METAFORA PADA RUBRIK OPINI
DALAM MAJALAH
TEMPO
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh :
Farida Trisnaningtyas
C0204026
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
METAFORA PADA RUBRIK OPINI
DALAM MAJALAH
TEMPO
Disusun oleh
FARIDA TRISNANINGTYAS C0204026
Telah disetujui oleh pembimbing Pembimbing
Drs. Kaswan Darmadi, M. Hum. NIP 196203031989031005
Mengetahui
Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta
METAFORA PADA RUBRIK OPINI
DALAM MAJALAH
TEMPO
Disusun oleh Farida Trisnaningtyas
C0204026
Telah Disetujui oleh
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 5 Februari 2010
Jabatan
Ketua
Sekretaris
Penguji I
Penguji II
Nama
Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag. NIP 196206101989031001
Miftah Nugroho, S.S., M.Hum. NIP 197707252005011002
Drs. Kaswan Darmadi, M.Hum. NIP 196203031989031005
Drs. Henry Yustanto, M.A. NIP 196204141990031002
Tanda Tangan
...
...
...
...
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta
PERNYATAAN
NAMA : Farida Trisnaningtyas NIM : C0204026
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul ”Metafora pada Rubrik Opini dalam Majalah Tempo” adalah benar-benar karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan orang lain. Hal-hal yang bukan karya penulis dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 5 Februari 2010 Yang membuat pernyataan
MOTTO
ُﺔَﺟﺎَﺟُّﺰﻟا
ٍﺔَﺟﺎَﺟُز
ﻲِﻓ
ُحﺎَﺒْﺼِﻤْﻟا
ٌحﺎَﺒْﺼِﻣ
ﺎَﮭﯿِﻓ
ٍةﺎَﻜْﺸِﻤَﻛ
ِهِرﻮُﻧ
ُﻞَﺜَﻣ
ِضْرﻷاَو
ِتاَوﺎَﻤَّﺴﻟا
ُرﻮُﻧ
ُﮫَّﻠﻟا
ُءﻲِﻀُﯾ
ﺎَﮭُﺘْﯾَز
ُدﺎَﻜَﯾ
ٍﺔَّﯿِﺑْﺮَﻏ
ﻻَو
ٍﺔَّﯿِﻗْﺮَﺷ
ﻻٍﺔَﻧﻮُﺘْﯾَز
ٍﺔَﻛَرﺎَﺒُﻣ
ٍةَﺮَﺠَﺷ
ْﻦِﻣ ُﺪَﻗﻮُﯾ
ٌّيِّر
ُد
ٌﺐَﻛْﻮَﻛ
ﺎَﮭَّﻧَﺄَﻛ
ِﻟِسﺎَّﻨﻠ
َلﺎَﺜْﻣﻷا ُﮫَّﻠﻟا
ُبِﺮْﻀَﯾَو
ُءﺎَﺸَﯾ
ْﻦَﻣ
ِهِرﻮُﻨِﻟ
ُﮫَّﻠﻟا
يِﺪْﮭَﯾ
ٌرﻮُﻧ
ﻰَﻠَﻋ ٌرﻮُﻧ ٌرﺎَﻧ
ُﮫْﺴَﺴْﻤَﺗ
ْ
ْﻢَﻟ
ْﻮَﻟَو
ٌﻢﯿِﻠَﻋ
ٍءْﻲَﺷ
ِّﻞُﻜِﺑ
ُﮫَّﻠﻟاَو
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
PERSEMBAHAN
Karya ini, penulis persembahkan untuk:
Bapak dan Ibu
Untuk ketulusan cinta dan kasih sayangnya, disertai pengorbanan yang tak ternilai juga iringan doa yang tiada henti
M. Farid Nurrohman M. Nuruddin Al Huda
Irawan Wibisono
Terima kasih untuk kebersamaannya dalam suka dan duka
Keluarga besar LPM Kentingan UNS Tempatku berehat dari segala penat
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan, kesehatan, dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar.
Dalam skripsi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak berikut.
1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa atas arahan yang diberikan selama penulis belajar. 3. Drs. Kaswan Darmadi, M. Hum., selaku pembimbing penulisan skripsi yang
telah bersedia meluangkan waktu, memberikan saran dan nasihat yang sangat berharga.
4. Drs. Wiranta, M. S., selaku pembimbing akademik selama kuliah.
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa atas curahan ilmunya. 6. Bapak dan Ibu dengan ketulusan cintanya serta senantiasa mendoakan dan
memberi dukungan kepada penulis.
7. Mas Irawan, Farid, dan Huda atas kebersamaannya yang diwarnai dengan senyuman dan canda tawa.
9. Keluarga Besar Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan: mas Irwan, mas Aryo, mas Anto, mas Faizin, mas Donal, mbak Nana, mbak Septi, Dita, Henri, Gembling, Fauzan, Fiki, Diah, Crisna, Aji, Black, Uut, Adi, Hasan, Yoh, Hendi, Lala, Titis, Mamad, dkk yang telah memberikan rumah kedua bagi penulis, tempat terindah merangkai mimpi.
10.Keluarga Glafeesa, alumni Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri Surakarta atas pertemanan yang tak lekang zaman.
11.Keluarga Besar SMPIT Al Hikmah, Gatak, Sukoharjo.
Hasil penelitian ini penulis lakukan dengan segenap kemampuan, namun penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis berharap semoga penelitian yang dilakukan ini dapat berguna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi penulis, pembaca pada umumnya, dan mahasiswa pada khususnya.
Surakarta, 5 Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR DIAGRAM... xii
DAFTAR TABEL... xiii
ABSTRAK ... xiv
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan Masalah ... 4
C. Perumusan Masalah... 5
D. Tujuan Penelitian ... 5
E. Manfaat Penelitian... 5
F. Sistematika Penulisan ... 6
BAB II KAJIAN TEORI ... 8
A. Tinjauan Studi Terdahulu... 8
B. Landasan Teori ... 10
1. Metafora ... 10
b. Proses Penciptaan Metafora ... 13
c. Keekspresivan Metafora... 15
d. Kadar Kemetaforaan ... 17
e. Bentuk dan Jenis Metafora ... 18
f. Pengimajian Metafora Berdasarkan Ruang Persepsi Manusia ... 22
2. Ragam Jurnalistik... 28
a. Karakteristik Bahasa Jurnalistik ... 29
b. Opini ... 30
C. Kerangka Pikir ... 32
BAB III METODE PENELITIAN ... 34
A. Jenis Penelitian... 34
B. Data dan Sumber Penelitian ... 35
C. Teknik Pengumpulan Data ... 36
D. Teknik Analisis Data... 37
E. Teknik Penyajian Data... 39
BAB IV ANALISIS DATA... 40
A. Bentuk Metafora... 40
1. Metafora Nominatif... 40
2. Metafora Komplementatif... 41
3. Metafora Predikatif ... 42
4. Metafora Kalimatif... 43
B. Jenis Metafora ... 45
3. Metafora Relasi Abstrak-Konkret (RAK)... 47
4. Metafora Sinaestetik ... 48
C. Kemiripan antara Wahana dan Tenor pada Rubrik Opini dalam Majalah Tempo... 50
1. Being (Keadaan)... 51
2. Cosmos (Kosmos) ... 54
3. Energy (Energi)... 56
4. Substance (Substansi) ... 57
5. Terrestrial (Terestrial) ... 58
6. Object (Benda) ... 59
7. Living (Kehidupan)... 68
8. Animate (Makhluk Bernyawa) ... 70
9. Human (Manusia) ... 73
D. Metafora yang Banyak Digunakan pada Rubrik Opini dalam Majalah Tempo... 90
1. Bentuk Metafora ... 90
2. Jenis Metafora ... 91
3. Pengimajian Berdasarkan Ruang Persepsi ... 93
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 94
A. Simpulan ... 94
B. Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 96
DAFTAR DIAGRAM
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kategori Ruang Persepsi Manusia Menurut Haley... 23
Tabel 2. Persepsi Kategori Being... 49
Tabel 3. Persepsi Kategori Cosmos... 52
Tabel 4. Persepsi Kategori Energy... 54
Tabel 5. Persepsi Kategori Substance... 55
Tabel 6. Persepsi Kategori Terrestrial... 56
Tabel 7. Persepsi Kategori Object... 57
Tabel 8. Persepsi Kategori Living... 66
Tabel 9. Persepsi Kategori Animate... 68
Tabel 10. Persepsi Kategori Human... 71
Tabel 11. Tipe Kemiripan antara Wahana dan Tenor... 87
Tabel 12. Bentuk Metafora ... 88
Tabel 13. Jenis Metafora ... 90
ABSTRAK
Farida Trisnaningtyas. C0204026, 2010. Metafora pada Rubrik Opini dalam Majalah Tempo. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi (1) bentuk dan jenis metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo, (2) kemiripan antara wahana dan tenor metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo, (3) metafora yang banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk dan jenis metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo, (2) mendeskripsikan kemiripan antara wahana dan tenor metafora pada rubrik Opini dalam majalah Tempo, (3) mendeskripsikan metafora yang banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah semantik. Data penelitian ini adalah data kebahasaan berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang mengandung metafora yang terdapat pada rubrik Opini dalam majalah Tempo. Sumber data penelitian ini adalah rubrik Opini yang terdapat dalam majalah Tempo yang diterbitkan pada bulan Januari 2008. Data yang diperoleh dari sumber data diedit, diklasifikasikan dan direduksi sebelum disajikan. Proses analisis meliputi usaha menemukan kemiripan antara wahana dan Tenor berdasarkan komponen bersama yang dimiliki keduanya. Analisis data berakhir apabila dalam kesimpulan telah diperoleh kaidah-kaidah sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Maka manusia satu dengan yang lainnya memiliki saling ketergantungan baik secara biologis, psikis, maupun sosial. Untuk itu, manusia perlu berkomunikasi satu sama lain karena mereka bisa saling mengungkapkan gagasan, keinginan, ataupun perasaannya. Dalam berkomunikasi itu manusia memerlukan wahana yang disebut bahasa.
“Bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri” (Harimurti Kridalaksana, 2005:3).
Bahasa merupakan alat komunikasi vital yang dipergunakan manusia untuk dapat memahami orang lain. Keberadaan bahasa menempati peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Bahasa bersifat produktif, yaitu, dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, 72.000 kata yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas (KBBI, 2002:xiii dalam Tri Winiasih, 2006:64).
Bahasa juga sebagai salah satu sarana untuk mengungkapkan pikiran atau gagasan seseorang. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi dalam pemakaiannya ada cara-cara untuk mengungkapkannya.
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu” (Gorys Keraf, 2000:112).
Gaya bahasa memang sering dipergunakan dalam sastra. Pengarang melalui karyanya bukan hanya ingin menyampaikan maksudnya. Akan tetapi, dia juga ingin menyampaikan perasaannya agar pembaca tahu maksud cerita serta merasakan apa yang dirasakan si tokoh dalam cerita. Demi tercapainya maksud-maksud tersebut maka pengarang senantiasa akan memilih kata dan menyusunnya sedemikian rupa dengan menggunakan perbandingan-perbandingan, menghidupkan benda-benda, melukiskannya dan sebagainya. Salah satu bentuk gaya bahasa yang banyak dikenal adalah metafora.
Metafora adalah salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna. Artinya berdasarkan kata-kata tertentu yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakaian bahasa dapat memberi lambang (sebutan ataupun kata) maupun belum. Pada dasarnya penciptaan metafora tidak ada habis-habisnya, dengan kata lain metafora memberi kesegaran dalam berbahasa, menjauhkan kebosanan karena ketunggalnadanan (monofon), mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tidak bernyawa (Edi Subroto, 1996:37).
Metafora sering diidentikkan dengan karya sastra, baik itu puisi, cerpen atau novel. Pada kenyataannya metafora juga terdapat dalam nonfiksi seperti dalam majalah, buku-buku, surat kabar dan sebagainya.
jurnalistik. Bahasa jurnalistik harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik.
Untuk membuatnya selalu menarik dan mudah dipahami oleh pembacanya, bahasa jurnalistik menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektivitas. Artinya, setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khayalak. Pilihan kata atau diksi dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak (Haris Sumadiria, 2006:19).
Dengan makna kiasan yang dikandungnya, metafora akan memberikan wawasan lain terhadap ungkapan kepada pembaca, sehingga dapat memperkaya perbendaharaan kata mereka. Di samping itu, metafora juga menjadi selingan menarik dari kemonotonan bahasa baku dan lugas pada wacana berita media massa. Karena pentingnya peranan metafora, maka penulis tertarik untuk menganalisis penggunaannya dalam penelitian ini. Penelitian ini akan mengkhususkan pembahasan metafora pada media cetak. Media cetak yang dijadikan sumber data adalah majalah Tempo.
Tempo telah menjelma menjadi barometer majalah berita di Indonesia.
Simbol kebebasan berekspresi ini menyajikan porsi berita baik berskala regional maupun internasional dalam bentuk politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, seni dan olahraga.
Rubrik Opini merupakan salah satu rubrik yang terdapat dalam majalah Tempo. “Dalam hal ini, rubrik Opini merupakan opini penerbit yang berarti
pandangan, pendapat atau opini dari redaksi terhadap suatu masalah yang terjadi di tengah masyarakat, dan dijadikan sajian dalam penerbitannya” (Totok Djuroto, 2002:77). Opini penerbit biasanya ditulis dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah tajuk rencana.
“Tajuk rencana merupakan pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan untuk mempengaruhi pendapat atau memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sebegitu rupa sehingga bagi kebanyakan pembaca akan menyimak pentingnya arti berita yang ditajukkan tadi” (Dja’far H. Assegaf: 1991 dalam Totok Djuroto, 2002:78).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan membahas metafora khususnya yang terdapat dalam rubrik Opini majalah Tempo.
B.
Pembatasan Masalah
C.
Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk dan jenis metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo?
2. Bagaimanakah kemiripan antara wahana dan tenor metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo?
3. Metafora apa yang banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo?
D.
Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan bentuk dan jenis metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.
2. Mendeskripsikan kemiripan antara wahana dan tenor tuturan metafora pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.
3. Mendeskripsikan metafora yang banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.
E.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis bermanfaat untuk:
1. memberikan perbendaharaan hasil penelitian dalam gaya bahasa metafora. 2. memperkaya khasanah penelitian di bidang ilmu linguistik khususnya dalam
perkembangan ilmu semantik.
Adapun secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk:
1. mendalami penggunaan metafora pada tuturan nyata dalam masyarakat. 2. memberikan wawasan tentang kemetaforaan dalam media massa. 3. mengetahui tujuan penulis berita menyisipkan gaya bahasa metafora.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan sangat diperlukan dalam sebuah penelitian karena dapat mengarahkan seorang peneliti pada cara kerja yang runtut dan jelas. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I merupakan bagian pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menguraikan latar belakang penelitian yang menjelaskan tentang alasan pemilihan data dan judul penulisan. Pembatasan masalah diutarakan dalam bab ini untuk memberikan batasan pada penelitian ini. Dari pembatasan masalah yang diutarakan, peneliti memperoleh beberapa rumusan masalah. Bab I ini juga menguraikan tujuan dan manfaat dari penelitian. Selain itu, sistematika penulisan juga diuraikan untuk menggambarkan urutan penelitian skripsi ini.
Bab II berisi kajian teori. Dalam kajian teori, peneliti menguraikan beberapa konsep teori yang berkaitan dengan penelitian ini.
Bab IV merupakan tahap inti dari penelitian. Bab ini merupakan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Tinjauan Studi Terdahulu
Edi Subroto (1992:89) memaparkan, masalah-masalah tertentu biasanya telah pernah diteliti ahli lain atau dibahas sekalipun dalam dimensi-dimensi yang tertentu batas-batasnya. Kewajiban peneliti untuk menyebutkan dan membahas seperlunya buku-buku atau hasil penelitian sejenis itu. Kegunaannya, di samping secara etis “menghargai" pendahulu, juga untuk menunjukkan keunggulan dan atau kekurangan serta posisi kita dalam rangkaian perjalanan ilmu pengetahuan.
Salah satu penelitian tentang metafora dilakukan oleh Henry Yustanto (1988) berupa skripsi berjudul “Kemetaforaan dalam Puisi-puisi Chairil Anwar. Skripsi ini membahas keekspresifan metafora dalam puisi-puisi karya Chairil Anwar. Teori yang dipakai untuk mengetahui ekspresivitas metafora dalam puisi Chairil Anwar adalah teori yang dikemukakan oleh Edi Subroto. Dalam teori Edi Subroto dijelaskan bahwa, apabila jarak antara tenor dan wahana jauh (kemiripan antara dua referen tidak nyata), maka akan menciptakan metafora yang ekspresif. Permasalahan lain yang dibahas dalam penelitian ini yaitu jenis-jenis metafora yang dipakai Chairil Anwar dalam mewujudkan gagasannya. Simpulan dari penelitian ini ialah (1) puisi-puisi karya Chairil Anwar sangat ekspresif, dan (2) metafora yang terdapat di dalamnya berhubungan dengan masalah kehidupan yang keras sesuai dengan keadaan zaman ini.
lirik lagu-lagu Ebiet G. Ade dari segi bentuk dan jenisnya, serta keekspresifan yang terdapat dalam lirik lagu tersebut. Hierarki ruang persepsi manusia menurut Michael C. Haley diterapkan dalam penelitian ini untuk mengetahui kategori-kategori metafora yang terdapat dalam lirik lagu Ebiet G. Ade. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa metafora kalimatif dan metafora kategori manusia (human) banyak ditemukan dalam lirik lagu-lagu Ebiet G. Ade sebesar 35,55%. Dari 149 data metafora dalam lirik lagu Ebiet G. Ade terdapat lima metafora konvensional dan empat metafora mati. Disebutkan pula lirik lagu Ebiet G. Ade sangat ekspresif.
Endang Dwi Suryawati (2006) pada skripsi yang berjudul “Kemetaforaan dalam Lirik Lagu Dangdut” meneliti wujud tuturan metafora lirik lagu dangdut dari segi jenis dan tingkat keekspresifan metafora yang terdapat dalam lirik lagu-lagu dangdut. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa metafora lirik lagu-lagu dangdut tidak seluruhnya memiliki tenor dan wahana. Munculnya metafora dalam lirik lagu dangdut dapat disebabkan oleh kebutuhan terhadap suatu istilah.
Penelitian Abd. Faisol (2003) berupa tesis berjudul “Metafora di dalam Ayat-ayat Alquran” meneliti bentuk penuturan metafora, lambang kias, efektivitas dan ekspresivitas metafora, serta fungsi tuturan metafora dalam ayat-ayat Alquran. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa fungsi penuturan metafora ayat-ayat Alquran (1) memperkaya makna (2) menjelaskan sesuatu yang abstrak agar tampak konkret, (3) memperhalus bahasa dan (4) menyangatkan arti.
wahana serta kekhasan tuturan metafora pada wacana berita surat kabar Solopos. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa bentuk dan jenis metafora yang banyak dipakai pada wacana berita surat kabar Solopos, yaitu metafora dari segi bentuk dan jenis metafora secara umum (menurut Ullmann). Simpulan dari penelitian ini yaitu pemakaian metafora pada ragam jurnalistik disebabkan oleh kebutuhan terhadap suatu istilah, dan hasil kreativitas seorang penulis untuk menimbulkan daya tarik secara emotif kepada pembaca.
Penelitian-penelitian yang dikemukakan di atas memiliki relevansi dengan penelitian yang sedang dilakukan, entah mengenai subjek, landasan teorinya atau teknik analisisnya. Dengan data dari rubrik Opini dalam majalah Tempo penelitian ini berusaha untuk mengkaji lebih lanjut mengenai tuturan metafora khususnya pada wacana berita yang belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian yang telah ada dan akan bermanfaat untuk mengembangkan kajian tentang bahasa figuratif, khususnya metafora.
B.
Landasan Teori
1. Metafora
a.Pengertian Metafora
ungkapan kebahasaan untuk mengatakan sesuatu yang hidup bagi makhluk hidup lainnya, yang hidup untuk yang mati, yang mati untuk yang hidup, atau yang mati untuk yang mati (Levin dalam Abdul Wahab, 1990). Sedang Abdul Wahab (1990:142) sendiri mengartikan metafora sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakai, karena makna yang dimaksud terdapat pada predisi ungkapan kebahasaan itu. Dengan kata lain, metafora ialah pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal yang lain.
Tarigan (1985:183) mendefinisikan bahwa metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti "memindah" berasal dari kata meta "di atas" atau "melebihi" dan pherein "membawa". Jadi dalam metafora membuat perbandingan antara dua hal untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bagaikan, umpama, laksana, dan sebagainya seperti perumpamaan.
Gorys Keraf (2000:139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Di dalamnya terlihat dua gagasan, yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan dan yang menjadi objek; dan yang satunya lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi dan menggantikan yang di belakang menjadi terdahulu.
Kris Budiman (2005:71) merujuk pada Webster’s Third New International Dictionary mendefinisikan metafora “a figure of speech in which a word or a
phrase denoting one kind of object or action is used in place of another to suggest
sepatah kata atau frasa yang mengacu kepada objek atau tindakan tertentu untuk menggantikan kata atau frasa lain sehingga tersarankan suatu kemiripan atau analogi di antara keduanya”).
Harimurti Kridalaksana (2001:136) menyatakan bahwa metafora merupakan pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan; misalnya. Kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia.
Metafora sebagai salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna, artinya berdasarkan kata-kata tertentu yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen tertentu, baik referen baru itu telah memiliki nama lambang (sebutan atau kata) ataupun belum atau dapat dinyatakan bahwa metafora adalah suatu perbandingan langsung karena kesamaan intuitif maupun nyata antara dua referen (Edi Subroto, 1996: 38 – 39 ).
Metafora merupakan satu betuk variasi pemakaian bahasa yang dapat dijumpai di dalam bahasa pada umumnya. Lakoff dan Johnson (1980 dalam Abdul Wahab, 1995:76) dalam bukunya Metaphors We Live By juga mengakui adanya kesemestaan metafora ini. Keduanya menyatakan bahwa metafora terdapat di dalam semua bahasa dan dialek.
Lakoff dan Johnson menjelaskan metafora bukan merupakan permasalahan bahasa semata karena proses berpikir manusia sebenarnya sangat metaforis ”metaphor is not just a matter of language, that is, of mere words. We shall argue that ... Human thought processes are largerly metaphorical. This is what we mean
when we say that human conceptual system is metaphorically structured and
b. Proses Penciptaan Metafora
Penulis yang kreatif tentu selalu ingin menyuguhkan tulisan-tulisan yang menarik. Untuk itu, ia akan memilih ungkapan yang baru dan segar, sehingga tidak akan mengulang ungkapan yang sama yang bisa menimbulkan kebosanan.
Pada dasarnya struktur dasar penciptaan metafora itu sangat sederhana. Ullmann (2007:265) menyatakan selalu ada dua hal: sesuatu yang sedang kita bicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang dipakai sebagai bandingan.
Ullmann mencontohkan kata dalam bahasa latin musculus ‘tikus kecil’, juga dipakai dalam makna kias ‘otot’, dalam bahasa Inggris kata itu menjadi muscle (baca:[musl]) ‘otot’. Dalam metafora ini, otot adalah tenor, sedangkan ‘tikus kecil’ adalah wahana. Dalam perbandingan ini bisa kita katakan bahwa metafora adalah “suatu perbandingan yang dipadatkan yang mengandung identitas intuitif dan konkret” (2007:266).
tuntutan-tuntutan semacam ini, toh tak dapat diragukan tentang pentingnya metafora dalam bahasa dan sastra.
Gambaran keadaan tersebut di atas dicerminkan oleh pengarang dalam mengungkapkan metafora, dalam suatu tuturan metaforis terdapat sesuatu atau hal yang kita perbincangkan dengan sesuatu yang kita bandingkan. Jadi bisa dikatakan bahwa ada kemiripan antara sesuatu yang diperbincangkan (sebut saja referen) dan yang kita bandingkan (sebut saja referen 2).
Referen yang diperbandingkan (R1) disebut dengan istilah tenor, sedangkan referen yang digunakan sebagai sarana pembanding (R2) disebut vehicle (wahana). Referen 1 dan Referen 2 merupakan dua hal yang tidak serupa, namun memiliki kemiripan, entah kemiripan yang bersifat objektif atau kemiripan perseptual atau kultural. Metafora yang memiliki kemiripan objektif antara tenor dan wahananya disebut metafora konvensional dan kurang memiliki daya ekspresif, karena kemiripannya begitu jelas. Contoh metafora seperti ini misalnya: mulut gua, leher botol, bibir sumur dan kepala penjahat.
c.Keekspresivan Metafora
“Daya ekspresivitas sebuah metafora ditentukan oleh jarak relasi antara tenor dan wahana. Apabila hubungan antara tenor dan wahana begitu jelas atau konkret, maka daya ekspresifnya kurang. Namun, apabila jarak relasinya begitu samar-samar, maka daya ekspresifnya menjadi kuat” (Edi Subroto, 1997:97).
“Jarak antara tenor dan wahana oleh Sayee disebut “sudut bayang” (angle of image). Manakala jarak antara tenor dan wahana begitu dekat, artinya kemiripan
antara dua referen begitu nyata dan berwujud maka penciptaan metafora yang konvensional. Misalnya punggung bukit, kaki gunung, kaki meja, dan sebagainya” (Edi Subroto, 1989:4). Adapun keserupaan maupun kemiripan sekaligus perbedaan dari suatu referen dapat diketahui dengan metode analisis komponen.
Edi Subroto menjelaskan (1996:33) metode analisis komponen dalam semantik adalah menguraikan atau proses mengurai (a process of breaking down) arti konsep suatu kata ke dalam komponen maknanya atau ke dalam semantik featurnya. Fitur semantik atau sebuah kata adalah seperangkat ciri pembeda arti
yang bersifat hakiki yang benar-benar mewakili dan diperlukan untuk membedakan unit leksikal yang satu dari unit leksikal yang lain yang seranah atau sedomain.
Misalnya kata kaki (manusia) dan kaki meja dapat dianalisis sebagai berikut.
Kaki (manusia) Kaki (meja)
- Bagian dari tubuh manusia - bagian dari meja
- Terbentuk dari daging dan tulang - terbuat dari kayu atau besi - Untuk berdiri (dan berjalan) - untuk berdiri
+ benda konkret + benda konkret
+ bagian di bawah + bagian bawah
Dari analisis di atas diketahui adanya keserupaan atau kemiripan makna yaitu sama-sama benda konkret, sama-sama bagian terbawah dan sama-sama berfungsi sebagai penyangga bagian atasnya. Dari kaki (manusia) dapat diterapkan pada bagian meja.
Semakin jauh jarak antara tenor dan wahananya, maka metafora tersebut semakin ekspresif. Apabila jarak antara tenor dan wahananya dihayati berdasarkan persepsi si pengarang atau berdasarkan persamaan emosional seseorang maka akan memberikan daya ekspresif yang kuat serta memberikan keterkejutan dan ketegangan yang tinggi, sehingga metafora yang demikian cenderung bersifat individual yang original. Kemiripan emotif memiliki daya ekspresif yang kuat dan tinggi, sehingga pada metafora yang emotif akan sulit menemukan hubungan antara tenor dan wahananya atau tingkat kemiripan yang samar-samar. Berikut contoh metafora yang berdaya ekspresif tinggi.
(1) Dengan kuku-kuku bersikuda menebah perut bumi
d. Kadar Kemetaforaan
Dipandang sebagai suatu gaya bahasa, keberadaan metafora tidak bisa dilepaskan dari daya ekspresif atau kadar kemetaforaan yang sifatnya tidak langgeng dan melekat pada tuturan tersebut.
1) Metafora Mati (Dead Metaphor)
Gorys Keraf (2007:137 – 139) mengilustrasikan kata manis dalam frasa lagu yang manis adalah suatu ringkasan dari analogi yang berbunyi: lagu ini merangsang telinga dengan cara yang sama menyenangkan seperti manisan
merangsang alat perasa. Dari analogi kualitatif ini kemudian banyak muncul
istilah-istilah baru dengan mempergunakan organ-organ manusia atau organ binatang seperti kepala pasukan, mata angin, sayap pesawat terbang, kapal terbang; kapal terbang analog dengan kapal laut, yaitu seperti kapal laut berlayar
di laut, maka kapal terbang berlayar di udara.
Kebanyakan perubahan makna kata mula-mula terjadi karena metafora. Lama-kelamaan orang tidak memikirkan lagi tentang metafora itu, sehingga arti yang baru itu dianggap sebagai arti yang kedua atau ketiga kata tersebut: berlayar, berkembang, jembatan dan sebagainya. Metafora semacam ini adalah metafora
mati.
2) Metafora Hidup (Living Metaphor)
Metafora hidup adalah metafora dimana kita masih dapat menentukan makna dasar dari konotasinya. Seperti pada contoh berikut.
(2) Perahu itu menggergaji ombak. Mobilnya batuk-batuk sejak tadi pagi.
Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa (dalam Gorys Keraf , 2007:139).
Kata-kata menggergaji, batuk-batuk, bunga dan bangsa masih hidup dengan arti aslinya.
e. Bentuk dan Jenis Metafora
1) Bentuk
Abdul Wahab (1995:72) mengelompokkan metafora secara sintaksis menjadi tiga, metafora nominatif, metafora predikatif, metafora kalimatif.
Pada metafora nominatif, lambang kiasnya hanya terdapat pada nomina kalimat. Karena posisi nomina dalam kalimat berbeda-beda, metafora nominatif dapat pula dibagi dua macam, yaitu metafora nominatif subjektif dan metafora nominatif objektif atau yang lazim disebut berturut-turut sebagai metafora nominatif dan metafora komplementatif saja.
yang mempunyai kandungan makna langsung. Kedua metafora tersebut dicontohkan berturut-turut sebagai berikut.
(3) Angin lama tak singgah. (Slamet Sukirnanto, 1983. “Tunggu” dalam Horison/XXI/235 dalam Abdul Wahab, 1995:72)
(4) Aku minta dibikinkan jembatan cahaya. (Ismet Natsir, dalam Linus Suryadi AG (ed), 1987. Tonggak 4:59 dalam Abdul Wahab, 1995:73).
Kata-kata yang dicetak miring pada kutipan di atas (angin sebagai subjek dan jembatan cahaya sebagai komplemen) memiliki makna kias, sedangkan kata-kata lainnya dinyatakan dengan makna yang sebenarnya dan tidak dikiaskan. Angin pada kalimat (3) mengiaskan ”utusan pembawa berita” , dan jembatan
cahaya pada kalimat (4) bermakna ”jalan yang terang”.
Dalam metafora predikatif, kata-kata lambang kias hanya terdapat pada predikat kalimat saja, sedangkan subjek dan komponen lain dalam kalimat itu (jika ada) masih dinyatakan dalam makna langsung, seperti pada contoh berikut.
(5) Suara aneh terbaring di sini. (T. Mulia Lubis, dalam Tonggak 4:15 dalam Abdul Wahab, 1995:73).
Kata terbaring merupakan predikat subjek kalimat “Suara aneh…” merupakan predikat yang cocok untuk mamalia (termasuk manusia). Suara aneh merupakan ungkapan kebahasaan dengan makna langsung dan dihayati sebagai manusia yang dapat terbaring.
Pada metafora kalimatif seluruh lambang kias yang dipakai tidak terbatas pada nomina (baik yang berlaku sebagai subjek maupun yang berlaku sebagai komplemen) dan predikat saja, melainkan seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu. Seperti pada kalimat berikut.
Seluruh kalimat di atas adalah kias. Tidak ada satu komponen pun dalam kalimat itu yang dipakai sebagai pengungkapan makna langsung. Metafora kalimatif di atas mengandung makna yang dimaksud, kira-kira “Semangat apa yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan?”
2) Jenis
Ullmann (2007:267 – 270) membagi metafora menjadi empat kelompok utama yang terjadi dalam berbagai bahasa dan gaya bahasa.
a) Metafora Antropomorfis
Metafora antropomorfis adalah metafora yang dinamai berdasarkan nama bagian tubuh manusia, atau sedikitnya nama bagian tubuh manusia dinamai berdasarkan sama bagian tubuh binatang atau benda-benda lainnya, misalnya kata mata. Kata mata mengacu pada alat indera manusia yang berfungsi untuk melihat, berbentuk (agak) kecil, bulat. Lewat alat indera itu cahaya ditangkap untuk melihat sesuatu. Berdasarkan nama alat indera itu, objek-objek tertentu diberi nama matahari, mataair, matajarum. Semua memperlihatkan ciri bulat, kecil, tempat keluar atau memasukkan sesuatu. Sebaliknya di dalam mata itu terdapat bagian yang bulat disebut “bola mata”. Penamaan bagian mata itu justru didasarkan atas nama suatu benda mati, yaitu bola.
b) Metafora Binatang
menggunakan nama binatang, misalnya telur mata sapi, mata kucing, rambut ekor kuda dan sebagainya.
Kelompok lain dari imajinasi terhadap binatang ini ditransfer kepada manusia di mana ada konotasi humor, ironis, peyoratif (melemahkan nilai) atau fantastik. Misalnya si kerbau, si jago, si kucing.
Benda-benda tak bernyawa juga ada yang bisa bertingkah, dan tingkah ini dimetaforakan dengan sumber binatang: truk itu menyeruduk mobil dari belakang, panas matahari yang menyengat, generasi muda telah menelurkan kreativitasnya.
c) Metafora Relasi Abstrak ke Konkret
Salah satu kecenderungan dasar dalam metafora adalah menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret. Dalam banyak hal, pengalihan atau transfer itu masih jelas, tetapi sebagian lagi masih memerlukan penelitian etimologis untuk melacak citra konkret yang mendasari kata yang abstrak itu. Misalnya, sorot mata, sinar mata, sinar wajah, hidupnya bersinar, otak cemerlang.
d) Metafora Sinaestetik
f. Pengimajian Metafora Berdasarkan Ruang Persepsi Manusia
Manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungannya di dalam berpikir dan menciptakan metafora, karena ia selalu mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Studi tentang interaksi antara manusia dengan lingkungannya (makhluk bernyawa maupun tidak bernyawa) disebut studi tentang sistem ekologi. Sistem ekologi yang dipersepsi manusia tersusun dalam suatu hierarki yang sangat teratur.
Michael C. Haley (dalam Abdul Wahab, 1995:77) membuat hierarki ruang persesi manusia itu seperti berikut.
BEING
COSMOS
ENERGY
SUBSTANCE
TERRESTRIAL
OBJECT
LIVING
ANIMATE
HUMAN
ialah LIVING, termasuk di sini alam tetumbuhan, sebab tumbuhan itu hidup. Tetapi, tidak semua yang hidup itu tetumbuhan. Begitu hierarki itu seterusnya berjenjang ke atas, sampai pada segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, termasuk konsep yang bersifat abstrak yang tidak dapat dihayati oleh indra, walaupun tak dapat disangkal keberadaannya. Karena itu, kategori ruang persepsi yang paling atas ialah BEING, untuk mewakili semua konsep abstrak yang tidak dapat dihayati dengan indra manusia.
Nomina antara kategori ruang persepsi manusia dan prediksi masing-masing kategori harus ada kesesuaian. Kesesuaian antara nomina dan prediksi
masing-masing kategori antara lain dapat dibaca pada tabel berikut.
Tabel 1. Kategori Ruang Persepsi Manusia Menurut Michael C. Haley
Interaksi antara manusia, hewan, tumbuhan, dan alam sekitarnya seperti terdapat dalam ruang persepsi manusia tercermin dalam lambang kias berikut.
KATEGORI CONTOH NOMINA PREDIKASI
BEING kebenaran, kasih ada
COSMOS matahari, bumi, bulan menggunakan ruang ENERGY cahaya, angin, api bergerak
SUBSTANCE semacam gas lembam
TERRESTRIAL gunung, sungai, laut terhampar
OBJECT semua mineral pecah
LIVING flora tumbuh
ANIMATE fauna berjalan, lari
a) Being
Kategori semantik BEING mencakup konsep atau pengalaman manusia yang abstrak. Ciri khas kategori ini ialah predikasi ada, walaupun tak dapat dihayati langsung oleh indra manusia. Contoh.
(7) Senja pun tiba
Suatu kurun waktu yang tak perlu kutanya
(Bambang Darto, dalam Tonggak 4:33 dalam Abdul Wahab, 1995:78)
Senja adalah konsep abstrak untuk menandai “tenggelamnya” matahari;
tetapi, konsep senja itu ada. Dalam kalimat metaforis ini, senja adalah kias untuk konsep usia lanjut manusia. Konsep senja yang dipakai sebagai lambang kias untuk konsep usia lanjut merupakan wujud interaksi antara manusia dengan BEING.
b) Cosmos
COSMOS tidak hanya ada, melainkan menempati ruang di jagad raya, dapat
diamati oleh indra mata, dan di sana, karena jauhnya. Contoh. (8) Matilah kau bulan
Telah mampus bumi Mentari pun kewalahan
(T. Mulia Lubis, dalam Tonggak 4:16 dalam Abdul Wahab, 1995:79)
Bulan, bumi dan matahari adalah benda-benda cosmos. Dalam kutipan di
Cirlot (1962:93) dihubungkan dengan tempat tumbuhnya kebudayaan atau kebudayaan itu sendiri. Sementara matahari, karena sifatnya yang universal, melambangkan semangat atau sumber kehidupan. Benda-benda angkasa tersebut dipakai oleh penyair untuk menyatakan pandangannya yang pesimis, yaitu tiadanya keindahan (dengan lambang bulan), tak berdayanya kebudayaan (dengan lambang bumi), dan hilangnya semangat hidup (dengan lambang matahari).
c) Energy
Predikasi khusus yang dipakai oleh kategori ini ialah bahwa ia tidak saja ada dan menempati ruang, melainkan juga adanya perilaku gerak. Contoh.
(9) Angin lama tak singgah. (Slamet Sukirnanto, 1983. “Tunggu” dalam Horison/XXI/235 dalam Abdul Wahab, 1995:79)
(10) Api apa membakar? (Slamet Sukirnanto, 1984. “Doa Pembakara”. Dalam Horison/XXI/198 dalam Abdul Wahab, 1995:79).
Angin dan api adalah dua bentuk sumber energi. Angin sebagai lambang
kias tidak mempunyai sifat universal. Bagi kebudayaan Indonesia, angin dikaitkan dengan pembawa pesan. Makna dengan konotasi positif dari angin mempunyai fungsi pengantar sari kepada putik dalam proses pembuahan. Ungkapan metafora di atas berarti ‘pembawa pesan tak singgah’. Sementara api, dikaitkan dengan konsep kehidupan, kesehatan, kekuasaan, dan tenaga spiritual.
d) Substance
Predikasi kategori ini ialah ada, membutuhkan ruang dan bergerak, ia juga mempunyai sifat lembam. Contoh.
(11)Sekumpulan puisi
Mencair diri (TM. Lubis, dalam Tonggak 4:18 dalam Abdul Wahab, 1995:80 dalam Abdul Wahab, 1995:80)
e) Terrestrial
TERRESTRIAL yaitu hamparan yang terikat oleh bumi seperti misalnya,
samudra, sungai, gunung, padang pasir, dan lain-lain. Contoh. (12)Masuk ruang kegelapan, dan gelas aku tambahkan
Mengarungi karang-karang kehidupan
(Sapardi Djoko Damono. 1987. Horison XXI/234 dalam Abdul Wahab, 1995:80)
Dalam metafora ini dapat diketahui sulitnya kehidupan itu dilambangkan oleh hamparan terrestrial, yaitu karang-karang. Makna karang yang diasosiasikan dengan kesulian hidup atau kekejaman hidup itu dapat dimengerti, sebab prediksi yang cocok untuk karang ialah: keras, tajam, sulit dipegang erat-erat, sebab kalau dipegang erat, lukalah tangan, tidak mulus atau tidak rata, dan melukai kulit jika tersentuh. Melalui ungkapan tersebut, penyair berusaha untuk melupakan kekerasan atau kekejaman hidup ini dengan jalan menenggak minuman keras di bar (digambarkan sebagai ruang gelap).
f) Object
Predikasi yang cocok untuk kategori OBJECT ialah sifatnya yang dapat pecah. Contoh.
(13)Mataku fiberglas
Bagai mainan bikinan Jepang Aku berjalan sempoyongan
(YA. Nugraha, dalam Tonggak 4:200 dalam Abdul Wahab, 1995:81)
lagi terhadap dunia sekitarnya, karena ia ada dalam keadaan kebingungan oleh perkembangan kehidupan.
g) Living
Predikasi kategori LIVING, yaitu bisa tumbuh. Contoh metafora dalam kategori ini biasanya dikaitkan dengan semua kehidupan flora dengan segala predikasinya. Contoh.
(14)Di taman bunga Mekar juga bersama
(Hamid Jabbar, dalam Tonggak 4:22 dalam Abdul Wahab, 1995:81)
Dalam kalimat metaforis di atas, kehidupan manusia, cinta, dan kekecewaan, tiga konsep yang abstrak, dihayati sebagai sesuatu yang konkret, yaitu masing-masing sebagai taman bunga dan bunga itu sendiri, sehingga predikasi yang cocok untuk bunga ialah kata mekar. Bunga, khususnya dipakai sebagai simbol untuk cinta, sifatnya universal.
h) Animate
Predikasi untuk kategori ini yang tidak terdapat pada kategori yang ada di atasnya, ialah kemapuannya berjalan, lari, atau terbang dan tentu saja, bernyawa. Contoh konkret untuk kategori ini umumnya diambil dari dunia fauna dan segala perilakunya. Seperti berikut.
(15)Tiada bunga-bunga berkembang di sana Kumbang pun tiada bersenda di sana
i) Human
Predikasi untuk kategori HUMAN, yaitu kemampuan berfikir, sehingga dapat melakukan berbagai macam perbuatan yang tidak mungkin dikerjakan oleh anggota-anggota kategori yang berada di atasnya. Contoh.
(16)Betapa tajamnya maut memandang Betapa dalam maut mendulang
(Sugandi Putra. 1988. Seratus Sanjak:46 dalam Abdul Wahab, 1995:82) Dalam kalimat di atas, maut atau kematian dihayati sebagai manusia yang dapat memandang dan mendulang emas atau intan. Kematian digambarkan selalu mengintai dan mengambil kehidupan, betapapun sulitnya, seperti sulitnya orang mendapatkan intan atau emas.
2. Ragam Jurnalistik
Jurnalistik, menurut Lislie Stephen, seperti yang dikutip Fraser Bond dalam buku “Pengantar Jurnalistik,” terdiri dari penulisan tentang hal-hal yang penting yang tidak anda ketahui”. Sementara Eric Hodgin mengatakan, jurnalistik adalah pengiriman dari sini ke sana dengan benar, seksama dan cepat, dalam rangka membela kebenaran, keadilan berfikir yang selalu dibuktikan. Sedang Assegaff mendefinisikan jurnalistik sebagai kegiatan untuk menyampaikan pesan atau berita kepada khalayak ramai (massa), melalui saluran media, entah media tadi media cetak maupun elektronik (Assegaff, 1985:11 dalam Mursito, BM, 1999:3).
kepenulisan pun berbeda dengan media lain (selain pers). Mereka menggunakan genre tersendiri yaitu yang dinamakan bahasa jurnalistik.
“Bahasa jurnalistik didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dnegan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya” (Haris Sumadiria, 2006:7).
Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa yang dipergunakan dalam majalah, surat kabar, televisi atau radio. Bahasa jurnalistik tidak berbeda dengan bahasa tulisan umumnya, kecuali beberapa kekhususan yang dimilikinya. Struktur atau tatanan susunan tata bahasa jurnalistik juga tidak berbeda dengan bahasa tulisan yang baku, serta tidak boleh menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, aturan-aturan di dalam bahasa Indonesia harus dipatuhi.
a. Karakteristik Bahasa Jurnalistik
Secara spesifik, bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu bahasa jurnalistik surat kabar, bahasa jurnalistik tabloid, bahasa jurnalistik televisi, dan bahasa jurnalistik media on line internet.
Selain harus mengikuti kaidah bahasa Indonesia, bahasa jurnalistik mempunyai sifat khusus, yaitu:
4) Sederhana 5) Lancar 6) Menarik 7) Netral
Sifat-sifat tersebut di atas itu membedakan bahasa jurnalistik dengan bahasa tulis lainnya seperti bahasa ilmiah. Ia berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Agar bahasa jurnalistik dapat menggugah perasaan pembacanya, ada beberapa ketentuan. Antara lain;
1) Penggunaan Kalimat Pendek 2) Penggunaan Kalimat Aktif 3) Penggunaan Bahasa Positif
Mengadakan penghematan merupakan unsur yang sangat diperhitungkan. Penghematan yang dimaksud bukan saja material tetapi juga di dalam penggunaan ruangan (space) surat kabar atau majalah.
Hal lain yang harus dihindari dalam mempergunakan bahasa jurnalistik ialah menghilangkan kerancuan. Kerancuan itu merupakan masalah yang erat kaitannya dengan kebiasaan menggunakan bahasa lisan yang kurang teratur.
“Bahasa jurnalistik, senantiasa mengutamakan keringkasan dan kelugasan. Tetapi bahasa jurnalistik juga disarankan tampil variatif, segar, dan berwarna. Gaya bahasa tertentu akan membuat tulisan tersebut lebih hidup, lebih segar, berwarna dan mampu mengembangkan imajinasi serta fantasi khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa” (Haris Sumadiria, 2006:43).
“Opini penerbit (desk opinion) adalah pandangan, pendapat atau opini dari redaksi terhadap sesuatu masalah yang terjadi di tengah masyarakat, dan dijadikan sajian dalam penerbitannya” (Totok Djuroto, 2002:77). Opini penerbit sering juga disebut “Suara Redaksi”. Pemimpin redaksi dari masing-masing penerbitan pers lah yang mempunyai hak menulis. Akan tetapi, pada pelaksanaannya seringkali pemimpin redaksi menugaskannya kepada orang lain.
“Penulisan opini penerbit ini bisa digunakan untuk menjelaskan informasi yang disajikan, mengkritik kebijaksanaan penguasa, memberikan gambaran suasana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat” (Totok Djuroto, 2002:77). Opini penerbit biasanya ditulis dalam beberapa bentuk, salah satunya Tajuk Rencana.
Tajuk rencana, ada juga yang menyebutnya sebagai “Catatan Redaksi”, bahasa kerennya adalah “Editorial”. Sebelum ada istilah tajuk rencana, koran-koran kuno menamakan opini penerbit ini sebagai “Induk Karangan” yang menerjemahkan bahasa Belanda “Hoofd Artikel”. Di Inggris, sebutan editorial jarang dikenal. Yang ada adalah sebutan “Leader News”. Penulisnya disebut sebagai “Leader Writer”. Dalam kamus bahasa Indonesia, karangan WJS Purwodarminto (dalam Totok Djuroto, 2002:77), tajuk rencana diartikan sebagai induk karangan pada surat kabar atau majalah.
Tajuk rencana merupakan sikap, pandangan atau pendapat penerbit terhadap masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan masyarakat. “Isi tajuk rencana senantiasa licin, didasari alasan kuat, dan meredam sekuat mungkin sikap menyerang terhadap suatu kebijakan atau isu publik” (Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2006:249).
mempertanyakan, mendukung atau bahkan mencela keputusan yang diambil oleh penguasa, atau pemikiran yang timbul di tengah masyarakat” (Totok Djuroto, 2002:78).
C.
Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah cara kerja yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang diteliti. Kerangka pikir yang terkait dalam penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada diagram di bawah ini.
Diagram Kerangka Pikir
Rubrik Opini
Majalah Tempo
Frasa, Klausa, dan Kalimat yang Mengandung Metafora
Bentuk dan Jenis Metafora
Kemiripan Wahana dengan Tenor
Penelitian ini bersumber pada rubrik Opini dalam majalah Tempo. Adapun yang diambil adalah yang mengandung metafora baik frasa, klausa ataupun kalimat dalam rubrik tersebut.
Wacana berita dalam surat kabar ataupun majalah didominasi oleh penggunaan kalimat berita. Pada setiap kalimat, verba merupakan konstituen yang sangat menentukan keseluruhan isi. Dari penggunaan kalimat dalam ragam jurnalistik, banyak ditemukan metafora, yang maknanya berbeda dengan makna harfiahnya. Metafora akan dikaji dari tiga sudut permasalahan, yakni (1) bentuk dan jenisnya, (2) hubungan kemiripan antara wahana dan tenor, dan (3) metafora yang paling banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya, senyatanya dengan tidak diubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan.
Penelitian linguistik pada umumnya dilakukan menurut model kualitatif. “Sekalipun beberapa aspek yang termasuk penelitian bahasa dapat atau lebih dilakukan menurut model penelitian kuantitatif, namun pada umumnya penelitian terhadap segi-segi tertentu bahasa dalam rangka menemukan pola-pola atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur di dalam bahasa lebih tepat dilakukan menurut model kualitatif” (Edi Subroto, 2007:10).
“Penelitian linguistik pada umumnya juga termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti adanya” (Sudaryanto, 1988:62).
kaidah-kaidah itu berdasarkan fenomena-fenomena yang dijumpai dan yang dikumpulkan.
B.
Data dan Sumber Data
“Data dapat yang diidentifikasi sebagai bahan penelitian bukanlah bahan mentah atau calon data, melainkan bahan jadi yang siap untuk dianalisis” (Sudaryanto, 1988:9). “Data sebagai objek penelitian secara umum adalah informasi atau bahasa yang disediakan oleh alam yang dicari dan dikumpulkan oleh peneliti” (Edi Subroto, 1992:34). Data dalam penelitian ini adalah data kebahasaan berupa frasa, klausa, maupun kalimat yang mengandung metafora yang terdapat pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.
Sumber data adalah asal data penelitian diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini berupa rubrik Opini dalam majalah Tempo, yaitu edisi Januari 2008 meliputi:
1. Edisi 46/XXXVI 07 Januari 2008 Judul : 1. Dendam Dinasti Bhutto
2. Hakim Mahkamah Konstitusi Pilihan Istana 3. Mengapa Kita Berbeda dari Malaysia 4. Kepastian Hukum Lumpur Lapindo 2. Edisi 47/XXXVI 14 Januari 2008
Judul: 1. Soeharto di Batas Waktu
3. Edisi 48/XXXVI 21 Januari 2008 Judul: 1. Mau Dibawa ke Mana, Pak
2. Lagu Sumbang Mentor Seberang 3. Peluang Emas Antasari Azhar 4. Akibat Telat Membaca Tren 4. Edisi 49/XXXVI 28 Januari 2008
Judul: 1. Amerika Demam, Kita Runyam 2. Mudarat Sang Pemberi Fatwa 3. Polly Dihukum, Kejar Dalangnya 4. Pak Kaning Lebih Baik Mundur
C.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan tahap awal yang penting dalam proses penelitian, sebelum menginjak pada dua tahapan penting berikutnya yakni penganalisaan data dan penyajian hasil analisis data.
Pegumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik pustaka. “Teknik pustaka adalah teknik pengumpulan data yang berdasarkan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data yang diinginkan” (Edi Subroto, 2007:47). Data yang telah diperoleh dengan menggunakan teknik pustaka diberi nomor data. Penomoran dilakukan dengan menyertakan edisi, tanggal, bulan, dan tahun terbit.
Contoh pencatatan data:
Keterangan:
1. 46 : Nomor Data
2. kal : Kalimatif, Bentuk Metafora 3. bin : Binatang, Jenis Metafora 4. 7 : Tanggal Terbit
5. Jan : Januari, Bulan terbit 6. 08 : Tahun Terbit
D.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan teknik dalam memeriksa dan menganalisis data sehingga menghasilkan data yang akurat dan benar-benar dapat dipercaya. Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di depan, penelitian ini akan menganalisis tiga hal pokok, yakni bentuk dan jenis metafora, kemiripan antara wahana dengan tenor, dan kekhasan tuturan metafora pada ragam jurnalistik, khususnya pada wacana berita majalah Tempo. Oleh karena itu, ada beberapa teknik analisis yang diterapkan sesuai dengan relevansinya dengan masing-masing item.
Untuk menganalisis bentuk metafora akan digunakan metode Agih, dengan teknik dasar Bagi Unsur Langsung (BUL) dan teknik lanjutan teknik Ganti dan teknik Ubah Ujud (parafrasa). Pada bagian ini peneliti akan mengklasifikasikan bentuk metafora, dengan digunakan konsep Abdul Wahab, yakni dengan klasifikasi metafora nominatif, komplementatif, predikatif dan kalimatif.
(RAK) dan sinaestetik—dan kemiripan antara wahana dengan tenor, akan digunakan metode Padan, karena kedua hal tersebut terkait dengan faktor di luar bahasa. Dalam analisis kemiripan antara wahana dengan tenor peneliti akan membandingkan komponen makna denotatif yang diterapkan pada wahana terlebih dahulu, kemudian dibandingkan dengan komponen pada tenor, sehingga dapat menarik kesimpulan tentang kemiripan di antara keduanya. Pada tahap ini digunakan teknik dasar yang disebut Pilah Unsur Penentu (PUP). Untuk mengetahui referen setiap tuturan metafora-sehingga dapat menentukan komponen-komponen maknanya-digunakan daya pilah yang bersifat mental. Pada proses penarikan kesimpulan tentang adanya kemiripan (antara wahana dan tenor) digunakan teknik lanjutan, yakni teknik hubung banding untuk menyamakan hal pokok (HBSP) (Sudaryanto, 1993:21-29).
Adapun untuk menganalisis metafora yang banyak digunakan (kecuali dari segi bentuk), akan digunakan metode kontekstual, yang mencakup konteks budaya dan konteks situasi. Tuturan metafora yang terkandung dalam data akan dianalisis kekhasannya, dipandang dari segi (1) bentuk, (2) jenis, (3) kategori pengimajian.
Seperti diterangkan di muka bahwa untuk mengklasifikasikan bentuk metafora, akan digunakan konsep Abdul Wahab dan untuk mengklasifikasikan jenis metafora akan digunakan konsep Ullmann. Untuk kriteria pengimajian akan digunakan konsep hierarki ruang persepsi menurut Haley, yakni dengan kategori Being (Keadaan), Cosmos (Kosmos), Energy (Energi), Substance (Substansi),
Terrestrial (Terestrial), Object (Benda), Living (Kehidupan), Animate (Makhluk
E.
Teknik Penyajian Data
BAB IV
ANALISIS DATA
A.
Bentuk Metafora
Telah diungkapkan di muka bahwa untuk menganalisis bentuk tuturan metafora, penelitian ini akan menggunakan pendapat Abdul Wahab yang mengklasifikasikan metafora dari segi sintaksis. Dalam klasifikasi ini metafora dikelompokkan menjadi (1) metafora nominatif, (2) metafora komplementatif dan (3) metafora kalimatif. Metafora nominatif dibedakan menjadi dua: pada posisi subjek disebut metafora subjektif atau nominatif saja dan pada posisi objek disebut metafora komplementatif.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari rubrik Opini pada majalah Tempo, keempat bentuk metafora tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Metafora Nominatif
Pada metafora nominatif tuturan yang mengandung makna metaforis berkategori nomina, khususnya yang berperan sebagai subjek kalimat. Posisi subjek selalu diisi oleh nomina, sehingga metafora ini termasuk metafora subjektif atau nominatif saja. Contoh-contoh berikut mengandung tuturan metafora nominatif.
(17) Lebih terasa tidak adil ketika tokoh kunci di balik keluarnya radiogram itu belum ditetapkan sebagai tersangka (129/nom/RAK/21/Jan/08).
Tokoh kunci pada kalimat (17) merupakan metafora nominatif, karena
berfungsi sebagai subjek. Dalam kalimat tersebut, tokoh kunci ditujukan pada Hari Sabarno selaku orang Departemen Dalam Negeri yang terjerat dalam kasus pembelian mobil pemadam kebakaran di daerah-daerah. Dia yang bertanggung jawab penuh atas terbitnya radiogram yang dikeluarkan oleh departemennya. Ketika semua bukti sudah mengarah padanya, KPK terkesan hanya melirik kasus-kasus kecil saja. Kata kunci sendiri berarti alat yang dibuat dari logam untuk membuka atau mengancing pintu dengan cara memasukkannya ke dalam lubang yang ada pada induk kunci. Maka sebuah pintu tidak bisa dibuka kecuali dengan kunci.
Kalimat (18) mengandung metafora nominatif, karena tiang penyangga berkategori nomina dan berperan sebagai subjek. Tiang penyangga merupakan pilar atau kekuatan dalam dunia ekonomi, salah satunya adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Maka sepanjang nilai tukar rupiah tidak melemah, ekonomi Indonesia lebih mudah dijaga. Hal ini seperti sebuah bangunan yang harus ada tiang yang menyokongnya supaya bangunan itu tetap kokoh berdiri dan tidak mudah ambruk.
2. Metafora Komplementatif
Pada metafora komplementatif tuturan yang mengandung makna metaforis juga berkategori nomina, namun tidak berfungsi sebagai subjek seperti pada nomor 1 di atas. Metafora bentuk ini dapat disimak pada kalimat-kalimat berikut.
(20) Soeharto mungkin bersalah di mata kelompok reformis, tapi di mata penyokong Orde Baru tidaklah demikian (71/kom/ant/14/Jan/08).
Kalimat (19) memuat tuturan metafora komplementatif, yakni komoditas politik. Komoditas adalah barang dagangan utama yang dapat digolongkan
menurut mutunya sesuai dengan standar internasional. Dalam kutipan berita di atas, kematian mendadak perdana menteri Benazir Bhutto akibat hantaman bom akan menjadi sesuatu yang berharga untuk dijadikan senjata. Mengingat pada saat yang berdekatan Pakistan akan menggelar pemilu, maka peristiwa tragis tersebut bisa melipat gandakan suara PPP, partai Benazir Bhutto. Keadaan genting dalam tubuh PPP ini, memberikan keuntungan bagi lawan politiknya, Pervez Musharraf.
Pada tuturan (20) terdapat tuturan metafora di mata kelompok reformis pada fungsi objek. Mata adalah bagian dari manusia ataupun binatang yang berfungsi sebagai indra penglihat. Kalimat (20) dikatakan Soeharto, presiden RI kedua, mungkin bersalah di mata kelompok reformis, tapi bagi para penyokong Orde Baru tidaklah demikian. Kata di mata bermakna menurut pandangan atau pendapat dalam hal ini para kaum reformis dengan pendukung Soeharto atas kesewenang-wenangannya saat ia berkuasa 32 tahun.
3. Metafora Predikatif
Pada metafora predikatif kata-kata yang memiliki lambang kias terdapat pada posisi predikat, dan komponen kalimat lainnya bermakna denotatif, seperti pada kalimat berikut.
(22) KPK mesti menggali informasi dan bukti lebih dalam dari kedua bekas pejabat itu untuk mengakhiri ”saling gigit” di antara keduanya (133/pre/RAK/21/Jan/08).
Metafora predikatif yang terdapat pada kalimat (21) adalah mengantongi. Mengantongi berasal dari kata kantong. Kantong sendiri berupa tempat untuk
membawa sesuatu. Sedangkan mengantongi sendiri berarti memasukkan sesuatu ke dalam kantong. Ungkapan mengantongi suara pada kalimat (21) merupakan metafora, karena kata tersebut digunakan bersama kata suara dan subjeknya adalah manusia (pendukung PPP dan partai Liga Muslim-Q) yang tidak mungkin dikantongi dalam saku ataupun dompet. Di samping itu, kata suara sebenarnya tentu tidak bisa dimasukkan dalam kantong. Ungkapan mengantongi suara berarti memperoleh jumlah pemilih yang banyak agar dapat memenangi pemilu.
Metafora yang terdapat pada kalimat (22) adalah menggali. Kata menggali berarti mengambil sesuatu dari dalam tanah dengan membuat lubang. Dalam arti leksikalnya menggali digunakan dengan objek konkret, misalnya pada kalimat “Ayah menggali tanah yang kering”. Penutur kalimat (22) menyandingkan kata menggali dengan objek abstrak, yakni “informasi”. Jadi kata informasi
disejajarkan dengan benda konkret seperti tanah, lubang, sumur dan sebagainya.
4. Metafora Kalimatif
Pada metafora kalimatif seluruh komponen kalimat mengandung lambang kias. Metafora jenis ini dapat disimak pada contoh berikut.
(24) Sikap ”enggan” itu cermin pergulatan politik di langit-langit kekuasaan (66/kal/RAK/14/Jan/08).
Maksud kalimat-kalimat pada kutipan berita di atas tidak bisa dilacak hanya dengan pengertian secara harfiah dari setiap unsurnya. Untuk memahami secara tepat, pembaca harus mempertimbangkan konteks kalimat tersebut dituturkan.
Kalimat (23) si penjaga konstitusi perlu dipastikan tidak punya catatan buruk dalam soal korupsi bermaksud bahwa mahkamah konstitusi harus diisi
dengan hakim-hakim yang kapabel dan berintegritas tinggi. Hakim-hakim tersebut diibaratkan sebagai penjaga gawang konstitusi. Oleh karena itu, mereka para penegak hukum yang duduk di sana mestinya bebas dari kepentingan politik, pandai di bidang hukum serta punya prestasi yang baik. Maka para pioner juga tidak boleh mempunyai catatan buruk, artinya harus bersih dari segala tindak kriminal. Kabar ini mencuat seiiring munculnya isu pengangkatan bekas Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra untuk masuk MK. Padahal mantan menteri itu tersandung kasus pencairan uang senilai 90 miliar milik Tommy Soeharto di Bank BNP Paribas. Sebelumnya Presiden memberhentikannya karena mendapat tekanan publik tetapi, tiba-tiba muncu isu pengangkatannya untuk masuh ke tubuh MK.
pergulatan politik itu berbuah kompromi dengan meniadakan perintah khusus,
misalnya memberikan status tersangka pada Soeharto. Di langit-langit secara harfiah berarti papan sebagai penutup bagian atas ruangan di bawah atap. Akan tetapi keadaan politik di Indonesia yang belum bisa mengadili seseorang yang sudah jelas bersalah. Pengadilan memang tidak pernah menghadirkan orang sakit.
B.
Jenis Metafora
Stephen Ullmann membagi metafora menjadi empat, yakni metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora hubungan abstrak-konkret dan metafora sinaestetik. Pengelompokan ini akan diterapkan pada tuturan metafora yang dikutip dari rubrik Opini majalah Tempo, seperti dipaparkan sebagai berikut.
1. Metafora Antropomorfis
Pada metafora antropomorfis terdapat relasi kata dengan bagian tubuh manusia. Metafora ini memanfaatkan fitur tubuh manusia sebagai alat perbandingan. Metafora seperti ini dapat dilihat pada contoh-contoh berikut.
(32) Ini penting lantaran ditengarai keteledoran terjadi akibat pengeboran dilakukan tanpa casing ketika mata bor menembus kedalaman tertentu (56/kal/ant/7/Jan/08).
(33) Mudah dibayangkan, seandainya kelak para kroni diseret ke pengadilan, mereka pasti buang badan dan berdalih hanya menjalankan instruksi Soeharto (106/kal/ant/21/Jan/08).