• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian yang di dalam hukum perikatan merupakan salah satu sumber dari perikatan itu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1233 KUHPerdata, yaitu “ Setiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang “.

Dalam hal ini A. Ridwan Halim mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

Sumber-sumber perikatan itu adalah : a. Perjanjian atau persetujuan

b. Undang-undang

c. Perbuatan atau sikap tindak manusia yang dibedakan lagi atas : 1. Perbuatan manusia menurut hukum/halal

2. Perbuatan manusia yang melanggar hukum

d. Perbuatan atau sikap tindak manusia yang lain, yakni suatu sikap manusia dimana ia mengikatkan dirinya sendiri kepada sesuatu hal yang sebenarnya bukan menjadi kewajibannya, misalnya :seseorang yang telah bersedia mengikatkan diri untuk menjaga rumah tetangganya selama tetangganya itu pergi sehingga bila terjadi kehilangan di rumah tetangganya itu dialah yang bertanggung jawab.13

13

(2)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa perjanjian itu sering terjadi dan dilakukan oleh masyarakat, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis (lisan dan secara diam-diam). Masalah perjanjian ini mempunyai ruang lingkup yang cukup luas. Sehingga sangat menarik untuk dibahas dan diteliti, apalagi kalau perjanjian itu dikaitkan dengan masalah asas-asas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku dalam jual beli yang dilakukan oleh pihak-pihak pengusaha, sebagaimana topik yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1313 yaitu:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.14

Dari ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata di atas terlihat bahwa perjanjian diistilahkan dengan persetujuan. Padahal pengertian persetujuan lebih luas dari pengertian perjanjian. Jika pada persetujuan yang mengikatkan diri hanya sepihak saja, maka pada perjanjian yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak.

Sehingga pengertian persetujuan atau perjanjian yang dikemukakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang dikemukakan dalam pernyataan berikut :

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus diantara pihak-pihak.

14

(3)

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatig daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian. Sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.15

Untuk lebih menyempurnakan pengertian perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang dianggap oleh sebagian sarjana mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pernyataan di atas, maka pengertian perjanjian itu sebaiknya sebagai berikut, yaitu : “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

Mengingat adanya kata sepakat diantara kedua pihak yang mengikatkan diri tersebut merupakan unsur dan syarat utama dalam suatu perjanjian, maka tidak salah kalau perjanjian itu merupakan perbuatan dari dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri dan bukan hanya satu orang atau satu pihak saja

15

(4)

yang harus mengikatkan diri. Oleh karena itu tentang pengertian-pengertian perjanjian itu Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya dengan mengartikan perjanjian itu sebagai berikut : “suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan mengikatkan kedua belah pihak”.16

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Dari pengertian ini dapat dijumpai beberapa unsur antara lain hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.17

Kalau dikaitkan pengertian perjanjian di atas dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu ”Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.18

maka terlihat dengan jelas bahwa perjanjian itu harus didasarkan atas kesepakatan para pihak, yang dalam hal ini harus dilakukan sedikitnya dua orang itu harus benar-benar sepakat untuk mengikatkan dirinya masing-masing.

16

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1972, hal. 11.

17

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet II, Alumni, Bandung, 1986, hal.6. 18

(5)

Selanjutnya kesepakatan kedua pihak itu untuk mengikatkan dirinya masing-masing, sudah barang tentu mempunyai maksud dan tujuan, yaitu tentang sesuatu yang menyangkut dengan harta benda kekayaan masing-masing. Sesuatu itulah yang menjadi tujuan para pihak mengikatkan diri.

Dengan demikian agar tidak terjadi perbedaan pendapat dan pandangan dalam mengartikan perjanjian pada pembahasan skripsi ini, maka perjanjian itu adalah suatu persetujuan diantara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melakukan sesuatu apa yang telah mereka setujui.

B. Unsur-Unsur Perjanjian

Berbicara tentang unsur-unsur perjanjian, secara umum Abdulkadir Muhammad, mengatakan sebagai berikut :

a. ada pihak-pihak sedikitnya dua orang; b. ada persetujuan diantara pihak-pihak itu; c. ada tujuan yang akan dicapai;

d. ada prestasi yang akan dilaksanakan; e. ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;

f. ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian.19 Ad.a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang

Dalam suatu perjanjian pihak-pihak merupakan unsur yang utama, karena disamping pihak-pihak itu dijadikan sebagai subjek perjanjian, juga perjanjian itu tidak akan pernah ada apabila tidak adanya pihak yang menginginkan, membuat perjanjian itu.

19

(6)

Pihak-pihak dalam perjanjian itu yang menurut hukum perjanjian merupakan subjek perjanjian selain berupa manusia juga dapat berupa badan hukum. Karena menurut hukum, manusia dan badan hukum merupakan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum di dalam masyarakat.

Dimata hukum manusia dapat menjadi subjek hukum dengan sendirinya, sedangkan badan hukum harus melalui suatu proses yang dilandasi teori-teori yang dikenal dalam ilmu hukum itu sendiri.

Adapun teori-teori yang menyatakan badan hukum itu merupakan subjek hukum adalah :

1.) Teori Fictie (perumpamaan)

Menurut teori ini, badan hukum itu diumpamakan sebagai manusia, terpisah dari manusia yang menjadi pengurusnya. Karena itu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurusnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan badan hukum, melainkan perbuatan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada hukum itu. Dengan demikian badan hukum itu tidak berbuat secara langsung. Sehingga pengurus tersebut adalah orang yang bertindak atas kuasa dari badan hukum itu. Jadi badan hukumlah yang bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurusnya.

Menurut teori ini, maka badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak dapat digugat dengan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu:

(7)

mengganti kerugian tersebut”20tetapi dapat digugat dengan Pasal 1367 KUHPerdata.

Alasannya, karena badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum (termasuk perjanjian) telah menguasakannya kepada orang yang telah menjadi pengurusnya. Sehingga walaupun perbuatan melawan hukum itu dilakukan oleh pengurusnya sendiri, maka badan hukumlah yang bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1367 KUHPerdata, yaitu :

“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

“Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anaknya yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali”.

“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang itu dipakainya”.

“Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab terhadap kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang itu berada di bawah pengawasan mereka”.

Tanggung jawab yang disebut di atas berakhir, jika orang tua, wali, guru-guru sekolah, dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu.21

2.) Teori Organ (perlengkapan)

Dalam teori ini badan hukum dipersamakan dengan manusia pribadi. Bertindaknya badan hukum itu melalui perlengkapan (organ). Dengan demikian badan hukum melalui perlengkapannya secara langsung bertanggung jawab terhadap semua perbuatan hukum yang dilakukannya. Tentang sejauh

20

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Loc Cit. 21

(8)

mana orang dapat dianggap sebagai perlengkapan badan hukum dan sejauh mana kewenangan dari perlengakapan tersebut, dapat dilihat dari anggaran dasar pendirian badan hukum itu. Karenanya menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, yaitu badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat digugat melalui Pasal 1365 KUHPerdata. Sedangkan terhadap bawahan alat perlengkapan badan hukum tetap dipertanggung jawabkan berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata.22

Jadi dalam hal ini harus dapat dibedakan mana yang merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum itu sendiri dan mana perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perlengkapannya.

3.) Teori Yuridische Realiteit (kenyataan hukum)

Dalam teori ini, bahan hukum adalah realitas hukum yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. Maksudnya, badan hukum itu dibuat, dibentuk didasarkan kepada kenyataan hukum yang ada, yang tujuannya agar badan hukum itu diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum.

Menurut teori ini, apabila badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum, maka badan hukum itu dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa badan hukum dianggap sebagai subjek hukum adalah karena badan hukum itu diumpamakan sebagai manusia, karena badan hukum dianggap sama dengan manusia pribadi, serta karena

22

(9)

kenyataan hukum yang menganggap bahwa badan hukum itu sama dengan manusia pribadi.

Ad.b. Ada persetujuan diantara pihak-pihak itu

Persetujuan disini adalah merupakan keputusan, setelah dilakukannya perundingan. Karena perundingan itu sendiri adalah tindakan pendahulu untuk menuju tercapainya persetujuan. Selanjutnya persetujuan itu ditunjukkan dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat dan objek perjanjian tersebut, maka timbullah persetujuan sebagai salah satu syarat dari perjanjian.

Sehingga menurut Abdulkadir Muhammad, yang dirundingkan tersebut adalah tentang “syarat-syarat dan objek perjanjian, sehingga dengan disetujuinya oleh masing-masing pihak tentang syarat-syarat dan objek perjanjian itu timbullah persetujuan”.23

Ad.c. Ada tujuan yang akan dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian adalah mencapai sesuatu yang dibutuhkan oleh pihak-pihak. Kebutuhan tersebut hanya dapat terpenuhi dengan cara mengadakan perjanjian dengan orang lain. Namun belum berarti para pihak boleh mengadakan perjanjian dengan mencapai kebutuhan tersebut secara bebas yang mutlak. Karena undang-undang telah membatasinya, dimana tujuan yang akan dicapai itu tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, disesuaikan dan bertentangan dengan undang-undang.

Ad.d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan

23

(10)

Sebagai akibat adanya persetujuan timbullah kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang merupakan kewajiban para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

Ad.e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

Bentuk perjanjian ini berguna untuk dijadikan dasar kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktiannya. Bentuk perjanjian ini biasanya dibuat dalam bentuk akte atau tulisan. Selain itu perjanjian diperbolehkan juga untuk dibuat secara lisan, dalam hal ini sebagai catatan haruslah diperbuat dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya.

Ad.f. Ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian

Syarat-syarat ini pada hakikatnya adalah merupakan isi perjanjian. Karena dari syarat-syarat inilah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak. Kemudian syarat-syarat tersebut pada umumnya terdiri dari syarat-syarat pokok, seperti tentang barang, dan harganya. Serta syarat-syarat perlengkapan, seperti cara pembayaran, cara penyerahan barang dan sebagainya.

1. Sepakat mereka yang telah mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal24

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikatakan, bahwa antara unsur-unsur perjanjian dengan syarat-syarat perjanjian atau perikatan yang diatur dalam

24

(11)

Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kaitan yang sangat erat. Dengan kata lain, syarat-syarat perjanjian itu merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi. Selanjutnya dalam suatu perjanjian syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata harus ada dan harus terpenuhi. Oleh karenanya dalam suatu perjanjian para pihak diberi kebebasan untuk menentukan dan membuat isi perjanjian yang dikehendakinya, sesuai dengan asas konsesualitas yang dikenal dalam hukum perdata dan hukum perjanjian.

C. Jenis-Jenis Perjanjian

Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenal adanya beberapa jenis perjanjian, antara lain :

1. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Dikatakan dengan perjanjian cuma-cuma adalah “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”.25

Dalam hal ini Abdulkadir Muhammad mendefenisikan perjanjian ini dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja.”26

Kata “memberi keuntungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata “prestasi”, karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan atau tidak, tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang satu, tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada kedua

25

J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti Bandung, 1995. hal. 38.

26

(12)

belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau sebanding, sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra prestasi terhadap yang lain.

Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering disebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas beban.27

Menurut Pasal 1314 ayat 2 (dua) KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian atas beban adalah “suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.28

Adapun perbedaan antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas beban, yaitu bahwa pada perjanjian cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan perjanjian yang merugikan kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu bahwa perbuatan merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas beban, debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak ketiga yang mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut pembatalannya merugikan kreditur.

2. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa dan tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan

27

J. Satrio, Op Cit, hal. 149. 28

(13)

pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah29.

Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh hak dan akan melaksanakan kewajibannya.

Jadi kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak. Sedangkan dalam perjanjian sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk berprestasi adalah hanya satu pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk menerima prestasi dari pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A berkewajiban memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban tersebut merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A.

3. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak.

Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar timbulnya suatu perjanjian, tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian itu ada.

4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Ada perbedaan dalam jenis perjanjian ini dilihat dari jumlah perjanjian. Mengingat jumlah perjanjian yang memiliki nama jumlahnya hanya terbatas,

29

(14)

maka dalam praktek hukumnya disebut dengan perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan ke dalam perjanjian khusus. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan dilihat dari jumlahnya tidak terbatas.30

5. Perjanjian kebendaan

Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut dengan kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan realisasi dari perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

6. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan.31 7. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga

Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya

30I bid. 31

(15)

perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau akan menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat hukum dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat hukum dalam keluarga saja.

Perkawinan timbul karena adanya kesepakatan diantara pihak pria dan wanita dan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal tersebut sama halnya dengan syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam perkawinan para pihak yang akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut telah ditentukan, seperti antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan sebagainya.

Namun mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri, kemudian hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku bagi hak dan kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu perkawinan.

(16)

D. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa prinsip atau asas sebagai suatu landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan sikap untuk membuat peraturan hukum.

Beberapa ketentuan yang menjadi dasar dari perjanjian yang disebut sebagai asas hukum perjanjian antara lain :

1. Asas kebebasan berkontrak (partij otonomie)

Asas ini terdapat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 (satu) berbunyi : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.32

Maksud yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa hukum perjanjian itu bersifat terbuka, dimana dalam hal ini terhadap para pihak dalam perjanjian diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berisi mengenai apa saja, dengan pembatasan bahwa isi dari perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, dan kesusilaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dan juga undang-undang. Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian.33

2. Asas konsensual (persesuaian kehendak)

32

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Loc Cit. 33

(17)

Menurut R. Subekti, dalam bukunya Aneka Perjanjian, mengatakan sebagai berikut “Konsensual berasal dari perkataan “konsensus” yang berarti kesepakatan.”34

Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh orang lain. Kedua kehendak ini bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya : “setuju”, “oke” dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda-tanda dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu.

Dalam pasal tersebut tidak mengisyaratkan suatu formalitas tertentu di samping sepakat yang telah terjadi, seolah-olah disimpulkan bahwa setiap perjanjian telah sah (mengikat) apabila telah tercipta kesepakatan dari perjanjian tersebut. Padahal terhadap asas konsensualisme juga terdapat pengecualian, yaitu terhadap perjanjian yang oleh Undang-undang ditetapkan suatu formalitas-formalitas tertentu, misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dengan akte notaris, perjanjian perdamaian yang harus diadakan secara tertulis.

3. Asas kepercayaan

Dalam mengadakan suatu perjanjian antara satu pihak dengan pihak yang lain harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak artinya bahwa

34

(18)

satu sama lain saling percaya akan memenuhi prestasinya dikemudian hari sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Rasa saling percaya terjalin sebelum para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian dan terwujud dalam bentuk perikatan yang dihendaki bersama. Tanpa adanya rasa saling percaya ini maka tidak akan mungkin diadakan dan suatu perjanjian dengan baik, karena dengan kepercayaan inilah kedua belah pihak mengikatkan dirinya dengan isi perjanjian yang pada dasarnya mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

4. Asas kekuatan mengikat

Tujuan utama diadakannya suatu ikatan persetujuan dengan dilandasi kesepakatan antara kedua belah pihak adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi tindakan mereka selanjutnya di dalam hubungan perikatan. Para pihak menghendaki adanya kekuatan yang mengikat bagi pelaksanaan prestasi masing-masing. Dengan terikatnya para pihak di dalam persetujuan tersebut, maka masing-masing pihak harus mematuhi apa yang telah disepakati, namun haruslah dilihat beberapa unsur lain yang mendukung dan melandasi hubungan tersebut seperti moral, kebiasaan dan kepatutan maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan mengikat satu sama lain.

5. Asas persamaan hukum

(19)

Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun perbedaan warna kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, agama, suku, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat bahwa perbedaan ini harus dilhat sebagai suatu persamaan yang harus dihormati satu sama lain.

6. Asas keseimbangan

Dalam asas ini mengandung makna bahwa antara kedua belah pihak haruslah saling memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baiknya sehingga kedudukan kreditur dan debitur dapat seimbang.

7. Asas kepastian hukum

Asas ini juga terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, hal yang menekankan kepastian hukum dalam pasal ini dapat dijumpai pada kalimat yaitu:

“suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.35

8. Asas moral

Agar tercipta suatu keselarasan dan saling menghormati antara para pihak, maka hukum mewajibkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah berdasarkan tatanan kesusilaan (moral) yang pelaksanaannya tidak melanggar tatanan peri kehidupan yang berlangsung di dalam masyarakat. 9. Asas kepatutan

35

(20)

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”36

Asas kepatutan disini berkaitan dengan isi perjanjian dan kesepakatan yang dituangkan dalam isi perjanjian tersebut agar dapat melahirkan rasa keadilan baik kepada pihak yang mengadakan perjanjian maupun terhadap rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman :

“Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan hukum ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat”.37

E . Pelaksanaan Perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa, dimana para pihak saling berjanji untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu hal. Hal yang akan dilaksanakan itu disebut prestasi.

Inti dari suatu perjanjian adalah bahwa para pihak harus melaksanakan apa yang telah disetujui atau dijanjikan dengan tepat dan sempurna. Tindakan yang bertentangan yang dibuat oleh salah satu pihak mengakibatkan pihak yang lain berhak meminta ganti rugi.

Pelaksanaan yang dimaksud disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuan. Tujuan tidak akan tercapai tanpa adanya pelaksanaan perjanjian,

36I

bid, hal. 342. 37

(21)

dimana para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan tepat seperti yang telah disepakati bersama.

Abdulkadir Muhammad menyatakan :

“jika salah satu pihak telah melanggar kewajibannya, biasanya tidak akan ada pembelaan baginya bahwa pelanggaran itu bukanlah kesalahannya. Ia telah berjanji untuk melaksanakan perjanjiannya, dan ia akan bertanggung jawab jika tidak melaksanakannya. Hanya jika ada sebab dari luar yang membuat pelaksanaan itu secara fisik, hukum dan perdagangan tidak mungkin dilakukan, sehingga kepadanya dapat dimaafkan karena tidak melaksanakan perjanjian itu. Kenyataan bahwa ia telah melakukan pemeliharan secara layak, tidak dapat dijadikan alasan baginya untuk membela diri”.38

Apa yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad, menunjukkan bahwa perjanjian antara pihak-pihak merupakan suatu hal yang tidak main-main atau dengan perkataan lain bahwa hak masing-masing pihak tetap dijamin oleh undang-undang. Melihat macam-macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, maka perjanjian dibagi 3 (tiga), yaitu :

a. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang Contoh : jual beli, hibah, sewa-menyewa.

b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu Contoh : perjanjian perburuhan. c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu

Contoh : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok.

Sebenarnya suatu perjanjian akan menjadi persoalan manakala salah satu pihak melanggar atau tidak mematuhi isi dari perjanjian yang telah mereka perbuat. Tentu dilihat alasan tidak dilaksanakannya isi perjanjian, apakah karena

38

(22)

keadaan memaksa (overmacht) atau tidak. Bila ini terjadi karena keadaan memaksa harus juga dilihat apakah keadaan itu memang betul-betul tidak dapat dielakkan atau bisa dilaksanakan namun dengan pengorbanan yang besar.

Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa isinya, dengan perkataan lain apa hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan atau undang-undang”.

Dengan demikian, maka setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan yang terdapat di dalam undang-undang, adat kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus juga diindahkan. Jadi adat istiadat (kebiasaan) juga sebagai sumber norma disamping undang-undang untuk ikut menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, tetapi kebiasaan ini tidak boleh menyimpang dari undang-undang.

(23)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, bukan hanya itikad baik saja yang menjadi penting dalam perjanjian tetapi kejujuran dan kepatuhan adalah dua hal yang amat penting dalam soal pelaksanaan persetujuan. Dan kejujuran terletak pada tindakan yang dilakukan pada kedua belah pihak dalam melaksanakan perjanjian yang berasal dari keadaan jiwanya, sedang kepatuhan terletak pada keadaan sekitar persetujuan. Jadi hal kejujuran adalah hal yang selalu bersifat objektif adalah hal kepatutan.39

Jadi sikap kejujuran dan kepatutan serta itikad baik adalah penunjang terlaksananya perjanjian. Di dalam pelaksanaan perjanjian tidak terlepas dari apa yang disebut dengan risiko. Risiko dalam perjanjian adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak, dalam arti keadaan memaksa.40 Contoh : kebakaran, pencurian. Sedangkan risiko menurut pengertian sehari-hari adalah tanggung jawab seseorang sebagai akibat perbuatannya.

39

R. Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal. 84. 40

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah foto elektron yang dihasilkan oleh permukaan logam berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang menyinari.. Partikel – partikel alpha

bahasa Indonesia tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan peserta didik dan kesiapan pengajar (guru). Sehingga kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan

Dalam hal ini yang menjadi kajian peneliti adalah yang berkaitan dengan objek jaminan fidusia yang disita oleh Negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur

Nurrizka Ardiyansyah, skripsi mahasiswi UIN Raden Intan Lampung, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prodi Bimbingan Konseling yang berjudul “Peran Komunikasi Orangtua

(Handojo,1995) Perbedaan antara adsorpsi fisika dengan adsorpsi kimia pada luas permukaan adsorben, melainkan juga pada suhu, tekanan (untuk gas), ukuran partikel dan

Berdasarkan pemeriksaan histologi gonad terbukti bahwa ukuran rerata oosit pada perlakuan suntikan larutan 17β- estradiol (P3) lebih tinggi dibanding per- lakuan P1, P2

Menyimak permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang tuntas ke dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul “Kebebasan Pers Dalam Meliput

Sedangkan anjuran perpuasa ta>su>‘a>’ dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abd Ibn ‘Abbas adalah anjuran langsung dari Rasulullah yang mana beliau sudah melakukannya