HUBUNGAN PAJAK
DENGAN ANGGARAN
Agustus 9, 2012 · Filed under
EKONOMI
· Tagged
anggaran
,
anggaran
berimbang
,
anggaran deficit
,
anggaran surplus
,
defisit anggaran
,
diekriminasi
harga
,
pajak
,
pendekatan makro ekonomi
,
peraturan pemerintah
Pendahuluan
Bagi seluruh perekonomian, tingkat produksi yang efisien terjadi pada 0X2 yaitu pada AR =MC. Seperti yang ditunjukkan pada kurva
dengan struktur biaya menurun (lihat Mangkoesubroto, 2000, halaman 278)
Besarnya MC menunjukkan biaya penggunaan sumber ekonomi yang diperlukan untuk menambah satu unit produksi, sedangkan
AR menunjukkan harga yang mau dibayarkan oleh konsumen. Tingkat produksi 0X2 jauh lebih besar dibandingkan dengan 0X1 dan
perbedaan harganya pun menjadi sangat besar. Oleh karena itu, untuk barang-barang publik yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat sebaiknya produksinya ditangani langsung oleh pemerintah. Kasus biaya menurun ini terjadi pada satu perusahaan
besar mampu menyediakan suatu barang kepada seluruh masyarakat dengan biaya lebih murah.. Industri dengan biaya menurun
ini disebut sebagai monopoli alamiah (natural monopoly), misalnya perusahaan air minum, kereta api dan sebagainya. Penanganan
produksi oleh pemerintah menimbulkan dua alternatif produksi, pada 0X3 atau 0X2. Apabila pemerintah menetapkan produksi
sebesar 0X3 maka harga yang ditetapkan sebesar BX3 dan pemerintah tidak mendapat laba ataupun mengalami kerugian (TR=TC
atau AR=AC, dan bukan merupakan ouput yang efisien. Penentuan tingkat produksi yang efisien akan menyebabkan pemerintah
menderita kerugian, karena harga per unit yang dikenakan hanya sebesar 0H2 sedangkan biaya perunit untuk memproduksi barang
sebesar 0X2 sebesar DX2. Jadi pemerintah menderita defisit sebesar 0X2 x DE. Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah dapat
menempuh beberapa cara, antara lain dengan pajak, pungutan atau melakukan diskriminasi harga.
Pajak untuk menutup defisit anggaran.
Defisit pemerintah dalam memproduksi barang publik sebesar 0X2 dapat ditutup dengan pajak. Akan tetapi akan menimbulkan
masalah.
1. jika pajak yang dikenakan pada masyarakat adalah jenis pajak lump-sum (dikenakan dalam jumlah yang sama pada setiap orang) maka tidak ada masalah dari segi efisiensi karena pajak ini tidak mempengaruhi perilaku masyarakat (hanya
menimbulkan efek pendapatan tetapi tidak pada efek substitusi). Namun demikian pajak lump-sum bertentangan dengan
2. Jika defisit anggaran pemerintah ditutup dengan pajak pendapatan maka dari segi ability to pay bersifat adil, tetapi dapat menimbulak efek pendapatan dan efek substitusi yang menyebabkan perubahan perilaku konsumen sehingga pajak tidak
efisien.
3. Pemungutan pajak yang dimaksudkan untuk menutup defisit pemerintah dalam memproduksikn suatu barang publik menimbulkan ketidakadilan lain bagi seluruh masyarakat, karena orang yang membayar pajak mungkin tidak menikmati jasa
barang publik tersebut. Misalnya pajak pendapatan yang digunakan untuk menutupi kerugian perusahaan kereta api milik
negara, akan menimbulkan ketidakadilan bagi orang yang membayar pajak pendapatan tetapi tidak pernah naik kereta api.
Pungutan untuk menutupi defisit
Adalah lebih adil jika defisit perusahaan negara ditutup dengan pungutan bagi orang yang menikmati jasa perusahaan negara
tersebut. Masalahnya, jika jumlah pungutan terlalu tinggi karena dimaksudkan untuk menutup biaya produksi maka output yang
diproduksikan akan menjadi terlalu sedikit dan harga menjadi lebih tinggi dari pada harga pada tingkat output yang efisien yaitu
pada MC=AR.
Untuk mengatasinya, perusahaan negara dapat mempergunakan kebijaksanaan harga yang kurang menimbulkan inefisiensi
dibandingkan dengan sistem harga dimana harga barang per unit sama dengan biaya per unit (TR=TC). Caranya adalah dengan
sistem dua harga. Pada sistem harga ini, setiap konsumen harus membayar pungutan atas setiap barang yang dikonsumsikan.
Selain itu mereka juga harus membayar tambahan pungutan atau pembayaran dalam jumlah yang sama untuk setiap konsumen.
Tambahan pungutan menimbulkan efek substitusi antara pilihan menjadi langganan atau tidak, namun tidak menimbulkan efek
substitusi antara tingkat penggunaan atau jumlah penggunaan jasa perusahaan negara tersebut. Jika defisit perusahaan kecil,
sedangkan konsumennya banyak maka pungutan tambahan (biaya langganan) akan menjadi sedikit sehingga masalah efisiensi
dapat diatasi karena jumlah pungutan tambahantidak akan menyebabkan konsumen mengurangi permintaan akan jasa/barang
perusahaan negara tersebut.
Diskriminasi harga untuk menutup defisit
Sistem pungutan berbeda dengan diskriminasi harga. Diskriminasi harga adalah pengenaan harga yang berbeda antara jumlah
barang yang berbeda. Seseornag konsumen diharuskan membayar harga sebesar 0P2 untuk unit terakhir barang yang dibeli
sedangkan untuk jumlah barang sebelumnya (lebih kecil dari jumlah terakhir) harus membayar jumlah yang lebih besar sehingga
perusahaan tersebut dapat mengambil surplus konsumen.
Jika suatu perusahaan negara bertujuan untuk mencapai efisiensi maksimum maka perusahaan akan menetapkan harga OP1 dan
menghasilkan output sebanyak 0X1. Pada jumlah output 0X3, kosumen sebenarnya bersedia membeli dengan harga AX3 perunit
surplus konsumen sebesar AC. Untuk seluruh jumlah barang produksi sebesar 0X3, surplus konsumen ditunjukkan dengan area DAI
(lihat Mangkoesubroto, 2000, halaman 281)
Jika perusahaan dapat melakukan diskriminasi harga secara sempurna mak perusahaan akan mendapat keuntungan sebesar area
DBE dikurangi dengan BFG (Luas DBE – Luas BFG). Akibat perbedaan pendapatan dan selera dari konsumen, kurva permintaan juga
berbeda-beda satu dengan lainnya, sehingga setiap konsumen dapat dikenakan harga yang berbeda pula. Walaupun demikian,
diskriminasi harga scara sempurna membutuhkan biaya yang besar, maka berlaku diskriminasi harga tidak sempurna. Untuk
melakukan diskriminasi harga diperlukan syarat; (1) konsumen tidak dapat saling berhubungan, dan (2) elastisitas permintaan
berbeda untuk konsumen yang berbeda pula. Kebijaksanaan sepertia ini biasanya dapat dilakukan pada perusahaan air minum,
perusahaan listrik yangmengenakan tarif berbeda untuk jenis golongan konsumen (rumah tangga, industri, sosial).
Pada perusahaan yang menghasilkan dua jenis barang atau lebih, usaha untuk menutup defisit dapat dilakukan dengan cara
mengenakan harga yang lebih tinggi bagi baranf yang mempunyai permintaan elastis. Untuk barang tersebut pengurangan
permintaan karena harga yang lebih tinggi akan lebih sedikit daripada jenis barang yang permintaannya lebih elastis dan
pengurangan surplus konsumen juga menjadi lebih kecil.
Peraturan Pemerintah Untuk Menutup Defisit
Peraturan pemerintah dapat juga digunakan sebagai suatu sistem pengenaan harga yang ditetapkan oleh suatu perusahaan negara.
Pada umumnya peraturan pemerintah menetapkan bahwa harga yang dapat dipungut haruslah dapat menutupi seluruh biaya
produksi, termasuk pengembalian modal. Tingkat pengembalian modal dilakukan oleh perusahaan pemerintah harus sama dengan
tingkat pengemblian modal pada industri swasta, sehingga terjadi alokasi modal yang efisien antara perusahaan pemerintah dan
perusahaan swasta. Gal hl ini pemerintah harus menetapkan dengan tegas semua komponen-komponen biaya produksi. Hal ini
disebabkan menejer perusahaan negara yang mengetahui kenaikan biaya akan menyebabkan diperkenankan upaya untuk
menaikkan harga, maka menejer memasukkan komponen biaya yang tidak penting bagi operasi perusahaan, misalnya biaya
pembangunan kantor yang mewah, kenadaraan dinas yang banyak dan mewah dan sebagainya sebagai biaya operasi.
Keterkaitan Pajak dengan Anggaran Tidak Berimbang dengan Anggaran Berimbang: Pendekatan Makro Ekonomi
Dilihat dari perbandingan nilai penerimaan (T) dan pengeluaran (G), politik anggaran dapat dibedakan menjadi anggaran tidak
berimbang dan anggaran berimbang. Hasil yang dicapai dari kebijakan fiscal merupakan interaksi dari dampak pajak dan
pengeluaran pemerintah terhadap output keseimbangan. Pengaruh perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perubahan
pendapatan keseimbangan dapat dirumuskan sebagai:
dY=Ao – bT/(1-b)
dY=b.dT/(1-b)
Anggaran Defisit (deficit budget)
Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran defisit (deficit budget) dan anggaran surplus (surplus budget).
Anggaran defisit adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, setelah G direncanakan lebih besar dari penerimaan
pemerintah (T<G atau G>T). Politik anggaran defisit, biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulir pertumbuhan ekonomi.
Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi. Dengan asumsi kondisi awal anggaran pemerintah
adalah anggaran berimbang (G=T), bila pemerintah menempuh anggaran defisit ∆G >∆T, dimana ∆G > 0. Karena ∆G >∆T maka
jika pemerintah menempuh politik anggaran defisit, pemerintah dianggap memilih kebijakan fiskal ekspansif.
∆Y karena ∆G=∆G/(1-b)
∆Y karena ∆T= – ∆T/(1-b)
sehingga total pengaruhnya (karena ∆G dan ∆T) adalah
∆Y karena ∆G=(∆G/(1-b)) + (∆T/(1-b))
∆Y karena ∆T=(∆G/(1-b)) -( ∆T/(1-b))
karena penyebutnya sama, yaitu (1-b) maka pengaruhnya dapat ditulis sebagai
∆Y = ∆G – ∆T/(1-b)
jika ∆G >∆T, maka dapat dikatakan ∆G =∆T+W, dimana W = ∆G – ∆T, sehingga
∆Y =(∆T+W-b∆T)/(1-b)
∆Y =((1-b)/(1-b)) ∆T + (W /(1-b))
∆Y = ∆T + (W /(1-b))
Jadi bila politik anggaran adalah anggaran defisit, maka pengaruhnya terhadap pertambahan pendapatan lebih besar dibanding
besarnya defisit pengeluaran yang direncanakan. Bila ∆T=0; (W=∆G) atau Bila ∆G=0; (W=∆T), maka
Kasus :
I = 150
G = 250 dan T = 250
Pada keseimbangan awal: Y=C+I+G
Y = 100+0,8(Y-250) +150+250=500+0,8(Y-250)
Y = 500+0,8Y-200=300-0,8Y
0,2Y= 300
Y = 1.500
Jika pemerintah menempuh anggaran defisit, dimana ∆G =250, sementara ∆T=150, maka:
G1 = 250+250=500
Yd1= Y-250-150 = Y-400
Sehingga fungsi konsumsi menjadi
C1= 100+0,8Yd1
C1= 100+0,8(Y-400)
C1= 100+0,8Y-320
C1= -220+0,8Y
Y = C+I+G
Y = -220+0,8Y+150+500=430+0,8Y
0,2Y= 430
Y = 2.150 atau ∆Y = 2150-1.500 = 650
Anggaran Surplus
Kebalikan anggaran defisit, dalam anggaran surplus pemerintah merencanakan pemerimaan lebih besar dari pengeluaran (T>G
atau G<T). Atau dapat juga dikatakan bahwa pemerintah menempuh politik anggaran surplus bila ∆G- ∆T, dimana ∆G dan > 0.
Karena itu juga, politik anggaran surplus sering diidentikkan dengan kebijaksanaan kontraktif. Politik anggaran surplus dilakukan bila
perekonomian sedang pada tahap ekspansi dan terus menerus. Melalui anggaran surplus pemerintah mengerem pengeluarannya
untuk menurunkan tekanan permintaan atau mengurangi daya beli dengan menaikkan pajak. Pengaruh anggaran surplus terhadap
output keseimbangan adalah berbalikan dengan pengaruh anggaran defisit.
Kasus :
C = 100 + 0,8Yd
I = 150
G=250 dan T=250
Pada keseimbangan awal: Y=C+I+G
Y = 100+0,8(Y-250) +150+250=500+0,8(Y-250)
Y = 500+0,8Y-200 = 300-0,8Y
0,2Y= 300 maka Y = 1.500
Jika pemerintah menempuh anggaran surplus, dimana ∆G =150, sementara ∆T=250, maka:
G1=250+150=400
Yd1=Y-250-250=Y-500
Sehingga fungsi konsumsi menjadi
C1 = 100+0,8Yd1
C1 = 100+0,8(Y-500)
C1 = -320+0,8Y
Y = C+I+G
Y = -300+0,8Y+150+400=250+0,8Y
0,2Y= 250
Y = 1.250 atau ∆Y = 1.250-1.500 = -250
Angka -250 adalah ∆Y=∆T-W/(1-b) =250-100/(1-0,8)=250-500=-250
Anggaran Berimbang
Pemerintah dikatakan menempuh anggaran berimbang bila pengeluaran direncanakan akan sama dengan penerimaan (G=T dan
atau ∆G=∆T). Tidak ada ketentuan pokok dalam kondisi ekonomi seperti apa poliik anggaran berimbang ditempuh. Namun bila
pemerintah memilih politik anggaran berimbang, dua hal utama yang ingin dicapai adalah peningkatan disiplin dan kepastian
anggaran.
Karena ∆G=∆T, maka pengaruh anggaran terhadap keseimbangan ekonomi adalah
∆Y karena ∆G=∆G/(1-b)
∆Y karena ∆T = b ∆T/(1-b) sehingga total pengaruhnya (karena ∆G dan ∆T) adalah
∆Y karena ∆G=(∆G/(1-b)) – (b∆G/(1-b)) atau ∆T=(∆T/(1-b)) – (b∆T/(1-b))
adalah ∆Y=((1-b)/(1-b))∆T
∆Y= 1 – ∆T atau 1-∆G yang berarti ∆Y= ∆T = ∆G
sehingga dapat dikatakan efek multiflier anggaran berimbang adalah sama dengan satu (balance budget multiplier)
Kasus :
C = 100 + 0,8Yd
G = 250 dan T = 250
Pada keseimbangan awal: Y=C+I+G
Y = 100+0,8(Y-250) +150+250=500+0,8(Y-250)
Y = 500+0,8Y-200=300-0,8Y
0,2Y= 300 maka Y = 1.500
Jika pemerintah menempuh anggaran berimbang, dimana ∆G =150, sementara ∆T=150, maka:
G1 =250+150 = 400
Yd1 =Y-250-150 = Y-400
Sehingga fungsi konsumsi menjadi
C1 = 100+0,8Yd1
C1 = 100+0,8(Y-400)
C1 = 100+0,8Y-320
C1 = -220+0,8Y
Y = C+I+G
Y = -220+0,8Y+150+400=330+0,8Y
0,2Y = 330
Y = 1.650 atau ∆Y = 1.650-1.500 = 150
Angka 150 adalah ∆Y=∆T=∆G
BACAAN YANG DIANJURKAN
Hyman, D. N., 1996, Public Finance, A Cotemporary Application of Theory to Policy, Fifth edition, The Driden Press, New York
Mangkoesoebroto, G, 2000, Ekonomi Publik, Edisi Ketiga Cetakan Kesembilan, BPFE-UGM, Yogyakarta
Musgrave, RA dan Musgrave, PB, 1984, Public Finance In Theory and Practice, McGraw-Hill, Inc, New York, USA
Rahardja, P dan Manurung, M, 2004, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makro Ekonomi), Edisi Revisi, Penerbitan FE UI,
Jakarta