• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sengkarut Nelayan dan Hak Perikanan Trad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sengkarut Nelayan dan Hak Perikanan Trad"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SENGKARUT NELAYAN DAN HAK

PERIKANAN TRADISIONAL MEREKA

DALAM NEGARA KEPULAUAN

Makalah ini ditulis untuk melengkapi tugas kuliah

H u k u m L a u t I n t e r n a s i o n a l

oleh

AHMAD PORWO EDI ATMAJA

(B2A008007/Reguler I/Kelas C)

F A K U L T A S H U K U M

U N I V E R S I T A S D I P O N E G O R O

(2)

2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN 3

1.1. Latar Belakang dan Permasalahan 3

BAB II PEMBAHASAN 4

2.1. Nelayan dan Hak Perikanan Tradisional 4

2.2. Globalisasi dan Masalah Nelayan Kita 7

BAB III PENUTUP 9

(3)

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang dan Permasalahan

Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang mencakup 17.508

pulau (citra satelit terakhir menunjukkan 18.108 pulau). 6.000 buah di antaranya

berpenduduk. Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan

dari 94°45' BT hingga 141°05' BT, terletak di posisi geografis sangat strategis, karena

menjadi penghubung dua samudera dan dua benua: Samudera Hindia dengan

Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia.

Luas total wilayah Indonesia yang 7,9 juta km2 terdiri dari 1,8 juta km2 daratan, 3,2 juta km2 laut teritorial dan 2,9 juta km2 perairan ZEE. Wilayah perairan 6,1 juta km2 tersebut adalah 77% dari seluruh luas Indonesia. Dengan kata lain, luas laut Indonesia

adalah tiga kali luas daratannya. Indonesia adalah negara berpenduduk terbanyak keempat (234.893.453 orang—estimasi Juli 2003). Nyaris seluruhnya (95,9%) berdiam di kawasan yang berada dalam jarak 100 km dari garis pantai. Pantai Indonesia yang

terentang sepanjang 95.180.8 km adalah terpanjang kelima di dunia (setelah Kanada,

Amerika Serikat, dan Rusia).1

Semua fakta geografis yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan

dan negara pantai nan akbar itu, menempatkannya juga sebagai negara dengan

populasi nelayan yang patut diperhitungkan. Indonesia amat nyata memiliki persoalan

dengan rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan, yang populasinya sangat besar itu.

Kebanyakan nelayan Indonesia sebagian besar, bahkan nyaris seluruhnya, masih

berada di bawah garis kemiskinan. Suatu yang khas dari nelayan Indonesia ialah segi

(4)

4

tradisionalitasnya. Dalam menjalankan profesinya, nelayan-nelayan itu masih

mempergunakan alat tradisional dengan pengetahuan yang tradisional pula. Tak

heran, nelayan-nelayan kita amat rentan terhadap risiko kematian saat di lautan,

minimnya jumlah tangkapan, dan kalah telak dalam persaingan dengan

nelayan-nelayan asing yang lebih maju, memakai pengetahuan dan peralatan modern.

Padahal, seperti ditulis Sadina dalam sebuah artikel di harian Sinar Harapan, nelayan adalah “suatu komunitas yang harus ada di dalam negara kepulauan”. Sehingga, “tanpa nelayan, negara kepulauan akan kehilangan hak tradisional yang diamanatkan UNCLOS 1982”. Karena, “dengan keberadaan nelayan, negara kepulauan dapat mengklaim hak tradisionalnya terhadap negara tetangganya apabila perlu untuk mendapatkan hak tradisional melintasi wilayah laut yurisdiksi negara tetangga”.2 Dengan demikian, menjadi penting dan berjalin-kelindan hubungan atau pengaruh

nelayan terhadap negara kepulauan.

Pertanyaan yang muncul kemudian menjadi melebar: upaya-upaya apa saja yang mesti dilakukan untuk mengatasi persoalan nelayan dalam negara kepulauan—

khususnya nelayan-nelayan yang mencari nafkah di perbatasan? Jawaban atas

pertanyaan ini akan menyeret kita pada fakta bahwa telah terjadi beberapa tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara tetangga di wilayah perairan perbatasan

terhadap nelayan-nelayan Indonesia.

Sedangkan kita tahu, Indonesia sendiri telah melakukan beragam perjanjian

dan menghasilkan kesepakatan dengan negara-negara tetangga, yang mana

kesepakatan tersebut wajib ditaati oleh para pihak, termasuk nelayan-nelayan. Maka,

kita harus mengkaji juga masalah perbatasan negara, juga perihal globalisasi. Sehingga

cakupan bahasan kita mengenai implementasi Pasal 25A UUD 1945 menjadi memfokus

pada nelayan dan hak perikanan tradisional mereka.

(5)

5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.

Nelayan dan Hak Perikanan Tradisional

Adalah menarik menyimak pernyataan Sadina tersebut, terkait hubungan yang erat

antara nelayan, hak perikanan tradisional, dan eksistensi sebuah negara kepulauan.

Untuk itulah dirasa perlu untuk memberi penjelasan sekadarnya terhadap tiga lema

tersebut.

Aturan mengenai hak perikanan tradisional dalam UNCLOS 1982 sangat sedikit, tertuang dalam satu pasal, yaitu Pasal 51 yang isinya: “Tanpa mengurangi arti pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan

harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga

yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan

kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian,

termasuk sifatnya, ruang lingkup, dan daerah di mana hak dan kegiatan demikian

berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan

perjanjian bilateral antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya”.3

Berdasarkan Pasal 46 UNCLOS 1982, negara kepulauan merupakan suatu negara

yang seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau

lainnya. Sedangkan kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau,

perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu dengan

lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya

(6)

6

itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik, atau yang secara historis

dianggap sebagai demikian.4

Menyimak Pasal 51 UNCLOS 1982, hak perikanan tradisional tidak diperoleh

secara otomatis. Hak itu dapat diperoleh oleh suatu negara dengan berbagai syarat dan

ketentuan teknis yang diatur dalam perjanjian bilateral kedua negara sebagaimana

yang diamanatkan UNCLOS 1982, seperti sumber daya ikan apa yang boleh ditangkap,

dengan alat tangkap apa, di mana kegiatan penangkapan (fishing ground) harus

dilakukan, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, hak perikanan tradisional tidak serta-merta melekat menjadi

hak setiap nelayan di suatu negara kepulauan. Ini mengingat ada syarat dan perjanjian

bilateral yang menjadi alat legitimasi.

Terkait dengan ini, kita mesti mengingat pernyataan Prof Hasjim Djalalbahwa

traditional fishing rights (hak perikanan tradisional) harus dibedakan dengan

traditional rights to fish (hak menangkap ikan). Hal ini dikarenakan, traditional rights

to fish diartikan bahwa setiap negara secara tradisional atau hukum berhak

menangkap ikan di laut bebas, tanpa memerhatikan apakah mereka memang pernah

atau tidak melaksanakan hak itu. Traditional fishing rights diartikan bahwa hak

menangkap ikan tersebut timbul justru karena di dalam praktik, mereka telah

melakukan penangkapan-penangkapan ikan di perairan-perairan tertentu. Dengan

kata lain, hak perikanan tradisional muncul karena suatu masyarakat nelayan telah

melakukan kegiatannya secara turun-temurun dan berlangsung lama.

Oleh karena itu, Prof Hasjim Djalal menegaskan bahwa untuk dapat dianggap

termasuk kategori traditional fishing rights, haruslah diperhatikan beberapa ketentuan,

yaitu: (1) nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan

di suatu perairan tertentu; (2) nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat

tertentu secara tradisional; (3) hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis

ikan tertentu; dan (4) mereka yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah

nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut.

4 Prof Dr L. Tri Setyawanta, Pokok-pokok Hukum Laut Internasional, Pusat Studi Hukum Laut:

(7)

7

Dengan demikian, untuk dapat dikategorikan sebagai hak perikanan tradisional

haruslah memenuhi empat kriteria, yaitu nelayannya, daerah yang mereka kunjungi,

kapal atau alat tangkap yang mereka gunakan, dan jenis ikan yang ditangkap.5

2.2.

Globalisasi dan Masalah Nelayan Kita

Penangkapan yang juga kerap disertai penembakan oleh aparat Australia, juga oleh

aparat Papua Nugini dan Malaysia, terhadap nelayan Indonesia yang “mempergunakan” hak perikanan tradisional mereka—kendati sering dianggap sebagai pelanggaran oleh negara-negara tersebut—agaknya perlu mendapat perhatian serius

dari Pemerintah. Ada baiknya kita melihatnya sebagai dampak dari globalisasi.

Istilah globalisasi dalam konsep kultural mulai diperkenalkan pada tahun 1960-an oleh Marshall McLuh1960-an melalui istilah “global village”. Hasil observasinya menunjukkan bahwa perkembangan teknologi komunikasi berdampak pada

kehidupan sosial-budaya masyarakat pedesaan. Teknologi komunikasi mampu

mempersingkat waktu dan memperpendek jarak interaksi penduduk dalam melakukan

aktivitas ekonomi, sosial-budaya, politik pada tataran global.

Dalam globalisasi lantas muncul istilah internasionalisasi. Fenomena

perkembangan kehidupan ekonomi yang didasarkan pada prinsip ekspansi modal

(kapitalisasi) menurut teori imperalisme Lenin, membentuk jaringan multinasional

seperti yang terjadi saat ini. Meluasnya jaringan multinasional tersebut berkembang

menerobos batas antarnegara lebih menunjukkan pola perkembangan aktivitas

ekonomi.6 Pola perkembangan ekonomi tersebut lambat-laun akan berdampak pada ekspansi asing atas kegiatan tradisional, khususnya nelayan. Dalam tahap yang kritis, negara turut “bermain” dalam ranah ini, sehingga mau tidak mau sengkarut nelayan

yang terjadi berkembang menjadi sengkarut antarnegara.

5

Akhmad Solihin, loc. cit.

6

(8)

8

Meski tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara tetangga terhadap

nelayan Indonesia adalah sama, pada nelayan-nelayan yang daerahnya berbatasan

langsung dengan negara tetangga, namun ternyata kasus ini memiliki perbedaan.

Pada nelayan yang berbatasan dengan Malaysia dan Papua Nugini, Pemerintah

RI tidak mempunyai perjanjian sebagai alat legitimasi dalam memperoleh hak

perikanan tradisional. Kasus pada nelayan yang berbatasan dengan Australia,

Pemerintah RI punya kesepakatan.

Perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia untuk menuntaskan masalah

ini telah dilakukan tiga kali, yaitu: pada tahun 1974, 1981, dan 1989. Nelayan-nelayan

tradisional Indonesia yang sering berkunjung ke wilayah perairan Australia, khususnya

Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah berasal dari Pulau Rote, Flores, Buton, Sabu, Timor,

Alor, Sulawesi, dan Maluku.7

Untuk itulah, seyogianya perlu segera dibikin perjanjian bilateral antara

Pemerintah dengan Malaysia dan Papua Nugini. Karena dengan perjanjian itu,

diharapkan sengkarut dan persoalan nelayan kita menemukan alat legitimasinya.

Dengan demikian, Pemerintah dapat dikatakan telah menunaikan kewajiban

minimalnya kepada warga negaranya, para nelayan.

(9)

9

BAB III

PENUTUP

Meski perjanjian garis batas dengan negara tetangga telah disepakati, kasus-kasus

kekerasan terhadap nelayan Indonesia oleh aparat negara tetangga di wilayah perairan

perbatasan selalu bisa terjadi, selama aparat pemerintah Indonesia kurang

memberikan perlindungan keamanan. Ini terutama disebabkan oleh lemahnya armada

pertahanan dan keamanan Indonesia (baca: TNI AL).

Hal lain yang patut dicermati dalam perlindungan nelayan adalah keberpihakan

terhadap nelayan kecil dan tradisional. Nelayan kecil senantiasa menjadi pihak yang

dikalahkan dalam setiap konflik dengan nelayan skala besar atau modern dan di sektor-sektor lain—sebagai dampak dari globalisasi dan internasionalisasi.

Secara sepintas, dalam UU nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan terlihat

bahwa ada keberpihakan pemerintah terhadap nelayan kecil, seperti pemberdayaan.

Namun ternyata bila dikaji secara lebih detail dan mendalam, undang-undang tersebut

masih belum memperlihatkan pelindungan terhadap nelayan kecil dan tradisional. UU

nomor 31 tahun 2004 tidak memberikan kesempatan lebih kepada nelayan kecil dan

tradisional, baik dalam menghadapi persoalan terbatasnya akses pemanfaatan

sumberdaya ikan, menghadapi persaingan dengan dengan pengusaha perikanan,

mengatasi irama musim yang tidak menentu, serta mengatasi kesulitan pemasaran

karena kualitas ikan tangkapan yang cepat sekali busuk (perishable) .

Dengan demikian, sudah selayaknya perlindungan terhadap nasib nelayan,

khususnya nelayan kecil dan tradisional senantiasa menjadi agenda utama dalam

(10)

10

BACAAN ACUAN

Hermantyo, Djoko. “Dampak Globalisasi di Negara Kepulauan Tropika”, sebuah makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional: Pertemuan Ilmiah Tahunan dan

Kongres Ikatan Geograf Indonesia (IGI) di Universitas Indonesia, 14-15 September 2006.

Kadin-Batam, “Ekonomi Lintas Batas”, Batam, tanpa tahun, tanpa penerbit.

Sadina, “Nelayan Jadi Korban dalam Klaim Perbatasan” dalam Sinar Harapan, 18 Oktober 2006.

Setyawanta, Prof Dr L. Tri. 2005. Pokok-pokok Hukum Laut Internasional. Semarang:

Pusat Studi Hukum Laut.

Solihin, Akhmad. “Nelayan, Hak Tradisional, dan Negara Kepulauan”, sebuah artikel

Referensi

Dokumen terkait

yang secara sistematis dapat dimengerti mengapa dan bagaimana seseorang dapat bekerja untuk mampu menyelesaikan tugasnya dan mampu pula untuk menciptakan sebuah sistem kerja sama

bambu sampai saat semakin berkurang ini sudah tidak menjadi pekerjaan utama bagi masyarakat. Lambat laun produksi kipas hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan

Pengetahuan pada tiap atribut dari jenis-jenis ikan hias tersebut akan mempermudah peternak untuk merencanakan produksi ikan yang sesuai dengan keinginan pasar, sehingga

[r]

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini digunakan untuk mengamati hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis peserta

Bank )ndonesia diatur dalam Bab V))) UUD 9 yang berjudul (al Keuangan yang terdiri atas lima pasal. Bank )ndonesia tidak secara jelas disebutkan (tersirat bukan

Dari pengamatan terhadap kinerja mesin yang telah dirancang, kerja mesin dalam melakukan proses produksi lebih optimal karena mesin tersebut dapat mengurangi kelelahan pekerja,

Berdasarkan kegiatan pengabdian yang telah dilakukan maka simpulan yang diperoleh bahwa dengan mempelajari jarimatika dan sempoa dapat membantu siswa dalam berhitung