• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini.

Independensi menjadi ciri khas dalam ekonomi negara demokrasi. Ketika

independensi dicederai oleh muatan-muatan politik, maka laju pembangunan

program-program pemerintah, cenderung akan didominasi oleh

kepentingan-kepentingan tertentu sedangkan pihak lainnya akan dimarginalkan atau dipinggirkan.1

Bergulirnya reformasi tahun 1998, sebagai bukti nyata besarnya dominasi

pemerintah absolut dengan mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan

negara. Melalui reformasi pada waktu itu, rakyat Indonesia mulai bersikeras

menyatakan sikap perlunya pihak independen untuk turut campur dalam mengurusi

negara ini. Tuntutan demikian sebagai bukti nyata, bahwa rakyat sudah tidak percaya

seutuhnya kepada para pejabat publik untuk mengelola dan mengurusi aset-aset Independensi merupakan sikap untuk mempertahankan hak publik dalam pencapaian

tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, adil, dan makmur.

1

Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, (London: Penguin Book, 1979), hal. 397. Lihat juga: James A. Caporaso, Theories of Political Economy,

(2)

negara, memberikan pelayanan, mengayomi, melindungi, menjalankan

program-program pembangunan.

Ketika instrumen hukum didominasi oleh pemerintah melalui kebijakan

politik, maka tujuannya cenderung akan berpola dan berpihak kepada pemerintah itu

sendiri. Akan tetapi ketika hukum sekalipun dijalankan oleh pihak independen, bukan

pula secara otomatis dapat mencapai tujuan bersama yakni negara yang berdaulat,

sejahtera, adil, dan makmur. Karena yang lebih penting dari itu adalah sejauh mana

implementasi independensi dibarengi dengan perilaku yang menjunjung tinggi etika

norma moral yang baik agar terhindar dari kepraktisan hukum.

Berkenaan dengan kepraktisan hukum, Peter Mahmud Marzuki mengatakan,

”betapa pun praktik harus didasarkan pada teori dan prinsip yang berlaku, bukan

praktik menyimpangi dari teori”. Anggapan yang menyatakan praktik tidak harus

sama dengan teori merupakan suatu anggapan yang sangat naif. Penerapan suatu ilmu

akademis harus didasarkan pada teori yang melandasinya sebab jika tidak demikian,

penerapan itu akan gagal.2

Demikian pula dalam hal norma pengaturan independensi didasarkan pada

teori dan prinsip dalam konteks negara kesejahteraan. Untuk menciptakan rakyat

yang sejahtera, independensi mutlak diperlukan. Apabila norma independensi

diterapkan dengan perilaku praktis misalnya perilaku penyimpangan dari teori,

2

(3)

norma, dan prinsip yang melandasi independensi, maka penerapan independensi itu

akan gagal.

Independensi akan dapat meminimalisir peran pemerintah absolut dalam

meregulasi dan mengawasi sektor ekonomi khususnya perbankan. Sebagaimana

dikatakan oleh Didik J. Rachbini, memandang pentingnya peran negara atau

pemerintah dalam sistem demokrasi ekonomi pada prinsipnya hanya sebatas

fungsinya sebagai penonton (in partial spectator).3 Dengan demikian Negara atau Pemerintah hanya boleh atau dapat mengintervensi pasar gagal untuk

menyeimbangkan (stabilisator) pasar ketika sistem pasar keuangan terganggu, sebab

bila tidak ada intervensi pemerintah akan menimbulkan distorsi.4

Misalnya dalam hal terjadinya praktik monopoli alamiah (natural monopoly)

5

maka terbuka peluang dua pilihan yang mungkin akan terjadi misalnya monopoli

dilakukan oleh pihak swasta dan monopoli dilakukan oleh pihak pemerintah, baik

pada saat merancang regulasi maupun ketika penerapan regulasi.6

3

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 106.

Oleh sebabnya,

untuk menghindari monopoli tersebut, maka pihak-pihak independen perlu

ditempatkan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perekonomian perbankan.

4Ibid

.

5

Monopoli alamiah dalam konteks ini diartikan sebagai tindakan-tindakan penguasaan terhadap pasar ekonomi yang dilakukan oleh satu pihak baik penguasaan pangsa pasar dengan cara-cara sendiri dan membuat aturan sendiri-sendiri atau kelompok.

6

(4)

Setidaknya melalui pendekatan koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan

pengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang

independen, akan menjadi stabilisator dalam membuat kebijakan di pasar finansial

misalnya perbankan.

Lembaga yang independen dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan

(selanjutnya disingkat OJK). Lembaga OJK adalah lembaga yang independen dan

bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan7

Lembaga OJK dibentuk untuk memenuhi amanat dari Pasal 34 UU No.3

Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

(selanjutnya disingkat UU BI)

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

(selanjutnya disingkat UU OJK). Berdasarkan ketentuan ini, salah satu amanat UU

OJK adalah independensi dari lembaga OJK itu sendiri dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya mengatur dan mengawasi perbankan.

8

7

Lihat: Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (disngkat UU OJK).

yang tugas pokoknya untuk melakukan pengaturan,

pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap bank-bank dan

perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun,

8

Istilah awalnya dikenal dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK) sebagaimana Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan:

a. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

(5)

sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang

menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Oleh karena lembaga ini bersifat

independen, maka dalam menjalankan tugas, kedudukannya berada di luar institusi

pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kendatipun Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

adalah lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara

absolut (mutlak), demikian pula dengan lembaga OJK tidak mutlak sebagai lembaga

yang independen. Sebab dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana

diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun

2009 tentang Bank Indonesia (UU BI) ditentukan pengecualian. Sehingga dengan

pengecualian ini, keindependensian BI tidak murni berlaku.9 Ketentuan pengecualian itu ditentukan, ”Jika diatur secara tegas dalam UU BI”. Dalam Pasal 1 angka 1 jo

Pasal 2 ayat (2) UU OJK juga terdapat ketentuan pengecualian yang menentukan,

”Jika diatur secara tegas menurut UU OJK”.10

9 Pasal 4 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan:

a. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.

b. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.

c. Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan undang-undang ini.

10

Pasal 1 angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pasal 2 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan:

(6)

Ketentuan pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 4 UU BI dan Pasal 1

angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK tersebut membuka peluang selebar-lebarnya

kepada pemerintah untuk melakukan intervensi misalnya mengambil keputusan bisnis

perbankan. Kecenderungan itu dapat terjadi misalnya ketika dalam melakukan

pencegahan dan penanganan krisis dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem

Keuangan (selanjutnya disingkat FKSSK) yang dikoordinatori oleh Kemenkeu

sementara pihak Kemenkeu itu sendiri bukan pihak yang independen melainkan

lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor

keuangan. Peluang seperti ini perlu diwaspadai karena independensi akan bisa diatur

dan disesuaikan dengan kondisi di luar daripada ketentuan undang-undang atau

anggota FKSSK bisa berkoordinasi karena kepentingan politik tertentu di luar

ketentuan undang-undang.

Melemahnya independensi sebagaimana yang diilustrasikan dalam FKSSK

tersebut di atas, berkorelasi logis dengan pernyataan Robert W. Gordon, sebagaimana

yang dikutip oleh David Kairys, yang kemudian dikutip oleh Bismar Nasution dalam

Pidato Pengukuhan Guru Besarnya, disebutkan bahwa ”kegagalan pasar sebagai

alasan utama pemerintah untuk mengintervensi ekonomi, sekaligus harus membuat

hukum untuk mengarahkan kegiatan ekonomi itu sendiri”.11

b. OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.

11

Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah yang Disampaikan pada

(7)

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan dalam UU OJK mengamanatkan

pengawasan dari Lembaga Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat LJK)12

1. Pengawasan dalam rangka mendorong lembaga-lembaga ikut menyokong, menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro economic supervision).

pada

prinsipnya dibagi dalam dua jenis:

2. Pengawasan yang mendorong agar LJK secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision).13

Oleh karena itu, melemahnya sikap independen pada tataran praktik, juga

besar kemungkinan bisa terjadi ketika misalnya sistim ekonomi akan berurusan

dengan penyehatan perbankan seperti persoalan ekonomi makro (macro economic

supervision) sebagaimana ditentukan di Pasal 39 UU OJK14

Lembaga Jasa Kuangan bekerjasama dengan Universitas Medan Area, di Hotel Santika Medan, Tanggal 19 Juni 2012, hal. 7-8. Lihat juga: Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum...”, Loc. cit. Lihat juga: Robert W. Gordon, dalam David Kairys, ed, The Politics of Law A Progressive Critique,

(New York: Pantheon Books, 1990), hal. 418. Hal ini pernah diamati Robert W. Gordon, dan menyimpulkan bahwa hukum adalah salah satu di antara berbagai sistem yang berarti bagi rakyat dalam rangka pembangunan.

, di mana Dewan

Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat DK OJK) akan

12

LJK misalnya BI dan OJK.

13

Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan: Kajian Terhadap Independensi dan pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Dilaksanakan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Medan, Tanggal 8 Juni 2011, hal. 7.

14

Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan:

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:

a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank; b. Sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;

(8)

berkoordinasi dalam FKSSK sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2)

UU OJK.15

Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK, ketika kondisi tidak

normal misalnya bank akan berdampak sistemik (vide Pasal 39 huruf e) yang

penanganannya harus melalui FKSSK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45

ayat (2) UU OJK,

16

Pelemahan sikap independensi itu bisa pula terjadi pada sektor anggaran,

misalnya jika anggaran operasional OJK dipungut dari pihak yang melakukan

kegiatan di sektor jasa keuangan, maka akan sulit bagi anggota DK OJK untuk

memerankan independensi itu. Sebab jika anggarannya di luar Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN),

berpeluang bagi pemerintah (Kemenkeu) untuk mengintervensi

melalui rapat dalam FKSSK tersebut. Sehingga dengan masuknya Kemenkeu ke

dalam FKSSK di sini, keindependensian OJK termasuk juga BI dan LPS bisa atau

cenderung melemah. Inilah yang mungkin bisa terjadi sebagai bentuk penyimpangan

dari Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 39 huruf e, dan Pasal 45 ayat (2) UU OJK.

17

15

Lufti Zen Fuadi, “Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, di Tiara Medan Hotel & Convention Center, Medan, Tanggal 8 Juni 2012. Ada dua ruang lingkup pembagian kewenangan pengaturan dan pengawasan dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yakni: masalah macro economic supervision, micro economic supervision atau prudential supervision.

maka dikhawatirkan adanya campur tangan dari

pihak-pihak tertentu khususnya pihak-pihak yang turut menyokong anggaran

16

Pasal 45 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: ”Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis”.

17

(9)

operasional OJK tersebut. Sehingga keindependensian dari para anggota DK OJK

bisa melemah dan tidak akuntabel serta tidak transparan18

Secara ilmu hukum tata negara, BI sebagai Bank Sentral terlepas dari ketiga

kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif,

ketika membuat suatu

kebijakan. Padahal ciri khas dari sikap independensi pada hakikatnya harus otonom

(berdiri sendiri), bebas dari pengaruh kepentingan-kepentingan lainnya, partai politik,

pihak swasta, lembaga lain sebagai penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun.

19

Dalam perjalanan pembentukan DK OJK, diketahui pula bahwa Ketua DK

OJK terpilih adalah Muliaman Darmasyah Hadad dari Deputi Gubernur BI dan salah

satu pejabat ex officio

bahkan posisi BI diatur dan

dilegalitaskan tersendiri dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Sementara bagi

lembaga OJK tidak diatur dalam konstitusi negara Indonesia. Tentu perbedaan ini

akan menjadi bagian dari persoalan ketika masing-masing lembaga berada pada satu

forum yang disebut FKSSK.

20

18

Bandingkan dengan pendapat: Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut....Op. cit., hal. 3.

yang menjadi anggota DK OJK dari perwakilan BI adalah

19

Moh. Kusnardi dan Hermailiy Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dab CV. Sinar Bakti, 1983), hal. 181-182. UUD 1945 menganut sistem pemisahan kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu. Berarti secara politik Bank Indonesia berada di luar ketiga kekuasaan di atas (di luar campur tangan eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

20

(10)

Halim Alamsyah yang sebelumnya juga menjabat sebagai Deputi Gubernur BI,21 sehingga dengan demikian dalam mengatasi masalah macro economic supervision

melalui FKSSK untuk menentukan institusi bank yang masuk kategori systemically

importantbank, dikhawatirkan independensi OJK akan melemah.22

Pelemahan itu misalnya pemerintah turut campur dalam urusan menentukan

kebijakan ekonomi makro sebagaimana yang terjadi pada kasus Bank Century, sebab

dalam FKSSK Menteri Keuangan berada pada posisi nilai tawar yang tinggi sebagai

koordinator dan salah satu anggota ex officio DK OJK terpilih, Anny Ratnawati

berasal dari Kementerian Keuangan yang sebelumnya menjabat sebagai Dirjen

Anggaran Kemenkeu.23

Amanat UU OJK yang menentukan suatu forum yang disebut dengan FKSSK

terdiri dari: Menteri Keuangan selaku koordinator, dan Gubernur BI, DK OJK, DK

LPS (sebagai anggota). Sehingga konsekuensi logis dalam forum tersebut tercantum

satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan”.24

21

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/19/121758/Muliaman-Hadad-Terpilih-Jadi-Ketua-DK-OJK, diakses tanggal 7 Agustus 2012.

Untuk dapat mewujudkan

hubungan kelembagaan dimaksud, OJK harus melakukannya melalui koordinasi

lintas lembaga.

22

Muslimin Anwar, Loc. cit. Gubernur Bank Sentral Italia, Mario Draghi, juga diangkat menjadi Ketua Forum Stabilitas Finansial (FSF) yang telah berubah nama menjadi Pengawas Sistem Keuangan Global dan bertugas meningkatkan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan global.

23

Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan anggota DK OJK dibentuk terdiri dari 9 (sembilan) orang, 2 (dua) orang dari ex efficio

(wakil dari BI dan Kemenkeu) dan 7 (tujuh) orang dari independen.

24

(11)

Koordinasi merupakan kunci untuk menciptakan perbankan nasional yang

sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di

negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir

kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi

antar lintas instansi di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak

yang merupakan mimpi.25

Koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil

suatu lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya akan mampu menjalankan

tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Sebaliknya,

koordinasi juga dapat memperburuk citra suatu lembaga jika para wakil-wakilnya

atau para pengemban tugas dan tanggung jawab tersebut cenderung berperilaku

mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan

tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra

lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.

Dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan,

DK OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan pihak BI sebagai Bank

Sentral. Lembaga OJK berwenang membuat peraturan yang berkaitan dengan bank

dan berwenang pula melakukan pengawasan terhadap bank tersebut secara

berkoordinasi dengan BI misalnya untuk meminta penjelasan atau keterangan dari

pihak BI mengenai data makro yang diperlukan. Sementara pihak BI juga berwenang

25

(12)

membuat pengaturan dan melakukan pengawasannya terhadap bank-bank. Kedua

lembaga ini dimaksud oleh UU OJK harus berkoordinasi secara independen dalam

koridor-koridor tertentu sesuai yang ditentukan dalam undang-undang.

Mengawasi perbankan memang bukan perkara mudah. Otoritas dituntut

menciptakan sistem perbankan menjadi sehat, sekaligus melindungi kepentingan

masyarakat khususnya nasabah dan konsumen. Intervensi dari pihak pemerintah dan

lembaga-lembaga pengawas dari BI untuk mencampuri tugas dan wewenang yang

telah diamanatkan kepada OJK, misalnya arogansi, dinilai sebagai faktor kondusif

kegagalan. Oleh sebab itu, tanpa mengurangi keindependensian kedua lembaga BI

dan OJK, dapat dipertemukan melalui koordinasi dalam batas-batas hubungan

kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang.

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama dari sistem pengawasan

perbankan yang diamanatkan oleh UU OJK adalah untuk menciptakan sistem

perbankan nasional yang sehat. Jika independensi BI dan OJK dicampuri oleh

pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya dalam menjalankan tugas dan wewenang

OJK, niscaya tujuan untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat tidak

akan bisa tercapai. Demikian pula koordinasi yang baik antar BI dengan OJK dan

lembaga-lembaga lainnya juga sebagai faktor penentu keberhasilan pengawasan

sistem perbankan nasional.

Independensi dan koordinasi antara BI dengan OJK merupakan tuntutan yang

tidak bisa ditawar-tawar pada era pasar finansial yang semakin memburuk saat ini.

(13)

OJK dan lembaga-lembaga lainnya sebagai kunci kesuksesan untuk mencapai tujuan

amanat dari UU OJK agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan

khususnya sektor perbankan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel,

mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan (sustainable

develompment) dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan nasabah/konsumen

dan masyarakat. Dengan demikian dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang,

”Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank

Indonesia” sebagai judul dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagaimana

berikut ini:

1. Bagaimanakah independensi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia

dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan?

2. Bagaimanakah hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa

Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia?

3. Bagaimanakah pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan

dan Bank Indonesia terhadap bank?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap kedua permasalahan di

(14)

1. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis independensi Otoritas

Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi sistem

perbankan.

2. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis hubungan koordinasi

antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Gubernur Bank

Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis pengaturan tugas

pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap

bank.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan

praktis:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian

penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat umum

khususnya nasabah atau konsumen perbankan.

2. Secara praktis bermanfaat bagi struktur/fungsional lembaga-lembaga dalam

kaitannya dengan perbankan seperti Dewan Gubernur Bank Indonesia, DK

OJK, DK LPS, Lembaga Jasa Keuangan lainnya, struktural Kemenkeu, bagi

bank-bank konvensional dan non konvensional, serta bagi pihak eksekutif,

(15)

E. Keaslian Penelitian

Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap judul dan permasalahan

yang sama di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi

Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran (searching) di situs-situs resmi

perguruan tinggi melalui media internet dan diperoleh bahwa tidak ada judul dan

permasalahan yang sama dengan penelitian ini.

Berdasarkan penelusuran diperoleh judul tesis dengan judul:

1. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mencegah Kejahatan Insider

Trading di Pasar Modal, diteliti oleh: Leo Chandra Jaya Bona Parti

Tampubolon, NIM: 107005050. Fokus kajian dalam penelitian ini bertumpu

pada kewenangan OJK di Pasar Modal yang dikhususkan pada pencegahan

praktik-praktik perdagangan orang dalam (insider trading).

2. Analisis Yuridis Kedudukan Bapepam Setelah Berlakunya UU No.21 Tahun

2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, diteliti oleh: Susi Muliyanti, NIM:

107005085. Fokus kajian dalam penelitian ini bertumpu pada:

a. Apakah latar belakang berdirinya OJK?

b. Bagaimanakah kewenangan Bapepam di Pasar Modal sebelum OJK?

c. Bagaimanakah transformasi kewenangan Bapepam kepada OJK

setelah berlakunya UU OJK?

3. Analisis Terhadap Fungsi Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Sistem

(16)

penelitian ini berlangsung belum diajukan draft permasalahan terhadap judul

di atas.

Penelitian ini baru pertama kali dilakukan, sesuai dengan asas-asas keilmuan

yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai

pula dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara

bertanggung jawab. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian

(original) dan tidak plagiat (duplikat) dari hasil karya penelitian pihak lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori menempati kedudukan yang penting sebagai pisau analisis untuk

merangkum dan memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak

tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain

secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan

mensistematiskan masalah yang dibicarakan.26

Krisis otoritas cenderung terjadi dalam suatu lembaga khususnya lembaga

perbankan. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengatakan, banyak perhatian dan

kontroversi seputar ilmu hukum kontemporer yang berakar pada krisis otoritas dan

telah mengguncang institusi-institusi publik.27

26

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 253.

Krisis otoritas bisa terjadi dalam

tataran regulasi (misalnya tidak memadainya hukum dan perundang-undangan

27

(17)

sebagai sarana perubahan dan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan) dan juga

bisa terjadi menyangkut krisis legitimasi, terkikisnya otoritas, penyalahgunaan

aktivisme hukum, dan macetnya hukum dan ketertiban serta korupsi di kalangan

tertib hukum. Kesewenang-wenangan yang menonjolkan pelayanan kekuasaan

sehingga menyebabkan bobroknya ketertiban sosial.28

Dalam karya Philippe Nonet dan Philip Selznick disebutkan, meskipun

sumber-sumber kontrol yang lainnya penting, namun sumber-sumber kontrol tersebut

tidak bisa bersifat tunggal diandalkan untuk menyelamatkan masyarakat dari

kesewenang-wenangan, intimidasi atau hal-hal yang lebih buruk. Melainkan juga

dibutuhkan penghormatan yang tertinggi terhadap otoritas dimaksud misalnya

menjunjung tinggi penerapan moral dalam hukum, pemisahan hukum dari politik

harus secara tegas serta penyimpangan dari hukum harus ditindak tegas serta adanya

kontrol sosial.29

Philippe Nonet dan Philip Selznick juga memandang akan pentingnya

diterapkan fleksibilitas dan keterbukaan institusi-institusi pada koridor-koridor

tertentu.

30

Ketika melemahnya otoritas, maka patut dipertanyakan validitas moral

yang dianut. Dalam kondisi otoritas yang terancam, maka alternatif-alternatif menjadi

pilihan nyata yang menegaskan karakter moral individu.31

28Ibid

.

Kekacauan tidak mungkin

diciptakan oleh hukum substantif melainkan diciptakan oleh struktur hukum yang

29Ibid

, hal. 5-7.

30Ibid

.7-8.

31Ibid

(18)

tidak menjunjung tinggi hukum moral. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan

kelompok-kelompok yang mengendalikan negara. Inilah yang disebut dengan

pemisahan negara dengan masyarakat.32

Satjipto Rahadjo dengan hukum progresifnya menolak dan ingin mematahkan

status quo karena dinilainya hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan,

yang ada hanya menjalankan aturan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa

saja (business as usual).33 Kiranya apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahadjo tersebut merupakan suatu gejala yang jika dikaitkan dengan status quo secara kasat mata

tampak pada masa sebelum tahun 1998. Namun walaupun status quo itu sudah

direformasi pasca tahun 1998 muncul status quo jenis baru yang tidak tampak di

mana status itu terselubung melalui muatan-muatan politik campur tangan

pihak-pihak tertentu seperti misalnya menonjolkan kepentingan pemerintah.34

Independensi merupakan salah satu cara menempatkan sistem kontrol dari

kesewenang-wenangan pelayan publik dan koordinasi adalah kuncinya. Tujuan UU

Perbankan mustahil akan tercapai jika tidak dilakukan berdasarkan independensi,

tujuan sistem pengawasan perbankan akan pincang ketika tidak dilakukan melalui

koordinasi yang baik antar sesama otoritas dengan pihak lainnya yang memiliki

32

Roberto M. Urger, diterjemahkan oleh: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Teori Hukum Kritis, Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Nusamedia, 2008), hal. 74 dan hal. 82.

33

Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hal. 114.

34

(19)

kewenangan dan tanggung jawab dalam sistem perbankan untuk menciptakan

perbankan yang sehat.

Berangkat dari persoalan di atas, berdasarkan teori tujuan, pada prinsipnya

hukum dibentuk bertujuan untuk mewujudkan ketertiban (order) dan ketertiban

merupakan syarat mendasar dan benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat

manusia yang nyata dan objektif.35 Para penganut paradigma hukum alam memandang tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan.36 Namun keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum melainkan juga bertujuan untuk mewujudkan

kesejahteraan (welfare state).37

Ketertiban dalam pandangan Kusumaatmadja merupakan tujuan utama dari

hukum (termasuk dalam konteks hukum perbankan). Tujuan lain dari hukum adalah

tercapainya keadilan yang berbeda-beda ukurannya bergantung pada bakat-bakat

dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan

masyarakat temapat ia hidup38

35

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), hal. 2-3.

(hukum perbankan bertujuan untuk membuat adil

36

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20, Menurut teori etis (etische theory), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya Ethica Nicomachea dan

Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya.

37

Mochtar Kusumaatmadja, Loc. cit. Menurut teori utilities (utilities theory), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham tahun 1748-1832, seorang ahli hukum dari Inggris.

38Ibid,

(20)

bagi nasabah dan konsumen bank). Tujuan hukum di Indonesia termaktub dalam

Pancasila dan pada alinea IV Pembukaan UUD 1945.39

Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan),

masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme

(logische geschlossenheit) yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan

fungsionil (functionele rechtsleer) yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan

pandangan yang kritis (gesellschatsgebunden) yang menitikberatkan pada kepastian

hukum.

Keadilan menurut Plato adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi.40 Keadilan menurut H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut

pribadi (habitus animi).41 Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan individual.42 Makna keadilan yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya bertujuan sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun

menjadi persoalan adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di

dalam kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan

mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut

Aristoteles sebagai keadilan korektif.43

John Rawls mengolaborasi keadilan dengan mencampur unsur-unsur keadilan

menurut Aristoteles dan keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum.

39

B. Arief Sidharta, ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003, hal. 1-2.

40

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.

41Ibid. 42Ibid,

hal. 93.

(21)

Hasil kolaborasinya diperoleh secara tajam jika dilakukan maksimum penggunaan

barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing dengan

menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar;

2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu:

a. Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah;

b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang.44

Pandangan John Rawls tersebut sejalan dengan keadilan yang ingin dicapai

oleh aliran utilitarian yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari

manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur

dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria bagi manusia dalam

mematuhi hukum.45

Teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan dari Jeremy Bentham dalam

karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”.

Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakart dan Fredom Institusi, 2006), hal. 13, Jeremy Bentham (1748-1832 ), Karyanya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation,

(22)

Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu

meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain

meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk

mencapai kesejahteraan akan tercapai.47

Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan

diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik

diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas

disebut baik.48 Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan

istilah the greatest good for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin

banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah

manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran konsekuensialisme karena

sangat berorientasi pada hasil perbuatan.49

Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan

dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan

bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai

untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang.

47 Ibid.,

hal. 14. Lihat juga: Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2, hal. 14. Menyebutkan teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith, keadaan batin yang waspada, jeli, dan sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar. Keutamaan ini menyangkut kebijakan yang ditempuh hendaknya tidak saja memperhatikan kepentingan untuk masa kini, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang ditempuh.

48

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67.

49

(23)

pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan

mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran,

kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik.

Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya,

maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan seluruh

kualitas moral.50

Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total

manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah manfaat total

yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran para penyandang

cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya

otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.

51

Utilitarisme ini tidak bisa dimengerti dengan cara egoistis. Sebab kriteria

untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari

jumlah orang terbesar atau perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang

merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Masalahnya adalah mengapa

dalam pengambilan keputusan bisnis dari otoritas suatu lembaga misalkan otoritas

pengawas perbankan merupakan tanggung jawab moral induvidu dari orang-orang

yang dipercaya? Jika dijawab melalui teori utilitarisme, karena hal itu membawa

manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya

nasabah atau konsumen bank. Jawaban ini dapat diterima untuk menciptakan suatu

50

K. Bertens, Loc. cit.

51

(24)

konsep yang sering disebut sebagai upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable

development).52 Prinsip keadilan utilitarisme adalah menekankan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.53

Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan

pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan analisis biaya manfaat

(cost benefit analysis) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang

dimaksudkan utilitarisme seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet

dalam konteks bisnis.54

John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih lanjut teori ini.

Dalam bukunya Utilitarianism yang diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill

mengasumsikan bahwa pengejaran manfaat bagi masyarakat adalah sasaran aktivitas

moral individual. John Stuart Mill mempostulatkan suatu nilai tertinggi kebahagiaan

yakni kesenangan heterogin dalam berbagai bidang kehidupan. Semua pilihan dapat

dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan sehubungan dengan

kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang tahan lama. Kriteria utilitas Ukuran utilitarisme menambahkan kuantitas keuntungan yang

dihasilkan oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari

tindakan, selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan

paling besar atau biaya yang paling kecil. Teori utilitarisme tentang hukum moral

berbanding terbalik atau suatu bentuk penolakan keras terhadap tindakan aji

mumpung (moral hazard) dari pengemban amanah.

52

K. Bertens, Op. cit, hal. 66.

53

John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24.

54

(25)

menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet

atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan.55 Tindakan harus menciptakan manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis

maupun kepada masyarakat konsumen.56

Penggunaan teori tujuan hukum sebagaimana dimaksud di atas untuk

mencapai keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang pada prinsipnya untuk

menjadikan manfaat terbesar bagi masyarakat Indonesia khususnya nasabah dan

konsumen bank terkait dengan masalah independensi dan koordinasi antar

lembaga-lembaga perbankan dalam menciptakan perbankan yang sehat semata-mata untuk

mencapai tujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 UU OJK. OJK dibentuk

dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan

stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Tujuan itu dimaksudkan karena bisnis bank merupakan bisnis penuh dengan

risiko. Risiko-risiko usaha bank misalnya: risiko kredit (credit risk), risiko investasi

55

Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Simon & Schuster, 1997), hal. 190-192. James Mill (1773-1836) adalah ayah John Stuart Mill seangkatan dan menjadi pengikut Bentham yang antusias, membesarkan anaknya, John Stuart Mill (1806-1873) dengan mendoktrinnya paham utilitarianisme. Teori Utiliarianisme eudaemonistik yang dipopulerkan oleh John Stuart Mill memiliki kriteria tindakan utilitarianisme yang berbeda dengan teori utilitarianisme hedonistic yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham yang mempertahankan hasil terakhir haruslah kesenangan individual atau ketiadaan sakit. Kriteria utilitas hedonistik adalah kesenangan.

56

(26)

(investment risk), risiko likuiditas (liquidty risk), risiko operasional (operating risk),

risiko penyelewengan (fraud risk), risiko fidusia (fiduciary risk), risiko tingkat bunga

(interest rate risk), risiko solvensi (solvency risk), risiko valuta asing (foreign

currency risk), dan risiko persaingan (competitive risk).57

Risiko-risiko itu muncul karena posisi bank sebagai perantara finansial yang

dijalankan oleh orang-orang yang dipercaya atau sebagai pengemban amanah, di

mana bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan

atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

58

57

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 299-302. Risiko kredit (credit risk) adalah risiko akibat ketidakmampuan nasabah debitor mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan atau dijadwalkan. Risiko investasi (investment risk) adalah risiko yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian akibat penurunan nilai pokok portofolio surat-surat berharga yang dimiliki bank misalnya obligasi atau surat berharga lainnya. Risiko likuiditas (liquidty risk) adalah risiko yang mungkin dihadapi oleh bank untuk memenuhi kebuhutan likuiditasnya dalam rangka memenuhi permohonan kredit dan semua penarikan dana oleh nasabah penyimpan pada suatu waktu. Risiko operasional (operating risk) adalah risiko berkenaan dengan ketidakpastian mengenai kegiatan usaha bank disebabkan karena penurunan keuntungan yang dipengaruhi oleh struktur biaya operasional bank dan kegagalan atas jasa serta produk baru yang diperkenalkan. Risiko penyelewengan (fraud risk) adalah risiko yang berkaitan dengan kerugian yang mungkin terjadi akibat ketidakjujuran, penipuan, kebejatan moral, perilaku tidak terpuji dari pejabat, karyawan, dan nasabah bank. Risiko fidusia (fiduciary risk) adalah risiko yang mungkin timbul apabila bank memberikan jasa dengan bertindak sebagai wali amanat, baik untuk pribadi maupun badan usaha. Risiko tingkat bunga (interest rate risk) adalah risiko yang kemungkinan timbul akibat berubahnya tingkat bunga sehingga akan menurunkan nilai pasar surat-surat berharga yang terjadi pada saat bank membutuhkan likuiditas. Risiko solvensi (solvency risk) adalah risiko yang terjadi disebabkan oleh ruginya beberapa aset yang pada gilirannya menurunkan posisi modal bank. Risiko valuta asing (foreign currency risk) adalah risiko yang dihadapi oleh bank devisa yang melakukan transaksi berkaitan dengan valuta asing, baik dari sisi aktiva maupun dari sisi pasiva. Risiko persaingan (competitive risk) adalah risiko yang berkemungkinan timbul disebabkan karena jenis produk-produk yang ditawarkan bank seluruhnya berisfat homogen sehingga persaingan antar bank lebih berfokus pada kemampuan bank memberikan pelayanan kepada nasabah secara proporsional dan paling baik.

58

(27)

Sehingga fungsi bank dikategorikan sebagai perantara (intermediation) dan fungsi

sebagai penyalur (transmission).59

Dalam dunia perbankan, termasuk di dalamnya OJK, pihak pengelola sistem

tersebut adalah pemegang amanah (fiduciary) harus berperilaku sebagaimana

layaknya pemegang kepercayaan. Gubernur Bank Sentral, Dewan Komisioner OJK

dan LPS, Kemenkeu, Komisaris, dan Direksi menempati posisi sebagai fiducia dalam

pengelolaan sistem perbankan di Indonesia dan mekanisme hubungannya harus

secara fair. Perundang-undangan di bidang perbankan harus diterapkan untuk

mencapai tujuan hukum yang semata-mata untuk mencapai ketertiban, keadilan,

kesejahteraan berdasarkan manfaat yang terbesar bagi semua orang.

Fiduciary duty adalah suatu teori tentang penerapan kewajiban yang telah

ditetapkan dalam undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan orang lain

berkenaan dengan kepentingan pribadi orang lain yang diurus oleh pribadi lainnya

sifatnya hanya hubungan atasan dan bawahan untuk sesaat. Posisi orang-orang yang

mempunyai kewajiban ini harus melaksanakan amanah berdasarkan suatu standar dari

kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan tugas dan kewenangan

yang dinyatakan oleh hukum. Seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil

(trustee) harus didasarkan pada kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence)

yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan

keterusterangan (candor). Hubungan dalam fiduciary seperti pengurus atau pengelola,

59

(28)

pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian), termasuk juga di dalamnya

seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.60

Orang yang memegang kepercayaan secara natural memiliki potensi

untuk menyalahgunakan wewenangnya. Hubungan pemegang kepercayaan tersebut

harus didasarkan kepada standar perilaku yang tinggi.61

Menurut Benyamin N. Cardoza, seseorang yang memiliki tugas kepercayaan

manakala seseorang itu memiliki kapasitas. Bisnis yang ditransaksikannya atau

uang/dana yang dikelolanya bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya,

melainkan milik dan untuk kepentingan orang banyak dan orang banyak tersebut

memiliki kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya.

Hal ini mengingat bahwa

bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat

kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan

masyarakat kepada bank, pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun

masyarakat khususnya nasabah atau konsumen bank.

62

Hubungan antara orang yang dipercaya dengan orang yang mempercayai

dalam mengelola segala sesuatu yang berhubungan dengan bisnis terjalin dalam suatu

60

Bismar Nasution, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari: Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008, hal. 4-5.

61Ibid

, hal. 5.

62

(29)

hubungan fiducia.63 Teori trust lebih utuh dari teori fiduciary duty sebab trust

memfokuskan kepercayaan segala-galanya atau semuanya sedangkan fiduciary duty

ada pembatasan kepercayaan misalnya Direksi secara hukum dapat terlepas dari

segala tuntutan sebab berkaitan dengan tanggung jawab di luar kewenangannya yang

disebut dengan (judgment rule) sedangkan dalam trust, kepercayaan dibebankan

sepenuhnya tanpa dibatasi. Teori kepercayaan awalnya dari model trust yang

kemudian trust ini dibatasi dalam model fiducairy duty, sehingga kedua teori ini

sebagai dasar dalam menerapkan prinsip kepercayaan. Walaupun keduanya berbeda

namun keduanya tetap dibebankan kepedulian (care), loyal (loyality), itikad baik

(good faith), kejujuran (honesty), keterampilan (skill) dalam derajat atau standar yang

tinggi.64

Sehingga dapat disebut bahwa pihak-pihak seperti Kemenkeu Republik

Indonesia, Dewan Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner OJK, dan Dewan

Komisioner LPS termasuk dalam kategori orang atau pihak yang dipercaya dan yang

paling tertinggi kepercayaan itu dipegang olehnya (trustee) sedangkan masyarakat

yang menyimpan dana melalui bank masuk dalam kategori sebagai beneficiary atau

orang yang mempercayai kepengurusan atau pengelolaan dana tersebut.

Teori fiduciary duty penting untuk diterapkan dalam dunia perbankan. Tanpa

adanya kepercayaan masyarakat, mustahil suatu bank mampu menjalankan kegiatan

usahanya dengan baik. Tidaklah berlebihan apabila di dunia perbankan harus

63Ibid

, hal. 33.

64Ibid

(30)

sedemikian rupa menjaga kepercayaan masyarakat dengan memberikan perlindungan

hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank

yang bersangkutan melalui penerapan independensi dan koordinasi antar lembaga

berlandaskan teori-teori yang dikemukakan di atas. Dalam menghindari terjadinya

ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, maka perlindungan hukum

bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, mutlak

diperlukan regulasi dan atau melakukan pengawasan terhadap sistem perbankan agar

tercita sistem perbankan yang sehat. Teori-teori di atas digunakan berkenaan dengan

permasalahan menyangkut krisis otoritas dalam dunia perbankan.

Perbankan adalah suatu sistem kelembagaan yang tidak terpisahkan dari

sistem pengawasan. Sebab dana-dana yang dikelola dalam sistem perbankan adalah

dana-dana yang bersumber dari masyarakat. Tanpa adanya kepercayaan masyarakat,

mustahil suatu bank mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Tidaklah

berlebihan apabila di dunia perbankan harus sedemikian rupa dijaga kepercayaan

masyarakat itu dengan memberikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat

khususnya nasabah dan konsumen bank yang bersangkutan.65

Perlindungan bagi masayarakat khususnya nasabah dan konsumen bank untuk

mewaspadai kerugian terhadap perekonomian nasional dapat dilakukan melalui

sistem pengawasan sebagaimana yang diperankan oleh Lembaga OJK menurut UU

OJK. Tujuan dibentuknya Lembaga OJK agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa

keuangan khususnya sektor perbankan terselenggara secara teratur, adil, transparan,

65

(31)

akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan

dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan nasabah/konsumen dan masyarakat.

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional digunakan untuk mendapat konseptual berdasarkan

tinjauan kepustakaan dan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru

serta memberikan pedoman yang sama, diantaranya adalah:

a. Independensi OJK adalah bebas dari campur tangan pihak lain termasuk dari

pihak pemerintah, swasta, dan pihak internasional. Bebas yang dimaksud

tidak berarti OJK bebas menjalankan pengaturan dan pengawasan yang

diinginkan melainkan berdasarkan tugas dan kewenangan yang telah

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan menyangkut OJK.

b. Koordinasi adalah kerja sama dalam hal memberi, menerima, dan mengolah

informasi, pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara

stabilitas sistem keuangan baik yang diperoleh dari lembaga OJK, BI, LPS,

dan Kemenkeu. Koordinasi dimaksud di sini dapat dilakukan dalam kondisi

normal (sebelum terjadi krisis) maupun dalam kondisi tidak normal (misalnya

dalam kondisi pencegahan dan penanganan krisis) dalam menjalankan tugas

dan kewenangan pengaturan dan pengawasan yang telah ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan terkait.

c. Hubungan kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan

(32)

menyangkut pelaksanakan tugas dan wewenang dalam menciptakan

perbankan yang sehat.

d. Otoritas Jasa Keuangan yang dimaksud dalam penelitian ini disingkat OJK

adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,

yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,

pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK.

e. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) adalah pimpinan

tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial.

f. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank dalam suatu

sistem yang tidak terpisahkan, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta

cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya baik secara

konvensional maupun syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.

g. Lembaga Jasa Keuangan yang dimaksud dalam peneltian ini disingkat LJK

adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar

Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga

Jasa Keuangan Lainnya.

h. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan,

lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder

perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana

masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan

sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan

(33)

ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan

pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa

keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

i. Bank Indonesia yang dimaksud dalam penelitian ini disingkat BI adalah Bank

Sentral Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas

dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk

hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini dan berbentuk

badan hukum.

j. Lembaga Penjamin Simpanan yang dimaksud dalam penelitian ini disingkat

LPS adalah suatu lembaga berbentuk badan hukum yang independen,

transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta

bertanggung jawab kepada Presiden.

k. Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan adalah organ tertinggi

dalam LPS.

l. Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang dimaksud dalam peneltian

ini disingkat Kemenkeu RI adalah menteri yang menyelenggarakan urusan

(34)

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran

penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.66 Sedangkan penelitian adalah sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan

metode tertentu yang bertujuan untuk mengetahui apa yang telah dan sedang terjadi

serta memecahkan masalahnya atau suatu kegiatan pencarian kembali pada

kebenaran.67

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dengan demikian metode penelitian hukum adalah suatu cara kerja atau

upaya ilmiah untuk memahami, menganalisis, memecahkan, dan mengungkapkan

suatu permasalahan hukum berdasarkan metode tertentu.

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu

penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai

penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis

baik hukum sebagai law as it written in the book,maupun hukum sebagai law as it is

decided by the judge through judicial process.68

66

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

Sifat penelitiannya adalah deskriptif

67

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 19.

68

(35)

analitis melalui pendekatan perundang-undangan (statute aproach).69

2. Sumber Data

Alasan

penggunaan yuridis normatif karena didasarkan pada perolehan data yang tidak

memungkinkan untuk dapat memperoleh data empiris, berhubung saat dilakukan

penelitian ini, lembaga OJK masih dalam pembentukan struktur Dewan Komisioner.

Deskriptif analitis dilakukan melalui pendekatan UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK

yakni menggambarkan permasalahan berdasarkan analisis terhadap pasal-pasal yang

berkenaan dengan independensi, koordinasi, dan pengaturan tentang pengawasan

lembaga OJK terhadap perbankan.

Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang

meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah

melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun

2009 tentang Bank Indonesia (UU BI), UU No.21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), dan UU No.24 Tahun 2004 tentang

Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan

ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah, majalah,

jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan

dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan

dengan permasalahan dalam penelitian ini.

69

(36)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti: Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum serta Kamus

Bahasa Inggris.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library

research) terhadap dokumen-dokumen atau bahan-bahan hukum tertulis yang relevan

dengan permasalahan yang sedang ditelaah untuk mendapatkan peraturan

perundang-undangan, teori-teori, konsepsi, dan doktrin, pendapat atau pemikiran dari peneliti

terdahulu yang relevan dengan objek yang ditelaah. Baik terhadap bahan hukum

primer, sekunder, maupun tertier, dan bahan non hukum semuanya diperoleh melalui

membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar dan materi kuliah serta

mendownload (searching) melalui media internet. Data yang diperoleh dipilah-pilah

guna memperoleh pasal-pasal, kaidah-kaidah, norma-norma dalam

perundang-undangan (BI, OJK, dan LPS) serta doktrin-doktrin atau pemikiran dari penelitia

terdahulu yang menyangkut masalah independensi dan koordinasi dalam

hubungannya dengan kelembagaan perbankan.70

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menjelaskan dan menguraikan

teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam UU No.21

Tahun 2011 tentang OJK yang terpenting dan relevan dengan masalah independensi

70

(37)

dan koordinasi dalam sistem perbankan. Berdasarkan kerangka teori yang digunakan

akan dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti melalui analisis yang tajam dan

mendalam.

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif (penalaran logika dari umum

ke khusus)71 dalam bentuk uraian secara sistematis, menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, memberikan argumentasi-argumentasi yuridis (perskriptif)72 terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan dengan penilaian apa dan bagaimana

yang semestinya menurut kaidah, asas, norma-norma hukum, dan doktrin terhadap

substansi dalam UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK, sehingga permasalahan akan

dapat dijawab.

71Ibid

, hal. 109.

72Ibid

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Untuk mengetahui pengaruh secara simultan dan parsial insentif, budaya kerja, lingkungan kerja terhadap

Membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Kota Yogyakarta Masa Bakti Tahun 2017-2019 dengan susunan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan

Pada sistem bagi hasil antara syirkah al-‘inan dengan Koperasi Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry memiliki sedikit perbedaan karena pada syirkah inan sistem

buat jaring-jaring kubus, yang ditanyakan lintasan A ke B, GFN.GM3.. terbentuklah sebuah segitiga. ” masuk pada indikator gesture dalam pemecahan masalah yaitu

pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh pasien. Sistem dapat menangani pendaftaran pemeriksaan pasien kolektif. Tidak menangani proses penyerahan komisi dokter pengirim,

Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa tanaman padi tertinggi dihasilkan dari varietas Situ Patenggang (105,33 cm), kemudian Inpago 9 (99 cm), dan yang terendah Inpago

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nasabah yang sedang melakukan pengambilan kredit dan telah melakukan pengambilan kredit pada PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR)