• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID

23 JULI 2001

SKRIPSI

Oleh:

IRYANI DESPIANTI

NIM K 4404026

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID

23 JULI 2001

Oleh:

IRYANI DESPIANTI

NIM K 4404026

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan

Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(4)

commit to user

(5)
(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Iryani Despianti. DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID 23 JULI 2001, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, April. 2012

Penelitian bertujuan untuk mengetahui (1) Latar belakang dikeluarkannya dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001. (2) Pelaksanaan dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001. (3) Dampak dari dikeluarkannya dekrit presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001 bagi Abdurrahman Wahid sebagai presiden pada saat itu serta sistem pemerintahan Indonesia setelah dikeluarkannya dekrit.

Penelitian ini menggunakan metode historis dengan langkah-langkah, heuristik, kritik, interpretasi, historiografi. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis berupa surat kabar (Kompas, Media Indonesia), dan sumber data sekunder berupa buku. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data historis yang mengutamakan ketajaman interpretasi sejarah.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Latar belakang dikeluarkannya dekrit oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001 adalah: (a) Adanya hubungan yang tidak harmonis antara presiden dengan DPR/MPR sebagai akibat pernyataan dan kebijakan presiden yang kontroversial (b) Dekrit presiden Abdurrahman Wahid merupakan perlawanan presiden atas politisasi kasus Bruneigate dan Buloggate yang bertujuan menjatuhkan presiden Abdurrahman Wahid melalui memorandum I dan memorandum II (c) Percepatan Sidang Istimewa MPR. (2) Dekrit presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001 tidak dilaksanakan karena tidak didukung oleh parlemen, TNI dan POLRI. (3) Dampak dikeluarkannya dekrit tanggal 23 Juli 2001 adalah: (a) Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan sebagai presiden melalui ketetapan MPR RI No II/MPR/2001. (b) Penetapan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden melalui ketetapan MPR RI No. III/MPR/2001 dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden melalui ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2001. (c) Terjadi perubahan pada sistem pemerintahan presidensial yaitu mengatur adanya pembatasan dan pembagian kekuasaan kelembagaan negara yaitu pengangkatan presiden berdasarkan kedaulatan rakyat, presiden tidak dapat membubarkan DPR serta mekanisme pemberhentian presiden oleh MPR lebih dipersulit karena membutuhkan pembuktian dari Mahkamah Konstitusi.

(7)

commit to user ABSTRACT

Iryani Despianti. DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID 23 JULI 2001, Minithesis. Surakarta: teacher training and education faculty of Sebelas Maret University Surakarta, April. 2012.

The aims of the research were (1) To know the background of Abdurahman Wahid issued the presidential decree on 23rd July 2001 (2) To know the implementation of Abdurahman Wahid’s presidential decree on 23rd July 2001 (3) To know the impact of Abdurrahman Wahid issued the presidential decree on 23rd July 2001.

This research used historical method. The steps were heuristic, critical, interpretation, and historiography. Data sources used in this research is written sources which cover primary and secondary sources. The primary source used were in the form of article and the opinion of personages at that time and the relevant personages. The newspaper (Kompas and Media Indonesia). The secondary source was a book. The data were analyzed by using historical data analysis technique that emphasized to the sharpness of the historical interpretation.

Based on the research, it can be concluded that: (1) The background of Abdurahman Wahid issued the presidential decree on 23rd July 2001 is: (a) the inharmonic relationship between the president and the DPR as the result of the President’s controversial statement and policy which considered being disappointing by the MPR/DPR. (b) Abdurahman Wahid’s presidential decree was the president’s opposition for politicizing the Bruneigate and Buloggate cases with goal of dropping the president through the 1st and 2nd memorandums. (c) the acceleration of the MPR special memorandum sessions. (2) The enforcement of the decree on 23rd July 2001 could not be implemented because the TNI and POLRI were not support it. (3) the result of the issued of the presidential decree on 23rd July 2001 were: (a) The president Abdurrahman Wahid was dismissed as President trough the determination of MPR RI No. II/MPR/2001. (b) Determining Megawati Soekarnoputri as president through the determination of MPR RI No. III/MPR/2001 and Hamzah Haz as vice president through the determination of MPR RI No. IV/MPR/2001. (c) The government system changed to be presidential system which is president is directly elected by the citizens through the election and the mechanism of president demission by the MPR become more difficult because it needs constitutional court’s verification.

(8)

commit to user

viii MOTTO

”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka

merubah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah

menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat

menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain-Nya”

(9)

commit to user PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

• Bapak dan Ibu tercinta...

• Mas Pipink dan Mbak Tini yang kubanggakan

• Sahabatku ’Hierogliphers’

• Teman-teman Sejarah ’04 terima kasih atas persahabatan dan hari-hari yang indah

(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Dalam proses penulisan ini terdapat beberapa hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bantuannya, disampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial

FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.

4. Drs. Djono, M.Pd selaku pembimbing I yang telah dengan perhatian dan sabar dalam memberi pengarahan dan bimbingan.

5. Dra. Sri Wahyuni, M. Pd selaku pembimbing II yang telah dengan perhatian dan sabar dalam memberikan pengarahan dan bimbingan.

6. Semua dosen Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS.

7. Ayah dan Ibu tercinta yang telah memberikan doa dan kasih sayang yang tulus 8. Sahabatku Ana, Ela, Ega, Devi, Diah, Farida, Mba Nur, dan Yanik atas semua

bantuan, dukungan dan perhatian kalian selama ini. 9. Almamater.

Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga dunia pendidikan.

Surakarta, April 2012

(11)

commit to user DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PENGAJUAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN ABSTRAK ... vi

HALAMAN MOTTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Politik Pemerintah. ... 9

2. Dekrit ... 13

B. Kerangka Pemikiran ... 17

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

1. Tempat Penelitian... 19

2. Waktu Penelitian ... 19

B. Metode Penelitian ... 19

C. Sumber Data ... 20

(12)

commit to user

xii

E. Teknik Analisis Data ... 22

F. Prosedur Penelitian ... 23

1. Heurisrik ... 24

2. Kritik ... 24

3. Intepretasi ... 24

4. Historiografi ... 26

BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Kondisi Umum Politik di Indonesia tahun 1998-1999 ... 27

1. Kondisi Umum Politik di Indonesia sebelum Pemilihan Presiden 1999. ... 27

2. Pemilihan Presiden di Indonesia tahun 1999 ... 29

3. Sosok Abdurrahman Wahid ... 33

B. Latar Belakang Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001 ... 34

1. Kabinet Persatuan Nasional ... 35

2. Kabinet Persatuan Nasional II ... 42

C. Proses Terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001 ... 51

D. Dampak yang Timbul atas Dikeluarkannya Dekrit 23 Juli 2001 ... 54

1. Pencabutan Mandat dan Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR RI ... 54

2. Penetapan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ... 56

3. Terjadi Perubahan Sistem Pemerintahan Presidensial ... 58

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 64

B. Implikasi ... 65

1. Teoritis ... 65

(13)

commit to user

C. Saran ... 66

(14)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring

dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Memasuki pertengahan tahun 1997

beberapa negara Asia seperti Korea, Thailand, dan Malaysia mulai terlanda krisis

moneter. Kekhawatiran banyak pihak bahwa krisis itu bakal menulari Indonesia

menjadi kenyataan. Bulan juli 1997 nilai rupiah terus merosot. Di bulan agustus

nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp. 2.575,- menjadi Rp.

2.603,-. Bulan berikutnya turun lagi menjadi Rp. 3.000,-per dolar AS. Bulan

oktober menjadi Rp. 3.845,- per Dolar AS. Dalam bulan-bulan berikutnya

kemerosotan nilai rupiah lebih tidak masuk akal lagi. Pada bulan mei 1998 rupiah

diperdagangkan Rp. 10.000,- dan dalam seminggu berikutnya anjlok menjadi Rp.

12.600,- ( Muhamad Hisyam, 2003: 56).

Dampak dari kemerosotan nilai tukar rupiah mengakibatkan harga barang

kebutuhan pokok melambung tinggi dan menurunnya daya beli masyarakat. Hal

ini menimbulkan aksi demonstrasi menuntut diturunkannya harga barang yang

terjadi di berbagai kota besar di Indonesia.

Aksi-aksi rakyat yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepat

berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto.

Gejolak politik ini terkait dengan situasi perekonomian yang semakin buruk

akibat krisis moneter yang menghantam sebagian kawasan asia seperti Thailand,

Korea Selatan, dan Filipina. Di Indonesia nilai tukar rupiah yang terus melorot,

menimbulkan rush: orang ramai-ramai melepas rupiah untuk ditukar dolar Amerika. Harga-harga membumbung tidak terkendali (Tjipta Lesmana, 2009:

117).

Pelopor penentang Presiden Soeharto dan Orde Baru adalah para

mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung

MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan

(15)

commit to user

menyebabkan sulitnya mereka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya

dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia.

Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden mundur. Kemudian 14 orang

menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung

dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk

memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik ini, Presiden

Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan dari rakyat dan

orang-orang dekatnya sendiri (Miriam Budiardjo, 2008:133).

Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan

diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada

wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde

Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Menurut Mahfudz Sidiq (2003: 235) di

masa pemerintahan B. J. Habibie atas desakan elemen-elemen gerakan reformasi,

telah menyediakan sejumlah perangkat yang dibutuhkan bagi pemilu demokratis.

Diantaranya: Hak paten untuk mendirikan partai, adanya penyelenggara pemilu

yang independen, kebebasan pers, kebebasan untuk melakukan pengawasan

pemilu, birokrasi sipil dan militer yang netral, kehadiran pemantau asing, serta

keberanian rakyat untuk melakukan protes terhadap penyimpangan-penyimpangan

yang terjadi. Lembaga DPR pun telah mengesahkan tiga perangkat UU sebagai

landasan penyelenggaan pemilu ini.

Pemerintahan B. J. Habibie hanya bertahan selama 1 tahun 5 bulan (21

Mei 1998 - 20 Oktober 1999) dan dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih

anggota MPR dan DPR pada 7 Juni 1999.

Menjelang pemilihan umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141

dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak

98, namun yang memenuhi syarat mengikuti pemilu hanya 48 partai politik saja.

Tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan pemilihan umum multipartai kedua sejak

tahun 1955. (P. N. H. Simanjutak, 2003:414)

Hasil pemungutan suara pada pemilu 1999 menempatkan lima partai

besar yang menduduki keanggotaan di MPR dan DPR. Sebagai pemenangnya

(16)

commit to user

3

153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% sehingga mendapat 120 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 13.336.982 suara atau 12,61% persen mendapat 51 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh 11.329.905 suara atau 10,71% mendapat 58 kursi. Partai Amanat Nasioal (PAN) memperoleh 7.528.956 suara atau 7,12% mendapat 34 kursi. (www.tempointeraktif.com).

Dari hasil pemilu 1999 dapat diketahui terdapat dua partai politik yang

memperoleh suara terbanyak, yakni PDI Perjuangan ( 33,74% ) dan Golkar

(22,44%). Dalam perjalanannya, kedua partai tersebut tidak serta merta bisa

menguasai percaturan politik di DPR. Hal ini dikarenakan munculnya kekuatan

koalisi baru yang dikenal dengan koalisi poros tengah.

Latar belakang kemunculan poros tengah, menurut Untung Wahono,

memiliki beberapa versi yang saling melengkapi. Pertama, dalam rangka menarik

Amien Rais ke kubu Islam. Kedua, dalam rangka memunculkan kekuatan politik

alternatif berbasis Islam. Ketiga, memecah kebekuan alternatif calon presiden RI

pasca Pemilu 1999. Keempat, untuk memberikan jaminan berjalannya agenda

reformasi melalui pendekatan penawaran kekuatan ( Mahfudz Sidiq, 2003:244)

Awalnya tidak ada yang tahu benar kelompok apa Poros Tengah itu,

tetapi menjelang akhir Juni 1999 kelompok ini mulai diperlakukan sebagai blok

kekuasaan ketiga yang dapat dipercaya dan pers menuliskannya dengan huruf

kapital. Awalnya orang beranggapan bahwa setelah pemilu, keseimbangan

kekuasaan terbagi rata antara kaum reformis yang dipimpin oleh PDI-P dan PKB

dan kelompok koalisi yang dipimpin Golkar dan PPP bersama dengan

partai-partai Islam kecil. Kini ada Poros Tengah yang dipimpin oleh Amien Rais dan

kelompok ini bisa menarik PPP, Partai Bulan Bintang (PBB), dan PK. Pada waktu

yang sama, Amien, atas nama Poros Tengah, mulai mengembangkan ide untuk

menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pencalonan ini

dikatakan merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara

kelompok Megawati dan kubu Habibie (Greg Barton, 2010:361)

Pada 20 Oktober 1999, SU MPR sampai pada sesi pemilihan presiden RI

(17)

commit to user

menghasilkan Abdurrahman Wahid memperoleh 373 suara dan Megawati meraih

313 suara. Dengan demikian, MPR akhirnya menetapkan Abdurrahman Wahid

sebagai presiden RI periode 1999-2004 (Mahfudz Sidiq, 2003: 245).

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, hubungan yang dibangun

antara presiden dan DPR tidak harmonis karena banyak konflik yang lahir dari

kebijakan yang dikeluarkan presiden. Awal konflik presiden dengan DPR adalah

dari kebijakan pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan.

Menurut Khamani Zeda, meski kebijakan itu cukup penting untuk menumbuhkan

budaya demokrasi dengan memberikan ruang publik yang bebas bagi media

massa dan sekaligus upaya pemberdayaan civil society yang selama ini selalu dikooptasi negara, namun kebijakan itu tak ubahnya seperti menciptakan musuh

baru bagi pemerintahannya ( Mahfudz Sidiq, 2003: 250)

Kebijakan-kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dalam menjalankan

pemerintahan sering menimbulkan konflik dengan DPR. Ketegangan ini lebih

terlihat sebagai petarungan politik antara presiden dengan partai politik yang ada.

Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan konstelasi politik di DPR yaitu

upaya untuk mengganti presiden. PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pada

pemilu 1999 yang harus menerima kekalahan pada saat pemilihan presiden di

MPR, mendapat dukungan dari partai politik yang tergabung dalam poros tengah

yang semula mendukung Abdurrahman Wahid guna mengangkat Megawati

Soekarnoputri duduk di kursi kepresidenan. Dukungan didapat pada saat

pertemuan pimpinan partai politik tanggal 22 Juli 2001 di kediaman Megawati.

Pertemuan ini meningkatkan ketegangan antara presiden dengan pimpinan partai

politik yang juga pimpinan di DPR/MPR. P.N.H Simanjuntak, 2003: 450

menyebutkan ketegangan antara presiden dengan pimpinan DPR/MPR ( yang juga

pimpinan Partai Politik) mencapai puncaknya ketika pada tanggal 22 Juli 2001,

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri (yang juga sebagai Wakil

Presiden) mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai politik di kediamannya.

Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua Umum Partai Golkar ( ketua DPR), Ketua

Umum PAN Amien Rais ( ketua MPR), ketua umum PPP Hamzah Haz, Presiden

(18)

commit to user

5

Wakil ketua PKP Sutradara Ginting, Wakil ketua MPR Matori Abdul Jalil dan

wakil ketua MPR Hari Sabarno. Hasil dari pertemuan diberitahukan oleh Amien

Rais pada wartawan yang dikutip oleh Andreas Harsono (2009:16), Amien

menyatakan: “…tidak berapa lama lagi Indonesia akan melihat sebuah

kepemimpinan nasional yang baru, Insya Allah itu semua tergantung Allah, kami

semua disini sudah bersepakat untuk memberikan dukungan moral kepada ibu

Megawati Soekarnoputri”.

Pernyataan yang dibuat oleh Amien Rais tersebut dinilai oleh presiden

Abdurrahman Wahid sebagai ajakan untuk adu kekuatan, dan tidak mau

melakukan kompromi politik, ini dapat dilihat dalam pernyataan presiden dalam

pidatonya pada malam harinya, yang dikutip oleh P. H. Simanjutak (2003: 450).

Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan:

”…Ini saya berarti akan diturunkan oleh mereka. Itu namanya sudah mengajak adu kekuatan. Sudah tidak mencari kompromi politik lagi. Belum ada sidang, arahnya sudah kesana. Oleh karena itu, tidak bisa lain. Kalau memang sudah politis, adu kuat. Ya mari adu kuat. Kekuatan siapa yang menang. Saya jamin tidak ada tindakan kekerasan dari masyarakat. Karena itu, saya juga minta aparat keamanan tidak menembak siapapun,” kata presiden.

Bentuk nyata dari perlawanan presiden Abdurrahman Wahid adalah

dengan mengeluarkan dekrit. Isi Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid yang

dibacakan pada hari Senin 23 Juli 2001 pukul 01:10 WIB yaitu: (1) Membekukan

MPR dan DPR, (2) Mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat dan mengambil

tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan

pemilihan umum dalam waktu satu tahun, (3) Menyelamatkan gerakan Reformasi

total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar

sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Maklumat ini langsung disikapi

oleh para elite politik di Senayan dengan mempercepat Sidang Istimewa MPR.

Hanya delapan jam setelah Maklumat diumumkan presiden, MPR bersidang dan

memberhentikan Presiden. (Tjipta Lesmana, 2009: 215).

Di Indonesia dekrit pertama kali diberlakukan pada masa pemerintahan

Presien Soekarno. Dekrit presiden 1959 dilatar belakangi oleh kegagalan Badan

(19)

commit to user

Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956, namun sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara dikalangan masyarakat berpendapat untuk kembali ke UUD 1945 semakian kuat. Menanggapi hal itu, Presiden Soekarno menyampaikan amanat di depan Sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. Pada 30 Mei 1959 konstituante melaksanakan pemungutan suara, hasilnya 269 suara menyetujui untuk kembali ke UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhikuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi dari Dekrit tersebut antara lain : (1) Pembubaran Konstituante, (2) Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950, (3) Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (A.B. Lapian, dkk., 1996: 147-149).

Dekrit presiden Soekarno tanggal 5 juli 1959 dapat dilaksanakan dengan

baik. Sedangkan dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid

tanggal 23 Juli 2001 tidak dapat dilaksanakan dan menjadi penyebab jatuhnya

beliau dari kursi kepresidenan.

Latar belakang terjadinya dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada

tanggal 23 Juli 2001 bermula dari pemilihan umum 1999, hasil pemilihan umum

1999 ini dimenangkan oleh PDI-Perjuangan, sebagai ketua partai pemenang

pemilu 1999 Megawati diperkirakan menjadi presiden selanjutnya, tapi

kemenangan pada pemilihan umum tersebut tidak mutlak dimenangkan oleh

PDI-Perjuangan, sehingga pencalonan Megawati sebagai presiden terganjal dengan

kemunculan Poros Tengah dimotori oleh Amien Rais, poros tengah ini

mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Dan pada hasil

(20)

commit to user

7

Megawati sebagai presiden Indonesia. Di masa pemerintahan Abdurrahman

Wahid, hubungan yang dibangun antara presiden dan DPR tidak harmonis karena

banyak konflik yang lahir dari kebijakan yang dikeluarkan presiden. Sehingga

menimbulkan kekacauan politik. Puncaknya presiden Abdurrahman Wahid

memberlakukan dekrit Presiden tertanggal 23 Juli 2001.

Pagi hari tanggal 23 Juli 2001, menanggapi dekrit presiden Abdurrahman

Wahid MPR Menggelar sidang istimewa dipimpin langsung oleh Ketua MPR

Amien Rais dengan agenda meminta pertanggungjawaban presiden Abdurrahman

Wahid. Dari hasil sidang memutuskan bahwa maklumat yang pada dasarnya

adalah dekrit presiden Abdurrahman Wahid adalah tidak sah karena bertentangan

dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dari sidang tersebut, juga

menghasilkan keputusan untuk memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai

presiden (P.N.H. Simanjuntak, 2003:453-454).

Permasalahan yang menarik bagi penulis dalam penelitian ini adalah

dimana hubungan antara DPR/MPR dengan Presiden pada masa kepemerintahan

Abdurrahman Wahid tidak berjalan harmonis sebagaimana seharusnya, dimana

puncak dari perselisihan antara Presiden dengan DPR/MPR, yakni dikeluarkannya

dekrit presiden oleh Presiden Abdurrahman Wahid tepat pukul 01: 10 WIB Senin

tanggal 23 Juli 2001 dinihari. Dari hal inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih

dalam mengenai Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman

Wahid 23 Juli 2001?

2. Bagaimana proses terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid

23 Juli 2001?

3. Bagaimana dampak terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid

(21)

commit to user C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Latar belakang terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23

Juli 2001.

2. Proses terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli

2001.

3. Dampak terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23

Juli 2001.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian dapat diketahui kegunaan dari setiap kegunaan dari

setiap kegiatan ilmiah, adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat dikelompokan

menjadi dua, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Memberikan sumbangan pemikiran tentang berbagai strategi

pemerintah (presiden) dalam mengatasi masalah khususnya

permasalahan politik

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada setiap

pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan

sumber data dalam penulisan sejarah

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Bagi peneliti sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana

kependidikan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Sebagai salah satu karya ilmiah yang diharapkan dapat melengkapi

koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan khususnya di lingkungan

(22)

commit to user

Said Gatara dan Dzulkiah Said (2007:20) menyatakan pengertian politik

sangat beragam tergantung dari konsep politik yang pernah ada dan sedang

berkembang saat ini. Ada lima konsep yakni negara, kekuasaan, keputusan atau

kebijakan, pengalokasian sumber-sumber (distribusi), dan konflik. Dari kelima

konsep ini, lahir pengertian atau definisi politik yang beragam. Lebih lanjut

politik didefinisikan antara lain sebagai :

1) Segala kehidupan atau kegiatan bernegara atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan negara;

2) Segala kegiatan mempertahankan dan/ atau merebut kekuasaan;

3) Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan / atau melaksanakan

keputusan politik atau kebijakan publik;

4) Kegiatan yang berkaitan dengan pengalokasian dan penerimaan

sumber-sumber; dan

5) Segala kegiatan berbentuk perselisihan politik atau konflik politik.

Menurut Ramlan Surbakti (1992:167) seluruh kegiatan politik

berlangsung dalam suatu sistem. Sistem politik bukan suatu yang jelas batas

teritorialnya, akan tetapi sistem politik merupakan suatu konstruksi analisis yaitu

suatu istilah yang digunakan untuk memudahkan analisis atas berbagai hal yang

konkret.

Budi Winarno (2008: 91) mengungkapkan bahwa dalam sistem politik

pemerintahan dan birokrasi merupakan struktur politik penting karena

menyangkut bagaimana pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan

dilakukan.

Ramlan Surbakti (1992 : 167) menyatakan bahwa perbedaan antara

sistem politik dengan sistem lainnya adalah pola-pola interaksi yang dalam sistem

politik melibatkan kekuasaan dan kewenangan. Unsur utama sistem politik adalah

(23)

commit to user

sesuai dengan undang-undang. Sebelum tahun 1960-an yang dipelajari dalam ilmu politik terfokus pada kegiatan pemerintah. Namun, sejak tahun 1960-an para ahli melihat kegiatan politik juga berlangsung dalam masyarakat (diluar pemerintah), seperti partai politik, kelompok kepentingan, pers, dan golongan masyarakat yang lain. Bahkan pemimpin pemerintahan berasal dari masyarakat melalui pemilihan umum. Kebijakan umum yang dirumuskan merupakan hasil interaksi dengan berbagai organisasi, kelompok, dan golongan dalam masyarakat. Itu sebabnya, mengapa politik dirumuskan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat.

b. Pemerintah

Hartomo dan Arnicun Aziz (1999: 158) berpendapat bahwa pemerintah tidak dapat dipisahkan dari pengertian negara, sebab negara sebagai organisasi dan lembaga bangsa memiliki kekuasaan. Pengaturan penggunaan kekuasaan dan batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang negara. Demikian pula pengaturan urutan (hirarkhi) kekuasaan serta sumber kekuasaan negara.

Menurut Ramlan Surbakti (1992: 168) pemerintah (government) secara etimologis berasal dari kata Yunani, kubernan atau nakhoda kapal. Artinya, menatap kedepan. Lalu memerintah berarti melihat kedepan, menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang, dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. Istilah pemerintah dan pemerintahan berbeda artinya, pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan pemerintah merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara.

(24)

commit to user

11

c. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan di dunia terbagi atas sistem pemerintahan

parlementer dan presidensial. Pada umumnya, negara-negara di dunia

menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut, dalam bentuk tipe ideal

yang diwakili negara Inggris (parlementer) dan Amerika Serikat (presidensial).

Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari

dua sistem pemerintahan tersebut.

Shively yang dikutip oleh Ramlan Surbakti (1992: 170) menjelaskan

tentang ciri-ciri sistem kabinet parlementer sebagai berikut:

1) Parlemen merupakan satu-satunya badan yang anggotanya dipilih secara langsung oleh warga negara yang berhak memilih melalui pemilihan umum.

2) Anggota dan pemimpin kabinet (perdana menteri) dipilih oleh parlemen untukl melaksanakan fungsi dan kewenangan eksekutif. Sebagian besar atau seluruh anggota kabinet biasanya juga menjadi anggota parlemen sehingga mereka memiliki fungsi ganda, yakni legislatif dan eksekutif.

3) Kabinet dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas dari parlemen

4) Manakala kebijakan tidak mendapat dukungan dari parlemen,

perdana menteri dapat membubarkan parlemen, lalu menetapkan waktu penyelenggaraan pemilihan umum untuk membentuk parlemen yang baru.

5) Fungsi kepala negara (perdana menteri) dan fungsi kepala negara (presiden, raja) dilaksanakan oleh orang yang berlain.

Jimly Asshidiqie (2007:315-316) memaparkan karakteristik umum

yang menggambarkan sistem pemerintahan presidensial yaitu:

1) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan

eksekutif dan legislatif.

2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif

Presiden tidak terbagi dan hanya ada Presiden dan Wakil Presiden saja.

3) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau

sebaliknya kepala negara adalah kepala pemerintahan.

4) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau bawahan

yang bertanggung jawab kepadanya.

5) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya.

(25)

commit to user

7) Jika dalam sistem pemerintahan parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi.

8) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat.

9) Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem pemerintahan parlementer yang terpusat pada parlemen.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial hal ini dapat dilihat dari konstitusi negara yaitu UUD 1945. Walaupun dalam sejarahnya Indonesia juga pernah menyimpang dari konstitusi dengan menganut sistem pemerintahan parlementer pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1959.

Menurut Usep Ranawijaya (1983:35) Pada waktu ini kaidah-kaidah hukum pokok mengenai organisasi negara kita yang berlaku termuat diantaranya di dalam suatu konstitusi yang dinamakan Undang-Undang Dasar 1945. konstitusi tersebut dinyatakan berlaku lagi setelah bangsa Indonesia mengalami penggunaan Konstitusi Republik Indonesia Serikat hasil Konperensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Konstitusi Proklamasi atau Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara tanggal 5 Juli 1959 melalui Dekrit Presiden.

Adapun kelemahan dan kelebihan dalam pemerintahan presidensial

menurut Ramlan Surbakti (1992: 171) yakni pertama, kepimpinan dalam melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih jelas pada sistem presidensial,

yakni di tangan presiden, daripada dalam kabinet parlementer, tetapi siapa yang

bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan lebih jelas pada kabinet

parlementer dibandingkan kabinet presidensial. Kedua, kebijakan yang bersifat komprehensif jarang dapat dibuat karena legeslatif dan eksekutif mempunyai

kedudukan yang terpisah, ikatan partai yang longgar, dan kemungkinan kedua

(26)

commit to user

13

tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari berbagai

sumber termasuk legislatif.

Jimly Asshidiqie (2007 : 321) menyebutkan dalam penjelasan UUD

1945, meskipun sekarang tidak berlaku normatif lagi secara langsung tetapi

sebagai dokumen historis masih tetap dapat dijadikan acuan ilmiah yang

penting, dinyatakan bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada

MPR”. Artinya, meskipun kepala negara dan kepala pemerintahan menyatu

dalam jabatan Presiden, tetapi dianut juga adanya prinsip pertanggungjawaban

Presiden sebagai kepala eksekutif kepada cabang kekuasaan legislatif. Hal

tersebut dapat kita lihat dari sistem pemerintahan negara sebelum amandemen

UUD 1945 yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945, yaitu

a) Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR.

b) MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi.

c) Presiden adalah mandataris MPR.

d) Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

2. Dekrit

Istilah dekrit berasal dari bahasa latin yakni kata “decretum” yang mempunyai arti sebagai keputusan yang diambil diluar kebiasaan, sebagai

keputusan bersama (Usep Ranawijaya, 1983:37). Moh. Mahfud M.D. (2010: 108)

mendefinisikan dekrit Presiden sebagai tindakan inkonstitusional yang bisa

menjadi konstitusional jika didukung oleh kekuatan politik atau militer sehingga

dekrit bisa dimenangkan dalam pertarungan politik.

Penggunaan Dekrit menurut Usep Ranawijaya (1983:36) telah

digunakan di zaman Romawi dengan istilah “decretum” yang umumnya diartikan

sebagai suatu perintah dari pejabat-pejabat tinggi. Secara khusus perkataan

tersebut digunakan pada keputusan didalam perkara-perkara perdata diluar

kebiasaan (biasanya perkara perdata diperiksa oleh hakim yang diangkat untuk

pemeriksaan perkara). Perkataan decretum kemudian dipakai juga untuk

keputusan-keputusan kaisar Romawi di dalam perkara yang diperiksanya sendiri

(27)

commit to user

tingkat appel. Keputusan-keputusan kaisar dalam hal demikian itu dinamakan “decreta principis” dan mempunyai kekuatan undang-undang untuk soal-soal

yang sama.

Dekrit pernah diberlakukan beberapa negara, seperti pengalaman Jerman pada masa pemerintahan Adolf Hitler dimana Weimer Konstitusi 1919, oleh Hitler diganti dengan konstitusi baru dengan alasan kewenangan luar biasa presiden untuk mengatakan negara dalam keadaan bahaya. Sejak itu dekrit keadaan darurat telah disalahgunakan kelompok Nazi untuk kepentingan golongannya sendiri dengan mengubah struktur negara dan pemerintahan demokrasi menjadi pemerintahan diktator (Danny Indrayana, 2010:263-264).

Harun Alrasid dalam Moh. Mahfud M.D. (2010: 106) berpendapat bahwa, secara hukum presiden mempunyai wewenang mengeluarkan dekrit sebagai tindakan darurat presiden. Menurut Denny Indrayana (2010: 261-262), dekrit dikeluarkan berdasar teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Lebih spesifik, keduanya berlandaskan teori hukum darurat negara yang bersifat subyektif dan tidak tertulis (subjectieve staatsnoodrecht atau ongeschreven staatsnoodrecht). Artinya, klasifikasi negara dalam keadaan darurat yang menjadi

syarat keluarnya dekrit, ditetapkan menurut pendapat subyektif presiden pribadi selaku kepala negara, tanpa berdasar ketentuan hukum perundangan. Karena itu, dekrit adalah produk hukum yang istimewa dan merupakan penyimpangan mendasar dari fungsi presiden yang melaksanakan hukum (eksekutif), menjadi fungsi presiden selaku pembuat hukum (legislatif). Asas hukum yang mendasari penyimpangan itu adalah: masa (situasi) yang tidak normal, harus dihadapi dengan hukum yang tidak normal pula (abnormal recht voor abnormal tijd).

Menurut Herman Sihombing (1996:7-8), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam satu peraturan darurat, yaitu:

a. Kepentingan tertinggi negara yakni: adanya atau eksistensi negara itu sendiri (het hoogste staatsbelang-het bestaan zelf van den staat-op het spel stand en afhan kelijk was van het al of niet maken der getroffenregeling)

(28)

commit to user

15

c. Syarat ketiga ialah, bahwa noodregeling itu bersifat sementara, provosoir, selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu, diperlakukan aturan biasa yang normal, dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku (in de derde plaats zal hi) de noodregelen geheel als “tijdeljk”, “provisoir”, beschouwen, nl. Zoolang geldende als de nood op dat bepaalde punt duurt, het daarna in stijd met het normale recht blijven gelden dier regels kan door hem niet wordengeduld). d. Syarat berlakunya ialah: bahwa ketika dibuat peraturan darurat itu

Dewan Perwakilan Rakyat atau Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang atau rapatnya secara nyata dan sungguh.

Denny Indrayana (2010:263) menyatakan indikator bahwa dekrit semata-mata dikeluarkan karena negara dalam kondisi benar-benar genting, yaitu bila dekrit itu memenuhi dua syarat utama yakni:

a. Merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan negara dalam keadaan bahaya (absolutely necessary in the interest of the nation) dan;

b. Harus memenuhi teori keseimbangan (evenwichtstheorie) antara bahaya yang datang dengan tindakan dan isi dekrit yang dikeluarkan. Kedua kriteria itu terpenuhi apabila negara dalam keadaan bahaya yang disebabkan perang atau negara darurat karena bencana alam. Kedua kondisi itulah yang sebaiknya merupakan kriteria perlunya dikeluarkan dekrit.

Herman Sihombing (1996 : 1) berpendapat dalam pemberlakuan hukum tata negara darurat harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa 2) Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai lagi

untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada 3) Kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada

Pemerintah Negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal.

(29)

commit to user

Pelaksanaan dekrit menurut Denny Indrayana (2010: 262) adalah isi dekrit wajib bertentangan dengan konstitusi atau dimaksudkan sebagai tindakan ekstrakonstitusional. Bila tidak, urgensi format dekrit menjadi tidak perlu dan presiden cukup mengeluarkan hukum darurat semacam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang memuat secara tertulis kriteria-kriteria obyektif hukum darurat negara (objectieve staatsnoodrecht atau geschreven staatsnoodrecht).

(30)

commit to user

17

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka Pemikiran Merupakan alur penalaran yang didasarkan pada tema dan masalah penelitian, maka dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Pasca jatuhnya kepemimpinan presiden Soeharto pada mei 1998 terjadi perubahan dibidang politik pemerintahan. Gerakan reformasi telah membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan. Kehidupan politik dan pemerintahan yang pada masa sebelumnya terkontrol, berubah menjadi sangat bebas. Pada masa reformasi diadakan pemilu untuk memilih wakil rakyat yang duduk di DPR

Politik Pemerintah

Reformasi MPR / DPR

Terpilihnya Abdurrahman Wahid Sebagai Presiden

Masalah dan Kebijakan yang Diambil Presiden

Dekrit Presiden

(31)

commit to user

sekaligus akan duduk di MPR. MPR hasil pemilu diberi kewenangan untuk memilih presiden yang sesuai dengan harapan reformasi, yang dimenangkan oleh Abdurrahman wahid.

(32)

commit to user

19 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Untuk memperoleh data-data sebagai sumber penulisan, peneliti

melakukan studi tentang buku-buku literatur, majalah, jurnal dan surat kabar yang

tersimpan di beberapa perpustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan

sebagai tempat untuk penelitian adalah sebagai berikut:

1. Perpustakaan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta

3. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

4. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta

5. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas

Maret

6. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta

7. Perpustakaan Colose st. Ignatius, Yogyakarta

8. Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta

9. Perpustakaan Daerah Kabupaten Sukoharjo

10.Perpustakaan Monumen Pers Nasional Surakarta

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak pengajuan judul

skripsi yaitu bulan November 2011 sampai dengan April 2012.

B. Metode Penelitian

Dalam penelitian ilmiah diperlukan suatu metode tertentu sesuai dengan

(33)

commit to user

mengacu pada aturan baku yang sesuai dengan permasalahan ilmiah yang bersangkutan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Koentjaraningrat, 1977: 12). Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah. Sartono Kartodirjo (1992: 37) berpendapat bahwa metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut. Hadari Nawawi (1985: 67) mengatakan bahwa metode sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data peninggalan masa lampau untuk memahami masa sekarang dalam hubungannya dengan masa lampau. Mohammad Nazir (1988: 33) mengatakan bahwa metode penelitian sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan interaksi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang.

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode historis adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menguji dan menelitinya secara kritis mengenai peninggalan masa lampau sehingga menghasilkan suatu cerita sejarah. Dalam penelitian ini di usahakan pembuatan rekonstruksi peristiwa sejarah tentang Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001. Pertimbangan yang mendasar digunakannya metode sejarah atau historis yaitu karena metode ini lebih sesuai dengan data yang dikumpulkan, diuji, dan dianalisis secara kritis sumber-sumber sejarah yang terkait.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data

historis atau data sejarah. Data dapat diartikan sebagai suatu fakta atau prinsip

yang diberikan atau ditampilkan, sesuatu yang menjadi dasar suatu argumen

dalam setiap susunan sistem intelektual, materi yang menjadi dasar untuk diskusi,

(34)

commit to user

21

1996:1). Menurut Moh Nazir (1988: 57) data sejarah adalah sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian dengan metode sejarah.

Helius Sjamsuddin (1996: 74), sumber sejarah dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara, yaitu: (a) kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (b) formal (resmi) dan informal (tidak resmi), (c) pembagian menurut asal (dari mana asalnya), (d) isi (mengenai apa), (e) tujuan (untuk apa), yang masing-masing dibagi lebih lanjut menurut waktu, tempat, dan cara atau produknya. Pembagian tersebut berkaitan dengan beberapa aspek dari sumber dan dapat membantu dalam mengevaluasai sumber sejarah. Untuk kepentingan praktis, sumber sejarah dapat dibagi atau diklasifikasi secara garis besar menjadi dua macam, yaitu peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan.

Menurut Moh. Nazir (1988: 58 - 59) sumber sejarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah tempat atau gudang penyimpanan yang orisinil dari data sejarah. Data primer merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari kejadian masa lampau. Contoh dari data atau sumber primer adalah catatan resmi yang dibuat pada suatu acara atau upacara, suatu keterangan oleh saksi mata, keputusan-keputusan rapat, foto-foto, dan sebagainya. Sedangkan sumber sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa atau catatan-catatan yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil.

Dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder, adapun sumber primer yang digunakan berupa artikel, maupun pandangan para tokoh yang sejaman dan relevan, adapun surat kabar tersebut antara lain: Kompas, Media Indonesia,Majalah Gatra dan Majalah Tempo. Peneliti juga menggunakan

(35)

commit to user

Selain digunakan sumber primer untuk menunjang penelitian juga digunakan sumber sekunder yang berupa hasil penelitian dan pemikian sejarawan atau praktisi atau politikus. Adapun sumber-sumber tersebut yang berupa buku, antara lain: Gila Gus Dur (Editor: Ahmad Suedy), Perjalanan Politik Gus Dur (Editor Irwan Suhanda).

D.Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka data

diperoleh dengan menggunakan teknik studi pustaka. Menurut Koenjaraningrat

(1986: 64) teknik studi pustaka adalah suatu metode penelitian yang dilakukan

dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah dengan membaca

buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang

tersimpan dalam perpustakaan. Dengan teknik ini maka peneliti mengadakan

kunjungan ke perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan

dengan penelitian yang sedang dilakukan, karena salah satu hal yang perlu

dilakukan dalam persiapan penelitian ialah memanfaatkan dengan maksimal

sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia.

Peneliti melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-buku

literatur, majalah, surat kabar, jurnal berkala dan bentuk pustaka lainnya. Untuk

memperoleh data–data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, peneliti melakukan

studi mengenai sumber-sumber baik primer maupun sekunder.

Adapun kegiatan studi pustaka yang dilakukan, yaitu dengan membaca,

mencatat sumber-sumber tertulis yang dianggap penting dan relevan dengan tema

penelitian. Dengan demikian dapat diperoleh data yang akan digunakan dalam

penulisan skripsi.

E. Teknik Analisis Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk

memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode

mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan, yaitu

memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data (Moh. Nazir, 1988:

(36)

commit to user

23

historis, maka teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data historis. Teknis analisis historis merupakan analisis yang mengutamakan pada ketajaman dalam melakukan intepretasi sejarah. Intepretasi dilakukan karena fakta-fakta tidak dapat berbicara sendiri, fakta mempuyai sifat yang kompleks sehingga fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri (Sartono Kartodirjo, 1992: 63)

Adapun kegiatan yang dilakukan dalam menganalisis data sejarah didalam penelitian ini adalah pertama peneliti memilah sumber data sejarah yang diperoleh dari buku-buku literatur, majalah, surat kabar, jurnal berkala dan bentuk pustaka lainnya, kemudian membandingkan isi sumber yang satu dengan sumber yang lain, langkah selanjutnya setelah membandingkan sumber data sejarah, menemukan fakta sejarah tentang latar belakang terjadinya dekrit Presiden Abdurrahman Wahid, proses dekrit Presiden Abdurrahman Wahid, dan dampak dikeluarkannya dekrit presiden Abdurrahman Wahid, kemudian mencocokkan temuan fakta sejarah tersebut dengan teori yang digunakan untuk disusun menjadi sebuah karya yang mennyeluruh.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah penelitian yang harus

dijalani seorang peneliti sebagai proses dalam penulisan skripsi yang

menggunakan metode sejarah. Dalam metode penelitian sejarah prosedur

penelitian yang penulis lakukan, yaitu: (1) Heuristik atau pencarian jejak–jejak

sejarah, (2) Kritik, atau kegiatan mengidentifikasi sumber - sember sejarah, (3)

interpretasi, atau penafsiran terhadap sumber – sumber yang relevan, (4)

penyampaian hasil rekontruksi sejarah dalam bentuk petulisan sejarah atau

historiografi.

Berdasar prosedur diatas dapat digambarkan skema metode historis

(37)

commit to user

Gambar 2. Skema Prosedur Penelitian Keterangan:

1. Heuristik

Kegiatan pertama yang dilakukan setelah menemukan tema adalah dengan mencari atau mengumpulkan sumber dan bukti–bukti sejarah yang relevan. Kegiatan inilah yang disebut dengan heuristik. Sumber sejarah tersebut yang akan menuntun peneliti untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan masa lampau yang telah ditinggalkan manusia. Pada tahap ini penulis berusaha untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai serta relevan dengan penelitian, yaitu dengan mengadakan studi tentang buku-buku literatur, ensiklopedia, majalah dan sumber-sumber tertulis lainnya. Data-data tersebut diperoleh dari beberapa perpustakaan diantaranya Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Perpustakaan Kolose St. Ignatius Yogyakarta, Perpustakaan daerah Surakarta, Monumen Pers Nasional Surakarta dan perpustakaan lainnya.

2. Kritik

Setelah mengumpulkan data yang berakitan dengan permasalahan

penelitian, tahap selanjutnya yaitu langkah verifikasi atau kritik. Kritik ini

dimaksudkan untuk menentukan sumber-sumber yang dipilih apakah sumber

tersebut memiliki keabsahan tentang otentitas dan kredibilitas (kesahihan sumber).

Kritik terhadap sumber dilakukan dengan dua cara yaitu kritik intern dan kritik

ekstern.

Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu otentik, yaitu

kenyataan identitasnya, bukan tiruan, turunan, palsu, kesemuanya dilakukan

dengan meneliti bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan penulis. Dalam

penelitian ini langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan kritik Heuristik

Fakta Sejarah

Historiografi Interpretasi

(38)

commit to user

25

ekstern yaitu peneliti melakukan penyelidikan pada bentuk sumber, yaitu dilakukan dengan melihat tanggal, bulan, dan tahun sumber. Adapun Sumber yang didapatkan sebagai sumber penulisan berupa Surat kabar yang sejaman dengan peristiwa yang dialami tokoh. sumber tersebut pada tahun 2001. Selain itu penulis juga memandang pengarang, pihak yang membuat dan pihak yang mengeluarkan sumber tersebut sehingga peneliti dapat menarik kesimpulan apakah sumber itu dapat dipercaya atau tidak. Untuk menyikapi hal ini, diperlukan pembanding melalui penggunaan literatur yang lebih independen untuk menjangkau obyektifitas penulisan semaksimal mungkin.

Kritik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang disampaikan oleh sejarawan atau praktisi atau politikus. Kritik intern juga menyangkut apakah sumber tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Setelah sumber dinilai keasliannya kemudian dilakukan kritik intern untuk dapat memastikan kebenaran isi sumber yang dapat dirempuh dengan cara membandingkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain. Kebenaran isi dari sumber tersebut dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu dengan sumber yang lain. Adapun kritik intern dari penulisan ini adalah melihat pernyataan yang disampaikan oleh tokoh secara langsung melalui media surat kabar, sehingga obyektifitas dari isi pernyataan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hasil dari kritik sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau rekonstruksi sejarah. Setelah dilakukan kritik maka data sejarah tersebut adalah fakta, maka langkah selanjutnya adalah melakukan intepretasi.

3. Interpretasi

(39)

commit to user

diperlukan ekplanasi. Ekplanasi dalam sejarah adalah menjelaskan atau menerangkan fakta sejarah yang ada sehingga didapat hubungan antara data yang satu dengan data yang lain sehingga diperoleh cerita yang utuh.

4. Historiografi

(40)

commit to user

27 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Kondisi Umum Politik di Indonesia Tahun 1998-1999

1. Kondisi Umum Politik di Indonesia sebelum Pemilihan Presiden 1999

Berakhirnya masa kerja Kabinet Pembangunan VI dibawah Presiden

Soeharto pada Maret 1998, membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

mengadakan Sidang Umum untuk menetapkan GBHN dan pemilihan presiden

dan wakil presiden. Untuk menyusun Kabinet VII, seluruh organisasi sosial

politik dan kekuatan sosial politik di tanah air telah sepakat mencalonkan Presiden

Soeharto untuk menjadi Presiden RI periode 1998-2003. Pencalonan tersebut

diawali oleh Ketua Umum DPP Golkar Harmoko yang menghadap Presiden

Soeharto untuk meminta kesediaan beliau. Menyusul langkah Golkar, Ketua

Umum DPP PPP, Ismail Hasan Metareum, mengumumkan pula bahwa PPP

mencalonkan kembali Pak Harto sebagai Presiden RI untuk periode lima tahun ke

depan (A. Makmur Makka, 2008:225). Kemudian pada akhir Januari 2008,

Presiden Soeharto menyatakan bahwa beliau akan mencalonkan diri untuk masa

kepresidenan yang ketujuh dan menisyaratkan bahwa Habibie sebagai wakil

presiden (M. C. Ricklefs, 2008:688).

Pada bulan Mei 1998 kejatuhan Presiden Soeharto mengejutkan sebagian

besar masyarakat Indonesia. Pemerintahan Soeharto dinilai telah gagal mengatasi

krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998. Soeharto juga gagal

mengatasi praktik nepotisme yang telah berlangsung bertahun-tahun bersama

dengan pengempisan pemerintahannya sehingga ketika ada tekanan,

pemerintahannya pun jatuh. (Greg Barton, 2010:303).

Pagi tanggal 21 Mei 1998, media masa dipanggil ke istana negara untuk

mengabadikan momen pengunduran diri Soeharto. Wakil Presiden B. J. Habibie

segera disumpah sebagai Presiden Indonesia ketiga. Wiranto kemudian

mengumumkan bahwa ABRI tetap satu dan mendukung presiden baru. (M. C.

(41)

commit to user

Tugas paling mendesak Presiden B. J. Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpinnya adalah memulihkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Oleh karena itu, dalam menjalankan pemerintahan ia tidak akan menunda pelaksanaan agenda reformasi. Sejalan dengan program mendesak yang telah dicanangkan, beberapa langkah konkret dalam waktu singkat telah ditempuh presiden, antara lain memantapkan prosedur dengan jadwal yang jelas tentang pelaksanaan pemilihan umum yang luber, jujur dan adil. Presiden menjelaskan bahwa pemilu akan menganut sistem multipartai yaitu semua pihak boleh mendirikan partai baru, asal tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tidak mempersoalkan SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan). (A. Makmur Makka, 2008: 266-267)

Pemilu 1999 merupakan langkah awal menuju terwujudnya tatanan politik demokratis yang dicita-citakan oleh gerakan reformasi. Penyelenggaraan pemilu 1999 jauh lebih baik dibandingkan pemilu-pemilu pada masa Orde Baru. Kondisi ini disebabkan adanya gerakan reformasi yang mendesak sejumlah perubahan yang harus dipenuhi oleh pemerintahan transisional Habibie, bagi terselenggaranya pemilu pertama yang demokratis pasca orde baru. Untuk memenuhi desakan tersebut, presiden B.J Habibie menjalankan beberapa langkah yakni menyediakan sejumlah perangkat yang dibutuhkan bagi pemilu demokratis, diantaranya hak politik untuk mendirikan partai, adanya penyelenggaran pemilu yang independen, kebebasan pers, kebebasan untuk melakukan pengawasan pemilu, birokrasi sipil dan militer yang netral , kehadiran pemantau asing. Di masa B. J. Habibie ini, lembaga DPR juga telah mengesahkan tiga perangkat Undang-undang sebagai landasan penyelenggaraan pemilu, yaitu Undang-undang No 20 Tahun 1999 tentang partai politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang pemilihan umum dan Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR-DPR-DPRD (Mahfud Sidiq, 2003:235).

(42)

commit to user

29

(PDI), di tahun 1999 diikuti multi partai. Menjelang pemilihan umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98, namun yang memenuhi syarat mengikuti pemilu hanya 48 partai politik saja. Tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan pemilihan umum multipartai kedua sejak tahun 1955. (P. N. H. Simanjutak, 2003:414)

Hasil pemungutan suara pada pemilu 1999 menempatkan lima partai besar yang menduduki keanggotaan di MPR dan DPR. Sebagai pemenangnya adalah PDI-Perjuangan meraih 35.689.073 suara atau 33,74% dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% sehingga mendapat 120 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 13.336.982 suara atau 12,61% persen mendapat 51 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh 11.329.905 suara atau 10,71% mendapat 58 kursi. Partai Amanat Nasioal (PAN) memperoleh 7.528.956 suara atau 7,12% mendapat 34 kursi. (www.tempointeraktif.com).

2. Pemilihan Presiden di Indonesia Tahun 1999

Pada masa pemerintahan BJ Habibie dilaksanakan pemilu pada tanggal 7

Juni 1999 untuk memilih anggota legislatif yang akan duduk di DPR tingkat pusat

sekaligus menjadi anggota MPR, DPRD tingkat provinsi dan DPRD tingkat

kabupaten. Pemilu tahun 1999 ini berbeda dengan pemilu pada masa orde baru

karena peserta pemilu diikuti oleh banyak partai. Jimly Asshidiqie (2007 : 321)

menyebutkan dalam penjelasan UUD 1945, meskipun sekarang tidak berlaku

normatif lagi secara langsung tetapi sebagai dokumen historis masih tetap dapat

dijadikan acuan ilmiah yang penting, dinyatakan bahwa “Presiden tunduk dan

bertanggung jawab kepada MPR”. Artinya, meskipun kepala negara dan kepala

pemerintahan menyatu dalam jabatan Presiden, tetapi dianut juga adanya prinsip

pertanggungjawaban Presiden sebagai kepala eksekutif kepada cabang kekuasaan

legislatif. Hal tersebut dapat kita lihat dari sistem pemerintahan negara sebelum

amandemen UUD 1945 yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945, yaitu

(43)

commit to user

b) MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi. c) Presiden adalah mandataris MPR.

d) Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR

Abdurrahman Wahid adalah presiden yang masih dipilih melalui proses

pemilihan di MPR hasil pemilu tahun 1999. Berdasarkan Ketetapan MPR No.

VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan Dan Pemilihan Presiden Dan Wakil

Presiden Republik Indonesia dalam pasal 8 disebutkan bahwa Fraksi dapat

mengajukan calon Presiden atau calon Presiden dapat juga diajukan oleh

sekurang-kurangnya 70 orang anggota Majelis yang terdiri atas satu Fraksi atau

lebih. Adapun tata cara pemilihan diatur dalam pasal 13 yaitu apabila calon yang

diajukan lebih dari satu orang, maka pemilihan dilakukan dengan cara

pemungutan suara. Apabila calon yang diusulkan ternyata hanya satu orang, maka

calon tersebut disahkan oleh Rapat Paripurna menjadi Presiden.

Pada Juni 1999, partai PKB dengan ketokohan Abdurrahman Wahid ikut

serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memperoleh 12% dari total suara

sedangkan PDI-Perjuangan memenangkan pemilu dengan 33% suara. Dengan

kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan

presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-Perjuangan tidak memiliki

mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli 1999,

Amien Rais membentuk Poros Tengah, yang berisi koalisi partai-partai Muslim.

Poros Tengah menominasikan Abdurrahman Wahid sebagai kandidat presiden

dan komitmen PKB terhadap PDI-Perjuangan mulai berubah. Pada 7 Oktober

1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid

sebagai calon presiden. (Greg Barton, 2010: 360-361).

Kekuatan politik Poros Tengah yang dikomandani oleh Amien Rais

muncul jauh hari sebelum SU MPR 1999. Istilah Poros Tengah sendiri memiliki

beberapa versi kemunculan. Menurut Zarkasih Nur dalam Suharsono (1999:

86-88), istilah ini muncul dalam diskusinya dengan Faisal Baasyir dan Husni

Thamrin, ketiganya politisi PPP. Versi lain menyatakan sebagai lontaran ide

(44)

commit to user

31

Versi ketiga, menyebutkan sebagai hasil diskusi Soetjipto Wirosardjono dengan Dr. Chiril Anwar dalam forum PPSK di Yogyakarta

Poros Tengah sesungguhnya tidak memiliki skenario tunggal untuk hanya mengajukan Abdurrahman Wahid sebagai Calon Presiden. Untung Wahono (2003:104-106) menyatakan awalnya ada gagasan kuat di Poros Tengah untuk meng-goal-kan Habibie dalam pencalonan dan pemilihan presiden. Namun konstelasi kekuatan politik di Poros Tengah sendiri tidak semuanya sepakat dengan figur ini, sebagaimana kemudian tercermin dari hasil voting terhadap pidato pertanggung-jawaban presiden B. J. Habibie. Setelah kekalahan Habibie, Poros Tengah juga sempat mendorong Amien Rais untuk tampil sebagai calon presiden, tetapi Amien Rais terjebak pada posisi dan situasi “harus menolak” usul pencalonan ini. Alasan yang diajukan Amien Rais adalah bahwa dirinya sudah terpilih sebagai Ketua MPR RI dan ia sendiri belum mencabut dukungannya terhadap terhadap Abdurrahman Wahid. Masuknya figur Abdurrahman Wahid di Poros Tengah bukanlah sebagai faktor pasif, tapi sebaliknya ia aktif memainkan skenarionya yang ikut mempengaruhi skenario di Poros Tengah. Ketika Habibie mundur dari pencalonan, ada skenario Poros Tengah untuk menaikan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua MPR, dan memajukan Amien Rais sebagai calon presiden. Namun pada perkembangannya sebelum sesi pemilihan presiden, faktor mundurnya Habibie dari pencalonan, terpilihnya Amien Rais dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR, akhirnya hanya menyisakan pilihan Abdurrahman Wahid bagi Poros Tengah. Sementara PDI Perjuangan masih tetap optimis dengan calon dari Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri.

(45)

commit to user

unggul dari Hamzah Haz dengan memperoleh 396 suara, Hamzah Haz hanya mendapatkan 284 suara dan 5 suara abstain dari 685 anggota MPR yang hadir. Kemudian MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden melalui Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 tertanggal 21 Oktober 1999 (P.N.H. Simanjuntak, 2003: 419).

Terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid dinilai sebagai suatu kesuksesan dalam melewati masa-masa transisi pasca pemerintahan orde baru, hal ini dapat dilihat dari pendapat Liddle, R. William (2001:208) yang mengungkapkan:

At the end of 1999 Indonesia appeared to have completed a successful transition to democracy after more than four decades of dictatorship. Free elections had been held for the national legislature (DPR, Dewan Perwakilan Rakyat). The People’s Consultative Assembly (MPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat), a uniquely Indonesian institution comprising members of the DPR plus regional and group representatives, had chosen a new president, the charismatic traditionalist Muslim cleric Abdurrahman Wahid (called Gus Dur) and vice-president, Megawati Sukarnoputri, daughter of Indonesia’s founding father and first president Sukarno, for the 1999-2004 term. Gus Dur, whose PKB (Partai Kebangkitan Bangsa, National Awakening Party) holds only 11% of the DPR seats, had then appointed a “national unity” cabinet consisting of representatives of all of the major parties.

Yang dapat diartikan sebagai berikut:

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Skema Prosedur Penelitian
TABEL I Susunan Kabinet Persatuan Nasional
TABEL II Susunan Kabinet Persatuan II

Referensi

Dokumen terkait

Bagi calon penyedia jasa konstruksi yang keberatan atas Pengumuman ini, diberikan masa. sanggah sesuai dengan jadwal Sistem Pelelangan Secara Elektronik (SPSE) dan

dengan ini Pejabat Pengadaan Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lebong Tahun Anggaran 2014 mengumumkan Penyedia Untuk:. Nama Paket

This article has reviewed various issues of vocabulary teaching in the broader context of ESL/EFL teaching as well as in the Indonesian context and has indicated that

Dengan ini Pejabat Pengadaan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lebong Tahun Anggaran 2074 ruengumumkan Penyedia PengadaanRarang untuk :.. P ekerjaan Y ang dihasilkan

PENYELENGGARAAN PROGRAM ART EDUCATION BIDANG INDUSTRI BATIK FRAKTAL DALAM MENGEMBANGKAN KREATIVITAS MASYARAKAT PENGRAJIN BATIK.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Kemiringan dasar saluran diusahakan sedemikian rupa, sehingga pada bagian udiknya berlereng landai, akan tetapi semakin ke hilir semakin curam, agar kecepatan aliran

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir dalam rangka memenuhi persyaratan Strudi Strata 1 (S1)

The analysis showed that non-cash payment transactions using APMK (credit cards, ATM cards, debit cards) has a negative and significant impact in the short term and the long term