• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Komparatif Hukum Acara dalam Perse

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi Komparatif Hukum Acara dalam Perse"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...1 DAFTAR ISI ...2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

1.2 Pokok permasalahan

1.3 Kasus

posisi...-BAB II PEMBAHASAN DAN ANALISA

2.1 Alasan memilih

topik...-2.2Dasar hukum dan analisis

yuridis...-2.3 Hubungan dengan materi

perkuliahan...-2.4 Perkembangan terbaru terkait

kasus...-BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...-3.2

(2)

...-BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industrial Peace atau situasi dimana buruh tenang dalam bekerja dan majikan tentram dalam berusaha adalah impian dari semua pekerja dan pengusaha. Akan tetapi dalam prakteknya disharmonisasi antara pekerja dan pengusaha dapat saja terjadi, hal ini biasanya dikarenakan oleh perselisihan tentang upah, pemutusan hubungan kerja, ketidak percayaan, egois, diskriminasi, perbedaan penafsiran, perubahan syarat-syarat pekerja, dan saling curiga. Hal tersebut tentunya dapat kita mengerti karena situasi buruh yang sangat menggantungkan hidup dia dan keluarganya dari penghasilan menjadi seorang buruh.

Pada dasarnya perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan buruh sebaiknya di selesaikan secara musyawarah sehingga mendapatkan kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Akan tetapi dalam prosesnyaterkadang mengalami suatu jalan buntu dan tidak menemukan solusi, sehingga dalam situasi ini diperlukan peranan Pemerintah untuk menyediakan prosedur dalam menyelesaikan masalah tersebut secara legal dan aktual.

Di positifkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial merupakan langkah tepat yang dilakukan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai salah satu upaya untuk melindungi Hak para buruh yang memang patut untuk diperjuangkan. Tujuan dibentuknya pengadilan hubungan industrial adalah sebagai suatu forum legal untuk memproses penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh pihak ketiga melalui pengadilan hubungan industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri.1 Adapun bentuk perselisihan yang dapat diajukan ke pengadilan hubungan industrial hanya meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja.2

1 Aloysius Uwiyono,et al., Asas-Asas Hukum Perburuhan, (Jakarta : Rajawali Perse, 2014), hlm.141.

(3)

Namun sebelum mengajukan gugatan ke perselisihan hubungan industrial, maka wajib untuk melakukan beberapa proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan.3 Pertama-tama jika terjadi perselisihan hubungan industrial maka wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartityang menjunjung tinggi prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Kemudian penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan, apabila dalam waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap tidak berhasil.

Selanjutnya, jika perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi Departemen Tenaga Kerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, Departemen Tenaga Kerja wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.Kemudian jika para pihak tidak memilih saran untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase maka Departemen Tenaga Kerja melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Disini mediator bertugas untuk melakukan mediasi serta mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan. Setelah proses penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Didalam Pengadilan Hubungan Industrial, perselisihan akan diperiksa dan diputus oleh hakim, yang terdiri dari satu Hakim Karier, dan 2 Hakim Ad-hoc yang penangkatannya atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha.

Dari ringkasan mengenai Hukum Acara Perselisihan Hubungan Industrial Indonesia yang sudah disinggung diatas, sangat menarik tentunya untuk mengkomparasikannya dengan ketentuan Hukum Acara di Negara lain. Hal tersebut tentunya akan menambah wawasan penulis dan pembaca yang berniat untuk mendalami permasalahan Penyelesaian Hubungan Industrial. Maka dari itu dalam

(4)

makalah ini penulis menjatuhkan hatinya kepada Perselisihan Hubungan Industrial di Negara Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 antara Loke Pang Keong dengan Subang Perdana Services SDN. BHDuntuk di kaji secara lebih mendalam menggunakan perspektif Hukum Acara.

1.2 Pokok Permasalahan

1. Bagaimana penerapan Hukum Acara dalam Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia dalam putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014?

2. Bagaimana penerapan Hukum Acara dalam Perselisihan Hubungan Industrial di Malaysia dalam putusan 24/4-270/12?

1.3 Kasus Posisi

1.3.1 Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014

Penggugat :

Salmon Pahala Simanjuntak, Pekerjaan Swasta, Alamat di Wonoyoso Nomor 157 Pontianak.

Tergugat :

PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK, Alamat Jalan Imam Bonjol Nomor 84 Pontianak yang diwakili oleh 3 karyawannya yaitu Tri Yoga Kuncoro, Eka Agustini dan Makro Prasetyo.

Salmon Pahala Simanjuntak adalah mantan karyawan PT. Columbindo Perdana Cabang Pontianak. Salmon bekerjasejak 19 Oktober 2001 hingga 11 Agustus 2014 denganjabatanterakhirsebagaikolektordenganupah 1.591.000 setiap bulannya. Akan tetapipada 28 Juni 2012, telahterjadipemecatankerja yang dilakukanolehPerusahaansecarasepihakdenganalasan yang tidaklogis. Setelahterjadipemecetan, penggugatditawarkanuangkompensasisebesar 5

(5)

akantetapiditolakolehpenggugatkarenatidaksesuaidenganmasakerja yang telahialakukan kepada perusahaan

Merasa tidak puas dengan keputusan yang telah dibuat perusahaan, Salmon memberanikan diri untuk memperjuangkan hak pesangonnya. Akhirnya pada 23 Juli 2013 Salmon melaporkepada Dinas Tenaga KerjaKota Pontianak karenatidakjugamenemukan kata sepakatmengenaipemutusanhubungankerja. Setelahmendengaradanyalaporantersebut, Dinas Tenaga Kerja Kota Pontianak memanggilSalmon dan PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAKuntuk melaksanakan proses mediasi. Akan tetapi proses mediasi tersebut bermuara pada kegagalan karena tidak ada kata sepakat diantara kedua belah pihak. Sehingga Dinas Tenaga Kerja Kota Pontianak menyimpulkan bahwapada tanggal 29 Oktober 2013 telahputushubungankerja antara Salmon dan PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAKkarena PHK, dandianjurkankepada tergugatuntukmembayaruangkompensasisebesarRp. 29.950.978 kepada Salmon.

Akan tetapitergugattidakmau menjalankan saran dariDinas Tenaga Kerja Kota Pontianak karena merasa Salmon tidaklah di PHK akan tetapi hanya ingin dimutasi saja ke PT. COLUMBINDO PERDANA cabang yang lain, sehingga menurut hemat tergugat tidaklah perlu membayar uang pesangon karena Salmon belumlah di PHK. Setelah melalui proses mediasi antara penggugat dan tergugat, maka dilakukanlahupayapenyelesaian lainmelaluiupaya bipatritdantipatrit namun jugatakkunjungmendapatkansolusi diantara keduanya. Hingga pada akhirnya Salmon membuat gugatan dan di masukan ke Panitera Pengadilan tertanggal 6 maret 2014 yang telah dilampiri anjuran dan risalah penyelesaian.

Setelah menjalani proses beracara mulai dari, pengajuan gugatan, pemanggilan para pihak, pemanggilan saksi dan ahli, eksepsi, mendengarkan gugatan, replik duplik, dan pembuktian, pada akhirnya tanggal 19 Juni 2014, dikeluarkanlahputusanoleh Hakim yang beranggotakanAchmad Syaripudin S.H, Alinafiah Damanik S.H., M.HdanSyahardi Rahim, S.E. Inti dari putusan tersebut

adalah mengabulkansebagiangugatanpenggugat yang

(6)

bahwapenggugatdantergugatsudahtidakada lagihubungankerjakarena PHK, dan menghukum tergugat untuk membayar uang kompensasi kepada Penggugat sebesar Rp. 29.950.978.

1.3.2 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Malaysia 24/4-270/12 Penggugat :

Loke Pang Keong Tergugat :

Subang Perdana Services SDN. BHD

Gugatan diajukan oleh penggugat kepada Pengadilan Industrial Malaysia tertanggal 13 Oktober 2012. Pemanggilan para pihak di laksanakan sejumlah 8 kali, yaitu pada tanggal 24 April 2012,24 Mei 2012, 28 Juni 2012,6 Agustus 2012 ,6 September 2012, 8 Oktober 2012 ,03 Desember 2012, dan16 Januari 2013. Persidangan dengan agenda mendengar keterangan dari para pihak dan saksi dilaksanakan pada 16 Januari 2013

Penggugat melakukan cuti dan merasa sudah mendapatkan izin dari perusahaan, dengan membawa sejumlah barang yaitu mobil perusahaan, laptop perusahaan, kunci kantor, dan kartu sehat AIA.

(7)

BAB II

PEMBAHASAN DAN ANALISA

2.1 Alasan Memilih Topik

Dari banyaknya topik yang tersedia didalam mata kuliah Kapita Selekta Hukum Acara Perdata, saya sepakat untuk menjatuhkan pilihan kepada topik Penyelesaian Hubungan Industrial karena beberapa alasan.

Pertama, perlu di akui Indonesia adalah negara berkembang yang masih banyak mengasilkan banyak pekerja, bukannya pengusaha.4 Itu artinya banyak sekali orang Indonesia yang berada dalam hubungan kerja yang sub-ordinatif (atas bawah) dengan orang lain, maka dari itu pemahaman mengenai hubungan kerja dan penyelesaiannya mutlak untuk dipahami secara utuh. Sehingga apabila terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, orang-orang Indonesia dapat memaksimalkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.

Kedua, ketentuan mengenai hukum perburuhan dan penyelesaiannya memiliki ciri khas yang sangat unik, yaitu memilikiunsur publik dalam hubungan keperdataan. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme penyelesaian secara tripatrit melalui mekanisme mediasi yang dilakukan oleh lembaga publik berupa Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Ketiga, penulis sengaja memilih putusan Pengadilan Negeri Kota Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014 dengan Putusan Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 dengan alasan, Malaysia merupakan Negara dengan sistem hukum common law, sedangkan Indonesia adalah Negara dengan sistem hukum civil law.5 Namun terdapat kemiripan dalam hal

4Badan Pusat Statistik, “Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT, 1986-2013” http://bps.go.id/tab_sub/view.php?

(8)

kompetensi absolut penyelesaian sengketa perburuhan, yakni dengan peradilan khusus berupa Pengadilan Hubungan Industrial (Indonesia), dan Industrial Court (Malaysia).Kemudian, dengan banyaknya Tenaga Kerja Indonesia dan Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di Malaysia6, sudah menjadi suatu

keharusan bagi para Juris untuk mengetahui ketentuan hukum perburuhan di Negeri orang, agar saudara-saudara kita yang ada di Malaysia tidak terus dibodohi karena alasan tidak tahu hukum.

2.2Dasar Hukum dan Analisis Yuridis

Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014

Dasar hukum dari penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 tahun 2004Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Secara substansial perbedaan dari kedua Undang-Undang tersebut yaitu Undang-Undang No.13 Tahun 2003 lebih menitikberatkan kepada Hukum Materiil tentang ketenagakerjaan, sedangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 lebih memfokuskan mengenai pengaturan hukum acara atau hukum formil.

Berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2004Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus terhadap perselisihan hubungan industrial.

6Wiji Nurhayat, “Tenaga Kerja Indonesia Paling Banyak Tersebar di Malaysia” ,

(9)

Sebelum masuk ke dalam proses peradilan di Pengadilan Hubungan Industrial terdapat mekanisme yang harus ditempuh terlebih dahulu oleh para pihak, yaitu wajib untuk melakukan beberapa proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pertama-tama jika terjadi perselisihan hubungan industrial maka wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartityang menjunjung tinggi prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Kemudian penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan, apabila dalam waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap tidak berhasil.

Selanjutnya, jika perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi Departemen Tenaga Kerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, Departemen Tenaga Kerja wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.Kemudian jika para pihak tidak memilih saran untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase maka Departemen Tenaga Kerja melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Disini mediator bertugas untuk melakukan mediasi serta mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan. Setelah proses penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

(10)

30 hari untuk mencapai kata mufakat, akan tetapi jika dalam waktu 30 hari itu tidak tercapai mufakat, maka bipatrit dinyatakan gagal.

Proses selanjutnya yang harus ditempuh oleh para pihak adalah melaporkan hasil bipatrit tersebut kepada Dinas Tenaga Kerja setempat selaku lembaga tripatrit. Dalam kasus ini, pihak yang melaporkan adalah pihak penggugat kepada Dinas Tenaga Kerja Kota Pontianak tertanggal 23 Juli 2013. Selanjutnya Dinas Tenaga Kerja diharuskan untuk menawari apakah penyelesaiannya ingin menggunakan konsiliasi atau arbitrase. Tetapi dalam kasus ini para pihak memilih untuk tidak menggunakan keduanya, dan lebih memilih menggunakan mekanisme mediasi bersama mediator dari Dinas Tenaga Kerja. Kemudian dari hasil mediasi tersebut dinyatakan bahwa pada tanggal 29 Oktober 2013 hubungan antara penggugat dan tergugat telah berakhir karena PHK, dan tergugat diwajibkan untuk membayar uang kompensasi sebesar Rp. 29.950.978 kepada penggugat.

Akan tetapi pihak tergugat tidak menerima keputusan tersebut, dan tidak bersedia untuk membayar uang kompensasi sebesar Rp. 29.950.978 karena menilai bahwa penggugat belumlah di PHK, ia hanya ingin dimutasi saja ke cabang perusahaan di kota lain. Pernyataan tersebut tentunya menjadi dasar kepada penggugat untuk mengajukan gugatan Pengadilan Hubungan Industrial.

Dalam mengajukan gugatan, penggugat harus mengikuti format gugatan seperti yang diatur di dalam Hukum Acara Perdata. Dimana gugatan terdiri dari 3 hal yaitu Persona Standi in Judicio, Posita dan Petitum.7 Dalam petitumnya pihak penggugat meminta 2 hal, yaitu meminta pengadilan untuk menyatakan sah putusnya hubungan kerja antara penggugat dan tergugat, dan meminta kepada pengadilan

(11)

untuk menyatakan anjuran tertulis dari Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Pontianak Nomor : 567/1350/DSTK-HI/2013 adalah sah dan berlaku.

Ketentuan mengenai kompetensi relatif diatur didalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, bahwa dalam mengajukan gugatan harus dimasukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang merupakan daerah hukum tempat buruh bekerja. Dalam hal ini, buruh bekerja di PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK, yang berlamat di Jalan Imam Bonjol Nomor 84 Pontianak. Itu artinya, sudah tepat jika gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan Negeri Kota Pontianak selaku tempat penggugat bekerja.

Ketentuan mengenai sidang pertama diatur didalam pasal 88 dan 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Bahwa selambat-lambatnya dalam 7 hari kerja Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan majelis hakim yang terdiri dari Hakim sebagai ketua majelis dan 2 orang Hakim Ad Hoc sejak gugatan diterima oleh panitera pengadilan. Itu artinya, 7 hari kerja setelah 6 maret 2014 Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan Majelis Hakim. Dalam kasus ini yang menjadi ketua majelis Hakim adalah Achmad Syaripudin S.H, dan yang menjadi Hakim Adhoc adalahAlinafiah Damanik S.H., M.HdanSyahardi Rahim, S.E. berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Hubungan Industrial nomor : 14/G/2014/PHI.PN.PTK tanggal 7 Maret 2014. Itu artinya berdasarkan pasal 89 ayat 1, bahwa 7 hari kerja sejak penetapan majelis (7 Maret 2014) harus sudah dilaksanakan hari sidang pertama.

Berdasarkan pasal 90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, baik pihak penggugat maupun tergugat dapat mengajukan saksi atau saksi ahli. Akan tetapi dalam putusan ini para pihak tidak mengajukan baik saksi maupun saksi ahli.

(12)

saksi,persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam kasus ini, bukti yang diajukan oleh pihak penggugat adalah Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Pontianak Nomor : 567/1350/DSTK-HI/2013, sedangkan dari pihak tergugat adalah surat peringatan kepada pihak penggugat dan peraturan perusahaan.

Yang terakhir adalah mengenai pengambilan putusan yang diatur pada pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Bahwa yang paling penting putusan tersebut agar tidak batal demi hukum haruslah dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Dalam hal ini, pembacaan putusan dilaksanakan pada hari Kamis, 26 Juni 2014 yang terbuka untuk umum. Apabila terdapat pihak yang belum puas, tersedia upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung sejak 14 hari kerja setelah keluarnya putusan dan harus diselesaikan selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak penerimaan permohonan kasasi.

Putusan Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 Malaysia adalah Negara jajahan Inggirs, maka dari itu sistem hukum yang dianut adalah sistem hukum common law. Ketentuan mengenai hukum perburuhan pada dasarnya diatur dalam 3 Undang-Undang8, Act

265 tentang Employment Tahun 1955, Act 262 tentang Trade Unions Tahun 1959, dan Act 177 tentang Industrial Relations Tahun 1967. Ketentuan mengenai Peradilan Hubungan Industrial di Malaysia di atur secara tegas didalam Act 177 tentang Industrial Relations Tahun 1967 yang secara khusus dituangkan dalam Bab ke VII. Di dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial Malaysia memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa perkara mengenai perburuhan.

8Industrial Court of Malaysia,

(13)

Act 177 tentang Industrial Relation Tahun 1967 menyatakan bahwa sehubungan dengan perkara pemecatan atau Dismissal, maka para pihak diwajibkan untuk melakukan suatu mekanisme tentang pembelaan hak terlebih dahulu. Prosedur tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu, Jalur Konsiliasi (Bab V), Jalur keberatan atau Representations of Dismissal (Part VI), dan jalur litigasi di Industrial Court (Bab VII).

Dalam Putusan Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia Nomor 24/4-270/12dapat kita lihat bahwa Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat secara Verstek atau tergugat tidak hadir. Sedangkan proses mendengar (hearing) hanya dilakukan secara ex parte (sepihak). Karena Negara Malaysia adalah negara dengan tradisi hukum common law, maka apabila suatu issue tidak diatur didalam peraturan perundang-undangan maka digunakanlah suatu Yuriprudensi dari putusan terdahulu. Dalam putusan ini digunakan Yurisprudensi Wong Brothers Construction v. Choo Chee Siam (2005) yang menyatakan bahwa apabila perusahaan absent atau tidak hadir didalam persidangan, maka Majelis Hakim tetap menjalankan sidang secara In Absentia atau mendengar keterangan pemohon saja.

(14)

Berdasarkan amar putusan tersebut, Tergugat (dalam Act 177 disebut Employer) dihukum membayar ganti rugi kepada Penggugat (Workmen) sebesar RM137,200.00 yang terdiri dari pengembalian upah (Backwages) dan kompensasi sebagai ganti kerugian (Compensation in lieu of reinstatement).

2.3 Hubungan dengan Materi Perkuliahan

Perselisihan Hubungan Industrial menurut Pasal 1Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 perusahaan.

Dalam kasus ini, penyelesaian perselisihan hubungan industrial ditempuh melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah suatu proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh pihak ketiga melalui pengadilan hubungan industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri.9

Sebab terjadinya perselisihan perburuhan dikarenakan 2 hal, yaitu pelanggaran, dan tanpa pelanggaran.

Pelanggaran: Perselisihan hak

a. Beda pelaksanaan, misal perjanjian kerja menyatakan bahwa pegawai dikontrak 6 bulan, setelah 6 bulan kontrak diperpanjang terus hingga 4 tahun, padahal kontrak kerja

(15)

menyatakan setelah 3 kali perpanjangan tidak boleh diperpanjang lagi.

b. Beda perlakuan, terhadap jenis pekerjaan yang sama akan tetapi terdapat perbedaan perlakuan antara satu individu dengan yang lainnya.

c. Beda penafsiran, terdapat perbedaan pengartian terhadap suatu norma hukum yang ada didalam suatu perundang-undangan untuk menguntungkan kepentingan yang bersangkutan.

Tanpa pelanggaran : perselisihan kepentingan a. Beda penafsiran;

b. Perubahan syarat kerja.

Mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan, antara lain:

a. Metode keluh kesah/keberatan kepada atasan langsung

b. Negosiasi dengan jajaran pimpinan perusahaan c. Mediasi – Konsiliasi: Menghasilkan rekomendasi

d. Arbitrase oleh Arbiter: Menghasilkan Perjanjian Bersama

e. Gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri.

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Kota Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014 dengan Putusan Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 terdapat beberapa hal yang dapat dicermati, yaitu :

a. Mengenai Jenis Sengketa

(16)

pemutusan hubungan kerja adalan perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.10 Misalnya : Buruh menolak untuk diputuskan

hubungan kerjanya, karena pesangonnya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau nilainya masih lebih rendah daripada perhitungan undang-undang.Dalam PutusanPengadilan Negeri Kota Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN.PTK Tahun 2014, terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja antara Salmon Pahala Simanjuntak dan PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK, karena Salmon sudah merasa di PHK oleh perusahaan, tapi perusahaan menyatakan belum mem-PHK nya karena tidak mau membayar uang pesangon yang dibebankan. Selain itu juga, terjadi perselisihan mengenai uang pesangon, menurut Salmon jumlah uang pesangon berdasarkan masa kerjanya adalah sebesar Rp. 29.950.978, akan tetapi PT. COLUMBINDO PERDANA CABANG PONTIANAK hanya ingin memberikan uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000.

Sedangkan pada Putusan Perselisihan Hubungan Industrial Malaysia dalam putusan 24/4-270/12 terjadi PHK terhadap Loke Pang Keong yang dilakukan Subang Perdana Services SDN. BHD karena terdapat perselisihan HAK. Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap suatu peraturan. Dalam kasus ini, Loke menanggap bahwa cuti yang dilakukan olehnya telah mendapat persetujuan dari pihak perusahaan, akan tetapi perusahaan membantah telah memberikan izin kepada Loke karena dalam cutinya ia membawa barang-barang milik perusahan seperti mobil, kunci kantor, dan laptop.

b. Mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan

(17)

Sengketa pada Putusan Pengadilan Negeri Kota Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN. sudah dilakukan dengan mekanisme yang tepat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 , yakni melakukan musyawarah internal terlebih dahulu dengan pihak tergugat untuk mencari suatu kata mufakat. Apabila mekanisme tersebut gagal, salah satu pihak (dalam kasus ini penggugat) dapat mengajukan permohonan kepada Dinas Tenaga kerja untuk melakukan proses mediasi. Kenyataanya proses mediasi itu pun tidak dijalankan oleh pihak tergugat, maka dari itu penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Kota Pontianak, dan gugatannya dikabulkan untuk sebagian. Dalam hal ini pihak penggugat telah menjalankan amanat Undang-Undang No. 02 Tahun 2004 dengan baik, yakni dengan menjalani proses bipatrit dan tripatrit terlebih dahulu, dan kemudian baru menempuh upaya hukum melalui jalur litigasi kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

(18)

c. Mengenai Sebab terjadinya sengketa

Sengketa pada Putusan Pengadilan Negeri Kota Pontianak Nomor 14/G/2014/PHI.PN diawali oleh adanya sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh tergugat tentang perselisihan hak mengenai uang pesangon dan defnisi pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan oleh adanya beda pelaksanaan antara penggugat dan tergugat mengenai jumlah uang pesangon, penggugat menyatakan bahwa jumlah uang pesangon harus sesuai dengan Undang-Undang dan saran dari Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Pontianak, akan tetapi tergugat hanya ingin memberikan jumlah uang sesuai nominal orang yang di mutasi saja.

Sedangkan dalam putusan Peradilan Hubungan Industrial Malaysia Nomor 24/4-270/12 terdapat pelanggaran tentang perselisihan hak yang disebabkan oleh terjadinya perbedaan penafsiran oleh kedua belah pihak. Penggugat mengklaim bahwa cuti yang ia lakukan telah mendapatkan persetujuan dari perusahaan, sedangkan tergugat mengklaim bahwa cuti yang penggugat lakukan tidaklah mendapat persetujuan karena membawa barang-barang milik tergugat seperti mobil,laptop, dan kunci kantor. Alasan tersebutlah yang mendasari tergugat untuk melakukan pemutusan hubungan kerja kepada penggugat.

2.4 Perkembangan Terbaru Terkait Kasus

(19)

terlebih dahulu.Didalam ketentuan tersebut terdapat 4 hal yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, yaitu mengenai kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial dan mengenai pengangkatan hakim ad Hoc.

Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa, mengadili dan memutus :

 Perselisihan Hak sebagai pengadilan tingkat pertama.

 Perselisihan Kepentingan sebagai pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir.

 Perselisihan PHK sebagai pengadilan tingkat pertama.

 Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan sebagai pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir.

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, tentunya terdapat isu yang menarik untuk kita cermati. Terhadap Perselisihan Hak dan Perselisihan PHK disediakan upaya hukum berupa kasasi kepada Mahkamah Agung, itu artinya tidak ada proses banding terlebih dahulu. Sedangkan untuk perkara mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja tidak terdapat upaya hukum yang disediakan kepada para pihak, itu artinya putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Menjadi pertanyaan mengapa terdapat diskriminasi pemberlakuan upaya hukum didalam masing-masing perselisihan? Bukankah sebaiknya upaya hukum disediakan di setiap bentuk perselisihan sebagai sarana bagi pihak yang belum puas untuk mencapai keadilan yang substantif?

(20)

tetapi ide tersebut boleh dicoba pada pengadilan jenis lainnya. Komposisi Hakim di Pengadilan Hubungan Industrial sangatlah merepresentasikan para pihak yang bersinggungan, yaitu buruh, pengusaha dan negara.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 tahun 2004Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, kompetensi absolut Pengadilan Indonesia dalam hal Perselisihan Hubungan Industrial terletak pada Kompetensi absolut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri. Upaya hukum yang dapat ditempuh untuk melawan putusan Pengadilan Hubungan Industrial adalah kasasi kepada Mahkamah Agung.

2. Di Malaysia kompetensi Absolut mengenai sengketa perburuhan terletak di Industrial Court of Malaysia, hal ini sesuai Act 177 tentang Industrial Relation Tahun 1967 yang menyatakan bahwa sehubungan dengan perkara pemecatan atau Dismissal, maka para pihak diwajibkan untuk melakukan suatu mekanisme tentang pembelaan hak terlebih dahulu. Prosedur tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu, Jalur Konsiliasi (Bab V), Jalur keberatan atau Representations of Dismissal (Part VI), dan jalur litigasi di Industrial Court (Bab VII).

(21)

mekanisme dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004,yaitu melewati proses bipatrit terlebih dahulu untuk mencari mufakat antara buruh dan pengusaha. Apabila proses tersebut gagal, dilanjutkan dengan mekanisme mediasi dengan mengajukan permohonan kepada Dinas Tenaga kerja di wilayah kota setempat, namun dalam proses ini juga gagal, karena pihak tergugat tidak mau untuk menjalankan saran dari Dinas Tenaga Kerja untuk membayar uang pesangon sebesar Rp. 29.950.978. Setelah itu pihak penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Kota Pontianak, dan ternyata gugatannya dikabulkan untuk sebagian.

4. Pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Malaysia 24/4-270/12 pihak penggugat telah melakukan prosedur yang tepat dengan mengajukan sengketa kepada Industrial Court. Karena berdasarkan Act 177, Industrial Court memiliki kompetensi Absolut untuk mengadili sengketa perburuhan di Malaysia.

5. Hubungan antara putusan dan materi perkuliahan dapat ditinjau dari 3 hal, yaitu mengenai jenis sengketa, mengenai penyelesaian sengketa perburuhan, dan mengenai sebab terjadinya sengketa

6. Terdapat isu unik didalam ketentuan putusan tersebut, yaitu Komposisi Majelis Hakim dengan 2 Hakim Ad-hoc dan upaya hukum yang tersedia hanya dikhususkan bagi masalah tertentu saja.

3.2 Saran

(22)

mengenai hubungan kerja dan penyelesaiannya mutlak untuk dipahami secara utuh. Sehingga apabila terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha, orang-orang Indonesia dapat memaksimalkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.

Kemudian, dengan banyaknya Tenaga Kerja Indonesia dan Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di Negeri Jiran Malaysia, sudah menjadi suatu keharusan bagi para Juris untuk mengetahui ketentuan hukum perburuhan di Negeri orang, agar saudara-saudara kita yang ada di Malaysia tidak terus dibodohi karena alasan tidak tahu hukum.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Aloysius Uwiyono, Siti Hajati Hoesin, Widodo Suryandono, Melania Kiswandari, ...2014, Asas-Asas _____Hukum Perburuhan, Jakarta : Rajawali Pers.

Goenawan Oetomo, 2004, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di _____Indonesia, Jakarta: Grhadika Binangkit Press.

Imam Soepomo, 1999. Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan.

Regulasi

(23)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cetakan ke 23,1990, Jakarta : Pradnya Paramitha

Malaysia, Act 177 tentang Industrial Relations Tahun 1967

Website

Badan Pusat Statistik. “Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK

...dan_TPT,_1986-2013” ...http://bps.go.id/tab_sub/view.php?

kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=5... Diunduh pada 25 Oktober 2014.

Nurhayat, Wiji. “Tenaga Kerja Indonesia Paling Banyak Tersebar di Malaysia” , ...http:// finance.detik.com/read/2012/09/26/170223/2038424/4/tenaga-kerja-indonesia-...

paling-banyak-tersebar-di-malaysia . Diunduh pada 24 Oktober 2014.

DISCLAIMER : Tulisan ini diperuntukan Penulis untuk kepentingan tugas perkuliahan sehingga apabila terdapat kekeliruan mohon dikoreksi. Sebagai insan

Referensi

Dokumen terkait

Berpijak pada pembahasan tersebut diatas dapat ditarik simpulan bahwa politik hukum yang melandasi berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tentang

Untuk kajian ini, penyelidik memilih untuk menggunakan soal selidik strategi pembelajaran bahasa seperti yang dijelaskan oleh Alwahibee (2000) dimana strategi

Dalam jual beli padi dengan sistem tebasan ini kemungkinan terjadi fasid (rusak) karena sering kali pihak penebas melakukan ingkar janji mengenai pengunduran hari

Setelah selesai pelatihan militer, saya diangkat sebagai penjaga tahanan politik (Tapol) PKI dan tugas saya menjaga orang-orang PKJ yang ditangkap serta mengawasi

Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Muchtadi (1997) dalam Martunis (2012) yang menyatakan bahwa nilai kadar air yang meningkat dan tidak merata merupakan akibat dari

Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya.Untuk menyelesaikan

Iako je imao besplatan i stan i hranu, nikad nije bio od onih što samo potvr đ uju ono što im rekne neko ko ih kako bilo pomaže.. Ni za dlaku nije odstupao od