• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan salah satu tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam siklus kehidupan manusia. Masa remaja juga merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Remaja akan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui sebagai persiapan memasuki tugas perkembangan tahap berikutnya (Hurlock, 1999). Dalam masa peralihan ini terjadi perubahan-perubahan yang sangat berarti dalam perkembangan manusia dimana karena adanya perubahan tersebut, tentu saja akan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh remaja, baik secara fisik, psikis maupun sosial (Thornburg, 1982).

(2)

sosial, penampilan fisik yang menarik merupakan potensi yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai hasil yang menyenangkan.

Menurut American Academy of Pediatrics (1993), kondisi kesehatan kronis merupakan suatu penyakit atau cacat yang diderita dalam waktu lama dan memerlukan perhatian dalam bidang kesehatan dan perawatan khusus dibandingkan dengan anak normal seusianya, baik dalam perawatan di rumah sakit, maupun perawatan kesehatan di rumah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit yang bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan (Belsky, 1990). Banyak orang dengan penyakit kronis merasa sadar diri tentang masalah kesehatan mereka, bahkan adanya stigma yang ingin mereka sembunyikan dari orang lain (Scambler dalam Sarafino, 2011). Jadi, penyakit kronis dapat menghambat tumbuh kembang remaja karena hampir seluruh hidupnya dalam kondisi terkena penyakit, meskipun beberapa penderita penyakit kronis tetap bisa menjalankan hidupnya seperti orang normal biasanya.

(3)

102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusomo, 2007). Survei Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 provinsi. Data dari Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis (Mangunkusomo, 2007).

Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis. Sinusitis dikatakan kronis ketika penyakit tersebut berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai dengan terjadi perubahan histologis mukosa sinus yang irrevisible (Hilger, 1997). Sejalan dengan pernyataan salah satu subjek, yang dalam hal ini salah satu remaja penderita sinusitis ini telah mengalami sinusitis saat berumur 5 tahun dan sampai sekarang umur 15 tahun.

“ ... pas itu udah beberapa kali ngikuti cara penyembuhan kayak scanning, penyedotan di hidung, tapi gak sembuh juga tapi penyakit sinusitisnya makin parah ..”

( Komunikasi personal, 28 oktober 2013)

(4)

Iskandar, Nurbaiti; Bashiruddin, Jenny; Dwi, Ratna, 2007). Gejala terparah yang sekarang ini dirasakan penderita berupa penghidu, yaitu hilangnya indra penciuman dimana pasien tidak bisa mencium bau yang bisa dicium orang normal.

“ .... gak enak lah, sekarang udah gak bisa lagi cium bau-bau atau wewangian yang ada, termasuk bau dari hidung saya sendiri ...”

(komunikasi personal, 29 juni 2013)

Hilangnya penciuman (penghidu) merupakan salah satu gejala atau keluhan yang sering dirasakan penderita sinusitis kronis. Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah tulang ethmoid (Ballenger, 1997). Gejala lain yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis ini berupa sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada. Secret mukopurulen merupakan cairan yang bersifat kental berwarna kehijauan yang terkadang seperti nanah (Sobol, 2011). Sekret mukoprulen yang berbau busuk sering dirasakan oleh individu yang berada disekitar penderita. Hal tersebut diungkapkan responden pada saaat wawancara.

“ .... selalu orang bilang, “hidungmu bau kali, bau kali atau ada yang bilang mulutmu bau, mungkin karena bau dari hidungnya, jadi difikir temen mulut yang bau ..

(komunikasi personal, 29 juni 2013)

“..malu kak, kalau ada teman yang bilang hidung saya bau. Jadi, kalau sama temen deket kira-kira ngerasa bau, yah sadar aja, kasi jarak sama kawan. Tapi kalau sama kawan dekat pasti, mereka udah ngerti, jadi kalau bau kali, mereka yang kasi jarak …. “

(5)

Keluhan sinusitis kronis terkadang tidak begitu khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 gejala tersebut yang timbul (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007). Masalah kesehatan kronis seperti ini biasanya mengharuskan pasien dan keluarganya membuat penyesuaian perilaku, sosial dan emosional. Belajar dari penyakit kronis yang serius dengan cepat mengubah cara mereka melihat diri mereka dan kehidupan mereka (Sarafino, 2011).

Pollin (1984) menyatakan bahwa individu akan menghadapi penyesuaian penting selama tiga kali, yaitu ketika kondisi kronis tersebut di diagnosa, ketika penyakitnya semakin memburuk dan pada titik dimana situasi tersebut harus diatasi oleh orang medis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan subjek dimana saat pertama kali didiagnosa terkena penyakit sinusitis saat umur 5 tahun rasanya tidak percaya :

eee.. perasaannya ya campur aduk, antara percaya dan tidak. Tapi dengan seperti itu saya jadi berkemauan untuk sembuh dengan cara apapun asalkan saya sembuh ...”

(Komunikasi Personal, 27 juni 2013 ).

Hurlock (1999) menerangkan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan keluarga. Penyesuaian sosial itu sendiri merupakan kemampuan remaja dalam menyesuaikan dirinya pada lingkungan sekitarnya, sehingga tercapai hidup yang selaras dan harmonis.

(6)

tampak mengasingkan diri dari pergaulan sosial. Schneider (1964) menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mampu membangun relasi dengan orang lain dan lebih menutup diri dari relasi sosial akan menghasilkan penyesuaian sosial yang buruk. Individu yang tidak berhasil atau gagal dalam melakukan penyesuaian sosial dan tidak mampu mengatasi konflik yang dihadapinya atau tidak menemukan cara-cara yang tepat untuk mengatasi masalah atau tuntutan dari lingkungan, sehingga hal tersebut menimbulkan rasa frustrasi pada dirinya. Penyesuaian sosial yang tidak berhasil terjadi karena kondisi tertekan yang dialami individu yang mengakibatkan ia bertindak tidak rasional dan tidak efektif, serta mendorong individu melakukan usaha yang tidak realistis untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Schneider, 1964).

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya. Penyesuaian sosial juga disebut sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian sosial tersebut meliputi penyesuaian di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, kondisi lingkungan, serta budaya dan agama.

(7)

masyarakat, seperti hukum, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, dan mampu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial. Penyesuaian sosial seorang individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah kondisi fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti, kondisi kesehatan ( Schneider, 1964).

Remaja dalam kondisi kesehatan dengan penyakit kronis akan berbeda dengan remaja pada umumnya. Mereka hidup dengan penyakit hampir di sepanjang kehidupannya. Meskipun remaja yang memiliki penyakit kronis terkadang memiliki kemampuan sosial yang baik, mereka cenderung mengambil bagian kecil dalam aktivitas di luar rumah (Sawyer, Couper, Martin, & Kennedy, 2003). Menghadapi penyakit kronis yang mungkin diidap selama bertahun-tahun, pasien dan keluarga perlu melakukan penyesuaian sosial dan emosional yang baik (Sarafino, 2011). Menurut Pollock, Christian & Sands dalam Sarafino, (2011), orang-orang yang mengatasi masalah kesehatan kronisnya dengan baik memiliki kepribadian yang kuat atau tangguh yang memungkinkan mereka untuk melihat sisi baik atau menemukan arti dalam situasi yang sulit.

Menurut Schneider (1964) dengan adanya hubungan yang sehat antar anggota keluarga ditambah lagi dengan kepribadian yang tangguh dapat memberikan semangat untuk tetap menjalani hidup meskipun dengan penyakit sinusitis kronis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari salah satu subjek :

“ ... keluarga terutama orang tua tuh selalu cari obat supaya cepat sehat, paling gak, gak ada bau dan tidak pening kepala sama penciuman ada lagi”

(8)

“ …kadang-kadang kalo pas pening kepala, mama perhatian, karena kan sampe sakitt kali .. ee kalo ingus besarnya mau keluar sampe capek di kamar madi tunduk-tunduk. Mama lah sama kakak paling yang baek, haha pagi-pagi masak air hangat untuk di hirup, kalo pas ada duit kakak belii obat yang untuk diteteskan ke air minum, gitulah “

(Komunikasi personal, 28 oktober 2013)

Penyesuaian sosial yang baik, bisa didapatkan di keluarga dengan tidak adanya penolakan dari orang tua terhadap remaja yang menderita sinusitis kronis (Schneider, 1964). Adanya kemauan untuk saling membantu antar anggota keluarga dalam proses penyesuaian sosial remaja membuat remaja dapat melakukan penyesuaian sosial dilingkungan keluarga dengan lebih baik. Sumber utama dukungan sosial bagi kebanyakan orang yang sakit biasanya berasal dari keluarga mereka (Berg & Upchurch; Miller & Cafasso; dalam Sarafino, 2011). Namun, dukungan informasi dan emosional dari teman-teman dan tetangga, dapat membantu orang dengan masalah medis tertentu (Sarafino, 2011).

Perhatian dan penerimaan diri dari teman sebaya maupun guru di lingkungan sekolah dan berpartisipasi pada aktivitas di sekolah serta menjalin hubungan baik dengan komponen sekolah dapat membantu remaja dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah. Penyesuaian sosial di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolah sehingga siswa mampu berinteraksi secara wajar dan interaksi yang terjalin dapat memberikan kepuasan bagi diri dari lingkungannya (Schneider, 1964).

(9)

penyesuaian sosial antara laki-laki dan perempuan yaitu penyesuaian sosial remaja perempuan lebih tinggi dari pada remaja laki-laki. Dari perbedaan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor internal remaja itu sendiri seperti kematangan fisik dan kemampuan sosio empatis, sedangkan faktor eksternal adalah bagaimana lingkungan dan budaya memberikan fasilitas yang positif terhadap perkembangan sosial remaja itu sendiri.

“. . . saya sih ngerasa, saya punyalah kemampuan bersosialisasi yang baik, namanya juga cewek kan (tertawa), kalau respon dari lingkungan sama tingkah laku kita postif, pasti penyesuaian sosial pun gak susah, semuanya kan tergantung gimana orangnya dan kek mana dia nanggapi situasi .”

( Komunikasi personal, 28 oktober 2013 )

Penyesuaian sosial akan dikatakan baik juga apabila individu tersebut mampu menciptakan relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, serta menghargai nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat. Ketika individu ini tidak memiliki ketertarikan untuk berpartisipasi dengan aktivitas dilingkungannya serta tidak mampu untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, penyesuaian sosial individu tersebut dapat dikatakan buruk (Schneider, 1964).

“… karena sakit sinusitis ini dan karena sekolah juga full jadi jarang main sama tetangga, soalnya kalau panas kan bau hidungnya, pening juga kak, lagian di rumah gak tau juga mau ikut kegiatan apa, gak minat (Komunikasi personal 28 oktober 2013)

(10)

lingkungan masyarakat juga membantu seseorang dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat (Schneider, 1964).

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, perkembangan yang terjadi pada remaja meliputi aspek fisik, kognitif dan sosial. Kondisi fisik seperti kesehatan yang kurang baik seperti dalam penelitian ini, yaitu penyakit sinusitis kronis dapat mengganggu penyesuaian sosial seorang remaja. Remaja melakukan penyesuaian sosial secara baik atau tidak bergantung pada bagaimana remaja melakukan penyesuaian sosial terhadap keluarga, lingkungan sekolah serta masyarakat dengan efektif. Dengan alasan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam tentang penyesuaian sosial yang dilakukan pada remaja penderita sinusitis kronis.

B. Rumusan Penelitian

Bagaimana penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis dilihat dari aspek-aspek penyesuaian sosial ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis.

D. Manfaat Penelitian I. Manfaat Teoritis

(11)

2. Memberikan manfaat dalam mengembangkan ilmu Psikologi terutama pengetahuan dalam bidang psikologi perkembangan yang berkaitan dengan penyesuaian sosial .

II. Manfaat Praktis

1. Memberi tambahan informasi kepada remaja mengenai hal – hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penyesuaian sosial, khususnya pada remaja penderita sinusitis kronis agar dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik.

2. Menambah informasi mengenai penyesuaian sosial yang baik pada penderita sinusitis, agar penderita sinusitis dapat diterima di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat meskipun dengan kondisi sinusitis kronis .

E. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan yang digunakan peneliti dalam peneitian ini adalah, sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

(12)

Bab II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori mengenai penyesuaian sosial, penyakit kronis yaitu sinusitis kronis, gambaran penyesuaian sosial remaja penderita sinusits kronis dan paradigma teoritis .

Bab III : Metode Penelitian

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, serta prosedur penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini berisi deskripsi responden, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data - data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

Melalui penerapan teknologi tersebut di atas Kabupaten Ogan Komering Ilir berpotensi sebagai kontributor dalam Program Ketahan Pangan Nasional dengan memanfaatkan

[r]

[r]

SocialGadgetNews.com ini, telah dapat disimpulkan bahwa faktor yang dapat menarik pengunjung untuk datang pada blog tersebut adalah topik blog post yang menarik,

Ketika saya menghadapi masalah yang besar, saya yakin bahwa Tuhan tetap menyayangi saya Saya merasa yakin bahwa ada harapan untuk masa depan saya Terkadang saya ingin memilih

Hukum Acara Pidana adalah menuntun pihak penyidik dalam melakukan proses penyidikan sesuai aturan atau kaedah hukum yang ada dan telah ditetapkan, dengan begitu

Target khusus penelitian ini adalah menemukan informasi yang mendasar kekayaan budaya nusantara berkaitan dengan budaya duduk masyarakat Jawa untuk dikembangkan sebagai

Berbeda dengan di Jawa, perubahan curahan tenaga kerja rumah tangga di kedua wilayah di luar Jawa tersebut mengarah pada makin dominannya peranan sektor pertanian,