Kapitalisme. Di bagian berikutnya kita akan “mengisi” manusia—sebagai sudut pandang subjek yang universal—dengan ‘pekerja’. Pekerja, dengan demikian, akan dinisbatkan predikat universal. Tentu saja, sama seperti tiga tesis universalitas manusia yang baru saja dirumuskan, kita perlu merumuskan tiga tesis yang sebangun untuk meratifikasi tesis spekulatif nir-manusia: “pekerja adalah universal.”

Jatuh-Bangun Kapitalisme

(10)

10

pekerja inilah yang menjadi sumber keuntungan yang dihisap dan dipakai kapitalis untuk mengakumulasikan dirinya. Tapi juga adalah pekerja ini yang menjadi agen penggerak sejarah dalam mengakhiri kapitalisme melalui revolusi proletariat.16 Hanya saja, “manusia membuat

sejaranya sendiri, namun mereka tidak membuatnya dengan sesuka hati; mereka tidak membuatnya dalam keadaan-keadaan yang dipilihnya sendiri, namun dalam keadaan-keadaan yang secara langsung dijumpai, diberikan dan dioperkan dari masa lalu”.17 Artinya, ada kondisi-kondisi spesifik (biologis, geologis, fisis, sosial, ekonomis, teknis, dst.) yang membatasi pilihan pikiran dan tindakan revolusioner pekerja. Namun di sinilah nampak paradoksnya, bagaimana memahami pekerja sebagai hasil bentukan dan objek eksploitasi yang ditundukkan kapitalisme, tapi di sisi lain, dari ketertundukkan tersebut diyakini mereka bisa bangkit dan melakukan revolusi?

Pandangan umumnya adalah perspektif ‘kesadaran kelas’ yang meyakini bahwa saat para pekerja menyadari ketertundukannya dan ketereksploitasiannya di dalam kapitalisme, maka mereka akan melawan. Lalu siapa yang menyadarkan mereka? Harus ada subjek-subjek, intelektual organik, yang menjadi garda depan (vanguard) dalam menyadarkan dan mengorganisasikan para pekerja (ke dalam serikat, lalu partai, sampai jadi negara). Demikianlah perspektif kesadaran kelas. Masalahnya, ini mensyaratkan semacam narsisisme tersendiri: bagaimana para intelektual organik ini bisa pertama-tama mengklaim bahwa adalah dirinya yang sadar dan rekan-rekan pekerjanya yang lain tidak tanpa terjebak pada keyakinan subjektif cum narsisistiknya sendiri? Beberapa akan mengklaim bahwa kesadaran tersebut diukur dari kepemilikannya atas pengetahuan objektif (sehingga bukan subjektif)—sosialisme ilmiah, materialisme historis, materialisme dialektis, dst.18 Di sini muncul problem berikutnya.

16 Pr oletar iat merupakan salah satu kelas dalam kapitalisme, untuk dibedakan dari kelas Bor juasi. Kelas adalah

pengelompokkan obyekt if or ang-or ang ber dasar kan : 1) akses dan otonominya dalam ber pr oduksi, dan 2) kepentingan politiknya ter hadap str uktur sosial yang memungkinkan peng-kelas-an ter sebut. Kelas Bor juasi adalah yang memiliki akses ter hadap sar ana produksi dan bisa (relatif) sesuka hati ber pr oduksi, dan ber kepentingan untuk menjaga st at us quo sistem sosial, ber ikut institusi-institusi dan norma di dalamnya. Sebaliknya, kelas Pr oletar tidak memiliki akses ke sarana pr oduksi dan (dikondisikan untuk) harus bergantung pada kepemilikan sarana pr oduksi par a Bor juis, sehingga kepentingannya tak lain adalah mengubah sistem melalui revolusi dan pengambilalihan sar ana pr oduksi untuk kemudian diatur , dimanfaatkan dan didistr ibusikan secara demokratis. Kar ena objektif, maka suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar , r ela atau tidak r ela, diakui atau tidak, pengkelasan ini tetap ber laku.

17"[ M] en make t heir ow n hist or y, but t hey do not make it just as t hey please; t hey do not make it under cir cumst ances chosen by t hemselves, but under cir cumst ances dir ect ly encount er ed, given and t r ansmit t ed fr om t he past ." Kar l Mar x, The Eight eent h Br umair e of Louis Bonapar t e (Moscow : Pr ogress Publisher s, 1934), 10.

(11)

11

Suatu pengetahuan objektif mensyaratkan suatu subjek tertentu untuk memahami objek yang berada “di luar sana.” Masalahnya subjek-subjek ini adalah manusia! Maka problem epistemologis dan metodologis dari narsisisme spesies akan selalu menghantui klaim-klaim objektif dari pengetahuan para subjek-subjek yang mendaku memiliki kesadaran revolusioner ini. Itulah mengapa, penulis membaca kalimat Marx “tradisi dari keseluruhan generasi yang sudah mati menghantui bak mimpi buruk di otak mereka yang hidup”19 berikut secara agak berbeda. Adalah arwah subjek-subjek radikal di masa lampau yang binasa dalam perjuangannya untuk keluar dari kerangkeng narsisisme spesies yang selalu menghantui subjek-subjek radikal yang hidup hari ini.20 Adalah keberanian dan militansi yang diperlukan untuk bisa merangsek

keluar dari kerangkeng narsisisme spesies, soalnya justru di dalam kerangkeng tersebut subjek mendapat kenyamanan dan ketenangan eksistensial dan identitasnya. Bagaimana tidak, untuk keluar dari kerangkeng, subjek harus membatalkan seluruh kenyamanan eksistensialnya untuk kemudian menjadi “makhluk apa saja” (whatever being)! Karena, jika gagal, maka revolusi yang diasupi oleh klaim pengetahuan objektif tersebut yang menjadi dipertaruhkan. Kita tahu, di dunia non-fiksi, mereka-mereka yang kalah dalam revolusi akan disingkirkan, dibinasakan. Sementara revolusi yang berhasil, bukan hanya akan memenangkan perjuangan, melainkan akan menebus arwah-arwah yang dibinasakan dalam kekalahan-kekalahan revolusi di masa lampau. Inilah taruhannya.

Membuat klaim objektif adalah mungkin apabila kita mengambil perspektif universalitas. Universalitas memungkinkan suatu klaim menjadi objektif tepat saat ia memperluas cakupan klaim itu untuk menjadi dapat tergeneralisasi ke seluruh corak partikularitas subjektif. Maka, untuk supaya sains/pengetahuan revolusioner bisa objektif, ia harus menjadi universal. Untuk menjadi universal, artinya pekerja harus mampu mengakomodasi, bahkan apa yang berbeda secara radikal darinya, yaitu yang nir-pekerja; persis seperti manusia dalam memaktubkan semua yang benar-benar liyan darinya, yaitu yang nir-manusia—alam, hewan, dan, sebagaimana contoh saya, kutu—di dalam ke-manusia-an itu sendiri. Dan tentunya, harga yang harus dibayarkan adalah terbatalkan dan memudarnya (withering away) esensi pekerja itu sendiri secara otomatis. Terdengar mustahil, memang. Namun demikian, diskusi di bagian pertama tulisan ini cukup menjanjikan kita suatu petunjuk untuk secara rendah hati dan berani mengambil peran dalam pertaruhan revolusioner menuju klaim objektif yang universal ini. Dengan memperhatikan syarat dan ketentuan pemikiran spekulatif nir-manusia di atas, maka:

19 Mar x, Eight eent h Br umair e, 10.

20 Kata ‘hidup’ ini akan sangat erat kaitannya dengan ‘ker ja hidup’ (living labor ) yang dimiliki peker ja, yang selalu

(12)

12

1) Perlu disusun suatu pengetahuan mengenai kemenyatuan pekerja dengan tidak hanya alam fisiknya, melainkan dengan Kapital itu sendiri. Yaitu bahwa Kapital adalah, meminjam frasa Marx, “tubuh inorganik” dari pekerja.

2) Perlu ditunjukkan mengenai kemungkinan bagaimana sang pekerja tersebut memiliki potensi kemungkinan tak terbatas untuk berproduksi selain yang ia lakukan (sampai) saat ini.

3) Perlu disusun suatu strategi bagi pekerja untuk mendeaktivasikan seluruh pekerja-annya di dalam kapitalisme (yi. bekerja memenuhi target) dan untuk membatalkan ke-pekerja-annya tersebut dengan mengisi esensi ke-pekerja-an tersebut dengan apapun (yang ditentukan secara strategis dan taktis dalam rangka revolusi) tanpa meninggalkan nama “pekerja” itu sendiri. Sehingga menjadi terpikirkan suatu revolusi proletariat yang mengakhiri suatu sistem yang justru membuat makna saklek “pekerja” menjadi mungkin, normal, dan sama sekali tampak tak terelakkan hari ini, yaitu kapitalisme.

Alhasil, aplikasi pemikiran dengan paradigma spekulatif nir-manusia ini mencoba untuk mengklaim bahwa “pekerja adalah subjek” dalam kapitalisme, dan bahwa karena ia adalah subjek, maka “pekerja adalah universal.” Sentralitas pekerja inilah yang mencirikan salah satu varian tradisi pemikiran dalam Marxisme, yaitu pekerjaisme (workerisme, operaismo). Sejarah panjang evolusi dan perkembangan pemikiran pekerjaisme tidaklah menjadi kompetensi tulisan kali ini. Yang perlu untuk dilakukan di sini adalah mendiskusikan tiga tesis universalitas manusia yang terdapat di dalam pemikiran tiga pemikir dari tradisi ini—Mario Tronti, Antonio Negri, dan Giorgio Agamben.21 Dalam pandangan penulis, ketiga tesis tersebut adalah yang menjadi topik sentral pembahasan ketiga pemikir ini secara berurutan: Tronti berbicara mengenai kemenyatuan ko-konstitutif antara pekerja dan kapital; Negri menekankan aspek kreatif dari kerja hidup (living labor); dan Agamben mengkaji potensi kekuatan destituen subjek dalam melawan seluruh proses subjektivikasi sistemik. Mengevaluasi masing-masing pemikiran dari ketiganya tentu adalah hal yang penting dan menarik, namun demikian hal tersebut dibiarkan menjadi subjek pembahasan di kesempatan lainnya. Demikian pula, sebagaimana yang sudah disampaikan, hanya pemikiran Tronti yang dibahas pada kesempatan kali ini.

21 Sekalipun tidak tergolong seorang peker jais, ker ja-ker ja Agamben banyak ber singgungan dengan

(13)

13

Mario Tronti dan Kemenyatuan Pekerja-Kapital

Bagaimana membayangkan kemenyatuan pekerja dengan kapital? Bagaimana, dengan kata lain, memahami bahwa oposisi antara pekerja vs kapital sebenarnya secara ontologis adalah oposisi semu. Hal ini tentu rawan memantik reaksi spontan yang tidak bersahabat. Namun yang hendak ditekankan di sini sebenarnya adalah bagaimana menunjukkan bahwa Kapital tidak akan ada tanpa pekerja dan/atau bahwa pekerja adalah sang Kapital sejati. Tepat di sinilah pemikiran yang penulis ajukan di sini memiliki ciri ‘dialektis’, pertama-tama karena menolak melihat dua entitas oposisional terpisah secara ontologis, untuk kemudian menyusun pengetahuan yang lebih utuh mengenai kemenyatuan keduanya. Seperti penyimpulan Lenin dalam “Conspectus of Hegel’s Science of Logic,” terhadap dialektika Hegel, “singkatnya, dialektika dapat didefinisikan sebagai doktrin mengenai kesatuan dari oposisi-oposisi”.22 Sekalipun sudah implisit dalam karya-karya Marx, namun adalah Tronti yang mengeksplisitkan kemenyatuan itu.

Sebelum masuk ke penjelasan mengenai kemenyatuan pekerja dan kapital, kiranya perlu terlebih dahulu disituasikan pemikiran umum Tronti, sebagai salah satu pelopor awal tradisi pekerjais. Secara umum, Tronti mengintrodusir patahan dalam cara kita melihat sejarah perkembangan kapitalisme. Bahkan, perubahan cara pandang tersebut tidak sungkan-sungkan disebutnya sebagai suatu “Revolusi Kopernikan”.23 Apa pasal? Umumnya, cara pandang kita terhadap

perkembangan kapitalisme—baik doktrin, manajemen dan teknologinya—adalah seiring dengan cara-cara baru dalam mengekspropriasi profit. Cara pandang ini, yang menurut Tronti, sangat liberal, anehnya juga dianut oleh para marxis dan revolusioner (setidaknya di Italia pada zamannya, 1960-an). Terlepas dari perdebatan dan topangan-topangan datanya, cara pandang ini sudah berangkat dari asumsi yang sepenuhnya borjuis dan kapitalis. Pasalnya, yang menjadi subjek sentral di sini adalah kapital itu sendiri, sementara pekerja tak lebih dari sekedar kecoak-kecoak dalam senarai evolusi linier kapital.

Bagi Tronti sebaliknya, dan sejalan dengan tesis yang diajukan di sini: adalah pekerja yang menjadi subjek dalam seluruh aspek evolusi kapitalisme. Baginya, sejarah perkembangan kapitalisme, yaitu sejarah kapital itu sendiri, adalah "suatu sejarah percobaan bertubi-tubi dari kelas kapitalis untuk mengemansipasi dirinya dari kelas pekerja, dengan medium berupa berbagai bentuk dominasi politik kapital atas kelas pekerja”.24 Sebagai konsekuensi aksiomatisasi universalitas pekerja, Tronti mengajukan hipotesis bahwa kapitalisme tidak akan

22 Vladimir Lenin, Collect ed Wor ks (London : Law rence & Wishar t, 1961),v. 38 : 223.

23 Mario Tr onti, « Intr oduction La ligne de conduite » Mult it udes, 1977, http:/ / w w w .multitudes.net/ Intr oduction-La-ligne-de-conduite/.

(14)

14

berkembang seandainya tidak ada resistensi dari para pekerja yang diperburuh olehnya. Kapital, pada dasarnya, adalah suatu kelembaman, suatu inertia, suatu pasifitas nir-kreatif; adalah pekerja yang hidup, yang kreatif, yang aktif. “Hidupnya” kapitalisme—terlihat di permukaan dari perkembangan teknologinya—didapatnya justru dari perlawanan pekerja. Kapital harus memutar otak sedemikian rupa untuk menemukan cara-cara baru dalam meredam, menaklukkan, mengalihkan, mendistraksi, dst., perlawanan-perlawanan pekerja, mulai yang mikro-harian sampai yang terorganisir secara makro.25

Ketimbang melihat gerakan buruh sebagai suatu tindakan yang selalu reaksioner terhadap seluruh kebijakan-kebijakan perusahaan, Tronti menawarkan persis sebaliknya: justru adalah “perjuangan kelas pekerja yang memaksa kapitalis untuk mengubah bentuk dominasinya. Yang artinya, bahwa tekanan pekerja mampu mendesak kapital untuk memodifikasi komposisi internalnya dan mampu mengintervensi ke dalam kapital sebagai komponen esensial dalam perkembangan kapitalisme, yaitu bahwa ia mendesaknya, tepat dari dalam produksi kapitalis.”26

Hipotesis Tronti ini adalah hipotesis yang revolusioner, bukan hanya karena ia digunakan secara kongkrit sebagai basis epistemik untuk mengorganisir pergerakan buruh dan mahasiswa (saat itu di Italia), terlebih dari itu karena hipotesis ini sudah subversif terhadap kapital bahkan sejak dari aksioma. Dalam kosmologi Trontian, adalah kapital yang selalu reaksioner, dan bahwa kreativitas dan progresivitas adalah asing bagi kapital. Itulah kenapa perkembangan kapital tidak pernah linier. Ia berkembang bukan karena ia ingin, atau semata karena ia bisa berkembang; sebaliknya kapital berkembang karena ia harus berkembang karena jika tidak, ia akan habis diinjak-injak oleh perlawanan pekerja. Itulah mengapa adalah kurang tepat untuk mengatakan bahwa kapital itu berkembang. Evolusi terobosan dan inovasi kapitalisme lebih cocok dilihat sebagai suatu mutasi ketimbang suatu perkembangan (development) apalagi progresi (progress).

Hal lainnya yang menarik dari pandangan Tronti ini adalah bagaimana ia secara dialektis menunjukkan sisi lain yang diimplikasikan oleh Marx saat membahas kondisi kerja para buruh. Kondisi kerja ini tak lain adalah kapital berikut permesinan dan pabrik yang dimungkinkannya. "Setiap jenis produksi kapitalis, sejauh ia tidak hanya merupakan suatu proses kerja melainkan juga proses valorisasi kapital, sama-sama memiliki ini, namun bukanlah pekerja yang

25 "[L]es lois économiques du mouvement de la société capitaliste, il nous faut de nouveau entièrement les découvr ir

comme des lois politiques du mouvement de la classe ouvr ière, les plier sous la for ce subjective de l’organisation pour qu’elles ser vent br utalement les besoins r évolutionnaires objectifs de l’antagonisme et de la lutte." Mario Tr onti, “Le mot d’or dre la valeur-travail,” Mult it udes, http:/ / w w w .multitudes.net/ Le-mot-d-or dr e-la-valeur-travail/

26 "La lutte de classe ouvr ièr e a contr aint le capitaliste à changer la forme de sa domination. Ce qui veut dire que la

(15)

15

mempekerjakan kondisi-kondisi kerjanya, melainkan sebaliknya, kondisi-kondisi kerjalah yang mempekerjakan sang pekerja".27 Dalam relasi kerja kapitalis, kondisi kerja bukan diciptakan oleh pekerja, dan ini, setelah Marx, tentunya sudah banyak dipahami. Namun yang bisa jadi masih jarang disadari adalah konsekuensi kenyataan ini apabila dilihat dari perspektif Trontian yang menekankan sentralitas (bahkan universalitas) pekerja dalam hukum permutasi kapitalisme. Karena mutasi kapitalisme dikondisikan oleh pekerja, atau lebih tepatnya perlawanan pekerja, maka sebenarnya kapital itu sendiri adalah tunduk pada perlawanan pekerja. Benar bahwa pekerja, baik eksistensi dan kerjanya, dikondisikan oleh kapital; namun perlu selalu diingat, adalah pekerja yang mengondisikan kapital. Oleh karena itu,

“Jika kondisi-kondisi kapital berada di tangan para pekerja, jika tidak ada aktivitas kehidupan dalam kapital tanpa aktivitas hidup dari tenaga kerja (labour power), jika kapital sudah selalu, sejak lahirnya, merupakan konsekuensi dari kerja produktif, jika tidak ada masyarakat kapitalis tanpa artikulasi para pekerja, dengan kata lain jika tidak ada relasi sosial tanpa relas kelas, dan tidak ada relasi kelas tanpa kelas pekerja [...] maka dapat disimpulkan bahwa kelas kapitalis, bahkan sejak kelahirannya, adalah tunduk pada kelas pekerja.”28

Dialektika antara perlawanan pekerja dan mutasi kapital memuncak dalam teorisasi Tronti mengenai relasi kerja. Relasi kerja kapitalis, yaitu relasi dominasi dan eksploitasi kapital atas pekerja, sebenarnya hanyalah permukaan saja; karena yang lebih ditutupi oleh permukaan itu adalah sebuah rahasia memalukan bahwa ia sebenarnya akal-akalan kapital untuk selalu lari dari kodratnya sebagai yang “tersubordinasi oleh kelas pekerja.”

Dengan teorisasi ini, Tronti mengafirmasi Marx bahwa manusia-pekerja hanya akan menjadi manusia-buruh saat ia dimediasi oleh momen pertukaran kapitalis. Seketika itu pula pekerja kehilangan otonomi akan tenaga kerjanya, akan produk kerjanya, akan kondisi (alat dan tempat) kerjanya, akan sesamanya pekerja dan bahkan akan dirinya sendiri. Dalam Manuscript, Marx menjelaskan ini dalam terma pengasingan (estrangement) dan alienasi. Keterasingan ini, dengan demikian, dari perspektif pekerjais Tronti, adalah saat otonomi pekerja dirampas oleh kapital,

27“Ever y kind of capit alist pr oduct ion, in so far as it is not only a labour pr ocess but also capit al's pr ocess of valor izat ion, has t his in common, but it is not t he w or ker w ho employs t he condit ions of his w or k, but r at her t he r ever se, t he condit ions of w or k employ t he w or ker .” Kar l Mar x, Capit al : A Cr it ique of Polit ical Economy (London, New Yor k N.Y.: Penguin Books in association with New Left Review , 1976),vol. 1 : 548.

(16)

16

dan menjadikannya buruh—pekerja yang tidak otonom. Transisi dari pekerja ke buruh hanya dimungkinkan oleh kapital, atau dalam bahasa Tronti sendiri, "seorang pekerja tidak dapat menjadi buruh selain dalam relasinya dengan kapitalis. Seorang kapitalis tidak dapat menjadi kapital selain dalam relasinya dengan pekerja," dan bahkan “karena kenyataan bahwa pekerja industrial terorganisir ke dalam sebuah kelaslah yang memprovokasi para kapitalis secara umum untuk membentuk diri mereka sebagai sebuah kelas.”29 Dengan kata lain, seorang anak manusia yang bekerja untuk hanya akan menjadi buruh dalam sistem kapitalis. Tanpa relasi kapitalis, manusia pekerja adalah otonom. Pada titik ini kita melihat dialektika ko-konstitusi antara pekerja dan kapital dalam kapitalisme; inilah titik awal dari mana fakta kemenyatuan pekerja dan kapital yang saling beroposisi sebenarnya hanyalah sementara, dan bahwa perjuangan pekerja sesungguhnya adalah lebih dari sekedar menghancurkan kapitalisme, melainkan mengklaim lagi kapital yang tidak lain adalah tubuh inorganiknya.

Industri sebagai paradigma ko-konstitusi pekerja dan kapital

Menjelaskan dialektika ko-konsitutif antara pekerja dan kapital ini, Tronti menggunakan industri sebagai figurnya. Menurut Tronti, industri harus dilihat sebagai gambaran makro dari upaya kapitalis untuk mengorganisasikan buruh, yaitu mengorganisasikan prosedur, mekanisme, dan teknologi dalam mengendalikan dan menghisap nilai lebih dari pekerja. Atau, dalam bahasa yang lebih dramatis, “"Kerja pabrikan meletihkan sistem saraf sepenuhnya; di saat yang bersamaam, ia menyingkirkan banyak kemungkinan permainan otot, dan menyita setiap atom kebebasa, baik dalam aktivitas badaniah dan intelektual.”30 Amat jelas di sini Tronti mengembangkan teorisasi Marx mengenai pabrik sebagai didesain sedemikian rupa untuk mengekstraksi kekuatan produktif dari kerja-hidup para buruh. Itulah mengapa Tronti melihat kelas kapitalis sebenarnya sama sekali bukanlah kelas wirausahawan (entrepreneur), melainkan kelas organisator, lebih tepatnya, organisator pekerja dan rupa-rupa teknik mengeksploitasinya lewat industri sebagai mediumnya.31

Alhasil, di tangan Tronti, sejarah industri sebenarnya adalah sejarah mutasi sistem dan teknik kapitalis dalam mengorganisasikan kerja-kerja produktif dari buruh. Tidak hanya itu, dengan tetap berpegang pada sentralitas pekerja, sejarah industri ini sejatinya adalah “a working class history of capital".32 Pasalnya, sejarah industri (mis. periodisasi revolusi industri berdasar rezim

29"The w or ker cannot be labour ot her t han in r elat ion t o t he capit alist. The capit alist cannot be capit al ot her t han in r elat ion t o t he w or ker . [..] it is t he fact of indust r ial w or ker s being or ganised int o a class t hat pr ovokes t he capitalists in gener al t o const it ut e t hemselves as a class."Ibid., 29, 31.

30"Fact or y w or k exhaust s the ner vous syst em t o t he ut t er most; at t he same t ime, it does aw ay w it h t he many-sided play of t he muscles, and confiscat es ever y at om of fr eedom, bot h in bodily and in int ellect ual act ivit y.” Mar x, Capit al, vol. 1, 548.

(17)

17

teknologi, sedari mekanika clockwork Newtonian, ke termodinamika, elektromagnetika, sibernetika, network, dan sekarang, algoritma)33 merupakan momen-momen spesifik di mana pekerja bereaksi antagonis terhadap kapital, dan terhadapnya, segala daya upaya dilakukan untuk meredam dan menetralisir antagonisme tersebut. Seluruh perkembangan teknologi, doktrin, pola manajemen, SOP, standar, sistem, protokol, bahkan arsitektur bangunan pabrik/kantor, adalah mendapat inspirasinya dari kreativitas dan perlawanan kelas pekerja yang digunakan balik untuk menstruktur (yi. menaklukan, mengontrol, mengarahkan) kreativitas dan perlawanan kelas pekerja ke arah yang menguntungkan akumulasi kapital itu sendiri. Dengan kata lain, misalnya, manajemen kerja monoton ala Fordis/Tayloris, manajemen kerja paksa romusha, dan manajemen kerja-bermain (playful works) ala Google, semuanya sama, yaitu respon terhadap resistensi pekerja untuk diperburuh, untuk direnggut otonominya.34

Inilah mengapa penting untuk ditekankan, sekali lagi dan tak jemu-jemunya, bahwa adalah Kapital yang reaksioner. Yaitu reaksioner terhadap perlawanan-perlawanan, baik yang harian maupun yang masif, dari kelas pekerja. Itulah mengapa penting untuk melihat evolusi kapitalisme bukan dalam artian ‘perubahan’, melainkan ‘mutasi’. Kapitalisme sebenarnya adalah konservatif, anti-perubahan, anti-kemajuan.35 Namun demikian, ia harus bermutasi, ia harus merevolusionerkan mesin-mesin dan aparatusnya untuk senantiasa menjawab perlawanan pekerja. Di sinilah sekiranya perspektif pekerjais mampu menunjukkan kemenyatuan pekerja dengan kapital. Tanpa perlawanan pekerja, tidak akan ada yang namanya inovasi-inovasi, revolusi teknologi, terobosan ilmu pengetahuan, dst., dalam evolusi kapitalisme. Malahan, tanpa pekerja, sama sekali tidak dimungkinkan kapitalisme itu sendiri.

Mengakselerasi Tronti

Dengan ko-konstitusi ini, sebenarnya kita bisa melihat semakin terang mengenai kemenyatuan pekerja dan kapital, yaitu mengenai bagaimana kapital adalah tubuh inorganik dari pekerja.

33 Lihat Antoine J. Bousquet, The scient ific w ay of w ar far e: Or der and chaos on t he bat t lefields of moder nit y. Cr itical War

Studies Ser ies (New York: Columbia Univer sity Pr ess, 2009).

34 Hal ini juga ber implikasi pada ker ja-ker ja intelektual or ganik dan penelitian, yaitu bahwa revolusi industri har us

menjadi titik berangkat par a peneliti jika mereka ingin memahami detil teknis penundukkan dan eksploitasi peker ja oleh kapital. (Tronti, “Str ategy of Refusal,” 29). Sekedar infor masi, peker jaisme memiliki tradisi riset yang khusus ter kait ini, yang disebutnya ko-riset (co-r esear ch, conr icer ca). Lebih jauh, lihat Fabrizio Fasulo, “Ranier o Panzieri and w orker s’ inquir y: The per spective of living labour , the function of science and the relationship between class and capital.” Ephemer a: Theor y & Polit ics in Or ganizat ion 14, no. 3 (2014): 315–33.

35 Penggunaan predikat ‘reaksioner ’ tidak hanya mengacu pada suatu reaksi spontan, melainkan ia adalah suatu

(18)

18

Namun demikian, melihat dari karya-karya Tronti, simpulan ini nampaknya belum sampai hati diambil olehnya. Atau, setidaknya, ia ambigu terkait persoalan ini. Kita bisa melihatnya dalam satu kutipan berikut terkait bagaimana seharusnya cara pandang pekerja dalam konteks antagonisme terhadap kapital.

“Dalam analisis, para pekerja perlu menyadari suatu tempat khusus di dalam kapital, khususnya suatu privilese yang dimiliki kapital seacara objektif dalam sistem. Tidak cukup bahwa: kelas pekerja harus menyingkap bahwa secara material bahwa ia adalah satu bagian dari kapital jika ia ingin beroposisi dengan kapital secara keseluruhan. Ia harus menyadari dirinya sebagai suatu bentuk partikular dari kapital jika ia ingin menjadi antagonis umum bagi kapital. Para pekerja berhadap-hadapan bukan hanya dengan mesin, sebagai kapital konstan, melainkan dengan tenaga-kerja (labour-power) itu sendiri, sebagai kapital variabel. Buruh harus melihat tenaga-kerja sebagai musuhnya, sejauh ia

adalah komoditas. Dengan dasar inilah kebutuhan kapitalisme untuk

mengobjektifikasikan ke dalam kapital seluruh potensi subjektif dari buruh, dapat menghasilkan bagi pekerja suatu kesadaran yang lebih lengkap akan eksploitasi kapitalis”.36

Dengan nada ambigu yang sama dengan Marx saat ia menyatakan universalitas manusia vis-à-vis alam dan hewan sebagaimana dibahas di bagian awal tulisan ini, Tronti seakan hendak mengatakan bahwa sentralitas pekerja berayun di antara dua kutub: apakah pekerja adalah salah satu bagian dari kapital, ataukah pekerja adalah satu bentuk dari kapital. Apabila pada yang pertama pekerja tidaklah terpisah dari kapital, maka pada yang kedua, bukan hanya ia adalah terpisah dari kapital, tapi juga bahwa pada hakikatnya pekerja itu otonom.Sama seperti di bagian sebelumnya, yang manapun jawabannya tidaklah menjadi soal. Poin terpentingnya adalah bahwa ko-konstitusi antara pekerja dan kapital adalah suatu kenyataan material yang tak terelakkan. Namun demikian, berbeda dari Marx, Tronti justru lebih kontradiktif—ketimbang sekedar ambigu. Apabila Marx (sebagaimana yang akan ditunjukkan setelah ini) cukup konsisten akan ambiguitas Trontian ini (yi. kemenyatuan pekerja-kapital), Tronti nampak mengabaikan

36 « L’ouvrier doit, au sein de sa pr opre analyse, faire une place de choix au capital, cette place de choix que le capital

(19)

19

ambiguitas ini sembari terus mengedepankan permusuhan antara pekerja dengan kapital, antara pekerja dengan ... dirinya sendiri.

Sama seperti spekulasi universalitas manusia yang penulis tunjukkan di bagian sebelumnya dengan mengakselerasi klaim Marx, pada bagian ini penulis hendak mendorong ambiguitas Tronti ini sampai pada titik ekstrim tanpa meninggalkan semangat yang dicanangkan Tronti di awal. Dengan akselerasi ambiguitas ini, hendak ditunjukkan bahwa pemikiran Tronti merupakan katalis utama untuk meniup kabut ambiguitas kemenyatuan pekerja-kapital. Tujuannya tidak lain adalah untuk menandaskan lebih tegas lagi, bukan hanya sekedar sentralitas, namun universalitas pekerja sebagai sang subjek di dalam kapitalisme. Untuk ini, menariknya, justru dengan berpaling kembali ke Marx kita bisa mengemban tujuan ini.

Dalam Marx, juga Tronti sebenarnya, kita bisa menemukan setidaknya dua momen yang mana kemenyatuan pekerja-kapital mengemuka secara jelas. Pertama adalah saat manusia-pekerja masuk (melalui akumulasi primitif, melalui proletarianisasi, dst.) ke dalam pertukaran kapitalis, yaitu saat ia menjadi buruh. Dengan menjadi buruh, manusia tidak lagi memproduksi sesuatu untuk dikonsumsinya sendiri, melainkan ia memroduksi barang komoditas untuk dipertukarkan di pasar. Manusia-buruh tidak hidup dari hasil produksinya sendiri, melainkan ia hidup dari upah yang dibayarkan pemilik modal untuk mengompensasi waktu (dan bukan hasil) kerja yang dihabiskannya untuk berproduksi. Dalam skema ini, bukan buruh tidak memiliki kapital sama sekali, melainkan satu-satunya kapital yang melekat pada dirinya sendiri (yaitu tenaga-kerja [labor-power] dan potensi kehidupannya [living-labor]) terpaksa diserahkannya kepada kapital.37 Proses penyerahan ini—yaitu proses produksi dan proses valorisasi—yang menjadikan pekerja suatu kapital.

37 Dalam tradisi pasca-peker jais, kapital yang melekat dalam diri manusia ini memiliki banyak nama. Ber angkat dar i

(20)

20

Demikianlah muasalnya bagaimana di dalam kapital ada unsur pekerja, di dalam pekerja ada semacam proto-kapital, dan bahwa di dalam proses produksi kita bisa melihat kemenyatuan antara keduanya. Marx, dalam Capital, vol 3 berbicara soal ini dengan hampir eksplisit. Yaitu saat ia berbicara mengenai nilai yang diciptakan oleh buruh.

“Bentuk spesifik ekonomi yang di dalamnya kerja surplus yang tidak terbayar diperas dari produsen langsungnya mendeterminasi relasi dominasi dan perhambaan, karena ia tumbuh secara langsung dari proses produksi itu sendiri dan bereaksi kembali terhadapnya sebagai determinan. Di atas inilah didasarkan seluruh susunan dari komunitas ekonomi yang bangkit dari relasi produksi aktual, dan karenanya juga adalah bentuk politik tersendiri.”38

Nilai, dalam kutipan Marx ini, muncul langsung dari proses produksi. Dengan kata lain, momen perjumpaan tubuh pekerja dengan alat produksinya (yaitu kapital) memisahkan pekerja dari kapital yang melekat pada dirinya dan bertransformasi menjadi nilai. Ini sejalan dengan yang disampaikan Marx di Capital, vol 1, yaitu bahwa "kami mengartikan tenaga-kerja (labour-power), atau kapasitas-kerja (labour-capacity), sebagai agregat keseluruhan kapabilitas mental dan fisikal dalam bentuk fisik, kepribadian yang hidup, dari anak manusia, kapabilitas yang menggerakkan kapanpun ia memproduksi nilai-guna dari apapun."39 Artinya, semakin banyak buruh memproduksi, maka semakin tersebar pula bagian-bagian dirinya di produk-produk ciptaannya, yang kini diapropriasi oleh kapital sebagai komoditas dan dipertukarkan di pasar. Sejalan dengan ini, semakin tersebar pula tubuh organik buruh. Apabila hari ini dimana-mana kita menjumpai komoditas, maka kita sedang hidup di dalam sengkarut tubuh-tubuh inorganik pekerja yang diasingkan dari sang empunya.

Momen kemenyatuan kedua, bahkan menjadi semakin eksplisit dari yang pertama, dan juga menjadi semakin ganjil, ada pada saat tibanya era otomasi dan permesinan.

Philosophy, ter j. D. Heller-Roazen (Stanfor d: Stanfor d Uni Press, 1999) ; Paolo Vir no, A Gr ammar of t he Mult it ude: For an Analysis of Cont empor ar y For ms of Life, ter j. I. Bertoletti, J. Cascaito & A. Casson(LA: Semiotext(e), 2004).

38"The specific economic for m in w hich unpaid sur plus labour is pumped out of t he dir ect pr oducer s det er mines t he r elat ionship of dominat ion and ser vit ude, as t his gr ow s dir ect ly out of pr oduct ion it self and r eact s back on it i n t ur n as a det er minant . On t his is based the ent ir e configur at ion of t he economic communit y ar ising fr om t he act ual r elat ions of pr oduct ion, and hence also it s specific polit ical for m." Mar x, Capital, vol. 3, 927.

(21)

21

"Dengan menggabungkan kerja hidup ke dalam objektivitas tak bernyawanya, para kapitalis secara bersamaan mentransformasi nilai, yi. kerja-kerja di masa lalu dalam bentuknya yang terobyektivikasi dan tak bernyawa, menjadi kapital, suatu nilai yang mampu melakukan proses valorisasinya sendiri, monster hidup yang mulai "bekerja", "seolah-olah tubuhnya kerasukan."40

Kapital adalah hasil pembekuan hasil-hasil terdahulu dari kerja buruh. Ia adalah monster jadi-jadian yang dimodelkan dari kehidupan pekerja. Sebagai mesin, kapital adalah kerja-hidup yang tanpa kehidupan. Ketimbang monster, akan lebih tepat menggunakan zombie atau mayat hidup sebagai metafor. Pasalnya, kapital-mesin ini tampaknya hidup, namun ia sebenarnya mati. Ia bergerak, namun geraknya sudah terbekukan dalam trajektori algoritmik yang baku; ia memproduksi, namun berdasarkan skenario yang diinstalasikan sebelumnya ketimbang atas dasar kreativitas dan hasil praksis pengetahuan. Terlebih dari itu, kerja-mati ini, yaitu tubuh inorganik pekerja sang empunya kerja-hidup, justru berbalik menundukkan penciptanya. Seperti kata Marx secara lebih dramatis, "dengan kedatangan permesinan, [..] akibat konversinya menjadi suatu otomaton, instrumen-instrumen kerja dihadapkan pada para pekerja selama proses kerja dalam bentuk kapital, kerja mati, yang mendominasi dan yang menghisap tenaga kerja."41

Di sini kita bisa melihat dengan jelas bagaimana kapital adalah kerja-hidup yang terobjektivikasi. Proses objektivikasi ini, kita sudah lihat, pada gilirannya menganulir dan membatalkan kehidupan dari kerja-hidup itu sendiri. Era permesinan adalah era yang mana proses objektivikasi ini menjadi semakin termasifikasi. Semakin banyak mesin dikerahkan, semakin banyak pekerja yang dipekerjakan untuk mengoperasikannya—yaitu menyerahkan kerja-hidupnya untuk diperas oleh mesin-mesin itu. Demikianlah massa pekerja menjelma di dalam sistem permesinan kapital. Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa mesin-mesin ini sebenarnya adalah ekstensi, ketimbang pengganti, fitur-fitur yang melekat dalam tubuh hidup pekerja. Pasalnya, inspirasi penciptaan mesin-mesin ini tidak lain adalah akumulasi pengetahuan dan keterampilan yang dibakukan, dan dimaterialisasikan ke dalam sistem otomasi, yaitu mesin. Misalnya, apalah blender jika bukan terinspirasi dari kerja potong dan iris tukang masak, atau komputer yang selalu mencoba memodelkan cara kerja otak manusia. Marx sudah menjelaskan ini sedari Grundrisse. “Akumulasi pengetahuan dan keterampilan dari kekuatan produktif umum dari otak sosial, karenanya diserap ke dalam kapital, sebagai lawan dari pekerja, dan kemudian

40"[ B] y incor por at ing livi ng labour int o t heir lifeless object ivit y, t he capit alist simult aneously t r ansfor ms value, i.e. past labour in it s object ified and lifeless for m, int o capit al, value w hich can per for m it s ow n valor ization pr ocess, an animat ed monst er w hich begins t o 'w or k', 'as if it s body w er e [ ..] possessed'." Ibid., 302.

(22)

22

tampak sebagai suatu atribut dari kapital, dan lebih terperinci lagi dari kapital tetap (fixed capital), sejauh ia masuk dalam proses produksi sebagai alat produksi sesungguhnya.”42

Marx bahkan semakin eksplisit di sini terkait kemenyatuan pekerja-kapital.

"Alam tidak membuat mesin, tidak juga lokomotif, rel kereta api, telegraf elektronik, mesin tenun, dsb. Ini semua adalah produk dari industri manusia ; bahan-bahan alamiah bertransformasi menjadi organ-organ bagi kehendak manusia atas alam, atau bagi keterlibatan manusia di alam. Semuanya adalah organ-organ bagi otak manusia, diciptakan oleh tangan manusia ; kekuatan pengetahuan yang terobyektivikasi."43

Kapital-mesin adalah organ perpanjangan dari otak manusia-pekerja, karena ia adalah pembekuan dan obyektivikasi dari pengetahuan-pengetahuan organik pekerja yang ditemukannya di kesehariannya. Proses-proses penemuan pengetahuan organik inilah yang diakumulasi, dikodifikasi, dimodel, dan diciptakan replikanya. Tidak hanya itu, dengan kecepatan tenaga kuda (horsepower) di era mekanika dan kini kecepatan internet yang secepat cahaya, meminjam ungkapan Bill Gates,44 replika hasil ciptaan ini bisa berribu-ribu kali lipat lebih efektif dari manusia. Seperti kata Marx, “adalah mesin yang mempunyai keterampilan dan kekuatan menggantikan sang pekerja, ialah sang virtuoso, dengan jiwanya sendiri di hukum-hukum mekanik yang bekerja melaluinya.”45 Bahkan, yang paling menjadi favorit kapitalis, mesin-mesin mayat hidup manusia ini, dibandingkan manusia hidup, sifatnya penurut, tidak mungkin bolos dan malas bekerja, dan yang pasti tidak akan berserikat dan menuntut ini itu dari manajemen.

Marx bahkan hampir secara eksplisit menyatakan bahwa sama seperti pandangannya tentang alam sebagai tubuh inorganik manusia, kapital adalah tubuh inorganik dari pekerja. Tidak hanya itu, bahkan Marx seakan hendak menyatakan bahwa pekerja hidup adalah organ sadar, sementara mesin adalah organ tak sadarnya.

42"The accumulat ion of know ledge and of skill, of t he gener al pr oduct ive for ces of t he social br ain, is t hus absorbed int o capit al, as opposed t o labour , and hence appear s as an at t r ibut e of capit al, and mor e specifically of fixed capit al, in so far as it ent er s int o t he pr oduct ion pr ocess as a means of pr oduct ion pr oper ." Mar x, Gr undr isse, 694.

43"Nat ur e builds no machines, no locomot i ves, r ailw ays, elect r ic t elegr aphs, self-act ing mules et c. These ar e pr oduct s of human indust r y; nat ur al mat er ial t r ansfor med int o or gans of t he human w ill over nat ur e, or of human par t icipat ion i n nat ur e. They ar e or gans of t he human br ain, cr eat ed by t he human hand; t he pow er of know ledge, object ified." Ibid.,706.

(23)

23

“Kerja nampak semata-mata sebagai organ yang sadar, tersebar di antara para individu pekerja yang hidup di titik-titik sistem mekanik; ditundukkan di bawah keseluruhan proses permesinan itu, sebagai sekedar penghubung di dalam sistem, yang keutuhannya ada bukan pada para pekerja yang hidup, melainkan pada permesinan yang hidup (aktif beroperasi), yang mengonfrontir kegiatan-kegiatan yang individual dan tidak signifikan para manusia pekerja sebagai organisme hebat.”46

Bahkan yang lebih menarik dari pasase ini adalah bahwa Marx melihat ‘pekerja’ sebagai suatu kesatuan pekerja; ia tidak merujuknya secara individu perorangan saja. Marx melihat persoalan kemenyatuan pekerja-kapital ini sebagai fitur struktural dari kapitalisme itu sendiri, dan dengan sendirinya berhasil keluar dari jebakan individualisasi pekerja oleh kapital.47

Bagaimanapun juga, tidak ada kata-kata Marx yang lebih terus terang dan eksplisit terkait kemenyatuan pekerja dan kapital selain ini.

"Pekerja adalah manifestasi subyektif dari fakta bahwa kapital adalah manusia yang benar-benar kehilangan dirinya sendiri, sama seperti kapital adalah manifestasi obyektif dari fakta bahwa buruh adalah manusia yang kehilangan dirinya sendiri. Namun pekerja memiliki kemalangan dengan menjadi sebuah kapital yang hidup (living capital), dan karenanya kapital dengan kebutuhan [..] Pekerja memproduksi kapital, dan kapital

46"Labour appear s, r at her , mer ely as a conscious or gan, scat t er ed among t he i ndividual living w or ker s at numer ous point s of t he mechanical syst em; subsumed under t he t ot al pr ocess of t he machiner y it self, as it self only a link of t he syst em, w hose unit y exist s not in t he living w orker s, but r at her in t he living (act ive) machiner y, w hich confr ont s his individual, insignificant doings as a might y or ganism." Ibid., 693.

47 Pr oses ini ter jadi saat kapital melihat dan menghar gai ker ja individu peker ja sebagai hasil individual per se.

(24)

24

memproduksi mereka, yang artinya adalah bahwa ia memproduksi dirinya sendiri; manusia sebagai seorang pekerja, sebagai sebuah komoditas, adalah produk dari keseluruhan siklus ini. [..] Pekerja ada sebagai seorang pekerja saat ia ada bagi dirinya sendiri sebagai kapital, dan ia ada sebagai kapital hanya saat kapital ada baginya. Eksistensi kapital adalah eksistensi pekerja, kehidupannya, karena ia mendeterminasi konten kehidupan sang pekerja dengan cara yang bahkan tak diketahuinya.”48

Di sini, hidup dan mati bukan hanya pekerja, tapi juga kapital, menjadi semakin kabur batasannya. Demikian pula siapa memproduksi apa menjadi ambigu. Persis seperti kebingungan ayam atau telur yang lebih dulu ada, pasase ini berpotensi membingungkan kita: pekerja atau kapital dulu? Malahan untuk semakin menegaskan ambiguitas ini, nampaknya lagi-lagi Marx mengonfrontir kita dengan dilema: apakah kapital adalah kerja-mati, ataukah pekerja adalah kapital hidup? Sama seperti sebelumnya, penulis tidak hendak menghentikan ambiguitas ini. Namun yang terlebih penting adalah menunjukkan betapa ambiguitas ini bersumber dari potensi universal pekerja sebagai subjek di dalam kapitalisme. Bagaimanapun juga, dan sebagaimana yang juga disadari Marx, tanpa perlu dijawab, dilema ini menunjukkan kenyataan tak terbantahkan mengenai kemenyatuan antara pekerja dan kapital.

***

Seluruh pembahasan sampai di sini harapannya cukup untuk menunjukkan betapa kemenyatuan pekerja-kapital secara non-metaforik sudah ada tidak hanya di Tronti, melainkan juga di Marx sendiri. Dengan kata lain, seluruh kutipan Tronti dan Marx di atas mulai dari hidup-mati dari kerja, mesin yang adalah zombie, penghisapan aspek kehidupan, mesin sebagai organ pekerja, dan permesinan sebagai perwujudan kolektif pekerja, semuanya bukanlah metafora. Di sinilah universalitas pekerja menjadi dipertaruhkan, selama kita melihat kemenyatuan pekerja-kapital hanyalah semata-mata metafor, maka selama itu pula perlawanan revolusioner di dalam dan terhadap kapital akan tetap menjadi fiksi belaka. Berani menyatakan bahwa pekerja adalah subjek universal di dalam kapitalisme, belajar dari Tronti dan Marx, berarti juga berani menyatakan bahwa kapitalisme adalah bagian dari pekerja.

Referensi

Dokumen terkait

Laporan keuangan konsolidasian PT Perkebunan Nusantara XIII dan entitas anaknya yang terdiri dari laporan posisi keuangan konsolidasian tanggal 31 Desember 2015, serta

- tidak adanya fasilitas blender obat dan pembungkus puyer -Terbatasnya SDM -karena keterbatasan tenaga Farmasi perlu adanya perekrutan tenaga farmasi baik CPNS maupun Non CPNS

kepemimpinan yang dikaitkan dengan peran teknologi dan informasi diharapkan dapat menciptakan pemimpin yang unggul kompetitif dalam globalisasi, pemimpin yang bertanggung

Gambar 3.8 Tampilan Kolom Point pada program Slope/w 59 Gambar 3.9 Tampilan kolom Soil Properties pada Program Slope/w 60 Gambar 3.10 Tampilan Kolom Key in Lines pada

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan di kota Medan melalui Medan sehat 2010 (Sehat Sejahtera, 2010). Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan

These days, the pace of change is so fast that it’s hard to learn what an innovation is , much less make a sensible decision about the right time to adopt it.. It’s not like you have

Tanaman ini merupakan tanaman paku epifit atau tanaman yang tumbuh dengan cara enumpang ke tumbuhan lainnya sebagai tempat hidupnya, Tinggi umumnya mencapai 40 - 90 cm,

Diet rendah serat atau asupan cairan yang tidak memadai dapat menyebabkan konstipasi, yang dapat berkontribusi untuk menjadi hemoroid dalam dua cara: Hal ini