• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selama caranya Halal Preman Islam di Ja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Selama caranya Halal Preman Islam di Ja"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

11 "Selama Caranya Halal":Preman Islam

di Jakarta

Ian Douglas Wilson

191

1. PENDAHULUAN

Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Indonesia adalah tempat yang sangat berbahaya, penuh dengan kegiatan-kegiatan terorisme. Secara pribadi, teroris yang lebih saya khawatirkan adalah yang berada di luar, di jalan- jalan, berpura-pura menjadi tukang parkir, pengamen, dan lain-lain (Pitting,

2004).

Kutipan dari harian The Jakarta Post ini memberi gambaran singkat atas realitas suram sehari-hari yang dihadapi oleh penduduk di ibu kota Indonesia. Rasa takut akan pemerasan, pelecehan atau kekerasan oleh preman, sebutan sehari-hari untuk penjahat jalanan atau gangster, bagi banyak orang Indonesia adalah ancaman serius yang selalu membayangi keamanan diri mereka. 1

Pada saat pemerintah-pemerintah dan media-media di Barat terus berfokus pada "ancaman Islam" di Indonesia, saat itu pula teror harian yang lebih biasa tampak menyebar yang berdampak lebih besar bagi kehidupan masyarakat umum di Indonesia. Kejahatan preman jalanan menjadi bagian kehidupan yang ada di pusat-pusat, kota di seluruh negeri.

Ada peningkatan premanisme yang kasat mata sejak tahun 1998. Namun, preman bukanlah fenomena baru. Sepanjang Orde Baru, ada hubungan saling menguntungkan antara unsur-unsur rezim ini dan para preman. Banyak preman "dilembagakan" dalam organisasi-organisasi paramiliter dan pemuda seperti Pemuda Pancasila, kelompok yang loyal pada rezim. Para preman dibiarkan melakukan pemerasan dengan berdalih perlindungan dengan kekebalan hukum asalkan sebagian dari keuntungan disetorkan ke jalur-jalur birokrasi negara. Mereka pun mesti siap sedia untuk dikerahkan ketika hegemoni negara dirasa terancam.

1 Lihat "Orang Bebas yang Kian Mengganggu", Tempo, 20 Mei 2000. Preman adalah istilah normatif dengan sejarah kompleks yang tidak dapat termuat dalam bab ini. Untuk kepentingan bab ini, istilah preman akan digunakan untuk merujuk secara khusus kepada individu-individu yang menggunakan strategi penuh kekerasan dan paksaan untuk mendapatkan ganjaran material, sama dengan apa yang Blok (1988) dan Volkov (2002) telah sebut sebagai 'pengusaha kekerasan'. Lebih lanjut mengenai makna preman, lihat Ryter (1998).

(2)

192 fan Douglas Wilson

"Selama Caranya Halo/" 193

Pada masa akhir Orde Baru, ketika citra rezim yang utuh mulai retak, ideologi dan simbolisme kebanyakan "pengusaha di bidang kekerasan" ini mulai menjauh dari nasionalisme reaksioner dan kesetiaan kepada Soeharto dan Golkar. Mereka semakin banyak mengalihkan diri dengan bersumber dari Islam militan. Pergeseran ini mencerminkan dinamika politik yang tengah berubah. Banyak preman berjudi pada kekuatan politik tertentu yang dianggapnya akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan politik. Sebagian berkumpul ke dalam satgas, sayap-sayap paramiliter yang dibentuk oleh partai-partai politik untuk memobilisasi dukungan dan mencari dana untuk keperluan Pemilu 1999. Sebagian yang lain menjadi anggota beberapa organisasi Islam militan yang muncul setelah tahun 1998. Banyak dari kelompok-kelompok ini dimobilisasi pada November 1998 sebagai bagian dari milisi sipil (Pam-Swakarsa) yang dikerahkan oleh Jendral Wiranto.2

Pada masa Habibie menjadi presiden, membela negara berkorelasi dengan membela Islam. Akhirnya, kelompok-kelompok tersebut bertindak sebagai benteng yang disponsori negara dalam melawan tuntutan-tuntutan gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa. Namun, banyak preman yang dapat berubah dari bawahan negara menjadi aktor independen pada saat ada kebebasan baru untuk berorganisasi dan elite-elite politik sedang

dalam kekacauan.

Banyak kerja dokumentatif di seluruh dunia yang mencatat bahwa gangster sering muncul sebagai penerima warisan pemilihan politik yang demokratis, sebagai para calon atau penggalang dana, dan sebagai makelar kekuasaan yang mampu memobilisasi dukungan, mengintimidasi para saingan dan melaksanakan layanan-layanan lainnya atas nama para klien. Indonesia dalam hal semacam ini bukanlah sebuah pengecualian (Trocki, 1998). Preman sebagai kaum oportunis abadi dan bunglon ideologi cepat menyesuaikan diri untuk berganti kostum agar cocok dengan lingkungan sosial dan politik yang baru. Organisasi, terlepas dari apa pun yang seolah-olah jadi tujuannya, hanya penting sejauh dapat menyediakan perlindungan untuk memperoleh dan memelihara wilayah kekuasaan. Beberapa kasus menyebutkan, pergantian pakaian ala militer pemuda-pemuda nasionalis menjadi jubah putih atau surban orang-orang Islam radikal hanyalah soal kamuflase belaka. Kita bisa simak pengakuan seorang preman yang masuk menjadi anggota Front Pembela Islam (FPI) yang menjelaskan:

Sekarang, di era reformasi, nasionalisme, bela bangsa dan segala tetek bengeknya sudah tidak laku lagi kelompok-kelompok (yang mengangkat isu) jihad dan yang memerangi maksiat-lah tempat untuk dituju (wawancara, Jakarta, 2005).

Pada saat kelompok-kelompok yang lebih tua seperti Pemuda Pancasila terus memotret diri sebagai pembela kesatuan nasional, gangster jenis baru mengorganisasi diri mengikuti garis etnik dan keagamaan "pasca-Pancasila" (Ryter, 2005). Kepentingan-kepentingan kriminal telah berjalin berkelindan dengan tuntutan-tuntutan atas hak dan agendanya politik Islam yang kembali dihidupkan.

2

Lihat Gunawan dan Patria (2000: 58-63) dan "Pam-Swakarsa: Aktor atau Karban?", Tempo, 30 November 1998.

Dalam konteks ini, Islam militan telah menjadi komoditas simbolis baru atas pertarungan untuk memperebutkan kontrol di jalan-jalan di seantero Jakarta.

Preman sebagai subkultur dapat diidentifikasi memiliki sifat pemangsa, oportunis, menggantungkan penghidupan mereka pada perpaduan antara penampilan garang dan reputasi kekerasaJ fisik. Hubungan dengan ara pemegang kekuasaan juga penting untuk kesuksesan dan kelangsungan h1dup preman, membuat mereka kebal hukum dan sanksi resmi. Menghadapi jaringan patronase yang tidak dapat diprediksi sejak tahun 1998 dan pasar pemerasan yang kompetitif dan tidak terpusat, alasan-alasan dan pembenaran-pembenaran baru haruslah dibuat. Ironisnya, apa yang dianggap sebagai peningkatan kejahatanlah yang memberikan kepada preman peluang-peluang paling menguntungkan untuk pemerasan, umumanya dalam samaran vigilantisme anti maksiat. Komoditas- komoditas tradisional preman, seperti pelacuran, perjudian, obat-obatan dan alkohol, dijauhi oleh jenis baru "gangster bermoral" yang terilhami oleh agama ini, bagian dari jualan mereka kepada masyarakat adalah bahwa mereka akan menghilangkan jenis-jenis praktik ilegal ini.

Bab ini berargumen, fenomena "preman Islam" menyarankan bahwa hasrat untuk memperoleh akses kepada sumber daya dan keuntungan instrumental melalui pemerasan dan patronase politik adalah faktor penting, tidak jarang juga menjadi faktor utama, keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan yang diidentifikasi sebagai militan yang menggantikan komitmen ideologis yang sering disangkakan. Militansi Islam mengandung ekonomi-politiknya sendiri. Proposisi ini ditelaah melalui analisis atas praktik-praktik, politik, dan retorika dua kelompok yang muncul di lingkungan pasca-Orde Baru yang memadukan retorika Islam militan dengan premanisme: Forum Betawi Rempug (FBR) dan Front Perjuangan Islam (FPI).

2. PREMAN PRIMORDIAL: FBR

FBR dibentuk di Jakarta pada Juli 2001 untuk menanggapi meningkatnya perebutan kekuasaan penuh kekerasan antara preman etnik Betawi dan adura di Jakarta Timur.3

Berdasarkan realitas sebagai produk dari keragaman etmk dan budaya Jakarta, orang Betawi mengklaim status sebagai penduduk asli ibu kota. FBR berbasis di wilayah semi-industrial Penggilingan di Cakung, Jakarta Timur. FBR menyebutkan bahwa gelombang migrasi yang tak terkendali ke ibu kota bukan saja penyebab terampasnya hak ekonomi orang Betawi asli, tetapi juga merupakan sumber kerusakan moral.4 Para pendatang di ibu kota dipersalahkan atas tmggmya

tingkat pengangguran dan kejahatan. Mereka itu juga dianggap sebagai pembawa penyakit-penyakit sosial seperti pelacuran, perjudian, dan menurunnya tingkat kesalehan agama. Semua hal ini mendorong FBR untuk melancarkan razia-razia

3 Perang memperebutkan wilayah kekuasaan ini membawa kepada pembentukan sejumlah kelompok: kelompok Betawi juga, termasuk Ikatan Betawi Tanah Abang (IKB), Gerakan Ketahanan Betawi Indonesia (GKBI) dan Forum Komunikasi Betawi (Forkabi). Untuk informasi Iebih lanjut meng nm latar belakang FBR, lihat Widiyanto (2006), Wilson (2006) dan Brown dan Wilson (2007). Lihat juga halaman berwama plat 9 dan 10.

(3)

194 Ian Douglas Wilson "Selama Caranya Halal" 195

ke tempat-tempat yang diidentifikasi sebagai sarang kemaksiatan. Perilaku yang dianggap ofensif terhadap Islam ditempelkan kepada orang-orang luar. Menurut pemimpin FBR, Fadloli el-Muhir, pembangunan pesat Jakarta telah meninggalkan orang Betawi dalam keadaan terlantar dan terpinggirkan. 5 FBR mengklaim bahwa

Jakarta tidak seperti wilayah lain, seumpama Bali, yang pelaksanaan otonomi lokal dan desentralisasi telah membuat penduduk setempat memperoleh kursi di parlemen dan standar hidup yang meningkat. Ibu kota bangsa ini tidak mendapat keuntungan yang sama.6

Namun, penekanan FBR pada kemarahan atas nama moral muncul dari konteks perebutan wilayah kekuasaan terkait usaha perlindungan keamanan. Kelompok ini menggunakan banyaknya jumlah anggota dan reputasi kekerasannya untuk membangun usaha ilegal, menekan bisnis-bisnis untuk mempekerjakan anggota- anggota mereka di wilayah-wilayah kekuasaannya dengan dalih pemberdayaan etnis Betawi. FBR tumbuh cepat dengan retorika militannya, janji akan pekerjaan, dan penyediaan layanan-layanan sosial seperti bantuan hukum, mobil ambulans, pelatihan kerja dan, dalam beberapa kesempatan, pendidikan bersubsidi bagi para anggotanya. Semua ini ditopang oleh keanggotaan yang sebagian besar terdiri dari pemuda pengangguran, preman, dan mereka yang bekerja di sektor ekonomi informal seperti tukang ojek. Slogan mereka agresif: "yang kurang ajar ... hajar!". Pada tahun 2003 keanggotaan FBR di wilayah DIG Jakarta telah bertambah menjadi sekitar 60 ribu. FBR diorganisir melalui jaringan pos-pos komando yang disebut gardu yang berjumlah sekitar 300 buah. Biasanya gardu-gardu ini terletak di titik-titik ekonomi yang strategis, seperti pasar-pasar, terminal-terminal, dan perempatan-perempatan yang sibuk, yang merupakan tempat yang tepat bagi para anggota untuk mencari peluang-peluang.

Fadloli el-Muhir adalah mantan wartawan dan mantan politisi pada sayap Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-nya Soerjadi yang disokong oleh Soeharto, pernah juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memberi saran kepada presiden. 7 Dia mendapat pendidikan agama di Pesantren Bani Latief

di Banten dan selanjutnya nyantri selama tujuh tahun di Pesantren Lirboyo di Kediri, yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Dia meneruskan studinya di Universitas Islam Asy-Syafi'iyyah di Jakarta, aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada tahun 1997, dia mendirikan Gerakan Santri Indonesia (GSI) yang salah satu dari tujuan-tujuan utamanya adalah memerangi maksiat dan mendorong diadopsinya aturan berpakaian Islam oleh perempuan. Pada pertengahan tahun 1990-an, dia telah bergelar kiai dan mendirikan Pesantren Ziyadatul Mubtadi'ien dan panti yatim di Cakung.

Di samping pendidikan agamanya yang panjang dan kredibilitas keislamannya, otoritas Fadloli el-Muhir dalam FBR bersumber terutama dari kepercayaan pada kekuatan ilmu gaibnya. Pada tahun 2002, semasa bentrokan dengan

5 Wawancara dengan Fadloli el-Muhir, Jakarta 2005.

6 Wawancara dengan Fajri Husen, Kepala Cabang FBR Jakarta Pusat, Jakarta, 2006.

7 . Pada 1996 PDI terbelah menjadi dua faksi setelah pemerintah, yang prihatin pada meningkatnya popularitas pemimpin partai terpilih, Megawati Soekamoputri, menyokong suatu kongres tandingan yang menunjuk Soerjadi sebagai ketua partai. Para pendukung faksi Megawati dikeluarkan dari kantor pusat di Jakarta dengan menggunakan kekerasan pada tahun 1996.

preman Madura di Cakung, Fadloli diceritakan selamat tanpa cedera setelah dihujani tusukan senjata tajam. Cerita kekeb'illan tubuhnya segera tersiar dan perlahan menjadi mitos. Di dunia prem n, ilmu kebal adalah unsur penting dalam membangun otoritas dan siapa yang memilikinya akan cepat memperoleh pengikut. Fadloli dipercaya tidak hanya mem1liki ilmu kebal, tetapi juga mendapat amanat suci untuk memimpin masyarakat Betawi yang terampas haknya menuju zaman keemasan penuh kesejahteraan. Kekebalannya dan statusnya sebagai kiai, serta koneksi-koneksinya dengan para penguasa, termasuk hubungan dekat dengan anak-anak Soeharto dan Gubernur Jakarta Sutiyoso, menjadikannya model jawara sekaligus orang kuat dan makelar kekuasaan.

Jawara adalah sosok ambigu yang selalu muncul sepanjang sejarah wilayah ini yang bertindak sebagai ( 1) agen penindasan negara dan kontrol sosial; (2) sebagai bandit dan penjahat; (3) sebagai pemimpin informal masyarakat dan pemimpin pemberontakan terhadap apa yang dianggap sebagai ketidakadilan. Fadloli telah sengaja menghubungkan dirinya dengan jawara sekaligus pahlawan masyarakat Betawi seperti Si Pitung, seorang bandit sosial seperti Robin Hood yang dipercaya telah membagi-bagikan sebagian hasil kejahatannya kepada orang-orang miskin. Fadloli membawa mitos lama ini ke masa sekarang, sambil berargumen bahwa hak-hak orang Betawi telah dicuri, dan untuk mengembalikannya diperlukan jihad. Apabila hukum menindas orang Betawi, maka ia harus dilawan dengan cara apa pun, selama cara itu halal.8

Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam konstruksi identitas Betawi (FBR), yang juga bersumber dati budaya kegarangan jawara dan preman dan tradisi pencak silat, dipadukan dengan kepemimpinan moral pemimpin agama seperti kiai dan ulama. Ikrar keanggotaannya mengharuskan para pengikut untuk bersumpah menjalankan hukum syariah dan berjanji memerangi maksiat. FBR menjelaskan programnya dengan "tiga S" (salat, silat, sekolah), menggunakan tata dunia tradisional Betawi yang ideal, suatu dunia yang didominasi oleh kiai, institusi-institusi pesantren, dan gardu.

Dalam praktiknya, keberagamaan dalam FBR mengikuti garis tradisional- konservatif NU yang mencerminkan latar belakang Fadloli dan juga norma-norma agama yang ditemukan dalam masyarakat Betawi. Dia memberikan pelajaran agama kepada para anggota yang tertarik dari kitab-kitab kuning berbahasa Arab yang banyak dipakai di pesantren, berbarengan dengan kursus-kursus regular membaca Al-Qur'an. Sebagian anggota FBR buta huruf sehingga mereka tidak bisa atau tidak mau ikut serta. Kursus-kursus ini santai, sering menjadi alasan untuk mengobrol, nongkrong, dan merokok. Kebanyakan anggotanya adalah Muslim di KTP. Kesalehan diasumsikan menyatu dalam kebetawian mereka yang didefinisikan berlawanan dengan orang-orang luar yang dianggap tidak saleh, bukannya berasal dari sesuatu yang dicari dengan aktif melalui belajar, buku- buku pedoman atau pelaksanaan kewajiban agama secara rutin.9

Acara-acara

8 Wawancara dengan Fadloli el-Muhir, Jakarta 2005.

(4)

196 Ian Douglas Wilson

komunal kelompok ini selalu menjajarkan tontonan-tontonan kesalehan melalui salat berjamaah dengan kemampuan fisik dalam bentuk seni bela diri. Keduanya merupakan pendahuluan untuk acara utama, versi erotis dari musik dangdut kampung. 10

Misi FBR untuk memerangi dosa dan maksiat telah berjalin berkelindan dengan klaimnya atas hak-hak ekonomi istimewa bagi orang Betawi, telah menjadi strategi kunci guna memperluas wilayah kekuasaannya. Dalam praktiknya, maksiat didefinisikan dalam hubungannya dengan siapa yang mengendalikannya. Tuduhan-tuduhan pelacuran dan perjudian telah dipakai sebagai dalih untuk merebut kontrol ataswilayah-wilayah yang dipegang oleh preman saingan, seperti di wilayah Pasar Minggu. Tetapi, di tempat-tempat di mana FBR dominan ada bar-bar dan klub-klub, termasuk yang terkenal dengan pelacurannya, beroperasi tanpa gangguan selama sumbangan rutin dibayarkan pada kelompok ini.

Sejak akhir tahun 2004, hasrat memperluas daerah kekuasaan dan menggabungkan diri dengan elite-elite politik mendorong FBR mengambil dua arah yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia mulai melonggarkan kriteria-kriteria keanggotaannya. Awalnya ia tidak menerima anggota non-Muslim, dan untuk non-Betawi diberi status keanggotaan sementara. Namun, FBR menghadapi kesulitan ketika melebarkan sayapnya ke Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat karena kebanyakan preman yang mengendalikan wilayah-wilayah itu orang-orang Ambon Kristen dan Papua Barat. FBR dengan radikal merevisi kriteria keanggotaannya untuk mempersatukan para preman ini tanpa harus terlibat dalam perkelahian berkepanjangan. Akhirnya, dibuatlah ikrar non-Islam dan kebetawian yang didefinisikan ulang menjadi sesuatu yang lebih ambigu sebagai "mereka yang nasibnya terikat pada nasib Jakarta" .11 Hasilnya, anggota-anggota FBR menjadi lebih beragam dari sisi etnis dan agama, tetapi dasar sosialnya di dunia preman Jakarta juga terkonsolidasi.

Bersamaan dengan besarnya jumlah preman non-Muslim yang bergabung ke FBR, retorika keagamaan Fadloli menjadi semakin tanpa kompromi. Dukungan kuat di Jakarta untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Pemilu 2004, saat itu FBR mendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golkar, mendorong kepemimpinan FBR untuk memikirkan ulang aliansi-aliansi politiknya. Kemudian, sebuah keputusan diambil untuk mendukung kekuatan politik yang baru muncul di Jakarta. Serangan-serangan FBR terdahulu terhadap NGO-NGO yang kritis pada Gubernur Jakarta membukakan jalan kepada aksi-aksi bersama PKS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan FPI dalam memprotes intervensi Amerika Serikat di Timur Tengah dan mendukung sejumlah agenda lain yang diusung oleh kelompok-kelompok Muslim garis keras. 12 Fadloli juga bergabung dengan

10 Di acara-acara ini para penyanyi dangdut harus dilindungi oleh petugas keamanan khusus dari cumbuan-cumbuan penuh nafsu anggota-anggota FBR, yang mencoba memasukkan uang tip di belahan dada para penyanyi.

0 Wawancara dengan pengurus FBR, Jakarta, 2006. Sebelumnya para anggota diminta untuk menunjukkan garis atas keturunan keluarga di Jakarta sepanjang setidaknya dua generasi.

12 Fadloli dan pemimpin HTI bersama-sama membiayai Suara Islam,koran bulanan yang berfokus

terutamanya pada topik-topik politik Timur Tengah, seperti perjuangan Palestina, teori konspirasi Yahudi dan ancaman imperialisme US. Koran ini dapat dilihat di <http://www.suara-islam.com>.

"Selama Caranya Halal" 197

kelompok-kelompok ini di depan publik untuk menyerukan penerapan hukum Islam di Jakarta dan lobi untuk melepas Abu Bakar Ba'asyir.

Pergeseran menuju posisi yang secar'il publik lebih militan ini tidak diterima dengan mudah oleh semua anggota FBR. Rekrutan-rekrutan non-Muslim baru ternyata dirasa dapat mengancam ppsisi mereka di dalam kelompok dan mengurangi otoritas mereka di jalanan. Aliansi-aliansi baru ini juga menguak perbedaan budaya dan sosial antara aktivis keagamaan terpelajar kelas menengah dari PKS dan HTI, juga para preman jalanan FBR, yang dalam obrolan-obrolan menjelaskan pihak yang disebut pertama sebagai "ingin jadi orang Arab" dan "tidak menarik". Di acara-acara FBR yang dihadiri perwakilan-perwakilan HTI dan PKS, penampilan-penampilan dangdut digantikan dengan qasidah rebana, yakni pertunjukan seni yang terdiri dari adaptasi-adaptasi puisi Arab yang dinyanyikan dalam bahasa Melayu dan diiringi oleh tepokan ritmis gendang, yang ditampilkan oleh para istri anggota FBR. Anggota-anggota non-Muslim FBR secara umum tidak ambil bagian dalam rapat-rapat umum dengan HTI, MMI, dan PKS. Dalam kenyataannya, para anggota baru yang non-Muslim tidak perlu merasa khawatir. Pada akhirnya faktor-faktor seperti kejagoan, kendali atas daerah kekuasaan, dan penerimaan atas otoritas Fadloli-lah yang menentukan posisi di dalam organisasi. Bagi pemimpin FBR, aliansi-aliansi dengan kelompok- kelompok garis keras juga akhirnya bersifat strategis dan bertujuan mengganti hilangnya dukungan untuk FBR dari dalam pemerintah Jakarta yang semakin kehilangan kesabaran menyaksikan terlibatnya kelompok ini dalam kontroversi dan tuntutan-tuntutannya akan konsesi-konsesi. Dalam hal ini, strategi baru tidaklah berhubungan pergeseran internal dalam nilai-nilai maupun prioritas- prioritas.

3. ORANG-ORANG RADIKAL SIMBOLIS: FPI

FPI (Front Pembela Islam) memiliki misi Islam yang jauh lebih jelas yang diartikulasikan secara berbeda dari FBR. Tujuan jelasnya adalah melaksanakan perintah Al-Qur'an, yakni amar ma'ruf nahi mungkar (memerintahkan perbuatan baik dan menghalangi perbuatan jahat). Guna mencapai tujuan ini, FPI dibagi ke dalam dua divisi, masing-masing melapor atau bertanggung jawab kepada sebuah dewan penasehat pusat yang langsung melapor kepada pendiri sekaligus pimpinan FPI, Habib Rizieq Shihab (lihat halaman berwarna, plat 11). Divisi Jemaah bertanggung jawab atas amar ma'ruf (melaksanakan perbuatan baik) yang tecermin dalam clakwah dan dorongan kepada masyarakat setempat untuk mengikuti shalat berjemaah dan melaksanakan kewajiban-kewajiban dasar agama. Nahi mungkar (mencegah perbuatan jahat) adalah tugas milisi FPI, Laskar Pembela Islam. Prinsip ini telah menyediakan alasan atas sejumlah aksi vigilante (mengambil tindakan hukum menurut versi sendiri) oleh FPI terhadap bar-bar di Jakarta, klub-klub dan tempat-tempat main bilyar sejak tahun 1998.13

(5)

198 Ian Douglas Wilson "Se/ama Caranya Halal" 199

FPI berargumen bahwa umat Islam di Indonesia berada dalam serangan yang serius dari dekadensi moral, sekularisme, liberalisme dan ketidaksesonohan Barat yang dipercepat oleh reformasi demokratis. Ia menekankan bahwa meskipun membawa pada kebebasan yang lebih besar, reformasi telah terkorupsi oleh ekses-ekses ini dan disertai runtuhnya struktur moral masyarakat. Semua ini dibuktikan dengan penyebaran tak terkontrol usaha-usaha yang "menjajakan maksiat", misalnya diskotik- diskotik, bar-bar, pusat-pusat hiburan dan berbagai bidang lainnya seperti pomografi, pelacuran, dan obat-obatan terlarang. 14 Badan-badan penegak hukum milik negara, khususnya polisi,

dianggap tidak mau atau tidak mampu menegakkan peraturan hukum yang ada karena rentan jeratan korupsi dan terlibat dalam kejahatan yang terorganisir sehingga usaha menangani kemaksiatan itu dianggap menjadi kewajiban warga-warga yang saleh. Mereka juga beranggapan bahwa Islam juga telah dikhianati oleh para pembaharu liberal seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan para "penyimpang" lainnya seperti sekte Ahmadiyah dan Jaringan Islam Liberal (JIL) .15

Menurut Rizieq, Nabi Muhammad tidak pemah mendiskusikan hal-hal rinci tentang negara Islam dan hanya peduli pada penciptaan suatu masyarakat yang berdasar pada syariah (Al-Zastrouw, 2006: 114). FPI telah menafsirkan ini sebagai panggilan untuk mereformasi moralitas publik, mempromosikan syariah dan bukan secara langsung menantang keberadaan negara-bangsa. Rizieq berpendapat, "Apabila moral dan karakter tidak direformasi maka akan sia-sia membicarakan reformasi ekonomi, urusan-urusan politik, dan hukum" (Guerin, 2004). FPI telah menjadi penyeru yang vokal untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta yang isinya mewajibkan pelaksanaan syariah kepada semua Muslim, yang diatur dalam konstitusi. Partai-partai politik Islam dulu telah mengusulkan dimasukkannya Piagam Jakarta ini ke dalam versi asli UUD 1945, tetapi batal karena ada keberatan dari kalangan nasionalis Kristen

FPI (Front Pembela Islam) menyebut Ahlus Sunnah wal-famaah, bentuk lama Sunni Islam konvensional sebagai orientasi keagamaannya. Kelompok ini membedakan pemahamannya atas Ahlus Sunnah wal-famaah dari pemahaman arus utama yang diadopsi oleh Muhammadiyah dan NU sambil mengatakan bahwa tafsirannya lebih dekat kepada ajaran salafis. 16 Namun, FPI tidak seperti kelompok

salafis semacam Laskar Jihad. FPI tidak bersikap eksklusif terhadap masyarakat lokal atau membuat para anggotanya menganut aturan-aturan ketat untuk perilaku maupun cara berpakaian. Salafisme FPI sebagian besamya bersifat simbolik. Ia tidak muncul dalam praktik sehari-hari, melainkan dalam identitas Islam yang ditampilkannya kepada publik melalui aksi vigilante dan demonstrasi-demonstrasi massa. Jenis keterlibatan dengan politik macam ini bukan satu kekhasan salafisme ortodoks yang artinya dapat menggarisbawahi sifat strategisnya. FPI mencoba untuk menciptakan sendiri aura legitimasi keagamaan melalui penekanan pada identitas pemumi ini di ranah publik.

14 Wawancara dengan Habib Rizieq Shihab, Jakarta, 2005. 15 Wawancara dengan peara pengurus FPI, Jakarta, 2005.

16 Orang-orang salafi mengklaim bahwa Islam sejati telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad, sahabat- sahabatnya dan dua generasi sesudah mereka, para "pendahulu yang saleh" atau as-salaf as-saleh. Dengan demikian mereka mencoba untuk mengamalkan Islam dengan mengikuti praktik-praktik secara ketat di periode terdahulu itu.

Rizieq lahir pada tahun 1965 dari orang tua berdarah Betawi dan Yaman, memulai pendidikan agamanya di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahun Islam dan Arab) yang didanai Arab Saudi di Jakarta. Rizieq dianggap oleh para tetangga sebagai pembuat onar yang gemar berkelahi. Kemudian, dia dikirim oleh keluarganya ke King Saud University di Arab Saudi dalam rangka "meluruskannya". Di sana dia

I'

mendapat gelar di bidang hukum Islam. Rizieq pulang kampung dalam keadaan telah berubah dan bersama dengan sejumlah orang dari komunitas habib Jakarta mendirikan FPI. 17

FPI tampil ke hadapan publik pertama kalinya di masa pergolakan politik 1998 sebagai bagian dari milisi Pam Swakarsa yang pro-Habibie yang dibentuk oleh Jendral Wiranto untuk membatasi gerakan mahasiswa pro-reformasi. Setelah itu, kelompok ini terlibat dalam bentrokan berdarah dengan gangster Ambon di Ketapang yang berujung pada tewasnya 15 orang. Menurut kepala kepolisian Jakarta saat itu, Noegroho Djajoesman, polisi awalnya mendukung FPI sebagai tandingan atas keekstreman gerakan reformasi oleh mahasiswa.18 Dukungan ini

berbentuk logistik sekaligus keuangan. Nugroho menyatakan bahwa pada situasi setelah krisis 1998, pendekatan tangan besi yang dulu dipakai untuk menghadapi milisi sipil tidak mungkin lagi digunakan. Akhirnya, polisi mencari pengganti melalui usaha mencoba untuk 'mengendalikan' dan berkompromi dengan FPI dan kelompok-kelompok serupa dengan menyalurkan dana yang diperoleh sebagian besarnya dari kalangan pengusaha di Jakarta kepada para pemimpinnya. Rencana ini gagal. Di dunia politik yang baru dibuat demokratis dan terdesentralisasi kesepakatan-kesepakatan "beking" macam itu tidak lagi mengikat. Seiring berjalannya waktu, FPI semakin independen dari aparat negara yang mendanainya. Preman dalam FPI menduduki bagian khusus dan penting yang berbeda dengan organisasi sebagaimana di FBR. Divisi Jamaah terdiri terutama dari para mahasiswa, aktivis keagamaan, dan pihak lain yang tertarik dengan misi FPI untuk memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk. Kebanyakan dari mereka adalah anggota masyarakat lokal yang mengikuti salat berjemaah FPI di masjid-masjid lokal. Mereka tidak men.jalani proses inisiasi yang formal, namun tetap dihitung oleh organisasi ini sebagai anggota Divisi Jemaah. Bagian terbesar dari anggota terdiri dari preman, anak jalanan, dan pemuda pengangguran yang telah direkrut ke dalam milisi milik kelompok ini. 19

Para anggota laskar tidak menerima arahan keagamaan dan jarang menghadiri salat jemaah atau ceramah agama seperti para anggota Divisi Jemaah. Pelatihan mereka berfokus terutama pada seni bela diri dan pengembangan keterampilan-keterampilan fisik yang dibutuhkan dalam aksi-aksi razia. 20 Semasa pelatihan, FPI mengajarkan kepada

17 Habib adalah suatu komunitas dari keturunan Timur Tengah yang mengikuti garis keluarga hingga kepada Nabi Muhammad (lihat Mohammad, Perdana, dan Haryadi, 2000). Rizieq mengaku diturunkan dari Suku Quraisy di Yaman, suku yang sama dengan suku Nabi Muhammad.

18 Wawancara dengan Noegroho Djajoesman, Jakarta, 2006.

'g Rekrutmen ini sering terjadi dalam konteks aksi vigilante, yakni saat para anggota Laskar FPI meminta para preman yang melindungi target razia mereka untuk bergabung ke dalam kelompok mereka. Dalam hal ini afiliasi dengan FPI akan memberikan perlindungan pada preman lokal dari razia-razia pada masa yang akan datang.

(6)

200 Ian Douglas Wilson

anggota-anggota laskar bahwa tugas mereka adalah memerangi kejahatan dan tindakan-tindakan mereka adalah untuk Allah. Mereka juga dapat penjelasan, pimpinan FPI adalah cerminan sejati Islam. Kesetiaan dan kesalehan mewujud dalam kepatuhan tanpa tanya. Mereka yang mempertanyakan (kewenangan) para pemimpin dicap sebagai bughat, "orang yang membangkang terhadap otoritas agama" (Al-Zastrouw, 2006: 107). Seperti Fadloli, Rizieq adalah sumber agama tak terbantahkan dan otoritas duniawi. Hal ini tercipta dari asal-usul Timur Tengah-nya yang disamakan dengan kebenaran agama. Rizieq sebagai seorang orator kharismatik dan berapi-api dihormati layaknya orang suci (wali). Hal itu tampak dari penjelasan oleh seorang anggota:

Habib Rizieq benar-benar dicintai Allah. Dia tidak menggunakan uang untuk mencapai tujuan-tujuannya. Gaya hidupnya yang sederhana dan bersahaja mencerminkan sifat-sifat khas Nabi Muhammad: lentur tapi tegas, siap bangkit dan berkorban untuk kebenaran (wawancara dengan anggota milisi FPI, Jakarta, Juni 2006).

Meskipun terlihat tanpa kompromi di kampanye-kampanye jalanan untuk amar ma'ruf nahi mungkar, target-target yang dipilih FPI telah diperhitungkan sebelumnya dan benar-benar terseleksi. Menurut Alawi Usman, kepala unit investigasi FPI yang bertanggung jawab untuk menemukan tempat-tempat maksiat/ 1

kelompok tersebut mengikuti "garis-garis prosedural yang ketat" dalam mengidentifikasi target, menyelidiki laporan dari penduduk lokal. Kemudian, mengonfirmasi dan mengajukan keberatan formal kepada polisi. Kekerasan hanya digunakan sebagai jalan terakhir apabila polisi tidak bertindak. Meskipun polisi jarang menindaklanjuti keluhan-keluhan FPI, kedatangan mereka ke kantor polisi menyediakan kesempatan untuk memberi peringatan awal kepada usaha- usaha yang berada dalam daftar teratas FPI. Kemudian, mereka dapat membayar untuk perlidungan polisi, memperkuat keamanan mereka sendiri, atau memberi FPI tawaran. Bar-bar dan klub-klub malam adalah tempat tradisional bagi para preman. Hal ini membuat FPI mesti mempertimbangkan dengan serius kekuatan dan koneksi-koneksi targetnya dan juga nilai-nilai simbolik potensialnya saat merencanakan suatu serangan. Contoh, industri video porno lokal yang sangat menguntungkan tidak terkena keganasan FPI karena ada tokoh-tokoh militer berpangkat tinggi yang terlibat di dalamnya. Akibat-akibat yang lebih besar mungkin muncul jika mengganggu kepentingan bisnis militer yang berpengaruh atas perolehan material maupun simbolik apa pun juga.

Selain bar, klub dan rumah bordil, target-target kemarahan moral FPI termasuk kompetisi Miss Indonesia dan Miss Banci, kelompok musik Dewa, sinetron Meksiko, sekte-sekte Ahmadiyah dan Wahidiyah, JIL, dan gereja-gereja liar (Wilson,

kebal" yang ditawarkan oleh kelompok ini pada eksekutif-eksekutif Jakarta dan kelompok kelas menengah. Im berakhir etJka. Misbahul Anam, salah seorang pendiri FPI, meninggalkan kelompok ini pada tahun. 2003. Ketika ditanya mengenai ilmu kebal, Rizieq menyatakan bahwa itu merupakan perbuatan symk dan tJdak sesum dengan Islam (wawancara dengan Habib Rizieq Shihab Banda Aceh Januari 2005). '

21

Unit investigasi adalah divisi khusus yang terlatih dalam komite pusat FPI.

"Selama Caranya Halal" 201

2006). FPI juga telah memobilisasi unjuk rasa besar melawan intervensi Amerika di Afganistan dan Irak; mengancam akan melakukan razia-razia orang asing di Jakarta; dan merekrut "para pejuang suci" tfntuk berperang di Irak, Lebanon, dan Thailand Selatan.22

Target-target dipilih untuk memaksimalkan ekspos kelompok tersebut pada publik dan menarik perhatian kepada keberadaannya. Berdasarkan alasan inilah aksi-aksi FPI sering seolah-seolah telah diskenario terlebih dahulu. Di luar aksi-aksi ini, FPI memiliki sedikit kegiatan-kegiatan terstruktur selain ceramah-ceramah mingguan. FPI telah mampu membesar-besarkan pengaruhnya melalui penggunaan kekerasan penuh perhitungan dan kejahatan berskala kecil. FPI juga berhati-hati agar tidak melampaui batas kekerasan yang lebih ekstrem yang akan diidentifikasi sebagai aksi terorisme atau yang dapat memprovokasi pemerintah untuk membubarkannya.

Setelah pemboman Bali pada Oktober 2002, meningkatnya pemeriksaan dan kecurigaan terhadap kelompok-kelompok Islam militan membuat banyak donor- donor keuangan meninggalkan FPI. Kenyataan ini memberi beban yang lebih besar kepada para anggota untuk mencari sendiri sumber-sumber pendapatan sehingga berpotensi meningkatkan godaan menerima gaji dan suap. Misal, seorang pemilik bar yang ditarget razia FPI menyatakan bahwa sebelum serangan itu, dia telah didekati dan ditawari suatu kesepakatan yang akan membuatnya membayar sejumlah uang setiap bulannya. 23 Para pemimpin FPI telah secara serius menyikapi

tuduhan-tuduhan bahwa anggota-anggota melakukan pemerasan. Setelah Rizieq dilepaskan dari penjara pada tahun 2003, tempat dia dikurung selama tujuh bulan karena menyebarkan kebencian, kelompok tersebut memperketat kriteria keanggotaannya. FPI juga mengeluarkan beberapa ulama dan anggota bawahan yang dituduh menerima bayaran. Rizieq mengklaim bahwa FPI telah disusupi oleh preman yang bekerja untuk mereka yang menjalankan usaha-usaha perjudian dan pelacuran, bersama pihak-pihak lain yang berniat menghancurkan Islam.24

Menurut pendiri FPI dan mantan sekretaris jendralnya, Misbahul Anam, "Organisasi ini tumbuh begitu cepat dan terlalu sedikit perhatian diberikan kepada orang-orang rekrutan yang, sebelum kami mengetahui, penuh dengan orang-orang yang tidak bisa menyesuaikan diri" (wawancara, Jakarta, 2003).

4. GERAKAN ANTI PORNOGRAFI DAN ANTI PLAYBOY: SEBUAH FRONT ISLAM?

Pembentukan sebuah komisi khusus di DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi (RUU-AP) pada September 2005 memicu FPI dan FBR bergerak lagi ke bawah sorotan publik. Naskah RUU memiliki akibat-akibat yang jauh jangkauannya untuk pengaturan moralitas publik, melampaui aturan- aturan media cetak dan elektronik karena dalam definisi "pornoaksi" sangat beragam

22 Beberapa lusin pelaku jihad mendaftar, tetapi karena kekurangan dana dan gaga! mendapat paspor, tidak satu pun meninggalkan negeri ini.

(7)

202 Ian Douglas Wilson "Selama Caranya Halal" 203

tetapi ambigu. Para pengkritiknya melihatnya sebagai "syariah dalam samaran" dan serangan besar terhadap hak-hak perempuan dan kebebasan berekspresi yang mengancam akan mengkriminalkan ungkapan-ungkapan seksualitas, serta menyensor seni dan budaya (Suryakusuma dan Lindsey, 2006).

Bagi FPI dan FBR, RUU tersebut berpeluang menyediakan dasar hukum yang konkret untuk kampanye-kampanye anti maksiat merek. Mereka segera turun ke jalan sebagai para pendukungnya yang paling vokal. Kesamaan dukungan untuk RUU tersebut menjadi penyebab terbentuknya aliansi baru antm· a FBR, FPI, dan sejumlah kelompok lainnya di kalangan Islam pinggiran di Indonesia (HTI, MMI, DDII) di bawah bimbingan moral MUI dan naungan politik PKS.

Debat publik mengenai RUU tersebut memanas sampai Mei 2006. Akhirnya, debat berubah menjadi pertempuran antara kelompok-kelompok sekuler, pluralis, dan liberal berhadapan Islam konservatif yang berada di kelompok-kelompok arus utama dan radikal.2 5 Namun, di belakang berbagai unjuk rasa dan retorika itu, politik yang lebih dikenal soal mencari uang, pengaruh, dan kekuasaan sedang bermain. Bagi debat anti pornografi memudahkan penguatan hubungan strategisnya dengan MUI. Hal ini didorong oleh pertimbangan-pertimbangan keuangan dan ideologis. MUI sebagai produk dari upaya-upaya Orde Baru untuk mengooptasi Islam memiliki status setengah resmi yang memberinya akses kepada dana pemerintah. 26 MUI juga mengusahakan pendapatan sendiri dari penerbitan

sertifikat halal untuk para pembuat makanan (Sijaba, 2006). MUI dapat meminta dana sosialisasi untuk dukungannya atas RUU AP dari Departemen Agama yang sebagiannya dibagi-bagikan kepada organisasi-organisasi Islam yang mendukung agendanya. 27

Akhirnya, FPI menemukan rekannya yang sempurna yaitu MUI. MUI menyediakan sumber eksternal untuk pembenaran teologis bagi kampanye nahi mungkar-nya FPI melalui sebuah fatwa yang dibuat pada tahun 2005. Fatwa itu menghujat semua hal mulai dari liberalisme, sekularisme, dan pluralisme hingga pornografi dan kawin campur. MUI menyediakan akses dana kampanye tersebut melalui sokongan keuangannya. MUI juga mendapat untung dari aliansi tersebut. MUI dapat bergantung pada FPI untuk memberi tekanan politik atas namanya tanpa otoritas untuk menegakkan fatwa atau mendorong RUU AP sendiri. Dukungan kelompok-kelompok militan seperti FPI telah menolong MUI memapankan diri sebagai lembaga Islam independen, meski masih digaji pemerintah, mirip dengan apa yang digambarkan oleh Ahmad Suaedy sebagai "perusahaan milik negara" (Sijaba, 2006). Pada Juni 2006, MUI mendeklarasikan pembentukan Front Islam Bersatu yang terdiri dari 40 organisasi yang mengikrarkan komitmen mereka untuk "menyelaraskan" program masing-masing di bawah bimbingan MUL 28 Organisasi-

organisasi tersebut termasuk FPI, FBR, MMI, dan HTI. Hubungan yang tercipta

25 Para islamis akhirnya kalah dalam debat ini, karena RUU itu kemudian ditarik dan mendapat banyak revisi. Naskah baru RUU saat ini (2008) masih menunggu pengesahan oleh DPR

26 Untuk inforrnasi lebih lanjut mengenai Jatar belakang MUI, lihat Ichwan (2005).

27 Wawancara dengan Ahmad Suedy, Direktur Wahid Institute. Jakarta, 2006. Organisasi-organisasi ini harus membayar mahal. Ongkos demo biasanya antara Rp 15.000 hingga Rp 100.000 per orang, untuk menutup biaya bensin, makanan, minuman, banner dan plakat, serta "uang rokok". 28 Lihat "Ormas Islam Satukan Barisan", Jawa Pos, 22 Juni 2006.

beroperasi di satu tingkat yang tidak jauh berpindah dari dinamika usaha-usaha ilegal. FPI menggunakan fatwa MUI untuk membenarkan aksi-aksi vigilante menggunakan kekerasan seperti serangan a pada sekte Ahmadiyah, sementara MUI menggunakan kekerasan ini untuk membenarkan perlunya fatwanya diikuti agar memastikan "harmoni keagamaan" (Sijaba, 2006).

Contoh lain oportunisme yang mendasari dukungannya pada RUU AP adalah serangan publik FBR terhadap penyanyi dangdut populer Inul Daratista. Ia terkenal karena goyang ngebornya yang provokatif. Inul adalah anggota terkemuka dari Aliansi Bhinneka Tunggal Ika yang menantang RUU tersebut. FBR mengklaim bahwa goyangan Inul mengancam akan menghancurkan karakter moral pemuda Indonesia, meskipun FBR juga menggemari versi dangdut yang sama erotisnya. Mereka mengawasi kediaman Inul dan menutup paksa beberapa karaoke Inul. FBR juga menuntut supaya Inul dilarang tampil, dan sebagai orang Jawa, menuntutnya untuk pulang kampung. 29 Oposisi FBR terhadap Inul diberi kerangka moral, tetapi

Jatar belakang opsisi ini tidaklah begitu berbudi. Sebelum debat RUU AP, FBR telah melobi Inul untuk mempekerjakan anggota-anggotanya di cabang-cabang karaoke dangdutnya. Inul menolak tawaran tersebut. Apa yang tampak sebagai "kemarahan moral" FBR tidak banyak berhubungan dengan goyangan pinggul Inul, tetapi pada penolakannya untuk memberi pekerjaan pada anggota-anggota FBR.30 Akhirnya,

FBR menemukan kesempatan untuk membalas dendam dan menekankan kembali klaimnya pada hak-hak wilayah atas kehidupan malam Jakarta melalui debat RUU AP.31

Ketidaksesuaian yang mirip antara posisi di publik dan pembuatan kesepakatan diam-diam juga ada pada oposisi FBR dan FPI atas penerbitan majalah Playboy

edisi Indonesia pada tahun 2006. Ketika beredar berita mengenai permohonan izin penerbitan majalah Playboy yang diisukan bernilai 200 ribu dollar AS, dunia bawah tanah Jakarta ribut berebut bagian. Majalah tersebut dikepung dengan permintaan-permintaan bayaran, termasuk dari organisasi-organisasi yang kemudian menentangnya. 32 FPI memelopori kampanye melawan majalah tersebut dengan

menyerang kantomya di Jakarta, mengintimidasi para karyawannya, dan menyisir agen-agen koran setempat untuk mencari kopian dari majalah Playboy. Meskipun dengan isi yang cenderung lebih "jinak" jika dibandingkan dengan publikasi lokal seperti Lampu Merah, FPI menyatakan Playboy "lebih berbahaya bagi anak muda Indonesia daripada obat-obatan terlarang". 33 Playboy sebagai ikon p ornografi

adalah target yang tidak bisa ditolak. Hal ini menjadi contoh nyata kerusakan

29 Wawancara dengan Fadloli ei-Muhir, Jakarta, 2006.

30 Di rumah-rumah para anggota FBR, poster-poster Inul dan bintang dangdut lainnya adalah dekorasi umum, dan beberapa putri dari para anggota bekerja sebagai penyanyi dangdut di perayaan-perayaan komunitas. Besarnya popularitas Inul di kalangan FBR barangkali menjelaskan keganasan tanggapan mereka terhadap penghinaannya.

31 Di televisi nasional Fadloli melanjutkan cercaannya, menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang terlibat dalam alinasi tersebut "tidak bermoral" dan "setan". Hal ini mendorong mantan ibu negara Sinta Nuriyah mengajukan tuntutan hukum melawan Fadloli. Kasus ini pada akhimya dihentikan setelah ada intervensi dari suami Sinta, Abdurrahman Wahid. Namun demikian, Wahid adalah pengkritik FBR dan FPI yang konsisten dan seorang pendukung perubahan UU yang mengatur organisasi-organisasi sosial.

(8)

204 Ian Douglas Wilson "Selama Caranya Halal" 205

moral dalam budaya Barat sebagaimana digambarkan oleh FPI. Alawi Usman dari FPI menjelaskan:

lain, preman memainkan peran dengan manfaat khusus dalam kedua organisasi itu sebagai tentara atau otot yang diperlukan untuk kampanye-kampanye anti maksiat?

Mengapa kami menyerang Playboy dan tidak melakukan hal yang sama pada

publikasi lainnya seperti For Him Magazine dan Lampu Merah? Karena mereka

mau berkompromi dan mau ber-low profil. Tetapi, Playboy bersikap arogan. Sebagai suatu ikon Amerika majalah ini mengira dapat mengganggu Indonesia dan menyebarkan kecabulannya dengan beba s tanpa akibat-akibat (wawancara, Jakarta, 2006) .

FPI menjamin tidak akan mendiamkan begitu saja Playboy berdasarkan tingginya profil Playboy, serta simbolisme politik dan penolakannya untuk memberi konsesi-konsesi untuk FBR. KemudianFBR juga bergabung dalam unjuk rasa menuntut pelarangan majalah itu dalam gaya preman asli. Di belakang layar, FBR

dapat mengambil untung dari protes ini. Beberapa anggota Ambonnya dikontrak

oleh majalah tersebut sebagai keamanan privat yang menggunakan koneksi -

koneksi mereka untuk menolong karyawan menyingkir dari FPI dan MMI di Jakarta sebelum majalah tersebut memindahkan kantornya ke Bali. Kontradiksi yang tampak antara sikap FBR kepada Inul dan sikapnya terhadap Playboy dapat

dengan mudah didamaikan dengan "pandangan dunia preman". Anggota senior

FBR menjelaskan:

Sikap apa saja terhadap suatu isu diperbolehkan selama ia membawa keuntungan

bagi imggota -anggota kami dan organisasi secara keseluruhan. Dalam hal ini, kami

telah dan akan terus konsisten (wawancara, Jakarta, 2006)

Pada akhirnya, sikap-sikap politik dan moral organisasi ditentukan oleh

pertimbangan-pe rtimbangan strategis mengenai pilihan mana yang akan membawa

basil paling b sar.

5. TAUBAT PREMAN

Motivasi preman bergabung dan direkrut ke dalam organisasi-organisasi seperti FPI dan FBR tidak bisa direduksi seluruhnya kepada hasrat sinis untuk basil material.

Di dalam setiap kelompok ini ada sejumlah orang yang teridentifikasi idealis dan

aktivis yang termotivasi ideologi. Sebagian dari mereka terlibat organisasi-organisasi ini adalah untuk mencari pengalaman yang akan membawa perubahan. FPI dan FBR

menolak tuduhan umum sebagai "organisasi-organisasi preman ", tetapi secara terbuka

menyatakan telah merekrut preman sebagai anggota dan menganggap ini sebagai kebajikan. Preman dianggap "jiwa yang tersesat" yang diacuhkan oleh pemerintah dan

organisasi-organisasi Islam lainnya. Padahal, mereka membutuhkan bimbingan, arahan

agama, dan kesempatan untuk mereformasi diri. Apabila orang-orang rekrutan ini melanggar hukum, norma sosial, atau anjuran- anjuran agama, maka dapat dijelaskan sebagai oknum yang gagal atau belum selesai menjalani proses perubahan. Organisasinya sendiri tetap bersih. Di sisi

mereka.

Bagi mereka yang mencari penghidupan melalui kekerasan, pemerasan, dan kejahatan kecil, maka agama memang berpotensi mendorong pertaubatan dan menyediakan suatu kerangka yang mendamaikan kontradiksi-kontradiksi internal. Anggota-anggota Laskar FPI seringkali menjelaskan bahwa bergabung ke dalam kelompok ini sebagai pengalaman transformatif. Seperti cerita seorang anggota:

Saya pertama kali bergabung dengan FPI sebagai jalan untuk mencari inspirasi, khususnya saat saya tidak punya pekerjaan dan hingga saat saya bergabung hid up

saya tidak jelas arahnya. Saya hanya tam atan SD. Rea listis saja, tidak banyak yang dapat saya lakukan.·Sekarang, saya tahu bahwa saya seorang peju ang Islam, dan

saya merasa seperti memiliki semacam tujuan dan arah. Daripada berkelahi karena

hal-hal remeh, sekarang saya berjuang untuk Islam (wawancara, Jakarta, 2005).

Seseorang yang lain menggambarkan "kebangkitan " yang serupa:

Waktu masih jadi preman dulu,jauh di lubuk hati saya mencari cara positif

untuk menyalurkan daya juang saya. Inilah yang saya temukan dalam FPI. Dulu

saya minum (alkohol), main judi dan sederhananya jadi sebuah "ancaman".

Sampai satu hari saya berhadapan dengan anggota-anggota FPI, yang mengatakan

pada saya untuk berhenti melakukan perbuatan-perbuatan dosa. Awalnya saya

melawan. Saya pikir, memangnya mereka pikir mereka itu siapa? Tetapi ketika

FPI menghadapi kami, kamu bisa merasakan bahwa kekuatan mereka berasal

dari iman kepada Allah ... Saya tersentuh. Saya tak menunggu lama sampai saya mengikuti kata hati, dan bergabung dehgan mereka (wawancara, Jakarta, 2005).

Taubat dalam hal ini tidak berarti berhenti berbuat kekerasan, tetapi mengubah arahnya untuk tujuan yang seolah-olah religius. Laskar FPI dan preman FBR tetap mengambil untung dari obat-obatan, pelacuran, dan pornografi. Posisi mereka menjadi lawan publik mereka, bukannya sebagai pelindung.

FPI menanggapi tuduhan-tuduhan yang menyebutkan FBR memeras dan premanisme dengan mengeluarkan anggota dan menyalahkan para penyusup, tetapi FBR telah mencoba ·merasionalkan praktik tersebut. Anggota-anggota FBR mengklaim hak-hak etis dan hukum untuk menarik "pajak" sebab mereka mengaku sebagai perwakilan penduduk asli Jakarta. Apabila dalam rangka memerangi maksiat, para anggota meminta atau menerima bayaran, maka itu alami saja dan merupakan bayaran yang sah untuk layanan sosial berharga yang mereka sediakan. Anggota FBR, dalam bahasa Fadloli, "bebas untuk meningkatkan kesejahteraan melalui cara apa saja yang diperlukan, selama cara itu halal". Dalam konteks ini, cara yang halal didefinisikan tidak dengan rujukan khusus kepada Al-Qur'an, Hadis,

(9)

206 Ian Douglas Wilson

6. KESIMPULAN

Vigilantisme sebagai tindakan mengambil hukum ke tangan sendiri, seperti dalam penjelasan Abrahams (1998), berada di "perbatasan legitimasi" negara karena menggunakan rasa kedaulatan populer dalam rangka menciptakan suatu order yang paralel. Pembentukan kelompok vigilante yang struktur organisasinya besar juga mengharuskan pendapatan yang reguler. Hal ini menciptakan momentum bagi gerakan-gerakan anti maksiat untuk bergerak lebih dekat ke pemerasan karena preman adalah pelindung sekaligus penghisap.34

FPI, FBR, dan "preman Islam" pada umumnya mempraktikkan apa yang saya sebut sebagai pemerasan moralitas. Pemerasan moralitas menyelewengkan sentimen- sentimen altruistik dan ideal-ideal yang dapat ditemukan baik dalam wacana Islam arus utama maupun pinggiran dan mengambil keuntungan dari adanya celah- celah dalam kekuasaan negara untuk memperoleh konsesi ekonomi dan politik. Akhimya, FPI dan FBR telah menjadi oportunis dengan strategi memperjuangkan gagasan hukum Islam dan kebajikan demi manfaat politik dan ekonomi. Preman Islam menciptakan ancaman, dalam hal ini krisis moral, di mana mereka berada dalam posisi strategis untuk mengatasinya. Pola ini seperti menjalankan usaha perlindungan klasik. Gangster Islam jenis baru ini mencoba untuk mendapatkan landasan moral yang tinggi yang menempatkan mereka sebagai barisan terdepan yang berbudi luhur dengan menghindari kebanyakan komoditas tradisional preman, seperi pelacuran, perjudian, dan obat-obatan. Bagi preman di jalanan, militansi simbolik ini menyediakan samaran dan legitimasi untuk melanjutkan perilaku memangsa korban- korban tak berdaya. Artinya, kebajikan dan kepentingan sendiri dalam praktiknya saling bertautan melalui cara-cara yang membiarkan para anggota untuk dengan mudah mendamaikan strategi-strategi mencari nafkah yang melanggar hukum.

Dalam FBR, Islam beroperasi sebagai tambahan untuk rasa identitas yang terdefinisikan melalui kewilayahan. Pendirian anti maksiatnya dan perjuangannya untuk RUU AP telah menyediakan suatu cara melebarkan kendalinya atas wilayah kekuasaan baru. FPI memiliki sejumlah aktivis inti yang lebih berkomitmen dan yang terinspirasi oleh ideologi. Namun, struktur organisasi yang longgar dan fokus pada aksi-aksi vigilante yang menggunakan kekerasan telah menyediakan tempat yang aman bagi para preman yang lemah komitmennya pada tujuan-tujuan organisasi. Pada saat yang sama, kedua kelompok telah menyampaikan gagasan populis militansi Islam yang telah mendapat tempat di hati banyak pemuda yang terampas haknya. Keduanya menawarkan ciri-ciri simbolis radikalisme tanpa harus menjalani studi yang panjang, asketisme atau komitmen jangka panjang. Bagi para pemimpin kedua kelompok, kemampuan untuk memobilisasi mas sa militan telah mengangkat posisi tawar mereka di hadapan para elite politik dalam situasi politik pasca-Orde Baru yang dinamis dan tak stabil. Semasa Orde Baru, preman yang terorganisir bekerja sebagai "nasionalis loyal yang siap disewa" (Ryter, 2005). Kumpulan preman Islam saat ini juga tersedia untuk disewa dan dimobilisasi guna membela komunitas lain yang dibayangkan dan diperebutkan umat Islam.

34 Pertimbangkan, misalnya, evolusi kelompok vigilante Muslim Pagad di wilayah Cape Flats Afrika

Selatan (Nina, 2000). '

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dipertegas oleh Veithzal Rivai ( 2004:227 ) “Pelatihan adalah proses secara sistematis mengubah tingkah laku karyawan untuk mencapai tujuan

Jadi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme auditor internal dalam hal pelaksanaan kegiatan pada tiga perusahaan BUMN di bidang industri kota Bandung sudah dilaksanakan

Mulyasa (2013: 154) menyatakan bahwa RPP merupakan perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan dan meproyeksikan tentang apa yang akan dilakukan guru dalam

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan selama periode Juli hingga Desember 2014, jumlah kematian pasien Ruang Perawatan Intensif berdasarkan kriteria

Berdasarkan pembahasan pada latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan Tri Hita Karana (THK)

minyak sawit (palm oil) dengan menggunakan katalis sodium hidroksida dan sodium methoksida menghasilkan tetapan kinetik yang tinggi dalam pembentukan metil ester dengan konversi

BDMS berasal dari limpasan air hujan yang bercampur dengan tanah overburden (penutup) sehingga menjadi lumpur yang bersifat koloid dan susah mengendap.. Sludge atau

The first thing you need to do when it comes to HIPAA compliance regarding tech is ensure that you have full device encryption.. Essentially, encryption consists of